Professional Documents
Culture Documents
1 Latar Belakang
Sistem perkemihan merupakan organ vital dalam melakukan ekskresi
dan melakukan eliminasi sisa-sisa hasil metabolisme tubuh. Selain mempunyai
fungsi eliminasi, sistem perkemihan juga mempunyai fungsi lainnya, seperti
meregulasi volume darah dan tekanan darah, menstabilisasi pH darah, dan
membantu organ hati dalam mendetoksikasi racun. Di dalam ginjal terdapat
nefron, yang terdiri atas glomerulus yang akan dilalui sejumlah cairan untuk
difiltrasi dari darah dan tubulus yang panjang di mana cairan yang difiltrasi
diubah menjadi urine dalam perjalanannya menuju pelvis ginjal. Adapun
penyakit yang menyerang pada daerah glomerulus yaitu glomerulonefritis, di
mana penyakit ini terbagi atas glomerulonefritis akut, kronik, dan progresif.
Glomerulonefritis adalah gangguan pada ginjal yang ditandai dengan
peradangan pada kapiler glomerulus yang fungsinya sebagai filtrasi cairan
tubuh dan sisa-sisa pembuangan ( Suriadi & Rita Yuliani, 2001, hal.125 ).
Untuk glomerulonefritis akut ialah suatu reaksi imunologik pada ginjal terhadap
bakteri atau virus tertentu. Yang sering ialah infeksi karena kuman
streptokokus. Penyakit ini sering ditemukan pada anak berumur 3 - 7 tahun dan
lebih sering mengenai anak pria dibandingkan dengan anak wanita ( Ngastiyah,
1997, hal.294 ). Sedangkan Glomerulonefritis Kronik adalah suatu kelainan
yang terjadi pada beberapa penyakit, dimana terjadi kerusakan glomeruli dan
kemunduran fungsi ginjal selama bertahun-tahun.
Glomerulonefritis sering disebabkan oleh infeksi karena kuman
streptokokus. Penyakit ini sering ditemukan pada anak berumur 3 - 7 tahun dan
lebih sering mengenai anak pria dibandingkan dengan anak wanita ( Ngastiyah,
1997, hal.294 ). Penyebab glomerulonefritis yang lazim adalah streptokokkus
beta hemolitikus grup A tipe 12 atau 4 dan 1, jarang oleh penyebab lainnya.
Tanda dan gejalanya adalah hematuria, proteinuria, oliguria, edema, dan
hipertensi ( Sylvia A. Price dan Lorraine M. Willson, 2005 ).
1
masalah
penelitian
yang
berhubungan
dengan
Glomerulonefritis ?
k. Bagaimana tindakan malpraktek dalam keperawatan yang berhubungan
dengan Glomerulonefritis ( Dialisis ) ?
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Mahasiswa mampu mengerti dan memahami konsep dasar Asuhan
Keperawatan, Masalah penelitian, dan Malpraktek pada klien dengan
Glomerulonefritis
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Mahasiswa mengerti dan memahami Anatomi dan Fisiologi Nefron.
2. Mahasiswa mengerti dan memahami dari Glumerulonefritis.
3. Mahasiswa mengerti dan memahami etiologi dari Glumerulonefritis.
4. Mahasiswa
mengerti
dan
memahami
patofisiologi
dari
Glumerulonefritis.
5. Mahasiswa
mengerti
dan
memahami
manifestasi
klinis
dari
Glumerulonefritis.
6. Mahasiswa mengerti dan memahami dari Glomerulonefritis.
7. Mahasiswa mengerti dan memahami pencegahan dari Glomerulonefritis.
8. Mahasiswa mengerti dan memahami penatalaksanaan medis dari
Glomerulonefritis.
9. Mahasiswa mengerti dan mampu mempraktekan konsep dasar asuhan
keperawatan Glomerulonefritis.
10. Mahasiswa memahami masalah penelitian yang berhubungan dengan
Glomerulonefritis.
11. Mahasiswa memahami tindakan malpraktek dalam keperawatan yang
berhubungan dengan Glomerulonefritis.
12. Mahasiswa mengerti dan menahami Hukum Etik Malpraktek Dialisis
pada pasien Glomerulonefritis.
1.4 Manfaat
Terkait dengan tujuan maka makalah pembelajaran ini diharapkan dapat
memberi manfaat.
1. Dari segi akademis, merupakan sumbangan bagi ilmu pengetahuan
khususnya dalam hal konsep dasar, asuhan keperawatan, masalah
penelitian, dan malpraktek pada pasien glomerulonefritis
3
dalam medula renal. Setiap lengkung terdiri atas cabang desenden dan asenden.
Binding atau ikatan cabang desenden dan ujung cabang asenden yang paling
rendah sangat tipis, oleh karena itu disebut bagian tipis dari ansa henle. Ujung
cabang asenden tebal merupakan bagian yang pendek, yang sebenarnya
merupakan plak pada dindingnya dan dikenal sebagai makula densa. Setelah
makula densa, cairan memasuki tubulus distal yang terletak pada korteks renal,
seperti tubulus proksimal.
Tubulus ini kemudian dilanjutkan dengan tubulus distal menuju ke
duktus koligentes tunggal besar yang turun ke medula dan bergabung
membentuk duktus yang lebih besar secara progresif yang akhirnya mengalir
menuju pelvis renal melalui ujung papila renal.
Meskipun setiap nefron mempunyai semua komponen tetapi tetap
terdapat perbedaan, bergantung pada berapa dalamnya letak nefron pada massa
ginjal. Nefron yang memiliki glomerulus dan terletak di luar korteks disebut
nefron kortikal, nefron tersebut mempunyai ansa henle pendek yang hanya
menembus ke dalam medula dengan jarak dekat. Setiap segmen-segmen distal
nefron bertanggung jawab terhadap : reabsorpsi seluruh substrat organik yang
masuk tubulus, reabsorpsi 90% lebih dari air yang difiltrasi, dan sekresi air dan
produk sisa ke tubulus yang hilang pada saat proses filtrasi.
Kira-kira 20-30% nefron mempunyai glomerulus yang terletak di korteks
renal sebelah dalam dekat medula dan disebut nefron jukstamedular. Nefron ini
mempunyai ansa henle yang panjang dan masuk sangat dalam ke medula. Pada
beberapa tempat semua berjalan menuju ujung papila renal.
Struktur vaskular yang menyerupai nefron jukstamedular juga berbeda
dengan yang menyuplai nefron kortikal. Pada nefron kortikal, seluruh sistem
tubulus dikelilingi oleh jarinag kapiler peritubular yang luas.
Pada nefron jukstamedular, arteriol eferen panjang akan meluas dari
glomerulus turun ke bawah menuju medula bagian luar dan kemudian membagi
diri menjadi kapiler peritubulus khusus yang disebut vasa rekta, yang meluas ke
bawah menuju medula dan terletak berdampingan dengan ansa henle. Seperti
ansa henle, vasa rekta kembali menuju korteks dan mengalirkan isinya ke dalam
vena kortikal.
6
ekskresi ginjal. Sebagai contoh, kenaikan laju filtrasi glomerulus (GFR) yang
hanya 10% (dari 180 menjadi 198 liter per hari) akan menaikkan volume urine
13 kali lipat (dari1,5 menjadi 19,5 liter per hari) jika reabsorpsi tubulus tetap
konstan.
Pada kenyataannya, perubahan filtrasi glomerulus dan reabsorpsi tubulus
selalu bekerja dengan cara terkoordinasi untuk menghasilkan perubahan yang
sesuai pada ekskresi ginjal (Guyton,1997). Keseluruhan dari proses di atas akan
menghasilkan cairan yang berbeda dari cairan tubuh lainnya.
10
dari 180 liter cairan per hari yang difiltrasi ke dalam kapsula bowman hanya
sekitar 1,5 liter per hari diekskresikan dari tubuh sebagai urine.
Klirens ginjal (renal clearance) suatu bahan mengacu kepada konsentrasi
bahan tersebut yang secara total dibersihkan dari darah untuk kemudian masuk
ke dalam urine dalam satuan waktu (Corwin,2001).
2.1.6 Kontrol fisiologis filtrasi glomerulus dan aliran darah ginjal
Untuk mempertahankan fungsinya, suplai darah ke ginjal perlu mendapat
aliran yang seimbang agar ginjal dapat
atau
menurunkan
tekanan
glomerulus
yang
memengaruhi GFR.
Ginjal memiliki beberapa mekanisme untuk mengontrol aliran darah
ginjal. Mekanisme ini membantu dalam mempertahankan fungsi ginjal dan
GFR konstan walaupun terjadi perubahan tekanan darah sistemik. Aliran darah
ginjal dikontrol oleh mekanisme intrarenal dan ekstrarenal.
Mekanisme intrarenal mencakup kemampuan inheren arteriol aferen dan
eferen untuk berdilatasi dan berkonstriksi, yang dapat menentukan seberapa
banyak darah yang mengalir melintasi ginjal. Kemampuan inheren disebut
otoregulasi.
Mekanisme ekstrarenal yang mengatur aliran darah ginjal mencakup efek
langsung peningkatan atau penurunan tekanan arteri rerata dan efek susunan
saraf simpatis. Mekanisme ketiga yang mengatur aliran darah yang memiliki
komponen intrarenal dan ekstrarenal adalah hormon yang dihasilkan oleh ginjal.
