You are on page 1of 16

Tetanus

Theresia Lolita Setiawan


102012355
F6
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jalan Arjuna Utara No.6 Jakarta Barat 11510
Email: theresialolitasetiawan@yahoo.com

Pendahuluan
Tetanus terjadi secara sporadis dan hampir selalu menimpa individu non imun,
individu dengan imunitas parsial dan individu dengan imunitas penuh yang kemudian gagal
mempertahankan imunitas secara adekuat dengan vaksinasi ulangan. Walaupun tetanus dapat
dicegah dengan imunisasi, tetanus masih merupakan penyakit yang membebani di seluruh
dunia terutama di negara beriklim tropis dan negara-negara yang sedang berkembang, sering
terjadi di Brazil, Filipina, Vietnam, Indonesia, dan negara lain di benua Asia. Penyakit ini
umum terjadi di daerah pertanian, di daerah pedesaan, pada daerah dengan iklim hangat,
selama musim panas dan penduduk pria. Pada negara-negara tanpa program imunisasi yang
komprehensif, tetanus terutama terjadi pada neonatus dan anak-anak.
Anamnesis

Riwayat mendapat trauma (terutama luka tusuk), pemotongan dan perawatan tali
pusat yang tidak steril, riwayat menderita otitis media supurativa kronik (OMSK),

atau gangren gigi.


Riwayat anak tidak diimunisasi/tidak lengkap imunisasi tetanus/BUMIL/WUS.

Pemeriksaan Fisik
1. Sistem pernafasan: dyspnea asfiksia dan sianosis akibat kontraksi pernafasan.
2. Sistem kardiovaskuler: disritmia, takikardi, hipertensi dan pendarahan, suhu tubuh
awalnya 38-40.
3. Sistem neurologis: irritability (awal), kelemahan, konvulsi (akhir), kelumpuhan satu
atau beberapa saraf otak.
4. Sistem perkemihan: retensi urin (distensi kandung kemih dan urin output tidak
ada/oliguria.
5. Sistem pencernaan: konstipasi akibat tidak ada pergerakan usus.

6. Sistem integument dan muskuloskeletal: nyeri kesemutan pada tempat luka,


berkeringat, pada awalnya didahului trismus, spasme otot muka dengan peningkatan
kontraksi alis mata, otot kaku dan kesulitan menelan.
7. Apabila hal ini berlanjut terus maka akan terjadi status konvulsi dan kejang umum.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium kurang menunjang dalam diagnosis. Pada pemeriksaan
darah rutin tidak ditemukan nilai-nilai yang spesifik; leukosit dapat normal atau dapat
meningkat. SGOT, CPK dan serum aldolase sedikit meninggi karena kekakuan otot-otot
tubuh. Pemeriksaan cairan serebrospinalis dalam batas normal, walaupun kadang-kadang
didapatkan tekanan meningkat akibat kontraksi otot. Pemeriksaan elektroensefalogram adalah
normal dan pada pemeriksaan elektromiografi hasilnya tidak spesifik.
Diagnosis Banding
Luka
Luka adalah hilang atau pun rusaknya sebagian dari jaringan tubuh. Keadaan luka ini
banyak faktor penyebabnya. Diantara penyebab dari luka adalah dapat trauma benda tajam
atau tumpul, ledakan, zat kimia, perubahan suhu, sengatan listrik, atau pun gigitan hewan.
Adapun tipe penyebab luka adalah :
1. Vulnus Laceratum (Laserasi/Robek)
Jenis luka ini disebabkan oleh karena benturan dengan benda tumpul, dengan ciri luka
tepi luka tidak rata dan perdarahan sedikit luka dan meningkatkan resiko infeksi.
2. Vulnus Excoriasi (Luka Lecet)
Penyebab luka karena kecelakaan atau jatuh yang menyebabkan lecet pada permukaan
kulit merupakan luka terbuka tetapi yang terkena hanya daerah kulit.
3. Vulnus Punctum (Luka Tusuk)
Penyebab adalah benda runcing tajam atau sesuatu yang masuk ke dalam kulit,
merupakan luka terbuka dari luar tampak kecil tapi didalam mungkin rusak berat, jika
yang mengenai abdomen/thorax disebut vulnus penetrosum (luka tembus).
4. Vulnus Contussum (Luka Kontusio)
Penyebab luka karena benturan benda yang keras. Luka ini merupakan luka tertutup,
akibat dari kerusakan pada soft tissue dan ruptur pada pembuluh darah menyebabkan
nyeri dan berdarah (hematoma) bila kecil maka akan diserap oleh jaringan di sekitarya
jika organ dalam terbentur dapat menyebabkan akibat yang serius.
5. Vulnus Scissum/Insivum (Luka Sayat)

