You are on page 1of 29

PETUNJUK PRAKTIKUM

TOKSIKOLOGI

Penyusun :
Fransiska Maria C., S. Farm., Apt.
Ika Puspita Dewi, S.Farm., Apt.
Diana Holidah, M.Farm., Apt.

Laboratorium Farmakologi & Toksikologi


Bagian Farmasi Klinik
Fakultas Farmasi
Universitas Jember
2012

Petunjuk Praktikum Toksikologi

BAB I
PENDAHULUAN
I.1.TUJUAN
Mahasiswa mampu mengenali lingkup, tata tertib, tata cara pembuatan laporan, dan
sistem penilaian praktikum toksikologi.
I.2. LINGKUP PRAKTIKUM
Praktikum toksikologi merupakan bagian dari mata pelajaran toksikologi. Karena itu,
praktikum ini diberikan dengan tujuan agar para mahasiswa mampu lebih memahami
berbagai teori dasar toksikologi yang telah mereka peroleh, di samping mampu memahami
asas umum uji toksikologi dan menjalankan beberapa teknik uji toksikologi.
Praktikum ini erat kaitannya dengan pokok bahasan faktor-faktor yang
mempengaruhi ketoksikan, tolok ukur ketoksikan (kualitatif dan kuantitatif), terapi antidot,
dan uji toksikologi (tak khas dan khas) dalam mata kuliah toksikologi. Untuk itu, para
mahasiswa dilatih menjalankan praktek beberapa lingkup uji toksikologi, yakni uji ketoksikan
akut, uji ketoksikan subkronis, uji keteratogenikan, dan uji daya antidot.
I.3. TATA TERTIB
Agar para mahasiswa dapat menjalankan praktikum toksikologi sesuai dengan
tujuan yang dicanangkan, seharusnya para mahasiswa memperhatikan tata tertib berikut:
a. Sepuluh menit sebelum waktu praktikum dimulai, mahasiswa sudah berada di
tempat praktikum untuk absensi dan mempersiapkan peralatan yang diperlukan.
b. Mahasiswa harus mengenakan jas praktikum
c. Mahasiswa harus manyerahkan tugas atau laporan praktikum sebelumnya.
d. Mahasiswa harus mendengarkan dan mengikuti petunjuk yang diberikan oleh
pembimbing.
e. Mahasiswa menjalankan praktikum dengan tenang, hati-hati, dan penuh perhatian.
f. Mahasiswa tidak meninggalkan praktikum tanpa seijin pembimbing.
g. Dilarang makan dan minum di dalam laboratorium
h. Setelah praktikum selesai, mahasiswa harus membersihkan peralatan yang
digunakan dan mengembalikan ke tempat semula, serta mengesahkan laporan
sementara kepada pembimbing.
I.4. TATA CARA PEMBUATAN LAPORAN
Laporan praktikum toksikologi dibuat secara tertulis, mengikuti urutan tata tulis
sebagai berikut: (1) pendahuluan yang berisi tujuan dan landasan teori percobaan terkait;
(2) tata cara percobaan yang berisi bahan dan alat serta cara kerja; (3) analisis hasil yang
berisi cara analisis kualitatif dan kuantitatif terhadap data tolok ukur kualitatif dan
kuantitatif yang diperoleh, serta analisis statistik yang digunakan; (4) hasil dan pembahasan
yang berisi ulasan tentang hasil percobaan yang diperoleh bila dibandingkan dengan hasil
teoritis atau laporan sejenis, kesulitan yang dialami selama melakukan percobaaan,
saran-saran untuk memperbaiki kesalahan atau mengatasi kesulitan yang dihadapi dan
(5)kesimpulan.

Bagian Farmasi Klinik Fakultas Farmasi Universitas Jember

Petunjuk Praktikum Toksikologi

Laporan tertulis tersebut diberi sampul yang berisi judul percobaan, golongan dan
nama serta nomor mahasiswa anggota kelompok.
I.5. SISTEM PENILAIAN
Nilai praktikum toksikologi terdiri dari nilai tes atau tugas prapraktikum (25%),
laporan atau diskusi hasil praktikum (35%), dan tes atau diskusi pascapraktikum (responsi)
(40%).

Bagian Farmasi Klinik Fakultas Farmasi Universitas Jember

Petunjuk Praktikum Toksikologi

BAB II
TATA CARA PENGAMBILAN SAMPEL BIOLOGIS

II.1.TUJUAN
Mahasiswa mengenal tata cara pengambilan sampel biologis.
II.2 PENDAHULUAN
Cuplikan hayati yang sering diambil dalam uji toksikologi meliputi darah, urin, dan
berbagai organ tubuh seperti lambung, usus, hati, limpa, pankreas, ginjal, uterus, ovarium,
testis, jantung, paru, tiroid, dan otak.
II.2.1 Pengambilan darah
Dilakukan dengan cara sebagai berikut:
a. Pegang mencit
b. Ambil pipa kapiler dan siapkan tabung penampung darah berheparin.
c. Tusukkan kapiler perlahan-lahan pada vena optalmikus yang terdapat di sudut mata.
d. Putar kapiler perlahan-lahan sampai darah keluar.
e. Tampung darah yarg keluar pada tabung.
f. Setelah volume darah yang diperoleh dianggap cukup, cabut pipa kapiler dan
bersihkan sisa darah yang terdapat di mata dengan kapas steril.
g. Simpan darah di almari es 20C, sampai penetapan dikerjakan.
II.2.2 Pengorbanan hewan uji
Sebelum pengambilan berbagai organ tubuh, hewan uji biasanya dikorbankan
terlebih dahulu. Ada beberapa cara pengorbanan mencit, yakni cara kimia (eter atau
karbondioksida dalam wadah khusus, atau suntikan pentobarbital Na 135-180 mg/kg BB)
dan cara fisik (dislokasi leher). Pengorbanan mencit cara fisik, dapat dikerjakan sebagai
berikut :
a. Pegang mencit
b. Tempatkan suatu penahan (misal pensil) pada tengkuk mencit, seperti pada gambar
c. Tarik ekor mencit dengan kuat sampai tulang leher terasa terlepas.
Cara fisik lain yang sering dikerjakan ialah dengan mengganti fungsi pensil dengan tangan.
II.2.3 Pengambilan organ
Dilakukan dengan cara berikut:
a. Korbankan mencit dengan cara fisik.
b. Tempatkan mencit pada meja atau tempat bedah/fiksasi.
c. Terlentangkan mencit, rentangkan keempat kakinya dan tancap dengan jarum.
d. Basahi dengan air di daerah di sekitar perut.
e. Angkat kulit perut dengan pinset, kemudian potong dengan gunting tepat di bawah
pinset.
f. Lanjutkan pemotongan ke arah kiri dan kanan, serong ke atas menuju pangkal kaki
depan, dan serong ke bawah menuju pangkal kaki belakang. Dengan cara demikian,
sekarang terlihat isi perut dan rongga dada, meliputi usus, hati, dan diafragma.

Bagian Farmasi Klinik Fakultas Farmasi Universitas Jember

Petunjuk Praktikum Toksikologi

g. Selanjutnya, angkat seluruh bagian usus dan rentangkan. Potong lambung,


duodenum, jejenum, dan ileum. Bersihkan isi lambung dan usus tersebut, kemudian
masukkan ke dalam pot yang berisi formalin 10%.
h. Berikutnya buka rongga dada, pisahkan hati yang melekat. Balikkan hati dan potong
pada jaringan ikatnya. Bersihkan dengan air dan masukkan pot berformalin 10%.
i. Setelah hati terambil, akan terlihat limfa, pankreas, dan ginjal. Potong limfa dan
pankreas yang melekat di bawah limfa. Ambil pula ginjal yang menyerupai biji kopi.
Uterus, ovarium atau testis dapat diambil dari bawah perut. Bersihkan dan
masukkan pot berformalin.
j. Dalam rongga dada terdapat jantung dan paru di bawah tulang rusuk. Buka tulang
rusuk, potong jantung dan ambil parunya, masukkan ke dalam pot berformalin.
k. Berikutnya buka kulit di atas rongga dada sampai pangkal trakea. Kelenjar tiroid
terlekat pada pangkal trakea tersebut (jumlah dua, warna lebih bening).
Pengambilan tiroid dapat dilakukan dengan memotong pangkal trakea yang
mengandung tiroid, atau kelenjar tiroidnya saja. Bungkus tiroid dengan kertas
perkamen sebelum dimasukkan ke dalam pot berformalin.
l. Terakhir pengambilan otak. Untuk itu, buka kulit kepala, kemudian potong pangkal
lehernya sampai terlihat medula spinalisnya. Lanjutkan pemotongan pada garis
tengah batok kepala. Ambil tulang tengkorak ke arah kiri dan kanan. Segera terlihat
otak besar dan kecil berwarna putih di bawah tulang tengkorak. Dengan hati-hati
ambil keseluruhan otak dari rongga kepala, masukkan ke dalam pot berformalin.

Gambar II.1 Pengorbanan mencit secara fisik (dislokasi leher)

