You are on page 1of 14

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi Fisiologi
Kolumna vertebralis atau rangkaian tulang belakang Adalah sebuah struktur lentur yang
dibentuk oleh sejumlah tulang yang disebut vertebra atau ruas tulang belakang. Di antara tiap
dua ruas tulang pada tulang belakang terdapat bantalan tulang rawan. Panjang rangkaian tulang
belakang pada orang dewasa dapat mencapai 57 sampai 67 sentimeter. Seluruhnya terdapat 33
ruas tulang, 24 buah di antaranya adalah tulang terpisah dan 9 ruas sisanya bergabung
membentuk 2 tulang (Syaifuddin, 2009).
Gambar 2.1: Anatomi Servikal
Menurut Pearce, (2009) Vertebra dikelompokkan dan dinamai sesuai dengan daerah yang
ditempatinya yaitu sebagai berikut :
1. Tujuh vertebra servikal atau ruas tulang bagian leher membentuk daerah tengkuk.
2.
Dua belas vertebra torakalis atau ruas tulang punggung membentuk bagian belakang torax atau
dada.
3. Lima vertebra lumbalis atau ruas tulang pinggang membentuk daerah lumbal atau pinggang.
4.
Lima vertebra sakralis atau ruas tulang kelangkang membentuk sakrum atau tulang
kelangkang.
5.
Empat vertebra kosigeus atau ruas tulang tungging membentuk tulang koksigeus atau tulang
tungging.
Pada tulang leher, punggung dan pinggang ruasnya tetap tinggal jelas terpisah selama hidup
dan disebut ruas yang dapat bergerak. Ruas pada dua daerah bawah, sakrum dan koksigeus, pada
masa dewasa bersatu membentuk dua tulang. Ini disebut ruas tak bergerak (Pearce, 2009).
Dengan perkecualian dua ruas pertama dari tulang leher maka semua ruas yang dapat
bergerak memiliki ciri khas yang sama. Seperti vertebra terdiri atas dua bagian, yaitu anterior di
sebut badan vertebra dan yang posterior disebut arkus neuralis yang melingkari kanalis neuralis
(foramen vertebra atau saluran sumsum tulang belakang) yang dilalui sumsum tulang belakang
(Syafuddin, 2009).
Vertebra Servikalis atau ruas tulang leher adalah yang paling kecil. Kecuali yang pertama
dan kedua, yang berbentuk istimewa maka ruas tulang leher pada umumnya mempunyai ciri
yang berikut: badannya kecil dan persegi panjang, lebih panjang dari samping ke samping
daripada dari depan ke belakang. Lengkungnya besar. Prosesus spinosus atau taju duri di ujung

