You are on page 1of 17

BAB 1

PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Pelvic Inflammatory Disease (PID) adalah istilah klinis umum untuk
infeksi traktus genital atas. Terdapat sekitar 1 juta kasus PID di Amerika Serikat
setiap tahunnya. Prevalensi ini meningkat pada negara berkembang dengan
masyarakat sosioekonomik rendah.
Lebih dari seperempat pasien PID membutuhkan rawatan di rumah sakit.
Resiko meningkat pada daerah dengan prevalensi penyakit menular seksual tinggi
akibat dari aktivitas seksual bebas dan berganti pasangan. Negara berkembang
seperti Indonesia memiliki segala resiko yang menyebabkan rentannya terjadi PID
pada wanita Indonesia.
Untuk itu, diperlukan pencegahan dan penatalaksanaan yang tepat untuk
mengurangi prevalensi PID. Karenanya, dibutuhkan pengetahuan tentang PID
agar dapat dicegah, didiagnosa dini, dan ditatalaksana dengan cepat dan segera.
1.2 Tujuan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk membahas lebih
lanjut dan menambah wawasan pembaca mengenai PID dalam populasi secara
umum, deteksi dini, manifestasi klinis dan cara penatalaksanaannya secara tepat.
Dan untuk memenuhi persyaratan kepaniteraan klinik poliklinik ginekologi
minggu 8 departemen obstetri dan ginekologi.

Makalah Ginekologi |

BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 PELVIC INFLAMMATORY DISEASE
2.1.1 Definisi
Pelvic inflammatory disease (PID) adalah penyakit infeksi dan inflamasi
pada traktur reproduksi bagian atas, termasuk uterus, tuba fallopi, dan struktur
penunjang pelvis.1 PID merupakan sebuah spektrum infeksi pada traktus genitalia
wanita yang termasuk di dalamnya endometritis, salpingitis, tuba-ovarian abses,
dan peritonitis.2
PID biasanya disebabkan oleh kolonisasi mikroorganisme di endoserviks
yang bergerak ke atas menuju endometrium dan tuba fallopi. Inflamasi dapat
timbul kapan saja dan pada titik manapun di traktus genitalia.3
2.1.2 Epidemiologi dan Faktor Resiko
Epidemiologi
PID adalah masalah kesehatan yang cukup sering. Sekitar 1 juta kasus PID
terjadi di Amerika Serikat dalam setahun dan total biaya yang dikeluarkan
melebihi 7 juta dollar per tahun. Lebih dari seperempat kasus PID membutuhkan
rawatan inap. PID menyebabkan 0,29 kematian per 1000 wanita usia 15-44
tahun.4 Diperkirakan 100000 wanita menjadi infertil diakibatkan oleh PID.2
WHO mengalami kesulitan dalam menentukan prevalensi PID akibat dari
beberapa hal termasuk kurangnya pengenalan penyakit oleh pasien, kesulitan
akses untuk merawat pasien, metode subjektif yang digunakan untuk
mendiagnosa, dan kurangnya fasilitas diagnosti pada banyak negara berkembang,
dan sistem kesehatan masyarakat yang sangat luas.1
Faktor Resiko
Terdapat beberapa faktor resiko terjadinya PID, namun yang utama adalah
aktivitas seksual. PID yang timbul setelah periode menstruasi pada wanita dengan