Bagian Farmasi Klinik Fakultas Farmasi Universitas Jember

Petunjuk Praktikum Toksikologi

BAB III
ASAS UMUM UJI TOKSIKOLOGI
III. l. TUJUAN
Mahasiswa mampu memahami jenis uji toksikologi dan berbagai faktor yang dapat
mempengaruhi kesahihan (validitas) uji toksikologi.
III. 2. PENDAHULUAN
Untuk keperluan penapisan spektrum efek toksik suatu senyawa, diperlukan
serangkaian uji toksikologi. Dan tentunya agar masing-masing jenis uji toksikologi yang
dikerjakan kesahihannya dapat diandalkan, perlu dilakukan pengendalian terhadap aneka
faktor yang dapat mempengaruhi kesahihan itu. Karena itu, sebelum menjalankan praktek
uji toksikologi, selayaknya para mahasiswa paham terlebih dahulu terhadap aneka jenis uji
toksikologi dan berbagai faktor yang mungkin dapat mempengaruhi kesahihan hasil ujinya.
Pemahaman terhadap jenis uji toksikologi, berguna sekali untuk mendapatkan
pengetahuan tentang sasaran dan luaran masing-masing jenis uji, dan pemahaman terhadap
aneka ragam faktor yang mungkin mempengaruhi uji toksikologi bermanfaat sekali sebagai
sumber pengetahuan tentang berbagai ubahan yang perlu diperhatikan dalam merancang
dan menjalankan suatu uji toksikologi, utamanya berkaitan dengan upaya mengecilkan
berbagai kesalahan yang mungkin timbul atau membesarkan kesahihan hasil uji.
Uraian berikut akan memberikan gambaran kepada para mahasiswa tentang
penggolongan uji toksikologi serta berbagai faktor yang perlu diperhatikan sebelum
menjalankan uji toksikologi.
III. 3. PENGGOLONGAN UJI TOKSIKOLOGI
Uji toksikologi dibagi menjadi dua golongan, yakni uji ketoksikan tak khas dan uji
ketoksikan khas.
Dimaksud dengan uji ketoksikan tak khas ialah uji toksikologi yang dirancang untuk
mengevaluasi keseluruhan atau spektrum efek toksik suatu senyawa pada aneka ragam jenis
hewan uji. Termasuk dalam uji ketoksikan tak khas meliputi uji ketoksikan akut, subkronis,
dan kronis. Beda antara ketiga jenis uji tersebut terletak pada sifat dan lama pemberian atau
pemejanan senyawa uji, serta sasaran dan luaran ujinya.
Uji ketoksikan akut, dikerjakan untuk menemukan potensi ketoksikan akut (kisaran
dosis letal atau toksik) suatu senyawa yang diberikan atau dipejankan kepada subjek uji
dengan takaran atau dosis tunggal. Selain itu, uji ini juga digunakan untuk menemukan
spektrum efek toksik senyawa atas beberapa fungsi vital tubuh, utamanya yang berkaitan
dengan penyebab kematian seperti gerak, perilaku, dan pernapasan.
Berbeda dengan uji ketoksikan akut, uji ketoksikan subkronis dan kronis, pada
dasarnya dikerjakan untuk menentukan spektrum efek toksik senyawa atas semua organ dan
kelenjar tubuh, setelah pemberian takaran atau dosis berulang sampai tiga bulan
(subkronis), dan lebih dari tiga bulan atau pada dasarnya sepanjang umur subyek uji (kronis).
Selain itu, kedua uji ini juga untuk menentukan apakah spektrum efek toksik yang timbul
berkerabat dengan takaran atau dosis senyawa uji, dan sejauh mana ketimbalbalikan
(reversibilitas) spektrum efek toksik tersebut.

Bagian Farmasi Klinik Fakultas Farmasi Universitas Jember

Petunjuk Praktikum Toksikologi

Dimaksud dengan uji ketoksikan khas ialah uji toksikologi yang dirancang untuk
mengevaluasi secara rinci efek toksik yang khas suatu senyawa atas fungsi organ atau
kelenjar tertentu pada aneka ragam subyek atau hewan uji. Termasuk dalam uji ketoksikan
khas ini meliputi uji potensiasi, uji reproduksi, uji kemutagenikan, uji kekarsinogenikan, uji
kulit dan mata, serta uji perilaku.
Uji potensiasi dikerjakan untuk menentukan kemungkinan peningkatan efek toksik
suatu senyawa dengan hadirnya senyawa lain. Misalnya untuk mengevaluasi ketoksikan
sediaan obat kombinasi.
I
Uji reproduksi, dibagi lagi menjadi tiga segmen, yakni uji kesuburan (fertilitas), uji
keteratogenikan, dan uji pranatal serta pascanatal. Pada dasarnya, uji reproduksi ini
dikerjakan untuk menentukan apakah suatu senyawa dapat mempengaruhi kapasitas
reproduksi subyek atau hewan uji tertentu, meliputi efek atas kesuburan, efek embriotoksik,
dan efek teratogenik (cacat bawaan) sampai generasi ketiga subyek uji.
Uji kemutagenikan dikerjakan untuk menentukan pengaruh suatu senyawa atas
sistem kode genetik. Dengan demikian, uji ini dapat digunakan untuk mengevaluasi
kemungkinan suatu senyawa menyebabkan perubahan, luka, atau cacat hayati yang sifatnya
menurun.
Uji kekarsinogenikan dikerjakan untuk menentukan kemampuan suatu senyawa
dalam menimbulkan tumor atau kanker pada aneka ragam jenis hewan uji, baik jangka
pendek atau jangka panjang.
Uji kulit dan mata, pada dasarnya dikerjakan untuk menentukan pengaruh setempat
suatu senyawa bila bersentuhan langsung dengan kulit atau mata. Efek toksik setempat
tersebut, dapat berupa iritasi primer, korosi, sensitisasi kutan, fototoksis, dan fotoalergi.
Karena itu, termasuk uji kulit dan mata meliputi uji iritasi primer kulit, uji sensitisasi kutan,
dan uji fototoksik serta uji fotoalergi.
Uji perilaku, dikerjakan untuk menentukan pengaruh suatu senyawa atas keaktifan
lokomotor subyek atau hewan uji tertentu. Untuk itu terdapat beberapa jenis uji, yakni uji
roda berputar, uji lapangan terbuka, uji sangkar hewan piaraan, uji sangkar rumit, dan uji
khas. Pada dasarnya, semua jenis uji perilaku ini, bermanfaat guna mengetahui pengaruh
atau efek toksik suatu senyawa atas sistem syaraf pusat atau otak.
Hasil yang diperoleh dari serangkaian uji toksikologi, baik tak khas maupun khas,
selanjutnya secara keseluruhan bermanfaat sebagai dasar evaluasi keamanan praklinik, dan
lebih jauh untuk memperkirakan resiko penggunaan suatu senyawa oleh atau pemejanannya
pada diri manusia. Karena itu, hasil uji toksikologi harus memiliki kesahihan yang tinggi.
Upaya ke arah itu dapat dicapai, utamanya bila para mahasiswa mampu memahami aneka
ragam faktor atau ubahan yang dapat mempengaruhi kesahihan uji toksikologi.
III. 4. ANEKA RAGAM FAKTOR PENENTU KESAHIHAN UJI TOKSIKOLOGI
Dalam menjalankan uji toksikologi apa pun, terlibat beberapa kegiatan utama, yakni
memberikan atau memejankan sediaan bahan/senyawa uji pada beberapa kelompok subyek
uji tertentu melalui jalur pemberian tertentu, mengamati langsung perubahan patologis dan
atau mengambil cuplikan hayati guna mendapatkan data tolok ukur kualitatif dan kuantitatif,
menganalisis atau mengolah kedua jenis data tersebut guna memperoleh hasil uji yang
berupa informasi tentang ketoksikan sedian uji, mengevaluasi hasil uji guna memperoleh

Bagian Farmasi Klinik Fakultas Farmasi Universitas Jember

Petunjuk Praktikum Toksikologi

kesimpulan yang berupa perkiraan batas aman dan risiko penggunaan atau pemejanannya
pada manusia.
Bila disimak daur atau sistem uji toksikologi di atas, terlihat ada beberapa komponen
sistem yang saling terkait dalam mendukung keberhasilan uji toksikologi. Dengan perkataan
lain, keabsahan hasil uji toksikologi, ditentukan oleh kecermatan dalam mempersiapkan dan
menerapkan masing-masing komponen itu. Bila demikian, dapat dinyatakan bahwa
beberapa komponen sistem uji toksikologi, utamanya aneka tata cara yang terkait dengan
penyiapan dan penerapan rancangan uji, sediaan uji, subyek uji, pengamatan dan
pengambilan cuplikan hayati, analisis data, evaluasi hasil uji, dan penarikan kesimpulan,
merupakan faktor penentu kesahihan uji toksikologi.
III. 4. 1. Rancangan uji
Secara keseluruhan, rancangan uji merupakan faktor yang sangat menentukan
kesahihan uji toksikologi. Karena keberhasilan uji toksikologi, tak akan lepas dan ketepatan
pemilihan dan penerapan metodologi, sesuai dengan tujuan masing-masing jenis uji
toksikologi yang telah ditetapkan. Dan dalam memilih metodologi, seharusnya telah
dipertimbangkan berbagai segi yang berkaitan dengan pengelompokan subyek uji, pemilihan
subyek dan penentuan jumlahnya, keterubahan (variabilitas) antar subyek, keterubahan
dalam subyek, keterubahan waktu, dan keterubahan karena perlakuan. Selain itu, pilihan
metode analisis statistik yang akan diterapkan pun, sebenarnya telah melekat pada
rancangan uji yang digunakan. Dengan demikian, kekeliruan dalam memilih dan menerapkan
suatu rancangan uji, jelas besar sekali pengaruhnya terhadap kesahihan uji toksikologi yang
dikerjakan.
III. 4. 2. Faktor sediaan uji
Sebelum sediaan uji diberikan atau dipejankan pada subyek uji tertentu, tentunya
timbul beberapa pertanyaan yang terkait dengan bentuk sediaan, stok sediaan, jalur
pemberian, besar takaran atau dosis, volume pemberian, kekerapan dan lama pemberian,
serta saat pemberian.
Untuk keperluan uji toksikologi, bentuk sediaan uji sedapat mungkin diusahakan
sebagai larutan, agar dapat diberikan atau dipejankan melalui semua jenis jalur pemberian.
Penggunaan suspensi atau emulsi, sebaiknya dihindari, kecuali bila pemberiannya melalui
oral.
Untuk keperluan tersebut di atas, informasi tentang kelarutan bahan uji, akan
membantu sekali dalam proses menyiapkan bentuk sediaan uji. Bila bahan uji larut dalam
air, buat sediaan larutan dalam air atau garam fisiologis. Bila kelarutan bahan uji dalam air
terbatas, buat sediaan larutan dalam minyak nabati (misal minyak jagung) atau dalam
pelarut organik (misal propilenglikol 40-50% dalam air atau garam fisiologis). Dan, bila bahan
uji tidak larut dalam air, buat sediaan suspensi dalam tragakan, CMC, atau tilosa 0,1 -1%
(untuk pemberian oral). Cara lain yang dapat disarankan, tingkatkan kelarutan bahan uji
dengan suatu polimer, biasanya polivinilpirolidon (PVP) BM 10.000-30.000
Utamanya untuk bahan uji yang berupa obat tradisional, cara peningkatan kelarutan
di atas, dapat dikerjakan sebagai berikut (Chung dkk, 1985):
a. Ekstrak tak larut dalam air, larutkan dalam metanol, etanol, atau aseton (misal 10 mg
ekstrak dalam 1000 ml pelarut).