Hormon ini tidak saja memengaruhi aliran darah ginjal, tetapi juga sirkulasi
sistemik. Hormon ini, disebut renin yang bekerja melalui pembentukan suatu
vasokonstriktor kuat yang disebut dengan angiotensin II.
2.1.7 Otoregulasi
Otoregulasi adalah respons intrinsic otot polos vascular terhadap
perubahan tekanan darah. Seperti banyak arteriol lain, sel-sel otot polos arteriol
aferen dan eferen berespons terhadap peregangan dengan konstriksi reflex.
12
sehingga aliran darah berkurang dan tekanan darah ginjal kembali ke normal.
Sebaliknya, apabila tekanan darah sistemik menurun, maka peregangan pada
arteriol aferen dan eferen berkurang, kemudian arteriol berespons dengan
melakukan relaksasi dan dilatasi untuk meningkatkan aliran darah.
Dengan adanya otoregulasi, maka aliran darah ginjal menetap relative
konstan walaupun terjadi perubahan tekanan darah yang besar antara 80 mmHg
dan 180 mmHg. Oleh karena adanya otoregulasi arteriol aferen, GFR relative
tidak berubah walaupun terjadi perubahan tekanan darah yang mencolok.
Apabila tekanan darah arteri rerata meningkat, maka otoregulasi ginja
menyebabkan tekanan hidrostatik glomerulus tetap relative konstan. Akibatnya,
GFR juga relative konstan. Batas bawah otoregulasi, 80 mmHg untuk tekanan
arteri rerata, dicapai lebih sering daripada batas atas. Dengan demikian, GFR
dapat turun pada keadaan hipotensi berat.
2.2 Konsep Dasar Glomerulonefritis
2.2.1 Glomerulonefritis Akut
Glomerulonefritis akut adalah peradangan glomerulus secara mendadak
pada kedua ginjal. Peradangan akut glomerulus terjadi akibat pengendapan
kompleks antigen antibody di kapiler-kapiler glomerulus. Kompleks biasanya
terbentuk 7-10 hari setelah infeksi faring atau kulit oleh streptokokus (
glomerulonefritis pascastreptokokus), tetapi dapat juga timbul setelah infeksi
lain. Glomerulonefritis akut lebih sering terjadi pada laki-laki (2:1) , walaupun
dapat terjadi pada semua usia, tetapi biasanya berkembang pada anak-anak dan
sering pada usia 6-10 tahun.
Glomerulonefritis akut (GNA) ialah suatu reaksi imunologic pada ginjal
terhadap bakteri atau virus tertentu. Yang sering ialah infeksi karena kuman
streptokokus. Penyakit ini sering ditemukan pada anak berumur 3-7 tahun dan
lebih sering mengenai anak pria dibandingkan dengan anak wanita (Ngastiyah,
1997, hal.294). Glomerulonefritis akut dapat dihasilkan dari penyakit sistemik
atau penyakit glomerulus primer, tapi glomerulonefritis akut post streptococcus
13
akut
pasca
infeksi
yang
serupa
(Porth,2005).
Glomerulonefritis akut paling sering ditemukan pada anak laki laki berusia
tiga hingga tujuh tahun meskipun penyakit ini dapat terjadi pada segala usia.
Hingga 95 % anak anak dan 70 % dewasa akan mengalami pemulihan total.
Pada pasien lain, khususnya yang berusia lanjut, dapat terjadi progresivitas
penyakit ke arah gagal ginjal kronis dalam tempo beberapa bulan saja.
2.2.2 Glomerulonefritis Kronik
Glomerulonefritis Kronik adalah suatu kelainan yang terjadi pada
beberapa penyakit, dimana terjadi kerusakan glomeruli dan kemunduran fungsi
ginjal selama bertahun-tahun.
Glomerulus kronis adalah suatu kondisi peradangan yang lama dari selsel glomerulus. Kelainan ini dapat terjadi akibat glomerulonefritis akut yang
tidak membaik atau timbul secara spontan. Glomerulonefritis kronik sering
timbul beberapa tahun setelah cidera dan peradangan glomerulus subklinis yang
disertai oleh hematuria (darah dalam urine) dan proteinuria (protein dalam
urine) ringan.
Glomerulonefritis kronik adalah kategori heterogen
dengan
berbagai
kasus.
Semua
bentuk
gambaran
dari penyakit
sebelumya
dari
dengan
penyakit
ginjal
(glomerulonefritis)
yang
dalam
14
penyakit
glomerulus
proliferatif,
seperti
glomerulonefritis
pascastreptokokal.
2.3 Etiologi
Faktor penyebab Glomerulonefritis Akut yang mendasari terjadinya
sindrom ini secara luas dapat dibagi menjadi kelompok infeksi dan noninfeksi.
Infeksi sreptokokus terjadi sekitar 5-10% pada orang dengan radang
tenggorokan dan 25% pada mereka dengan infeksi kulit. Penyebab
nonstretokokus, meliputi bakteri , virus dan parasit. Sedangkan yang termasuk
noninfeksi adalah penyakit sistemik multisystem ,seperti pada lupus
eritematosus sistemik (SLE), vaskulitis, sindrom Goodpasture , granulomatosis
Wegener. Kondisi penyebab lainnya adalah kondisi sindrom Gillain-Barre.
Penyebab Glomerulonefritis kronik yang sering adalah diabetes melitus
dan hipertensi kronik. Kedua penyakit ini berkaitan dengan cidera glomerulus
yang bermakna dan berulang. Hasil akhir dari peradangan tersebut adalah
15
produksi
vitamin
sehingga
terjadi
hipokalsemia,
ion
hidrogen,
kalium,
garam,
dan
ekskresi
air,
Glomerulonefritis
kronik
akumulasi
produk
ureum
yang
mempengaruhi hampir semua sistem organ. Sehingga terjadi Uremia pada GFR
17
linier
patogenesisnya
dan
adalah
imunofluoresensi
suatu
mekanisme
menimbulkan
nefrotoksik
gudaan
imun.
bahwa
Endapan
immunoglobulin juga ditemukan disepanjang membrane basalis alveolus paruparu. Klien dapat dipertahankan hidup dengan hemodialisis, tetapi dapat juga
meningga akibat perdarahan par-paru.
Respons perubahan patologis pada glomerulus secara fungsional akan
memberikan berbagai masalah keperawatan pada pasien yang mengalami
glmerulus progresif cepat.
2.5 Prognosis
Pada Glomerulonefritis Akut sebagian besar pasien dapat sembuh, tetapi
5% diantaranya mengalami perjalanan penyakit yang memburuk dengan cepat.
Diuresis akan menjadi normal kembali pada hari ke 7 - 10 setelah awal penyakit
dengan menghilangnya sebab dan secara bertahap tekanan darah menjadi
normal kembali. Fungsi ginjal (ureum dan kreatinin) membaik dalam 1 minggu
dan menjadi normal dalam waktu 3-4 minggu. Potter dan kawan-kawan
18
sekali pada hari pertama. Kadang-kadang gejala panas tetap ada walaupun tidak
ada gejala infeksi lain yang mendahuluinya. Gejala gastrointestinal seperti
muntah, tidak nafsu makan, diare sering menyertai pasien GNA. Selama fase
akut terdapat vasokonstriksi arteriola glomerulus yang mengakibatkan tekanan
filtrasi menjadi kurang dan karena hal ini kecepatan filtrasi glomerulus pun
menjadi kurang. Filtrasi air, garam, ureum dan zat-zat lainnya berkurang dan
sebagai akibatnya kadar ureum dan kreatinin dalam darah meningkat. Fungsi
tubulus relatif kurang terganggu. Ion natrium dan air di reabsorpsi kembali
sehingga diuresis mengurang (timbul oliguria dan anuria) dan ekskresi natrium
mengurang, ureum pun direabsorpsi kembali lebih dari biasa. Akibatnya terjadi
insufisiensi ginjal akut dengan urema, hiperfosfatemia, hidremia, dan asidosis
metabolik. Dari hasil studi kinis kejadian glomerulonefritis akut dapat sembuh
sampai 90%, dengan fugsi ginjal normal dalam 60 hari.
Menurut Baughman (2000. Hal.196) Glomerulonefritis Akut pada
bentuk penyakit yang lebih parah, dapat terjadi sakit kepala, malaise, edema
fasial, dan nyeri hebat. Umumnya terjadi hipertensi ringan sampai berat dan
nyeri tekan pada sudut kostovertebral (CVA).
Menurut Smeltzer (2001, hlm.1440) gejala Glomerulonefritis kronik
bervariasi. Banyak pasien dengan penyakit yang telah parah memperlihatkan
kondisi tanpa gejala sama sekali untuk beberapa tahun. Kondisi mereka secara
insidental dijumpai ketika terjadi hipertensi atau peningkatan kadar BUN dan
kreatinin serum. Diagnosis dapat ditegakkan ketika perubahan vaskuler atau
perdarahan retina ditemukan selama pemeriksaan mata. Indikasi pertama
penyakit dapat berupa perdarahan hidung, stroke, atau kejang yng terjadi secara
mendadak. Beberapa pasien hanya memberitahu bahwa tungkai mereka sedikit
bengkak dimalam hari. Mayoritas pasien pasien juga mengalami gejala umum
seperti kehilangan berat dan kekuatan badan, peningkatan iritabilitas, dan
peningkatan berkemih dimalam hari (nokuria), sakit kepala, pusing, dan
gangguan pencernaan umumnya terjadi.
Seiring dengan berkembangnya glomerulonefritis kronik, tanda dan
gejala insufisiensi renal dan gagal ginjal kronik dapat terjadi. Pasien tampak
sangat kurus, pigmen kulit tampak kuning keabu-abuan dan terjadi edema
20
perifer (dependen) dan periorbital. Tekanan darah mungkin normal atau naik
dengan tajam. Temuan pada retina mencakup hemoragi, adanya eksudat,
arteriol menyempit dan berliku-liku, serta papiledema. Membran mukosa pucat
karena anemia. Pangkal vena mengalami distensi akibat cairan yang berlebihan.
Kardiomegali, irama galop, dan tanda gagal jantung kongestif lain dapat
terjadi pada Glomerulonefritis kronik. Bunyi krekel dapat didengar di paru.
Neuropati perifer disertai hilangnya reflek tendon dan perubahan
neurosensori muncul setelah penyakit Glomerulonefritis kronik. Pasien
mengalami konfusi dan memperlihatkan rentang penyakit yang menyempit.
Temuan lain mencakup perikarditis disertai friksi perikardial dan pulsus
paradoksus (perbedaan tekanan darah lebih dari 10 mmHg selama inspirasi dan
ekspirasi).
Glomerulonefritis Progresif Cepat, keluhan berhubungan dengan kondisi
vaskulitis Anca (antineutrophil cytoplasmic antibodies) seperti flu di tandai
dengan malaise, demam, arthralgias, mialgia, anoreksia, kehilangan berat
badan. Setelah kondisi tersebut, keluhan yang paling umum adalah sakit perut,
gangguan kulit denganadanya nodul atau ulserasi. Ketika terdapat keterlibatan
saluran pernapasan atas, pasien mengeluh gejala sinusitis, batuk, dan
hemoptosis.
2.7 Pencegahan
Pencegahan Glomerulonefritis Akut menurut Baughman (2000. Hal.
197), memberikan jadwal evaluasi lanjut tentang tekanan darah, pemeriksaan
urinalis untuk protein, dan pemeriksaan BUN dan kreatinin untuk menentukan
apakah penyakit telah tereksaserbasi. Memberitahu dokter bila gejala gagal
ginjal terjadi misalnya ; kelelahan, mual, muntah, penurunan haluaran urin.
Anjurkan untuk mengobati infeksi dengan segera, serta rujuk ke perawat
kesehatan komunitas yang di indikasikan untuk pengkajian dan deteksi gejala
dini.
Pencegahan Glomerulonefritis Kronik menurut Baughman, Diane C
(2000,hal.1999),
menganjurkan
pasien
dan
keluarga
tentang
rencana
23
suhu
tubuh dan denyut nadi. Tekanan darah terjadi perubahan dari hipertensi
ringan sampai berat.
B1 ( Breathing)
Biasanya tidak didapatkan adanya gangguan pola napas walau
secara frekuensi mengalami peningkatan terutama pada fase akut. Pada
fase lanjut sering didapatkan adanya gangguan pola napas dan jalan
napas yang merupakan respons terhadap edema pulmoner dan adanya
sindrom uremia.
25
B2 ( Blood)
Salah satu tanda khas glomerulonefritis adalah peningkatan
tekanan darah sekunder dari retensi natrium dan air yang memebrikan
dampak pada fungsi sistem kardiovaskuler dimana akan terjadi
penurunan perfusi jaringan akibat tingginya beban sirkulasi. Pada
kondisi azotemia berat, pada auskultasi perawat akan menemukan
adanya function rub yang merupakan tanda khas efusi pericardial
sekunder dari sindrom uremik.
B3 ( Brain )
Didapatkan edema wajah terutama periorbital , konjungtiva anemis
, sclera tidak ikterik dan mukosa mulut tidak mengalami peradangan.
Status neurologis mengalami perubahan sesuai dengan tingkat parahnya
azotemia pada sistem saraf pusat. Pasien beresiko kejang sekunder
gangguan elektrolit.
B4 (Bladder)
Inspeksi. Terdapat edema pada ekstremitas dan wajah. Perubahan
warna urine ouputseperti warna urine berwarna kola dari proteinuri,
silinderi dan hematuri. Palpasi . Didapatkan adanya nyeri tekan ringan
pada area kostovetebra. Perkusi. Perkusi pada sudut kostovertebra
memebrikan stimulus nyeri ringan local disertai suatu penjalaran nyeri ke
pinggang dan perut.
B5 (Bowel)
Didapatkan adanya mual dan muntah, serta anoreksia sehingga
sering didapatkan penurunan intake nutrisi dari kebutuhan.
B6 (Bone)
Didapatkan adanya kelemahan fisik secara umum sekunder dari
edema tungkai atau edema wajah terutama pada periorbital , anemia dan
penurunan perfusi perifer dan hipertensi.
c. Pengkajian Diagnostik Laboratorium
Pada Pemeriksaan urinalis ditemukan adanya hematuria ( darah
dalam urine) mikroskopik atau makroskopik( gros). Urine tampak
26
berwarna kola akibat sel darah merah dan butiran atau sedimen protein(
lempengan sel darah merahmenunjukkan adanya cedera glomerular.
Proteinuria ,terutama albumin juga akibat meningkatnya permeabilitas
membrane glomerulus.
Kadar BUN dan kreatinin sering meningkat seiring dengan
menurunnya urine output. Pasien dapat anemik akibat hilangnya sel
darah merah ke dalam urine dan perubahan mekanisme hematopoetik
tubuh.
d. Pengkajian Diagnostik Medis
Tujuan terapi untuk mencegahnya terjadinya kerusakan ginjal
lebih lanjut dan menurunkan risiko komplikasi. Risiko komplikasi yang
mungkin ada, meliputi : Hipertensi ensefalopati, gagal jantung kongesif
dan edema pulmoner. Hipertensi ensefalopati dianggap sebagai kondisi
darurat medis dan terapi diarahkan untuk mengurangi tekanan darah
tanpa mengganggu fungsi renal.
Untuk mencapai tujuan terapi, maka penatalaksanaan tersebut,
meliputi hal-hal berikut :
- Pemberian antimikroba derivate pensilin untuk mengobati infeksi
streptokokus
- Diuretik dan antihipertensi untuk mengontrol hipertensi
- Terapi cairan. Jika pasien dirawat di rumah sakit, maka intake dan
ouput diukur secara cermat dan dicatat. Cairan diberikan untuk
mengatasi kehilangan cairan dan berat badan harian.
e. Diagnosis Keperawatan
1. Aktual atau resiko kelebihan volume cairan berhubungan dengan
penurunan volume urine, retensi cairan dan natrium, peninngkatan
aldosteron sekunder dari penurunan GFR.
2. Risiko tinggi kejang berhubungan dengan kerusakan hantaran saraf
sekunder dari abnormalitas elektrolit dan uremia.
27
ketidakseimbangan
nutrisi
kurang
dari
kebutuhan
28
f. Rencana Keperawatan
Aktual / risiko tinggi terhadap kelebihan volume cairan b.d penurunan voluma urine, retensi cairan dan natrium,
peningkatan aldosteron sekunder dari penurunan GFR
Tujuan : Dalam waktu 1 x 24 jam tidak terjadi kelebihan volume cairan sistemik
Kriteria evaluasi : Pasien tidak sesak napas, edema ekstremitas berkurang, pitting edema (-), produksi urine > 600 ml/hr
Intervensi
Rasional
Sebagai salah satu cara untuk mengetahui peningkatan jumlah cairan yang dapat
diketahui dengan meningkatkan beban kerja jantung yang dapat diketahui dari
meningkatnya tekanan darah
Peningkatan cairan dapat membebani fungsi ventrikel kanan yang dapat dipantau
melalui pemeriksaan tekanan vena jugularis
hipoksia/iskemia
Kolaborasi
Diit rendah protein untuk menurunkan insifisiensi renal dan retensi nirogen yang
akan meningkatkan BUN. Diit tinggi kalori untuk cadangan energi dan mengurangi
katabolisme protein
Diuretik bertujuan untuk menurunkan volume plasma dan menurunkan retensi cairan
sprinolakton, hidronolakton
Risiko tinggi kejang b.d kerusakan hantaran saraf sekunder dari abnormalitas elektrolit dan uremia
Tujuan : dalam waktu 3 x 24 jam perawatan risiko kejang berulang tidak terjadi
Kriteria hasil : pasien tidak mengalami kejang
Intervensi
Rasional
Penting artinya untuk mengamati hipokalsemia pada pasien berresiko. Perawat harus
Beberapa stimulus kejang pada tetanus adalah rangsang cahaya dan peningkatan suhu
tubuh
Alkohol dan kafein dalam dosis yang tinggi menghambat penyerapan kalsium dan
tinggi
30
Nyeri b.d respons inflamasi, kontraksi otot skunder adanya inflamasi glomerulus
Tujuan : dalam waktu 1 x 24 jam terdapat penurunan respons nyeri.
Kriteria Hasil :
-
Secara subjektif klien menyatakan penurunan respons nyeri, skala nyeri 0-1
Secara objektif didapatkan TTV dalam batas normal, wajah rileks, tidak terjadi penurunan perfusi perifer, urine > 600 ml/hari
Intervensi
Rasional
Menjadi parameter dasar untuk mengetahui sejauh mana intervensi yang diperlukan
dan sebagai evaluasi keberhasilan dari intervensi menagement nyari keperawatan
Nyeri berat dapat menyebabkan syok kardiogenik yang berdampak pada kematian
mendadak.
Istirahatkan klien
Meningkatkan asupan jumlah O2 yang ada dan memberikan perasaan nyaman pada
pasien.
pengunjung
31
Menejeman sentuhan pada saat nyeri berupa sentuhan dukungan psikologis yang
dapat membantu menurunkan nyeri.
Nyeri berat dapat menyebabkan syok kardiogenik yang berdampak pada kematian
mendadak.
sebab nyeri dan menghubungkan berapa lama mengembangkan kepatuhan pasien terhadap rencana teraupetik.
nyeri akan berlangsung
Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian
analgetik
Ganguan ADL (Activity Dialy Living) b.d edema ekstremitas, kelemahan fisik secara umum
Tujuan : dalam waktu 3 x 24 jam aktifitas sehari-hari klien terpenuhi dan meningkatnya kemampuan beraktifitas.
Kriteria evaluasi : klien menunjukkan kemampuan beraktifitas tanpa gejala gejala yang berat, terutama mobilisasi di tempat tidur
Intervensi
Rasional
kritis
Evaluasi tanda vital saat kemajuan aktifitas
terjadi
Berikan waktu istirahat di antara waktu
Untuk mendapatak cukup waktu resolusi bagi tubuh dan tidak terlalu memaksa
aktifitas
jantung
indikasi
Monitor adanya dispneu, sianosis,
34
berlebihan. Kardiomegali, irama galop, dan tanda gagal jantung kongesti lain dapat
terjadi.
B3 ( Brain ).
Klien mengalami konfusi dan memperlihatjan rentang perhatian yang
menyempit. Temuan pada retina mencakup hemoragi, adanya eksudat, arteriol
menyempit dan beriku - liku, serta papiedema. Neuropati perifer disertai hilangnya
refleks tendon dan perubahan neurosensori muncul setelah penyakit tejadi. Pasien
beresiko kejang sekunder gangguan elektrolit.
B4 ( Bladder ).
Biasanya akan didapatkan tanda dan gejala insufiensi renal dan gagal ginjal
kronik. Penurunan warna urine output seperti berwarna kola dari proteinuri,
silinderuri, dan hematuri.
B5 ( Bowel ).
Didapatkan adanya mual dan muntah, anoreksia dan diare sekunder dari bau
mulut amonia, peradangan mukosa mulut, dan ulkus saluran cerna sehingga sering
di dapatkan penurunan intake nutrisi dari kebutuhan.
B6 ( Bone ).
Klien tampak sangat kurus, pigmen kulit tampak kuning keabu - abuan dan
terjadi edema perifer ( dependen ) dan periorbital. Di dapatkan adanya nyeri
panggul, sakit kepala, kram otot, nyeri kaki, kulit gatal, dan ada / berulangnya
infeksi. Pruritus, demam ( sepsis, dehidrasi ), petekie, area ekimosis pada kulit, dan
keterbatasan gerak sendi. Didapatkan adanya kelemahan fisik secara umum
sekunder dari anemia dan penurunan perfusi perifer dari hipertensi.
c. Pengkajian Diagnostik
a. Urinalisis didapatkan proteinuria, endapan urinarius ( hasil sekresi protein oleh
tubulus yang rusak ), hematuria.
b. Hiperkalemia akibat penurunan ekskresi, masukan dari makanan dan medikasi,
asidosis, dan katabolisme.
c. Asidosis metabolik akibat sekresi asam oleh ginjal dan ketidakmampuan untuk
regenerasi bikarbonat.
d. Anemia akibat penurunan eritropoesis ( produksi sel darah merah)
36
37
e. Rencana Keperawatan
Intervensi yang dilakukan bertujuan menurunkan keluhan klien, menghindari penurunan dari fungsi ginjal, serta menurunkan
resiko komplikasi. Untuk intervensi pada masalah aktual / resiko kelebihan volume cairan, ketidakseimbangan nutrisi, gangguan ADL,
kecemasan, intervensi dapat disesuaikan pada pasien dengan GNA.
Aktual / resiko pola napas tidak efektif b.d hiperareminiemia, ensefalopati
Tujuan :
Dalam waktu 1 x 24 jam tidak terjadi perubahan pola napas.
Kriteria evaluasi :
Pasien tidak sesak napas, RR dalam batas normal 16-20x/menit, pemeriksaan gas arteri pH 7,40 +-0,005, HCO3 24+-2 mEq/L, dan
PaCO, 40 mmHg.
Intervensi
Rasional
Kaji faktor penyebab pola napas tidak efektif. Mengidentifikasi untuk mengatasi penyebab dasar dari alkalosis.
Monitor ketat TTV.
Perubahan TTV akan memberikan dampak pada resiko alkalosis yang bertambah
berat dan berindikasi pada intervensi untuk secepatnya melakukan koreksi alkalosis.
Posisi fowler akan meningkatkan ekspansi paru optimal. Istirahat akan mengurangi
kerja jantung, meningkatkan tenaga cadangan jantung, dan menurunkan tekanan
darah.
Manajemen lingkungan : lingkungan tenang Lingkungan tenang akan menurunkan stimulus nyeri eksternal dan pembatasan
dan batasi pengunjung.
Kolaborasi :
Pantau data laboratorium analisa gas darah sampai ke batas yang aman, dan menanggulangi sebab - sebab alkalosis yang
berkelanjutan.
mendasarinya. Dengan monitoring, perubahan dari analisis gas darah berguna untuk
menghindari komplikasi yang tidak diharapkan.
Aktual / resiko kelebihan volume cairan b.d penurunan volume urine, retensi cairan dan natrium, peningkatan aldosteron
sekunder dari penurunan GFR
Tujuan :
Dalam waktu 1 x 24 jam kelebihan volume cairan dapat teratasi.
Kriteria evaluasi :
Urine adekuat akan dipertahankan dengan diuretika ( >30 ml/jam ), tanda - tanda udem paru atau asites tidak ada.
Intervensi
Rasional
Sebagai salah satu cara untuk mengetahui peningkatan jumlah cairan yang dapat
diketahui dengan meningkatkan beban kerja jantung yang dapat diketahui dari
meningkatnya tekanan darah.
Peningkatan cairan dapat membebani fungsi ventrikel kanan yang dapat dipantau
melalui pemeriksaan tekanan vena jugularis.
39
Beri
posisi
yang
membantu
Dampat dari peningkatan volume cairan akan terjadi hemodelusi sehingga Hb turun,
Ht turun.
Aktual / resiko tinggi menurunnya curah jantung b.d penurunan kontraktilitas ventrikel kiri, perubahan frekuensi, irama,
konduksi elektrikal sekunder penurunan pH, hiperkalemi, dan uremia.
Tujuan :
Dalam waktu 3x 24 penurunan curah jantung dapat teratasi dan menunjukkan tanda vital dalam batas yang dapat diterima ( disritmia
terkontrok atau hilang dan bebas gejala gagal jantung ( misalnya parameter hemodinamik dalam batas normal, urine output adekuat ).
Kriteria evaluasi :
Pasien akan melaporkan penurunan episode dispnea, berperan dalam aktivitas mengurangi beban kerja jantung tekanan darah dalam
batas normal ( 120/80 mmHg ), Nadi 80 x/menit, tidak terjadi aritmia denyut jantung dan irama jantung teratur CRT kurang dari 3
detik.
Intervensi
Rasional
Kaji dan lapor tanda penurunan curah Kejadian mortalitas dan morbiditas sehubungan dengan MI yang lebih dari 24 jam
40
jantung.
pertama.
Pantau urine output, catat output dan Ginjal berespons untuk menurunkan curah jantung dengan menahan cairan dan
kepekatan/konsentrasi urine.
natrium, urine output biasanya menurun selama tiga hari karena perpindahan cairan
ke jaringan, tetapi dapat meningkat pada malam hari sehingga cairan berpindah
kembali ke sikulasi bila pasien tidur.
Istirahatkan
optimal.
klien
dengan
tirah
baring Oleh karena jantung tidak dapat di harapkan untuk benar - benar istirahat agar dapat
sembuh seperti luka pada patah tulang, maka hal terbaik yang dilakukan adalah
mengistirahatkan klien, dengan demikian, melaui inaktivitas, kebutuhan pemompaan
jantung di turunkan.
Tirah baring merupakan bagian yang penting dari glomerulonefritis kronis,
khususnya pada tahap akut dan sulit disembuhkan.
Istirahat akan mengurangi kerja jantung, meningkatkan tenaga cadangan jantung, dan
menurunkan tekanan darah. Lamanya berbaring juga merangsang diuresis karena
berbaring akan memperbaiki perfusi ginjal.
Istiratkan juga mengurangi kerja otot pernapasan dan penggunaan oksigen. Frekuensi
jantung menurun, yang akan memperpanjang periode diastole pemulihan sehingga
memperbaiki efisiensi kontraksi jantung.
41
Atur posisi tirah baring yang ideal. Kepala Pasien dengan glomerulonefritis kronis dengan gangguan fungsi jantung dapat
tempat tidur harus di naikkan 20 sampai 30 berbaring dengan posisi seperti dalam gambar,
cm ( 8 - 10 inci ) atau klien didudukkan di
kursi.
untuk mengurangi kesulitan bernapas dan mengurangi jumlah darah yang kembali ke
jantung, yang dapat mengurangi kongesti paru.
Pada posisi ini aliran balik vena ke jantung ( preload ) dan paru berkurang, kongesti
paru berkurang, dan penekanan hepar ke diafragma menjadi minimal. Lengan bawah
harus disokong dengan bantal untuk mengurangi kelelahan otot bahu akibat berat
lengan yang menarik secara terus - menerus. Klien yang dapat bernapas hanya pada
posisi tegak (ortopnu) dapat didudukkan disisi tempat tidur dengan kedua kaki
disokong kursi, kepala dan lengan di letakkan di meja tempat tidur dan vertebrata
lumbosakral di sokong dengan bantal. Bila terdapat kongesti paru, maka lebih baik
klien di dudukkan di kursi karena posisi ini dapat memperbaiki perpindahan cairan
dari paru. Edema yang biasanya terdapata di bagian bawah tubuh, berpindah ke
daerah sakral ketika klien di baringkan di tempat tidur.
Kaji perubahan pada sensorik, contoh letargi, Dapat menunjukkan tidak adekuatnya perfusi serebral sekunder terhadap penurunan
cemas, dan depresi.
Berikan
istirahat
lingkungan tenang.
curah jantung.
psikologi
dengan Stres emosi menghasilkan vasokostriksi, yang terkait dan meningkatkan TD dan
meningkatkan frekuensi / kerja jantung.
42
Berikan oksigen tambahan dengan kanula Meningkatkan sediaan oksigen untuk kebutuhan miokard dalam melawan efek
nasal / masker sesuai dengan indikasi.
hipoksia/iskemia.
Penurunan preload paling banyak di gunakan dalam mengobati pasien dengan curah
sprironolakton ( aldakton ).
jantung relatif normal di tambah dengan gejala kongesti diuretik blok reabsorpsi
diuretik sehingga memengaruhi reabsorpsi natrium dan air.
Pemberian cairan IV, pembatasan jumlah Oleh karena adanya peningkatan tekanan, ventrikel kiri pasien tidak dapat
total sesuai dengan indikasi, serta hindari menoleransi peningkatan volume cairan ( preload ) pasien juga mengeluarkan sedikit
cairan garam.
43
Aktual / resiko tinggi perubahan perfusi otak, defisit neurologik b.d akibat - akibat dehidrasi selular pada sel - sel otak,
respons sekunder dari peningkatan natrium di sirkulasi otak.
Tujuan :
Dalam waktu 2 x 24 jam perfusi jaringan otak dapat tercapai secara optimal.
Kriteria evaluasi :
Klien tidak gelisah, tidak ada keluhan nyeri kepala, mual, kejang, GCS 4, 5, 6, pulip isokor, refleks cahaya (+), tanda - tanda vital
normal ( nadi : 60-100 kali per menit, suhu 36-36,7 C, pernapasan 16-20 kali per menit ), serta klien tidak mengalami defisit
neurologis seperti : lemas, agitasi, iritabel, hiperefleksia, dan spastisitas dapat terjadi dan akhirnya timbul koma, kejang.
Intervesi
Rasional
Berikan penjelasan kepada keluarga klien Keluarga lebih berpartisipasi dalam proses penyembuhan.
tentang sebab - sebab peningkatan TIK dan
akibatnya.
Anjurkan klien tirah baring ( bed rest ) secara Perubahan pada tekanan intrakranial akan dapat menyebabkan resiko untuk
total dengan posisi tidur terlentang tanpa terjadinya herniasi otak.
bantal.
Monitor tanda - tanda status neurologis Dapat mengurangi kerusakan otak lebih lanjut.
dengan GCS.
Monitor tanda - tanda vital seperti TD, nadi, Pada keadaan normal, autoregulasi mempertahankan keadaan tekanan darah sistemik
44
suhu, respirasi, dan hati - hati pada hipertensi berubah secara fluktuasi.
sistolik.
Bantu pasien untuk membatasi muntah dan Aktivitas ini dapat meningkatkan tekanan intrakranial dan intraabdomen.
batuk.
Mengeluarkan napas sewaktu bergerak atau mengubah posisi dapat melindungi diri
perdarahan ulang.
Ciptakan lingkungan yang tenang dan batasi Rangsangan aktivitas yang meningkat dapat meningkatkan kenaikan TIK. Istirahat
pengunjung.
Kolaborasi :
Meminimkan fluktuasi pada beban vaskuler dan tekanan intrakranial. Restriksi cairan
Berikan cairan per infus dengan perhatian dapat menurunkan edema serebral.
ketat.
Monitor natrium serum.
Steroid
Aminefol
Antibiotika.
Aktual / resiko tinggi aritmia b.d gangguan konduksi elektrikal sekunder dari penurunan kalium sel.
Tujuan :
Dalam waktu 1 x 24 jam tidak terjadi aritmia.
Kriteria evaluasi :
-
Klien tidak gelisah, klien tidak mengeluh mual - mual dan muntah, GCS : 4,5,6, tidak terdapat papiledema.
Intervensi
Rasional
Kaji faktor penyebab dari situasi / keadaan Banyak faktor yang menyebabkan hipokalemia dan penanganan disesuaikan dengan
individu dan faktor - faktor yang menurunkan faktor penyebab.
kalium di ICF.
Manajemen pencegahan hipokalemia.
46
Hindari pemakaian digitalis pada menyebabkan hipokalemia dan hipokalemia meningkatkan efek digitalis. Baik efek
klien hipokalemia.
- Memonitoring tanda - tanda vita tiap 4 Adanya perubahan TTV secara cepat dapat menjadi pencentus aritmia pada klien
jam.
- Berikan diet sumber kalium.
hipokalemia.
Sumber - sumber kalium termasuk buah dan sari buah ( pisang, melon, buah sitrus ),
sayur - sayuran segar dan beku, daging segar, dan makanan olahan. Pisang, aprikot,
jeruk, alpukat, kacang - kacangan, kismis, kentang merupaan pengganti garam yang
mengandung 50 - 60 mEq kalium.
Upaya deteksi berecana untuk mencegah hipokalemi.
- Monitoring ketat kadar kalium darah dan Bila hipokalemia terjadi akibat penyalahgunaan laksatif atau diuretik, penyuluhan
EKG.
klien dapat membantuk menghilangkan masalah. Bagian dari riwayat kesehatan dan
- Monitoring klien yang berisiko terjadi pengkajian kesehatan harus di arahkan untuk mengidentifikasi masalah yang
hipokalemi.
Manajemen kolaborasi koreksi hipokalemi :
- Pemberian suplemen kalium oral seperti harus di kaji dan diberi peringatan tentang distensi abdomen, nyeri, atau perdarahan
obat Aspar K.
- Pemberian kalium lewat infus.
GI.
Kalium tidak pernah diberikan melalui suntikan IV atau IM; jika menyiapkan infus
IV, infus harus tercampur dengan baik untuk mencegah dosis bolus yang terjadi
47
perifer karena dapat terjadi nyeri vena dan sklerosis. Untuk kebutuhan rumatan rutin,
kalium diberikan pada kecepatan tidak lebih dari 10 mEq/jam, diencerkan
secukupnya.
Perawatan yang sangat teliti harus di terapkan saat memberikan kalium secara
intravena. Kalium harus diberikan hanya setelah adanya aliran urine yang adeuat.
Penurunan pada volume urine hingga kurang dari 20 ml/jam selama dua jam
berurutan adalah indikasi untuk menghentikan infus kalium sampai situasi tersebut
dievaluasi. Kalium terutama diekskresikan oleh ginjal, oleh karena itu, jika ada
oliguria,
pemberian kalium dapat menyebabkan konsentrasi kalium meningkat sampai ke
kadar yang berbahaya.
Pada kasus yang berat, pemberian kalium harus dalam larutan nondekstrosa, sebab
dekstrosa merangsang pelepasan insulin sehingga menyebabkan K+ berpindah masuk
ke dalam sel. Kecepatan infus tidak boleh melebihi 20 mEq K+ per jam untuk
menghindari terjadinya hiperkalemia.
Kehilangan kalium harus diperbaiki setiap hari; pemberian kalium sebanyak 40
sampai 80 mEq/L perhari.
Pada situasi kritis, larutan yang lebih pekat ( seperti 20 mEq/dl ) dapat dibrikan
48
melalui jalur sentral. Bahkan, pada hipokalemia yang sangat berat, di anjurkan bahwa
pemberian kalium tidak lebih dari 20 sampai 40 mEq/jam ( di encerkan secukupnya ).
Pada situasi semacam ini klien harus dipantau melalui elektrokardiogram ( EKG )
dan di observasi dengan ketat terhadap tanda - tanda lain, seperti perubahan pada
kekuatan otot.
Aktual / resiko tinggi defisit neurologis b.d gangguan transmisi sel - sel saraf sekunder dari hiperkalsemi.
Tujuan :
Dalam waktu 3 x 24 jam setelah diberikan intervensi, defisit neurologis tidak terjadi dan perfusi jaringan ke otak meningkat.
Kriteria evaluasi :
Klien tidak mengalami konfusi mental, kerusakan memori, bicara tidak jelas, letargi, perilaku psikotik akut, atau koma.
Intervensi
Rasional
Monitor tanda - tanda vital dan neurologik Perubahan - perubahan ini menandakan ada perubahan tekanan intrakranial dan
tiap 5 - 30 menit.
fleksi leher.
Bantu seluruh aktivitas dan gerakan - gerakan Untuk mencegah keregangan otot yang dapat menimbulkan peningkatan tekanan
klien. Beri petunjuk untuk BAB ( jangan intrakranial.
enema
).
Anjurkan
klien
untuk
prosedur
prosedur
perawatan Untuk mencegah eksitasi yang merangsang otak yang sudah iritasi dan dapat
relaksasi;
hindari
rangsangan
oleh ginjal, memobilisasi klien, dan membatasi masukan kalsium melalui diet.
Pemberian larutan natrium klorida 0,9% intravena secara temporer mengencerkan
kadar kalsium dan meningkatkan ekskresi kalsium urine dengan menghambat
reabsorpsi kalsium di tubular.
Furisemid ( Lasix ) sering di gunakan dalam kaitannya dengan pemberian salin;
50
Kalsitonin dapat digunakan bagi klien dengan penyakit jantung atau gagal ginjal yang
tidak dapat menoleransi beban natrium yang besar. Kalsitonin menguagi resorpsi
tulang, meningkatkan deposit kalsium dan fosfor dalam tulang, meningkatkan
- Pemberian kalsitonin.
ekskresi kalsium dan fosfor urine. Meskipun tersedia dalam beberapa bentuk,
kalsitonin yang di dapatkan dari salmon umumnya digunakan.
Pemeriksaan kulit untuk alergi terhadap kalsitonin salmon penting untuk dilakukan
sebelum kalsitonin diberikan. Reaksi alergi sistemik mungkin terjadi karena hormon
ini merupakan protein; resistensi terhadap medikasi ini dapat terbentuk kemudian
karena pembentukan antibodi. Kalsitonin diberikan melalui suntikan IM ketimbang
dengan subkutan karena klien dengan hiperkalsemia mempunyai perfusi jaringan
subkutan yang buruk.
Kortikosteroid mungkin digunaan untuk menurunkan pergantian tulang dan
reabsorbsi tubular bagi klien dengan sarkoidosis, mieloma, limfoma, dan leukima;
klien dengan tumor padat kurang responsif.
Garam fosfat inorganik dapat diberikan secara oral atau melaui selang nasogastrik (
dalam bentuk Phospho- Soda atau Neutra-Phos ), secara rektal ( sebagai enema
retensi ). Atau secara intravena. Terapi fosfat intravena dilakukan dengan sangat hati
- hari dalam mengobati hiperkalsemia karena hal ini dapat mnyebabkan klasifikasi
- Pembrian kortikosteroid.
f. Evaluasi
Hasil yang diharapkan setelah mendapatkan intervensi keperawatan adalah sebagai berikut :
1. Pola napas kembali efektif
2. Kelebihan volume cairan dapat teratasi
3. Membaiknya curah jantung
4. Tidak mengalami defisit neurologis
5. Tidak didapatkan gejala aritmia
6. Tidak mengalami kejang
7. Perbaikan fungsi neurologis
8. Peningkatan kemampuan aktivitas sehari-hari
9. Penurunan kecemasan
52
55
e. Rencana Keperawatan
Intervensi yang dilakukan bertujuan menurunkan klien, menghindari penurunan dari fungsi ginjal, serta menurunkan resiko
komplikasi.Untuk intervensi pada masalah actual/resiko kelebihan volume cairan, ketidakseimbangan nutrisi, gangguan ADL, dan
kecemasan, intervemsi dapat disesuaikan pada pasien dengan GNA. Intervensi pada masalah actual/resiko kejang, dan actual/resiko
tinggi menurunnya curah jantung, intervensi dapat disesuaikan pada pasien dengan GNK.
Aktual/resiko tinggi jalan napas tidak efektif b.d akumulasi sekret dan darah di jalan napas
Tujuan : dalam waktu 2x24 jam setelah diberikan intevensi kebersihan jalan napas kembali efektif
Kriteria Evaluasi :
- Klien mampu melakukan batuk efektif
- Tidak mengalami sufukasi
- Pernapasan klien normal (16-20x/mnt) tanpa ada penggunaan otot bantu napas. Bunyi napas normal, Rh-/- dan pergerakan
pernapasan normal.
Intervensi
Rasional
Kaji fungsi pernapasan (bunyi napas, Penurunan bunyi napas menunjukkan ateleksia, ronkhi menunjukkan akumulasi sekret dan
kecepatan, irama, kedalaman, dan ketidakefektifan pengeluaran sekret yang selanjutnya dapat menimbulkan penggunaan obat
penggunaan otot sensori )
Kaji
sekresi,
kemampuan
catat
mengeluarkan Pengeluaran sulit bila sekret sangat kental (efek infeksi dan hidrasi yang tidak adekuat).
karakter,
volume Spuntum berdarah bila kerusakan (kavitas) paru atau luka bronchial dan memerlukan
Adanya batuk darah menimbulkan kecemasan pada diri klien Karena batuk darah sering
dianggap suatu tanda yang berat dari penyakitnya. Kondisi seperti ini seharusnya tidak
terjadi apabila perawat memberikan pelayanan keperawatan yang baik pada klien dngan
member penjelasan tentang kondisi apa yang sedang terjadi. Adanya hubungan terapeutik
dengan menjelaskan kepada pasien mengenai apa yang akan terjadi pada dirinya dapat
mengurangi kadar tingkat kecemasannya.
Berikan posisi semi/fowler tinggi dan Posisi fowler memaksimalkan ekspansi paru dan menurunkan upaya bernapas. Ventilasi
bantu pasie latihan napas dala, serta maksimal membuka area atelektasis dan meningkatkan gerakan sekret kedalam jalan napas
batuk yang efektif
Pertahankan asupan cairan sedikitnya Hidrasi yang adekuat membantu mengencerkan sekret dan mengefektifkan pembersihan
2.500ml/hari
kecuali
diindikasikan
Bersihkan sekret dari mulut dan Mencegah obstruksi dan aspirasi. Pengisapan diperlukan bila klien tidak mampu
trakea,bila perlu lakuka pengisapan mengeluarkan sekret
(suction)
Kolaborasi
kortikosteroid
pemberian
obat Kortikosteroid berguna pada keterlibatan luas dengan hipoksemia dan bila reaksi inflamasi
mengancam kehidupan.
57
Nyeri kolik b.d aktivitas peristaltik otot polos sistem kalises, peregangan dari terminalsaraf sekunder dari adanya batu pada
ginjal, ureter
Tujuan : dalam waktu 1x24 jam nyeri berkurang/hilang atau teradaptasi
Kriteria Evaluasi :
- Secara subjektif melaporkan nyeri berkurang atau dapat diadaptasi, skala 0-1 (0-4)
- Dapat mengietifikasi aktivitass yang meningkatkan atau menurunkan nyeri
- Ekspresi klien rileks
Intervensi
Rasional
dengan
menggunakan
relaksassi
dan
nonfarmakologi
lainnya
telah
manajemen
nyeri
keperawatan :
- Istirahatkan klien
Istirahat akan menurunkan kbutuhan oksigen jaringan perifer sehingga akan meningkatkan
suplai darah ke jaringan
- Manajemen lingkungan tenang dan Lingkungan tenang akan menurunkan stimulasi nyeri eksternal dan menganjurkan klien
batai pengunjung
- Ajarkan teknik distraksi pada saat Distraksi (pengalihan perhatian) dapat menurunkan stimulus internal dengan mekanisme
nyeri
peningkatan produksi endorphin dan enkefalin yang data memblok reseptor nyeri untuk
tidak dikirimkan ke korteks serebri sehingga menurunkan persepsi nyeri
- Tingkatkan pengetahuan tentang Pengetahuan yang akan dirasakan membantu mengurangi nyerinya dan dapat membantu
sebab-sebab
nyeri,
fungsi dengan keterkaitan berbagai peran seperti pemberi perawatan, membuat keputusan
klinik, pelindung,manejer kasus, rehabilitator, komunikator dan pendidik (Potter dan Perry,
2005 hal: 286)
Perawat sebagai Pemberi Perawatan atau asuhan keperawatan, perawat membantu
klien mendapatkan kembali kesehatannya melalui proses penyembuhan. Proses
penyembuhan lebih dari sekedar sembuh dari penyakit tertentu . Perawat memfokuskan
asuhan pada kebutuhan kesehatan klien secara holistik, meliputi upaya mengembalikan
kesehatan emosi, spiritual dan sosial. Pemberi asuhan memberikan bantuan bagi klien dan
keluarga dalam menetapkan tujuan dan mencapai tujuan tersebut dengan menggunakan
energi dan waktu yang minimal (Potter dan Perry, 2005 hal:286).
Perawat sebagai Pembuat Keputusan Klinis untuk memberikan perawatan yang
efektif, perawat menggunakan keahliannya berpikir kritis melalui proses keperawatan.
Sebelum mengambil tindakan keperawatan, baik dalam pengkajian kondisi pasien,
pemberian perawatan dan mengevaluasi hasil, perawat menyusun rencana tindakan dengan
menetapkan pendekatan terbaik bagi tiap klien. Perawat membuat keputusan itu sendiri
atau berkolaborasi dengan klien, keluarga dan berkonsultasi dengan profesi kesehatan yang
lainnya (Potter dan Perry, 2005 hal:286).
Perawat sebagai Manejer Kasus, dimana perawat berperan mengkoordinasi aktivitas
anggota tim kesehatan. Serta mengatur waktu kerja dan sumber yang tersedia di tempat
kerjanya. Sebagai manejer, perawat mengkoordinasikan dan mendelegasikan tanggung
jawab asuhan dan juga mengawasi tenaga kesehatan lainnya (Potter dan Perry, 2005 hal:
287).
Perawat sebagai Rehabilitator, yang merupakan proses dimana individu kembali ke
tingkat fungsi maksimal setelah sakit, kecelakaan, atau kejadian yang menimbulkan
ketidakberdayaan klien. Mengembalikan peran dan fungsi klien terhadap lingkungannya
dengan memberi motivasi agar klien dapat beradaptasi dengan keterbatasannya (Potter dan
Perry, 2005 hal:287).
Perawat sebagai Komunikator, dimana perawat merupakan pusat dari seluruh peran
perawat yang lain. Keperawatan mencakup komunikasi dengan klien, keluarga klien, antara
sesama perawat dan profesi kesehatan lainnya, sumber informasi dan komunitas. Kualitas
komunikasi merupakan faktor yang penting dalam memenuhi kebutuhan individu keluarga
dan komunitas (Potter dan Perry, 2005 hal:287).
61
berhubungan dengan aksi yang paling tepat untuk dilakukan untuk memecahkan masalah
(Hitchcock, 2003)
Perant sebagai Konselor, dimsns dasarnya adalah sebuah proses menolong klien
untuk memilih solusi yang tepat tuk masalah mereka. Klien pada umumna mencari
konseling ketika mereka tidak mampu untuk membuat keputusan mengenai kesehatan atau
masalah pribadi. Konseling melibatkan eksplorasi perasaan dan perilaku pada bagian klien
dan langsung kepada menolong pemahaman klien mengenai pemahaman dirinya sendiri.
Perawat kesehatan komunitas memiliki peran penting sebagai konselor (Hitchcock, 2003)
.....
3.3 Masalah Penelitian : Glomerulonefritis Akut Pasca Streptokokus pada Anak
Patogenesis dan Gambaran Histologis
Patogenesis GNAPS belum diketahui dengan pasti. Negara berkembang, glomerulon
akut pasca infeksi str/eptokokus (GNAPS) masih sering dijumpai dan merupakan penyebab
lesi ginjal non supuratif terbanyak pada anak. Sampai saat ini belum diketahui faktor-faktor
yang menyebabkan penyakit ini menjadi berat, karena tidak ada perbedaan klinis dan
laboratoris antara pasien yang jatuh ke dalam gagal ginjal akut (GGA) dan yang sembuh
sempurna. Manifestasi klinis yang bervariasi menyebabkan insiden penyakit ini secara
statistik tidak dapat ditentukan. Diperkirakan insiden berkisar 0-28% pasca infeksi
streptokokus.4,5 Pada anak GNAPS paling sering disebabkan oleh Streptococcus beta
hemolyticus group A tipe nefritogenik. Tipe antigen protein M berkaitan erat dengan tipe
nefritogenik. Serotipe streptokokus beta hemolitik yang paling sering dihubungkan dengan
glomerulonefritis akut (GNA) yang didahului faringitis adalah tipe 12, tetapi kadangkadang juga tipe 1,4 ,6 dan 25. Tipe 49 paling sering dijumpai pada glomerulonefritis yang
didahului infeksi kulit / pioderma, walaupun galur 53,55,56,57 dan 58 dapat berimplikasi.
Protein streptokokus galur nefritogenik yang merupakan antigen antara lain endostreptosin,
antigen presorbing (PA-Ag), nephritic strain-associated protein (NSAP) yang dikenal
sebagai streptokinase dan nephritic plasmin binding protein (NPBP). Glomerulonefritis
akut pasca infeksi streptokokus dapat terjadi secara epidemik atau sporadik, paling sering
pada anak usia sekolah yang lebih muda, antara 5-8 tahun. Perbandingan anak laki-laki dan
anak perempuan 2 : 1.3 Di Indonesia, penelitian multisenter selama 12 bulan pada tahun
1988 melaporkan 170 orang pasien yang dirawat di rumah sakit pendidikan, terbanyak di
Surabaya (26,5%) diikuti oleh Jakarta (24,7%), Bandung (17,6%), dan Palembang (8,2%).
63
Perbandingan pasien laki-laki dan perempuan 1,3:1 dan terbanyak menyerang anak usia 68 tahun (40,6%).
Glomerulonefritis merupakan penyakit ginjal dengan suatu inflamasi dan proliferasi
sel glomerulus. Peradangan tersebut terutama disebabkan mekanisme imunologis yang
menimbulkan kelainan patologis glomerulus dengan mekanisme yang masih belum jelas.
Pada anak kebanyakan kasus glomerulonefritis akut adalah pasca infeksi, paling sering
infeksi streptokokus beta hemolitikus grup A. Dari perkembangan teknik biopsi ginjal perkutan, pemeriksaan dengan mikroskop elektron dan imunofluoresen serta pemeriksaan
serologis, glomerulonefritis akut pasca streptokokus telah diketahui sebagai salah satu
contoh dari penyakit kompleks imun. Penyakit ini merupakan contoh klasik sindroma
nefritik akut dengan awitan gross hematuria, edema, hipertensi dan insufisiensi ginjal akut.
Walaupun penyakit ini dapat sembuh sendiri dengan kesembuhan yang sempurna, pada
sebagian kecil kasus dapat terjadi gagal ginjal akut sehingga memerlukan pemantauan.
Faktor genetik diduga berperan dalam terjadinya penyakit dengan ditemukannya
HLA-D dan HLADR. Periode laten antara infeksi streptokokus dengan kelainan
glomerulus menunjukkan proses imunologis memegang peran penting dalam mekanisme
penyakit. Diduga respon yang berlebihan dari sistim imun pejamu pada stimulus antigen
dengan produksi antibodi yang berlebihan menyebabkan terbentuknya kompleks Ag-Ab
yang nantinya melintas pada
membran basal glomerulus. Disini terjadi aktivasi sistim komplemen yang melepas
substansi yang akan menarik neutrofil. Enzim lisosom yang dilepas netrofil merupakan
faktor responsif untuk merusak glomerulus. Hipotesis lain adalah neuraminidase yang
dihasilkan oleh streptokokus akan mengubah IgG endogen menjadi autoantigen.
Terbentuknya autoantibody terhadap IgG yang telah berubah tersebut, mengakibatkan
pembentukan komplek imun yang bersirkulasi, kemudian mengendap dalam ginjal. Pada
kasus ringan, pemeriksaan dengan mikroskop cahaya menunjukkan kelainan minimal.
Biasanya terjadi proliferasi ringan sampai sedang dari sel mesangial dan matriks. Pada
kasus berat terjadi proliferasi sel mesangial, matriks dan sel endotel yang difus disertai
infiltrasi sel polimorfonuklear dan monosit, serta penyumbatan lumen kapiler. Istilah
glomerulonefritis proliferatif eksudatif endokapiler difus digunakan untuk menggambarkan
kelainanmorfologi penyakit ini. Bentuk bulan sabit dan inflamasi interstisial dapat dijumpai
mulai dari yang halus sampai kasar yang tipikal di dalam mesangium dan di sepanjang
dinding kapiler. Endapan immunoglobulin dalam kapiler glomerulus didominasi oleh Ig G
64
dan sebagian kecil Ig M atau Ig A yang dapat dilihat dengan mikroskop imunofluoresen.
Mikroskop electron menunjukkan deposit padat elektron atau humps terletak di daerah
subepitelial yang khas dan akan beragregasi menjadi Ag-Ab kompleks.
Gambaran Klinis
Lebih dari 50 % kasus GNAPS adalah asimtomatik. Kasus klasik atau tipikal
diawali dengan infeksi saluran napas atas dengan nyeri tenggorok dua minggu mendahului
timbulnya sembab. Periode laten rata-rata10 atau 21 hari setelah infeksi tenggorok atau
kulit.dapat timbul berupa gross hematuria maupun mikroskopik.17,18 Gross hematuria
terjadi pada 30-50 % pasien yang dirawat.2 Variasi lain yang tidak spesifik bisa dijumpai
seperti demam, malaise, nyeri, nafsu makan menurun, nyeri kepala, atau lesu. Pada
pemeriksaan fisis dijumpai hipertensi pada hampir semua pasien GNAPS, biasanya ringan
atau sedang. Hipertensi pada GNAPS dapat mendadak tinggi selama 3-5 hari. Setelah itu
tekanan darah menurun perlahan-lahan dalam waktu 1-2 minggu. Edema bisa berupa wajah
sembab, edem pretibial atau berupa gambaran sindrom nefrotik.10,11 Asites dijumpai pada
sekitar 35% pasien dengan edema. Bendungan sirkulasi secara klinis bisa nyata dengan
takipne dan dispne. Gejala gejala tersebut dapat disertai oliguria sampai anuria karena
penurunan filtrasi glomerulus (LFG).
Laboratorium
Pemeriksaan urin sangat penting untuk menegakkan diagnosis nefritis akut. Volume
urin sering berkurang dengan warna gelap atau kecoklatan seperti air cucian daging.
Hematuria makroskopis maupun mikroskopis dijumpai pada hampir semua pasien. Eritrosit
khas terdapat pada 60-85% kasus, menunjukkan adanya perdarahan glomerulus.
Proteinuria biasanya sebanding dengan derajat hematuria dan ekskresi protein umumnya
tidak melebihi 2gr/m2 luas permukaan tubuh perhari. Sekitar 2-5% anak disertai
pro//teinuria masif seperti gambaran nefrotik. Umumnya LFG berkurang, disertai
penurunan kapasitas ekskresi air dan garam, menyebabkan ekspansi volume cairan
ekstraselular. Menurunnya LFG akibat tertutupnya permukaan glomerulus dengan deposit
kompleks imun.2,5 Sebagian besar anak yang dirawat dengan GNA menunjukkan
peningkatan urea nitrogen darah dan konsentrasi serum kreatinin. Anemia sebanding
dengan derajat ekspansi volume cairan esktraselular dan membaik bila edema menghilang.
Beberapa peneliti melaporkan adanya pemendekan masa hidup eritrosit. Kadar albumin
dan protein serum sedikit menurun karena proses dilusi dan berbanding terbalik dengan
65
jumlah deposit imun kompleks pada mesangial glomerulus. Bukti yang mendahului adanya
infeksi streptokokus pada anak dengan GNA harus diperhatikan termasuk riwayatnya.
Pemeriksaan bakteriologis apus tenggorok atau kulit penting untuk isolasi dan identifikasi
streptokokus. Bila biakan tidak mendukung, dilakukan uji serologi respon imun terhadap
antigen streptokokus. Peningkatan titer antibodi terhadap streptolisin-O (ASTO) terjadi 1014 hari setelah infeksi streptokokus. Kenaikan titer ASTO terdapat pada 75-80% pasien
yang tidak mendapat antibiotik. Titer ASTO pasca infeksi streptokokus pada kulit jarang
meningkat dan hanya terjadi pada 50% kasus. Titer antibodi lain seperti antihialuronidase
(Ahase) dan anti deoksiribonuklease B (DNase B) umumnya meningkat. Pengukuran titer
antibodi yang terbaik pada keadaan ini adalah terhadap antigen DNase B yang meningkat
pada 90-95% kasus. Pemeriksaan gabungan titer ASTO, Ahase dan ADNase B dapat
mendeteksi infeksi streptokokus sebelumnya pada hampir 100% kasus. Penurunan
komplemen C3 dijumpai pada 80-90% kasus dalam 2 minggu pertama, sedang kadar
properdin menurun pada 50% kasus. Penurunan C3 sangat nyata, dengan kadar sekitar 2040 mg/dl (normal 80-170 mg/dl).4,10 Kadar IgG sering meningkat lebih dari 1600 mg/100
ml pada hampir 93% pasien.11 Pada awal penyakit kebanyakan pasien mempunyai
krioglobulin dalam sirkulasi yang mengandung IgG atau IgG bersama-sama IgM atau C3.
Hampir sepertiga pasien menunjukkan pembendungan paru. Penelitian Albar dkk., di
Ujung Pandang pada tahun 1980-1990 pada 176 kasus mendapatkan gambaran radiologis
berupa kardiomegali 84,1%, bendungan sirkulasi paru 68,2 % dan edema paru 48,9% .
Gambaran tersebut lebih sering terjadi pada pasien dengan manifestasi klinis disertai
edema yang berat.20 Foto abdomen menunjukkan kekaburan yang diduga sebagai asites.
Diagnosis
Kecurigaan akan adanya GNAPS dicurigai bila dijumpai gejala klinis berupa
hematuria nyata yang timbul mendadak, sembab dan gagal ginjal akut setelah infeksi
streptokokus.Tanda glomerulonefritis yang khas pada urinalisis, bukti adanya infeksi
streptokokus secara laboratoris dan rendahnya kadar komplemen C3 mendukung bukti
untuk menegakkan diagnosis. Tetapi beberapa keadaan dapat menyerupai GNAPS seperti:
- Glomerulonefritis kronik dengan eksaserbasi akut
- Purpura Henoch-Schoenlein yang mengenai ginjal
- Hematuria idiopatik
- Nefritis herediter (sindrom Alport )
- Lupus eritematosus sistemik
66
Tata laksana
Penanganan pasien adalah suportif dan simtomatik. Perawatan dibutuhkan apabila
dijumpai penurunan fungsi ginjal sedang sampai berat ( klirens kreatinin < 60 ml/1
menit/1,73 m2), BUN > 50 mg, anak dengan tanda dan gejala uremia, muntah, letargi,
hipertensi, ensefalopati, anuria atau oliguria menetap.12,13 Pasien hipertensi dapat diberi
diuretik atau anti hipertensi. Bila hipertensi ringan (tekanan darah sistolik 130 mmHg dan
diastolik 90 mmHg) umumnya diobservasi tanpa diberi terapi.5,12 Hipertensi sedang
(tekanan darah sistolik > 140 150 mmHg dan diastolik > 100 mmHg) diobati dengan
pemberian hidralazin oral atau intramuskular (IM), nifedipin oral atau sublingual. Dalam
prakteknya lebih baik merawat inap pasien hipertensi 1-2 hari daripada memberi anti
hipertensi yang lama. Pada hipertensi berat diberikan hidralazin 0,15-0,30 mg/kbBB
intravena, dapat diulang setiap 2-4 jam atau reserpin 0,03-0,10 mg/kgBB (1-3 mg/m2) iv,
atau natrium nitroprussid 1-8 m/kgBB/menit. Pada krisis hipertensi (sistolik >180 mmHg
atau diastolik > 120 mmHg) diberi diazoxid 2-5 mg/kgBB iv secara cepat bersama
furosemid 2 mg/kgBB iv. Plihan lain, klonidin drip 0,002 mg/kgBB/kali, diulang setiap 4-6
jam atau diberi nifedipin sublingual 0,25-0,5 mg/kgBb dan dapat diulang setiap 6 jam bila
diperlukan. Retensi cairan ditangani dengan pembatasan cairan dan natrium. Asupan cairan
sebanding dengan invensible water loss (400-500 ml/m2 luas permukaan tubuh/hari )
ditambah setengah atau kurang dari urin yang keluar. Bila berat badan tidak berkurang
diberi diuretik seperti furosemid 2mg/ kgBB, 1-2 kali/hari. Pemakaian antibiotik tidak
mempengaruhi perjalanan penyakit. Namun, pasien dengan biakan positif harus diberikan
antibiotic untuk eradikasi organisme dan mencegah penyebaran ke individu lain. Diberikan
antimikroba berupa injeksi benzathine penisilin 50.000 U/kg BB IM atau eritromisin oral
40 mg/kgBB/hari selama 10 hari bila pasien alergi penisilin. Pembatasan bahan makanan
tergantung beratnya edem, gagal ginjal, dan hipertensi. Protein tidak perlu dibatasi bila
kadar urea kurang dari 75 mg/dL atau 100 mg/dL. Bila terjadi azotemia asupan protein
dibatasi 0,5 g/kgBB/hari. Pada edema berat dan bendungan sirkulasi dapat diberikan NaCl
300 mg/hari sedangkan bila edema minimal dan hipertensi ringan diberikan 1-2 g/m2/ hari.
Bila disertai oliguria, maka pemberian kalium harus dibatasi.2,12 Anuria dan oliguria yang
menetap, terjadi pada 5-10 % anak. 4,6 Penanganannya sama dengan GGA dengan
berbagai penyebab dan jarang menimbulkan kematian.
67
Biopsi ginjal
Pada GNAPS biopsi ginjal tidak diindikasikan. Biopsi dipertimbangkan bila :
1. Gangguan fungsi ginjal berat khususnya bila etiologi tidak jelas (berkembang menjadi
gagal ginjal atau sindrom nefrotik).
2. Tidak ada bukti infeksi streptokokus
3. Tidak terdapat penurunan kadar komplemen
4. Perbaikan yang lama dengan hipertensi yang menetap, azotemia, gross hematuria
setelah 3 minggu, kadar C3 yang rendah setelah 6 minggu, proteinuria yang menetap
setelah 6 bulan dan hematuria yang menetap setelah 12 bulan.
Perjalanan Penyakit / Pemantauan
Fase awal glomerulonefritis akut berlangsung beberapa hari sampai 2 minggu.
Setelah itu anak akan merasa lebih baik, diuresis lancar, edem dan hipertensi hilang, LFG
kembali normal. Penyakit ini dapat sembuh sendiri, jarang berkembang menjadi kronik.
Kronisitas dihubungkan dengan awal penyakit yang berat dan kelainan morfologis berupa
hiperselularitas lobulus. Pasien sebaiknya kontrol tiap 4-6 minggu dalam 6 bulan pertama
setelah awitan nefritis. Pengukuran tekanan darah, pemeriksaan eritrosit dan protein urin
selama 1 tahun lebih bermanfaat untuk menilai perbaikan.1,5 Kadar C3 akan kembali
normal pada 95% pasien setelah 8-12 minggu, edema membaik dalam 5-10 hari, tekanan
darah kembali normal setelah 2-3 minggu, walaupun dapat tetap tinggi sampai 6 minggu.
Gross hematuria biasanya menghilang dalam 1-3 minggu, hematuria mikroskopik
menghilang setelah 6 bulan, namun dapat bertahan sampai 1 tahun. Proteinuria menghilang
2-3 bulan pertama atau setelah 6 bulan. Pearlman dkk, di Minnesota menemukan 17% dari
61 pasien dengan urinalisis rutin abnormal selama 10 tahun pemantauan. Ketidaknormalan
tersebut meliputi hematuria atau proteinuria mikroskopik sendiri-sendiri atau bersamasama. Dari 16 spesimen biopsi ginjal tidak satupun yang menunjukkan karakteristik
glomerulonefritis kronik. Penelitian Potter dkk, di Trinidad, menjumpai 1,8% pasien
dengan urin abnormal pada 4 tahun pertama tetapi hilang 2 tahun kemudian dan 1,4%
pasien dengan hipertensi. Hanya sedikit urin dan tekanan darah yang abnormal
berhubungan dengan kronisitas GNAPS. