Professional Documents
Culture Documents
PENYUSUN
(100100003)
Akbar Sinaga
(100100096)
Ramos
(100100125)
Dina Utami
(100100060)
Kartini Marpaung
(100100063)
Fadlin
(100100002)
Hanalia Elmazane
(100100020)
Ivo Anjani
(100100252)
Asri Merlin
(100100328)
Liza Khairi
(100100350)
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan
berkat dan rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul
Penyakit Paru Obstruktif Kronis .
Penulis menyadari laporan kasus ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu, penulis mohon
maaf dan juga mengharapkan masukan berupa kritik dan saran yang membangun demi
kesempurnaan laporan kasus ini. Semoga makalah ini dapat berguna bagi kita semua.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
BAB 1
TINJAUAN PUSTAKA
1.1 Defenisi
Penyakit Paru Obstruktif Kronik adalah penyakit paru yang ditandai oleh hambatan aliran
udara yang tidak sepenuhnya reversibel, bersifat progresif dan berhubungan dengan respons
inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang beracun atau berbahaya, disertai efek ekstra
paru yang berkontribusi terhadap derajat berat penyakit.
1.2 Etiologi
Identifikasi faktor resiko pada PPOK merupakan langkah yang penting dalam pencegahan dan
penatalaksanaan PPOK. Pada dasarnya, semua resiko PPOK merupakan hasil interaksi
lingkungan dan gen. Beberapa hal yang berkaitan dengan resiko timbulnya PPOK sampai saat ini
adalah:
1. Asap rokok
Asap rokok mempunyai prevalens yang tinggi sebagai penyebab gejala respirasi dan
gangguan fungsi paru. Resiko PPOK pada perokok tergantung jumlah dosis rokok yang
dihisap, usia mulai merokok, jumlah batang rokok per tahun, dan lamanya merokok.
2. Polusi udara
a. Polusi di dalam ruangan
Kayu, serbuk gergaji, batu bara, dan minyak tanah yang merupakan bahan bakar
kompor menjadi penyebab tertinggi polusi di dalam ruangan. Polusi di dalam ruangan
memberikan resiko lebih besar terjadinya PPOK dibandingkan dengan polusi sulfat
atau gas buang kendaraan.
b. Polusi di luar ruangan
Tingginya polusi udara dapat menyebabkan kelainan jantung dan paru. Mekanisme
polusi diluar ruangan seperti polutan atmosfer dalam waktu lama sebagai penyebab
PPOK, belum diketahui dengan jelas, tetapi lebih kecil prevalensnya jika
dibandingkan dengan pajanan asap rokok.
3. Stres oksidatif
Paru selalu terpajan oleh oksidan endogen dan eksogen. Oksidan endogen timbul dari sel
fagosit dan tipe sel lainnya, sedangkan oksidan eksogen berasal dari polutan dan asap
rokok. Stres oksidatif tidak hanya menimbulkan efek kerusakan pada paru tetapi juga
menimbulkan akifitas molekuler sebagai awal inflamasi paru.
4. Infeksi saluran nafas bawah berulang
Infeksi virus dan bakteri berperan dalam patogenesis dan progresifitas PPOK. Kolonisasi
bakteri menyebabkan inflamasi jalan nafas, berperan secara bermakna menimbulkan
eksaserbasi. Riwayat infeksi tuberkulosis berhubungan dengan obstruksi jalan nafas pada
usia lebih dar 40 tahun.
5. Sosial ekonomi
Pajanan polusi di dalam dan diluar ruangan, pemukiman yang padat, nutrisi yang jelek,
dan faktor lain yang berhubungan dengan status sosial-ekonomi kemungkinan dapat
menjelaskan hal ini. Malnutrisi dan penurunan berat badan dapat menurunkan kekuatan
dan ketahanan otot respirasi, karena penurunan massa otot dan kekuatan serabut otot.
6. Tumbuh kembang paru
Pertumbuhan paru berhubungan dengan proses selama kehamilan, kelahhiran dan pajanan
waktu kecil. Kecepatan maksimal penurunan fungsi paru seseorang adalah resiko untuk
terjadinya PPOK. Studi menyatakan bahwa berat badan lahir mempengaruhi nilai VEP
pada masa anak.
7. Asma
Pada laporan The Tucson Epidemiology Study didapatkan bahwa orang dengan asma 12
kali lebih tinggi resiko terkena PPOK daripada bukan asma meskipun telah berhenti
merokok. Penelitian lain, 20% dari asma akan berkembang menjadi PPOK dengan
ditemukannya obstruksi jalan nafas ireversibel.