memecah dua atau bifida. Prosesus transversusnya atau taju sayap berlubang karena banyak
foramina untuk lewatnya arteri vertebralis (Syafuddin, 2009).
Vertebra servikalis ketujuh adalah ruas yang pertama yang mempunyai prosesus spinosus
tidak terbelah. Prosesus ini mempunyai tuberkel (benjolan) pada ujngnya. Membentuk gambaran
yang jelas di tengkuk dan tampak pada bagian bawah tengkuk. Karena iri khususnya ini maka
tulang ini disebut vertebra prominens (Syafuddin, 2009).
Vertebra torakalis atau ruas tulang punggung lebih besar daripada yang servikal dan di
sebelah bawah menjadi lebih besar. Ciri khas vertebra torakalis adalah sebagai berikut: badannya
berbentuk lebar-lonjong (bentuk jantung dengan faset atau lekukan kecil di setiap sisi untuk
menyambung iga; lengkungnya agak kecil, prosesus spinosus panjang dan mengarah ke bawah,
sedangkan prosesus transversus, yang membantu mendukung iga adalah tebal dan kuat serta
membuat faset persendian untuk iga (Pearce, 2009).
Vertebra Lumalis atau ruas tulang pinggang adalah yang terbesar. Badnnya sangat besar
dibandingkan dengan badan vertebra lainnya dan berbentuk seperti ginjal. Prosesus spinosusunya
lebar dan berbentuk seperti kapak kecil. Prosesus transversusnya panjang dan langsing. Ruas
kelima membentuk sendi dengan sakrum pada sendi lumbo-sakral (Syafuddin, 2009).
Sakrum atau tulang kelangkang berbentuk segitiga dan terletak pada bagian bawah kolumna
vertebralis, terjepit di antara kedua tulang inominata (atau tulang koxa) dan membentuk bagian
belakang rongga pelvis (panggul). Dasar dari sakrum terletak di atas dan bersendi dengan
vertebra lumalis kelima dan membentuk sendi intervertebral yang khas. Tapi anterior dari basis
sakrum membentuk promontorium sakralis. Kanalis sakralis terletak di bawah kanalis
vertebralis (saluran tulang belakang) dan memang lanjutan daripadanya. Dinding kanalis sakralis
berlubang untuk dilalui saraf sakral. Prosesus spinosus yang rudimenter dapat dilihat pada
pandangna posterior dari sakrum. Permukaan anterior sakrum adalah cekung dan
memperlihatkan empat gili melintang yang menandakan tempat penggabungan kelima vertebra
sakralis. Pada ujng gili-gili ini, di setiap sisi terdapat lubagng kecil untuk dilewati urat saraf.
Lubang ini disebut foramina. Apex dari sakrum bersendi dengan tulang koksigeus. Di sisinya,
sakrum bersendi dengan tulang ileum dan membentuk sendi sakro iliaka kanan dan kiri (Pearce,
2009).
Koksigeus atau tulang tungging terdiri atas empat atau lima vertebra yang rudimeter yang
bergabung menjadi satu. Di atasnya ia bersendi dengan sakrum. Lengkung kolumna vertebralis.

Kalau dilihat dari samping maka kolumna vertebralis memperlihatkan empat kurva atau
lengkung antero-posterior: lengkung vertikal pada daerah leher melengkung ke depan, daerah
torakal melengkung ke belakang, daerah lumbal melengkung ke depan dan daerah pelvis
melengkung ke belakang. Kedua lengkung yang menghadap posterior, yaitu yang terakal dan
pelvis disebut primer karena mereka mempertahankan lengkung aslinya ke belakang dari tulang
belakang yaitu bentuk C sewaktu janin dengan kepala membengkok ke bawah sampai batas
dada dan gelang panggul dimiringkan ke atas ke arah depan badan. Kedua lengkung yang
menghadap ke anterior adalah sekunder-lengkung servikal berkembang ketika kanak-kanak
mengangkat kepalanya untuk melihat sekelilingnya sambil menyelidiki dan lengkung lumbal di
bentuk ketika ia merangkak, berdiri dan berjalan dan mempertahankan tegak (Syafuddin, 2009).
Sendi kolumna vertebra. Sendi ini dibentuk oleh bantalan tulang rawan yang diletakkan di
antara setiap dua vertebra, di kuatkan oleh ligamentum yang berjalan di depan dan di belakang
badan vertebra sepanjang kolumna vertebralis. Massa otot di seitap sisi membantu dengan
sepenuhnya kestablian tulang belakang. Diskus intervertebralis atau cakram antar ruas adalah
bantalan tebal dari tulang rawan fibrosa yang terdapat di antara badan vertebra yang dapat
bergerak. Gerakan. Sendi yang terbentuk antara cakram dan vertebra adalah persendian dengan
gerakan yang terbatas saja dan termasuk sendi jenis simpisis, tetapi jumlahnya yang banyak
memberi kemungkinan membengkok kepada kolumnanya secara keseluruhan. Gerakannya yang
mungkin adalah flexi atau membengkok ke depan, extensi, membengkok ke depan, membengkok
lateral ke setiap sisi dan rotasi atau berputar ke kanan dan ke kiri (Pearce, 2009).
Fungsi dari Kolumna vertebralis, kolumna vertebralis bekerja sebagai pendukung badan
yang kokoh dan sekaligus juga bekerja sebagai penyangga dengan perantaraan tulang rawan
cakram intervertebralis yang lengkungannya memberi fleksibilitas dan memungkinkan
membengkok tanpa pata. Cakramnya juga berguna untuk menyerap goncangan yang terjadi bila
menggerakkan berat badan seperti waktu berlaru dan meloncat, dan dengan demikian otak dan
sumsum belakang terlindung terhadap goncangan (Pearce, 2009).

