You are on page 1of 76

1.

1 Latar Belakang
Sistem perkemihan merupakan organ vital dalam melakukan ekskresi
dan melakukan eliminasi sisa-sisa hasil metabolisme tubuh. Selain mempunyai
fungsi eliminasi, sistem perkemihan juga mempunyai fungsi lainnya, seperti
meregulasi volume darah dan tekanan darah, menstabilisasi pH darah, dan
membantu organ hati dalam mendetoksikasi racun. Di dalam ginjal terdapat
nefron, yang terdiri atas glomerulus yang akan dilalui sejumlah cairan untuk
difiltrasi dari darah dan tubulus yang panjang di mana cairan yang difiltrasi
diubah menjadi urine dalam perjalanannya menuju pelvis ginjal. Adapun
penyakit yang menyerang pada daerah glomerulus yaitu glomerulonefritis, di
mana penyakit ini terbagi atas glomerulonefritis akut, kronik, dan progresif.
Glomerulonefritis adalah gangguan pada ginjal yang ditandai dengan
peradangan pada kapiler glomerulus yang fungsinya sebagai filtrasi cairan
tubuh dan sisa-sisa pembuangan ( Suriadi & Rita Yuliani, 2001, hal.125 ).
Untuk glomerulonefritis akut ialah suatu reaksi imunologik pada ginjal terhadap
bakteri atau virus tertentu. Yang sering ialah infeksi karena kuman
streptokokus. Penyakit ini sering ditemukan pada anak berumur 3 - 7 tahun dan
lebih sering mengenai anak pria dibandingkan dengan anak wanita ( Ngastiyah,
1997, hal.294 ). Sedangkan Glomerulonefritis Kronik adalah suatu kelainan
yang terjadi pada beberapa penyakit, dimana terjadi kerusakan glomeruli dan
kemunduran fungsi ginjal selama bertahun-tahun.
Glomerulonefritis sering disebabkan oleh infeksi karena kuman
streptokokus. Penyakit ini sering ditemukan pada anak berumur 3 - 7 tahun dan
lebih sering mengenai anak pria dibandingkan dengan anak wanita ( Ngastiyah,
1997, hal.294 ). Penyebab glomerulonefritis yang lazim adalah streptokokkus
beta hemolitikus grup A tipe 12 atau 4 dan 1, jarang oleh penyebab lainnya.
Tanda dan gejalanya adalah hematuria, proteinuria, oliguria, edema, dan
hipertensi ( Sylvia A. Price dan Lorraine M. Willson, 2005 ).
1

Glomerulonefritis dapat terjadi pada semua kelompok umur, namun


tersering pada golongan umur 5 - 15 tahun, dan jarang terjadi pada bayi.
Referensi lain menyebutkan paling sering ditemukan pada anak usia 6 - 10
tahun. Penyakit ini dapat terjadi pada laki laki dan perempuan, namun laki laki
dua kali lebih sering dari pada perempuan. Perbandingan antara laki-laki dan
perempuan adalah 2 : 1. Diduga ada faktor resiko yang berhubungan dengan
umur dan jenis kelamin. Suku atau ras tidak berhubungan dengan prevelansi
penyakit ini, tapi kemungkinan prevalensi meningkat pada orang yang sosial
ekonominya rendah, sehingga lingkungan tempat tinggalnya tidak sehat.
Berdasarkan hasil penelitian glomerulonefritis lebih sering terjadi pada anak
perempuan dibandingkan dengan anak laki-laki. Karena bentuk uretranya yang
lebih pendek dan letaknya berdekatan dengan anus. Studi epidemiologi
menunjukkan adanya bakteriuria yang bermakna pada 1% sampai 4% gadis
pelajar, 5% - 10% pada perempuan usia subur, dan sekitar 10% perempuan
yang usianya telah melebihi 60 tahun. Pada hampir 90% kasus, pasien adalah
perempuan.
1.2 Rumusan Masalah
a. Apa pengertian dari Glumerulonefritis ?
b. Bagaimana anatomi dan fisiologi Nefron Ginjal ?
c. Bagaimana etiologi dari Glumerulonefritis ?
d. Bagaimana patofisiologi dari Glumerulonefritis ?
e. Bagaimana manifestasi klinis dari Glumerulonefritis ?
f. Bagaimana prognosis dari Glomerulonefritis ?
g. Bagaimana pencegahan dari Glomerulonefritis ?
h. Bagaimana penatalaksanaan medis dari Glomerulonefritis ?
i. Bagaimana konsep dasar asuhan keperawatan Glomerulonefritis ?
j. Bagaimana

masalah

penelitian

yang

berhubungan

dengan

Glomerulonefritis ?
k. Bagaimana tindakan malpraktek dalam keperawatan yang berhubungan
dengan Glomerulonefritis ( Dialisis ) ?

1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Mahasiswa mampu mengerti dan memahami konsep dasar Asuhan
Keperawatan, Masalah penelitian, dan Malpraktek pada klien dengan
Glomerulonefritis
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Mahasiswa mengerti dan memahami Anatomi dan Fisiologi Nefron.
2. Mahasiswa mengerti dan memahami dari Glumerulonefritis.
3. Mahasiswa mengerti dan memahami etiologi dari Glumerulonefritis.
4. Mahasiswa

mengerti

dan

memahami

patofisiologi

dari

Glumerulonefritis.
5. Mahasiswa

mengerti

dan

memahami

manifestasi

klinis

dari

Glumerulonefritis.
6. Mahasiswa mengerti dan memahami dari Glomerulonefritis.
7. Mahasiswa mengerti dan memahami pencegahan dari Glomerulonefritis.
8. Mahasiswa mengerti dan memahami penatalaksanaan medis dari
Glomerulonefritis.
9. Mahasiswa mengerti dan mampu mempraktekan konsep dasar asuhan
keperawatan Glomerulonefritis.
10. Mahasiswa memahami masalah penelitian yang berhubungan dengan
Glomerulonefritis.
11. Mahasiswa memahami tindakan malpraktek dalam keperawatan yang
berhubungan dengan Glomerulonefritis.
12. Mahasiswa mengerti dan menahami Hukum Etik Malpraktek Dialisis
pada pasien Glomerulonefritis.
1.4 Manfaat
Terkait dengan tujuan maka makalah pembelajaran ini diharapkan dapat
memberi manfaat.
1. Dari segi akademis, merupakan sumbangan bagi ilmu pengetahuan
khususnya dalam hal konsep dasar, asuhan keperawatan, masalah
penelitian, dan malpraktek pada pasien glomerulonefritis
3

2. Dari segi praktis, makalah pembelajaran ini bermanfaaat bagi :


a. Bagi mahasiswa Stikes Hang Tuah Surabaya
Hasil makalah pembelajaran ini dapat menjadi masukkan bagi
mahasiswa Stikes Hang Tuah Surabaya lainnya dalam hal
melakukan konsep dasar, asuhan keperawatan, masalah penelitian,
dan malpraktek pada pasien glomerulonefritis
b. Untuk Penulis
Hasil penulisan makalah ini dapat menjadi salah satu rujukan bagi
penulis berikutnya, yang akan melakukan penulisan pada konsep
dasar, asuhan keperawatan, masalah penelitian, dan malpraktek pada
pasien glomerulonefritis.

2.1 Anatomi dan Fisiologi Nefron


Ada sekitar 1 juta nefron pada setiap ginjal di mana apabila dirangkai
akan mencapai panjang 145 km (85 mil). Ginjal tidak dapat membentuk nefron
baru, oleh karena itu pada keadaan trauma ginjal atau proses penuaan akan
terjadi penurunan jumlah nefron secara bertahap di mana jumlah nefron yang
berfungsi akan menurun sekitar 10% setiap 10 tahun, jadi pada usia 80 tahun
jumlah nefron yang berfungsi 40% lebih sedikit daripada usia 40 tahun.
Penurunan fungsi ini tidak mengancam jiwa karena perubahan adaptif sisa
nefron dalam mengeluarkan produk sisa yang tepat ( Guyton, 1997 ).
Nefron terdiri atas glomerulus yang akan dilalui sejumlah cairan untuk
difiltrasi dari darah dan tubulus yang panjang di mana cairan yang difiltrasi
diubah menjadi urine dalam perjalanannya menuju pelvis ginjal. Glomerulus
tersusun dari suatu jaringan kapiler glomerulus yang becabang dan
beranastomosis, mempunyai tekanan hidrostatik tinggi (kira-kira 60 mmHg)
bila dibandingkan dengan jaringan kapiler lainnya. Kapiler glomerulus dilapisi
oleh sel-sel epitel dan seluruh glomerulus dibungkus dalam kapsula bowman.

Cairan yang difiltrasi dari kapiler glomerulus mengalir ke dalam kapsula


bowman dan kemudian masuk ke tubulus proksimal, yang terletak pada korteks
ginjal. Dari tubulus proksimal, cairan mengalir ke ansa henle yang masuk ke
5

dalam medula renal. Setiap lengkung terdiri atas cabang desenden dan asenden.
Binding atau ikatan cabang desenden dan ujung cabang asenden yang paling
rendah sangat tipis, oleh karena itu disebut bagian tipis dari ansa henle. Ujung
cabang asenden tebal merupakan bagian yang pendek, yang sebenarnya
merupakan plak pada dindingnya dan dikenal sebagai makula densa. Setelah
makula densa, cairan memasuki tubulus distal yang terletak pada korteks renal,
seperti tubulus proksimal.
Tubulus ini kemudian dilanjutkan dengan tubulus distal menuju ke
duktus koligentes tunggal besar yang turun ke medula dan bergabung
membentuk duktus yang lebih besar secara progresif yang akhirnya mengalir
menuju pelvis renal melalui ujung papila renal.
Meskipun setiap nefron mempunyai semua komponen tetapi tetap
terdapat perbedaan, bergantung pada berapa dalamnya letak nefron pada massa
ginjal. Nefron yang memiliki glomerulus dan terletak di luar korteks disebut
nefron kortikal, nefron tersebut mempunyai ansa henle pendek yang hanya
menembus ke dalam medula dengan jarak dekat. Setiap segmen-segmen distal
nefron bertanggung jawab terhadap : reabsorpsi seluruh substrat organik yang
masuk tubulus, reabsorpsi 90% lebih dari air yang difiltrasi, dan sekresi air dan
produk sisa ke tubulus yang hilang pada saat proses filtrasi.
Kira-kira 20-30% nefron mempunyai glomerulus yang terletak di korteks
renal sebelah dalam dekat medula dan disebut nefron jukstamedular. Nefron ini
mempunyai ansa henle yang panjang dan masuk sangat dalam ke medula. Pada
beberapa tempat semua berjalan menuju ujung papila renal.
Struktur vaskular yang menyerupai nefron jukstamedular juga berbeda
dengan yang menyuplai nefron kortikal. Pada nefron kortikal, seluruh sistem
tubulus dikelilingi oleh jarinag kapiler peritubular yang luas.
Pada nefron jukstamedular, arteriol eferen panjang akan meluas dari
glomerulus turun ke bawah menuju medula bagian luar dan kemudian membagi
diri menjadi kapiler peritubulus khusus yang disebut vasa rekta, yang meluas ke
bawah menuju medula dan terletak berdampingan dengan ansa henle. Seperti
ansa henle, vasa rekta kembali menuju korteks dan mengalirkan isinya ke dalam
vena kortikal.
6

2.1.1 Aliran Darah


Ginjal menerima sekitar 1.200 ml darah per menit atau 21% dari curah
jantung. Aliran darah yang sangat besar ini tidak ditujukan untuk memenuhi
kebutuhan energi yang berlebihan, tetapi agar ginjal dapat secara terus-menerus
menyesuaikan komposisi darah. Dengan menyesuaikan komposisi darah, ginjal
mampu mempertahankan volume darah, memastikan keseimbangan natrium,
klorida, kalium, kalsium, fosfat, pH, serta membuang produk metabolisme
sebagai urea.
Arteri renalis memasuki ginjal melalui hilum bersama dengan ureter dan
vena renalis, kemudian bercabang-cabang secara progresif membentuk arteri
interlobaris, arteri arkuata, arteri interlobularis (arteri radialis), dan arteriol
aferen, yang menuju ke kapiler glomerulus. Dalam glomerulus di mana
sejumlah besar cairan dan zat terlarut kecuali protein plasma difiltrasi untuk
memulai pembentukan urine.
Ujung distal kapiler dari setiap glomerulus bergabung untuk membentuk
arteriol eferen, yang menuju jaringan kapiler kedua yaitu kapiler peritubular
yang mengelilingi tubulus ginjal.
Sirkulasi ginjal ini bersifat unik karena memiliki dua bentuk kapiler,
yaitu kapiler glomerulus dan kapiler peritubulus, yang diatur dalam suatu
rangkaian dan dipisahkan oleh arteriol eferen yang membantu untuk mengatur
tekanan hidrostatik dalam kedua perangkat kapiler.
Tekanan hidrostatik yang tinggi pada kapiler glomerulus (kira-kira 60
mmHg) menyebabkan filtrasi cairan yang cepat, sedangkan tekanan hidrostatik
yang jauh lebih rendah pada kapiler peritubulus (kira-kira 13 mmHg)
menyebabkan reabsorbsi cairan yang cepat. Dengan mengatur resistensi arteriol
aferen dan eferen, ginjal dapat mengatur tekanan hidrostatik kapiler glomerulus
dan kapiler peritubulus, dengan demikian mengubah laju filtrasi glomerulus dan
reabsorpsi tubulus sebagai respon terhadap kebutuhan homeostatik tubuh
(Guyton, 1997).
Kapiler peritubulus mengosongkan isinya ke dalam pembuluh sistem
vena, yang berjalan secara paralel dengan pembuluh arteriol dan secara

progresif membentuk vena interlobularis, vena arkuata, vena interlobaris, dan


vena renalis yang meninggalkan ginjal di samping arteri renalis dan ureter.
2.1.2 Pembentukan urine
Kecepatan ekskresi berbagai zat dalam urine menunjukkan jumlah ketiga
proses ginjal, yaitu filtrasi glomerulus, reabsorpsi zat dari tubulus renal ke
dalam darah, dan sekresi zat dari darah ke tubulus renal.
2.1.3 Filtrasi, reabsorpsi, dan sekresi
Pembentukan urine dimulai dengan filtrasi sejumlah besar cairan yang
bebas protein dari kapiler glomerulus ke kapsula bowman. Kebanyakan zat
dalam plasma, kecuali untuk protein difiltrasi secara bebas sehingga
konsentrasinya pada filtrat glomerulus dalam kapsula bowman hampir sama
dengan dalam plasma. Ketika cairan yang telah difiltrasi ini meninggalkan
kapsula bowman dan mengalir melewati tubulus, cairan diubah dalam oleh
reabsorbsi air dan zat terlarut spesifik yang kembali ke dalam darah atau oleh
sekresi zat-zat lain dari kapiler peritubulus ke dalam tubulus.
Produksi urine akan emelihara homeostatis tubuh dengan meregulasi
volume dan komposisi dari darah. Proses ini berupa ekskresi dan eliminasi dari
berbagai larutan, terutama hasil sisa metabolisme yang meliputi hal - hal berikut
ini :
a. Urea. Urea merupakan hasil sisa yang banyak diproduksi. Sebanyak 21
gram urea dihasilkan manusia setiap harinya terutama pada saat
pemecahan asam amino.
b. Kreatinin. Kreatinin dihasilkan di dalam jaringan muskuloskeletal pada
saat pemecahan kreatin fosfat yang digunakan untuk membentuk energi
yang tinggi pada kontraksi otot. Tubuh manusia menghasilkan sekitar 1,8
gram kreatinin setiap hari dan hampir semua dikeluarkan di dalam urine.
c. Asam urat. Asam urat dibentuk pada saat daur ulang basa nitrogen dari
molekul RNA. Tubuh manusia menghasilkan sekitar 480 mg asam urat
setiap harinya.

Produk sisa harus diekskresi dalam larutan sehingga proses eliminasi


juga akan mengalami kehilangan air. Kedua ginjal mampu memproduksi
konsentrasi urine dengan konsentrasi osmotik 1.200 - 1.400 mOsm/L, melebihi
empat kali konsentrasi plasma. Apabila kedua ginjal tidak mampu untuk
mengonsentrasikan produk filtrasi dari filtrasi glomerulus, kehilangan cairan
yang banyak akan berakibat fatal di mana terjadi dehidrasi pada beberapa jam
kemudian. Untuk memenuhi hal tersebut, ginjal memerlukan tiga proses
berbeda, yaitu sebagai berikut :
a. Filtrasi. Pada saat filtrasi, tekanan darah akan menekan air untuk
menembus membran filtrasi. Pada ginjal, membran filtrasi terdiri atas
glomerulus, endotelium, lamina densa, dan celah filtrasi.
b. Reabsorpsi. Reabsorpsi adalah perpindahan air dan larutan dari filtrat,
emlintasi epitel tubulus dan ke dalam cairan peritubular. Kebanyakan
material yang diserap kembali adalah nutrien gizi yang diperlukan tubuh.
Dengan kata lain, elektrolit, seperti ion natrium, klorida, dan bikarbonat,
direabsorbsi dengan sangat baik sehingga hanya sejumlah kecil saja yang
tampak dalam urine. Zat nutrisi tertentu, seperti asam amino dan glukosa,
direabsorpsi secara lengkap dari tubulus dan tidak muncul dalam urine
meskipun sejumlah besar zat tersebut difiltrasi oleh kapiler glomerulus.
c. Sekresi. Sekresi adalah transportasi larutan dari peritubulus ke epitel
tubulus dan menuju cairan tubulus. Sekresi merupakan proses penting
sebab filtrasi tidak mengeluarkan seluruh material yang dibuang dari
plasma. Sekresi menjadi metode penting untuk membuang beberapa
material, seperti berbagai jenis obat yang dikeluarkan ke dalam urine.
Pada saat yang sama, kedua ginjal akan memastikan cairan yang hilang
tidak berisi substrat organik yang bermanfaat, seperti glukosa, asam amino yang
banyak terdapat di dalam plasma darah. Material yang berharga ini harus
diserap kembali dan ditahan untuk digunakan oleh jaringan lain.

Setiap proses filtrasi glomerulus, reabsorpsi tubulus, dan sekresi tubulus


diatur menurut kebutuhan tubuh. Sebagai contoh, jika terdapat kelebihan
natrium dalam tubuh, laju filtrasi natrium meningkat dan sebagian kecil natrium
hasil filtrasi akan direabsorpsi menghasilkan peningkatan ekskresi natrium
urine.
Pada banyak zat, laju filtrasi dan reabsorpsi relative sangat tinggi
terhadap laju ekskresi. Oleh karena itu, pengaturan yang lemah terhadap filtrasi
atau

reabsorpsi dapat menyebabkan perubahan yang relative besar dalam

ekskresi ginjal. Sebagai contoh, kenaikan laju filtrasi glomerulus (GFR) yang
hanya 10% (dari 180 menjadi 198 liter per hari) akan menaikkan volume urine
13 kali lipat (dari1,5 menjadi 19,5 liter per hari) jika reabsorpsi tubulus tetap
konstan.
Pada kenyataannya, perubahan filtrasi glomerulus dan reabsorpsi tubulus
selalu bekerja dengan cara terkoordinasi untuk menghasilkan perubahan yang
sesuai pada ekskresi ginjal (Guyton,1997). Keseluruhan dari proses di atas akan
menghasilkan cairan yang berbeda dari cairan tubuh lainnya.