8. Gen
PPOK adalah penyakit poligenik ddan contoh klasik dari interaksi gen-lingkungan.
Faktor resiko genetik yang paling sering terjadi adalah kekurangan -1 antitrypsin
sebagai inhibitor dari protease serin. Sifat resesif ini jarang, paling sering dijumpai pada
individu yang berasal dari Eropa Utara.
1.3 Patogenesis
Perubahan patologi pada PPOK mencakup saluran nafas yang besar dan kecil bahkan unit
respiratori terminal. Secara gamblang, terdapat 2 kondisi pada PPOK yang menjadi dasar
patologi yaitu bronkitis kronis dengan hipersekresi mukusnya dan emfisema paru yang ditandai
dengan pembesaran permanen dari ruang udara yang ada, mulai dari distal bronkiolus terminalis,
diikuti destruksi dindingnya tanpa fibrosis yang nyata.
Penyempitan saluran nafas tampak pada saluran nafas yang besar dan kecil yang
isebabkan oleh perubahan konstituen normal saluran nafas terhadap respon inflamasi yang
persisten. Epitel saluran nafas yang dibentuk oleh sel skuamous akan mengalami metaplasia, selsel silia mengalami atropi dan kelenjar mukus menjadi hipertropi. Proses ini akan direspon
dengan terjadinya remodeling saluran nafas tersebut, hanya saja proses remodeling ini justru
akan merangsang dan mempertahankan inflamasi yang terjadi dimana T CD8+ dan limfosit B
menginfiltrasi lesi tersebut. Saluran nafas
yang kecil akan memberikan beragam lesi penyempitan pada saluran nafasnya, termasuk
hiperplasia sel goblet, infiltrasi sel-sel radang pada mukosa dan submukosa,
peningkatan otot polos.
Pada emfisema paru yang dimulai dengan peningkatan jumlah alveolar dan septal dari
alveolus yang rusak, dapat terbagi atas emfisema sentrisinar ( sentrilobular ), emfisema panasinar
( panlobular ) dan emfisema periasinar ( perilobular ) yang sering dibahas dan skar emfisema
atau irreguler dan emfisema dengan bulla yang agak jarang dibahas. Pola kerusakan saluran
nafas pada emfisema ini menyebabkan terjadinya pembesaran rongga udara pada permukaan
saluran nafas yang kemudian menjadikan paru-paru menjadi terfiksasi pada saat proses inflasi.
inflamasi pada saluran nafas pasien PPOK merupakan suatu respon inflamasi yang diperkuat
terhadap iritasi kronik seperti asap rokok. Mekanisme ini yang rutin dibicarakan pada bronkit is
kronis, sedangkan pada emfisema paru, ketidak seimbangan pada protease dan anti protease serta
defisiensi 1 antitripsin menjadi dasar patogenesis PPOK. Proses inflamasi yang melibatkan
netrofil, makrofag dan limfosit akan melepaskan mediator-mediator inflamasi dan akan
berinteraksi dengan struktur sel pada saluran nafas dan parenkim. Secara umum, perubahan
struktur dan inflamasi saluran nafas ini meningkat seiring derajat keparahan penyakitdan
menetap meskipun setelah berhenti merokok.
Peningkatan netrofil, makrofag dan limfosit T di paru-paru akan memperberat keparahan
PPOK. Sel-sel inflamasi ini akan melepaskan beragam sitokin dan mediator yang berperan dalam
proses penyakit, diantaranya adalah leucotrien B chemotactic
factors seperti CXC chemokines, interlukin 8 dan growth related oncogene , TNF, IL-1 dan
TGF. Selain itu ketidakseimbangan aktifitas protease atau inaktifitas antiprotease, adanya stres
oksidatif dan paparan faktor risiko juga akan memacu proses inflamasi seperti produksi netrofil
dan makrofagserta aktivasi faktor transkripsi seperti nuclear factor sehingga terjadi lagi
pemacuan dari faktor-faktor inflamasi yang sebelumnya telah ada.