B.

Pengertian Trauma Servikal

Trauma servikal adalah suatu keadaan cedera pada tulang belakang servikal dan medulla
spinalis yang disebabkan oleh dislokasi, subluksasi, atau fraktur vertebra servikalis dan ditandai
dengan kompresi pada medula spinalis daerh servikal. Dislokasi servikal adalah lepasnya salah
satu struktur dari tulang servikal. Subluksasi servikal merupakan kondisi sebagian dari tulang
servikal lepas. Fraktur servikal adalah terputusnya hubungan dari badan tulang vertebra
servikalis (Muttaqin, 2011).
C.

Etiologi
Cedera medulla spinalis servikal disebabkan oleh trauma langsung yang mengenai tulang
belakang di mana tulang tersebut melampaui kemampauan tulang belakang dalam melindungi

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
D.

saraf-saraf belakangnya. Menurut Emma, (2011) Trauma langsung tersebut dapat berupa :
Kecelakaan lalulintas
Kecelakaan olahraga
Kecelakaan industri
Jatuh dari pohon/bangunan
Luka tusuk
Luka tembak
Kejatuhan benda keras
Patofisiologi
Kolumna vertebralis normal dapat menahan tekanan yang berat dan mempertahankan
integritasnya tampa mengalami kerusakan pada medula spinalis. Akan tetapi, beberapa
mekanisme trauma tertentu dapat merusak sistem pertahanan ini dan mengakibatkan kerusakan
pada kolumna vertebralis dan medula spinalis. Pada daerah kolumna servikal, kemungkinan
terjadinya cedera medula spinalis adalah 40%. Trauma servikal dapat ditandai dengan kerusakan
kolumna vertebralis (fraktur, dislokasi, dan subluksasi), kompresi diskus, robeknya ligamen
servikal, dan kompresi radiks saraf pada setiap sisinya yang dapat menekan spinal dan
menyebabkan kompresi radiks dan distribusi saraf sesuai segmen dari tulang belakang servikal
(Price, 2009).
Pada cidera hiperekstensi servikal, pukulan pada wajah atau dahi akan memaksa kepala
kebelakang dan tidak ada yang menyangga oksiput dan diskus dapat rusak atau arkus saraf
mengalami kerusakan. Pada cidera yang stabil dan merupakan tipe frakutur vertebra yang paling
sering di temukan. Jika ligamen posterior robek, cedera, bersifat tidak stabil dan badan vertebra
bagian atas dapat miring ke depan di atas badan vertebra di bawahnya. Trauma servikal dapat

menyebabkan cedera yang komponen vertebranya tidak akan tergeser oleh gerakan normal
sehingga sumsum tulang tidak rusak dan resiko biasanya lebih rendah (Muttaqin, 2011).
Cedera yang tidak stabil adalah cedera yang dapat mengalami pergeseran lebih jauh dan
perubahan struktur oseoligamentosa posterior (pedikulis, sendi permukaan, arkus tulang
posterior, ligamen interspinosa, dan supraspinosa), komponen pertengahan (sepertiga bagian
posterior badan vertebra, bagian posterior diskus intervertebra, dan ligamen longitudinal
posterior), dan kolumna anterior (duapertiga bagian anterior korpus vertebra, bagian anterior
diskus intervertebra dan ligamen longitudinal anterior) (Muttaqin, 2011).
Cedera spinal tidak stabil menyebabkan resiko tinggi cedera pada korda sehingga
menimbulkan masalah aktual atau resiko ketidakefektifan pola napas dan penurunan curah
jantung akibat kehilangnya kontrol organ viseral. Kompresi saraf dan spasme otot servikal
memberikan stimulasi nyeri. Kompresi diskus menyebabkan paralisis dan respons sistemik
dengan munculnya keluhan mobilisasi fisik, gangguan defekasi akibat penurunan peristaltik
usus, dan ketidak seimbangan nutrisi (Price, 2002).
Tindakan dekompresi dan stabilitas pada pascabedah akan menimbulkan port de entree luka
pascabedah yang menyebabkan masalah resiko tinggi infeksi. Selain itu, tindakan tersebut dapat
menyebabkan kerusakan neuromuskular, yang menimbulkan resiko trauma sekunder akibat
ketidaktahuan tentang teknik mobilisasi yang tepat. Kondisi psikologis karena prognosis
penyakit menimbulkan respons anastesi. Manipulasi yang tidak tepat akan menimbulkan keluhan
nyeri dan hambatan mobilitas fisik (Muttaqin, 2011).