Penyebab dari luka jenis ini adalah sayatan benda tajam atau jarum merupakan luka
terbuka akibat dari terapi untuk dilakukan tindakan invasif, tepi luka tajam dan licin.
6. Vulnus Schlopetorum (Luka Tembak)
Penyebabnya adalah tembakan, granat. Pada pinggiran luka tampak kehitam-hitaman,
bisa tidak teratur kadang ditemukan corpus alienum.
7. Vulnus Morsum (Luka Gigitan)
Penyebab adalah gigitan binatang atau manusia, kemungkinan infeksi besar bentuk
luka tergantung dari bentuk gigi.
8. Vulnus Perforatum (Luka Tembus)
Luka jenis ini merupakan luka tembus atau luka jebol. Penyebab oleh karena panah,
tombak atau proses infeksi yang meluas hingga melewati selaput serosa/epithel organ
jaringan.
9. Vulnus Amputatum (Luka Terpotong)
Luka potong, pancung dengan penyebab benda tajam ukuran besar/berat, gergaji.
Luka membentuk lingkaran sesuai dengan organ yang dipotong. Perdarahan hebat,
resiko infeksi tinggi, terdapat gejala pathom limb.
10. Vulnus Combustion (Luka Bakar)
Penyebab oleh karena thermis, radiasi, elektrik ataupun kimia Jaringan kulit rusak
dengan berbagai derajat mulai dari lepuh (bula carbonisasi/hangus). Sensasi nyeri
dan atau anesthesia.
Proses Penyembuhan Luka
Penyembuhan Primer

Fase Inflamasi (Reaksi)


Inflamasi merupakan reaksi tubuh terhadap luka yang dimulai setelah beberapa menit
dan berlangsung selama sekitar 3 hari setelah cedera.
Proses perbaikan terdiri dari mengontrol perdarahan (hemostatis), mengirim darah dan
sel ke area yang mengalami cedera (inflamasi), dan membentuk sel-sel epitel pada
tempat cedera (epitelialisasi). Selama proses hemostatis, pembuluh darah yang cedera
akan mengalami konstriksi dan trombosit berkumpul untuk menghentikan perdarahan.
Bekuan-bekuan darah membentuk matriks fibrin yang nantinya akan menjadi
kerangka untuk perbaikan sel.

Fase Proliferasi (Regenerasi)

Fase proliferasi terjadi dalam waktu 3-24 hari. Aktivitas utama selama fase regenerasi
ini adalah mengisi luka dengan jaringan penyambung atau jaringan granulasi yang
baru dan menutup bagian atas luka dengan epitelisasi

Maturasi (Remodeling)
Maturasi, yang merupakan tahap akhir proses penyembuhan luka, dapat memerlukan
waktu lebih dari satu tahun, bergantung pada kedalaman dan kaluasan luka. Serat
kolagen mengalami remodeling atau reorganisasi sebelum mencapai bentuk normal.

Penyembuhan Sekunder
Luka dengan jaringan yang hilang, seperti luka bakar, luka tekan atau luka laserasi
yang parah akan mengalami penyembuhan sekunder. Penyembuhan sekunder memerlukan
waktu yang lebih lama sehingga kemungkinan terjadinya infeksi lebih besar. Tepi luka tidak
saling berdekatan. Luka akan tetap terbuka hingga terisi oleh jaringan parut. Luka terbuka
yang besar biasanya lebih banyak mengeluarkan cairan dari pada luka tertutup. Inflamasi
yang terjadi sering kali bersifat kronik dan jaringan yang ruasak lebih banyak dipenuhi oleh
jaringan granulasi yangrapuh daripada dipenuhi oleh kolagen.
Diagnosis Kerja
Tetanus
Tetanus adalah gangguan neurologis yang ditandai dengan meningkatnya tonus otot
dan spasme, yang disebabkan oleh tetanospamin, suatu toksin protein yang kuat yang
dihasilkan oleh Clostridium Tetani. Terdapat beberapa bentuk klinis tetanus termasuk di
dalamnya tetanus neonatorum, tetanus generalisata, dan gangguan neurologis lokal.
Tetanus disebabkan oleh basil gram positif, Clostridium tetani. Bakteri ini terdapat
dimana-mana, dengan habitat alamnya di tanah, tetapi dapat juga diisolasi dari kotoran
binatang peliharaan dan manusia. Clostridium tetani merupakan bakteri gram positif
berbentuk batang yang selalu bergerak dan merupakan bakteri anaerob obligat yang
menghasilkan spora. Spora yang dihasilkan tidak berwarna, berbentuk oval, menyerupai raket
tenes atau paha ayam. Spora ini dapat bertahan selama bertahun-tahun pada lingkungan
tertentu, tahan terhadap sinar matahari dan bersifat resisten terhadap berbagai desinfektan dan
pendidihan selama 20 menit. Spora bakteri ini dihancurkan secara tidak sempurna dengan