Hipersekresi mukus menyebabkan abtuk produktif yang kronik serta disfungsi silier
mempersulit proses ekspektorasi, pada akhirnya akan menyebabkan obstruksi saluran nafas pada
saluran nafas yang kecil dengan diameter < 2 mm dan air trapping pada emfisema paru. Proses
ini kemudian kan berlanjut kepada abnormalitas perbandingan ventilasi: perfusi yang pada tahap
lanjut dapat berupa hipoksemia arterial dengan atau
tanpa hiperkapnia. Progresifitas ini berlanjut kepada hipertensi pulmonal dimana abnormalitas
perubahan gas yang berat telah terjadi. Faktor konstriksi arteri pulmonalis
sebagai respon dari hipoksia, disfungsi endotel dan remodeling arteri pulmonalis (hipertropi dan
hiperplasi otot polos) dan destruksi Pulmonary capillary bad menjadi faktor yang turut
memberikan kontribusi terhadap hipertensi pulmonal.
Hambatan aliran udara pada saluran nafas, terkait dengan perubahan-perubahan seluler
dan struktural pada PPOK ketika proses inflamasi tersebut meluas keparenkim dan arteri
pulmonalis. Asap rokok diamati memang memancing reaksi inflamasi yang ditandai dengan
infiltrasi limfosit T, neutropil dan makrofag pada dinding saluran nafas. Disamping itu terjadi
juga pergeseran akan keseimbangan limfosit T CD4+ /CD8+, dimana limfosit T sitotoksik
(CD8+) akan menginfiltrasi saluran nafas sentral dan perifer. Neutrofil yang juga meningkat
pada kelenjar bronkus pasien dengan PPOK memberikan peranan yang penting juga terhadap
hipersekresi mukus, dimana hal ini kemudian memacu ekspresi gen IL-4 yang mengekspresikan
sejumlah besar sel-sel inflamasi pada subepitel bronkus dan kelenjar submukosa enghasil
sekret.TNF yang merupakan sitokin proinflamasi yang potensial akan berkoordinasi dan
menyebabkan peningkatan sitokin-sitokin lainnya seperti IL-1dan IL-6 yang kemudian akan
menginduksi angiogenesis. Peningkatan sitokin-sitoin diatas selain berada didalam saluran nafas,
juga beredar di sirkulasi sistemik. Peningkatan sitokin-sitokin proinflamasi pada saluran nafas
sebagai petanda inflamasi lokal, juga akan memberikan gambaran pada peningkatan sel-sel
inflamasi secara sistemik, termasuk didalamnya neutrofil dan limfosit pada gambaran darah tepi.
Asal inflamasi sistemik pada PPOK sebenarnya tidaklah terlalu jelas dimengerti, tetapi
terdapat beberapa jalur yang diperhitungkan dapat menjelaskan proses tersebut. Mekanisme
pertama yang telah diketahui luas adalah salah satu faktor risiko yaitu asap rokok. Selain
menyebabkan inflamasi pada saluran nafas, asap rokok sendiri secara independen menyebabkan
efek ekstra pulmoner seperti kejadian kardiovaskular dan inflamasi sistemik melalui stres
oksidatif sistemik dan disfungsi endotel vaskular perifer dan menariknya kejadian ini juga akan
dialami oleh perokok pasif meski hanya terpapar beberapa tahun. Mekanisme kedua yang
bertolak belakang dari mekanisme pertama menyatakan bahwa respon inflamasi lokal ber diri
sendiri, begitu juga inflamasi sistemik. Hal ini dibuktikan dari penelitian akan kadar TNF R dan
IL8 pada sputum yang ternyata meskipun tinggi pada sputum, ternyata tidak menunjukkan
adanya inflamasi sistemik yang berat. Begitu juga pada orang sehat yang dipaparkan akan
produk bakterial yang pro inflamasi,lipopolisakarida memang menunjukkan adanya proses
inflamasi lokal berupa kenaikan temperatur tubuh, reaktifitas saluran nafas dan penurunan FEV1,
hanya saja terjadi perbedaan dimana memang inflamasi sistemik tampak pada subjek yang
mengalami demam, tetapi tidak pada subjek yang hanya mengalami gangguan saluran nafas
tanpa demam. Mekanisme ketiga yang diduga adalah hipoksia, dan ini merupakan masalah
berulang pada PPOK, dimana hipoksia yang terjadi akibat penyempitan saluran nafas, akan
mengaktivasi sistem TNFdan makrofag yang menyebabkan peningkatan sitokin proinflamasi
pada sirkulasi perifer.
TNF Alpha pada PPOK.