Bagian Farmasi Klinik Fakultas Farmasi Universitas Jember

Petunjuk Praktikum Toksikologi

b. Larutkan PVP lebih kurang 4-5 kali berat ekstrak dalam pelarut yang digunakan pada
butir a sesedikit mungkin.
c. Campur hasil pada butir a dan butir b di atas.
d. Ambil pelarutnya dengan cara evaporasi dengan alat evaporator. Pertama kali dengan
kecepatan putaran yang lambat, berikutnya dengan kecepatan penuh. Hasil akhir butir
d ini, merupakan produk yang larut dalam air.
Untuk bahan uji yang berupa zat kimia murni, biasanya kelarutannya dalam air dapat
ditingkatkan dengan melarutkannya dalam larutan PVP-30.000 5-10%. Penyiapan bentuk
sediaan bahan uji seoptimal mungkin, utamanya bermanfaat dalam upaya memelihara
kehomogenan sediaan uji, sehingga besar masukan bahan uji pada subyek uji, dapat selalu
dipertahankan keajegannya.
Penyiapan stok sediaan uji, juga perlu dipertimbangkan masak-masak, utamanya
untuk keperluan uji toksikologi yang berjangka panjang. Idealnya, stok sediaan uji dibuat
sekaligus, secukupnya untuk perlakuan selama masa penelitian berlangsung, agar
keseragaman besar dosis yang diberikan pada subyek uji, dapat selalu dipertahankan. Untuk
itu setelah digunakan, stok sediaan perlu disimpan dalam almari pendingin -20C. Namun
perlu dicatat, pendinginan hanya mencegah pembusukan dan timbulnya jamur, tetapi tidak
dapat menjamin tercegahnya peruraian zat aktif yang terkandung di dalam sediaan. Karena
itu, kecuali stabilitas zat akfif dalam sediaan uji terkait untuk masa penelitian tertentu telah
ditegaskan, stok sediaan uji lebih baik selalu dibuat baru.
Pilihan jalur pemberian, juga perlu diperhatikan. Dalam hal ini, yang perlu diingat
ialah bahwa hasil uji toksikologi akan dimanfaatkan untuk memperkirakan keamanan dan
risiko penggunaan bahan uji pada diri manusia. Karena itu, jalur pemberian terpilih, harus
melibatkan jalur pemberian sediaan uji yang disarankan untuk manusia. Selain itu, yang lebih
penting, teknik pemberiannya jangan sampai keliru. Perubahan patologis atau kematian
hewan uji, dapat terjadi karena teknik pemberian yang keliru, sehingga memungkinkan
terjadinya kesalahan dalam menginterpretasi dan mengevaluasi hasil uji.
Pada umumnya, besar takaran atau dosis yang diberikan pada subyek atau hewan
uji dalam uji toksikologi melibatkan tiga peringkat dosis atau lebih, yang berkisar dari dosis
terendah yang sama sekali tidak menimbulkan efek toksik yang berarti, sampai dengan dosis
tertinggi yang melibatkan efek toksik yang berarti pada sekelompok hewan uji. Dan khusus
untuk obat, dosis terendah yang diberikan, sebaiknya meliputi dosis terapi manusia. Hal ini
dapat diperhatikan dengan beberapa cara. Pertama, berdasarkan harga ED50, senyawa uji
dari hasil uji farmakologi dengan hewan uji dan jalur pemberian yang sama. Kedua,
berdasarkan harga LD, senyawa uji pada hewan uji yang sama (5-10% LD,50 intravena).
Ketiga, berdasarkan kelipatan dosis yang disarankan untuk digunakan pada manusia
(biasanya 2-10 kali dosis manusia). Dan keempat, mengikuti tabel konversi perhitungan dosis
antar jenis hewan, berdasarkan nisbah (ratio) luas permukaan badan mereka, seperti terlihat
pada tabel III.1.

Bagian Farmasi Klinik Fakultas Farmasi Universitas Jember

Petunjuk Praktikum Toksikologi

Tabel III.1. Konversi perhitungan dosis antar jenis hewan (Laurence & Bacharach 1964)
Mencit
Tikus
Marmot
Kelinci
Kera
Anjing
Manusia
20 g
200 g
400 g
1,5 kg
4 kg
12 kg
70 kg
Mencit
1,0
7,0
12,25
27,8
64,1
124,2
387,9
20 g
Tikus
0,14
1,0
1,74
3,9
9,2
17,8
56,0
200 g
Marmot
0,08
0,57
1,0
2,25
5,2
10,2
31,5
400 g
Kelinci
0,04
0,25
0,44
1,0
2,4
4,5
14,2
1,5 kg
Kera
0,016
0,11
0,19
0,42
1,0
1,9
6,1
4 kg
Anjing
0,008
0,06
0,10
0,22
0,52
1,0
3,1
12 kg
Manusia
0,0026
0,018
0,031
0,07
0,16
0,32
1,0
70 kg
Contoh perhitungan :
Dosis terapi parasetamol untuk orang berat 70 kg adalah 500 mg.
Berapa perkiraan untuk tikus?
Jawab :
Lihal label III.1.,
konversi dosis manusia (70 kg) ke tikus (200 g) = 0, 018
Dosis terapi parasetamol-tikus (200 g)
= 0,018 X 500 mg
= 9 mg/200 g BB
= 45 mg/kg BB
Perlu dicatat, besar takaran dosis yang diberikan, hendaknya selalu dikaitkan dengan
batas volume maksimum yang dapat diterima oleh subyek atau hewan uji.

Tabel III.2. Volume maksimal larutan sediaan uji yang dapat diberikan pada beberapa
hewan uji (Ritschel, 1974)
Volume maksimal (ml) sesuai jalur pemberian
Jenis hewan uji
i.v
i.m
i.p
s.c
p.o
Mencit (20-30 g)
0,5
0,05
1,0
0,5 1,0
1,0
Tikus (100 g)
1,0
0,1
25
25
5,0
Hamster (50 g)
0,1
12
2,5
2,5
Marmot (250 g)
0,25
25
5,0
10,0
Kelinci (2,5 kg)
5 10
0,5
10 20
5 10
20,0
Kucing (3 kg)
5 10
1,0
10 20
5 10
50,0
Anjing (5 kg)
10 - 20
5,0
20 - 50
10,0
100,0

Bagian Farmasi Klinik Fakultas Farmasi Universitas Jember

10

Petunjuk Praktikum Toksikologi

Pada dasarnya, volume pemberian disarankan tidak melebihi setengah kali volume
maksimal yang boleh diberikan pada hewan uji, utamanya untuk pemberian berulang dalam
jangka panjang seperti pada uji ketoksikan subkronis, kronis, dan kekarsinogenikan. Bahkan
untuk mencit dan tikus, volume pemberian disarankan tidak melebihi 0,005 ml/g BB. Hal ini
didasarkan pada perkiraan bahwa harga LD50 air dan garam fisiologis, kurang lebih berturutturut 0,04 ml/g dan 0,068 ml/g BB. Dan yang lebih penting, bila pemberian sediaan uji
melalui jalur oral, volume yang diberikan pada sekelompok hewan uji sama besarnya.Dalam
hal ini, agar dosis yang diberikan besarnya sama, buatlah variasi kadar sediaan uji
(keseragaman dosis disesuaikan dengan variasi kadar sediaan uji). Bila pemberian sediaan uji
melalui jalur parenteral, volume yang diberikan pada sekelompok hewan uji dapat bervariasi
sesuai dengan berat badan masing-masing. Dalam hal ini, kadar sediaan uji dibuat sama
(keseragaman dosis disesuaikan dengan variasi volume pemberian). Tabel III.2. memuat
batas volume maksimum yang boleh diberikan pada hewan uji.
Kekerapan, lama, dan saat pemberian sediaan uji juga perlu dipertimbangkan
masak-masak. Untuk keperluan uji toksikologi, pada umumnya sediaan uji diberikan dengan
kekerapan sekali sehari, kecuali untuk kasus-kasus tertentu dapat diberikan lebih dari sekali
sehari. Lama pemberian sediaan uji, disesuaikan dengan masing-masing jenis uji toksikologi.
Namun, perlu diperhatikan bahwa lama pemberian sediaan uji pada hewan uji ada kaitannya
dengan lama perkiraan penggunaannya pada manusia. Tabel III.3. memuat kekerabatan
antara lama pemberian, masa hidup hewan dan kesetaraannya dengan manusia. Selain itu
perbedaan kekerapan dan lama pemberian dapat mengakibatkan perbedaan wujud efek
toksik yang ditimbulkan. Demikian pula halnya dengan saat pemberian, juga berpengaruh
terhadap wujud efek toksik yang ditimbulkan oleh sediaan uji. Hal ini utamanya berkaitan
dengan irama diurnal, irama sirkadian dan kerentanan suatu organ terhadap ketoksikan
senyawa uji. Karena itu, pemberian sediaan uji seharusnya dilakukan pada waktu yang sama
(berkaitan dengan jam biologis, pagi, siang, sore, malam) atau tepat pada masa kritis
perkembangan organ (misalnya stadium organogenesis masa bunting, dalam uji
keteratogenikan).

Tabel III. 3. Kekerabatan waktu antara pemberian/pemejanan senyawa pada hewan uji,
masa hidup hewan uji, dan kesetaraan waktu dengan manusia (Benitz, 1970)
Tikus
Kelinci
Anjing
Kera
Lama
Masa
Setara
Masa
Setara
Masa
Setara
Masa
Setara
uji
hidup manusia hidup manusia hidup manusia hidup manusia
(bulan)
%
(bulan)
%
(bulan)
%
(bulan)
%
(bulan)
1
4,1
34
1,5
12
0,82
6,5
0,55
4,5
2
8,2
67
3,0
24
1,6
14
1,1
9
3
12
101
4,5
36
2,5
20
1,6
13
6
25
202
9,0
72
4,9
40
3,3
27
12
49
404
18
145
9,8
81
6,6
53
24
99
808
36
289
20
162
13
107

