You are on page 1of 21

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sinusitis didefenisikan sebagai inflamasi mukosa sinus paranasal.
umumnya disertai atau dipicu oleh rinitis sehingga sering disebut rinosinusitis.1,3
Rinosinusitis adalah penyakit multifaktorial. Penyebab utamanya adalah selesma
(common cold) yang merupakan infeksi virus ataupun rinitis akibat alergi. Faktor
predisposisi seperti polip, deviasi septum kavum nasi, tumor dapat obstruksi
kompleks osteomeatal yang nantinya akan menyebabkan rinosinusitis yang
umumnya merupakan infeksi bakteri.1,2

Rinosinusitis merupakan penyakit yang sering ditemukan dalam praktek


dokter sehari-hari, bahkan dianggap sebagai salah satu penyebab gangguan
kesehatan tersering seluruh dunia.2 Rinosinusitis memberikan dampak baik
terhadap kualitas hidup pasien, biaya kesehatan maupun masalah kurangnya
produktivitas kerja. Diperkirakan Amerika Serikat sekitar 6 miliar dolar
dihabiskan setiap tahunnya untuk terapi rinosinusitis.3 Insidensi rinosinusitis sulit
diketehaui angka pastinya mengingat tidak semua pasien melakukan pengobatan
ataupun pengobatan rinosinusitis akut yang gagal dan berkembang menjadi
rinosinusitis kronik. Menurut data dari Amerika Serikat, rinosinusitis bakterialis
akut terjadi sekitar 26 juta orang.3

Rinosinusitis

kronik

mempunyai

prevalensi

yang

cukup

tinggi.

Diperkirakan sebanyak 13,4-25 juta kunjungan ke dokter per tahun dihubungkan


dengan rinosinusitis atau akibatnya. Di Eropa, rinosinusitis diperkirakan mengenai
10%30% populasi. Sebanyak 14% penduduk Amerika, paling sedikitnya pernah
mengalami episode rinosinusitis semasa hidupnya dan sekitar 15% diperkirakan
menderita RSK. Dari respiratory surveillance program, diperoleh data
demografik mengenai rinosinusitis paling banyak ditemukan secara berturut-turut
pada etnis kulit putih, Afrika Amerika, Spanyol dan Asia.4

Belum ada data yang menunjukkan angka kejadian rinosinusitis di


Indonesia, ditambah dengan rinosinusitis yang bisa berkembang (0,5-2%) dari
infeksi saluran pernapasan atas yang merupakan penyakit utama di masyarakat.
Insiden kasus baru rinosinusitis pada penderita dewasa yang berkunjung di Divisi
Rinologi Departemen THT RS Cipto Mangunkusumo, selama JanuariAgustus
2005 adalah 435 pasien, sedangkan di Makassar tercatat terutama di rumah akit
pendidikan selama tahun 20032007 terdapat 41,5% penderita rinosinusitis dari
seluruh kasus rawat inap di Bagian THT.3,4

1.2 Batasan Masalah


Referat ini membahas mengenai rinosinusitos meliputi definisi, anatomi
rongga hidung dan sinus paranasal, etiologi dan faktor risiko, klasifikasi,
patogenesis, diagnosis, pentalaksanaan, dan komplikasi rinosinusitis.

1.3 Tujuan Penulisan


Tujuan penulisan referat ini adalah unutk memahami rinosinusitos
meliputi definisi, anatomi rongga hidung dan sinus paranasal, etiologi dan faktor
risiko, klasifikasi, patogenesis, diagnosis, pentalaksanaan, dan komplikasi
rinosinusitis.

1.4 Metode Penulisan


Referat ini disusun berdasarkan studi kepustakaan dengan merujuk ke
berbagai literatur.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Sinusitis didefenisikan sebagai inflamasi mukosa sinus paranasal
umumnya dipicu atau muncul bersamaan dengan rinitis, sehingga sering disebut
rinosinusitis.1,3,5 Sinusitis adalah keradangan pada satu atau lebih mukosa sinus
paranasal dengan gejala berupa hidung tersumbat, nyeri pada wajah, dan pilek
kental (purulen).5
Definisi klinis rinosinusitis pada dewasa dan anak-anak berbeda.
Rinosinusitis pada dewasa adalah radang hidung dan sinus paranasal yang
ditandai dengan dua atau lebih gejala, salah satunya harus hidung tersumbat/
obstruksi/ kongesti atau hidung berair (anterior/posterior nasal drip) disertai gejala
lain berupa ada atau tidaknya nyeri pada wajah, penurunan atau hilangnya
penciuman, dan pada pemeriksaan rinoskopi ditemukan adanya polip hidung,
obstruksi dan edema pada mukosa meatus media, dan/atau sekret yang
mukopurulen dari meatus media, serta pada CT-Scan ditemukan adanya
perubahan mukosa pada kompleks ostiomeatal ataupun mukosa hidung. Pada
anak-anak dengan tambahan ada atau tidaknya batuk.6