Makalah Ginekologi |

aktivitas seksual berjumlah sekitar 85%, sedangkan 15% disebabkan karena luka
pada mukosa misalnya akbiat AKDR atau kuretase.4
Resiko juga meningkat berkaitan dengan jumlah pasangan seksual. Wanita
dengan lebih dari 10 pasangan seksual cenderung memiliki peningkatan resiko
sebesar 3 kali lipat.4
Usia muda juga merupakan salah satu faktor resiko yang disebabkan oleh
kurangnya kestabilan hubungan seksual dan mungkin oleh kurangnya imunitas.4
Factor resiko lainnya yaitu pemasangan kontrasepsi, etnik, status
postmarital dimana resiko meningkat 3 kali dibanding yang tidak menikah, infeksi
bakterial vaginosis, dan merokok.4 Peningkatan resiko PID ditemukan pada etnik
berkulit putih dan pada golongan sosioekonomik rendah. PID sering muncul pada
usia 15-19 tahun dan pada wanita yang pertama kali berhubungan seksual.1
Pasien yang digolongkan memiliki resiko tinggi untuk PID adalah wanita
berusia dibawah 25 tahun, menstruasi, memiliki pasangan seksual yang multipel,
tidak menggunakan kontrasepsi, dan tinggal di daerah yang tinggi prevalensi
penyakit menular seksual. PID juga sering timbul pada wanita yang pertama kali
berhubungan seksual. Pemakaian AKDR meningkatkan resiko PID 2-3 kali lipat
pada 4 bulan pertama setelah pemakaian, namun kemudian resiko kembali
menurun. Wanita yang tidak berhubungan seksual secara aktif dan telah menjalani
sterilisasi tuba, memiliki resiko yang sangat rendah untuk PID.1
2.1.3 Etiologi
PID biasanya disebabkan oleh mikroorganisme penyebab penyakit
menular seksual seperti N. Gonorrhea dan

C. Trachomatis. Mikroorganisme

endogen yang ditemukan di vagina juga sering ditemukan pada traktus genitalia
wanita dengan PID. Mikroorganisme tersebut termasuk bakteri anaerob seperti
prevotella dan peptostreptokokus seperti G. vaginalis. Bakteri tersebut bersama
dengan flora vagina menyebar secara asenden dan secara enzimatis merusak
barier mukosa serviks.3
N. gonorrhea dan C. Trachomatis telah diduga menjadi agen etiologi
utama PID, baik secara tunggal maupun kombinasi. 2 C. trachomatis adalah bakteri

Makalah Ginekologi |

intraseluler patogen. Secara klinis, infeksi akibat parasit intraseluler obligat ini
bermanifestasi dengan servisitis mukopurulen.1
Bakteri fakultatif anaerob dan flora endogen vagina dan perineum juga
diduga menjadi agen etiologi potensial untuk PID. Yang termasuk diantaranya
adalah Gardnerella vaginalis, Streptokokus agalactiae, Peptostreptokokus,
Bakteroides, dan mycoplasma genital, serta ureaplasma genital. Patogen
nongenital lain yang dapat menyebabkan PID yaitu haemophilus influenza dan
Haemophilus parainfluenza.2
Actinomices diduga menyebabkan PID yang dipicu oleh penggunaan
AKDR. Pada negara yang kurang berkembang, PID mungkin disebabkan juga
oleh salpingitis granulomatosa yang disebabkan Mycobakterium tuberkulosis dan
Schistosoma.2
2.1.4 Patofisiologi
PID disebabkan oleh penyebaran mikroorganisme secara asenden ke
traktus genital atas dari vagina dan serviks. Mekanisme pasti yang bertanggung
jawab atas penyebaran tersebut tidak diketahui, namun aktivitas seksual mekanis
dan pembukaan serviks selama menstruasi mungkin berpengaruh.2
Banyak kasus PID timbul dengan 2 tahap. Tahap pertama melibatkan
akuisisi dari vagina atau infeksi servikal. Penyakit menular seksual yang
menyebabkannya mungkin asimptomatik. Tahap kedua timbul oleh penyebaran
asenden langsung mikroorganisme dari vagina dan serviks. Mukosa serviks
menyediakan barier fungsional melawan penyebaran ke atas, namun efek dari
barier ini mungkin berkurang akibat pengaruh perubahan hormonal yang timbul
selama ovulasi dan mestruasi. Gangguan suasana servikovaginal dapat timbul
akibat terapi antibiotik dan penyakit menular seksual yang dapat mengganggu
keseimbangan flora endogen, menyebabkan organisme nonpatogen bertumbuh
secara berlebihan dan bergerak ke atas. Pembukaan serviks selama menstruasi
dangan aliran menstrual yang retrograd dapat memfasilitasi pergerakan asenden
dari mikrooragnisme. Hubungan seksual juga dapat menyebabkan infeksi asenden