Bagian Farmasi Klinik Fakultas Farmasi Universitas Jember

11

Petunjuk Praktikum Toksikologi

III. 4. 3. Faktor subyek uji


Subyek uji yang digunakan untuk uji toksikologi adalah hewan uji sehat. Meskipun
demikian, hasil ujinya tidak akan dimanfaatkan untuk mengevaluasi ketoksikan senyawa uji
pada hewan uji yang bersangkutan, melainkan untuk memperkirakan batas aman dan resiko
penggunaan atau pemejanan pada manusia. Selain itu, analisis hasil uji toksikologi,
melibatkan analisis statistik, sehingga untuk memenuhi kebermaknaan statistik tertentu,
diperlukan jumlah hewan uji yang memadai. Dan tentunya, masing-masing hewan uji
memiliki keterbatasan dalam hal penerimaan terhadap masukan senyawa uji. Bila demikian,
beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dengan seksama dalam kaitannya dengan subyek
uji meliputi pemilihan, kondisi, jumlah, dan keterbatasan ukuran hewan uji yang akan
digunakan.
Pemilihan hewan uji, idealnya harus dipilih yang semirip mungkin dengan manusia,
utamanya dalam hal absorpsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi terhadap senyawa uji.
Hal ini dilakukan untuk memperkecil keterubahan respon antar jenis dan dalam satu jenis
hewan uji terhadap efek senyawa uji. Suatu hal yang sulit dikerjakan, apalagi bila bahan
ujinya berupa obat tradisional yang mengandung aneka ragam zat aktif. Karena itu, pada
umumnya hewan uji yang digunakan sebagai subyek uji toksikologi lebih dari dua jenis
hewan. Hal ini disarankan dengan asumsi bahwa bila wujud efek toksik suatu senyawa
diperlihatkan pada beberapa jenis hewan uji, kemungkinan besar juga akan terwujud pada
diri manusia.
Kondisi hewan uji yang akan digunakan, benar-benar harus berada dalam keadaan
sehat. Bila tidak, niscaya perkembangan patologis yang terjadi selama uji toksikologi
berlangsung, sulit dievaluasi sumber penyebabnya, berasal dari senyawa uji atau kondisi
bawaan hewan ujinya. Karena itu, pemeliharaan dan penanganan hewan uji sebelum dan
selama masa uji berlangsung harus benar-benar diperhatikan.
Jumlah hewan uji yang akan digunakan, juga harus dipertimbangkan. Hal ini
berkaitan dengan kebermaknaan statistik sebagai salah satu landasan penarikan kesimpulan
hasil uji dan prinsip ekstrapolasi kejadiaanya pada diri manusia. Karena itu jumlah hewan uji
yang digunakan harus disesuaikan dengan metode statistika yang akan diterapkan untuk
masing-masing jenis uji toksikologi.
Keterbatasan ukuran hewan uji berkaitan degan keragaman berat, luas permukaan
badan, kapasitas organ, dan volume cairan badan antar jenis hewan uji. Keberagaman
tersebut tentunya berpengaruh terhadap daya terima maupun kerentanan hewan uji
terhadap masukan dan ketoksikam senyawa uji. Karena itu volume pemberian dosis pada
hewan uji harus disesuaikan dengan batas volume maksimum yang boleh diberikan pada
hewan uji tertentu, sebagaimana telah diuraikan pada bab sebelumnya. Bila tidak,
interpretasi dan evaluasi terhadap perkembangan patologis yang terjadi selama masa uji
sulit ditegaskan penyebabnya.
III. 4.4. Faktor pengamatan dan pengambilan cuplikan
Dalam uji taksikologi, upaya mendapatkan data tolok ukur kualitatif maupun
kuantitatif memerlukan aneka ragam pengamatan langsung terhadap aneka perubahan yang
terjadi pada diri hewan uji (misal gejala klinis) maupun pengambilan aneka ragam cuplikan
hayati (misal darah, urin, organ). Kondisi patologis yang disimpulkan, mungkin tidak sesuai
dengan kondisi yang sebenarnya, karena tidak diikutinya tata cara baku pengamatan dan

Bagian Farmasi Klinik Fakultas Farmasi Universitas Jember

12

Petunjuk Praktikum Toksikologi

pengambilan cuplikan hayati. Karena itu, ketaatan terhadap tata cara baku pengamatan maupun pengambilan cuplikan untuk masing-masing jenis uji toksikologi merupakan suatu
keharusan.
III. 4.5. Faktor analisis hasil, evaluasi hasil, dan penarikan kesimpulan
Bagaimanapun cermatnya kita mengendalikan berbagai faktor yang terkait dengan
rancangan uji, sediaan uji, subyek uji, serta pengamatan dan pengambilan cuplikan hayati,
tetapi bila tata cara analisis hasil, evaluasi hasil, dan penarikan kesimpulan baik secara
kualitatif maupun kuantitatif tidak dikerjakan dengan seksama sesuai dengan kriteria baku
dan tujuan masing-masing jenis uji toksikologi, kesahihan hasil ujinya menjadi kurang andal.
Suatu hal yang perlu dicermati oleh para mahasiswa.
Telah dipaparkan aneka ragam faktor yang dapat mempengaruhi kesahihan uji
toksikologi. Karena itu, sebelum para mahasiswa memulai praktikum, sebaiknya mau
mempelajari aneka ragam faktor tersebut dan mampu menerapkannya dalam praktek
sesungguhnya.
III. 5. PUSTAKA ACUAN
Benitz, K.F. 1970. Measurement of Chronic Toxicity. In. Paget, G.E. (Ed.). Methods in
Toxicology. Blackwell Scientific Publications: Oxford.
Chung, K.S., Lec, E.B. & Walter, D.P. 1985. Laboratory Manual. Regional Workshop on the
people antivertility evaluation of natural products. Natural Products Research
Institute-Seoul National University : Seoul.
Donatus, I.A. 1990. Toksikologi Pangan. Edisi I. PAU Pangan dan Gizi Universitas Gadjah
Mada : Yogyakarta.
Laurence, D.R. & Bacharach, A.L. 1964. Evaluation of Drug Activities. Pharmacometrics
Loomis, T.A. 1978. Essentials of Toxicology. 3rd ed. Lee & Febiger: Philadelphia. atau Edisi
terjemahan (Imono Argo Donatus, alih bahasa). Toksikologi Dasar. Edisi III. Ikip Press
: Semarang.
Ritschell, W.A. 1974. Laboratory Manual of Biopharmaceutics. Drug Intelligence Publications
: Hamilton.
World Health Organization. 1966. Principles for Pre-clinical Testing of Drug Safety, WHO
Technical Report Series, 341:3-22
World Health Organization. 1978. Environmental Health Criteria 6 : Principles and Method
for Evaluating the Toxicity of Chemicals. Part I. WHO: Geneva. Chemicals.

Bagian Farmasi Klinik Fakultas Farmasi Universitas Jember

13

Petunjuk Praktikum Toksikologi

BAB IV
PERCOBAAN I
UJI KETOKSIKAN AKUT

IV. 1. TUJUAN
Mahasiswa mampu memahami tujuan, sasaran, tata cara pelaksanaan, luaran, dan
manfaat uji ketoksikan akut suatu obat.
IV. 2. PENDAHULUAN
Ketoksikan akut adalah derajat efek toksik suatu senyawa yang terjadi dalam waktu
singkat setelah pemberiannya dalam dosis tunggal. Batasan waktu singkat disini ialah
rentang waktu selama 24 jam selama pemberian senyawa. Bila demikian, uji ketoksikan akut
dapat ditakrifkan sebagai uji ketoksikan suatu senyawa yang diberikan atau dipejankan dengan dosis tunggal pada hewan uji tertentu, dan pengamatannya dilakukan selama masa 24
jam.
Tujuan utama uji ketoksikan akut suatu obat ialah untuk menetapkan potensi
ketoksikan akut, yakni kisaran dosis letal atau dosis toksik obat terkait pada satu jenis hewan
uji atau lebih. Selain itu, uji ini juga ditujukan untuk menilai berbagai gejala klinis yang
timbul, adanya efek toksik yang khas, dan mekanisme yang memerantarai terjadinya
kematian hewan uji.
Jadi, dalam uji ketoksikan akut, data yang dikumpulkan berupa tolok ukur ketoksikan
kuantitatif (kisaran dosis letal/toksik) dan tolok ukur ketoksikan kualitatif (gejala klinis,
wujud, dan mekanisme efek toksik).
Tolok ukur kuantitatif yang paling sering digunakam untuk menyatakan kisaran dosis
letal atau toksik, berturut-turut adalah dosis letal tengah (LD50) atau dosis toksik tengah
(TD50).Yakni, suatu besaran yang diturunkan secara statistik, guna menyatakan dosis tunggal
suatu senyawa yang diperkirakan dapat mematikan atau menimbulkan efek toksik yang
berarti pada 50% hewan uji. Terdapat tiga metode yang paling sering digunakan untuk
menghitung harga LD, yakni metode grafik Lithfield & Wilcoxon, metode kertas grafik probit
logaritma Miller dan Tainter, dan metode rata-rata bergerak Thompson-Weil, yang pada
dasarnya didasarkan pada kekerabatan antara peringkat dosis dan % jumlah hewan yang
menunjukkan respon.
Pada dasarnya uji ketoksikan akut suatu obat merupakan salah satu mata rantai uji
toksikologi dalam kaitannya dengan penilaian keamanan obat terkait bila digunakan oleh
manusia. Jadi, hasil uji ketoksikan akut, terutama potensi ketoksikannya (LD50),
bersama-sama dengan hasil uji potensi keefektifan (ED50), bermanfaat sekali untuk
mengevaluasi batas aman dan indeks terapi (LD50/ED50) obat terkait. Selain itu, pengetahuan
tentang potensi ketoksikan akut juga dapat dimanfaatkan untuk merancang uji ketoksikan
subkronis/kronis, maupun untuk memperkirakan dosis awal atau dosis terapi penelitian yang
lain (5-10% LD50).
Berikut ini para mahasiswa akan diperkenalkan pada tata cara pelaksanaan baku uji
ketoksikan akut suatu obat.

Bagian Farmasi Klinik Fakultas Farmasi Universitas Jember

14

Petunjuk Praktikum Toksikologi

IV.3. TATA CARA PELAKSANAAN


Pemilihan hewan uji
Hewan uji yang digunakan sekurang-kurangnya dua jenis hewan, lebih disarankan
empat jenis, terdiri dari roden dan nirroden. baik jantan maupun betina, satu galur, dewasa
sehat, dan beratnya seragam (variasi yang diperbolehkan lebih kurang 10%).
Pengelompokan hewan uji
Sejumlah hewan uji terpilih, selanjutnya diadaptasikan di laboratorium paling tidak
selama satu minggu. Penimbangan berat badan dilakukan satu hari sebelum perlakuan.
Kemudian hewan uji dibagi menjadi beberapa kelompok, sesuai dengan jumlah peringkat
dosis senyawa uji yang akan diberikan, ditambah satu kelompok kontrol negatif.
Masing-masing kelompok uji paling tidak terdiri lima ekor hewan.
Tata cara pemberian/pemejanan dosis sediaan uji
Sedapat mungkin senyawa uji dipersiapkan sebagai sediaan larutan. Dosis sediaan uji
yang diberikan, paling tidak terdiri dari empat peringkat dosis, berkisar dari dosis terendah
yang tidak atau hampir tidak mematikan seluruh hewan uji, sampai dengan dosis tertinggi
yang mematikan seluruh atau hampir seluruh hewan uji (kisaran dosis diperkirakan
menyebabkan 10 - 90% kematian hewan pada masa akhir uji).
Peringkat dosis terendah sampai tertinggi yang dipilih sebaiknya merupakan interval
logaritma yang ajeg (kelipatan tetap). Untuk mempermudah penetapan peringkat dosis
seyogyanya dilakukan dahulu orientasi dengan interval log 0,6 atau antilognya (kelipatan
tetap = 4). Bila peringkat dosis terendah dan tertinggi sudah ditemukan, selanjutnya
peringkat dosis antaranya ditetapkan berdasarkan faktor interval atau kelipatan tetap yang
lebih sesuai. Namun, bila yang diuji adalah obat tradisioanl (jamu), lebih baik dicoba dahulu
dosis tertinggi tepat pada batas volume maksimum yang boleh diberikan pada hewan uji,
karena pada umumnya sulit ditemukan harga LD50 aktual jamu.
Sediaan uji diberikan pada hewan uji paling tidak melalui jalur yang akan digunakan
oleh manusia. Dalam hal ini, WHO (1966) menyarankan tiga atau lebih jalur pemberian. Dan
kekerapan pemberian hanya sekali selama masa uji.
Pengamatan
Masa pengamatan dilakukan selama 24 jam, kecuali pada kasus-kasus tertentu
dapat selama 7 14 hari.
Kriteria pengamatan meliputi : (a) pengamatan fisik terhadap gejala-gejala klinis
(Tabel IV.1.), (b) perubahan berat badan, (c) jumlah hewan yang mati pada masing-masing
kelompok uji, dan (d) histopatologi seluruh hewan.
Analisis dan evaluasi hasil
Data gejala-gejala klinis yang tampak pada fungsi vital, secara kualitatif dipakai untuk
mengevaluasi mekanisme penyebab kematian. Data hasil pemeriksaan histopatologi
digunakan untuk mengevaluasi spektrum efek toksik. Data jumlah hewan yang mati pada
masing-msing kelompok secara kuantitatif digunakan untuk menghitung harga LD50
mengikuti salah satu tata cara yang telah disebutkan dalam pendahuluan. Bila sampai
dengan batas volume maksimal yang boleh diberikan pada hewan uji, dosis yang diberikan
tidak menimbulkan kematian hewan uji (sering dijumpai pada pengujian obat tradisional),
maka dosis tertinggi tersebut dinyatakan sebagai LD50 semu (LD0)