10

2.1.4 Filtrasi glomerulus


Filtrasi glomerulus adalah proses di mana sekitar 20% plasma masuk ke
kapiler glomerulus menembus kapiler untuk masuk ke ruang interstisium,
kemudian ke dalam kapsula bowman. Pada ginjal yang sehat, sel darah merah
atau protein plasma hamper tidak ada yang mengalami filtrasi.
Proses filtrasi menembus glomerulus serupa dengan yang terjadi pada
proses filtrasi di seluruh kapiler lain. Hal yang berbeda pada ginjal adalah
bahwa kapiler glomerulus sangat permeable terhadap air dan zat-zat terlarut
yang berukuran kecil. Tidak seperti kapiler lain, gaya yang mendorong filtrasi
plasma menembus kapiler glomerulus ke dalam kapsula bowman lebih besar
dari gaya yang mendorong reabsorpsi cairan kembali ke kapiler. Dengan
demikian, terjadi filtrasi bersih cairan ke dalam ruang bowman. Cairan ini
kemudian masuk dan berdifusi ke dalam kapsula bowman dan memulai
perjalanannya ke seluruh nefron. Pada glomerulus, adanya perbedaan tekanan
hidrostatik dan osmotic koloid pada kedua sisi kapiler menyebabkan terjadinya
perpindahan cairan.
2.1.5 Kecepatan filtrasi glomerulus
Kecepatan filtrasi glomerulus (Glomerular Filtration Rate atau GFR)
didefinisikan sebagai volume filtrate yang masuk kedalam kapsula bowman per
satuan waktu. GFR relative konstan dan member indikasi kuat mengenai
kesehatan ginjal. GFR bergantung pada empat gaya yang menentukan filtrasi
dan reabsorpsi (tekanan kapiler, tekanan cairan interstisium, tekanan osmotic
koloid plasma, dan tekanan osmotic koloid cairan interstisium).
Dengan demikian, setiap perubahan dalam gaya-gaya ini dapat
mengubah GFR. Selain itu, GFR juga bergantung pada berapa luas permukaan
glomerulus yang tersedia untuk filtrasi. Jadi, penurunan luas permukaan
glomerulus akan menurunkan GFR.
Nilai rata-rata untuk GFR pada seorang pria dewasa adalah 180 liter per
hari (125 ml per menit).volume plasma normal adalah sekitar 3 liter (dari
volume darah total sebesar 5 liter). Plasma difiltrasi oleh ginjal sekitar 60 kali
sehari atau sekitar berjumlah 180 liter dan untuk menjaga keseimbangan cairan
11

dari 180 liter cairan per hari yang difiltrasi ke dalam kapsula bowman hanya
sekitar 1,5 liter per hari diekskresikan dari tubuh sebagai urine.
Klirens ginjal (renal clearance) suatu bahan mengacu kepada konsentrasi
bahan tersebut yang secara total dibersihkan dari darah untuk kemudian masuk
ke dalam urine dalam satuan waktu (Corwin,2001).
2.1.6 Kontrol fisiologis filtrasi glomerulus dan aliran darah ginjal
Untuk mempertahankan fungsinya, suplai darah ke ginjal perlu mendapat
aliran yang seimbang agar ginjal dapat

bertahan, serta untuk mengontrol

volume plasma dan elektrolit. Perubahan


meningkatkan

atau

menurunkan

tekanan

aliran darah ginjal dapat


hidrostatik

glomerulus

yang

memengaruhi GFR.
Ginjal memiliki beberapa mekanisme untuk mengontrol aliran darah
ginjal. Mekanisme ini membantu dalam mempertahankan fungsi ginjal dan
GFR konstan walaupun terjadi perubahan tekanan darah sistemik. Aliran darah
ginjal dikontrol oleh mekanisme intrarenal dan ekstrarenal.
Mekanisme intrarenal mencakup kemampuan inheren arteriol aferen dan
eferen untuk berdilatasi dan berkonstriksi, yang dapat menentukan seberapa
banyak darah yang mengalir melintasi ginjal. Kemampuan inheren disebut
otoregulasi.
Mekanisme ekstrarenal yang mengatur aliran darah ginjal mencakup efek
langsung peningkatan atau penurunan tekanan arteri rerata dan efek susunan
saraf simpatis. Mekanisme ketiga yang mengatur aliran darah yang memiliki
komponen intrarenal dan ekstrarenal adalah hormon yang dihasilkan oleh ginjal.
Hormon ini tidak saja memengaruhi aliran darah ginjal, tetapi juga sirkulasi
sistemik. Hormon ini, disebut renin yang bekerja melalui pembentukan suatu
vasokonstriktor kuat yang disebut dengan angiotensin II.
2.1.7 Otoregulasi
Otoregulasi adalah respons intrinsic otot polos vascular terhadap
perubahan tekanan darah. Seperti banyak arteriol lain, sel-sel otot polos arteriol
aferen dan eferen berespons terhadap peregangan dengan konstriksi reflex.
12

Apabila tekanan darah sistemik meningkat, maka peregangan pada arteriol


aferen meningkat. Peregangan tersebut

menyebabkan arteriol berkonstriksi

sehingga aliran darah berkurang dan tekanan darah ginjal kembali ke normal.
Sebaliknya, apabila tekanan darah sistemik menurun, maka peregangan pada
arteriol aferen dan eferen berkurang, kemudian arteriol berespons dengan
melakukan relaksasi dan dilatasi untuk meningkatkan aliran darah.
Dengan adanya otoregulasi, maka aliran darah ginjal menetap relative
konstan walaupun terjadi perubahan tekanan darah yang besar antara 80 mmHg
dan 180 mmHg. Oleh karena adanya otoregulasi arteriol aferen, GFR relative
tidak berubah walaupun terjadi perubahan tekanan darah yang mencolok.
Apabila tekanan darah arteri rerata meningkat, maka otoregulasi ginja
menyebabkan tekanan hidrostatik glomerulus tetap relative konstan. Akibatnya,
GFR juga relative konstan. Batas bawah otoregulasi, 80 mmHg untuk tekanan
arteri rerata, dicapai lebih sering daripada batas atas. Dengan demikian, GFR
dapat turun pada keadaan hipotensi berat.
2.2 Konsep Dasar Glomerulonefritis
2.2.1 Glomerulonefritis Akut
Glomerulonefritis akut adalah peradangan glomerulus secara mendadak
pada kedua ginjal. Peradangan akut glomerulus terjadi akibat pengendapan
kompleks antigen antibody di kapiler-kapiler glomerulus. Kompleks biasanya
terbentuk 7-10 hari setelah infeksi faring atau kulit oleh streptokokus (
glomerulonefritis pascastreptokokus), tetapi dapat juga timbul setelah infeksi
lain. Glomerulonefritis akut lebih sering terjadi pada laki-laki (2:1) , walaupun
dapat terjadi pada semua usia, tetapi biasanya berkembang pada anak-anak dan
sering pada usia 6-10 tahun.
Glomerulonefritis akut (GNA) ialah suatu reaksi imunologic pada ginjal
terhadap bakteri atau virus tertentu. Yang sering ialah infeksi karena kuman
streptokokus. Penyakit ini sering ditemukan pada anak berumur 3-7 tahun dan
lebih sering mengenai anak pria dibandingkan dengan anak wanita (Ngastiyah,
1997, hal.294). Glomerulonefritis akut dapat dihasilkan dari penyakit sistemik
atau penyakit glomerulus primer, tapi glomerulonefritis akut post streptococcus
13

(juga diketahui sebagai glomerulonefritis proliferatif akut) adalah bentuk


keadaan yang sebagian besar terjadi. Infeksi dapat berasal dari faring atau kulit
dengan streptococcus beta hemolitik A adalah yang biasa memulai terjadinya
keadaan yang tidak teratur ini. Stapilococcus atau infeksi virus seperti hepatitis
B, gondok, atau varicela (chickenpox) dapat berperan penting untuk
glomerulonefritis

akut

pasca

infeksi

yang

serupa

(Porth,2005).

Glomerulonefritis akut paling sering ditemukan pada anak laki laki berusia
tiga hingga tujuh tahun meskipun penyakit ini dapat terjadi pada segala usia.
Hingga 95 % anak anak dan 70 % dewasa akan mengalami pemulihan total.
Pada pasien lain, khususnya yang berusia lanjut, dapat terjadi progresivitas
penyakit ke arah gagal ginjal kronis dalam tempo beberapa bulan saja.
2.2.2 Glomerulonefritis Kronik
Glomerulonefritis Kronik adalah suatu kelainan yang terjadi pada
beberapa penyakit, dimana terjadi kerusakan glomeruli dan kemunduran fungsi
ginjal selama bertahun-tahun.
Glomerulus kronis adalah suatu kondisi peradangan yang lama dari selsel glomerulus. Kelainan ini dapat terjadi akibat glomerulonefritis akut yang
tidak membaik atau timbul secara spontan. Glomerulonefritis kronik sering
timbul beberapa tahun setelah cidera dan peradangan glomerulus subklinis yang
disertai oleh hematuria (darah dalam urine) dan proteinuria (protein dalam
urine) ringan.
Glomerulonefritis kronik adalah kategori heterogen
dengan

berbagai

kasus.

Semua

bentuk

gambaran

dari penyakit

sebelumya

dari

glomerulonefritis dapat meningkat menjadi keadan kronik. Kadang- kadang


glomerulonefritis pertama dilihat sebagai sebuah proses kronik. (Lucman and
sorensens, 1993, page.1496)
Pasien

dengan

penyakit

ginjal

(glomerulonefritis)

yang

dalam

pemeriksaan urinnya masih selalu terdapat hematuria dan proteinuria dikatakan


menderita glomerulonefritis kronik. Hal ini terjadi karena eksaserbasi berulang
dari glomerulonefritis akut yang berlangsung dalam beberapa waktu beberapa

14

bulan/tahun, karena setiap eksaserbasi akan menimbulkan kerusakan pada ginjal


yang berkibat gagal ginjal (Ngastiyah, 1997)
Menurut Price dan Wilson (1995, hal. 831) Glomerulonefritis kronik
(GNK) ditandai oleh kerusakan glomerulus secara progresif lambat akibat
glomerulonefritis yang sudah berlangsung lama.
Glomerulonefritis kronis merupakan penyakit yang berjalan progresif
lambat dan ditandai oleh inflamasi, sklerosis, pembentukan parut, dan akhirnya
gagal ginjal. Biasanya penyakit ini baru terdeteksi setelah berada pada fase
progresif yang biasanya bersifat ireversibel.
2.2.3 Glomerulonefritis Progresif Cepat
Glomurulonefritis progresif cepat adalah peradangan glomerulus yang
terjadi sedemikian cepat sehingga terjadi penurunan GFR 50% dalam 3bulan
setelah awitan penyakit. Glomerulonefritis progresif cepat ( rapid progressive
glomerulonephritis, RPGN ) yang juga dinamakan glomerulonefritis sub akut,
kresentik, atau ekstrakapiler. Penyakit ini bisa bersifat idiopatik atau disertai
dengan

penyakit

glomerulus

proliferatif,

seperti

glomerulonefritis

pascastreptokokal.
2.3 Etiologi
Faktor penyebab Glomerulonefritis Akut yang mendasari terjadinya
sindrom ini secara luas dapat dibagi menjadi kelompok infeksi dan noninfeksi.
Infeksi sreptokokus terjadi sekitar 5-10% pada orang dengan radang
tenggorokan dan 25% pada mereka dengan infeksi kulit. Penyebab
nonstretokokus, meliputi bakteri , virus dan parasit. Sedangkan yang termasuk
noninfeksi adalah penyakit sistemik multisystem ,seperti pada lupus
eritematosus sistemik (SLE), vaskulitis, sindrom Goodpasture , granulomatosis
Wegener. Kondisi penyebab lainnya adalah kondisi sindrom Gillain-Barre.
Penyebab Glomerulonefritis kronik yang sering adalah diabetes melitus
dan hipertensi kronik. Kedua penyakit ini berkaitan dengan cidera glomerulus
yang bermakna dan berulang. Hasil akhir dari peradangan tersebut adalah

15

pembentukan jaringan parut dan menurunnya fungsi glomerulus. Kerusakan


glomerulus sering diikuti oleh atrofi tubulus.
Glomerulonefritis progresif cepat dapat terjadi akibat perburukan
glomerulonefritis akut, suatu penyakit autoimun, atau tanpa diketahui sebabnya
(idiopatik).
2.4 Patofisiologi
Pada Glomerulonefritis Akut terjadi perubahan structural pada bagian
ginjal yang meliputi proliferasi seluler, proliferasi leukosit, terjadi hialinisasi
atau sklerosis, serta terjadi penebalan membran basal glomerulus.
Proliferasi selular menyebabkan peningkatan jumlah sel di glomerulus
karena proliferasi endotel, mesangial dan epitel sel. Proliferasi tersebut dapat
bersifat endokapiler ( yaitu dalam batas-batas dari kapiler glomerular) atau
ekstrakapiler ( yaitu dalam ruang Bowman yang melibatkan sel-sel epitel ).
Dalam proliferasi ekstrakapiler, proliferasi sel epitel pariental mengarah pada
pembentukkan tertentu dari glumerulonefritis progresif cepat.
Terjadinya proliferasi leukosit ditujukan dengan adanya neutrofil dan
monosit dalam lumen kapiler glumerolos dan sering menyertai proliferasi
selular. Penebalan membrane basal glomerulus muncul terjadi pada dinding
kapiler baik disisi endotel atau epitel membrane besar. Hialinisasi atau sklerosis
pada glomerulonefritis menunjukkan cedera irreversibel.
Perubahan struktural ini diperantai oleh reaksi antigen antibodi agregat
molekul (kompleks) dibentuk dan beredar ke seluruh tubuh. Beberapa dari
kompleks ini terperangkap di glomerolus, suatu bagian penyaring ginjal dan
mencetuskan respon peradangan.
Sehingga terjadi reaksi peradangan di glomerulus yang menyebabkan
pengaktifan komplemen dan terjadi peningkatan aliran darah dan juga
peningkatan permeabilitas kapiler glomerulus serta filtrasi glomerulus. Proteinprotein plasma dan sel darah merah bocor melalui edema diruang intertisium
Bowman. Hal ini meningkatkan tekanan cairan intertisium, yang dapat
menyebabkan kolapsnya setiap glomerulus daerah tersebut. Akhirnya ,
peningkatan tekanan cairan intertisium akan melawan filtrasi glomerulus lebih
16

lanjut. Reaksi peradangan mengaktifkan komplemen yang menarik sel-sel darah


putih dan trombosit ke glomerulus. Pada peradangan terjadi pengaktifan
factorfaktor koagulasi yang dapat menyebabkan pengendapan fibrin ,
pembentukan jaringan parut dan hilangnya fungsi glomerulus. Membrane
glomerulus menebal dan dapat menyebabkan penurunan GFR lebih lanjut.
Glomerulonefritis akut memiliki kecenderungan untuk berkembang
menjadi Glomerulonefritis kronis.
Setelah kejadian berulang infeksi penyebab glomerulonefritis akut,
ukuran ginjal sedikit berkurang sekitar seperlima ukuran normal, dan terjadi
atas jaringan fibrosa yang luas. Korteks mengecil menjadi lapisan yang tebalnya
1 sampai 2 mm atau kurang. Berkas jaringan parut merusak sisa korteks
menyebabkan permukaan ginjal kasar dan ireguler. Sejumlah glomeruli dan
tubulusnya berubah menjadi jaringan parut, serta cabang - cabang arteri renal
menebal. Perubahan ini terjadi dalam rangka untuk menjaga GFR dari nefron
yang tersisa sehingga menimbulkan kosekuensi kehilangan fungsional nefron.
Perubahan ini pada akhirnya akan menyebabkan kondisi glomerulosklerosis dan
kehilangan nefron lebih lanjut.
Pada penyakit ginjal dini ( tahap 1 3 ), penurunan substansial dalam
GFR dapat mengakibatkan henya sedikit peningkatan kadar serum kreatinin.
Azotemia ( yaitu peningkatan kadar BUN dan kreatinin serum ) terlihat ketika
GFR menurun hingga kurang dari 60-70 mL/menit. Selain peningkatan BUN
dan kadar kreatinin, beberapa kondisi lain juga memperberat kondisi klinik,
meliputi :
a. Penurunan produksi eritropoietin sehingga mengakibatkan anemia,
b. Penurunan

produksi

vitamin

sehingga

terjadi

hipokalsemia,

hiperparatiroidisme, hiperfosfstemia, dan osteodistrofi ginjal,


c. Pengurangan

ion

hidrogen,

kalium,

garam,

dan

ekskresi

air,

mengakibatkan kondisi asidosis, hiperkalemia, hipertensi, dan edema,


d. Disfungsi trombosit yang menyababkan peningkatan kecenderungan
terjadinya pendarahan.
Pada

Glomerulonefritis

kronik

akumulasi

produk

ureum

yang

mempengaruhi hampir semua sistem organ. Sehingga terjadi Uremia pada GFR
17

sekitar 10 mL/menit yang kemudian berlanjut pada keadaan gagal ginjal


terminal. Respons perubahan secara struktural dan fungsional memberikan
berbagai masalah keperawatan pada pasien yang mengalami glomerulus kronis.
Glomerulonefritis progresif cepat berkaitan dengan proliferasi difus selsel gomerulus didalam ruang Bowman. Hal ini menimbulkan struktur yang
berbentuk mirip bulan sabit yang merusak ruang Bowman. Kecepatan filtrasi
glomerulus menurun sehingga terjadi gagal ginjal.
Sindrom Goodpasture adalah suatu jenis glomerulonefritis progresif
cepat yang disebabkan oleh terbentuknya antibody yang melawan sel-sel
glomerulus itu sendiri. Kapiler paru juga terkena. Terjadi pembentukan jaringan
parut luas di gromelurus. Dalam beberapa minggu atau bulan sering terjadi
gagal ginjal. Awitan penyakit ini sering kali tidak jelas atau bisa juga akut,
disertai peradarahan paru-paru dan hemoptisis. Biasanya tidak didahului oleh
penyakityang dapat memberikan kesan disebabkan oleh antibody autoimun
terhadap membra basalis gromelurus yang timbul dalam darah penderita sendiri.
Zat kompleks imun subendetol dapat dilihat dalam mikroskop elektron.
Gambaran

linier

patogenesisnya

dan

adalah

imunofluoresensi
suatu

mekanisme

menimbulkan
nefrotoksik

gudaan
imun.