2.2 Anatomi Rongga Hidung dan Sinus Paranasal


Bagian hidung dalam terdiri atas struktur yang membentang dari os.internum
di sebelah anterior hingga koana di posterior, yang memisahkan rongga hidung dari
nasofaring. Kavum nasi dibagi oleh septum, dinding lateral terdapat konka superior,
konka media, dan konka inferior. Celah antara konka inferior dengan dasar hidung
dinamakan meatus inferior, berikutnya celah antara konka media dan inferior disebut
meatus media dan sebelah atas konka media disebut meatus superior.7

Gambar 1. Anatomi hidung gambaran melintang.


Sinus paranasal terdiri dari empat pasang, yaitu sinus frontal, sinus etmoid,
sinus maksila, dan sinus sfenoid. Sinus-sinus ini pada dasarnya adalah ronggarongga udara yang berlapis mukosa di dalam tulang wajah dan tengkorak.
Pembentukannya dimulai sejak dalam kandungan, akan tetapi hanya ditemukan
dua sinus ketika baru lahir yaitu sinus maksila dan etmoid. Sinus frontal mulai
berkembang dari sinus etmoid anterior pada usia sekitar 8 tahun dan menjadi
penting secara klinis menjelang usia 13 tahun, terus berkembang hingga usia 25
tahun.7
Sekitar 20% populasi, sinus frontal tidak ditemukan atau rudimenter, dan
tidak memiliki makna klinis. Sinus sfenoidalis mulai mengalami pneumatisasi
sekitar usia 8 hingga 10 tahun dan terus berkembang hingga akhir usia belasan
atau dua puluhan. Dinding lateral nasal mulai sebagai struktur rata yang belum
berdiferensiasi. Pertumbuhan pertama yaitu pembentukan maxilloturbinal yang
kemudian akan menjadi kokha inferior. Selanjutnya, pembentukan ethmoturbinal,
yang akan menjadi konka media, superior dan supreme dengan cara terbagi

menjadi ethmoturbinal pertama dan kedua. Pertumbuhan ini diikuti pertumbuhan


sel-sel ager nasi, prosesus uncinatus, dan infundibulum etmoid. Sinus-sinus
kemudian mulai berkembang. Rangkaian rongga, depresi, ostium dan prosesus
yang dihasilkan merupakan struktur yang kompleks yang perlu dipahami secara
detail dalam penanganan sinusitis, terutama sebelum tindakan bedah. Tulangtulang pembentuk dinding lateral hidung dijelaskan dalam gambar 2.2.7

Gambar 2. Tulang-tulang pembentuk dinding lateral hidung (1. Nasal; 2.


Frontal; 3. Etmoid; 4. Sfenoid; 5. Maksila; 6. Prosesus palatina
horizontal; 7. Konka superior (etmoid); 8. Konka media
(etmoid); 9. Konka inferior; 10. Foramene sfenopalatina; 11.
Lempeng pterigoid media; 13. Hamulus pterigoid media)7
2.3 Klasifikasi
Konsensus internasional tahun 1995 membagi sinusitis menjadi akut dan
kronik. Rinosinusitis akut dengan batas sampai dengan 8 minggu, sedangkan
rinosinusitis kronik apabila lebih dari 8 minggu. Konsensus thaun 2004
rinosinusitis dibagi menjadi akut, subakut, dan kronik. Rinosinusitis akut dengan
batas sampai dengan 4 minggu, subakut antara 4 minggu sampai dengan 3 bulan,
serta kronik apabila lebih dari 3 bulan.1,6,8

Rinosinusitis akut sendiri juga dibagi menjadi 3 yaitu :


Rinosinusitis akut viral, jika gejala-gejala yang muncul kurang dari 10
hari.