Makalah Ginekologi |

akibat dari kontraksi uterus mekanis yang ritmik. Bakteri dapat terbawa bersama
sperma menuju uterus dan tuba.1
Faktor resiko meningkat pada wanita dengan pasangan seksual multipel,
punya riwayat penyakit menular seksual sebelumnya, pernah PID, riwayat
pelecehan seksual, berhubungan seksual usia muda, dan mengalami tindakan
pembedahan.1,2 Usia muda mengalami peningkatan resiko akibat dari peningkatan
permeabilitas mucosal serviks, zona servical ektopi yang lebih besar, proteksi
antibody chlamidya yang masih rendah, dan peningkatan perilaku beresiko.1
Prosedur pembedahan dapat menghancurkan barier servikal, sehingga menjadi
predisposisi terjadi infeksi.1
Figure 16.1 Micro-organisms originating in the endocervix ascend into the
endometrium, fallopian tubes, and peritoneum, causing pelvic inflammatory
disease (endometritis,salpingitis,peritonitis). 3

AKDR telah diduga merupakan predisposisi terjadinya PID dengan


memfasilitasi transmisi mikroorganisme ke traktus genitalia atas.2 Kontrasepsi
oral justru mengurangi resiko PID yang simptomatik, mungkin dengan
meningkatkan viskositas mukosa oral, menurunkan aliran menstrual antegrade
dan retrograde, dan memodifikasi respon imun local.1
Pada traktus bagian atas, jumlah mikroba dan factor host memiliki peranan
terhadap derajat inflamasi dan parut yang dihasilkan. Infeksi uterus biasanya

Makalah Ginekologi |

terbatas pada endometrium, namun dapat lebih invasive pada uterus yang gravid
atau postpartum. Infeksi tuba awalnya melibatkan mukosa, tapi inflamasi
transmural yang dimediasi komplemen yang bersifat akut dapat timbul cepat dan
intensitas terjadinya infeksi lanjutan pun meningkat. Inflamasi dapat meluas ke
struktur parametrial, termasuk usus. Infeksi dapat pula meluas oleh tumpahnya
materi purulen dari tuba fallopi atau via penyebarana limfatik dalam pelvis
menyebabkan peritonitis akut atau perihepatitis akut.1
2.1.5 Jenis - Jenis
Beberapa jenis inflamasi yang termasuk PID dan sering ditemukan
adalah :
Salpingitis
Mikroorganisme yang tersering menyebabkan salpingitis adalag N.
Gonorhea dan C. trachomatis. Salpingitis timbul pada remaja yang memiliki
pasangan seksual multiple dan tidak menggunakan kontrasepsi. Gejala meliputi
nyeri perut bawah dan nyeri pelvis yang akut. Nyeri dapat menjalar ke kaki. Dapat
timbul sekresi vagina. Gejala tambahan berupa mual, muntah, dan nyeri kepala.4
Temuan

laboratorium

yaitu

normal

leukosit

atau

leukositosis.4

Penatalaksanaan adalah dengan antimicrobial terapi. Pasien harus dihospitalisasi,


tirah baring, dan diberi pengobatan empirik. 4 Prognosis bergantung pada terapi
antimicrobial spectrum luas dan istirahat yang total. Komplikasi berupa
hidrosalping, pyosalping, abses tubaovarian, dan infertilitas.4
Abses Tuba Ovarian
Abses ini dapat muncul setelah onset salpingitis, namun lebih sering akibat
infeksi adnexa yang berulang. Pasien dapat asimptomatik atau dalam keadaan
septic shock. Onset ditemukan 2 minggu setelah menstruasi dengan nyeri pelvis
dan abdomen, mual, muntah, demam, dan takikardi. Seluruh abdomen tegang dan
nyeri. Leukosit dapat rendah, normal, atau sangat meningkat.4
Diagnosa diferensial yaitu kista ovarium, neoplasma ovarium, kehamilan
ektopik, dan periapendiceal abses. Penatalaksanaan awal dengan antibiotik. Jika
Makalah Ginekologi |