mendidihkan, tetapi dapat dieliminasi dengan autoklav pada tekanan 1 atmosfir dan 120C
selama 15 menit.
Sel yang terinfeksi oleh bakteri ini dengan mudah dapat diinaktifasi dan bersifat
sensitif terhadap beberapa antibiotik (metronidazol, penisilin dan lainnya). Bakteri ini jarang
dikultur, karena diagnosanya berdasarkan klinis. Clostridium tetani menghasilkan efek-efek
klinis melalui eksotoksin yang kuat.

Gambar. Clostridium Tetani.


Tetanus Neonatorum
Tetanus neonatorum biasanya terjadi dalam bentuk generalisata dan biasanya fatal
apabila tidak diterapi. Tetanus neonatorum terjadi pada anak-anak yang dilahirkan dari ibu
yang tidak diimunisasi secara adekuat, terutama setelah perawatan bekas potongan tali pusat
yang tidak steril. Resiko infeksi tergantung pada panjang tali pusat, kebersihan lingkungan,
dan kebersihan saat mengikat dan memotong umbilikus. Onset biasanya dalam 2 minggu
pertama kehidupan.
Rigiditas, sulit menelan ASI, iritabilitas dan spasme merupakan gambaran khas
tetanus neonatorum. Di antara neonatus yang terinfeksi, 90% meninggal dan retardasi mental
terjadi pada yang bertahan hidup.
Tetanus Lokal
Tetanus lokal merupakan bentuk yang jarang dimana manisfestasinya klinisnya
terbatas hanya pada otot-otot di sekitar luka. Kelemahan otot dapat terjadi akibat akibat peran
toksin pada tempat hubungan neuromuskuler. Gejala-gejalanya bersifat ringan dan dapat

bertahan sampai berbulan-bulan. Progresi ke tetanus generalisata dapat terjadi. Namun


demikian secara umum prognosisnya baik.
Tetanus Sefalik
Tetanus sefalik merupakan bentuk yang jarang dari tetanus lokal, yang terjadi setelah
trauma kepala atau infeksi telinga. Masa inkubasinya 1-2 hari. Dijumpai trismus dan
disfungsi satu atau lebih saraf kranial, yang tersering saraf ke-7. Disfagia dan paralisis otot
ekstraokular dapat terjadi. Mortalitasnya tinggi.
Derajat Keparahan
Klasifikasi beratnya tetanus:

Derajat I (ringan): Trismus ringan sampai sedang, spastisitas generalisata, tanpa

gangguan pernafasan, tanpa spasme, sedikit atau tanpa disfagia.


Derajat II (sedang): Trismus sedang, rigiditas yang nampak jelas, spasme singkat
ringan sampai sedang, gangguan pernafasan sedang dengan frekuensi pernafasan lebih

dari 30, disfagia ringan.


Derajat III (berat): Trismus berat, spastisitas generalisata, spasme refleks
berkepanjangan, frekuensi pernafasan lebih dari 40, serangan apnea, disfagia berat

dan takikardia lebih dari 120.


Derajat IV (sangat berat): Derajat tiga dengan gangguan otonomik berat melibatkan
sistem kardiovaskuler. Hipertensi berat dan takikardia terjadi berselingan dengan
hipotensi dan bradikardia, salah satunya dapat menetap.

Gejala Klinis
Masa inkubasi berkisar antara tiga hari sampai empat minggu, kadang lebih lama lagi,
rata-rata 8 hari. Beratnya penyakit berhubungan erat dengan masa inkubasi. Makin pendek
masa inkubasi maka makin buruk prognosis penyakit. Angka kematian pada pasien yang
masa inkubasinya kurang dari satu minggu umumya tinggi. Masa inkubasi rata-rata pada
pasienyang akhirnya meninggal adalah sekitar tujuh hari, sedangkan pada pasien yang
sembuh sekitar sebelas hari.