F.
1.

Manifestasi Klinis
Menurut Hudak & Gallo, (1996) menifestasi klinis trauma servikal adalah sebagai berikut :
Lesi C1-C4
Pada lesi C1-C4. Otot trapezius, sternomastoid dan otot plastisma masih berfungsi. Otot
diafragma dan otot interkostal mengalami partalisis dan tidak ada gerakan (baik secara fisik
maupun fungsional0 di bawah transeksi spinal tersebut. Kehilangan sensori pada tingkat C1

malalui C3 meliputi daerah oksipital, telinga dan beberapa daerah wajah. Kehilangan sensori
diilustrasikan oleh diagfragma dermatom tubuh.
Pasien dengan quadriplegia pada C1, C2, atau C3 membutuhkan perhatian penuh karena
ketergantungan pada semua aktivitas kebutuhan sehari-hari seperti makan, mandi, dan
berpakaian. quadriplegia pada C4 biasanya juga memerlukan ventilator mekanis tetapi mengkn
dapat dilepaskan dari ventilator secara. intermiten. pasien biasnya tergantung pada orang lain
dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari meskipun dia mungkin dapat makan sendiri
2.

dengan alat khsus.


Lesi C5
Bila segmen C5 medulla spinalis mengalami kerusakan, fungsi diafragma rusak sekunder
terhadap edema pascatrauma akut. paralisis intestinal dan dilatasi lambung dapat disertai dengan
depresi pernapasan. Ekstremitas atas mengalami rotasi ke arah luar sebagai akibat kerusakan
pada otot supraspinosus. Bahu dapat di angkat karena tidak ada kerja penghambat levator
skapula dan otot trapezius. setelah fase akut, refleks di bawah lesi menjadi berlebihan. Sensasi

3.

ada pada daerah leher dan triagular anterior dari daerah lengan atas.
Lesi C6
pada lesi segen C6 disters pernafasan dapat terjadi karena paralisis intestinal dan edema
asenden dari medulla spinalis. Bahu biasanya naik, dengan lengan abduksi dan lengan bawah

4.

fleksi. Ini karena aktivitasd tak terhambat dari deltoid, bisep dan otot brakhioradialis.
Lesi C7
Lesi medulla pada tingkat C7 memungkinkan otot diafragma dan aksesori untuk
mengkompensasi otot abdomen dan interkostal. Ekstremitas atas mengambil posis yang sama
seperti pada lesi C6. Fleksi jari tangan biasnya berlebihan ketika kerja refleks kembali.
Menurut Price, (2002 )menyampaikan manifestasi klinik pada fraktur adalah sebagai
berikut:

a.

Nyeri
Nyeri dirasakan langsung setelah terjadi trauma. Hal ini dikarenakan adanya spasme otot,

tekanan dari patahan tulang atau kerusakan jaringan sekitarnya.


b. Bengkak/edama
Edema muncul lebih cepat dikarenakan cairan serosa yang terlokalisir pada daerah fraktur dan
extravasi daerah di jaringan sekitarnya.
c.
Memar/ekimosis
Merupakan perubahan warna kulit sebagai akibat dari extravasi daerah di jaringan sekitarnya.
d. Spasme otot
Merupakan kontraksi otot involunter yang terjadi disekitar fraktur.

e.

Penurunan sensasi
Terjadi karena kerusakan syaraf, terkenanya syaraf karena edema.

f.

Gangguan fungsi
Terjadi karena ketidakstabilan tulang yang fraktur, nyeri atau spasme otot. paralysis dapat

terjadi karena kerusakan syaraf.


g. Mobilitas abnormal
Adalah pergerakan yang terjadi pada bagian-bagian yang pada kondisi normalnya tidak terjadi
pergerakan. Ini terjadi pada fraktur tulang panjang.
h.
i.