Rinosinusitis akut post infeksi viral, jika adanya peningkatan keparahan


dari gejala lebih dari 5 hari atau gejala menetap selama lebih dari 10 hari
tetapi masih kurang dari 12 minggu.
Rinosinusitis akut bakterial, apabila setidaknya muncul 3 dari gejala
seperti sekret yang keluar berubah warna (dominan unilateral) dan
sekretnya purulen, nyeri lokal yang hebat (dominan unilateral), demam
>38C, peningkatan CRP (C-Reactive Protein), dan double-sickening atau
bertambah parahnya keluhan dari penyakit.6
Sinusitis kronik dengan penyebab rinogenik biasanya merupakan
kelanjutan dari sinusitis akut yang tidak diterapi secara memadai.1 Selain itu,
terdapat juga klasifikasi yang menyebutkan rinosinusitis rekuren akut.
Rinosinusitis rekuren akut didefinisikan jika adanya 4 atau lebih episode sinusitis
dalam satu tahun dengan adanya resolusi sempurna diantara setiap episode.7
Sementara berdasarkan lokasi, sinusitis dapat dibagi menjadi :
a. Sinusitis maksilaris mengenai sinus maksila, bisa menyebabkan nyeri pipi
khas yang tumpul ataupun menusuk, selain itu ada nyeri pada palpasi dan
perkusi.
b. Sinusitits frontalis mengenai sinus frontalis, bisa menyebabkan nyeri atau
rasa tertekan di atas alis mata.
c. Sinusitis etmoidalis mengenai sinus etmoid, bisa menyebabkan nyeri atau
nyeri tekan di antara kedua mata dan dia tas jembatan hidung, drainase, dan
sumbatan hidung.
d. Sinusitis sfenoidalis mengenai sinus sfenoid, bisa menyebabkan nyeri atau
rasa tertekan dibelakang mata tapi sering menjalar ke verteks kranium.9

2.4 Etiologi dan Faktor Risiko


Mikroorganisme penyebab rinosinusitis bisa berupa virus, bakteri, ataupun
jamur. Infeksi virus biasanya terjadi selama infeksi selama infeksi saluran napas
atas. Selain menyerang mukosa hidung, virus tersebut juga menyerang mukosa
sinus.9 Virus yang paling banyak menyebabkan rinosinusitis adalah rhinovirus
(50%) dan coronavirus. Virus lain yang dapat menyebabkan rinosinusitis adalah

virus influenza, virus parainfluenza, adenovirus, respiratory syncytial virus, dan


enterevirus.6
Bakteri sering menjadi penyebab terjadinya sinusitis akut. Streptococcus
pneumonia (30-50%). Hemophillus Influenzae (20-40%), dan Moraxella
catarrhalis (4%) dan Staphylococcus aureus.1,6 Sedangkan pada anak, M.
Catarrhalis merupakan 20% penyebab. Bakteri penyebab sinusitis kronik biasanya
sama dengan yang menyebabkan sinusitis akut. Akan tetapi, siusitis kronik juga
biasanya berhubungan dengan adanya gangguan drainase ataupun fungsi
mukosiliar, maka agen infeksi biasanya bakteri anaerob.1,9
Faktor-faktor fisik, kimia, saraf hormonal atau emosional dapat
mempengaruhi mukosa hidung yang selanjutnya mempengaruhi mukosa sinus.
Defisiensi nutrisi, kelelahan, kebugaran fisik yang menurun dan penyakit sistemik
juga penting dalam etiologi sinusitis. Sebagai faktor risiko lain ialah lingkungan
berpolusi, udara dingin atau kering serta kebiasaan merokok yang dapat
menyebabkan perubahan pada mukosa serta kerusakan silia. Faktor risiko lain
yang penting adalah adanya riwayat infeksi sebelumnya seperti common cold.9

2.5 Patofisiologi
Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan
kelancaran klirens dari mukosiliar di dalam komplek osteo-meatal (KOM).
Disamping itu, mukus juga mengandung substansi antimikrobial dan zat-zat yang
berfungsi sebagai pertahanan terhadap mikroorganisme yang masuk bersama
udara pernafasan.1
Apabila terjadi terinfeksi organ yang membentuk KOM mengalami edema,
sehingga mukosa yang berhadapan akan saling bertemu. Hal tersebut
menyebabkan silia tidak dapat bergerak dan juga mengakibatkan tersumbatnya
ostium. Hal ini menimbulkan tekanan negatif di dalam rongga sinus yang
menyebabkan terjadinya. Efek awal yang ditimbulkan adalah keluarnya cairan
serous yang dianggap sebagai sinusitis non bakterial yang dapat sembuh walaupun
tidak diberi pengobatan.1