Tetanus dapat timbul sebagai tetanus lokal, terutama pada orang yang telah mendapat
imunisasi. Gejalanya berupa kaku persisten pada kelompok otot didekat luka yang
terkontaminasi basil tetanus. Kadang pada trauma kepala timbul tetanus lokal tipe sefalik.
Dalam hal ini terjadi fenomena motorik sesuai dengan serabut kepala yang terkena (N III, IV,
V, VI, VII, IX, X dan XII). Penting diperhatikan bahwa kaku otot di sekitar luka mungkin
merupakan gejala tetanus.
Yang paling sering terjadi adalah tetanus umum. Gejala pertama yang terlihat dan
dirasakan pasien adalah kaku otot masseter yang mengakibatkan ganguan membuka mulut
(trismus). Selanjutnya timbul opistotonus yang disebabkan oleh kaku kuduk, kaku leher, dan
kaku punggung. Selain dinding perut yang menjadi keras seperti papan, tampak risus
sardonikus karena kaku otot wajah dan kekakuan ekstremitas. Penderita sangat terganggu
oleh gangguan menelan.
Keluhan konstipasi, nyeri kepala, berdebar dan berkeringat sering dijumpai. Pada
umumnya ditemukan demam serta peningkatan frekuensi napas. Kejang otot yang merupakan
kekakuan karena hipertonus dan tidak bersifat klonus dapat timbul hanya karena rangsangan
yang lemah seperti bunyi-bunyian dan cahaya. Selama sakit, sensorium tidak terganggu
sehingga hal ini menimbulkan penderitan bagi pasien karena merasa nyeri akibat kaku otot.
Selanjutnya dapat timbul gangguan pernafasan yang mengakibatkan anoksia dan kematian.
Penyebab kematian merupakan kombinasi berbagai keadaan seperti kelelahan otot
nafas, infeksi sekunder di paru yang menyebabkan kegagalan pernafasan serta gangguan
keseimbangan cairan dan elektrolit.

Patofisiologi
Radang
Bila jaringan cedera misalnya karena terbakar, teriris atau karena infeksi oleh kuman
maka pada jaringan ini akan terjadi serangkaian reaksi yang menyebabkan musnahnya agenagen yang membahayakan atau yang mencegah agen ini menyebar lebih luas. Reaksi-reaksi
ini kemudian juga menyebabkan jaringan yang cedera diperbaiki atau diganti dengan yang
baru.

Tanda-tanda Radang

Rubor (redness) adalah kemerahan terjadi karena pelebaran pembuluh darah pada

jaringan yang mengalami gangguan.


Kalor (heat) adalah panas akibat bertambahnya pembuluh darah, sehingga daerah

tersebut memperoleh aliran darah lebih banyak.


Tumor (swelling) adalah bengkak, akibat edema yaitu cairan yang berlebihan dalam

jaringan interstitial atau rongga tubuh; dapat berupa eksudat atau transudat.
Dolor (pain) adalah rasa sakit, akibat penekanan jaringan karena edema serta adanya

mediator kimia pada radang akut diantaranya bradikinin, prostaglandin.


Fungsio laesa (loss of function ) adalah fungsi jaringan atau organ terganggu seperti
daya geraknya berkurang.

Jenis-jenis Eksudat
Jenis cairan eksudat dipengaruhi oleh beratnya reaksi, penyebab dan lokasi lesi.

Eksudat Serosa
Eksudat jernih, sedikit protein akibat radang ringan contoh: luka bakar, efusi pleura.
Eksudat Supuratif/Purulenta
Eksudat mengandung nanah/pus, campuran leukosit rusak, jaringan mati/nekrotik
serta mikrorganisme yang musnah.

Eksudat Fibrinosa
Eksudat yang banyak fibrin sehingga mudah membeku.

Eksudat Hemoragika
Eksudat yang mengandung darah.

Permeabilitas Dinding Kapiler


Kapiler yang sehat permeabilitas dindingnya terbatas yaitu dapat dilalui oleh cairan
dan oleh larutan garam-garam, tapi sukar dilalui oleh protein yang berupa koloid. Bila kapiler
cedera, sebgai yang terjadi pada radang. maka dindingnya mejadi lebih permeabel dan akan
lebih muda dilalui oleh zat-zat tersebut di atas.
Maka jumlah cairan yang meninggalkan kapiler sewaktu radang akan menjadi lebih
banyak. Cairan ini akanmasuk dalam jaringan sehingga menyebabkan jaringan menjadi
sembab (edema).

