You are on page 1of 3

Missed abortion

Istilah ini dipakai untuk keadaan di mana hasil pembuahan yang telah mati tertahan
dalam rahim selama 8 minggu atau lebih. Penderitanya biasanya tidak menderita gejala, kecuali
tidak mendapat haid. Kebanyakan akan berakhir dengan pengeluaran buah kehamilan secara
spontan dengan gejala yang sama dengan abortus yang lain. (Inna Hudaya, 2009 :11)
Penanganan Missed Abortion :
a. Informent consent
b. Pemeriksaan urine
c. Pemeriksaan USG
d. Pada umur kehamilan kurang dari 12 minggu tindakan evakuasi dapat secara langsung
dengan melakukan dilatasi dan kuretase bila serviks uterus memungkinkan.
e. Bila umur kehamilan diatas 12 minggu tau kuang dari 20 minggu dengan serviks uterus
yang masih kaku dianjurkan untuk melakukan induksi terlebih dahulu untuk
mengeluarkan janin atau meamtangkan kanalis serviks.bBeberapa cara dapat dilakukan
antara lain dengan pemberian infus intravena cairan oksitosin dimulai daari dosis 10 unit
dalam 500 cc dekstrose 5% tetesan, 20 tetes per menit dan dapat diulangi sampai total
oksitosin 50 unit dengan tetesan dipertahankan untuk mencegah terjadinya retensi cairan
tubuh
f.

Jika tidak berhasil, penderita diistirahatkan satu hari dan kemudian induksi diulangi
biasanya maksimal 3 kali

g. Setelah janin atau jarigan hasil konsepsi berhasil keluar dengan induksi ini dilajutkan
dengan tindakan kuretase sebersih mungkin.
h. Pada dekade ini banyak tulisan yang telah menggunakan prostaglandin atau sintetisnya
untuk melakukan induksi pada missed abortion. Salah satu cara yang banyak disebutkan
adalah dengan cara poemberian mesoprostol secara sublingual sebanyak 400 mg yang
dapat diulangi dua kali dengan jarak 6 jam.
i.

Apabila terjadi hipofibrinogenemia perlu disiapkan transfusi darah atau fibrinogen.

j.

Pasca tindakan kalau perlu dilakukan pemberian infus intravena cairan oksitosin dan
pemberian antibiotika.

Abortus habitualis (keguguran berulang)


Abortus yang telah berulang dan berturut-turut terjadi, sekurang-kurangnya 3 kali berturut-turut
(Sastrawinata S, 2005 : 16)
Penanganan Abortus habitualis :

Jika ibu belum hamil lagi, hendaknya waktu itu digunakan untuk melakukan pemeriksaan
lengkap dalam usaha mencari kelainan yang mungkin menyebabkan abortus habitualis
itu.

Disamping pemeriksaan umum dengan memperhatikan gizi dan bentuk badan penderita,
dilakukan pula pemeriksaan suami istri, antara lain pemeriksaan darah dan urin rutin,
pemeriksaan golongan darah , faktor Rh, dan tes terhadap sifilis; selanjutnya pada isteri
dibuatkan kurve harian glukose darah dan diperiksa fungsi tiroid, dan pada suami
diperiksa sperma.

Perlu diselidiki pula, apakah ada kelainan anatomik, baik kelainan bawaan atau kelainan
yang terjadi setelah melahirkan. Laserasi pada serviks uteri dan adanya mioma uteri dapat
ditemukan pada pemeriksaan ginekologik, sedang mioma uteri submukosum, uterus
septus dan serviks uteri inkompeten dapat diketahui dengan melakukan histerogafi.
Kadang-kadang perlu dilakukan laparoskopi untuk mendapat gambaran yang lebih jelas
tentang kelainan anatomik pada uterus.

Selain terapi yang bersifat kausal, mak penderita dengan abortus habitualis, jika ia hamil,
perlu mendapat perhatian yang khusus. Ia harus banyak istirahat, hal ini tidak berart i
bahwa ia harus tinggal terus ditempat tidur, akan tetapi perlu dicegah usaha usaha yang
melelahkan.

Pada hamil muda sebaiknya jangan bersenggama. Makanannya harus adekuat mengenai
protein, hidrat arang, mineral dan vitamin. Khususnya dalam masa organogenesis
pemeberian obat obatan harus dibatasi dan obat obat yang diketahui dapat
mempunyai pengaruh jelekterhadap janin, dilarang. Dimana khususnya dimana faktor
emosional memegang peranan penting, pengaruh dokter sangat besar utntuk mengatasi
ketakutan dan kecemasan.

Terapi hormonal umumnya tidak perlu, kecuali jika ada gangguan fungsi tiroid, atau
gangguan fase luteal. ( ilmu kandungan, prawirohardjo. S,Hal 249 )

Abortus Infeksiosa
Abortus yang disertai infeksi pada genitalia, diagnosis ditegakkan dengan adanya tanda infeksi
pada genitalia seperti panas, takikardia, perdarahan pervaginam yang bau, uterus yang besar dan
lembek, nyeri tekan dan leukositosis.
Penanganan Abortus Infeksiosus :
a. Pengelolaan pasien ini harus mempertimbangkan keseimbangan cairan tubuh dan
perlunya pemberian antibiotika yang adekuatb sesuai dengan kultur dan sensitivitas
kuman yang diambil dari darah dan cairan fluksus / flour yang keluar pervaginam.
b. Untuk tahap pertama dapat diberikan penisilin 4 x 1,2 juta unit atau ampisilin 4 x 1 gram
ditambah gentamisin 2 x 80 mg dan Metronidazol 2x 1 gram. Selanjutnya antibiotik
sesuai dengan kultur.
c. Tindakan kuretase dilaksanakan bila keadaan tubuh sudah membaik minimal 6 jam
setelah antibiotika adekuat diberikan. Jangan lupa pada saat tindakan uterus dilindungi
dengan uterotonika.
d. Antibiotik dilanutkan sampai 2 hari bebas demam dan bila dalam waktu 2 hari pemberian
tidak memberikan respon harus diganti dengan antibiotik yang lebih sesuai.
e. Apabila ditkutkan terjadi tetanus, perlu ditambah dengan injeksi ATS dan irigasi kanalis
vagina / uterus dengan larutan peroksida ( HO ) atau kalau perlu histerektomi total
secepatnya.

You might also like