Bila tidak sembuh maka sekret yang tertumpuk dalam sinus akan menjadi
media yang sesuai untuk pertumbuhan dan multiplikasi bakteri. Sekret akan
berubah menjadi purulen yang disebut sebagai sinusitis akut bakterialis yang
membutuhkan terapi antibiotik. Jika terapi tidak adekuat, maka inflamasi akan
terus berlanjut, akan terjadi hipoksia, dan berkembanglah bakteri anerob. Keadaan
tersebut akan menyebabkan perubahan kronik dari mukosa yaitu hipertrofi,
polipoid atau pembentukan polip dan kista.1
Dalam keadaan normal, rongga sinus merupakan lingkungan yang steril.
Setiap bakteri atau mikroorganisme lain yang masuk akan langsung dieliminasi
oleh aktivitas mukosiliar yang terdapat pada mukosa. Gangguan dari fungsi
mukosiliar tersebut menyebabkan mikroorganisme dapat masuk dan berkembang
biak. 8
2.6 Diagnosis6,9
Diagnosis rinosinusitis ditegakkan apabila ditemui :
inflamasi hidung dan sinus paranasal yang ditandai dengan adanya dua
atau lebih gejala, salah satunya termasuk hidung tersumbat/ obstruksi/
kongesti atau pilek (sekret hidung anterior/ posterior):
nyeri wajah/ rasa tertekan di wajah
penurunan/ hilangnya penghidu
dan salah satu dari :
temuan nasoendoskopi:
- polip dan/ atau
- sekret mukopurulen dari meatus medius dan/ atau
- edema/ obstruksi mukosa di meatus medius
dan/ atau
gambaran tomografi komputer:
- perubahan mukosa di kompleks osteomeatal dan/atau sinus

Selain itu dapat juga dinilai berdasarkan beratnya penyakit. Penyakit ini
dapat dibagi menjadi RINGAN, SEDANG dan BERAT berdasarkan skor total
visual analogue scale.

Selanjutnya ditentukan apakah penyakit ini termasuk akut atau kronik.


Dikatakan akut apabila terjadi kurang dari 12 minggu dan mengalami resolusi
komplit. Sedangkan kronik apabila terjadi lebih dari 12 minggu, tanpa adanya
resolusi komplit. Termasuk dalam kategori ini yaitu rinosinusitis kronik
eksaserbasi akut. Berikut adalah kriteria diagnosis rinosinusitis pada dewasa dan
anak, baik akut maupun kronik.
1. Rinosinusitis Akut pada Dewasa

2. Rinosinusitis Akut pada Anak

3. Rinosinusitis Kronik pada Dewasa

4. Rinosinusitis Kronik pada Anak

10

2.7 Tatalaksana6,9
1. Rinosinusitis Akut pada Dewasa

Gambar 3. Penatalaksanaan Rinosinusitis Akut pada Dewasa untuk


Pelayanan Kesehatan Primer
2. Rinosinusitis Akut pada Anak

Gambar 4. Penatalaksanaan Rinosinusitis Akut pada Anak

11

3. Rinosinusitis Kronik pada Dewasa

Gambar 5. Penatalaksanaan Rinosinusitis Kronik dengan/tanpa Polip Hidung pada


Dewasa untuk Pelayanan Kesehatan Primer

12

4. Rinosinusitis Kronik pada Anak

Gambar 6. Penatalaksanaan Rinosinusitis Kronik pada Anak

5. Terapi Bedah Berbasis Bukti Untuk Rinosinusitis


Penelitian mengenai operasi sinus sangat sulit untuk digeneralisasi, karena operasi
diindikasikan pada pasien tertentu yang tidak memberikan respon yang adekuat
terhadap pengobatan medikamentosa.
a. Pada rinosinusitis akut, operasi diindikasikan pada kasus yang berat dan
komplikasi yang berhubungan.
b. Lebih dari 100 kasus berseri (level IV) dengan hasil yang konsisten bahwa
pasien rinosinusitis kronis dengan dan tanpa polip mendapat manfaat dari
operasi sinus.