Begitu pula larutan koloid akan dapat melaui dinding kapiler yang cedera, Mula-mula
molekul protein yang melalui dinding kapiler, terutama albumim, kemudian diikuti oleh
molekul-molekul protein yang lebih besar yaitu globulin dan fibrinogen. Hal ini
menyebabkan bahwa sewaktu radang, plasma jaringan mengandung lebih banyak protein
dari biasanya. Jumlah larutan protein dalam plasma

jaringan yang meningkat ini

menyebabkan tekanan osmotik dalam jaringan meningkat sehingga menghalangi cairan


plasma kembali ke dalam kapiler. Pada keadaan normal maka pada ujung arteri daripada
kapiler tekanan hidrostatik lebih besar dari tekanan osmotik dalam jaringan sehingga caoran
dari kapiler mengalir ke dalam jaringan. Pada ujung venosa daripada kapiler tekanan
hidrostatik rendah sehingga plasma jaringan mengalir ke dalam pembuluh.
Pada radang cairan jaringan mengandung banyak larutan protein sehingga tekanan
osmotik tinggi dan hal ini menyebabkan plasma tidak dapat mengalir lagi ke dalam
opembuluh. Pembuluh menjadi kekurangan plasma dan butir-buitr darah berhenti mengalir,
yaitu terjadi stasis. Jaringan yang mengandung banyak cairan sehingga menbengka (tumor).
Reaksi Radang
Setelah aliran dalam pembuluh menjadi lambat, maka leukosit-leukosit melekat pada
sel-sel endotel pembuluh (marginasi). Makin lama makin banyak sel leukosit melekat. Sel-sel
endotel

pada radang mendadak tampak mengelembung. Dengan pergerakan ameboid

leukosit menyusup antara sel endotel dan kemudian keluar (emigrasi). Eritrosit pada radang
juga dapat melalui dinding kapiler dan masuk kedalam jaringan. keluarnya eritrosit dari
pembuluh ialah secara pasif tidak dengan cara gerak ameboid.
Sewaktu berada di dalam aliran darah normal, leukosit berbentuk bulat biasa dan
hampir tidak menunjukan pergerakan ameboid. Hanya pada radang, setelah melekat pada
endotel kapiler, tampak leukosit bergerak sebagai ameba menonjolkan pseudopodium yang
yang memungkinkan sel ini menyusup antara sel endotel dan keluar dari pembuluh. Eritrosit
dapat keluar dari pembuluh karena terdorong tekanan darah melalui dinding kapiler yang
cedera.
Bila banyak eritrosit yang keluar dari pembuluh maka cairan radang berwarna
kemerah-merahan dan dinamai radang hemoragik. Leukosit keluar dari pembuluh mungkin
karena tertarik oleh zat-zat yang dilepaskan oleh kuma atau zat-zat yang dilepaskan oleh
jaringan yang cedera.

Khemotaksis adalah pergerakan yang menuju ke arah tertentu yang disebabkan oleh
zat-zat kimia. Khemotaksis ini menyebabkan leukosit langsung menuju ke kuman atau
jaringan yang cedera terutama tertarik oleh zat-zat yang dilepaskan oleh jaringan yang
cedera.
Macam-Macam Radang

Radang Akut
Radang yang lamanya relatif singkat dimana agen penyebab dengan cepat dieradikasi
oleh daya tahan tubuh. Radang akut adalah respon yang cepat dan segera terhadap
cedera yang didesain untuk mengirimkan leukosit ke daerah cedera. Leukosit
membersihkan

berbagai

mikroba

yang

menginvasi

dan

memulai

proses

pembongkaran jaringan nekrotik. Radang ini ditandai dengan perubahan vaskuler,

edema, dan infiltrasi neutrofil dalam jumlah besar.