Krepitasi
Merupakan rasa gemeretak yang terjadi jika bagian-bagaian tulang digerakkan.
Deformitas
Abnormalnya posisi dari tulang sebagai hasil dari kecelakaan atau trauma dan pergerakan otot
yang mendorong fragmen tulang ke posisi abnormal, akan menyebabkan tulang kehilangan

j.

bentuk normalnya.
Shock hipovolemik
Shock terjadi sebagai kompensasi jika terjadi perdarahan hebat.

G.

Pemeriksaan Diagnostik
Gambar 2.2 : Hasil pemeriksaan rontgen
Menurut Doenges, (2000) ada pun pemeriksaan penunjang trauma servikal yaitu:
1)
Sinar X spinal
Menentukan loksi dan jenis cedera tulang (fraktur, disloksi) untuk kesejajaran, reduksi
setelah dilakukan traksi atau operasi.
CT scan
Menentukan tempat luka/jejas, mengevaluasi gangguan struktural.
3)
MRI
Mengidentifikasi adanya kerusakan saraf spinal, edema dan kompresi.
4)
Mielografi
Untuk memperlihatkan kolumna spinalis (kanal vertebral) jika faktor patologisnya tidak
2)

jelas atau di curigai adanya oklusi pada ruang subarakhnoid medulla spinalis.
Foto rontgen torak
Memperlihatkan keadaan paru (contohnya: perubahan pada diagfragma, anterlektasis).
6)
GDA
Menunjukkan keefektifan pertukaran gas atau upaya ventilasi.
5)

H.
a)

Komplikasi
Menurut Emma, (2011) komplikasi pada trauma servikal adalah :
Syok neurogenik

Syok neurogenik merupakan hasil dari kerusakan jalur simpatik yang desending pada
medulla spinalis. Kondisi ini mengakibatkan kehilangan tonus vasomotor dan kehilangan
persarafan simpatis pada jantung sehingga menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah visceral
b)

serta ekstremitas bawah maka terjadi penumpukan darah dan konsekuensinya terjadi hipotensi.
Syok spinal
Syok spinal adalah keadaan flasid dan hilangnya refleks, terlihat setelah terjadinya cedera
medulla spinalis. Pada syok spinal mungkin akan tampak seperti lesi komplit walaupun tidak

seluruh bagian rusak.


c)
Hipoventilasi
Hal ini disebabkan karena paralisis otot interkostal yang merupakan hasil dari cedera yang
mengenai medulla spinalis bagian di daerah servikal bawah atau torakal atas.
d) Hiperfleksia autonomic
Dikarakteristikkan oleh sakit kepala berdenyut, keringat banyak, kongesti nasal, bradikardi
dan hipertensi.
I.

Penatalaksanaan
Menurut ENA, (2000) penatalaksanaan pada pasien truama servikal yaitu :

1.

Mempertahankan ABC (Airway, Breathing, Circulation)

2.

Mengatur posisi kepala dan leher untuk mendukung airway : headtil, chin lip, jaw thrust.
Jangan memutar atau menarik leher ke belakang (hiperekstensi), mempertimbangkan

pemasangan intubasi nasofaring.


3. Stabilisasi tulang servikal dengan manual support, gunakan servikal collar, imobilisasi lateral
kepala, meletakkan papan di bawah tulang belakang.
4.

Stabililisasi tulang servikal sampai ada hasil pemeriksaan rontgen (C1 - C7) dengan
menggunakan collar (mencegah hiperekstensi, fleksi dan rotasi), member lipatan selimut di
bawah pelvis kemudian mengikatnya.

5.

Menyediakan oksigen tambahan.

6.

Memonitor tanda-tanda vital meliputi RR, AGD (PaCO2), dan pulse oksimetri.

7.

Menyediakan ventilasi mekanik jika diperlukan.

8.

Memonitor tingkat kesadaran dan output urin untuk menentukan pengaruh dari hipotensi dan
bradikardi.

9.

Meningkatkan aliran balik vena ke jantung.