TNF Alpha atau sinonim lainnya Lymphotoxin B, Cachectin adalah sitokin inflamasi
pleotropik. Teori tentang respon anti tumoral dari sistim imun secara in vivo sudah di ketahui
sejak 100 tahun yang lalu oleh seorang medis William B. Coley. Pada tahun 1968 Dr. Gale A
Granger dari University of California melaporkan adanya faktor sitotoksik yang dihasilkan oleh
lymphocyte dan diberi nama Lymphotoxin (LT). Sesudah itu pada tahun 1975 Dr. Lloyd J. Old
dari Memorial Sloan-Kettering Cancer Center, New York, melaporkan faktor sitotoksik lainnya
yang diproduksi oleh makrofag dan diberi nama Tumor Necrosis Factor (TNF). Tumor Necrosis
Factor (TNF)- adalah sitokin pleotropik yang memiliki efek yang bermacam-macam, seperti
growth
promotion,
growth
inhibition,
angiogenesis,
cytotoxicity,
inflammation,
dan
keduanya
tmTNFdan
solTNFmerupakan
bentuk
biologi
yang
aktif.
Keseimbangan antara tmTNF dan solTNF memberikan signal yang dapat mempengaruhi tipe
dari sel, aktivasi dari sel, dan menstimulus produksi dari TNF, aktifitas TACE, dan ekspresi dari
endogenous TACE inhibitors merupakan petunjuk efek dari penyimpangan TNF mediated pada
kelangsungan hidup sel. Alveolar macrophages memainkan peranan yang penting sebagai
imunitas bawaan dan didapat., yang berperan sebagai pertahanan patogen terhadap paru-paru,
pembersih dari partikel-partikel inhalasi dan respon inflamasi. Alveolar macrophages memiliki
tempat yang unik di dalam tubuh, karena mereka berlokasi diantara penghubung yaitu udara dan
jaringan paru-paru, dan bertindak sebagai pertahan pertama terhadap pertikel-partikel. inhalasi
yang berasal dari udara. Normalnya alveolar macrophages berjumlah kurang lebih 95% dari
leukosit airspace , serta 1 sampai 4% limphosit dan hanya 1% neutophil, ini adalah alasannya
bahwa alveolar macrophages berhubungan dengan sel phagositosis dari sistem imun bawaan
pada paru-paru. Sel ini memegang peranan sebagai poros dari proses inflamasi pada PPOK.
Alveolar macrophages mengalami kenaikan (5-10 kali) pada saluran nafas, parenkim paru,
Broncho Alveolar Lavage (BAL) dan sputum pada penderita PPOK yang merokok dan
peningkatan jumlah makrophag ini juga berhubungan dengan tingkat keparahan dari
PPOK.Paparan asap rokok memang merupakan penyebab tersering dari PPOK, di mana sebagai
akibat dari asap rokok ini akan mengaktivasi makrofag untuk melepaskan beberapa mediator
inflamasi, salah satunya adalah TNF.
TNF di percaya memerankan perana n yang sangat penting terhadap patofisiologi dari
PPOK. TNF di perlihatkan pada binatang percobaan yang dapat menginduksi perubahan
patologi pada PPOK, termasuk infiltrasi sel inflamasi pada paru-paru, fibrosis paru dan
emphisema. Secara In vivo peninggian kadar TNF juga dapat di jumpai pada darah perifer,
biopsi bronkhial, induksi sputum dan BAL dari pasien-pasien PPOK stabil yang dibandingkan
dengan kontrol.
1.4 Patofisiologi
Bronchitis kronis disebabkan oleh obstruksi jalan napas akibat inflamasi mukosa kronik,
hipertropi kelenjar mukosa, dan hipersekresi mukusm bersamaan dengan bronkospasme.
Keadaan tersebut didefenisikan sebagai batuk dan produksi mucus berlebihan setiap pagi hari
selama 3 bulan dalam 2 tahun berturut-turut, tanpa ditemukannya tumor jalan napas, infeksi
akut/kronik, atau penyakit jantung yang tidak terkontrol. Sebagian besar pasien memiliki
kapasitas paru total, kapasitas residual fungsional, volume residual, dan compliance paru static
yang normal. Pasien dengan bronchitis kronik lanjut mengalami penurunan dorongan respirasi
dan retensi Co2 yang berhubungan dengan nadi kuat, vasodilatasi, konfusi, nyeri kepala, flapping
tremor dan edema papil. Hipoksemia sebagian besar disebabkan oleh ketidakcocokan V/Q dan
menyebabkan polisitemia dan peningkatan tekanan arteri pulmonalis akibat vasokonstriksi paru
hipoksik. Gangguang yang terjadi pada fungsi jantung kanan menyebabkan retensi cairan oleh
ginjal, peningkatan tekanan vena sentralis, dan edema perifer. Keadaan tersebut menyebabkan
kor pulmonal.