massa tidak mengecil setelah 2-3 minggu terapi antibiotic, merupakan indikasi
pembedahan.4
2.1.6 Diagnosis
Secara tradisional, diagnosa PID didasarkan pada trias tanda dan gejala
yaitu, nyeri pelvik, nyeri pada gerakan serviks, dan nyeri tekan adnexa, dan
adanya demam. Namun, saat ini telah terdapat beberapa variasi gejala dan tanda
yang membuat diagnosis PID lebih sulit. 3 beberapa wanita yang mengidap PID
bahkan tidak bergejala.3
Table 16.4 Clinical Criteria for the Diagnosis of Pelvic Inflammatory Disease3
Gejala
Tidak penting
Tanda
Nyeri tekan organ pelvis
Leukorrhea dan mucopurulen endoservisitis
Kriteria tambahan untuk meningkatkan spesifisitas diagnose
Biopsy endometrium yang menunjukkan endometritis
Paningkatan C-reactive protein atau erythrocyte sedimentation rate
Suhu lebih dari 38C
Leukositosis
Test Positif untuk gonorrhea atau chlamydia
Criteria rumit
Ultrasound menunjukkan tubo-ovarian abscess
Laparoscopi menunjukkan konfirmasi salpingitis
Penegakan diagnosa dimulai dengan anemnese, dimana pasien dapat
mengeluhkan gejala yang bervariasi. Gejala muncul pada saat awal siklus
menstruasi atau pada saat akhir menstruasi.1 Nyeri abdomen bagian bawah
dijumpai pada 90% kasus dengan kriteria nyeri tumpul, bilateral, dan konstan. 1,2

Makalah Ginekologi |

Nyeri diperburuk oleh gerakan, olahraga, atau koitus.1 Nyeri dapat juga dirasakan
seperti tertusuk, terbakar, atau kram. Nyeri biasanya berdurasi <7 hari.4
Sekresi cairan vagina terjadi pada 75% kasus. Demam dengan suhu >38,
mual, dan muntah.1,2 gejala tambahan yang lain meliputi perdarahan per vaginam,
nyeri punggung bawah, dan disuria.2 Nyeri organ pelvis dijumpai pada PID.
Adanya nyeri pada pergerakan serviks menandakan adanya inflamasi peritoneal
yang menyebabkan nyeri saat peritoneum teregang pada pergerakan serviks dan
menyebabkan tarikan pada adnexa.3
PID dapat didiagnosa dengan riwayat nyeri pelvis, sekresi cairan vagina,
nyeri tekan adnexa, demam, dan peningkatan leukosit.5
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik, biasanya didapati :

Nyeri tekan perut bagian bawah1,2

Pada pemeriksaan pelvis dijumpai : sekresi cairan mukopurulen, nyeri


pada pergerakan serviks, nyeri tekan uteri, nyeri tekan adnexa yang
bilateral2

Mungkin ditemukan adanya massa adnexa2

Beberapa tanda tambahan adalah :

Suhu oral lebih dari 38C1,2

Pemeriksaan Laboratorium

Pada pemeriksaan darah rutin dijumpai jumlah leukosit lebih dari 100.000
pada 50% kasus.2 Hitung leukosit mungkin normal, meningkat, atau
menurun, dan tidak dapat digunakan untuk menyingkirkan PID.4

Peningkatan erythrocyte sediment rate digunakan untuk membantu


diagnose namun tetap tidak spesifik.1,2

Peningkatan c-reaktif protein, tidak spesifik.1

Pemeriksaan DNA dan kultur gonorrhea dan chlamidya digunakan untuk


mengkonfirmasi PID.1,2

Makalah Ginekologi |

Urinalisis harus dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan infeksi


saluran kemih.1

Pemeriksaan Radiologi

Transvaginal ultrasonografi : pemeriksaan ini memperlihatkan adnexa,


uterus, termasuk ovaroium.6 Pada pemeriksaan ini PID akut Nampak
dengan adanya ketebalan dinding tuba lebih dari 5 mm, adanya septa
inkomplit dalam tuba, cairan mengisi tuba fallopi, dan tanda cogwheel.2
Tuba fallopi normal biasanya tidak terlihat pada USG.5