bahwa
Endapan

immunoglobulin juga ditemukan disepanjang membrane basalis alveolus paruparu. Klien dapat dipertahankan hidup dengan hemodialisis, tetapi dapat juga
meningga akibat perdarahan par-paru.
Respons perubahan patologis pada glomerulus secara fungsional akan
memberikan berbagai masalah keperawatan pada pasien yang mengalami
glmerulus progresif cepat.
2.5 Prognosis
Pada Glomerulonefritis Akut sebagian besar pasien dapat sembuh, tetapi
5% diantaranya mengalami perjalanan penyakit yang memburuk dengan cepat.
Diuresis akan menjadi normal kembali pada hari ke 7 - 10 setelah awal penyakit
dengan menghilangnya sebab dan secara bertahap tekanan darah menjadi
normal kembali. Fungsi ginjal (ureum dan kreatinin) membaik dalam 1 minggu
dan menjadi normal dalam waktu 3-4 minggu. Potter dan kawan-kawan
18

menemukan kelainan sediment urine yang menetap ( proteinuria dan hematuria


) pada 3,5% dari 534 pasien yang diikuti selama 12-17 tahun di Trinidad.
Gejala fisik menghilang dalam minggu ke 2 atau ke 3, kimia darah
menjadi normal pada minggu ke 2 dan hematuria mikroskopik atau
makroskopik dapat menetap selama 4-6 minggu pada Glomerulonefritis Akut.
LED meninggi terus sampai kira-kira 3 bulan, protein sedikit dalam urine dan
dapat menetap untuk beberapa bulan. Eksaserbasi kadang-kadang terjadi akibat
infeksi akut selama fase penyembuhan, tetapi umumnya tidak mengubah proses
penyakitnya. Penderita yang tetap menunjukkan kelainan urine selama 1 tahun
dianggap menderita penyakit glomerulonefritis kronik, walaupun dapat terjadi
penyembuhan sempurna. LED digunakan untuk mengukur progresivitas
penyakit ini, karena umumnya tetap tinggi pada kasus-kasus yang menjadi
kronis. Diperkirakan 95 % akan sembuh sempurna, 2% meninggal selama fase
akut dari penyakit ini dan 2% menjadi glomerulonefritis kronis.
Menurut Ngastiah ( 1997, hal.302 ) Glomerulonefritis kronik terjadi
penurunan fungsi ginjal dan dapat berlangsung perlahan-lahan, tetapi kadang
dapat berlangsung cepat sehingga berakhir dengan kematian, dalam 5 - 10 tahun
kedepan tergantung pada kerusakan ginjal.
2.6 Manifestasi Klinis
Menurut Ngastiah (1997, Hal.296) gambaran klinik Glomerulonefritis
Akut dapat bermacam-macam. Kadang-kadang gejala ringan tetapi sering juga
pasien datang sudah dalam keadaan payah. Gejala yang sering ditemukan
adalah hematuria ( kencing berwarna merah seperti air daging). Kadang disertai
edema ringan disekitar mata atau dapat juga seluruh tubuh. Umumnya terjadi
edema berat bila terdapat oliguria dan gagal jantung. Hipertensi terdapat pada
60-70 % anak dengan GNA pada hari pertama dan akan kembali normal pada
akhir minggu pertama juga. Jika terdapat kerusakan jaringan ginjal, tekanan
darah akan tetap tinggi selama beberapa minggu dan menjadi permanen jika
keadaan penyakitnya menjadi kronik. Hipertensi ini timbul karena vasospasme
atau iskemia ginjal dan berhubungan dengan gejala serebrum serta kelainan
jantung. Suhu badan umumnya tidak seberapa tinggi, tetapi dapat terjadi tinggi
19

sekali pada hari pertama. Kadang-kadang gejala panas tetap ada walaupun tidak
ada gejala infeksi lain yang mendahuluinya. Gejala gastrointestinal seperti
muntah, tidak nafsu makan, diare sering menyertai pasien GNA. Selama fase
akut terdapat vasokonstriksi arteriola glomerulus yang mengakibatkan tekanan
filtrasi menjadi kurang dan karena hal ini kecepatan filtrasi glomerulus pun
menjadi kurang. Filtrasi air, garam, ureum dan zat-zat lainnya berkurang dan
sebagai akibatnya kadar ureum dan kreatinin dalam darah meningkat. Fungsi
tubulus relatif kurang terganggu. Ion natrium dan air di reabsorpsi kembali
sehingga diuresis mengurang (timbul oliguria dan anuria) dan ekskresi natrium
mengurang, ureum pun direabsorpsi kembali lebih dari biasa. Akibatnya terjadi
insufisiensi ginjal akut dengan urema, hiperfosfatemia, hidremia, dan asidosis
metabolik. Dari hasil studi kinis kejadian glomerulonefritis akut dapat sembuh
sampai 90%, dengan fugsi ginjal normal dalam 60 hari.
Menurut Baughman (2000. Hal.196) Glomerulonefritis Akut pada
bentuk penyakit yang lebih parah, dapat terjadi sakit kepala, malaise, edema
fasial, dan nyeri hebat. Umumnya terjadi hipertensi ringan sampai berat dan
nyeri tekan pada sudut kostovertebral (CVA).
Menurut Smeltzer (2001, hlm.1440) gejala Glomerulonefritis kronik
bervariasi. Banyak pasien dengan penyakit yang telah parah memperlihatkan
kondisi tanpa gejala sama sekali untuk beberapa tahun. Kondisi mereka secara
insidental dijumpai ketika terjadi hipertensi atau peningkatan kadar BUN dan
kreatinin serum. Diagnosis dapat ditegakkan ketika perubahan vaskuler atau
perdarahan retina ditemukan selama pemeriksaan mata. Indikasi pertama
penyakit dapat berupa perdarahan hidung, stroke, atau kejang yng terjadi secara
mendadak. Beberapa pasien hanya memberitahu bahwa tungkai mereka sedikit
bengkak dimalam hari. Mayoritas pasien pasien juga mengalami gejala umum
seperti kehilangan berat dan kekuatan badan, peningkatan iritabilitas, dan
peningkatan berkemih dimalam hari (nokuria), sakit kepala, pusing, dan
gangguan pencernaan umumnya terjadi.
Seiring dengan berkembangnya glomerulonefritis kronik, tanda dan
gejala insufisiensi renal dan gagal ginjal kronik dapat terjadi. Pasien tampak
sangat kurus, pigmen kulit tampak kuning keabu-abuan dan terjadi edema
20

perifer (dependen) dan periorbital. Tekanan darah mungkin normal atau naik
dengan tajam. Temuan pada retina mencakup hemoragi, adanya eksudat,
arteriol menyempit dan berliku-liku, serta papiledema. Membran mukosa pucat
karena anemia. Pangkal vena mengalami distensi akibat cairan yang berlebihan.
Kardiomegali, irama galop, dan tanda gagal jantung kongestif lain dapat
terjadi pada Glomerulonefritis kronik. Bunyi krekel dapat didengar di paru.
Neuropati perifer disertai hilangnya reflek tendon dan perubahan
neurosensori muncul setelah penyakit Glomerulonefritis kronik. Pasien
mengalami konfusi dan memperlihatkan rentang penyakit yang menyempit.
Temuan lain mencakup perikarditis disertai friksi perikardial dan pulsus
paradoksus (perbedaan tekanan darah lebih dari 10 mmHg selama inspirasi dan
ekspirasi).
Glomerulonefritis Progresif Cepat, keluhan berhubungan dengan kondisi
vaskulitis Anca (antineutrophil cytoplasmic antibodies) seperti flu di tandai
dengan malaise, demam, arthralgias, mialgia, anoreksia, kehilangan berat
badan. Setelah kondisi tersebut, keluhan yang paling umum adalah sakit perut,
gangguan kulit denganadanya nodul atau ulserasi. Ketika terdapat keterlibatan
saluran pernapasan atas, pasien mengeluh gejala sinusitis, batuk, dan
hemoptosis.
2.7 Pencegahan
Pencegahan Glomerulonefritis Akut menurut Baughman (2000. Hal.
197), memberikan jadwal evaluasi lanjut tentang tekanan darah, pemeriksaan
urinalis untuk protein, dan pemeriksaan BUN dan kreatinin untuk menentukan
apakah penyakit telah tereksaserbasi. Memberitahu dokter bila gejala gagal
ginjal terjadi misalnya ; kelelahan, mual, muntah, penurunan haluaran urin.
Anjurkan untuk mengobati infeksi dengan segera, serta rujuk ke perawat
kesehatan komunitas yang di indikasikan untuk pengkajian dan deteksi gejala
dini.
Pencegahan Glomerulonefritis Kronik menurut Baughman, Diane C
(2000,hal.1999),

menganjurkan

pasien

dan

keluarga

tentang

rencana

pengobatan yang dianjurkan dan resiko ketidakpatuhan terhadap instruksi


21

termasuk penjelasan dan penjadwalan untuk evaluasi tindak lanjut tekanan


darah urinalisis untuk protein dan cast, darah terhadap BUN dan kreatinin.
Rujuk pada perawat kesehatan rumah atau perawat yang bertugas di rumah
untuk pengkajian yang seksama atas kemajuan pasien dan penyuuhan berlanjut
tentang masalah-masalah yang harus dilaporkan. Pada pemberi asuhan
keperawatan, diit yang dianjurkan dan modifikasi cairan, dan penyluhan tentang
obat-obatan. Serta berikan bantuan pada klien dan keluarga serta dukungan
mengenai dialisis dampak jangka panjang.
2.8 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan Glomerulonefritis Akut menurut Baughman (2000,
Hal.197) bertujuan untuk memulihkan fungsi ginjal dan untuk mengobati
komplikasi dengan cepat. Pemberian antibiotik Penisilin, untuk infeksi
streptokokus residual, Preparat diuretik untuk keseimbangan cairan tubuh dan
pemberian antihipertensi.
Pertukaran plasma ( plasmaferesis ) dan pengobatan dengan obat-obat
steroid dan sitotoksik untuk mengurangi respon inflamasi, diberikan untuk
progresif glomerulonefritis akut. Kadang diperlukan dialisis. Dan Tirah baring
sangat diperlukan, selama fase akut sampai urine jernih dan BUN, kreatinin,
dan tekanan darah kembali normal. Nutrisi diberikan berupa Diit protein
dibatasi pada peningkatan BUN, Natrium dibatasi pada hipertensi, edema, dan
gagal jantung kongestif, Karbohidrat untuk energi dan penurunan protein
katabolisme, serta Cairan yang diberikan sesuai kehilangan cairan dan berat
badan harian; masukan dan haluaran.
Penatalaksanaan Glomerulonefritis Kronik bertujuan menurunkan resiko
dari penurunan progresif fungsi ginjal. Penatalaksanaan tersebut berupa Diet
rendah natrium dan pembatasan cairan. Protein dengan nilai biologis yang
tinggi ( produk susu, telur, daging ) diberikan untuk mendukung status nutrisi
yang baik pada klien. Kalori yang adekuat juga penting untuk menyediakan
protein bagi pertumbuhan dan perbaikan jaringan. Pemberian antimikroba bila
terdapt infeksi traktus urinarius harus ditangani dengan tepat untuk mencegah
kerusakan renal lebih lanjut. Diuretik diberikan untuk menurunkan edema dan
22

hipertensi. Dialisis dimulai dengan mempertimbangkan terapi awal untuk


menjaga agar kondisi fisik klien tetap optimal, mencegah ketidaksimbangan
cairan dan elektrolit, dan mengurangi resiko komplikasi gagal ginjal.
Penatalaksanaan Glomerulonefritis Progresif cepat, dilakukan dengan
pemberian terapi kombinasi kortikosteroid dan siklofosfamid, dialysis, adanya
intervensi lain, yang digunakan secara luas dan dengan sukse di Eropa adalah
substansi azathioprine untuk siklofosfamid setelah periode induksi 3 bulan.
Azathioprine diberikan sebesar 2mg/kg secara oral dalam dosis tunggal harian.
Hal ini berlangsung selama 6-12 bulan. Pemberian Methotrexate telah
menggantikan siklofosfamid dalam pengobatan awal granulomatosis Wegener
untuk penyakit ringan dan telah digunakan untuk perawatan setelah terapi
induksi awal dengan siklofosfamid pada penyakit yang lebih berat. Dan
Plasmapheresis dapat menjadi tambahan yang bermanfaat untuk terapi bagi
pasien yang datang dengan gagal gijla berat (serum kreatinin >6mg/dL).

23

3.1 Asuhan Keperawatan


3.1.1 Asuhan Keperawatan Glomerulonefritis Akut
a. Pengkajian
Keluhan utama yang sering dikeluhkan bervariasi meliputi
keluhan nyeri pada pinggang atau kostovertebra, miksi berdarah, wajah
atau kaki bengkak, pusing atau keluhan badan cepat lelah.
Untuk komprehensifnya pengkajian, perawat menanyakan hal berikut :
- Kaji apakah pada beberapa hari sebelumnya pasien mengalami
demam, nyeri tenggorokan, dan batuk karena peradangan pada
tenggorokan.
- Kaji berapa lama edema pada kaki atau wajah.
- Kaji adanya keluhan sesak napas
- Kaji adanya penurunan frekuensi miksi dan urinr output
- Kaji adanya perubahan warna urin menjadi lebih gelap seperti warna
kola.
- Kaji berapa lama keluhan penurunan nafsu makan dan gangguan
gastrointestinal seperti mual dan muntah.
- Kaji berapa lama keluhan miksi berdarah dan adanya perubahan
urine output.
- Kaji onset keluhan bengkak pada wajah dan kaki, apakah disertai
dengan adanya keluhan pusing dan cepat lelah.
- Kaji keluhan nyeri daerah pinggang atau kostovertebra secara
PQRST
- Kaji keluhan adanya memar dan perdarahan hidung yang bersifat
rekuren.
- Kaji adanya anoreksi dan penurunan berat badan pada pasien.
- Kaji adanya keluhan sakit kepala dan malaise.
Pada riwayat kesehatan dahulu, apakah pasien pernah menderita
penyakit diabetes melitus dan penyakit hipertensi sebelumnya. Penting
24

untuk dikaji mengenai riwayat pemakaian obat-obatan masa lalu dan


adanya riwayat alergi terhadap jenis obat dan dokumentasikan.
Apakah adanya gangguan pada psikososiokultural yang dapat
berupa adanya kelemahan fisik, miksi darah, serta wajah dan kaki yang
bengkak akan memberikan dampak rasa cemas dan koping yang
maladaptif pada pasien.
Perubahan fungsional meliputi proteinuria, hematuria, penurunan
GFR ( yaitu oligoanuria ), serta sedimen urine aktif dengan sel darah
merah. Penurunan GFR dan retensi air akan memberikan manifestasi
terjadinya ekspansi volume intravaskuler, edema, dan hipertensi
sistemik.
Respons perubahan secara structural dan fungsional memberikan
berbagai masalah keperawatan pada pasien yang mengalami glomerulus
akut.
b. Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum pasien lemah dan terlihat sakit berat dengan
tingkat kesadaran biasanya compos mentis, tetapi akan berubah apabila
sistem saraf pusat mengalami gangguan sekunder dari penurunan perfusi
jaringan otak dan kerusakan hantaran saraf sekunder dari abnormalitas
elektrolit dan uremia. Pada TTV, sering didapatkan adanya perubahan
pada fase awal

sering didapatkan suhu tubuh meningkat, frekuensi

denyut nadi mengalami peningkatan, frekuensi meningkat sesuai dengan


peningkatan, frekuensi meningkat sesuai dengan peningkatan

suhu

tubuh dan denyut nadi. Tekanan darah terjadi perubahan dari hipertensi
ringan sampai berat.
B1 ( Breathing)
Biasanya tidak didapatkan adanya gangguan pola napas walau
secara frekuensi mengalami peningkatan terutama pada fase akut. Pada
fase lanjut sering didapatkan adanya gangguan pola napas dan jalan
napas yang merupakan respons terhadap edema pulmoner dan adanya
sindrom uremia.
25

B2 ( Blood)
Salah satu tanda khas glomerulonefritis adalah peningkatan
tekanan darah sekunder dari retensi natrium dan air yang memebrikan
dampak pada fungsi sistem kardiovaskuler dimana akan terjadi
penurunan perfusi jaringan akibat tingginya beban sirkulasi. Pada
kondisi azotemia berat, pada auskultasi perawat akan menemukan
adanya function rub yang merupakan tanda khas efusi pericardial
sekunder dari sindrom uremik.
B3 ( Brain )
Didapatkan edema wajah terutama periorbital , konjungtiva anemis
, sclera tidak ikterik dan mukosa mulut tidak mengalami peradangan.
Status neurologis mengalami perubahan sesuai dengan tingkat parahnya
azotemia pada sistem saraf pusat. Pasien beresiko kejang sekunder
gangguan elektrolit.
B4 (Bladder)
Inspeksi. Terdapat edema pada ekstremitas dan wajah. Perubahan
warna urine ouputseperti warna urine berwarna kola dari proteinuri,
silinderi dan hematuri. Palpasi . Didapatkan adanya nyeri tekan ringan
pada area kostovetebra. Perkusi. Perkusi pada sudut kostovertebra
memebrikan stimulus nyeri ringan local disertai suatu penjalaran nyeri ke
pinggang dan perut.
B5 (Bowel)
Didapatkan adanya mual dan muntah, serta anoreksia sehingga
sering didapatkan penurunan intake nutrisi dari kebutuhan.
B6 (Bone)
Didapatkan adanya kelemahan fisik secara umum sekunder dari
edema tungkai atau edema wajah terutama pada periorbital , anemia dan
penurunan perfusi perifer dan hipertensi.
c. Pengkajian Diagnostik Laboratorium
Pada Pemeriksaan urinalis ditemukan adanya hematuria ( darah
dalam urine) mikroskopik atau makroskopik( gros). Urine tampak
26

berwarna kola akibat sel darah merah dan butiran atau sedimen protein(
lempengan sel darah merahmenunjukkan adanya cedera glomerular.
Proteinuria ,terutama albumin juga akibat meningkatnya permeabilitas
membrane glomerulus.
Kadar BUN dan kreatinin sering meningkat seiring dengan
menurunnya urine output. Pasien dapat anemik akibat hilangnya sel
darah merah ke dalam urine dan perubahan mekanisme hematopoetik
tubuh.
d. Pengkajian Diagnostik Medis
Tujuan terapi untuk mencegahnya terjadinya kerusakan ginjal
lebih lanjut dan menurunkan risiko komplikasi. Risiko komplikasi yang
mungkin ada, meliputi : Hipertensi ensefalopati, gagal jantung kongesif
dan edema pulmoner. Hipertensi ensefalopati dianggap sebagai kondisi
darurat medis dan terapi diarahkan untuk mengurangi tekanan darah
tanpa mengganggu fungsi renal.
Untuk mencapai tujuan terapi, maka penatalaksanaan tersebut,
meliputi hal-hal berikut :
- Pemberian antimikroba derivate pensilin untuk mengobati infeksi
streptokokus
- Diuretik dan antihipertensi untuk mengontrol hipertensi
- Terapi cairan. Jika pasien dirawat di rumah sakit, maka intake dan
ouput diukur secara cermat dan dicatat. Cairan diberikan untuk
mengatasi kehilangan cairan dan berat badan harian.

e. Diagnosis Keperawatan
1. Aktual atau resiko kelebihan volume cairan berhubungan dengan
penurunan volume urine, retensi cairan dan natrium, peninngkatan
aldosteron sekunder dari penurunan GFR.
2. Risiko tinggi kejang berhubungan dengan kerusakan hantaran saraf
sekunder dari abnormalitas elektrolit dan uremia.
27

3. Nyeri berhubungan dengan respons inflamasi ,kontraksi otot


sekunder, adanya inflamasi glomerulus
4. Risiko

ketidakseimbangan

nutrisi

kurang

dari

kebutuhan

berhubungan dengan ketidakadekuatan intake cairan nutrisi sekunder


dari nyeri , ketidaknyamanan lambung dan intestinal.
5. Gangguan Activity Daily Living (ADL) berhubungan edema
ekstremitas, kelemahan fisik secara umum.
6. Kecemasan berhubungan dengan prognosis penyakit , ancaman ,
kondisi sakit dan perubahan kesehatan.