Emfisema disebabkan oleh destruksi progresif septum alveolar dan kapiler yang
menyebabkan jalan napas dan ruang udara yang membesar, recoil elastic paru yang menurun,
dan jalan napas yang semakin mudah mengalami kolaps. Obstruksi jalan napas yang disebabkan
oleh kolaps jalan napas distal selama ekspirasi akibat hilangnya traksi radial elastic terjadi pada
paru normal. Hiperinflasi yang terjadi meningkatkan aliran udara ekspirasi tetapi otot inspirasi
bekerja
dengan
kerugian
mekanis.
Patofisiologi
emfisema
dapat
melibatkan
suatu
peningkatan TLC, FRC, dan RV ppeningkatan compliance paru static. Pasien tersebut cenderung
sulit bernapas dan takipnea saat istirahat dengan tanda tanda hiperinflasi dan malnutrisi yang
meliputi barrel chest dan tubuh kurus penggunaan otot ekspirasi tambahan dan bernapas dengan
mengerutkan bibir.
1.5.
Gejala
Keterangan
Sesak Nafas
Batuk kronik
2. Pemeriksaan fisis
Pada inspeksi dijumpai pursed lips breathingm barell chest, penggunaan otot bantu nafas,
hipertrofi otot bantu nafas, pelebaran sela iga, bila terjadi gagal jantung kanan terlihat
peningkatan TVJ, penampilan pink puffer atau blue bloater.
Pada palpasi jika emfisema dijumpai fremitus melemah, sela iga melebar, perkusi jika
emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak diafragma rendah, hati terdorong
ke bawah
Pada auskultasi dijumpai suara nafas vesikuler normal atau melemah, terdapat ronki dan
atau mengi pada waktu bernafas biasa atau paa ekspirasi paksa, ekspirasi memanjang, dan
bunyi jantung terengar jauh.
Pemeriksaan rutin
1. Fungsi paru
Obstruksi jika VEP1 < 80%, VEP1 merupakan parameter paling umum yang dipakai
untuk menilai beratnya PPOK dan memantau perjalanan penyakit
2. Uji bronkodilator
Dilakukan dengan menggunakan spirometri apabila tidak teradapat APE meter. Setelah
pemberian bronkoilator inhalasi sebanyak 8 kali, 15-20 menit kemudian ilihat perubahan
nilai VEP1/APE. Pada PPOK peruubahan nilai VEP1/APE < 20% dan < 200ml dari nilai
awal. Uji ini dilakukan pada PPOK stabil
3. Laboratorium darah
Dilakukan pemeriksaan Hb, Ht, trombosit, leukosit, dan AGDA
4. Radiologi
Pemeriksaan lanjutan
1. Fungi paru lengkap
2. Uji latih kardiopulmoner
3. Uji provokasi bronkus
4. Analisis gas darah
5. Radiologi
6. Ekg
7. Echokardiografi
8. Bakteriologi
9. Kadar alfa-1 antitripsin
10
1.6.
Diagnosis Banding
Diagnosis banding dari PPOK
Diagnosis
Gejala
PPOK
Asma
Bronkiektasis
Tuberkulosis
11
Konfirmasi mikrobiologi
Prevalensi tinggi pada daerah endemis
Bronkiolitis obliterans
Panbronkiolitis difuse
1.7.
Penatalaksanaan
Mengurangi gejala
Mencegah progresifitas penyakit
Meningkatkan toleransi latihan
Meningkatkan status kesehatan
Mencegah dan menangani komplikasi
Mencegah dan menangani eksaserbasi
Menurunkan kematian
Edukasi
Berhenti merokok
Obat obatan
Rehabilitasi
Terapi oksigen
Ventilasi mekanis
Nutrisi
12
1.
Edukasi
Edukasi diberikan untuk memberi semangat hidup pada pasien PPOK meskipun dengan
keterbatasan akitivitas. Edukasi diberikan sejak ditentukan diagnosis dan berlanjut secara
berulang pada setiap kunjungan.
Tujuan edukasi pada pasien PPOK :
Agar edukasi dapat diterima maka bahan edukasi dapat ditentukan berasarkan skala
prioritas:
2.
Berhenti merokok
Penggunaan obat obatan
Penggunaan oksigen
Mengenal dan mengatasi efek samping obat
Peniaian dini eksaserbasi akut dan pengelolaannya
Mendeteksi dan menghindari pencetus eksaserbasi
Menyesuaikan kebiasaan hidup dengan keterbatasan aktivitas
Berhenti merokok
Strategi untuk membantu pasien berhenti merokok 5A:
a.
b.
c.
d.
e.
3.
Ask (Tanyakan)
Advise (Nasihati)
Assess (Nilai)
Assist (Bimbing)
Arrange (Atur)
Obat obatan
13
Bronkodilator
Diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis bronkodilator dan
disesuaikan dengan klasifikasi derajat berat penyakit. Pemilihan bentuk obat
diutamakan inhalasi, nebulizer tidak dianjurkan untuk penggunaan jangka
panjang. Pada derajat berat diutamakan pemberian obat lepas lambat atau obat
berefek panjang.
Macam macam bronkodilator :
-
Golongan antikolinergik
Pada derajat ringan sampai berat, disamping bronkodilator juga mengurangi
sekresi mukus (maskimal 4 kali per hari)
Gologan xantin
Dalam bentuk lepas lambat sebagai pengobatan pemeliharaan jangka panjang,
terutama pada derajat sedang dan berat. Bentuk tablet biasa atau puyer untuk
mengatasi sesak, bentuk suntikan bolus atau drip untuk mengatasi eksaserbasi
akut.
Penggunaan jangka panjang diperlukan pemeriksaan kadar aminofilin darah.
Antiinflamasi
Digunakan bila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral atau injeksi intravena,
berfungsi menekan inflamasi yang terjadi, dipilih golongan metilprednisolon atau
prednison. Bentuk inhalasi sebagai terapi jangka panjang diberikan bila terbukti
14
Antibiotika
Hanya diberikan bila terdapat eksaserbasi
Antioksidan
Dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualitas hidup, digunakan Nasetilsistein. Dapat diberikan pada PPOK dengan eksaserbasi yang sering, tidak
dianjurkan sebagai permberian yang rutin.
Mukolitik
Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut karena akan mempercepat
perbaikan eksaserbasi, terutama pada bronkitis kronis dengan sputum yang kental.
Mengurangi eksaserbasi pada PPOK bronkitis kronik, tetapi tidak dianjurkan
sebagai pemberian rutin
Antitusif
Diberikan dengan hati hati
Phospoiesterase-4 inhibitor
Diberikan kepada pasien dengan derajat III atau derajat IV dan memiliki riwayat
eksaserbasi dan bronkitis kronik. Phospodiesterase-4 inhibitor, roflumilast dapat
mengurangi, diberikan secara oral dengan glukokortikosteroid. Roflumilast juga
dapat mengurani eksaserbasi jika dikombinasikan dengan LABA. Sejauh ini
belum ada penelitian yang membandingkan Roflumilast dengan
glukokortikosteroid inhalasi.
4.
Rehabilitasi
Tujuan dari program rehabiliasi adaualh untuk meningkatkan toleransi teradap latihan
dah memperbaiki ualitas hidup pasien PPOK. Pasien yang dimasukkan dalam program
rehabilitasi adalah mereka yang telah mendapatkan pengobatan optimal yang disertai
dengan simptom pernafasan berat, beberapa kali masuk ruang gawat darurat, kualitas
hidup menurun.
Program rehabilitasi terdiri dari tiga komponen, yaitu latihan fisis, psikososial, dan
latihan pernafasan. Latihan fisik berguna unutk memperbaiki efisiensi dan kapasitas
15
sistem transportasi oksigen latihan fisik terdiri dari latihan untuk meningkatkan
kemampuan otot pernafasan sehingga kemampuan otot perafasan membaik dan dapat
memperbaiki kualitas hidup serta latihan daya tahan.
Program latihan setiap harinya 15-30 menit selama 4-7 hari perminggu. Bentuk latihan
yang cocok untuk pasien di rumah adalah ergometri dan jogging.
5.
Terapi oksigen
Pemeberian terapi oksigen penting umtuk mempertahankan oksigenisasi jaringan dan
mencegah kerusakan sel baik di otot maupun tempat lain.