Radang Kronis
Radang kronis dapat diartikan sebagai inflamasi yang berdurasi panjang (bermingguminggu hingga bertahun-tahun). Radang kronik ditandai oleh infiltrasi sel mononuklir
(seperti makrofag, limfosit, dan sel plasma), destruksi jaringan, dan perbaikan.
Radang kronik dapat timbul melalui satu atau dua jalan. Dapat timbul menyusul
radang akut, atau responnya sejak awal bersifat kronik. Perubahan radang akut
menjadi radang kronik berlangsung bila respon radang akut tidak dapat reda,
disebabkan agen penyebab jejas yang menetap atau terdapat gangguan pada proses
penyembuhan normal.
Ada kalanya radang kronik sejak awal merupakan proses primer. Sering penyebab
jejas memiliki toksisitas rendah dibandingkan dengan penyebab yang menimbulkan

radang akut.
Radang membranosa
Radang mengenai pemukaan jaringan yang ditandai oleh terbentuknya lapisan
membran yang terdiri dari eksudat yang mengandung agen penyebab, presipitat fibrin,
jaringan nekrosis dan leukosit. Membran terbentuk akibat toksin yang kuat

menyebabkan nekrosis jaringan.


Radang Katarhalis
Radang ringan pada bagian superfisialis pada lapisan mukosa yang menghasilkan

musin atau lendir.


Radang Purulenta/Supuratif
Bila pada radang terdapat nanah, hal ini berarti bahwa pada radang ini disertai
nekrosis. Nanah ialah cairan yang berwarna kuning yang terdiri atas cairan plasma,

cairan hasil pencairan jaringan nekrosis, lekosit musnah, sisa-sisa jaringan nekrosis
dan kuman-kuman. Jaringan nekrosis yang mencair menyebabkan terjadinya rongga
berisi nanah yakni abses. Tepi abses terdiri atas jaringan yang degeneratif tetapi masih
hidup, penuh dengan lekosit. pada abses yang kronik terdapat banyak sel makrofag.
Abses yang aktif akan menyebabkan banyak nekrosis. Isi abses keluar ke permukaan
dinamakan sinus. Isi abses mengalir ke dua permukaan dinamankan fistula. Furunkel
(bisul) merupakan contoh abses. Bila bisul menjalar maka dapat menjadi luas dan
memecah pada beberapa tempat, luka demikian dinamakan karbunkel. Bila kuman
bersifat virulen maka radang akan menjalar ke jaringan sekitar tanpa batas yang jelas
dinamakan celulitis.
Mekanisme Immunologis
Respons imun tubuh dipicu oleh masuknya antigen/mikroorganisme ke dalam tubuh
dan dihadapi oleh sel makrofag yang selanjutnya akan berperan sebagai antigen presenting
cell (APC). Sel ini akan menangkap sejumlah kecil antigen dan diekspresikan ke permukaan
sel yang dapat dikenali oleh sel limfosit T penolong (Th atau T helper). Sel Th ini akan
teraktivasi dan (selanjutnya sel Th ini) akan mengaktivasi limfosit lain seperti sel limfosit B
atau sel limfosit T sitotoksik. Sel T sitotoksik ini kemudian berpoliferasi dan mempunyai
fungsi efektor untuk mengeliminasi antigen.
Setiap proses ini sel limfosit dan sel APC bekerja sama melalui kontak langsung atau
melalui sekresi sitokin regulator. Sel-sel ini dapat juga berinteraksi secara simultan dengan
sel tipe lain atau dengan komponen komplemen, kinin atau sistem fibrinolitik yang
menghasilkan aktivasi fagosit, pembekuan darah atau penyembuhan luka. Respons imun
dapat bersifat lokal atau sistemik dan akan berhenti bila antigen sudah berhasil dieliminasi
melalui mekanisme kontrol.
Etiologi
Tetanus disebabkan oleh bakteri gram positif yaitu Clostridium tetani yang bersifat
anaerob murni. Spora Clostridium tetani dapat bertahan sampai bertahun-tahun bila tidak
terkena sinar matahari. Spora ini terdapat di tanah, debu dan feses kuda, anjing, manusia serta
tahan terhadap antiseptik dan pemanasan 100-120C. Bila lingkungan baik maka spora akan
membentuk vegetatifnya yang memproduksi toksin.
Epidemiologi