CT digunakan untuk mendiagnosa banding PID. Penemuan CT pada PID


adalah servisitis, ooforitis, salpingitis, penebalan ligament uterosakral, dan
adanya abses atau kumpulan cairan pelvis.1,2 Penemuan CT scan tidak
spesifik pada kasus PID dimana tidak bukati abses.6

MRI jarang mengindikasikan PID. Namun jika digunakan akan terlihat


penebalan, tuba yang berisi cairan dengan atau tanpa cairan pelvis bebas
atau kompleks tubaovarian.1,2

Prosedur Lain
Laparoskopi adalah standar baku untuk diagnosis defenitif PID.
Mengevaluasi cairan di dalam abdomen dilakukan untuk menginterpretasi
kerusakan. Pus menunjukkan adanya abses tubaovarian, rupture apendiks, atau
abses uterin. Darah ditemukan pada ruptur kehamilan ektopik, kista korpus
luteum, mestruasi retrograde, dll.4
Criteria minimum pada laparoskopi untuk mendiagnosa PID adalah edema
dinding tuba, hyperemia permukaan tuba, dan adanya eksudat pada permukaan
tuba dan fimbriae. Massa pelvis akibat abses tubaovarian atau kehamilan ektopik
dapat terlihat.1
Endometrial biopsi dapat dilakukan untuk mendiagnosa endometritis
secara histopatologis.1

2.1.7 Diagnosa Differensial


Makalah Ginekologi |

Beberapa diagnosa banding untuk PID adalah :

tumor adnexa1

appendicitis1

servisitis1

kista ovarium1

torsio ovarium1

aborsi spontan1

infeksi saluran kemih1

kehamilan ektopik1

endometriosis1

2.1.8 Pencegahan
Dalam beberapa penelitan disebutkan bahwa dengan mencegah dan
penularan infeksi Chlamydia dapat mengurangi insidensi dari terjadinya PID
(Scholes, 1996).Beberapa pencegahan yang dapat dilakukan adalah sebagai
berikut (Workowski, 2010) :
1. Edukasi untuk emngurangi jumlah pasangan seksual, menghindari seks
sebelum menikah, menghindari perilaku seksual yang tidak aman,
menggunakan kondom saat berhubungan dan memberikan pengetahuan
seksual pada remaja.
2. Pasien dengan infeksi Chlamydia dan gonnorhea diharuskan untuk
melakukan pemeriksaan atau kontrol dalam waktu 3- 6 bulan, karena
terdapat kemungkinan reinfeksi 6 bulan saat terapi dilakukan.
3. Wanita dengan PID harus menghentikan hubungan seksual hingga
pengobatan selesai atau menggunakan pengaman saat berhubungan.
4. Pasien yang telah didiagnosa dengan PID atau penyakit menular seksual
harus diterapi hingga tuntas, dan terapi juga dilakukan terhadap
pasangannya untuk mencegah penularan kembali.
5. Semua wanita berusia 25 tahun ke atas harus dilakukan skrinning terhadap
chlamidya tanpa memandang faktor resiko.
Makalah Ginekologi |

10

2.1.9 Penatalaksanaan
Kebanyakan pasien dengan PID diterapi dengan cara rawat jalan, tetapi
pada

keadaan

tertentu

pasien

harus

rawat

inap

di

rumah

sakit

karena(Shepherd,2014) :
1. Diagnosis yang tidak jelas
2. Tampak gambaran abses pelvis pada pemeriksaan ultrasonografi
3. Dalam kehamilan
4. Tidak respon dalam pengobatan rawat jalan
5. Terdapat alergi pada antibiotik yang diberikan untuk dibawa pulang
6. Keadaan PID yang berat
7. Pasein dengan imunodefisiensi(HIV atau terjadi penurunan kadar CD4
dalam tubuh)
8. Tidak terdapat perubahan setelah 72 jam setelah rawat jalan.
Selain pemberian antibiotik diberikan pula terapi untuk mengurangi gejala
yang dirasakan oleh pasien sehingga diperlukan pula pemberian antiemetic,
analgesik, antipiretik, dan pemebrian cairan. Protokol tatalaksana PID menurut
The Centers of Disease Control and Prevention (CDC) adalah dengan pemberian
antibiotik spektrum luas. Jika terdapat IUD, diharuskan dilepas. Menurut
penelitian terdapat 2 jenis tatalaksana pemberian antibiotik yaitu bagi pasien rawat
inap maupun pasien rawat jalan, meskipun menurut beberapa penilitian outcome
yang ada tidak jauh berbeda (Shepherd, 2014):
1. Tatalaksana Rawat Inap
Regimen A :

cefoxitin 2 gram iv atau cefotetan 2 gr iv per 12 jam

doksisiklin 100 mg per oral atau iv per 12 jam.