Manfaas oksigen
Mengurangi sesak
Memperbaiki aktifitas
Mengurangi hipertensi pulmoner
Mengurangi vasokonstriksi
Mengurangi hematokrit
Memperbaiki fungsi neuropsikiatri
Meningkatkan kualitas hidup
Indikasi pemberian aalah saat PaO2 <60 mmHg atau saturasi oksigen <90% juga pada
PaO2 55-59mmhg atau saturasi oksigen >89% disertasi corpumonale, perubahan p
pulmonal, Ht > 55% dan tanda tanda gagal jantung kanan, sleep apnea, dan penyakit paru
lain.
6.
Ventilasi mekanis
Ventilasi mekanis diberikan pada pasien gagal nafas akut diberkan dengan atau tanpa
intubasi
7.
Nutrsi
Malnutrisi sering terjai pada PPOK, kemungkinan karena bertambahnya kebutuhan
energi akubat kerja muskulus repirasi yang meningkat karena hipoksemia kronik dan
hiperkapnia menyebabkan terjadi hipermetabolisme
Malnutrisi dapat dievaluasi dengan cara penurunan berat badan, kadar albumin darah,
antropometri, dan pengukuran kekuatan otot.
Gangguan keseimbangan elektrolit sering terjadi pada PPOK karena berkurangnya
fungsi muskulus respirasi sebagai akibat sekunder dari gangguan ventilasi. Gangguan
elektrolit yang terjadi adalah hipophospatemi, hiperkalemi, hipokalemi, hipomagnesemi.
Gangguan ini dapat mempengaruhi fungsi diafragma.
16
2.1 Komplikasi
PPOK merupakan penyakit progresif, fungsi paru memburuk dari waktu ke waktu,
bahkan dengan perawatan terbaik. Gejala dan perubahan obstrusi salran nafas harus dipantau
untuk menentukan modifikasi terapi dan menentukan komplikasi. Pada penilaian awal saat
kunujungan harus mencakup gejala, terutama gejala baru arau perburukan dan pemeriksaan fisik.
Komplikasi pada PPOK merupakan bentuk perjalanan penyakit yang progresif dan tidak
sepenuhnya refersibel seperti gagal nafas, infeksi berulang, dan cor pulmonale.
Gagal nafas kronis ditandai dengan hasil analisis gas darah PO2 <60 mmHg dan pH
normal, penatalaksanaan dengan menjaga keseimbangan pO2 dan pCO2, bronkodilator yang
adekuat, terpai oksigen antioksian, latihan pernafasan engan pursed lips breathing.
Gagal nafas akut pada gagal nafas kronis ditandai dengan sesak nafas bertambah, sputum
bertambah, demam, kesadaran menurun.
Pada pasien PPOK produksi sputum berlebihan menyebabkan terbentuk koloni kuman
sehingga memudahkan infeksi berulang, pada kondisi kronis imunitas akan menurun ditandai
dengan penurunan kadar limfosit darah.
Corpulmonale ditandai dengan P Pulmonal pada EKG, hematokrit >50%, dapat disertai
gagal jantung kanan.
BAB 3
LAPORAN KASUS
17
Nama
: Mulana Sarumpaet
No.RM
: 00.61.85.78
: 01 Februari 1953
Pekerjaan
: Mandor bangunan
Alamat
: Kisaran
ANAMNESIS PENYAKIT
Keluhan Utama : sesak nafas
Telaah
: sesak nafas ini dialami o.s dalam 2 bulan belakangan ini namun memberat dalam 1
minggu ini. Sesak nafas dirasakan o.s secara terus menerus. O.s juga mengeluhkan
adanya suara berbunyi saat sesak nafas berlangsung. Riwayat sesak nafas sebelumnya
dijumpai. Riwayat nafas berbunyi dijumpai. Riwayat sesak nafas pada malam hari
sampai terbangun disangkal. Riwayat tidur dengan menggunakan 2-3 bantal disangkal.
Riwayat sesak berhubungan dengan cuaca disangkal.
o.s juga mengelukan adanya batuk dalam 1 minggu ini. Batuk disertai dahak berwarna
putih dan encer dengan volume dahak sendok makan perkali batuk tanpa adanya bau.
Riwayat batuk berdarah tidak dijumpai.
Riwayat nyeri dada tidak dijumpai.Demam tidak dijumpai. Penurunan nafsu makan dan
penurunan berat badan disangkal o.s. riwayat keringat malam hari tidak dijumpai.
Riwayat kaki bengkak juga disangkal o.s.
Riwayat merokok dijumpai dalam selama 40 tahun sebanyak 20 batang perhari.
Riwayat konsumsi OAT disangkal.