Tetanus terjadi secara sporadis dan hampir selalu menimpa individu non imun,
individu dengan imunitas parsial dan individu dengan imunitas penuh yang kemudian gagal
mempertahankan imunitas secara adekuat dengan vaksinasi ulangan. Walaupun tetanus dapat
dicegah dengan imunisasi, tetanus masih merupakan penyakit yang membebani di seluruh
dunia terutama di negara beriklim tropis dan negara-negara yang sedang berkembang, sering
terjadi di Brazil, Filipina, Vietnam, Indonesia, dan negara lain di benua Asia. Penyakit ini
umum terjadi di daerah pertanian, di daerah pedesaan, pada daerah dengan iklim hangat,
selama musim panas dan penduduk pria. Pada negara-negara tanpa program imunisasi yang
komprehensif, tetanus terutama terjadi pada neonatus dan anak-anak. Walaupun WHO
menetapkan target mengeradikasi tetanus pada tahun 1995, tetanus tetap bersifat endemik
pada negara-negara sedang berkembang dan WHO memperkirakan kurang lebih 1.000.000
kematian akibat tetanus di seluruh dunia pada tahun 1992, termasuk di dalamnya 580.000
kematian akibat tetanus neonatorum, 210.000 di Asia Tenggara, dan 152.000 di Afrika.
Penyakit ini jarang dijumpai di negara-negara maju.

Komplikasi
Komplikasi tetanus dapat terjadi akibat penyakitnya, seperti laringospasme, atau
sebagai konsekuensi dari terapi sederhana, seperti sedasi yang mengarah pada koma, aspirasi,
atau apnea, atau konsekuensi dari perawatan intensif, seperti pneumonia berkaitan dengan
ventilator.
Penatalaksanaan Umum
Medica Mentosa
Diazepam
Dipergunakan sebagai terapi spasme tetanik dan kejang tetanik. Mendepresi semua
tingkatan sistem saraf pusat, ternasuk bentukan limbik dan retikular, mungkin dengan
meningkatkan aktivitas GABA, suatu neurotransmiter inhibitori utama.

Dosis Dewasa

Spasme ringan: 5-10 mg oral tiap 4-6 jam apabila perlu


Spasme sedang: 5-10 mg IV apabila perlu
Spasme berat: 50-100 mg dalam 500 ml D5, diinfuskan 40 mg per jam

Dosis Pediatrik
Spasme ringan: 0,1-0,8 mg/kg/hari dalam dosis terbagi tiga kali atau empat kali sehari
Spasme sedang sampai berat: 0,1-0,3 mg/kg/hari IV tiap 4-8 jam

Kontraindikasi: hipersensitivas, glaukoma sudut sempit


Interaksi: toksisitas benzodiazepin pada sistem saraf pusat meningkat dipergunakan
bersamaan dengan alkohol, fenothiazin, barbiturat dan MAOI; cisapride dapat
meningkatkan kadar diazepam secara bermakna

Fenobarbital
Dosis obat harus sedemikian rendah sehingga tidak meyebabkan depresi pernafasan,
Jika pada pasien terpasang ventilator, dosis yang lebih tinggi diperlukan untuk mendapatkan
efek sedasi yang diinginkan.

Dosis dewasa: 1 mg/kg IM tiap 4-6 jam tidak melebihi 400 mg/hari
Dosis pediatrik: 5 mg/kg IV/IM dosis terbagi 3 atau 4 hari
Kontraindikasi: hipersensitifitas, gangguan fungsi hati, penyakit paru-paru berat dan
pasien nefritis

Baklofen
Baklofen intratekal, relaksan otot kerja sentral telah dipergunakan secara
eksperimental untuk melepaskan pasien dari ventilator dan untuk menghentikan infus
diazepam. Baklofen intratekal 600 kali lebih poten daripada baklofen per oral. Injeksi
intratekal berulang bermanfaat untuk mengurangi durasi ventilasi buatan dan mencegah
intubasi. Mungkin berperan dengan menginduksi heperpolarisasi dari ujung aferen dan
mengahambat refleks monosinaptik dan polisinatik pada tingkat spinal. Keseluruhan dosis
dapat diulang setelah 12 jam atau lebih apabila spasme paroksismal kembali terjadi.
Pemberian baklofen secara terus menerus telah dilaporkan pada sejumlah kecil pasien
tetanus.

Dosis dewasa: <55 th: 100 mcg IT


>55 th : 800 mcg IT

Dantrolen
Dantrolen menyebabkan relaksasi otot rangka dengan cara menghambat penglepasan
ion Ca dari reticulum sarkoplasmik. Kekuatan kontraksi otot menurun paling banyak 75-80%.
Dantrolen digunakan untuk mengurangi spasme otot akibat kerusakan medulla spinalis dan
otak.