Doksisiklin 100 mg per oral 2 kali sehari selama 14 hari, pemberian
preparat dilakukan hingga 24 jam setelah kondisi pasien secara klinis
mengalami perbaikan. Jika terdapat abses tuba ovarian (TOA), pemberian
preparat

doksisiklin

diberikan

bersamaan

dengan

pemberian

metronoidazole atau klindamisin untuk mencegah infeksi bakteri anaerob.


Makalah Ginekologi |

11

Regimen B :

Clindamisin 900 mg iv/ 8 jam

Gentamisin 2 mg/kg BB diikuti dengan dosis manitenance 1,5 mg/kg BB/8


jam. Terapi iv dapat dihentikan 24 jam setelah pasien mengalami
perbaikan secara klinis, dan dilanjutkan pemberian doksisiklin 100 mg
peroral dua kali sehari selama 14. Jika terdapat TOA dikombinasikan
dengan pemberian klindamisin atau metronidazol untuk mencegah infeksi
bakteri anaerob.

2. Tatalaksana Rawat Jalan


Regimen A :

Ceftriaxone 250 mg im dosis tunggal

Doksisiklin 100 mg oral dua kali sehari selama 14 hari.

Metronidazole 500 mg dua kali sehari selama 14 hari. Diberikan apabila


terdapat vaginitis pada pasien.

Regimen B :

Cefoxitin 2 gr im dosis tunggal diberikan bersamaan dengan probenecid 1


gr per oral dosis tunggal atau dapat diberikan antibiotic golongan
cephalosporin generasi ketiga (Cefotaxim atau ceftizoxim)

Doksisiklin 100 mg oral 2 kali sehari selama 14 hari

metronidazole 500 mg oral 2 kali sehari selama 14 hari. Diberikan apabila


terdapat vaginitis pada pasien.

3. Terapi Operatif
Pembedahan dilakukan apabila pasien tidak mengalami perbaikan
klinis setelah 72 jam. Laparotomi dilakukan untuk mengatasi kegawat
daruratan sepeti ruptur dari TOA dan abses yang tidak respon terhadap
pengobatan.

Makalah Ginekologi |

12

Tabel . Protokol pemberian antibiotik menurut CDC (Berek, 2007)


2.1.10 Prognosis
Dengan terapi adekuat 85% dari seluruh kasus terbukti sukses dan 75%
pasien dengan terapi adekuat tidak menimbulkan kekambuhan. Sehingga
prognosis dari PID tergolong baik(Ehrlich, 2012).

Makalah Ginekologi |

13

2.1.11 Komplikasi
Terdapat beberapa komplikasi yang dapat terjadi pada PID (Shepherd, 2014):

Nyeri kronis pelvis:


Nyeri kronis pada pelvis terjadi pada 25 % pasien dengan riwayat
PID. Nyeri yang dirasakan berkaitan dengan siklus menstruasi
atau apabila terjadi adhesi dan hidrosalpinx

Infertilitas
Infertilitas merupakan komplikasi yang paling ditakuti bagi wanita
dengan riwayat PID. Infeksi dan inflamasi yang terjadi dapat
menyebabkan timbulnya scar dan adhesi pada lumen tuba. Selain
itu 50% wanita infertil terjadi PID suklinis dimana wanita tersebut
tidak pernah mengalami gejala ataupun riwayat PID tetapi
memiliki scar pada tuba dan memiliki penanda antibodi C
trachomatis. Semakin lama atau sering terserang oleh infeksi
semakin besar pula kemungkinan infertile.

Kehamilan Ektopik
Kehamilan ektopik terjadi pada 15-50% wanita denga riwayat
PID.Kehamilan ektopik ini disebabkan oleh kerusakan yang
terjadi pada tuba falopi.