18
STATUS PRESENS
Keadaan umum:
Keadaan penyakit:
Sensorium
: compos mentis
Dispnoe
: (+)
Tekanan darah
: 130/80mmHg
Anemia
: (-)
Nadi
: 84 x/ menit
Sianosis
Pernafasan
: 28x/ menit
Ikterus
: (-)
Temperatur
: 36,7 oC
Edema
: (-)
: (-)
STATUS LOKALISATA
KEPALA
Mata
Telinga
Hidung
Mulut
LEHER
TVJ
: R+2 cmH2O
Pembesaran KGB
: (-)
THORAX DEPAN
Inspeksi
Bentuk
Pergerakan
: simetris fusiformis
Palpasi
19
Lap. paru atas
Perkusi
Lap. paru atas
: hipersonor
: hipersonor
: hipersonor
Paru
Batas paru-hati
Peranjakan
: 1 cm
Jantung
Batas atas
: ICR II sinistra
Batas kanan
Batas bawah
: 1 cm medial LMCS
Auskultasi
Lapangan paru
Atas
Tengah
Bawah
Kanan
Kiri
SP : melemah
SP : melemah
SP : melemah
SP : melemah
SP : melemah
SP : melemah
20
THORAX BELAKANG
Inspeksi
Bentuk
Pergerakan
: simetris fusiformis
Palpasi
Lap. paru atas
Perkusi
Lap. paru atas
: hipersonor
: hipersonor
: hipersonor
Paru
Batas paru-hati
Peranjakan
: 1 cm
Jantung
Batas atas
: ICR II sinistra
Batas kanan
Batas bawah
: 1 cm medial LMCS
Auskultasi
Lapangan paru
Atas
Kanan
Kiri
SP : melemah
SP : melemah
21
Tengah
Bawah
SP : melemah
SP : melemah
SP : melemah
SP : melemah
ABDOMEN
Hepar/lien/renal
: tidak teraba
EKSTREMITAS
Atas/ bawah
: edema -/-
3. Follow Up Pasien
04/10
Sesak
nafas
Sens: CM
PPOK eksaserbasi
akut
TD : 140/70
HR : 84
RR : 28
Temp : 36,5
C
05/10
Sesak
nafas
Sens: CM
PPOK
22
TD : 120/70
eksaserbasi
akut
Inj. Ceftriaxone
1 gr/12 jam
Inj.
Metilprednisolo
ne 125 mg/8jam
Inj. Ranitidine
50 mg/12jam
Neb. Combivent
2,5 mg/6jam
Rataphyl tab
2x1/2
Lasix tab 40 mg
1x1
Spironolactone
25 mg 2x1
PPOK
eksaserbasi
akut
PPOK
eksaserbasi
akut + CHF
Fc. II-III e.c.
CAD
HR : 90
RR : 28
Temp : 36,3 C
06/10
Sesak
nafas
Sens: CM
TD : 120/80
HR : 88
RR : 28
Temp : 36,5 C
07/10
Sesak
nafas
Sens: CM
TD : 110/70
HR : 84
23
RR : 26
ne 125 mg/8jam
Inj. Ranitidine
50 mg/12jam
Neb. Combivent
2,5 mg/6jam
Rataphyl tab
2x1/2
Lasix tab 40 mg
1x1
Spironolactone
1x25 mg
Inj. Furosemide
20 mg/8jam
Aspilet 1x80 mg
Temp : 36,2 C
08/10
Sens: CM
Sesak
nafas
Nyeri dada TD : 100/60
kanan
HR : 80
RR : 26
Temp : 36,2 C
: 16,3 g%
Eritrosit
: 5,3 x 106/mm3
Leukosit
: 8,77 x 103/mm3
PPOK
eksaserbasi
akut + CHF
Fc. II-III e.c.
CAD
24
Trombosit
: 210.000/mm3
Hematokrit
: 51,6 %
KGD puasa
: 254 mg/dl
: 9,1 %
Natrium
: 135 mEq/l
Kalium
: 3,8 mEq/l
Klorida
: 95 mEq/l
Ureum
: 24 mg / dL
Kreatinin
: 0,37 mg / dL
pH
: 7,532
pCO2
: 35,2 mmHg
pO2
: 181,8 mmHg
HCO3
: 28,9 mmol/l
Total CO2
: 30 mmol/l
BE
: 6,3 mmol/l
Saturasi O2
: 99,7%
25
BAB 3
KESIMPULAN