28

f. Rencana Keperawatan
Aktual / risiko tinggi terhadap kelebihan volume cairan b.d penurunan voluma urine, retensi cairan dan natrium,
peningkatan aldosteron sekunder dari penurunan GFR
Tujuan : Dalam waktu 1 x 24 jam tidak terjadi kelebihan volume cairan sistemik
Kriteria evaluasi : Pasien tidak sesak napas, edema ekstremitas berkurang, pitting edema (-), produksi urine > 600 ml/hr
Intervensi

Rasional

Kaji adanya edema ekstremitas

Curiga gagal kongestif/kelebihan volume cairan

Kaji tekanan darah

Sebagai salah satu cara untuk mengetahui peningkatan jumlah cairan yang dapat
diketahui dengan meningkatkan beban kerja jantung yang dapat diketahui dari
meningkatnya tekanan darah

Kaji vena jugularis

Peningkatan cairan dapat membebani fungsi ventrikel kanan yang dapat dipantau
melalui pemeriksaan tekanan vena jugularis

Ukur intake dan output

Penurunan curah jantung mengakibatkan gangguan perfusi ginjal, retensi natrium/air


dan penurunan urine output

Timbang berat badan

Perubahan tiba-tiba dari berat badan menunjukkan adanya gangguan keseimbangan


cairan

Berikan oksigen t5 tambahan dengan kanule

Meningkatkan sediaan oksigen untuk kebutuhan miokard untuk melawan efek

nasal/masker sesuai dengan indikasi

hipoksia/iskemia

Kolaborasi

Berikan diit tanpa garam

Natrium meningkatkan retensi cairan dan meningkatkan volume plasma yang


29

berdampak terhadap peningkatan beban kerja jantung dan akan meningkatkan


demand miokardium

Berikan diit rendah protein tinggi kalori

Diit rendah protein untuk menurunkan insifisiensi renal dan retensi nirogen yang
akan meningkatkan BUN. Diit tinggi kalori untuk cadangan energi dan mengurangi
katabolisme protein

Berikan diuretik contohnya furosemide,

Diuretik bertujuan untuk menurunkan volume plasma dan menurunkan retensi cairan

sprinolakton, hidronolakton

dijaringan sehingga menurunkan resiko edema paru.

Pantau data laboratorium

Hipokalemia dapat membatasi keefektifan terapi

Risiko tinggi kejang b.d kerusakan hantaran saraf sekunder dari abnormalitas elektrolit dan uremia
Tujuan : dalam waktu 3 x 24 jam perawatan risiko kejang berulang tidak terjadi
Kriteria hasil : pasien tidak mengalami kejang
Intervensi

Rasional

Kaji dan catat faktor-faktor yang

Penting artinya untuk mengamati hipokalsemia pada pasien berresiko. Perawat harus

menurunkan kalsium dari sirkulasi

bersiap untuk kewaspadaan kejang bila hipokalsemia hebat

Kaji stimulus kejang

Beberapa stimulus kejang pada tetanus adalah rangsang cahaya dan peningkatan suhu
tubuh

Hindari konsumsi alkohol dan kafein yang

Alkohol dan kafein dalam dosis yang tinggi menghambat penyerapan kalsium dan

tinggi

perokok akan meningkatkan ekskresi urine.

30

Nyeri b.d respons inflamasi, kontraksi otot skunder adanya inflamasi glomerulus
Tujuan : dalam waktu 1 x 24 jam terdapat penurunan respons nyeri.
Kriteria Hasil :
-

Secara subjektif klien menyatakan penurunan respons nyeri, skala nyeri 0-1

Secara objektif didapatkan TTV dalam batas normal, wajah rileks, tidak terjadi penurunan perfusi perifer, urine > 600 ml/hari
Intervensi

Kaji nyeri dengan pendekatan PQRST

Rasional
Menjadi parameter dasar untuk mengetahui sejauh mana intervensi yang diperlukan
dan sebagai evaluasi keberhasilan dari intervensi menagement nyari keperawatan

Anjurkan kepada klien untuk melaporkan

Nyeri berat dapat menyebabkan syok kardiogenik yang berdampak pada kematian

nyeri dengan segera

mendadak.

Lakukan manajemen nyeri keperawatan

Atur posisi fisiologis

Posisi fisiologis akan meningkatkan asupan O2 ke jaringan yang mengalami iskemia


akibat respon peradangan glomerulus.

Istirahatkan klien

Istirahat akan menurunkan kebutuhan O2 jaringan perifer dan akan meningkatkan


suplai darah pada jaringan yang mengalami peradangan.

Berikan O2 tambahan dengan kanula

Meningkatkan asupan jumlah O2 yang ada dan memberikan perasaan nyaman pada

nasal atau masker sesuai dengan indikasi

pasien.

Manejemen lingkungan : berikan

Lingkungan tenang akan menurunkan stimulus nyeri eksternal dan membatasi

lingkungan tenang dan membatasi

pengunjung akan membantu meningkatkan kondisi O2 ruangan.

pengunjung
31

Ajarkan teknik distraksi pada saat nyeri

Meningkatkan asupan O2 sehingga akan menurunkan nyeri skunder dari iskemia.


Distraksi dapat menurunkan stimulus internal dengan mekanisme peningkatan
produksi endofrin dan enkefalin yang dapat memblok reseptor nyeri untuk tidak
dikirimkan ke korteks serebri sehingga menurunkan persepsi nyeri.

Lakukan manajemen sentuhan

Menejeman sentuhan pada saat nyeri berupa sentuhan dukungan psikologis yang
dapat membantu menurunkan nyeri.

Anjurkan kepada klien untuk melaporkan

Nyeri berat dapat menyebabkan syok kardiogenik yang berdampak pada kematian

nyeri dengan segera

mendadak.

Tingkatkan pengetahuan tentang : sebab-

Pengetahuan yang di dapat membantu mengurangi nyerinya dan dapat membantu

sebab nyeri dan menghubungkan berapa lama mengembangkan kepatuhan pasien terhadap rencana teraupetik.
nyeri akan berlangsung
Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian

Analgetik memblok lintasan nyeri sehingga nyeri akan berkurang.

analgetik
Ganguan ADL (Activity Dialy Living) b.d edema ekstremitas, kelemahan fisik secara umum
Tujuan : dalam waktu 3 x 24 jam aktifitas sehari-hari klien terpenuhi dan meningkatnya kemampuan beraktifitas.
Kriteria evaluasi : klien menunjukkan kemampuan beraktifitas tanpa gejala gejala yang berat, terutama mobilisasi di tempat tidur
Intervensi

Rasional

Tingkatkan istirahat, batasi beraktifitas dan

Dengan mengurangi aktifitas, makan akan menurunkan konsumsi oksigen jaringan

berikan aktifitas senggang yang tidak berat

dan memberikan kesempatan jaringan yang mengalami gangguan dapat memperbaiki


32

kondisi yang lebih optimal


Anjurkan menghindari peningkatan tekanan

Dengan mengejan dapat menyebabkan bradikardi, penurunan curah jantung, dan

abdomen misalnya mengejan saat defekasi

takikardi, serta peningkatan tekanan darah

Pertahankan rentang gerak pasif selama sakit

Meningkatkan kontraksi otot sehingga membantu venous return

kritis
Evaluasi tanda vital saat kemajuan aktifitas

Untuk mengetahui fungsi jantung, bila dikaitkan dengan aktifitas.

terjadi
Berikan waktu istirahat di antara waktu

Untuk mendapatak cukup waktu resolusi bagi tubuh dan tidak terlalu memaksa

aktifitas

jantung

Pertahankan penambahan oksigen sesuai

Untuk menibgkatkan oksigenasi jaringan

indikasi
Monitor adanya dispneu, sianosis,

Melihat dampak aktifitas terhadap fungsi jantung

peningkatan frekuensi napas, serta keluhan


subjektif pada saat melakukan aktifitas
Berikan diit sesuai dengan ketentuan

Untuk mencegah retensi cairan dan edema pada ekstravaskuler

(pembatasan air dan natrium


g. Evaluasi
Hasil yang diharapkan setelah mendapat intervensi, meliputi hal-hal sebagai berikut :
1. Kelebihan volume cairan dapat diturunkan atau tidak terjadi
33

2. Tidak terjadi kejang atau dapat menurunkan stimulus kejang


3. Terjadi penurunan skala nyeri
4. Terjadi peningkatan asupan nutrisi
5. Terpenuhinya aktivitas sehari-hari
6. Terjadinya penurunan tingkat kecemasan

34

3.1.2 Asuhan Keperawatan Glomerulonefritis Kronis


a. Pengkajian
Glomerulonefritis kronik ditandai oleh kerusakan glomerulus secara progresif
lambat akibat glomerulonefritis yang sudah berlangsung lama. Penyakit cenderung
timbul tanpa diketahui asal usulnya, dan biasanya baru di temukan pada stadium
yang sudah lanjut, ketika gejala - gejala insufisiensi ginjal timbul. Pada pengkajian
di temukannya klien yang mengalami glomerulonefritis kronik bersifat insidental
pada saat pemeriksaan di jumpai hipertensi atau peningkatan kadar BUN dan
kreatinin serum.
Pada beberapa klien hanya mengeluh bahwa tungkai mereka sedikit bengkak
di malam hari dan pada sebagian besar klien mengeluh adanya kehilangan berat dan
kekuatan badan, peningkatan iritabilitas, dan peningkatan berkemih di malam hari
(nokturia). Sakit kepala, pusing, dan gangguan pencernaan umumnya terjadi.
b. Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum pasien lemah dan terlihat sakit berat dengan tingkat
kesadaran biasanya compos mentis, tetapi akan berubah apabila sistem saraf pusat
mengalami gangguan sekunder dari penurunan perfusi jaringan otak dan kerusakan
hantaran saraf sekunder dari abnormalitas elektrolit dan uremia.
Pada TTV sering didapatkan adanya perubahan; pada fase awal sering
didapatkan suhu tubuh meningkat, frekuensi denyut nadi mengalami peningkatan,
frekuensi meningkat sesuai dengan peningkatan suhu tubuh dan denyut nadi.
Tekanan darah terjadi perubahan dari hipertensi ringan sampai berat.
B1 ( Breathing ).
Biasanya di dapatkan gangguan pola napas dan jalan napas yang merupakan
respons terhadap edema pulmoner dan adanya sindrom uremia. Bunyi napa ronkhi
biasanya di dapatkan pada kedua paru.
B2 ( Blood ).
Pada pemeriksaan sistem kardiovaskular sering didaatkan adanya tanda
perikarditis disertai friksi perikardial dan pulsus paradokus ( perbedaan tekanan
darah lebih dari retansi natrium dan air yang memberikan dampak pada fungsi
sistem kardiovaskular di mana akan terjadi penurunan perfusi jaringan akibat
tingginya beban sirkulasi. Pangkal vena mengalami distensi akibat cairan yang
35

berlebihan. Kardiomegali, irama galop, dan tanda gagal jantung kongesti lain dapat
terjadi.
B3 ( Brain ).
Klien mengalami konfusi dan memperlihatjan rentang perhatian yang
menyempit. Temuan pada retina mencakup hemoragi, adanya eksudat, arteriol
menyempit dan beriku - liku, serta papiedema. Neuropati perifer disertai hilangnya
refleks tendon dan perubahan neurosensori muncul setelah penyakit tejadi. Pasien
beresiko kejang sekunder gangguan elektrolit.
B4 ( Bladder ).
Biasanya akan didapatkan tanda dan gejala insufiensi renal dan gagal ginjal
kronik. Penurunan warna urine output seperti berwarna kola dari proteinuri,
silinderuri, dan hematuri.
B5 ( Bowel ).
Didapatkan adanya mual dan muntah, anoreksia dan diare sekunder dari bau
mulut amonia, peradangan mukosa mulut, dan ulkus saluran cerna sehingga sering
di dapatkan penurunan intake nutrisi dari kebutuhan.
B6 ( Bone ).
Klien tampak sangat kurus, pigmen kulit tampak kuning keabu - abuan dan
terjadi edema perifer ( dependen ) dan periorbital. Di dapatkan adanya nyeri
panggul, sakit kepala, kram otot, nyeri kaki, kulit gatal, dan ada / berulangnya
infeksi. Pruritus, demam ( sepsis, dehidrasi ), petekie, area ekimosis pada kulit, dan
keterbatasan gerak sendi. Didapatkan adanya kelemahan fisik secara umum
sekunder dari anemia dan penurunan perfusi perifer dari hipertensi.
c. Pengkajian Diagnostik
a. Urinalisis didapatkan proteinuria, endapan urinarius ( hasil sekresi protein oleh
tubulus yang rusak ), hematuria.
b. Hiperkalemia akibat penurunan ekskresi, masukan dari makanan dan medikasi,
asidosis, dan katabolisme.
c. Asidosis metabolik akibat sekresi asam oleh ginjal dan ketidakmampuan untuk
regenerasi bikarbonat.
d. Anemia akibat penurunan eritropoesis ( produksi sel darah merah)
36

e. Hipoalbuminemia disertai edema akibat kehilangan protein melalui membran


glomerulus yang rusak.
f. Serum kalsium meningkat ( kalsium terikat pada fosfor untuk mengompensasi
peningkatan kadar serum fosfor ).
g. Hipermagnesemia akibat penurunan ekskresi dan ingesti antasid yang
mengandung magnesium.
h. Rontgen dada menunjukkan pembesaran jantung dan edema puloner.
i. Elektrokardiogram mungkin normal namun dapat juga menunjukkan adanya
hipertensi disertai hipertropi ventrikel kiri dan gangguan elektrolit, seperti
hiperkalemia dan puncak gelombang T yang tinggi.
d. Diagnosis Keperawatan
Dari hasil pengkajian di atas diagnosis keperawatan yang lazim di temukan,
meliputi hal - hal berikut ini :
1. Aktual / resiko tinggi pola napas tidak efektif b.d pengembangan paru tidak
optimal, perembesan cairan, kongesti paru sekunder perubahan membran
kapiler alveoli dan retensi cairan interstisial dari edema paru dan respons
asidosis metabolik.
2. Aktual / resiko kelebihan volume cairan b.d penurunan volume urine, retensi
cairan dan natrium, peningkatan aldosteron sekunder dari penurunan GFR.
3. Aktual / resiko tinggi penurunannya curah jantung b.d penurunan
kontraktilitas ventrikel kiri, perubahan frekuensi, irama, konduksi elektikal
sekunder penurunan p6, hiperkalemi, dan uremia.
4. Aktual / resiko defisit neurologik b.d akibat dehidrasi seluler pada sel - sel
otak sekunder dari peningkatan natrium di sikulasi otak.
5. Aktual / resiko tinggi aritmia b.d gangguan konduksi elektrikal sekunder dari
penurunan kalium sel.
6. Aktual / resiko tinggi kejang b.d kerusakan hantaran saraf sekunder dari
abnormalitas elektrolit dan uremia.

37

e. Rencana Keperawatan
Intervensi yang dilakukan bertujuan menurunkan keluhan klien, menghindari penurunan dari fungsi ginjal, serta menurunkan
resiko komplikasi. Untuk intervensi pada masalah aktual / resiko kelebihan volume cairan, ketidakseimbangan nutrisi, gangguan ADL,
kecemasan, intervensi dapat disesuaikan pada pasien dengan GNA.
Aktual / resiko pola napas tidak efektif b.d hiperareminiemia, ensefalopati
Tujuan :
Dalam waktu 1 x 24 jam tidak terjadi perubahan pola napas.
Kriteria evaluasi :
Pasien tidak sesak napas, RR dalam batas normal 16-20x/menit, pemeriksaan gas arteri pH 7,40 +-0,005, HCO3 24+-2 mEq/L, dan
PaCO, 40 mmHg.
Intervensi

Rasional

Kaji faktor penyebab pola napas tidak efektif. Mengidentifikasi untuk mengatasi penyebab dasar dari alkalosis.
Monitor ketat TTV.

Perubahan TTV akan memberikan dampak pada resiko alkalosis yang bertambah
berat dan berindikasi pada intervensi untuk secepatnya melakukan koreksi alkalosis.

Istirahatkan pasien dengan posisi fowler.

Posisi fowler akan meningkatkan ekspansi paru optimal. Istirahat akan mengurangi
kerja jantung, meningkatkan tenaga cadangan jantung, dan menurunkan tekanan
darah.

Ukur intake dan output.

Penurunan curah jantung, mengakibatkan gangguan perfusi ginjal, retensi


natrium/air, dan penurunan urine output.
38

Manajemen lingkungan : lingkungan tenang Lingkungan tenang akan menurunkan stimulus nyeri eksternal dan pembatasan
dan batasi pengunjung.

pengunjung akan membantu meningkatkan kondisi O2 ruangan yang akan berkurang


apabila banya pengunjung yang berada diruangan.

Kolaborasi :

Tujuan intervensi keperawatan pada alkalosis adalah menurunkan pH sistemik

Pantau data laboratorium analisa gas darah sampai ke batas yang aman, dan menanggulangi sebab - sebab alkalosis yang
berkelanjutan.

mendasarinya. Dengan monitoring, perubahan dari analisis gas darah berguna untuk
menghindari komplikasi yang tidak diharapkan.

Aktual / resiko kelebihan volume cairan b.d penurunan volume urine, retensi cairan dan natrium, peningkatan aldosteron
sekunder dari penurunan GFR
Tujuan :
Dalam waktu 1 x 24 jam kelebihan volume cairan dapat teratasi.
Kriteria evaluasi :
Urine adekuat akan dipertahankan dengan diuretika ( >30 ml/jam ), tanda - tanda udem paru atau asites tidak ada.
Intervensi

Rasional

Kaji tekanan darah.