13

c. Komplikasi mayor terjadi pada kurang dari 1 % dan operasi revisi


dilaksanakan kira - kira 10 % dalam kurun waktu 3 tahun.
d. Pada sebagian besar kasus rinosinusitis kronis, pengobatan medikamentosa
yang adekuat sama efektifnya dengan operasi, jadi operasi sinus
seharusnya dicadangkan untuk pasien yang tidak memberikan respon
memuaskan terhadap pengobatan medikamentosa. (level Ib)
e. Bedah sinus endoskopik fungsional lebih superior dibandingkan prosedur
konvensional termasuk polipektomi dan irigasi antrum (Level Ib), tetapi
superioritas terhadap antrostomi meatus inferior atau sfenoetmoidektomi
belum terbukti
f. Pada pasien rinosinusitis kronis yang belum pernah dioperasi, operasi yang
lebih luas tidak memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan prosedur
operasi yang terbatas (level Ib). Walaupun bukan berbasis bukti, perluasan
operasi

biasanya

disesuaikan

terhadap

perluasan

penyakit,

yang

merupakan pendekatan secara rasional. Pada bedah sinus paranasal primer,


direkomendasikan bedah secara konservatif.
g. Operasi sinus endonasal revisi hanya diindikasikan jika pengobatan
medikamentosa tidak efektif. Perbaikan gejala secara umum diobservasi
pada pasien dengan rinosinusitis kronis dengan dan tanpa polip, walaupun
perbaikannya kurang dibandingkan setelah operasi primer. Angka
komplikasi dan terutama resiko rekurensi penyakit lebih tinggi
dibandingkan operasi primer

2.8 Komplikasi1,9
Beberapa faktor yang diduga sebagai penyebab terjadinya komplikasi, antara
lain :
1. Terapi yang tidak adekuat
2. Daya tahan tubuh yang rendah
3. Virulensi kuman
4. Penanganan tindakan operasi terlambat dilakukan
Komplikasi berat biasanya terjadi pada sinusitis akut atau pada sinusitis
kronis dengan eksaserbasi akut, berupa komplikasi orbita atau intrakranial.

14

a. Kelainan orbita
Disebabkan oleh sinus paranasal yang dekat dengan mata, paling sering
sinusitis etmoid, sinusitis frontal dan sinusitis maksila. Orbita dipisahkan oleh
sebuah lamina setipis selembar kertas dari sinus etmoid. Karena lemahnya barrier
ini, komplikasi akibat penyebaran infeksi ke mata sering terjadi pada sinusitis akut.
Penyebaran infeksi terjadi melalui tromboflebitis dan perkontinuitatum.Kelainan
yang dapat timbul adalah udem palpebra, selulitis orbita, abses subperiostal, abses
orbita dan selanjutnya dapat terjadi thrombosis sinus kavernosus.
b. Mukokel
Mukokel adalah suatu kista yang mengandung mukus yang timbul di
dalam sinus. Kista ini paling sering ditemukan pada sinus maksilaris, sering
disebut juga sebagai krista retensi mukus yang biasanya tidak berbahaya. Dalam
sinus frontalis, ethmoidalis dan sfenoidalis, kista ini dapat membesar dan melalui
atropi tekanan mengikis struktur sekitarnya. Dengan demikian,kista ini dapat
bermanifestasi sebagai pembengkakan pada dahi atau fenestra nasalis dan dapat
menggeser mata ke lateral. Dalam sinus sfenoidalis, kista dapat menimbulkan
diplopia dan gangguan penglihatan dengan menekan saraf didekatnya.
Mukokel primer berkembang akibat hambatan duktus kelenjar saliva
mayor, terutama pada sinus maksilaris. Mukokel sekunder disebabakan obstruksi
ostium sinus sebagai komplikasi obstruksi dari rinosinusitis, polip, trauma,
pembedahan, dan tumor. Nyeri kepala dan berkurangnya visus merupakan gejala
tersering pada mukokel di sinus frontal, dimana gejala berlangsung perlahan
seiring membesarnya mukokel dalam beberapa tahun. Terapi mukokel adalah
dengan mengangkat secara total mukokel, dan umumnya melalui bedah terbuka.
c. Piokel
Piokel adalah mukokel terinfeksi. Gejala piokel hampir sama dengan
mukokel meskipun lebih akut dan lebih berat. Eksplorasi sinus secara bedah untuk
mengangkat semua mukosa yang terinfeksi dan berpenyakit serta memastikan
suatu drainase yang baik.