BAB 3
KESIMPULAN
Makalah Ginekologi |

14

Pelvic inflammatory disease (PID) adalah penyakit infeksi dan inflamasi pada
traktur reproduksi bagian atas, termasuk uterus, tuba fallopi, dan struktur
penunjang pelvis. PID biasanya disebabkan oleh mikroorganisme penyebab
penyakit menular seksual seperti N. Gonorrhea dan

C. Trachomatis. PID

disebabkan oleh penyebaran mikroorganisme secara asenden ke traktus genital


atas dari vagina dan seviks. Mekanisme pasti yang bertanggung jawab atas
penyebaran tersebut tidak diketahui, namun aktivitas seksual mekanis dan
pembukaan serviks selama menstruasi mungkin berpengaruh. Secara tradisional,
diagnose PID didasarkan pada trias tanda dan gejala yaitu, nyeri pelvic, nyeri pada
gerakan serviks, dan nyeri tekan adnexa, dan adanya demam. Laparoskopi adalah
standar baku untuk diagnosis defenitif PID. Terapi dimulai dengan terapi
antibiotik empiris spectrum luas. Penanganan juga termasuk penanganan
simptomatik seperti antiemetic, analgesia, antipiretik, dan terapi cairan. Pasien
yang tidak mengalami perbaikan klinis setelah 72 jam terapi harus dievaluasi
ulang bila mungkin dengan laparoskopi dan intervensi pembedahan. Prognosis
pada umunya baik jika didiagnosa dan diterapi segera. Prognosis pada umunya
baik jika didiagnosa dan diterapi segera.

DAFTAR PUSTAKA

Makalah Ginekologi |

15

1. Shepherd, Suzanne M. Pelvic Inflammatory Disease. 2010. Diunduh dari :


http://emedicine.medscape.com/article/256448-print [diperbaharui tanggal
4 Februari 2010]
2. Reyes, Iris. Pelvic Inflammatory Disease. 2010. Diunduh dari :
http://emedicine.medscape.com/article/796092-print [diperbaharui tanggal
10 September 2010]
3. Berek, Jonathan S. 2007. Pelvic Inflammatory Disease dalam Berek &
Novaks Gynekology 14th Edition. California : Lippincott William &
Wilkins.
4. Pernoll, Martin L. 2001. Pelvic Inflammatory Disease dalam Benson &
Pernolls handbook of Obstetric and Gynecology 10th edition. USA :
McGrawhill Companies.
5. Edmonds, Keith D. 2007. The Role of Ultrasound in Gynaecology dalam
Dewhursts Textbook of Obstetric and Gynaecology 7th edition. London :
Blackwell Publishing.
6. Mudgil, Shikha. 2009. Pelvic Inflammatory Disease/Tubo-ovarian
Abscess. Diunduh dari : http://emedicine.medscape.com/article/404537print [diperbaharui tanggal 10 Agustus 2009]
1. Scholes D, Stergachis A, Heidrich FE, Andrilla H, Holmes KK, Stamm
WE. Prevention of pelvic inflammatory disease by screening for cervical
chlamydial infection. N Engl J Med. May 23 1996;334(21):1362-6
2. Workowski KA, Berman S. Sexually transmitted diseases treatment
guidelines, 2010. MMWR Recomm Rep. Dec 17 2010;59:1-110
3. Berek, Jonathan S. 2007. Pelvic Inflammatory Disease dalam Berek &
Novaks Gynekology 14th Edition. California : Lippincott William &
Wilkins.
4. Shepherd, Suzanne Moore.2014.Pelvic Inflammatory Disease Treatment
and Management. Medscape diunduh pada 15 Desember 2014 di
http://emedicine.medscape.com/article/256448-treatment#a1156

Makalah Ginekologi |

16

5. Ehrlich, Steven D. 2012. Pelvic Inflammatory Disease. University of


Maryland Medical Center. Diunduh pada 15 desember 2014 di
http://umm.edu/health/medical/altmed/condition/pelvic-inflammatorydisease

Makalah Ginekologi |

17

You might also like