Bagian Farmasi Klinik Fakultas Farmasi Universitas Jember

15

Petunjuk Praktikum Toksikologi

Dari harga LD50 yang diperoleh, selanjutnya potensi ketoksikan akut senyawa uji
dapat digolongkan menjadi :
Sangat tinggi, bila LD50
1 mg/kg
Tinggi
= 1 50 mg/kg
Sedang
= 50 500 mg/kg
Sedikit toksik
= 500 5000 mg/kg
Hampir tidak toksik
= 5 15 g/kg
Relatif tidak berbahaya
15 g/kg
IV.4. PERCOBAAN
Uji ketoksikan akut parasetamol
a. Kelas dibagi menjadi empat kelompok.
b. Masing-masing kelompok mendapatkan empat ekor mencit
c. Masing-masing mencit diberi suspensi parasetamol secara per oral dengan dosis 125
mg/kgBB, 250 mg/kgBB, 500 mg/kgBB dan 1000 mg/kgBB.
d. Amati gejala-gejala klinis yang timbul
e. Catat jumlah mencit yang mati dalam waktu 24 jam
f. Gunakan data seluruh kelompok untuk menghitung harga LD50

IV. 5. PUSTAKA ACUAN


Balazs, T. 1970. Measurement of Acute Toxicity. In Paget, GE.(Ed.). Methods in Toxicology.
Blackwell Scientific Publications Oxford
Donatus, I.A. 1990. Toksikologi Pangan (Bab VI & VIII), Edisi I. PAU Pangan dan Gizi
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
Tallarida, R.J. & Murray, R.B. 1981. Manual of Pharmacologic Calculations with Computer
Programs. Springer-Veflag:New York
Timbrell, J.A. 1989. Introduction to Toxicology (chapter 11). Taylor & Francis: London
Turner, R.A. 1965. Screening Methods in Pharmacology (Calipter 5). Academic Press: New
York
Weil, C.S. 1952, Tables for Convenient Calculation of Median Effective Dose (LD50 or ED50)
and Intructions in Their use. Biometrics : 8, 249-262
World Health Organization (WHO). 1966. Principles for Preclinical Testing Of Drug Safety
WHO Technical Report Series. No 341. WHO: Geneva.
World Health Organization. 1978. Environmental Health Criteria 6:Principles and Methods for
Evaluating the Toxicity of Chemicals (Chapter 3). Part 1. WHO: Geneva.

Bagian Farmasi Klinik Fakultas Farmasi Universitas Jember

16

Petunjuk Praktikum Toksikologi

Tabel IV. 1. Pemeriksaan fisik dalam uji ketoksikan akut pada roden.
Sistem organ

SSP &
somatomotor

Sistem saraf
otonom
Pernafasan
Kardiovaskuler

Saluran cerna

Genitourinari
Kulit & bulu

Membran
mukosa

Lain-lain

Pengamatan dan
pemeriksaan
Perilaku

Tanda-tanda umum ketoksikan

Perubahan sikap terhadap pengamat,


vokalisasi luar biasa, gelisah.
Gerakan
Kedutan, tremor, ataksia, katatonia,
paralisis, konvulsi, keterpaksaan gerak
Kereaktifan terhadap aneka Keberingasan, kepasifan, anesthesia,
rangsang
hiperastesia
Refleks serebral & spinal
Lemah, tidak ada
Ukuran pupil
Miosis, midriasis
Sekresi
Salivasi, lakrimasi
Sifat & laju nafas
Bradipnea, dispnea
Palpitasi daerah kardiak
Bradikardi, aritmia, denyut lebih kuat atau
lemah
Peristiwa perut
Diare, sembelit, flatulen, kontraksi
Konsistensi tinja
Tidak terbentuk, warna hitam
Vulva, kelenjar mame
Bengkak
Penis
Prolap
Daerah perineal
Kotor
Warna, keutuhan
Kelembekan, kemerahan, pelepuhan,
piloereksi
Konjungtiva, mulut
Kongesti,
perdarahan,
sianosis,
kekuningan
Kelopak mata
Ptosis
Bola mata
Ebsoptalamus, nistagmus
Transparansi
Opotosis
Tempat injeksi
Bengkak
Kondisi umum
Perawakan abnormal, kurus

Bagian Farmasi Klinik Fakultas Farmasi Universitas Jember

17

Petunjuk Praktikum Toksikologi

BAB V
PERCOBAAN II
UJI KETOKSIKAN SUBKRONIS

V. 1. TUJUAN
Mahasiswa mampu memahami tujuan, sasaran, tata cara pelaksanaan, luaran, dan
manfaat uji ketoksikan subkronis suatu obat.
V.2. PENDAHULUAN
Uji ketoksikan subkronis adalah uji ketoksikan suatu senyawa yang diberikan dengan
dosis berulang pada hewan uji tertentu, selama kurang dari tiga bulan. Uji ketoksikan
subkronis suatu obat, utamanya diajukan untuk mengungkapkan spektrum efek toksik obat
terkait dan jenis organ yang terkena, maupun kekerabatan antara dosis dan spektrum efek
toksik. Selain itu, sering kali uji ini juga ditujukan untuk mengevaluasi keterbalikan
(reversibilitas) spektrum efek toksik yang terjadi.
Pada dasarnya, uji ketoksikan subkronis atau sering kali juga dikenal sebagai uji
ketoksikan subakut, meliputi efek toksik (wujud dan sifat) suatu obat yang mungkin timbul
selama lebih kurang 10% masa hidup hewan uji, yang pada akhirnya dapat disetarakan
dengan kejadian yang mungkin timbul ketika obat terkait digunakan oleh manusia (lihat
tabel III.3). Hal ini perlu dikerjakan mengingat pemakaian obat sering kali memerlukan waktu
yang relatif panjang, bahkan mungkin sepanjang masa hidup si pemakai. Selain itu, dengan
uji ketoksikan subkronis, memungkinkan terliputnya wujud dan sifat efek toksik yang
munculnya lambat dan tak dapat terliput pada uji ketoksikan akut.
Seperti telah diketahui, wujud efek toksik suatu senyawa mungkin berupa
perubahan (kekacauan) biokimia, fungsional, atau struktural. Karena itu, data yang
diperlukan untuk mengevaluasi ketoksikan subkronis, berupa tolok ukur kualitatif dan
kuantitatif yang terkait dengan tiga perubahan tersebut. Untuk itu diperlukan berbagai
pemeriksaan dan pengamatan yang mencakup perkembangan patologi, gejala dan tanda
klinis, sistem hematologi, fungsi organ secara biokimia, dan morfologi organ.
Selain sebagai dasar evaluasi batas aman pemakaian suatu obat, hasil uji ketoksikan
subkronis bermanfaat sekali bagi panduan perancangan uji ketoksikan kronis,
keteratogenikan, maupun farmakokinetika dosis berulang, utamanya berkaitan dengan
pemilihan hewan uji dan peringkat dosis. Di samping itu juga bermanfaat sebagai panduan
bagi para klinisi dalam menjalankan uji klinik obat terkait, utamanya berkaitan dengan efek
toksik yang seharusnya dilacak dan berbagai tolok ukur klinis yang harus dikembangkan, agar
uji kinik dapat berlangsung seoptimal mungkin dengan risiko seminimal mungkin.
Berbagai uraian di atas menunjukkan bahwa dalam uji ketoksikan kronis, terlibat
aneka tata cara pemeriksaan dan pengamatan. Karena itu kecermatan dalam
mempersiapkan dan melaksanakan tata cara pengujian serta kecermatan dalam
menganalisis data uji maupun menginterpretasi dan mengevaluasi hasil uji, sungguh
merupakan faktor yang besar sekali pengaruhnya atas kesahihan hasil uji ketoksikan
subkronis.
Berikut ini para mahasiswa akan diperkenalkan pada tata cara pelaksanaan uji
ketoksikan subkronis.

Bagian Farmasi Klinik Fakultas Farmasi Universitas Jember

18

Petunjuk Praktikum Toksikologi

V.3. TATA CARA PELAKSANAAN


Pemilihan hewan uji
Uji ketoksikan subkronis berlangsung cukup lama dan hasilnya akan
diekstrapolasikan pada manusia. Karena itu, pemilihan hewan uji seharusnya didasarkan
pada kemiripan pola absorpsi, metabolisme, dan ekskresi antara hewan uji dan manusia.
Kalau tidak, hewan yang memperlihatkan respons terhadap efek farmakologi obat terkait.
Selain itu, hewan yang tidak mudah terjangkiti penyakit spontan, serta hewan yang
penanganan maupun pemeliharaannya dalam lingkungan baru termasuk mudah, juga pertu
dipertimbangkan.
Untuk keperluan uji ketoksikan subkronis suatu obat sekurang-kurangnya dikerjakan
pada satu atau dua jenis hewan yang sehat, satu galur, baik jantan maupun betina. Hewan
uji yang paling banyak digunakan adalah tikus (roden) dan anjing (nirroden).
Tabel V. 1. Panduan umum masa pemberian dalam uji toksikologi (WHO)
Masa pemberian pada manusia
Masa pemberian pada lebih dari satu jenis hewan
yang disarankan
Dosis tunggal atau beberapa dosis
Paling tidak 2 minggu
Sampai 4 minggu
13 26 minggu
Lebih dari 4 minggu
Paling tidak 26 minggu (tidak termasuk uji
kekarsinogenikan)
Tabel V. 2. Panduan masa pemberian obat uji pada masing-masing uji ketoksikan tak khas
di Jepang
Kekerapan atau masa pemberian
Masa penerapan klinis
Ketoksikan
Ketoksikan
Ketoksikan
akut
subkronis
kronis
Sekali
Sekali
28 hari
Tidak perlu
Satu minggu atau kurang
Sekali
90 hari
Tidak perlu
Lebih dari satu minggu sampai 4 minggu Sekali
28 hari
6 bulan
Lebih dari 4 minggu
Sekali
90 hari
1 tahun

a.
b.
c.
d.

e.