Sebagai salah satu cara untuk mengetahui peningkatan jumlah cairan yang dapat
diketahui dengan meningkatkan beban kerja jantung yang dapat diketahui dari
meningkatnya tekanan darah.

Kaji distensi vena jugularis.

Peningkatan cairan dapat membebani fungsi ventrikel kanan yang dapat dipantau
melalui pemeriksaan tekanan vena jugularis.
39

Pasang dower atau kondom kateter.

Pemasangan DC atau kondom kateter akan mempermudah dalam pengukuran urine


output dan menurunkan aktivitas klien dalam kondisi tirah baring.

Timbang berat badan.

Kelebihan BB dapat diketahui dari peningkatan BB yang ekstrem akibat terjadinya


penimbunan cairan ekstraseluler.

Beri

posisi

yang

membantu

drainage Meningkatkan venus return dan mendorong berkurangnya edema perifer.

ektremitas, lakukan latihan gerak pasif.


Evaluasi kadar Na, Hb, dan Ht.

Dampat dari peningkatan volume cairan akan terjadi hemodelusi sehingga Hb turun,
Ht turun.

Aktual / resiko tinggi menurunnya curah jantung b.d penurunan kontraktilitas ventrikel kiri, perubahan frekuensi, irama,
konduksi elektrikal sekunder penurunan pH, hiperkalemi, dan uremia.
Tujuan :
Dalam waktu 3x 24 penurunan curah jantung dapat teratasi dan menunjukkan tanda vital dalam batas yang dapat diterima ( disritmia
terkontrok atau hilang dan bebas gejala gagal jantung ( misalnya parameter hemodinamik dalam batas normal, urine output adekuat ).
Kriteria evaluasi :
Pasien akan melaporkan penurunan episode dispnea, berperan dalam aktivitas mengurangi beban kerja jantung tekanan darah dalam
batas normal ( 120/80 mmHg ), Nadi 80 x/menit, tidak terjadi aritmia denyut jantung dan irama jantung teratur CRT kurang dari 3
detik.
Intervensi

Rasional

Kaji dan lapor tanda penurunan curah Kejadian mortalitas dan morbiditas sehubungan dengan MI yang lebih dari 24 jam
40

jantung.

pertama.

Palpasi nadi perifer.

Penurunan curah jantung dapat menunjukkan penurunannya nadi, radial, popliteal,


dorsalis pedis, dan postibial, nadi mungkin cepat hilang atau tidak teratur untuk
dipalpasi, dan pulsus alteran ( denyut kuat lain dengan denyut lemah ) mungkin ada.

Pantau urine output, catat output dan Ginjal berespons untuk menurunkan curah jantung dengan menahan cairan dan
kepekatan/konsentrasi urine.

natrium, urine output biasanya menurun selama tiga hari karena perpindahan cairan
ke jaringan, tetapi dapat meningkat pada malam hari sehingga cairan berpindah
kembali ke sikulasi bila pasien tidur.

Istirahatkan
optimal.

klien

dengan

tirah

baring Oleh karena jantung tidak dapat di harapkan untuk benar - benar istirahat agar dapat
sembuh seperti luka pada patah tulang, maka hal terbaik yang dilakukan adalah
mengistirahatkan klien, dengan demikian, melaui inaktivitas, kebutuhan pemompaan
jantung di turunkan.
Tirah baring merupakan bagian yang penting dari glomerulonefritis kronis,
khususnya pada tahap akut dan sulit disembuhkan.
Istirahat akan mengurangi kerja jantung, meningkatkan tenaga cadangan jantung, dan
menurunkan tekanan darah. Lamanya berbaring juga merangsang diuresis karena
berbaring akan memperbaiki perfusi ginjal.
Istiratkan juga mengurangi kerja otot pernapasan dan penggunaan oksigen. Frekuensi
jantung menurun, yang akan memperpanjang periode diastole pemulihan sehingga
memperbaiki efisiensi kontraksi jantung.
41

Atur posisi tirah baring yang ideal. Kepala Pasien dengan glomerulonefritis kronis dengan gangguan fungsi jantung dapat
tempat tidur harus di naikkan 20 sampai 30 berbaring dengan posisi seperti dalam gambar,
cm ( 8 - 10 inci ) atau klien didudukkan di
kursi.

untuk mengurangi kesulitan bernapas dan mengurangi jumlah darah yang kembali ke
jantung, yang dapat mengurangi kongesti paru.
Pada posisi ini aliran balik vena ke jantung ( preload ) dan paru berkurang, kongesti
paru berkurang, dan penekanan hepar ke diafragma menjadi minimal. Lengan bawah
harus disokong dengan bantal untuk mengurangi kelelahan otot bahu akibat berat
lengan yang menarik secara terus - menerus. Klien yang dapat bernapas hanya pada
posisi tegak (ortopnu) dapat didudukkan disisi tempat tidur dengan kedua kaki
disokong kursi, kepala dan lengan di letakkan di meja tempat tidur dan vertebrata
lumbosakral di sokong dengan bantal. Bila terdapat kongesti paru, maka lebih baik
klien di dudukkan di kursi karena posisi ini dapat memperbaiki perpindahan cairan
dari paru. Edema yang biasanya terdapata di bagian bawah tubuh, berpindah ke
daerah sakral ketika klien di baringkan di tempat tidur.

Kaji perubahan pada sensorik, contoh letargi, Dapat menunjukkan tidak adekuatnya perfusi serebral sekunder terhadap penurunan
cemas, dan depresi.
Berikan

istirahat

lingkungan tenang.

curah jantung.
psikologi

dengan Stres emosi menghasilkan vasokostriksi, yang terkait dan meningkatkan TD dan
meningkatkan frekuensi / kerja jantung.
42

Berikan oksigen tambahan dengan kanula Meningkatkan sediaan oksigen untuk kebutuhan miokard dalam melawan efek
nasal / masker sesuai dengan indikasi.

hipoksia/iskemia.

Kolaborasi untuk pemberian obat :

Banyaknya obat dapat digunakan untuk meningkatkan volume sekuncup,


memperbaiki kontaktilitas, dan menurunkan kongesti.

- Diretik, furosemid ( lasix ),

Penurunan preload paling banyak di gunakan dalam mengobati pasien dengan curah

sprironolakton ( aldakton ).

jantung relatif normal di tambah dengan gejala kongesti diuretik blok reabsorpsi
diuretik sehingga memengaruhi reabsorpsi natrium dan air.

- Captopril ( capoten ), lisenopril ( prinivil


), enapril ( vasotec ).

Meningkatkan kekuatan kontraksi miokard dan memprlambat frekuensi jantung


dengan menurunkan konduksi dan meperlama periode refraktori angiotensin dalam
paru dan menurunkan vasokonstriksi, SVR, dan TD.

Pemberian cairan IV, pembatasan jumlah Oleh karena adanya peningkatan tekanan, ventrikel kiri pasien tidak dapat
total sesuai dengan indikasi, serta hindari menoleransi peningkatan volume cairan ( preload ) pasien juga mengeluarkan sedikit
cairan garam.

natrium, yang menyebabkan retensi cairam dan meningkatkan kerja miokard.

Pantau seri EKG dan perubahan foto dada.

Depresi segmen ST dan datarnya gelombang T dapat terjadi karena peningkatan


kebutuhan oksigen. Foto dada dapat menunjukkan pembesaran jantung dan
perubahan kongesti pulmonal.

43

Aktual / resiko tinggi perubahan perfusi otak, defisit neurologik b.d akibat - akibat dehidrasi selular pada sel - sel otak,
respons sekunder dari peningkatan natrium di sirkulasi otak.
Tujuan :
Dalam waktu 2 x 24 jam perfusi jaringan otak dapat tercapai secara optimal.
Kriteria evaluasi :
Klien tidak gelisah, tidak ada keluhan nyeri kepala, mual, kejang, GCS 4, 5, 6, pulip isokor, refleks cahaya (+), tanda - tanda vital
normal ( nadi : 60-100 kali per menit, suhu 36-36,7 C, pernapasan 16-20 kali per menit ), serta klien tidak mengalami defisit
neurologis seperti : lemas, agitasi, iritabel, hiperefleksia, dan spastisitas dapat terjadi dan akhirnya timbul koma, kejang.
Intervesi

Rasional

Berikan penjelasan kepada keluarga klien Keluarga lebih berpartisipasi dalam proses penyembuhan.
tentang sebab - sebab peningkatan TIK dan
akibatnya.
Anjurkan klien tirah baring ( bed rest ) secara Perubahan pada tekanan intrakranial akan dapat menyebabkan resiko untuk
total dengan posisi tidur terlentang tanpa terjadinya herniasi otak.
bantal.
Monitor tanda - tanda status neurologis Dapat mengurangi kerusakan otak lebih lanjut.
dengan GCS.
Monitor tanda - tanda vital seperti TD, nadi, Pada keadaan normal, autoregulasi mempertahankan keadaan tekanan darah sistemik
44

suhu, respirasi, dan hati - hati pada hipertensi berubah secara fluktuasi.
sistolik.

Kegagalan autoreguler akan menyebabkan kerusakan vaskular serebral yang dapat


dimanifestasikan dengan peningkatan sistolik dan di ikuti oleh penurunan tekanan
distolik. Peningkatan suhu dapat menggambarkan perjalanan infeksi.

Bantu pasien untuk membatasi muntah dan Aktivitas ini dapat meningkatkan tekanan intrakranial dan intraabdomen.
batuk.

Mengeluarkan napas sewaktu bergerak atau mengubah posisi dapat melindungi diri

Anjurkan pasien untuk mengeluarkan napas dari efek valsava.


apabila bergerak atau berbalik di tempat
tidur.
Anjurkan klien untuk menghindari batuk dan Batuk dan mengejan dapat meningkatkan tekanan intrakranial dan potensial terjadi
mengejan berlebihan.

perdarahan ulang.

Ciptakan lingkungan yang tenang dan batasi Rangsangan aktivitas yang meningkat dapat meningkatkan kenaikan TIK. Istirahat
pengunjung.

total dan ketegangan mungkin diperlukan untuk pencegahan terhadap perdarahan


dalam kasus stroke hemoragik/perdarahan lainnya.

Kolaborasi :

Meminimkan fluktuasi pada beban vaskuler dan tekanan intrakranial. Restriksi cairan

Berikan cairan per infus dengan perhatian dapat menurunkan edema serebral.
ketat.
Monitor natrium serum.

Monitor kadar natrium serum dan dengan mengobservasi perubahan - perubahan


dalam tanda - tanda neurologis.
45

Berikan terapi sesuai anjuran dokter seperti :

Terapi yang diberikan dengan tujuan :

Steroid

Menurunkan permeabilitas kapiler.

Aminefol

Menurunkan edema serebri.

Antibiotika.

Menurunkan metabolik sel / konsumsi dan kejang.

Aktual / resiko tinggi aritmia b.d gangguan konduksi elektrikal sekunder dari penurunan kalium sel.
Tujuan :
Dalam waktu 1 x 24 jam tidak terjadi aritmia.
Kriteria evaluasi :
-

Klien tidak gelisah, klien tidak mengeluh mual - mual dan muntah, GCS : 4,5,6, tidak terdapat papiledema.

TTV dalam batas normal.

Klien tidak mengalami defisit neurologis.

Kadar kalium serum dalam batas normal.

Intervensi

Rasional

Kaji faktor penyebab dari situasi / keadaan Banyak faktor yang menyebabkan hipokalemia dan penanganan disesuaikan dengan
individu dan faktor - faktor yang menurunkan faktor penyebab.
kalium di ICF.
Manajemen pencegahan hipokalemia.

Diuretik, digitalis, dan hipokalemia merupakan gabungan keadaan yang dapat


membahayakan nyawa karena diuretik,

46

Hindari pemakaian digitalis pada menyebabkan hipokalemia dan hipokalemia meningkatkan efek digitalis. Baik efek

klien hipokalemia.

toksik digitalis maupun hipokalemia, keduanya menyebabkan disritmia yang dapat


mengancam nyawa.

- Memonitoring tanda - tanda vita tiap 4 Adanya perubahan TTV secara cepat dapat menjadi pencentus aritmia pada klien
jam.
- Berikan diet sumber kalium.

hipokalemia.
Sumber - sumber kalium termasuk buah dan sari buah ( pisang, melon, buah sitrus ),
sayur - sayuran segar dan beku, daging segar, dan makanan olahan. Pisang, aprikot,
jeruk, alpukat, kacang - kacangan, kismis, kentang merupaan pengganti garam yang
mengandung 50 - 60 mEq kalium.
Upaya deteksi berecana untuk mencegah hipokalemi.

- Monitoring ketat kadar kalium darah dan Bila hipokalemia terjadi akibat penyalahgunaan laksatif atau diuretik, penyuluhan
EKG.

klien dapat membantuk menghilangkan masalah. Bagian dari riwayat kesehatan dan

- Monitoring klien yang berisiko terjadi pengkajian kesehatan harus di arahkan untuk mengidentifikasi masalah yang
hipokalemi.
Manajemen kolaborasi koreksi hipokalemi :

berhubungan dengan pencegahan melalui penyuluhan.


Kalium oral ( Aspar K ) dapat menghasilkan lesi usus kecil, oleh karena itu, klien

- Pemberian suplemen kalium oral seperti harus di kaji dan diberi peringatan tentang distensi abdomen, nyeri, atau perdarahan
obat Aspar K.
- Pemberian kalium lewat infus.

GI.
Kalium tidak pernah diberikan melalui suntikan IV atau IM; jika menyiapkan infus
IV, infus harus tercampur dengan baik untuk mencegah dosis bolus yang terjadi
47

akibat terkumpul kalium di dasar penampung IV.


Umumnya, konsentrasi yang lebih besar dari 60 mEq/L tidak diberikan melalui vena
- Manajemen pemberian kalium intravena.

perifer karena dapat terjadi nyeri vena dan sklerosis. Untuk kebutuhan rumatan rutin,
kalium diberikan pada kecepatan tidak lebih dari 10 mEq/jam, diencerkan
secukupnya.
Perawatan yang sangat teliti harus di terapkan saat memberikan kalium secara
intravena. Kalium harus diberikan hanya setelah adanya aliran urine yang adeuat.
Penurunan pada volume urine hingga kurang dari 20 ml/jam selama dua jam
berurutan adalah indikasi untuk menghentikan infus kalium sampai situasi tersebut
dievaluasi. Kalium terutama diekskresikan oleh ginjal, oleh karena itu, jika ada
oliguria,
pemberian kalium dapat menyebabkan konsentrasi kalium meningkat sampai ke
kadar yang berbahaya.
Pada kasus yang berat, pemberian kalium harus dalam larutan nondekstrosa, sebab
dekstrosa merangsang pelepasan insulin sehingga menyebabkan K+ berpindah masuk
ke dalam sel. Kecepatan infus tidak boleh melebihi 20 mEq K+ per jam untuk
menghindari terjadinya hiperkalemia.
Kehilangan kalium harus diperbaiki setiap hari; pemberian kalium sebanyak 40
sampai 80 mEq/L perhari.
Pada situasi kritis, larutan yang lebih pekat ( seperti 20 mEq/dl ) dapat dibrikan
48

melalui jalur sentral. Bahkan, pada hipokalemia yang sangat berat, di anjurkan bahwa
pemberian kalium tidak lebih dari 20 sampai 40 mEq/jam ( di encerkan secukupnya ).
Pada situasi semacam ini klien harus dipantau melalui elektrokardiogram ( EKG )
dan di observasi dengan ketat terhadap tanda - tanda lain, seperti perubahan pada
kekuatan otot.
Aktual / resiko tinggi defisit neurologis b.d gangguan transmisi sel - sel saraf sekunder dari hiperkalsemi.
Tujuan :
Dalam waktu 3 x 24 jam setelah diberikan intervensi, defisit neurologis tidak terjadi dan perfusi jaringan ke otak meningkat.
Kriteria evaluasi :
Klien tidak mengalami konfusi mental, kerusakan memori, bicara tidak jelas, letargi, perilaku psikotik akut, atau koma.
Intervensi

Rasional

Monitor tanda - tanda vital dan neurologik Perubahan - perubahan ini menandakan ada perubahan tekanan intrakranial dan
tiap 5 - 30 menit.

penting untuk intervensi dini.

Mengenai tekanan intrakranial, catat dan


laporkan segera perubahan - perubahannya
kepada dokter.
Tinggikan sedikit kepala klien dengan hati - Untuk mengurangi tekanan intrakranial.
hati, cegah gerakan yang tiba - tiba dan tidak
perlu dari kepala dan leher, serta hindari
49

fleksi leher.
Bantu seluruh aktivitas dan gerakan - gerakan Untuk mencegah keregangan otot yang dapat menimbulkan peningkatan tekanan
klien. Beri petunjuk untuk BAB ( jangan intrakranial.
enema

).

Anjurkan

klien

untuk

menghembuskan napas dalam bila miring


dan bergerak di tempat tidur. Cegah posisi
fleksi paha dan lutut.
Waktu

prosedur

prosedur

perawatan Untuk mencegah eksitasi yang merangsang otak yang sudah iritasi dan dapat

disesuaikan dan diatur tepat waktu dengan menimbulkan kejang.


periode

relaksasi;

hindari

rangsangan

lingkungan yang tidak perlu.


Kolaborasi pemberian terapi :

Tujuan terapeutik pada hiperkalsemia mencakup menurunkan kadar kalsium serum


dan mperbaiki proses yang menyebabkan hiperkalsemia.
Pemberian cairan untuk mengencerkan kalsium serum dan meningkatkan ekskresinya

- Pemberian cairan NaCl, intravena.

oleh ginjal, memobilisasi klien, dan membatasi masukan kalsium melalui diet.
Pemberian larutan natrium klorida 0,9% intravena secara temporer mengencerkan
kadar kalsium dan meningkatkan ekskresi kalsium urine dengan menghambat
reabsorpsi kalsium di tubular.
Furisemid ( Lasix ) sering di gunakan dalam kaitannya dengan pemberian salin;
50

selain menyebabkan diuresis, furosemid meningkatkan ekskresi kalsium.


- Pemberian diuretik.