15

d. Kelainan intrakranial
Sinusitis yang tersering menyebabkan komplikasi intrakranial adalah
sinusitis frontalis diikuti sinusitis ethmoidalis, sfenoidalis dan maksilaris.
Komplikasi ini lebih sering pada laki-laki dewasa, diduga ada faktor predileksi
yang berhubungan dengan pertumbuhan tulang frontal dan meluasnya sistem
anyaman pembuluh darah yang terbentuk. Dapat berupa kelainan :
1. Meningitis
Meningitis merupakan komplikasi intrakranial yang tersering dari
sinusitis. Sinus frontal jarang menyebabkan meningitis tetapi seringkali
karena infeksi sekunder dari sinus etmoidalis dan sfenoid. Lapisan
arakhnoid pada dewasa relatif lebih resisten terhadap invasi langsung
bakteri, namun pada anak-anak infeksi dapat lebih mudah menyebar
karena jaringan yang masih immatur. Infeksi dari sinus paranasal dapat
pula menyebar sepanjang saluran vena atau langsung dari sinus yang
berdektan, seperti melalui dinding posterior sinus frontalis atau melaui
lamina kribriformis di dekat sistem sel udara ethmoidalis.
2.

Abses Dura
Abses dura adalah kumpulan pus diantara dura dan tabula interna kranium,
seringkali mengikuti sinus frontalis. Proses ini mungkin timbul lambat
sehingga hanya mengeluh nyeri kepala, dan sebelum pus yang terkumpul
mampu menimbulkan tekanan intrakranial yang memadai, mungkin tidak
terdapat gejala neurologik lain. Abses subdural adalah kumpulan pus di
antara abses dura meter dan araknoid atau permukaan otak. Gejala gejala
kondisi ini serupa dengan abses dura yaitu nyeri kepala yang hebat dan
demam tinggi dengan tanda tanda rangsangan meningen. Gejala utama
tidak timbul sebelum tekanan intrakranial meningkat atau sebelum abses
memecah ke dalam ruang subaraknoid.

3. Abses otak
Setelah sistem vena dalam mukoperiosteum sinus terinfeksi , maka dapat
dimengerti bahwa dpat terjadi perluasan metastatik secara hematogen
kedalam otak. Namun, abses otak biasa nya terjadi melalui tromboflebitis

16

yang meluas secara langsung. Dengan demikian, lokasi abses yang lazim
adalah pada ujung vena yang pecah, meluas menembus dura dan araknoid
hingga ke perbatasan antara substansia alba dan grisea korteks serebri.
Kontaminasi substansi otak dapat terjadi pada puncak suatu sinus supuratif
yang berat, dan proses pembentukan abses otak dapat berlanjut sekalipun
penyakit pada sinus telah memasuki tahap resolusi normal. Pada kasus ini
perlu di observasi selama beberapa bulan. Hilangnya nafsu makan,
penurunan berat badan, kakeksia sedang, demam, nyeri kepala berulang,
serta mual dan muntah yang merupakan tanda infeksi yang berlokasi
dalam hemisfer serebri.
4. Trombosis sinus kavernosus
Emboli septic dapat menyebar melalui system vena oftalmika ke sinus
kavernosus, menyebabkan infeksi, inflamasi, dan bahkan thrombosis sinus.
Gejala okuler seperti khemosis, respon pupil yang lambat, oftalmoplegia,
dan kebutaan. Temuan klinis ini sering bersifat bilateral. Antibiotik
intravena harus diberikan segera dan bila ada indikasi, surgical drainage
pada sinus harus dilakukan.
e. Osteomielitis dan abses subperiosteal
Paling sering timbul akibat sinusitis frontal dan biasanya ditemukan pada
anak anak. Penyebab tersering osteomielitis dan abses subperiosteal pada
tulang frontalis adalah infeksi sinus frontalis. Nyeri dan nyeri tekan dahi
setempat sangat berat. Gejala sistemik berupa malaise, demam, dan
menggigil . Pembengkakan di atas alis mata juga lazim terjadi dan
bertambah hebat bila terbentuk abses subperiostel, dalam hal mana
terbentuk edema supraorbita dan mata menjadi tertutup. Timbul fluktuasi
dan tulang menjadi sangat nyeri tekan. Radiogram dapat memperlihatkan
erosi batas- batas tulang dan hilang nya septa intrasinus dalam sinus yang
keruh.
Pada stadium lanjut, radiogram memperlihatkan gambaran seperti
digerogoti rayap pada batas-batas sinus menunjukan infeksi telah meluas