Kriteria pengamatan meliputi :


Berat badan masing-masing hewan uji ditimbang pada hari ke nol, dan seterusnya paling
tidak setiap 7 hari sekali.
Masukan makanan dan minuman untuk masing-masing hewan atau kelompok hewan
uji, ditimbang atau diukur paling tidak 7 hari sekali.
Berbagai gejala klinis umum diperiksa melalui pengamatan fisik seperti pada tabel IV.1.
setiap hari. Saat penampakan gejala klinis dan wujud gejala klinis dicatat.
Pemeriksaan hematologi (jumlah sel darah merah, sel darah putih, kadar hemoglobin,
volume korpuskuli, protein total), paling tidak diperiksa dua kali, yakni pada awal dan
akhir masa uji coba.
Pemeriksaan fungsi organ secara biokimia dikerjakan melalui pemeriksaan kimia darah
(kadar sodium, potasium, klorida, kalsium, karbon dioksida, SGPT, SGOT, alkali fosfatase
serum, gula darah, protein total, dan albumin) dan analisis urin (pH, bobot jenis, protein

Bagian Farmasi Klinik Fakultas Farmasi Universitas Jember

19

Petunjuk Praktikum Toksikologi

total, volume urin, sedimen, glukosa, keton, bilirubin, bersih kreatinin), paling tidak
diperiksa dua kali, pada awal dan akhir masa uji.
f. Pada akhir masa uji, beberapa hewan uji pada masing-masing kelompok dikorbankan,
ambil semua organ mengikuti tata cara baku pengambilan cuplikan hayati dan buat
preparat histologi mengikuti tata cara pengecatan hematoksilin-eosin, guna
pemeriksaan morfologi (histopatologi) organ. Sebaiknya beberapa organ penting seperti
hati dan ginjal, juga ditimbang terlebih dahulu sebelum dibuat preparat histologi.
g. Bila selama masa uji terdapat hewan yang sekarat atau mati, harus dilakukan
pemeriksaan histopatologi seperti pada butir f.
h. Untuk uji keterbalikan (reversibilitas), yakni guna menentukan sifat efek toksik yang
terjadi, paling tidak beberapa hewan uji pada kelompok peringkat dosis terendah dan
tertinggi setelah masa uji berakhir (perlakuan dihentikan), dilanjutkan dengan
pengamatan ulang (butir a-f) selama 2 4 minggu.
Analisis dan evaluasi hasil
a.
Data penimbangan berat hewan uji ditabelkan, kemudian dihitung purata kenaikan
berat perhari (PKBP). Data PKBP antar kelompok perlakuan selanjutnya dianalisis
secara statistik mengikuti metode analisis varian pola searah.
b.
Data masukan makanan dan minuman ditabelkan, kemudian perbedaan purata harian
antar kelompok perlakuan dianalisis secara statistik, analisis varian pola searah.
c.
Data gejala-gejala klinis dianalisis secara kualitatif.
d.
Data pemeriksaan hematologi dibuat grafik dan ditabelkan. Kemudian perbedaan
purata masing-masing komponen sistem hematologi dianalisis secara statistik
mengikuti metode analisis varian split-plot, diikuti dengan analisis Duncan's new
multiple range test.
e.
Demikian pula data analisis urin dianalisis seperti pada butir d.
f.
Data pemeriksaan histopatologi organ dianalisis secara kualitatif berdasarkan
perubahan morfologi yang terjadi dibandingkan dengan kelompok kontrol negatif.
g.
Data uji keterbalikan dianalisis secara kualitatif untuk menyatakan sifat efek toksik
yang terjadi termasuk kategori timbal balik atau takterbalikkan.
Temuan dari perubahan perkembangan berat badan, masukan makanan dan
minuman, serta gejala-gejala klinis, digunakan untuk mengevaluasi status kesehatan dan
perkembangan patologi hewan uji akibat perlakuan sediaan senyawa uji. Dan hasil
pemeriksaan hematologi serta analisis urin, dipakai untuk mengevaluasi adanya perubahan
fungsional sistem organ sebagai perwujudan efek toksik senyawa uji. Berikutnya perubahan
morfologi sel jaringan organ dan kelenjar yang ditemukan dari pemeriksaan histopatologi,
digunakan untuk mengevaluasi perubahan struktural sel organ atau kelenjar terkait sebagai
perwujudan efek dan sifat toksik senyawa uji.
Berdasarkan atas berbagai temuan dan evaluasi di atas akhirnya spektrum efek
toksik (wujud dan sifat) senyawa uji pada hewan uji terkait dapat ditegaskan. Selain itu,
berdasarkan atas kekerabatan antara peringkat dosis senyawa uji dan wujud efek toksik
yang terjadi, dapat ditegaskan batas aman pemakaian obat terkait.

Bagian Farmasi Klinik Fakultas Farmasi Universitas Jember

20

Petunjuk Praktikum Toksikologi

V. 4. PERCOBAAN
Uji ketoksikan kronis parasetamol
a. Kelas dibagi menjadi empat kelompok.
b. Masing-masing kelompok mendapatkan tiga ekor mencit (kontrol, perlakuan I dan
perlakuan II).
c. Kelompok kontrol, mencit diberi larutan CMC Na 1% selama 28 hari.
d. Kelompok perlakuan, masing-masing mencit perlakuan diberi suspensi parasetamol
secara per oral dengan dosis 250 mg/kgBB (dosis hepatotoksik) dan 65 mg/kgBB
(dosis terapi) selama 28 hari.
Pengamatan
a. Lakukan penimbangan BB mencit setiap 1 minggu.
b. Setelah perlakuan selama 28 hari, ambil cuplikan darah mencit melalui intrakardial
atau melalui vena optalmikus yang terdapat di sudut mata, kemudian tampung
dalam vial.
c. Pemeriksaan kadar SGOT dan SGPT dalam serum dilakukan dengan penambahan
larutan pereaksi sejumlah tertentu yang dihomogenkan kemudian diamati dengan
menggunakan spektrofotometer.
d. Bandingkan kadar SGOT dan SGPT dari mencit kontrol, mencit dengan perlakuan
parasetamol dosis hepatotoksik dan dosis terapi.
V.5. PUSTAKA ACUAN
Anonim. 1984. Supplements Toxicity Test Guideline. In Anonim. Drug Approval and Licensing
Procedures in Japan. Yakugyo Jiho : Tokyo.
Benitz, K.F. 1970, Measurement of Chronic Toxicity. In Paget, G.E. (Ed.). Methods in
Toxicology. Blackwell Scientific Publications: Oxford.
Chaudhary, M., Tamta, A., and Sehgal, R. 2009. Sub-Chronic Toxicity Study of Fixed Dose
Combination of Ofloxacin in Mus Musculuc Mice. The Open Toxicology Journal (3) :
24-29
Donatus, I.A. 1990. Toksikologi Pangan (Bab III, IV, V, VI, VIII). Edisi 1.PAU Pangan & Gizi
Universitas Gadjah Mada : Yogyakarta.
Linawati, Y., Apriyanto, A., Susanti, E., Wijayanti., Donatus, I.A.2006. Efek Hepatoprotektif
Rebusan Herba Putri-Malu (Mimosa pigra, L.) pada TIkus Terangsang Parasetamol,
Laboratorium Farmakologi dan Toksikologi Fakultas Farmasi Universitas saanata
Dharma : Yogyakarta. Diakses dari www.usd.ac.id/06/publ_dosen/far/yunita.pdf
Loomis, T.A. 1978 (Edisi terjemahan, Alih Bahasa Imono Argo Donatus) Toksikologi Dasar
(Bab XIII). Edisi 3. Ikip Press: Semarang.
Timbrell, J.A. 1989, Iniroduction to Toxicology (Chapter 3 & 11). Taylor & Francis : London.
World Health Organization (WHO). 1966. Principle for Pre-clinical Testing of Drug
Safety. WHO Technical Report Series. No. 341. WHO: Geneva.
World Health Organization (WHO). 1975. Guidelines for Evaluation of Drugs for Use in Man.
WHO Technical Report Series. No. 563. WHO: Geneva.
World Health Organization (WHO). 1978. Environmental Health Criteria 6: Principles and
Menthod for Evaluating the Toxicity of Chemicals (Chapter 3). Part I. WHO: Geneva.

Bagian Farmasi Klinik Fakultas Farmasi Universitas Jember

21

Petunjuk Praktikum Toksikologi

BAB VI
PERCOBAAN III
UJI KETERATOGENIKAN

VI. 1. TUJUAN
Mahasiswa mampu memahami tujuan, sasaran, tata cara pelaksanaan, luaran, dan
manfaat uji keteratogenikan suatu obat.
V1. 2. PENDAHULUAN
Bagaimanapun wanita hamil tidak bebas dari penyakit sehingga penggunaan suatu
obat terkadang merupakan suatu keharusan. Bahkan, wanita hamil yang sehat pun
terkadang menggunakan sesuatu obat, baik obat modern atau atau tradisional, utamanya
sebagai upaya menjaga kesehatan si ibu selama masa kehamilannya. Agar obat yang
digunakan oleh si ibu tidak membahayakan diri si janin yang dikandungnya, maka keamanan
obat terhadap diri janin harus ditegaskan. Untuk itu perlu dilakukan beberapa uji reproduksi
terhadap obat yang kemungkinan besar akan digunakan oleh wanita hamil, yang salah salu
di antaranya adalah uji keteratogenikan.
Uji keteratogenikan merupakan salah satu jenis uji ketoksikan khas. Tepatnya,
adalah uji ketoksikan suatu obat yang diberikan/dipejankan selama masa organogenesis
hewan bunting. Uji ini ditujukan untuk menentukan apakah suatu obat dapat menyebabkan
kelainan atau cacat bawaan pada diri janin yang dikandung oleh hewan bunting dan apakah
cacat tersebut berkerabat dengan dosis obat yang diberikan. Dengan demikian uji
keteratogenikan bermanfaat sekali sebagai landasan evaluasi batas aman dan risiko
penggunaan sesuatu obat oleh wanita hamil utamanya berkaitan dengan cacat bawaan janin
yang dikandungnya.
Sebagaimana tersirat dalam takrif uji keteratogenikan di atas, pada dasarnya
terdapat beberapa kegiatan utama dalam pelaksanaan ujinya, yakni pengawinan
(pembuntingan) hewan uji terpilih, penegasan masa kebuntingan, penetapan masa
organogenesis (pembentukan organ), pemberian/pemejanan obat uji pada masa
organogenesis tersidik, pemeriksaan dan pengamatan tolok ukur kualitatif dan kuantitatif
kelainan atau cacat bawaan pada masa kelahiran normal, dan akhirnya analisis serta evaluasi
hasil. Kecermatan dalam mengelola berbagai kegiatan tersebut, jelas merupakan penentu
kesahihan hasil ujinya.
Berikut ini, para mahasiswa akan diperkenalkan pada tata cara pelaksanaan baku uji
keteratogenikan sesuatu obat.
V1.3. TATA CARA PELAKSANAAN
Pemilihan hewan uji
Hewan uji yang digunakan paling tidak terdiri dari dua jenis hewan, roden dan
nirroden. Beberapa hal perlu diperhatikan dalam pemilihan hewan uji ini, yakni berkaitan
dengan umur, berat badan, keperawanan, keteraturan daur estrus, periode laktasi pendek,
jumlah anak, dan kerentanan terhadap teratogen. Hal yang terakhir ini dapat diketahui
dengan cara memejani hewan bunting dengan senyawa uji yang dosisnya setara dengan
harga LD50nya. Bila kemudian ditemukan kematian pada seluruh janin yang dikandungnya,