Kalsitonin dapat digunakan bagi klien dengan penyakit jantung atau gagal ginjal yang
tidak dapat menoleransi beban natrium yang besar. Kalsitonin menguagi resorpsi
tulang, meningkatkan deposit kalsium dan fosfor dalam tulang, meningkatkan

- Pemberian kalsitonin.

ekskresi kalsium dan fosfor urine. Meskipun tersedia dalam beberapa bentuk,
kalsitonin yang di dapatkan dari salmon umumnya digunakan.
Pemeriksaan kulit untuk alergi terhadap kalsitonin salmon penting untuk dilakukan
sebelum kalsitonin diberikan. Reaksi alergi sistemik mungkin terjadi karena hormon
ini merupakan protein; resistensi terhadap medikasi ini dapat terbentuk kemudian
karena pembentukan antibodi. Kalsitonin diberikan melalui suntikan IM ketimbang
dengan subkutan karena klien dengan hiperkalsemia mempunyai perfusi jaringan
subkutan yang buruk.
Kortikosteroid mungkin digunaan untuk menurunkan pergantian tulang dan
reabsorbsi tubular bagi klien dengan sarkoidosis, mieloma, limfoma, dan leukima;
klien dengan tumor padat kurang responsif.
Garam fosfat inorganik dapat diberikan secara oral atau melaui selang nasogastrik (
dalam bentuk Phospho- Soda atau Neutra-Phos ), secara rektal ( sebagai enema
retensi ). Atau secara intravena. Terapi fosfat intravena dilakukan dengan sangat hati
- hari dalam mengobati hiperkalsemia karena hal ini dapat mnyebabkan klasifikasi

- Pembrian kortikosteroid.

dalam beraga? Jaringan, hipotesnsi, tetani, dan gagal ginjal akut.


51

Mengatasi penyebab yang mendasari ( kemoterapi untuk malignansi atau


paratiroidektomi parsial untuk hiperparatiroidisme ).

- Pemberian garam fosfat.

f. Evaluasi
Hasil yang diharapkan setelah mendapatkan intervensi keperawatan adalah sebagai berikut :
1. Pola napas kembali efektif
2. Kelebihan volume cairan dapat teratasi
3. Membaiknya curah jantung
4. Tidak mengalami defisit neurologis
5. Tidak didapatkan gejala aritmia
6. Tidak mengalami kejang
7. Perbaikan fungsi neurologis
8. Peningkatan kemampuan aktivitas sehari-hari
9. Penurunan kecemasan

52

3.1.3 Asuhan Keperawatan Glomerulonefritis Progresif Cepat


a. Pengkajian
Pada pengkajian, biasanya keluhan berhubungan dengan kondisi vaskulitis
Anca (antineutrophil cytoplasmic antibodies) seperti flu di tandai dengan malaise,
demam, arthralgias, mialgia, anoreksia kehilangan, dan berat. Hal ini terjadi pada
lebih dari 90% pasien dan dapat terjadi beberapa hari untuk bulan terjadinya nefritis
atau manifestasi lain dari vaskulitis.
Setelah kondisi tersebut, keluhan yang paling umum adalah sakit perut,
gangguan kulit denganadanya nodul atau ulserasi. Ketika terdapat keterlibatan
saluran pernapasan atas, pasien mengeluh gejala sinusitis, batuk, dan hemoptosis.
b. Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum pasien bervariasi sejauh mana dari pengaruh kerusakan dari
glomerulus. Secara umum biasanya didapatkan lemah dan terlihat sakit berat dengan
tingkat kesadaran biasanya compos mentis, tetapi akan berubah apabila sistem saraf
pusat mengalami gangguan sekunder dari penurunan perfusi jaringan otak dan
kerusakan hantaran saraf sekunder dari abnormalitas elektrolit dan uremia. Pada
TTV sering didapatkan adanya perubahan; fase awal sering didapatkan suhu tubuh
meningkat, frekuensi denyut nadi mengalami peningkatan, frekuensi meningkat
sesuai dengan peningkatan suhu tubuh dan deyut nadi. Tekanan darah terjadi
perubahan dan hipertensi ringan sampai berat.
B1 (Breathing)
Manifestasi infiltrat fokal yang lazim terjadi yaitu capillaritis hemorrhagic
alveolar yang mengakibatkan pendarahan paru dan hemoptisis massif. Kondisi ini
memberikan manifestasi adanya peningkatan frekuensi pernapasan, penggunaan otot
bantu napas, ronkhi bilateral, batuk berdarah, dan apabila perdarahan mengalami
sufukasi (gumpalan darah yang menutup lumen jalan napas) akan terjadi henti
napas.
B2 (Blood)
Pada pemeriksaan sistem kardiovaskuler sering didapatkan adanya hipertensi.
Kardiomegali, irama gallop, dan tanda gagal jantung kongesti lain dapat terjadi.
B3 (Brain)
53

Neuropati perifer disertai hilangnya refleks tendon dan perubahan


neurosensori muncul setelah penyakit terjadi. Pasien beresiko kejang, renspons
sekunder gangguan elektrolit. Sering didapatkan adanya mononeuritis kompleks
sebagai manifestasi sistem saraf akibat peradangan pada arteri dan arteriol epineural,
yang menyebabkan iskmia dari jaringan saraf. Kondisi yang lebih parah adalah
kondisi kejang umum sebagai manifestasi dari keterlibatan pembuluh meningeal
terhadap gangguan sistem saraf pusat.
B4 (Bladder)
Biasanya akan didpatkan tanda dan gejala insifisiensi renal dan gagal ginjal
kronik. Penurunan produksi urine sampai anuri, perubahan warna urine output
seperti warna urine berwarna cola dari proteinuri, silinderuri, dan hematuri.
B5 (Bowel)
Didapatkan adanya mual dan muntah, anoreksia dan diare sekunder dari
hipersekresi asam lambung. Arteritis dapat mengakibatka ulkus iskmik pada saluran
pencernaan, menyebabkan rasa sakit dan pendarahan sehingga sering didapatkan
penurunan intake nutrisi dari kebutuhan.
B6 (Bone).
Biasanya didapatkan adanya vaskulitis leukositoklasik (40-60% kasus). Dan
biasanya memengaruhi bagian bawah kaki. Arthritis nekrotik dengan manifestasi
nodul eritema yang nyeri, nekrosis fokal, ulserasi, dan nekrosisi lipatan kuku.
Didapatkan adanya nyeri otot-otot rangka, nyeri sendi akibat peradangan
sendi, sakit kepala, kram otot, nyeri kaki, kulit gatal, ada/berulangnya infeksi,
pruritus, demam (sepsis, dehidrasi), petekie, area ekimosis pada kulit, dan
keterbatasan gerak sendi.
Didapatkan adannya kelemahan fisik secara umum sekunder dari anemia da
penurunan perfusi perifer dari hipertensi.
c. Pengkajian Diagnostik
Laboratotium
Studi laboratorium meliputi hal-hal berikut :
- Anemia biasanya didapatkan sekunder dari gagal ginjal atau perdarahan dari
saluran pencernaan dan pernapasan
54

- Perubahan nilai dari pemeriksaan elektrolit serum, BUN, kreatinin, laktat


dehidrogenase (LDH), phosphokinase creatine (CKP), dan tes fungsi hati
- C-reaktif protein meningkat
- LED meningkat
Radiodiagnostik
- USG ginjal harus dilakukan untuk menyingkirkan uropati obstruktif dalam
setiap pasien dengan gagal ginjal akut.
- Pada pasien dengan glomerulonefritis progresif cepat, USG ginjal dilakukan
untuk menilai fungsi kedua ginjal sebelum biopsy ginjal perkutan.
d. Diagnosis Keperawatan
Dari hasil pengkajian di atas diagnosis keperawatan yang lazim ditemukan,
meliputi hal-hal berikut :
1. Aktual/ resiko tinggi jalan napas tidak efektif b.d akumulasi sekret dan darah di
jalan napas
2. Aktual/resiko kelebihan volume cairan b.d penurunan voleume urine, retensi
cairan dan natrium, peningkatan aldosteron efek sekunder dari penurunan GFR
3. Aktual/resiko tinggi menurunnya curah jantung b.d penurunan kontraktilitas
ventrikel kiri, perubahan frekuensi, irama, konduksi elektrikal efek sekunder
penurunan pH, hiperkalemi, dan uremia
4. Aktual/resiko tinggi kejang b.d peradangan arteri meningeal, gangguan sistem
saraf pusat
5. Nyeri b.d respons peradangan sendi, peradangan otot rangka, sekunder dari
peradangan arteri perifer
6. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d intake nutrisi yang
tidak adekuat efek sekunder dari anoreksia, mual, muntah
7. Gangguan Activity Daili Living (ADL) b.d edema ekstremitas, kelemahan fisik
secara umum
a. Kecemasan b.d prognosis penyakit, ancaman, kondisi sakit, dan perubahan
kesehatan

55

e. Rencana Keperawatan
Intervensi yang dilakukan bertujuan menurunkan klien, menghindari penurunan dari fungsi ginjal, serta menurunkan resiko
komplikasi.Untuk intervensi pada masalah actual/resiko kelebihan volume cairan, ketidakseimbangan nutrisi, gangguan ADL, dan
kecemasan, intervemsi dapat disesuaikan pada pasien dengan GNA. Intervensi pada masalah actual/resiko kejang, dan actual/resiko
tinggi menurunnya curah jantung, intervensi dapat disesuaikan pada pasien dengan GNK.
Aktual/resiko tinggi jalan napas tidak efektif b.d akumulasi sekret dan darah di jalan napas
Tujuan : dalam waktu 2x24 jam setelah diberikan intevensi kebersihan jalan napas kembali efektif
Kriteria Evaluasi :
- Klien mampu melakukan batuk efektif
- Tidak mengalami sufukasi
- Pernapasan klien normal (16-20x/mnt) tanpa ada penggunaan otot bantu napas. Bunyi napas normal, Rh-/- dan pergerakan
pernapasan normal.
Intervensi

Rasional

Kaji fungsi pernapasan (bunyi napas, Penurunan bunyi napas menunjukkan ateleksia, ronkhi menunjukkan akumulasi sekret dan
kecepatan, irama, kedalaman, dan ketidakefektifan pengeluaran sekret yang selanjutnya dapat menimbulkan penggunaan obat
penggunaan otot sensori )
Kaji
sekresi,

kemampuan
catat

asesori dan peningkatan kerja pernapasan.

mengeluarkan Pengeluaran sulit bila sekret sangat kental (efek infeksi dan hidrasi yang tidak adekuat).

karakter,

volume Spuntum berdarah bila kerusakan (kavitas) paru atau luka bronchial dan memerlukan

spuntum dan adanya hemoptosis

intervensi lebih lanjut.


56

Turunkan tingkat kecemasan pasien

Adanya batuk darah menimbulkan kecemasan pada diri klien Karena batuk darah sering
dianggap suatu tanda yang berat dari penyakitnya. Kondisi seperti ini seharusnya tidak
terjadi apabila perawat memberikan pelayanan keperawatan yang baik pada klien dngan
member penjelasan tentang kondisi apa yang sedang terjadi. Adanya hubungan terapeutik
dengan menjelaskan kepada pasien mengenai apa yang akan terjadi pada dirinya dapat
mengurangi kadar tingkat kecemasannya.

Berikan posisi semi/fowler tinggi dan Posisi fowler memaksimalkan ekspansi paru dan menurunkan upaya bernapas. Ventilasi
bantu pasie latihan napas dala, serta maksimal membuka area atelektasis dan meningkatkan gerakan sekret kedalam jalan napas
batuk yang efektif

besar untuk dikeluarkan.

Pertahankan asupan cairan sedikitnya Hidrasi yang adekuat membantu mengencerkan sekret dan mengefektifkan pembersihan
2.500ml/hari

kecuali

tidak jalan napas.

diindikasikan
Bersihkan sekret dari mulut dan Mencegah obstruksi dan aspirasi. Pengisapan diperlukan bila klien tidak mampu
trakea,bila perlu lakuka pengisapan mengeluarkan sekret
(suction)
Kolaborasi
kortikosteroid

pemberian

obat Kortikosteroid berguna pada keterlibatan luas dengan hipoksemia dan bila reaksi inflamasi
mengancam kehidupan.

57

Nyeri kolik b.d aktivitas peristaltik otot polos sistem kalises, peregangan dari terminalsaraf sekunder dari adanya batu pada
ginjal, ureter
Tujuan : dalam waktu 1x24 jam nyeri berkurang/hilang atau teradaptasi
Kriteria Evaluasi :
- Secara subjektif melaporkan nyeri berkurang atau dapat diadaptasi, skala 0-1 (0-4)
- Dapat mengietifikasi aktivitass yang meningkatkan atau menurunkan nyeri
- Ekspresi klien rileks
Intervensi

Rasional

Jelaskan dan bantu klien dengan Pendekatan

dengan

menggunakan

relaksassi

dan

nonfarmakologi

lainnya

telah

tindakan pereda nyeri nonfarmakologi menunjukkan keefektifan dalam mengurangu nyeri


dan non-invasif
Lakukan

manajemen

nyeri

keperawatan :
- Istirahatkan klien

Istirahat akan menurunkan kbutuhan oksigen jaringan perifer sehingga akan meningkatkan
suplai darah ke jaringan

- Manajemen lingkungan tenang dan Lingkungan tenang akan menurunkan stimulasi nyeri eksternal dan menganjurkan klien
batai pengunjung

untuk beristirahat dan pembatasan pengunjung akan membantu meningkatkan kondisi


oksigen ruangan yang akan berkurang apabila banyak pengunjung yang berada di ruangan
dan menjaga privasi klien
Meningkatkan kelancaran suplai darah untuk menurunkan iskemia
58

- Lakukan masase sekitar nyeri

Eksplorasi stimulus eksternal untuk menurunkan stimulus nyeri


Meningkatkan asupan oksigen sehingga akan menurunkan nyeri sekunder

- Ajarkan teknik distraksi pada saat Distraksi (pengalihan perhatian) dapat menurunkan stimulus internal dengan mekanisme
nyeri

peningkatan produksi endorphin dan enkefalin yang data memblok reseptor nyeri untuk
tidak dikirimkan ke korteks serebri sehingga menurunkan persepsi nyeri

- Tingkatkan pengetahuan tentang Pengetahuan yang akan dirasakan membantu mengurangi nyerinya dan dapat membantu
sebab-sebab

nyeri,

dan mengembangkan kepatuhan klien terhadap rencana terapeutik

menghubungkan berapa lama nyeri


akan berlangsung
Kolaborasi dengan dokter, pemberian Analgetik memblok lintasan nyeri sehingga nyeri akan berkurang
analgetik
f. Evaluasi
Setelah mendapatkan intervensi keperawatan, maka pasien dengan glomerulonefritis progresif cepat diharapkan sebagai berikut :
- Jalan napas kembali efektif
- Kelebihan volume cairan dapat teratasi
- Membaiknya curah jantung
- Tidak mengalami kejang
- Penurunan skala nyeri dan kecemasan
- Peningkatan kemampuan aktivitas sehari-hari.
59

3.2 Hukum Etik Pada Malpraktik


Malpraktik berasal dari kata mal yang berarti buruk dan dan kata praktik yang
berarti tindakan. Secara harafiah malpraktik adalah suatu tindakan atau praktik yang buruk.
Dengan kata lain malpraktik adalah kelalaian kaum profesi yang terjadi sewaktu
melaksanakan profesinya. Dengan demikian dapatlah dikatakan, bahwa antara kelalaian
dokter dengan malpraktik sangat dekat kaitannya. Seorang dianggap lalai, apabila ia
bertindak kurang hati-hati, sembrono, acuh terhadap kepentingan orang lain, walaupun
tidak dilakukan dengan sengaja dan akibat itu tidak dikehendakinya. Kalau unsur kelalaian
itu dijadikan alasan untuk mengadukan dokter ke pengadilan, maka terjadi apa yang
disebut tuduhan malpraktik. Tetapi bila kelalaian itu tidak diajukan ke Pengadilan, maka
tidak terjadi kasus (tuduhan) malpraktik dalam pengertian bahwa peristiwa itu tidak
diproses secara hukum.
Pada kasus pasien glomerulonefritis, dilakukan dialysis untuk menjaga agar kondisi
fisik klien tetap optimal, mencegah ketidakseimbangan cairan dan elektrolit, dan
mengurangi resiko komplikasi gagal ginjal. Saat dilakukan dialisis, sering kali terjadi
kebocoran pada selang dan masuknya udara ke selang. Hal ini termasuk kelalaian seorang
dokter maupun perawat dalam melakukan dialysis. Peran perawat di sini sebagai advokat
yaitu sebagai pelindung, perawat membantu mempertahankan lingkungan yang aman bagi
klien dan mengambil tindakan untuk mencegah terjadinya kecelakaan dan melindungi klien
dari kemungkinan efek yang tidak diinginkan dari suatu tindakan.
Sebagai advokat, perawat melindungi hak klien sebagai manusia dan secara hukum,
serta membantu klien dalam menyatakan haknya bila dibutuhkan. Membela hak klien yang
menolak suatu tindakan (Potter dan Perry, 2005 hal:286).
Perkembangan kesehatan yang semakin pesat membuka pengetahuan masyarakat
mengenai dunia kesehatan dan keperawatan. Kinerja tenaga kesehatan banyak disoroti dan
dikritisi oleh masyarakat, karena pengetahuan kesehatan masyarakat yang semakin
meningkat. sehingga berpengaruh terhadap tuntutan pelayanan kesehatan oleh masyarakat
termasuk pelayanan keperawatan. Oleh karena itu citra seorang perawat yang menjadi
sorotan, tentu saja merupakan tantangan bagi profesi keperawatan dalam mengembangkan
profesi keperawatan selama memberikan pelayanan yang berkualitas dalam hal
mengembangkan citra perawat di masyarakat.
Selain sebagai advokat perawat juga berperan dalam meningkatkan kesehatan dan
pencegahan penyakit, serta memandang klien secara komprehensif. Peran perawat sebagai
60

fungsi dengan keterkaitan berbagai peran seperti pemberi perawatan, membuat keputusan
klinik, pelindung,manejer kasus, rehabilitator, komunikator dan pendidik (Potter dan Perry,
2005 hal: 286)
Perawat sebagai Pemberi Perawatan atau asuhan keperawatan, perawat membantu
klien mendapatkan kembali kesehatannya melalui proses penyembuhan. Proses
penyembuhan lebih dari sekedar sembuh dari penyakit tertentu . Perawat memfokuskan
asuhan pada kebutuhan kesehatan klien secara holistik, meliputi upaya mengembalikan
kesehatan emosi, spiritual dan sosial. Pemberi asuhan memberikan bantuan bagi klien dan
keluarga dalam menetapkan tujuan dan mencapai tujuan tersebut dengan menggunakan
energi dan waktu yang minimal (Potter dan Perry, 2005 hal:286).
Perawat sebagai Pembuat Keputusan Klinis untuk memberikan perawatan yang
efektif, perawat menggunakan keahliannya berpikir kritis melalui proses keperawatan.
Sebelum mengambil tindakan keperawatan, baik dalam pengkajian kondisi pasien,
pemberian perawatan dan mengevaluasi hasil, perawat menyusun rencana tindakan dengan
menetapkan pendekatan terbaik bagi tiap klien. Perawat membuat keputusan itu sendiri
atau berkolaborasi dengan klien, keluarga dan berkonsultasi dengan profesi kesehatan yang
lainnya (Potter dan Perry, 2005 hal:286).
Perawat sebagai Manejer Kasus, dimana perawat berperan mengkoordinasi aktivitas
anggota tim kesehatan. Serta mengatur waktu kerja dan sumber yang tersedia di tempat
kerjanya. Sebagai manejer, perawat mengkoordinasikan dan mendelegasikan tanggung
jawab asuhan dan juga mengawasi tenaga kesehatan lainnya (Potter dan Perry, 2005 hal:
287).
Perawat sebagai Rehabilitator, yang merupakan proses dimana individu kembali ke
tingkat fungsi maksimal setelah sakit, kecelakaan, atau kejadian yang menimbulkan
ketidakberdayaan klien. Mengembalikan peran dan fungsi klien terhadap lingkungannya
dengan memberi motivasi agar klien dapat beradaptasi dengan keterbatasannya (Potter dan
Perry, 2005 hal:287).
Perawat sebagai Komunikator, dimana perawat merupakan pusat dari seluruh peran
perawat yang lain. Keperawatan mencakup komunikasi dengan klien, keluarga klien, antara
sesama perawat dan profesi kesehatan lainnya, sumber informasi dan komunitas. Kualitas
komunikasi merupakan faktor yang penting dalam memenuhi kebutuhan individu keluarga
dan komunitas (Potter dan Perry, 2005 hal:287).
61