10. Berikan antiemboli


11. Tinggikan ekstremitas bawah

12. Gunakan baju antisyok.


13. Meningkatkan tekanan darah
14. Monitor volume infus.
15. Berikan terapi farmakologi ( vasokontriksi)
16. Berikan atropine sebagai indikasi untuk meningkatkan denyut nadi jika terjadi gejala bradikardi.
17. Mengetur suhu ruangan untuk menurunkan keparahan dari poikilothermy.
18. Memepersiapkan pasien untuk reposisi spina.
19. Memberikan obat-obatan untuk menjaga, melindungi dan memulihkan spinal cord : steroid
dengan dosis tinggi diberikan dalam periode lebih dari 24 jam, dimulai dari 8 jam setelah
a.
b.

kejadian.
Memantau status neurologi pasien untuk mengetahui tingkat kesadaran pasien.
Memasang NGT untuk mencegah distensi lambung dan kemungkinan aspirasi jika ada

c.
d.
e.
f.

indikasi.
Memasang kateter urin untuk pengosongan kandung kemih.
Mengubah posisi pasien untuk menghindari terjadinya dekubitus.
Memepersiapkan pasien ke pusat SCI (jika diperlukan).
Mengupayakan pemenuhan kebutuhan pasien yang teridentifikasi secara konsisten untuk

g.

menumbuhkan kepercayaan pasien pada tenaga kesehatan.


Melibatkan orang terdekat untuk mendukung proses penyembuhan.

J.
a)
1)
a.
b.
c.
d.
2)
a.
b.
1.

2.

Pengkajian Teoritis
Menurut ENA, (2000) pengkajian pada pasien trauma servikal adalah:
Pengkajian primer
Data Subyektif
Riwayat Penyakit Sekarang
Mekanisme Cedera
Kemampuan Neurologi
Status Neurologi
Kestabilan Bergerak
Riwayat Kesehatan Masa Lalu
Keadaan Jantung dan pernapasan
Penyakit Kronis
Data Obyektif
Airway
Adanya desakan otot diafragma dan interkosta akibat cedera spinal sehingga mengganggu
jalan napas
Breathing
Pernapasa dangkal, penggunaan otot-otot pernapasan, pergerakan dinding dada

3.

Circulation
Hipotensi (biasanya sistole kurang dari 90 mmHg), Bradikardi, Kulit teraba hangat dan
kering, Poikilotermi (Ketidakmampuan mengatur suhu tubuh, yang mana suhu tubuh bergantung

4.

pada suhu lingkungan)


Disability
Kaji Kehilangan sebagian atau keseluruhan kemampuan bergerak, kehilangan sensasi,

5.

kelemahan otot.
Exposure
Adanya deformitas tulang belakang

b)

Pengkajian Sekunder
1) Five Intervensi
Hasil AGD menunjukkan keefektifan pertukaran gas dan upaya ventilasi, CT Scan untuk
menentukan tempat luka atau jejas, MRI untuk mengidentifikasi kerusakan saraf spinal, foto
Rongen Thorak untuk mengetahui keadaan paru, sinar X Spinal untuk menentukan lokasi dan
jenis cedera tulang (Fraktur/Dislokasi)
2) Give Comfort
Kaji adanya nyeri ketika tulang belakang bergerak
3)
Head to Toe
a.
Leher :Terjadinya perubahan bentuk tulang servikal akibat cedera
b.
Dada :Pernapasa dangkal, penggunaan otot-otot pernapasan, pergerakan dinding dada,
c.

bradikardi, adanya desakan otot diafragma dan interkosta akibat cedera spinal
Pelvis dan Perineum :Kehilangan control dalam eliminasi urin dan feses, terjadinya gangguan

d.
e.
f.

pada ereksi penis (priapism)


Ekstrimitas : terjadi paralisis, paraparesis, paraplegia atau quadriparesis/quadriplegia
Inspeksi Back / Posterior Surface
Kaji adanya spasme otot, kekakuan, dan deformitas pada tulang belakang.

c)
1.

diagnosa keperawatan
Pola napas tidak efektif berhubungan dengan hiperventilasi ditandai dengan dispnea,terdapat

2.
3.
4.

otot bantu napas.