Bagian Farmasi Klinik Fakultas Farmasi Universitas Jember

22

Petunjuk Praktikum Toksikologi

dapat dikatakan hewan tersebut peka terhadap teratogen. Berdasarkan kajian terhadap
berbagai laporan pelaksanaan uji keteratogenikan, hewan uji yang disarankan dapat dipilih
adalah mencit dan tikus (roden) dan kelinci (nirroden) yang masih perawan dan daur
estrusnya teratur.
Pengelompokan hewan uji
Hewan uji terpilih, setelah diadaptasikan dengan suasana laboratorium selama satu
minggu, kemudian dikelompokkan sesuai dengan peringkat dosis yang diberikan, ditambah
satu atau dua kelompok kontrol negatif dan jika perlu satu kelompok kontrol positif.
Masing-masing kelompok tersebut paling tidak terdiri dari 20-30 ekor hewan untuk mencit
dan tikus atau 12 ekor untuk kelinci. Perlu dicatat di sini, hewan uji yang dikelompokkan
tersebut, daur estrusnya telah diperiksa keteraturannya.
Pemeriksaan daur estrus
Sebelum hewan uji dikawinkan, dilakukan pemeriksaan daur estrus dengan cara
usap vagina sebagai berikut :
a. Siapkan larutan fisiologis (NaCl 0,9%)
b. Pegang tikus atau mencit dengan cara lazim menggunakan tangan kiri sehingga berada
dalam posisi punggung di bawah.
c. Dengan tangan kanan ambil pipet tetes yang telah berisis larutan fisiologis secukupnya.
d. Masukkan pipet tetes ke liang vagina dengan hati-hati. Kemudian tekan karet agar
larutan fisiologis masuk ke liang vagina. Dalam keadaan pipet tetap tertekan, tunggu
sebentar. Selanjutnya, lepaskan tekanan pipet agar larutan fisiologis tadi tersedot
kembali ke dalam pipet. Larutan fisiologis yang tersedot tersebut agak keruh (cairan
apus vagina).
e. Letakkan kembali hewan uji dalam kandang.
f. Teteskan cairan apus vagina pada gelas obyek.
g. Amati tipe-tipe sel epitel apus vagina di bawah mikroskop. Bentuk sel yang mungkin
ditemukan pada apus vagina terlihat pada gambar VI. 1. Dan berdasarkan temuan tipe
sel tersebut, selanjutnya dapat ditegaskan fase daur estrus yang sedang dialami oleh
hewan uji, dengan kriteria seperti tersaji pada gambar VI. 2.
h. Mencit atau tikus yang daur estrusnya berlangsung selama 4-5 hari, dinyatakan sebagai
memiliki daur estrus yang teratur. Hewan uji yang menunjukkan daur estrus teratur
dipersiapkan untuk dikawinkan guna pengujian keteratogenikan obat. Pemeriksaan daur
estrus tersebut sebaiknya dilakukan dua kali.
Pengawinan dan penetapan masa bunting
Hewan uji yang memiliki daur estrus teratur, selanjutnya dikawinkan dengan
pejantan dengan cara seperti berikut:
Hewan yang sedang berada dalam fase proestrus pada pagi hari, sore harinya
dimasukan dalam satu kandang dengan pejantannya (jam 5-6 sore merupakan waktu yang
paling disenangi). Pagi hari berikutnya, betina dipisahkan dari pejantan dan diperiksa apus
vaginanya secara mikroskopis, seperti cara pemeriksaan daur estrus. Bila dalam apus vagina
terlihat adanya sperma, berarti telah terjadi perkawinan.
Hari ke nol masa bunting hewan uji dihitung sejak ditemukannya sperma dalam apus
vagina. Bergantung pada hewan ujinya, selanjutnya masa organogenesis dan masa kelahiran
normal dapat ditetapkan seperti terlihat pada tabel VI.1.

Bagian Farmasi Klinik Fakultas Farmasi Universitas Jember

23

Petunjuk Praktikum Toksikologi

Gambar VI. 1. Tipe sel vagina. N = sel epitel berinti, C = sel epitel cornified, L = leukosit

Fase

Dinding vagina

Usap vagina

Durasi
(jam)

Estrus
12
Metestrus
21
Diestrus
57

Proestrus
12

perilaku
Siap menerima
tubuh pejantan

Tidak bersedia
menerima
pejantan
Tidak bersedia
menerima
pejantan

Pada akhir masa


ini betina mulai
menerima
pejantan

Gambar VI. 2. Fase daur estrus (Fox & Laird, 1970)

Tabel VI.1. Masa bunting dan masa organogenesis beberapa hewan


Jenis hewan
Mencit
Tikus
Kelinci

Masa bunting (hari)


19
21
30 - 35

Masa organogenis (hari


ke)
6 15
7 17
6 - 18

Tata cara pemberian dosis sediaan uji


Untuk keperluan uji ketratogenikan, dosis yang diberikan paling tidak terdiri dari tiga
peringkat dosis. Dosis teratogenik umumnya terletak antara dosis letal terhadap induk atau
semua janin dan dosis yang tidak menimbulkan efek teratogenik. Dosis teratogenik ini

Bagian Farmasi Klinik Fakultas Farmasi Universitas Jember

24

Petunjuk Praktikum Toksikologi

kemungkinan setara dengan dosis subtoksik pada uji ketoksikan subkronis dengan hewan uji
yang sama. Dosis teratogenik juga dapat ditentukan dari harga LD50 senyawa uji pada induk
(antara 1/4 - 1/3 LD50 induk). Apabila terdapat kesulitan dalam menentukan harga LD50 induk
(sering dijumpai pada pengujian obat tradisional), dosis teratogenik dapat dicari secara
tentatif (misal 1x, 2x, 4x dan seterusnya dari dosis terapi untuk manusia). Dari ketiga
peringkat dosis, dosis tertinggi yang digunakan tidak boleh memperlihatkan efek negatif
pada induk, misal sedasi. Dan dosis terendahnya, harus meliputi dosis terapi.
Jalur pemberian sediaan uji paling tidak harus meliputi jalur klinis manusia. Peringkat
dosis sediaan uji diberikan dengan kekerapan sekali sehari selama masa organogenesis
hewan uji terkait (lihat tabel VI.1.)
Pemeriksaan dan pengamatan
Masa pengamatan dimulai sejak diakhirinya masa bunting hewan uji, yakni 12-14
jam sebelum waktu kelahiran normal, melalui bedah seisar yang caranya sebagai berikut :
a. Siapkan peralatan yang lazim digunakan untuk melakukan anestesi dengan eter.
b. Lakukan anestesi terhadap hewan uji, setelah hewan ditimbang beratnya.
c. Setelah hewan teranestesi, ambil dan letakkan pada papan fiksasi serta lakukan
pembedahan sebagaimana cara lazim pengambilan cuplikan hayati sampai terlihat
uterus yang berisi janin.
d. Keluarkan uterus dan korpora luteanya. Kemudian pisahkan (potong) uterus dari korpora
lutea dan induk dikorbankan.
e. Sayat dinding uterus secara longitudinal guna mengeluarkan janin yang ada di dalamnya.
f. Janin yang terambil kemudian dipisahkan dari plasenta dan masing-masing dibersihkan
dari lendir atau selaput yang menyelimutinya. Tempat bekas plasenta pada uterus
disebut tempat implantasi.
g. Kumpulkan janin, plasenta, uterus, dan korpora lutea pada tempat terpisah guna
pemeriksaan dan pengamatan selanjutnya.
Kriteria pengamatan yang diperlukan meliputi biometrika janin atau jabang bayi, gros
morfologi, histopatologi dan kelainan rangka. Termasuk biometrika janin meliputi angka
kematian, angka resorpsi, angka cacat, berat plasenta dan berat janin. Untuk mendapatkan
biometrika tersebut diperlukan data kuantitatif yang meliputi (a) jumlah korpora lutea pada
kedua ovarium (b) jumlah seluruh jabang bayi yang terdapat dalam uterus (c) jumlah jabang
bayi yang lahir hidup dan yang mati dan (d) jumlah jabang bayi yang lahir cacat.
Termasuk gros morfologi meliputi pengamatan adanya cacat makroskopis pada
tubuh jabang bayi. Dalam hal ini yang diamati ialah : kelengkapan dan kelainan tangan, kaki,
telinga, mata, bibir, celah langit dan adanya kongesti.
Termasuk histopatologi meliputi pengamatan terhadap adanya cacat mikroskopis
(selular) pada aneka jaringan dan organ jabang bayi. Untuk itu beberapa jabang bayi masingmasing induk diambil cuplikan organnya dimasukkan formalin 10% guna pembuatan
preparat histologi mengikuti cara pengecatan hematoksilin-eosin.
Termasuk kelainan rangka meliputi pemeriksaan terhadap sistem rangka tubuh
(skeletal). Untuk itu beberapa jabang bayi masing-masing induk dipersiapkan untuk
pembuatan preparat skeletal mengikuti teknik pewarnaan alizarinS seperti berikut :
(a) jabang bayi difiksasi dengan etanol absolut selama 2 hari, (b) isi rongga perut dan rongga
dada dikeluarkan, (c) jabang bayi dimaserasi dengan KOH 1% selama 2 hari sampai
dagingnya mengelupas dan nampak transparan (setiap hari larutan KOH diganti 2 kali), (d)