Perawat sebagai Penyuluh atau promosi kesehatan, yang berperan menjelaskan


kepada klien konsep dan data-data tentang kesehatan, mendemonstrasikan prosedur,
menilai apakah klien mengerti dengan penjelasan perawat dan mengevaluasi kemajuan
dalam pembelajaran. Perawat menggunakan metode pengajaran yang sesuai dengan
kemampuan dan kebutuhan klien serta melibatkan keluarga (Potter dan Perry, 2005
hal:287)
Perawat sebagai Pendidik, dimana perawat bekerja terutama di sekolah
keperawatan, departemen pengembangan staf dan departemen pendidikan klien. Perawat
pendidik mempunyai latar belakang pengalaman klinis yang memberikan mereka keahlian
klinis dan pengetahuan teoritis. Perawat pendidik di sekolah keperawatan menyiapkan
peserta didiknya untuk berfungsi sebagai perawat, dan secara umum memiliki spesialisasi
klinis dibidang tertentu dan pengalaman klinis.
Perawat pendidik di departemen pengembangan staf memberikan program
pendidikan bagi perawat yang bekerja di institusinya. Program ini meliputi orientasi
karyawan baru, kursus asuhan perawatan kritis, pengenalan alat-alat baru dan prosedur
penggunaannya. Untuk departemen pendidikan klien, perawat berfokus pada mengajarkan
klien yang sakit atau yang tidak mampu, juga pada keluarga untuk perawatan dirumah
(Potter dan Perry, 2005 hal:28/7)
Perawat sebagai Administrator yang berfungsi untuk pengaturan dana, tenaga kerja,
program perencanaan strategi dan pelayanan, evaluasi pegawai dan pengembangan
pegawai (Potter dan Perry, 2005 hal:287).
Perawat sebagai Peneliti yang menggali masalah untuk meningkatkan asuhan
keperawatan dan untuk mendefenisikan lebih jauh dan memperluas cakupan praktek
keperawatan. Perawat peneliti dapat bekerja dilingkungan akademik, rumah sakit, dan
komunitas (Potter dan Perry, 2005 hal:287).
Peran perawat sebagai Kolaborator yang melakukan kolaborasi dengan yang lain
untuk mencapai tujuan yang sama. ini adalah suatu proses dalamsebuah lingkungan yang
saling menghargai dan kooperatif. Kolaborasi seharusnya selalu menjadi suatu gaya dalam
berinteraksi antara perawat kesehatan komunitas dengan klien dan sama pentingnya peran
operawat ketika perawat berfungsi sebagai bagian dari sebuah tim. Meskipun berkolaborasi
dengan seorang individu, sebuah keluarga, sebuah agensi, atau sebagai bagian dari sebuah
tim, perawat kesehatan komunitas terlibat dalam sebuah pembuatan keputusan bersama
62

berhubungan dengan aksi yang paling tepat untuk dilakukan untuk memecahkan masalah
(Hitchcock, 2003)
Perant sebagai Konselor, dimsns dasarnya adalah sebuah proses menolong klien
untuk memilih solusi yang tepat tuk masalah mereka. Klien pada umumna mencari
konseling ketika mereka tidak mampu untuk membuat keputusan mengenai kesehatan atau
masalah pribadi. Konseling melibatkan eksplorasi perasaan dan perilaku pada bagian klien
dan langsung kepada menolong pemahaman klien mengenai pemahaman dirinya sendiri.
Perawat kesehatan komunitas memiliki peran penting sebagai konselor (Hitchcock, 2003)
.....
3.3 Masalah Penelitian : Glomerulonefritis Akut Pasca Streptokokus pada Anak
Patogenesis dan Gambaran Histologis
Patogenesis GNAPS belum diketahui dengan pasti. Negara berkembang, glomerulon
akut pasca infeksi str/eptokokus (GNAPS) masih sering dijumpai dan merupakan penyebab
lesi ginjal non supuratif terbanyak pada anak. Sampai saat ini belum diketahui faktor-faktor
yang menyebabkan penyakit ini menjadi berat, karena tidak ada perbedaan klinis dan
laboratoris antara pasien yang jatuh ke dalam gagal ginjal akut (GGA) dan yang sembuh
sempurna. Manifestasi klinis yang bervariasi menyebabkan insiden penyakit ini secara
statistik tidak dapat ditentukan. Diperkirakan insiden berkisar 0-28% pasca infeksi
streptokokus.4,5 Pada anak GNAPS paling sering disebabkan oleh Streptococcus beta
hemolyticus group A tipe nefritogenik. Tipe antigen protein M berkaitan erat dengan tipe
nefritogenik. Serotipe streptokokus beta hemolitik yang paling sering dihubungkan dengan
glomerulonefritis akut (GNA) yang didahului faringitis adalah tipe 12, tetapi kadangkadang juga tipe 1,4 ,6 dan 25. Tipe 49 paling sering dijumpai pada glomerulonefritis yang
didahului infeksi kulit / pioderma, walaupun galur 53,55,56,57 dan 58 dapat berimplikasi.
Protein streptokokus galur nefritogenik yang merupakan antigen antara lain endostreptosin,
antigen presorbing (PA-Ag), nephritic strain-associated protein (NSAP) yang dikenal
sebagai streptokinase dan nephritic plasmin binding protein (NPBP). Glomerulonefritis
akut pasca infeksi streptokokus dapat terjadi secara epidemik atau sporadik, paling sering
pada anak usia sekolah yang lebih muda, antara 5-8 tahun. Perbandingan anak laki-laki dan
anak perempuan 2 : 1.3 Di Indonesia, penelitian multisenter selama 12 bulan pada tahun
1988 melaporkan 170 orang pasien yang dirawat di rumah sakit pendidikan, terbanyak di
Surabaya (26,5%) diikuti oleh Jakarta (24,7%), Bandung (17,6%), dan Palembang (8,2%).
63

Perbandingan pasien laki-laki dan perempuan 1,3:1 dan terbanyak menyerang anak usia 68 tahun (40,6%).
Glomerulonefritis merupakan penyakit ginjal dengan suatu inflamasi dan proliferasi
sel glomerulus. Peradangan tersebut terutama disebabkan mekanisme imunologis yang
menimbulkan kelainan patologis glomerulus dengan mekanisme yang masih belum jelas.
Pada anak kebanyakan kasus glomerulonefritis akut adalah pasca infeksi, paling sering
infeksi streptokokus beta hemolitikus grup A. Dari perkembangan teknik biopsi ginjal perkutan, pemeriksaan dengan mikroskop elektron dan imunofluoresen serta pemeriksaan
serologis, glomerulonefritis akut pasca streptokokus telah diketahui sebagai salah satu
contoh dari penyakit kompleks imun. Penyakit ini merupakan contoh klasik sindroma
nefritik akut dengan awitan gross hematuria, edema, hipertensi dan insufisiensi ginjal akut.
Walaupun penyakit ini dapat sembuh sendiri dengan kesembuhan yang sempurna, pada
sebagian kecil kasus dapat terjadi gagal ginjal akut sehingga memerlukan pemantauan.
Faktor genetik diduga berperan dalam terjadinya penyakit dengan ditemukannya
HLA-D dan HLADR. Periode laten antara infeksi streptokokus dengan kelainan
glomerulus menunjukkan proses imunologis memegang peran penting dalam mekanisme
penyakit. Diduga respon yang berlebihan dari sistim imun pejamu pada stimulus antigen
dengan produksi antibodi yang berlebihan menyebabkan terbentuknya kompleks Ag-Ab
yang nantinya melintas pada
membran basal glomerulus. Disini terjadi aktivasi sistim komplemen yang melepas
substansi yang akan menarik neutrofil. Enzim lisosom yang dilepas netrofil merupakan
faktor responsif untuk merusak glomerulus. Hipotesis lain adalah neuraminidase yang
dihasilkan oleh streptokokus akan mengubah IgG endogen menjadi autoantigen.
Terbentuknya autoantibody terhadap IgG yang telah berubah tersebut, mengakibatkan
pembentukan komplek imun yang bersirkulasi, kemudian mengendap dalam ginjal. Pada
kasus ringan, pemeriksaan dengan mikroskop cahaya menunjukkan kelainan minimal.
Biasanya terjadi proliferasi ringan sampai sedang dari sel mesangial dan matriks. Pada
kasus berat terjadi proliferasi sel mesangial, matriks dan sel endotel yang difus disertai
infiltrasi sel polimorfonuklear dan monosit, serta penyumbatan lumen kapiler. Istilah
glomerulonefritis proliferatif eksudatif endokapiler difus digunakan untuk menggambarkan
kelainanmorfologi penyakit ini. Bentuk bulan sabit dan inflamasi interstisial dapat dijumpai
mulai dari yang halus sampai kasar yang tipikal di dalam mesangium dan di sepanjang
dinding kapiler. Endapan immunoglobulin dalam kapiler glomerulus didominasi oleh Ig G
64

dan sebagian kecil Ig M atau Ig A yang dapat dilihat dengan mikroskop imunofluoresen.
Mikroskop electron menunjukkan deposit padat elektron atau humps terletak di daerah
subepitelial yang khas dan akan beragregasi menjadi Ag-Ab kompleks.
Gambaran Klinis
Lebih dari 50 % kasus GNAPS adalah asimtomatik. Kasus klasik atau tipikal
diawali dengan infeksi saluran napas atas dengan nyeri tenggorok dua minggu mendahului
timbulnya sembab. Periode laten rata-rata10 atau 21 hari setelah infeksi tenggorok atau
kulit.dapat timbul berupa gross hematuria maupun mikroskopik.17,18 Gross hematuria
terjadi pada 30-50 % pasien yang dirawat.2 Variasi lain yang tidak spesifik bisa dijumpai
seperti demam, malaise, nyeri, nafsu makan menurun, nyeri kepala, atau lesu. Pada
pemeriksaan fisis dijumpai hipertensi pada hampir semua pasien GNAPS, biasanya ringan
atau sedang. Hipertensi pada GNAPS dapat mendadak tinggi selama 3-5 hari. Setelah itu
tekanan darah menurun perlahan-lahan dalam waktu 1-2 minggu. Edema bisa berupa wajah
sembab, edem pretibial atau berupa gambaran sindrom nefrotik.10,11 Asites dijumpai pada
sekitar 35% pasien dengan edema. Bendungan sirkulasi secara klinis bisa nyata dengan
takipne dan dispne. Gejala gejala tersebut dapat disertai oliguria sampai anuria karena
penurunan filtrasi glomerulus (LFG).
Laboratorium
Pemeriksaan urin sangat penting untuk menegakkan diagnosis nefritis akut. Volume
urin sering berkurang dengan warna gelap atau kecoklatan seperti air cucian daging.
Hematuria makroskopis maupun mikroskopis dijumpai pada hampir semua pasien. Eritrosit
khas terdapat pada 60-85% kasus, menunjukkan adanya perdarahan glomerulus.
Proteinuria biasanya sebanding dengan derajat hematuria dan ekskresi protein umumnya
tidak melebihi 2gr/m2 luas permukaan tubuh perhari. Sekitar 2-5% anak disertai
pro//teinuria masif seperti gambaran nefrotik. Umumnya LFG berkurang, disertai
penurunan kapasitas ekskresi air dan garam, menyebabkan ekspansi volume cairan
ekstraselular. Menurunnya LFG akibat tertutupnya permukaan glomerulus dengan deposit
kompleks imun.2,5 Sebagian besar anak yang dirawat dengan GNA menunjukkan
peningkatan urea nitrogen darah dan konsentrasi serum kreatinin. Anemia sebanding
dengan derajat ekspansi volume cairan esktraselular dan membaik bila edema menghilang.
Beberapa peneliti melaporkan adanya pemendekan masa hidup eritrosit. Kadar albumin
dan protein serum sedikit menurun karena proses dilusi dan berbanding terbalik dengan
65

jumlah deposit imun kompleks pada mesangial glomerulus. Bukti yang mendahului adanya
infeksi streptokokus pada anak dengan GNA harus diperhatikan termasuk riwayatnya.
Pemeriksaan bakteriologis apus tenggorok atau kulit penting untuk isolasi dan identifikasi
streptokokus. Bila biakan tidak mendukung, dilakukan uji serologi respon imun terhadap
antigen streptokokus. Peningkatan titer antibodi terhadap streptolisin-O (ASTO) terjadi 1014 hari setelah infeksi streptokokus. Kenaikan titer ASTO terdapat pada 75-80% pasien
yang tidak mendapat antibiotik. Titer ASTO pasca infeksi streptokokus pada kulit jarang
meningkat dan hanya terjadi pada 50% kasus. Titer antibodi lain seperti antihialuronidase
(Ahase) dan anti deoksiribonuklease B (DNase B) umumnya meningkat. Pengukuran titer
antibodi yang terbaik pada keadaan ini adalah terhadap antigen DNase B yang meningkat
pada 90-95% kasus. Pemeriksaan gabungan titer ASTO, Ahase dan ADNase B dapat
mendeteksi infeksi streptokokus sebelumnya pada hampir 100% kasus. Penurunan
komplemen C3 dijumpai pada 80-90% kasus dalam 2 minggu pertama, sedang kadar
properdin menurun pada 50% kasus. Penurunan C3 sangat nyata, dengan kadar sekitar 2040 mg/dl (normal 80-170 mg/dl).4,10 Kadar IgG sering meningkat lebih dari 1600 mg/100
ml pada hampir 93% pasien.11 Pada awal penyakit kebanyakan pasien mempunyai
krioglobulin dalam sirkulasi yang mengandung IgG atau IgG bersama-sama IgM atau C3.
Hampir sepertiga pasien menunjukkan pembendungan paru. Penelitian Albar dkk., di
Ujung Pandang pada tahun 1980-1990 pada 176 kasus mendapatkan gambaran radiologis
berupa kardiomegali 84,1%, bendungan sirkulasi paru 68,2 % dan edema paru 48,9% .
Gambaran tersebut lebih sering terjadi pada pasien dengan manifestasi klinis disertai
edema yang berat.20 Foto abdomen menunjukkan kekaburan yang diduga sebagai asites.
Diagnosis
Kecurigaan akan adanya GNAPS dicurigai bila dijumpai gejala klinis berupa
hematuria nyata yang timbul mendadak, sembab dan gagal ginjal akut setelah infeksi
streptokokus.Tanda glomerulonefritis yang khas pada urinalisis, bukti adanya infeksi
streptokokus secara laboratoris dan rendahnya kadar komplemen C3 mendukung bukti
untuk menegakkan diagnosis. Tetapi beberapa keadaan dapat menyerupai GNAPS seperti:
- Glomerulonefritis kronik dengan eksaserbasi akut
- Purpura Henoch-Schoenlein yang mengenai ginjal
- Hematuria idiopatik
- Nefritis herediter (sindrom Alport )
- Lupus eritematosus sistemik
66

Tata laksana
Penanganan pasien adalah suportif dan simtomatik. Perawatan dibutuhkan apabila
dijumpai penurunan fungsi ginjal sedang sampai berat ( klirens kreatinin < 60 ml/1
menit/1,73 m2), BUN > 50 mg, anak dengan tanda dan gejala uremia, muntah, letargi,
hipertensi, ensefalopati, anuria atau oliguria menetap.12,13 Pasien hipertensi dapat diberi
diuretik atau anti hipertensi. Bila hipertensi ringan (tekanan darah sistolik 130 mmHg dan
diastolik 90 mmHg) umumnya diobservasi tanpa diberi terapi.5,12 Hipertensi sedang
(tekanan darah sistolik > 140 150 mmHg dan diastolik > 100 mmHg) diobati dengan
pemberian hidralazin oral atau intramuskular (IM), nifedipin oral atau sublingual. Dalam
prakteknya lebih baik merawat inap pasien hipertensi 1-2 hari daripada memberi anti
hipertensi yang lama. Pada hipertensi berat diberikan hidralazin 0,15-0,30 mg/kbBB
intravena, dapat diulang setiap 2-4 jam atau reserpin 0,03-0,10 mg/kgBB (1-3 mg/m2) iv,
atau natrium nitroprussid 1-8 m/kgBB/menit. Pada krisis hipertensi (sistolik >180 mmHg
atau diastolik > 120 mmHg) diberi diazoxid 2-5 mg/kgBB iv secara cepat bersama
furosemid 2 mg/kgBB iv. Plihan lain, klonidin drip 0,002 mg/kgBB/kali, diulang setiap 4-6
jam atau diberi nifedipin sublingual 0,25-0,5 mg/kgBb dan dapat diulang setiap 6 jam bila
diperlukan. Retensi cairan ditangani dengan pembatasan cairan dan natrium. Asupan cairan
sebanding dengan invensible water loss (400-500 ml/m2 luas permukaan tubuh/hari )
ditambah setengah atau kurang dari urin yang keluar. Bila berat badan tidak berkurang
diberi diuretik seperti furosemid 2mg/ kgBB, 1-2 kali/hari. Pemakaian antibiotik tidak
mempengaruhi perjalanan penyakit. Namun, pasien dengan biakan positif harus diberikan
antibiotic untuk eradikasi organisme dan mencegah penyebaran ke individu lain. Diberikan
antimikroba berupa injeksi benzathine penisilin 50.000 U/kg BB IM atau eritromisin oral
40 mg/kgBB/hari selama 10 hari bila pasien alergi penisilin. Pembatasan bahan makanan
tergantung beratnya edem, gagal ginjal, dan hipertensi. Protein tidak perlu dibatasi bila
kadar urea kurang dari 75 mg/dL atau 100 mg/dL. Bila terjadi azotemia asupan protein
dibatasi 0,5 g/kgBB/hari. Pada edema berat dan bendungan sirkulasi dapat diberikan NaCl
300 mg/hari sedangkan bila edema minimal dan hipertensi ringan diberikan 1-2 g/m2/ hari.
Bila disertai oliguria, maka pemberian kalium harus dibatasi.2,12 Anuria dan oliguria yang
menetap, terjadi pada 5-10 % anak. 4,6 Penanganannya sama dengan GGA dengan
berbagai penyebab dan jarang menimbulkan kematian.