Dosis dewasa: 1 mg/kg sealama 3 jam, diulang tiap 4-6 jam apabila perlu
Kontraindikasi: hipersensitivitas, penyakit hati aktif (hepatitis,sirosis)
Interaksi: Toksisitas meningkat apabila diberikan bersamaan dengan klofibrat dan
warfarin

Penisilin G
Berperan dengan mengganggu pembentukan polipeptida dinding otot selama
multiplikasi aktif, menghasilkan aktivitas bakterisidal terhadap mikroorganisme yang rentan.
Diperlukan terapi selama 10-14 hari.

Dosis dewasa: 10-24 juta unit/hari terbagi dalam 4 dosis


Kontraindikasi: hipersensitivitas

Metronidazol
Metronidazol

aktif

melawan

bakteri

anaerob

dan

protozoa. Metronidazol

memperlihatkan daya amubisid langsung. Sampai saat ini belum ditemukan amuba yang
resisten terhadap metronidazol. Dapat diabsorpsi ke dalam sel dan senyawa termetabolisme
sebagian yang terbentuk mengikat DNA dan menghambat sintesis protein, yang
menyebabkan kematian sel. Direkomendasikan terapi selama 10-14 hari. Beberapa ahli
merekomendasikan metronidazol sebagai antibiotika pada terapi tetanus karena penisilin G
juga merupakan agonis GABA yang dapat memperkuat efek toksin.

Dosis dewasa: 500 mg per oral tiap 6 jam atau 1 g tiap 12 jam, tidak lebih dari 4g/hari
Kontraindikasi : hipersensitivitas, trisemester pertama kehamilan

Doksisiklin

Menghambat sintesis protein dan pertumbuhan bakteri dengan pengikatan pada sub
unit 30s dan 50s ribosomal dari bakteri yang rentan. Direkomendasikan terapi selama 10-14
hari.

Dosis dewasa: 100 mg per oral/tiap 12 jam


Kontraindikasi: hipersensitivitas, disfungsi hati berat
Interaksi: bioavailabilitas menurun dengan antasida yang mengandung aluminium,
kalsium, besi, atau subsalisilat bismuth, tetrasiklin dapat meningkatkan efek
hipoprotrombinemik dari antikoagulan

Vekuronium
Merupakan agen pemblokade neuromuscular protipik yang menyebabkan terjadinya
paralisis muskuler.

Dosis dewasa: 0,08-0,1 mg/kg dapat dikurangi menjadi 0,05 mg/kg apabila pasien

telah diterapi dengan suksinilkolin


Kontraindikasi: hipersensitivitas, miastenia gravis, dan sindroma yang berkaitan
Interaksi: apabila vekuronium dipergunakan bersama dengan anestesi inhalasi,
blockade neuromuscular diperkuat, gagal hati dan gagal ginjal

Non Medica Mentosa


Pasien hendaknya ditempatkan di ruangan yang tenang di ICU, dimana observasi dan
pemantauan kardiopulmoner dapat dilakukan secara terus menerus, sedangkan stimulasi
diminimalisasi. Perlindungan terhadap jalan nafas bersifat vital. Luka hendaknya
dieksplorasi, dibersihkan secara hati-hati dan dilakukan debridemen secara menyeluruh.
Pencegahan
Penyakit tetanus dikenal 2 jenis imunisasi yaitu imunisai aktif dan pasif. Vaksin yang
digunakan untuk imunisasi aktif adsalah toksoid tetanus yaitu toksin kuman yang telah
dilemahkan dan kemudian disuntikan. Ada 3 macam vaksin tetanus yaitu bentuk kemasan
tunggal, kombinasi dengan vaksin difteri (vaksin DT) dan kombinasi dengan vaksin difteri
dan pertusis (vaksin DPT). ATS (anti tetanus serum) utnuk imunisasi pasif dapat dipakai
untuk pencegahan maupun pengobatan penyakit tetanus.
Prognosis

Faktor yang mempengaruhi mortalitas pasien tetanus adalah masa inkubasi yang
pendek, neonatus dan usia tua, frekuensi kejang yang sering, kenaikan suhu badan yang
tinggi, imunisasi, lokasi fokus infeksi, penyakit lain yang menyertai, beratnya penyakit,
pengobatan terlambat, periode trismus dan kejang yang semakin sering, adanya penyulit
spasme otot pernafasan dan obstruksi jalan nafas.
Perawatan yang intensif menurunkan angka kematian akibat gagal nafas dan
kelelahan akibat kejang. Selain itu pemberian nutrisi yang cukup ternyata juga menurunkan
angka kematian.

You might also like