17

melampaui sinus. Sebelum penggunaan antibiotik, penyebaran infeksi ke


kalvaria akan mengangkat perikranium dan menimbulkan gambaran klasik
tumor pott yang bengkak . pengobatan komplikasi ini termasuk antibiotik
dosis tinggi yang diberikan intravena, diikuti insisi segera abses periosteal
dan trepanasi sinus frontalis guna memungkinkan drainase. Pada
osteomielitis kalvarium yang menyebar , di haruskan suatu debridement
yang luas dan terapi antibiotik masif.
f. Kelainan paru
Kelainan paru, seperti bronkitis kronik dan bronkiektasis. Adanya kelainan
sinus paranasal disertai dengan kelainan paru ini disebut sinobronkitis. Selain itu
dapat juga menyebabkan kambuhnya asma bronkial yang sukar dihilangkan
sebelum sinusitisnya disembuhkan.

18

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Sinusitis didefenisikan sebagai inflamasi mukosa sinus paranasal
umumnya dipicu atau muncul bersamaan dengan rinitis, sehingga sering disebut
rinosinusitis. Sinusitis adalah keradangan pada satu atau lebih mukosa sinus
paranasal dengan gejala berupa hidung tersumbat, nyeri pada wajah, dan pilek
kental (purulen). Definisi klinis rinosinusitis pada dewasa dan anak-anak berbeda.
Rinosinusitis pada dewasa adalah radang hidung dan sinus paranasal yang
ditandai dengan dua atau lebih gejala, salah satunya harus hidung tersumbat/
obstruksi/ kongesti atau hidung berair (anterior/posterior nasal drip) disertai gejala
lain berupa ada atau tidaknya nyeri pada wajah, penurunan atau hilangnya
penciuman, dan pada pemeriksaan rinoskopi ditemukan adanya polip hidung,
obstruksi dan edema pada mukosa meatus media, dan/atau sekret yang
mukopurulen dari meatus media, serta pada CT-Scan ditemukan adanya
perubahan mukosa pada kompleks ostiomeatal ataupun mukosa hidung. Pada
anak-anak dengan tambahan ada atau tidaknya batuk.
Defisiensi nutrisi, kelelahan, kebugaran fisik yang menurun dan penyakit
sistemik juga penting dalam etiologi sinusitis. Sebagai faktor risiko lain ialah
lingkungan berpolusi, udara dingin atau kering serta kebiasaan merokok yang
dapat menyebabkan perubahan pada mukosa serta kerusakan silia. Faktor risiko
lain yang penting adalah adanya riwayat infeksi sebelumnya seperti common cold.
Mikroorganisme penyebab rinosinusitis bisa berupa virus, bakteri, ataupun jamur.
Bakteri sering menjadi penyebab terjadinya sinusitis akut. Streptococcus
pneumonia (30-50%). Hemophillus Influenzae (20-40%), dan Moraxella
catarrhalis (4%). Sedangkan pada anak 20 % penyebab nya adalah M. Catarrhalis.
Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan kelancaran
klirens dari mukosiliar di dalam komplek osteo-meatal (KOM).
Konsensus thaun 2004 rinosinusitis dibagi menjadi akut, subakut, dan
kronik. Rinosinusitis akut dengan batas sampai dengan 4 minggu, subakut antara
4 minggu sampai dengan 3 bulan, serta kronik apabila lebih dari 3 bulan. Keluhan
utama rhinosinusitis akut adalah hidung tersumbat disertai nyeri/rasa tekanan pada

19

muka dan ingus purulen, yang seringkali turun ke tenggorok ( post nasal drip ).
Dapat disertai gejala sistemik seperti demam dan lesu. Gejala lain adalah sakit
kepala, hiposmia/anosmia, halitosis, post nasal drip yang menyebabkan batuk dan
sesak pada anak. Keluhan sinusitis kronik tidak khas sehingga sulit di diagnosis.
Kadang kadang hanya 1 atau 2 dari gejala gejala dibawah ini yaitu sakit kepala
kronik, post nasal drip, batuk kronik, gangguan tenggorok, gangguan kronik
muara tuba eustachius, gangguan ke paru seperti bronkitis. Diagnosis ditegakkan
berdasarkan

anamnesis,

pemeriksaan

fisik

dan

pemeriksaan

penunjang.