Perfusi jaringan perifer tidak efektif berhubungan dengan penyumbatan aliran darah.
Nyeri akut berhubungan dengan gangguan neurologis.
Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan neuromuscular ditandai dengan

5.

paralisis dan paraplegia pada ekstremitas.


Kerusakan eliminasi urine berhubungan dengan kerusakan sensori motorik ditandai dengan

6.

kehilangan kontrol dalam eliminasi urine.


Risiko decera berhubungan dengan penurunan kesaradaran.

K. Asuhan Keperawatan Teoritis


NO

DIAGNOSA

1.

KEPERAWATAN
Pola napas tidak

efektif Setelah

berhubungan

dengan keperawatan selama 2x15 menit, vital dan pertahankan ABC.

hiperventilasi

TUJUAN/KRITERIA HASIL

ditandai diharapkan

diberikan
pola

napas

INTERVENSI

tindakan
1.
pasien
2.

Pantau ketat tanda-tanda1.

Monitor usaha pernapasan


2.
pengembangan
dada,

dengan dispnea,terdapat otot efektif dengan kriteria hasil:


a.
Pasien melaporkan sesak napas
bantu napas.
keteraturan
pernapasan
berkurang
b. Pernapasan teratur
nafas bibir dan penggunaan
c. Takipnea tidak ada
otot bantu pernapasan.
d.
Pengembangan dada simetris
3.
antara kanan dan kiri
e.
Tanda vital dalam batas normal
3.
Berikan posisi semifowler4.
(nadi 60-100x/menit, RR 16-20
5.
jika tidak ada kontra indiksi.
x/menit, tekanan darah 110-140/6090 mmHg, suhu 36,5-37,5 oC)
4.
f.
Tidak ada penggunaan otot bantu
napas.

Perfusi jaringan perifer tidak Setelah

imobilisasi lateral kepala,

dilakukan

tindakan
1.

tulang belakang.
Berikan oksigen sesuai
indikasi
Atur posisi kepala dan1.

efektif berhubungan dengan keperawatan selama 3x5 menit leher


penyumbatan aliran darah

ta

meletakkan papan di bawah


5.

2.

Gunakan servikal collar,

diharapkan

perfusi

untuk

mendukung A

jaringan airway (jaw thrust). Jangan o

adekuat.

memutar atau menarik leher

Kriteria hasil :

ke belakang (hiperekstensi),2.

a. Nadi teraba kuat


mempertimbangkan
v
b. Tingkat kesadaran composmentis
3.
pemasangan
intubasi
c. Sianosis atau pucat tidak ada
4.
d. Nadi Teraba lemah, terdapat nasofaring.
o
sianosis,
2.
Tinggikan ekstremitas ju
e. Akral teraba hangat
f. CRT < 2 detik
bawah.
te
g. GCS 13-15
5.

h.

AGD normal

3.

Gunakan servikal collar, v

imobilisasi lateral kepala, ak

meletakkan papan di bawah ja


tulang belakang.
4.

Sediakan oksigen dengan


6.
nasal
canul
untuk
mengatasi hipoksia

ja

te

3.

Nyeri

akut

dengan

berhubungan Setelah

dilakukan

5.

Ukur tanda-tanda vital.

6.

Awasi pemeriksaan AGD

tindakan 1. Kaji PQRST pasien.

1.

gangguan keperawatan selama 3 x 15 menit

neurologis.

diharapkan

nyeri

pasien

dapat

berkurang dengan kriteria hasil :


a.

y
2.

Tanda-tanda vital dalam batas

normal (Nadi 60-100 x/menit),

(Suhu 36,5-37,5),( Tekanan Darah 2. Pantau tanda-tanda vital

ta

110-140/60-90 mmHg),(RR 16-20

3.

x/menit)
b. Penurunan skala nyeri( skala 010)
c.
Wajah

b
pasien

tampak

tidak

meringis

3. Berikan analgesic untuk


4. S
menurunkan nyeri.
u

b
4.

Gunakan servikal collar,


imobilisasi lateral kepala,
meletakkan papan di bawah

tulang belakang.

You might also like