Bagian Farmasi Klinik Fakultas Farmasi Universitas Jember

25

Petunjuk Praktikum Toksikologi

masukkan jabang bayi transparan ke dalam alizarinS 0,1% dalam KOH 1% selama 10 menit,
(e) bilas dengan KOH 1% sampai warna ungu pada selaput transparan hilang, (f) masukkan
jabang bayi yang telah diwarnai itu berturut-turut ke dalam campuran KOH-gliserin (3:1, 2:2,
1:3) masing-masing selama 1 hari dan, (g) akhirnya masukkan ke dalam gliserin murni serta
disimpan untuk pemeriksaan.
Pemeriksaan dilakukan dengan kaca pembesar. Data yang dikumpulkan berupa (a)
purata penulangan sternum, vertebrata, dan rusuk (b) prosentase janin yang mempunyai
penulangan pada karpal dan tarsal (c) prosentase kelainan rangka sumbu jabang bayi.
Analisis dan evaluasi hasil
a. Buat tabel biometrika yang berisi purata berat, panjang, jumlah kematian (jumlah
korpora lutea jumlah jabang bayi hidup), jumlah resorpsi awal (jumlah korpora lutea
jumlah jabang bayi), jumlah resorpsi akhir (jumlah tempat implantasi jumlah
jabang bayi), jumlah cacat makroskopis dan berat plasenta.
b. Perbedaan jumlah kematian dan jumlah cacat antar kelompok perlakuan dianalisis
secara statistik menggunakan metode Khi kuadrat, sedang data biometrika lainnya
dengan analisis varian pola searah taraf kepercayaan 95%.
c. Buat tabel data histopatologi (cacat makroskopis). Selanjutnya perbedaan antar
kelompok perlakuan dianalisis dengan metode Khi kuadrat taraf kepercayaan 95%.
d. Buat tabel data pemeriksaan kelainan skeletal. Selanjutnya perbedaan antar kelompok
perlakuan dianalisis secara statistika mengikuti tata cara Mann-Whitney, taraf
kepercayaan 95%.
e. Berdasarkan hasil analisis kuantitatif di atas, selanjutnya potensi keteratogenikan obat
uji dapat dievaluasi. Demikian pula kekerabatannya dengan dosis obat uji. Selain itu
secara kualitatif, wujud dan sifat cacat makroskopis, mikroskopis, maupun skeletal,
juga dapat dievaluasi.
IV. 4. PERCOBAAN
Uji Teratogenik Alkohol pada Tikus Putih
Pemeriksaan siklus estrus pada tikus
a. Kelas dibagi menjadi 4 kelompok
b. Masing-masing kelompok melakukan pemeriksaan apus vagina untuk menentukan
siklus estrus tikus (lihat petunjuk V1.3)
c. Amati tipe-tipe sel epitel vagina tikus.
Bedah Sesar untuk pengamatan Keteratogenikan
a. Kelas dibagi menjadi 4 kelompok
b. Lakukan bedah sesar pada tikus untuk mengakhiri masa bunting (lihat petunjuk
V1.3)
c. Amati biometrika janin dan gros morfologinya.
V. 5. PUSTAKA ACUAN
Donatus, I.A., 1990, Toksikologi Pangan (Bab III, IV, V VI, VIII), Edisi I, PAU Pangan & Gizi
Universitas Gadjah Mada : Yogyakarta
Delahunt, C.S., 1970, Detection of Teratogenic Actions, In Paget G.E., (Ed), Methods in
Toxicology, Blackwell Scientific Publications : Oxford

Bagian Farmasi Klinik Fakultas Farmasi Universitas Jember

26

Petunjuk Praktikum Toksikologi

Fox, R.R., & Laird, C.W. 1970, Sexual Cycles, In. Hafes, E.S.E (Ed), Reproduction and Breeding
Techniques for Laboratory Animals, Lea & Febiger : Philadelphia
Mitruka, B.M., Rawnsley, H.M. & Vadehra, D.V, 1976, Animal for Medical Reseach, Models
for the Study of Human Disease (Chapter 13), John Wiley & Sons : New York
Palmer, A.K. 1978, The Design of Subprimate Animal Studies, In Wilson, J.G. & Fraser, F.C.,
(Eds), Handbook of Teratology Vol. 4. Plenum Press : New York
Palmer, A.K., 1977, Reproductive Toxicology Studies and Their Evaluation. In Ballantyne, B.
(Ed). Current Approaches in Toxicology, John Wright & Sons Limited : Bristol
World Health Organization (WHO), 1967, Principles for the Testing of Drugs for
Teratogenicity, WHO Technical Report Series No. 364, WHO : Geneva

Bagian Farmasi Klinik Fakultas Farmasi Universitas Jember

27

Petunjuk Praktikum Toksikologi

BAB VII
PERCOBAAN IV
DAYA TERAPI ANTIDOT SODIUM NITRIT DAN SODIUM THIOSULFAT

VII. 1. TUJUAN
Mahasiswa mampu memahami tujuan, sasaran, dan strategi terapi antidot,
berdasarkan contoh kemampuan sodium nitrit dan sodium tiosulfat menawaracunkan
sianida.
VII.2. PENDAHULUAN
Dimaksud dengan terapi antidot ialah suatu tata cara yang secara khusus ditujukan
untuk membatasi intensitas efek toksik zat kimia atau untuk menyembuhkan efek toksik
yang ditimbulkannya sehingga bermanfaat untuk mencegah bahaya selanjutnya. Bila disimak
takrif tersebut mengandung makna bahwa tujuan terapi antidot ialah membatasi
penyebaran racun di dalam tubuh, sedang sasaran terapinya berupa penurunan atau
penghilangan intensitas efek toksik.
Intensitas efek toksik suatu senyawa bergantung pada keberadaan (besar kadar dan
lama tinggal) senyawa terkait di tempat aksinya. Di mana keberadaan tersebut ditentukan
oleh keefektifan absorpsi, distribusi, dan eliminasi senyawa terkait. Bila demikian upaya
membatasi penyebaran racun tentunya harus dikaitkan dengan ketiga proses tersebut.
Karena itu, strategi terapi antidot di antaranya melibatkan penghambatan absorpsi dan
distribusi, serta peningkatan eliminasi racun terkait.
Sianida merupakan racun yang poten yang juga dikenal sebagai racun mitokondria.
Sianida yang memejani tubuh dapat bereaksi dengan komponen besi dalam sitokrom
oksidase mitokondria, sehingga enzim tersebut menjadi tak aktif. Padahal sistem enzim
tersebut diperlukan sekali bagi berlangsungnya metabolisme aerob. Karena itu, wujud
keracunan sianida diawali oleh peristiwa hipoksia, yang kemudian berakibat timbulnya
kejang, hilangnya kesadaran, sianosis, kegagalan pernafasan, dan dengan cepat dapat
menimbulkan kematian.
Metode khas yang digunakan sebagai sarana terapi antidot keracunan sianida ialah
dengan injeksi sodium nitrit atau sodium thiosulfat. Karena itu dalam percobaan ini, para
mahasiswa diperkenalkan pada keefektifan kedua zat antidot tersebut dalam membatasi
penyebaran racun sianida di dalam tubuh, sebagai sarana pemahaman terhadap strategi
terapi antidot.
VII.3. TATA CARA PERCOBAAN
VII. 3. 1. Bahan
Tikus putih, larutan sodium nitrit 2%, larutan sodium thiosulfat 25%, larutan
fisiologis (salin 0,9%), larutan kalium sianida 1,5%.
VII. 3. 2. Alat
Spuit dan jarum injeksi, pengukur waktu, alat gelas, sarung tangan tebal
VII. 3. 3. Pengelompokan dan perlakuan terhadap hewan uji.
1. Kelas dibagi menjadi empat kelompok

Bagian Farmasi Klinik Fakultas Farmasi Universitas Jember

28

Petunjuk Praktikum Toksikologi

2. Masing-masing kelompok mendapatkan lima ekor tikus, dengan perlakuan sebagai


berikut:
Tikus I
Disuntik subkutan larutan sianida 1,5 % dosis 15 mg/kg BB.
Kemudian catat saat mulainya timbul gejala sianosis, hilang kesadaran, kejang,
kegagalan pernapasan.
Tikus II
Disuntik larutan sianida seperti kelompok I.
Kemudian pada saat gejala sianosis mulai nampak, suntik intra peritoneal dengan
larutan sodium nitrit 2% dosis 20 mg/kgBB
Catat saat timbulnya kejang, kegagalan pernafasan dan kematian.
Tikus III
Diperlakukan sama seperti Tikus II. Bedanya, penyuntikan larutan sodium nitrit dilakukan
pada saat gejala kejang mulai nampak. Kemudian catat saat timbulnya kematian.
Tikus IV
Disuntik larutan sianida seperti Tikus I.
Kemudian pada saat gejala sianosis mulai nampak, suntik intra peritoneal dengan
larutan thiosulfat 25% dosis 125 mg/kgBB.
Catat saat timbulnya kejang, kegagalan pernafasan dan kematian.
Tikus V
Diperlakukan sama seperti Tikus IV.
Bedanya penyuntikan larutan thiosulfat dilakukan pada saat mulai nampak gejala kejang.
Kemudian catat saat timbulnya kematian.
Catatan : gejala sianosis ditandai dengan timbulnya warna biru pada daerah sekitar mulut,
leher, pantat, mata, perut.
VII. 3. 4. Analisis dan evaluasi hasil
Buatlah tabel yang berisi data purata waktu yang diperlukan untuk timbulnya gejala
sianosis, kejang, kegagalan pernafasan dan kematian setelah perlakuan masing-masing
kelompok.
Perbedaan waktu untuk masing-masing gejala antar kelompok perlakuan, hitung
secara statistik mengikuti tata cara analisis variasi pola searah taraf kepercayaan 95%. Bila
memungkinkan analisis statistika dilanjutkan dengan uji Tukey atau uji lain yang sejenis.
VII. 4. Pustaka Acuan
Donatus, I.A. 1990. Toksikologi Pangan (Bab IV, VI, VII). Edisi I. PAU Pangan dan Gizi
Universitas Gadjah Mada: Yogyakarta.
Dreistbach, R.H. 1980. Handbook of Poisoning (Chapter 16). 10th ed. Lenge Medical
Publications-Marugen Asia (Pte)Ltd : Pasir Panjang.
Lommis, T.A. 1978. (Edisi terjemahan, Alih Bahasa Imono Argo Donatus). Toksikologi Dasar
(Bab XI). Edisi III. Ikip press: Semarang.

Bagian Farmasi Klinik Fakultas Farmasi Universitas Jember

29

You might also like