Pemeriksaan fisik dengan rinoskopi anterior dan posterior, pemeriksaan


nasoendoskopi untuk diagnosis yang lebih tepat dan dini. Pemeriksaan pembantu
yang penting adalah foto polos atau CT-scan. Sinusitis dikatakan akut jika
terdapat dua gejala atau lebih gejala yang onsetnya mendadak, dimana salah
satunya harus terdapat sumbatan hidung/obstruksi/kongesti atau terdapatnya
sekret hidung anterior atau posterior dalam waktu kurang dari 4 minggu.
Tujuan terapi sinusitis adalah mempercepat penyembuhan, mencegah
komplikasi, dan mencegah perubahan menjadi kronik. Prinsip pengobatan ialah
membuka sumbatan KOM sehingga drenase dan ventilasi sinus-sinus pulih secara
alami. Antibiotik dan dekongestan merupakan terapi pilihan pada sinusitis akut
bakterial, untuk menghilangkan infeksi dan pembengkakan mukosa serta
membuka sumbatan ostium sinus. Antibiotik yang dipilih adalah golongan
penicilin seperti amoksicilin. Jika diperkirakan kuman telah resisten atau
memproduksi beta-laktamase, maka dapat diberikan amoksiccilin-klavulanat atau
jenis sefalosforin generasi ke-2. Selain dekongestan oral dan topikal, terapi lain
dapat diberikan jika diperlukan, seperti analgetik, mukolitik, steroid oral/topikal,
pencucian rongga hidung dengan NaCl atau pemanasan (diatermi).

3.2 Saran
Untuk penangan kasus pada

rinosinusitis kita harus dapat mengkaji

terlebih dahulu kondisi pasien dan melakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk
mempermudah melakukan tindakan selanjutnya.

20

DAFTAR PUSTAKA

1. Mangunkusumo E, Soetjipto D. Sinusitis. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N,


Bashiruddin J, Restuti RD. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Kepala Leher Edisi 6. Jakarta: Balai Penerbit FK UI. 2011.
2. Asyari Ade, Budiman BJ. Diagnosis dan Penatalaksanaan Rinosinusitis
dengan Polip Nasi.
3. Desrosier M, et al. Canadian Clinical Practice Guidlines for Acute and
Chronic Rhinosinusitis. Journal of OtolaryngologyHead & Neck Surgery.
2011: Volume 40, Number S2.
4. Bubun J, Azis A, Akil A, Perkasa F. Hubungan Gejala dan Tanda
Rinosinusitis Kronik dengan Gambaran CT Scan berdasarkan Skor LundMackay. Bagian THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin
Makasar. [citied 2014 Desember 17]. Avaible from: http://www.perhatikl.or.id/v1/wp-content/uploads/2011/11/Hubungan-gejala-rinosinusitis-kronikJeanny-Bubun1.pdf
5. Ketjono WA, Rinosinusitis: Etiologi dan Patofisiologi. Bagian THT-KL
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga RSU dr. Soetomo Surabaya. 2008.
[citied

2014

Desember

17].

Avaible

from:

http://journal.lib.unair.ac.id/index.php/JK/article/viewFile/931/919
6. Fokkens W, et al. EPOS 2012: European position paper on rhinosinusitis and
nasal polyps 2012 A summary for otorhinolaryngologists. 2012
7. Norman W. Nasal Cavity, Paranasal Sinuses, Maxillary Division of
Trigeminal

Nerve.

[citied

2014

Desember

17].

Avaible

from:

http://home.comcast.net/~wnor/lesson9.htm.
8. Snow JB, Ballenger JJ. Ballengers Otolaryngology Head and Neck Surgery.
Spain 2003. DC Bekcer. Page 760-64.
9. Adams, Boies, Highler. Dalam buku ajar penyakit THT. EGC. Jakarta 1997.
Hal 240-59.

21

You might also like