67

Biopsi ginjal
Pada GNAPS biopsi ginjal tidak diindikasikan. Biopsi dipertimbangkan bila :
1. Gangguan fungsi ginjal berat khususnya bila etiologi tidak jelas (berkembang menjadi
gagal ginjal atau sindrom nefrotik).
2. Tidak ada bukti infeksi streptokokus
3. Tidak terdapat penurunan kadar komplemen
4. Perbaikan yang lama dengan hipertensi yang menetap, azotemia, gross hematuria
setelah 3 minggu, kadar C3 yang rendah setelah 6 minggu, proteinuria yang menetap
setelah 6 bulan dan hematuria yang menetap setelah 12 bulan.
Perjalanan Penyakit / Pemantauan
Fase awal glomerulonefritis akut berlangsung beberapa hari sampai 2 minggu.
Setelah itu anak akan merasa lebih baik, diuresis lancar, edem dan hipertensi hilang, LFG
kembali normal. Penyakit ini dapat sembuh sendiri, jarang berkembang menjadi kronik.
Kronisitas dihubungkan dengan awal penyakit yang berat dan kelainan morfologis berupa
hiperselularitas lobulus. Pasien sebaiknya kontrol tiap 4-6 minggu dalam 6 bulan pertama
setelah awitan nefritis. Pengukuran tekanan darah, pemeriksaan eritrosit dan protein urin
selama 1 tahun lebih bermanfaat untuk menilai perbaikan.1,5 Kadar C3 akan kembali
normal pada 95% pasien setelah 8-12 minggu, edema membaik dalam 5-10 hari, tekanan
darah kembali normal setelah 2-3 minggu, walaupun dapat tetap tinggi sampai 6 minggu.
Gross hematuria biasanya menghilang dalam 1-3 minggu, hematuria mikroskopik
menghilang setelah 6 bulan, namun dapat bertahan sampai 1 tahun. Proteinuria menghilang
2-3 bulan pertama atau setelah 6 bulan. Pearlman dkk, di Minnesota menemukan 17% dari
61 pasien dengan urinalisis rutin abnormal selama 10 tahun pemantauan. Ketidaknormalan
tersebut meliputi hematuria atau proteinuria mikroskopik sendiri-sendiri atau bersamasama. Dari 16 spesimen biopsi ginjal tidak satupun yang menunjukkan karakteristik
glomerulonefritis kronik. Penelitian Potter dkk, di Trinidad, menjumpai 1,8% pasien
dengan urin abnormal pada 4 tahun pertama tetapi hilang 2 tahun kemudian dan 1,4%
pasien dengan hipertensi. Hanya sedikit urin dan tekanan darah yang abnormal
berhubungan dengan kronisitas GNAPS. Nissenson dkk, mendapatkan kesimpulan yang
sama selama 7-12 tahun penelitian di Trinidad. Hoy dkk, menemukan mikroalbuminuria 4
kali lebih besar pada pasien dengan riwayat GNAPS, sedangkan Potter dkk di Trinidad,
menemukan 3,5% dari 354 pasien GNAPS mempunyai urin abnormal yang menetap dalam
68

12 -17 tahun pemantauan. Penelitian White dkk, menemukan albuminuria yang nyata dan
hematuria masing-masing pada 13% dan 21% dari 63 pasien selama 6-18 tahun
pemantauan. Kemungkinan nefritis kronik harus dipertimbangkan bila dijumpai hematuria
bersama-sama proteinuria yang bertahan setelah 12 bulan.
Prognosis
Berbagai faktor memegang peran dalam menetapkan prognosis GNAPS antara lain
umur saat serangan, derajat berat penyakit, galur streptokukus tertentu, pola serangan
sporadik atau epidemik, tingkat penurunan fungsi ginjal dan gambaran histologis
glomerulus. Anak kecil mempunyai prognosis lebih baik disbanding anak yang lebih besar
atau orang dewasa oleh karena GNAPS pada dewasa sering disertai lesi nekrotik
glomerulus. Perbaikan klinis yang sempurna dan urin yang normal menunjukkan prognosis
yang baik. Insiden gangguan fungsi ginjal berkisar 1-30%. Kemungkinan GNAPS menjadi
kronik 5-10 %; sekitar 0,5-2% kasus menunjukkan penurunan fungsi ginjal cepat dan
progresif dan dalam beberapa minggu atau bulan jatuh ke fase gagal ginjal terminal.18
Angka kematian pada GNAPS bervariasi antara 0-7 %.2,21 Melihat GNAPS masih sering
dijumpai pada anak, maka penyakit ini harus dicegah karena berpotensi menyebabkan
kerusakan ginjal. Pencegahan dapat berupa perbaikan ekonomi dan lingkungan tempat
tinggal, mengontrol dan mengobati infeksi kulit.26 Pencegahan GNAPS berkontribusi
menurunkan insiden penyakit ginjal dan gagal ginjal di kemudian hari.
Ringkasan
Glomerulonefritis akut pasca infeksi streptokokus ditandai oleh adanya kelainan
klinis akibat proliferasi dan inflamasi glomerulus yang berhubungan dengan infeksi
Streptococcus beta hemolyticus grup A tipe nefritogenik. Adanya periode laten antara
infeksi dan kelainan-kelainan glomerulus menunjukkan proses imunologis memegang
peran penting dalam mekanisme terjadinya penyakit. Diagnosis ditegakkan berdasarkan
anamnesis, gejala klinis, pemeriksaan fisis, bakteriologis, serologis, imunologis, dan
histopatologis. Pengobatan hanya bersifat suportif dan simtomatik. Prognosis umumnya
baik, dapat sembuh sempurna pada lebih dari 90% kasus. Observasi jangka panjang
diperlukan untuk membuktikan kemungkinan penyakit menjadi kronik.

69

Oleh :
Sondang Maniur Lumbanbatu
Sari Pediatri, Vol. 5, No. 2, September 2003: 58 - 63
Alamat korespondensi:
Dr. Sondang Maniur Lumbanbatu
Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK USU/RS HAM
Jalan Bunga Lau No. 17, Medan.
Telepon: 061-8361721, Fax.: 061-8361721.
Daftar Pustaka
a. Travis LB, Kalia. Acute nephritic syndrome. Dalam: Poslethwaite RJ, penyunting.
Clinical pediatric nephrology. Edisi ke-2. Oxford: Butterworth-Heinemann, 1994. h.
201-9.
b. Sekarwana HN. Rekomendasi mutahir tatalaksana glomerulonefritis akut pasca
streptokokus. Dalam: Aditiawati, Bahrun D, Herman E, Prambudi R, penyunting. Buku
naskah lengkap simposium nefrologi VIII dan simposium kardiologi V. Ikatan Dokter
Anak Indonesia Palembang, 2001. h. 141-62.
c. Noer MS. Glomerulonefritis. Dalam: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO,
penyunting. Buku ajar nefrologi anak. Edisi ke-2. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2002.
h. 345-53.
d. Gauthier B,Edelmann CM, Barnett HL. Clinical acute glomerulonephritis. Dalam:
Nephrology and urology for the pediatrician. Edisi ke-1. Boston: Little Brown & Co,
1982. h. 109-22.
e. Travis LB. Acute post infections glomerulonephritis. Dalam: Rudolph AM, Hoffman
JIE, Axelrod S, penyunting. Pediatrics. Edisi ke-18. Connecticut: Appleton & Lange,
1987. h. 1169-71.
f. Langman CB. Hematuria. Dalam: Stockman III JA, penyunting. Difficult diagnosis in
pediatrics.Philadelphia: W.B.Saunders, 1990. h. 315-22.
g. Ramayati R dan Rusdidjas. Penanggulangan glomerulonefritis kronik pada anak.
Disampaikan pada: Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak X. Bukit Tinggi: Pancaran
Ilmu, 1996. h. 105-19.
h. Ogle JW. Infections: bacterial and spirochaetal. Dalam: Hay WW, Grothuis JR,
Hayward AR, Levin MJ, penyunting. Current pediatric diagnosis & treatment.
70

i. Edisi ke-13. Connecticut: Appleton & Lange, 1997. h. 1003-6.


j. Svensson MD, Sjorbring U dan Bessen DE. Selective distribution of a high affinity
plasminogen-binding site among group A Streptococci associated with impetigo. Infect
and Immun1999; 67:3915-20.
k. Bergstein JM. Condition particularly associated with hematuria. Dalam:Behrman RE,
Kliegman RM, Jenson HB, penyunting. Nelson texbook of pediatrics. Edisi ke-16.
Philadelphia: WB Saunders, 2000. h. 1577-82.
l. Jordan SC, Lemire JM. Acute glomerulonefritis diagnosis and treatment. Pediatr Clin
North Am 1982; 29:857- 73.
m. Lewy JE. Acute poststreptococal glomerulonephritis. Pediatr Clin North Am 1976;
23:751-9.
n. Makker SP. Glomerular disease. Dalam: Kher KK, Makker SP, penyunting. Clinical
pediatric nephrology. New York: McGraw-Hill, 1992. h. 175-220.
o. Nordstrand A, McShan WM, Ferretti JJ, Holm SE dan Norgren M.Allele substitution of
the streptokinase gene reduces the nephritogenic capacity of group A streptoccocal
strain NZ131. Infect and Immun 2000; 68:1019-25.
p. Bisno

AL.Non

suppurative

streptococcal

sequelae:

rheumatic

fever

and

glomerulonephritis. Dalam: Mandell GL,Bennet JE, Dolin R, penyunting. Principles


and practice of infectious diseases. Edisi ke-5. New York: Churchill Livingstone,2000.
h. 2117-28.
q. Chapel H,Haeney M. Essential of clinical immunology. Edisi ke-2. Oxford: Blackwell
Scientific Public, 1998. h.183-952.
r. Berner JJ. Effect of diseases on laboratory test .New York: J.B. Lippincott, 1983.
h.123-7.
s. Rodriguez-Iturbe B. Postinfections glomerulonephritis. Am J Kidney Dis 2000; 35:468.
t. Fairley KF and Birch DF.Microscopic urinalysis in glomerulonephritis. Kidney Int
1991; 44:S-9 S-12.
u. Albar H, Rauf S, Daud D, Tanra A, Kaspan MF. Clinical edema and chest x ray
findings in acute poststreptococcal glomerulonephritis. Dalam: Paediatr Indones 1997;
37:69-75.
v. Perlman

LV,

Herdman

RC,

Kleinman

H,

Vernier

RL.

Post

streptococal

glomerulonephritis, a ten year followup of an epidemic. JAMA 1965; 194:175-82.


71

w. Potter EV, Abidh S, Sharret AR dkk.Clinical healing two to six years after
poststreptoccocal glomerulonephritis in Trinidad. New Engl J Med l978; 298:767-72.
x. Nissenson AR, Mayon-White V, Potter EV, Earle D. Continued absence of clinical
renal disease seven to 12 years after poststreptococcal acute glomerulonephritis in
Trinidad. Am J Med 1979; 67:255-62. 63 Sari Pediatri, Vol. 5, No. 2, September 2003
y. Hoy WE, Mathews JD, McCredie DA dkk.The multidimensional nature of renal
disease: rate and associations of albuminuria in an aboriginal community. Kidney Int
1998; 54:1296-304.
z. Potter EV, Lipschultz SA, Abidh S, King TP, Earle DP. Twelve to seventeen-year
follow up of patients with poststreptococal acute glomerulonephritis in trinidad. N Engl
J Med 1982; 307:725-8.
g. White AV, Hoy AW, McCredie DA. Chilhood poststreptococal glomerulonephritis as a
risk factor for chronic renal disease in later life. MJA 2001; 174:492-631.

72

4.1 Kesimpulan
Sekitar 1 juta nefron pada setiap ginjal di mana apabila dirangkai akan mencapai
panjang 145 km. Ginjal tidak dapat membentuk nefron baru, oleh karena itu pada keadaan
trauma ginjal atau proses penuaan akan terjadi penurunan jumlah nefron secara bertahap di
mana jumlah nefron yang berfungsi akan menurun sekitar 10% setiap 10 tahun.
Bila glomerulus terjadi peradangan secara mendadak disebut Glomerulonefritis
Akut. Dimana terjadi pengendapan kompleks antigen antibody di kapiler-kapiler
glomerulus setelah infeksi oleh streptokokus.
Sedangkan peradangan glomerulus berkepanjangan disebut Glomerulonefritis
kronis, akibat suatu kondisi peradangan yang lama dari sel-sel glomerulus. Dapat terjadi
akibat glomerulonefritis akut yang tidak membaik atau timbul secara spontan. Biasanya
sering timbul beberapa tahun setelah cidera dan peradangan glomerulus subklinis yang
disertai oleh hematuria (darah dalam urine) dan proteinuria (protein dalam urine) ringan.
Biasanya penyakit ini baru terdeteksi setelah berada pada fase progresif yang biasanya
bersifat ireversibel.
Glomurulonefritis progresif cepat adalah peradangan glomerulus yang terjadi
sedemikian cepat sehingga terjadi penurunan GFR 50% dalam 3 bulan setelah awitan
penyakit. Penyakit ini bisa bersifat idiopatik atau disertai dengan penyakit glomerulus
proliferatif, seperti glomerulonefritis pascastreptokokal.
Faktor penyebab Glomerulonefritis Akut yang mendasari terjadinya sindrom ini
secara luas dapat dibagi menjadi kelompok infeksi dan noninfeksi. Penyebab
Glomerulonefritis kronik yang sering adalah diabetes melitus dan hipertensi kronik.
Sedangkan

Glomerulonefritis

progresif

cepat

dapat

terjadi

akibat

perburukan

glomerulonefritis akut, suatu penyakit autoimun, atau tanpa diketahui sebabnya (idiopatik).
Penatalaksanaan Glomerulonefritis Akut bertujuan untuk memulihkan fungsi ginjal
dan untuk mengobati komplikasi dengan cepat. Pemberian antibiotik Penisilin, untuk
infeksi streptokokus residual, Preparat diuretik untuk keseimbangan cairan tubuh dan
pemberian antihipertensi. Pertukaran plasma ( plasmaferesis ) dan pengobatan dengan obatobat steroid dan sitotoksik untuk mengurangi respon inflamasi, diberikan untuk progresif
glomerulonefritis akut. Kadang diperlukan dialisis. Tirah baring sangat diperlukan, selama
73

fase akut sampai urine jernih dan BUN, kreatinin, dan tekanan darah kembali normal.
Nutrisi diberikan berupa Diit protein dibatasi pada peningkatan BUN, Natrium dibatasi
pada hipertensi, edema, dan gagal jantung kongestif, Karbohidrat untuk energi dan
penurunan protein katabolisme, serta Cairan yang diberikan sesuai kehilangan cairan dan
berat badan harian; masukan dan haluaran.
Dalam asuhan keperawatan klien dengan Glumerulonefritis dilakukan pengkajian,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan, pemeriksaan diagnostik laboratorium, pemeriksaan
diagnostik medis, sehingga dapat menentukan diagnosis keperawatan. Berikut diagnosis
keperawatan yang paling menjadi prioritas, antara lain :
Diagnosis keperawatan untuk Glomerulonefritis Akut, antara lain :
1. Aktual atau resiko kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan volume
urine, retensi cairan dan natrium, peninngkatan aldosteron sekunder dari penurunan
GFR.
2. Risiko tinggi kejang berhubungan dengan kerusakan hantaran saraf sekunder dari
abnormalitas elektrolit dan uremia.
3. Nyeri berhubungan dengan respons inflamasi ,kontraksi otot sekunder, adanya
inflamasi glomerulus
Untuk Glomerulonefritis Kronik, diagnosis keperawatan yang lazim ditemukan,
antara lain :
1. Aktual / resiko tinggi pola napas tidak efektif b.d pengembangan paru tidak optimal,
perembesan cairan, kongesti paru sekunder perubahan membran kapiler alveoli dan
retensi cairan interstisial dari edema paru dan respons asidosis metabolik.
2. Aktual / resiko kelebihan volume cairan b.d penurunan volume urine, retensi cairan
dan natrium, peningkatan aldosteron sekunder dari penurunan GFR.
3. Aktual / resiko tinggi penurunannya curah jantung b.d penurunan kontraktilitas
ventrikel kiri, perubahan frekuensi, irama, konduksi elektikal sekunder penurunan p6,
hiperkalemi, dan uremia.
Sedangkan diagnosis keperawatan glomerulonefritis progresif cepat, antara lain :
1. Aktual/ resiko tinggi jalan napas tidak efektif b.d akumulasi sekret dan darah di jalan
napas
2. Aktual/resiko kelebihan volume cairan b.d penurunan voleume urine, retensi cairan
dan natrium, peningkatan aldosteron efek sekunder dari penurunan GFR
74

3. Aktual/resiko tinggi menurunnya curah jantung b.d penurunan kontraktilitas ventrikel


kiri, perubahan frekuensi, irama, konduksi elektrikal efek sekunder penurunan pH,
hiperkalemi, dan uremia
4.2 Saran
Adapun saran yang ingin penulis sampaikan pada mahasiswa, antara lain :
1. Dalam membuat makalah, kelompok diharapkan dapat memahami pengetahuan
tentang penyakit glomerulonefritis.
2. Mahasiswa mampu menahami konsep dasar asuhan keperawatan paa klien dengan
Glomerulonefritis.
3. Mahasiswa harus dapat melakukan tindakan keperawatan secara benar dan terampil
pada klien dengan penyakit Glomerulonefritis.
4. Mahasiswa perlu ditingkatkan keaktifannya dalam bertanya kepada pembimbing yang
behubungan dengan asuhan keperawatan pada klien dengan Glomerulonefritis.
5. Mahasiswa diharapkan dapat lebih menggunakan waktu sebaik-baiknya.dalam proses
pembelajaran.
6. Mahasiswa diharapkan dapat mengerti dan menerapkan peran perawat dalam proses
hemodialisa.
7. Mahasiswa diharapkan mampu mengerti tindakan tindakan malpraktek dalam
tindakan asuhan keperawatan klien dengan glomerulonefritis.

75

Guyton, Arthur C. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Jakarta : EGC
Muttaqin, Arif, dkk. 2011. Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem Perkemihan. Jakarta :
Salemba Medika
Nursalam. 2008. Asuhan Keperawatan pada Pasien denga Gangguan Sistem Perkemihan.
Jakarta : Salemba Medika
Potter, P. A., & Perry, A. G. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses,
dan Praktik Edisi 4. Jakarta : EGC
Price, Sylvia A. 1995. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses Penyakit Edisi 4. Jakarta : EGC
Smeltzer, Suzane C. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : EGC
Williams, Lippincott & Wilkins. 2011. Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta : EGC

76

You might also like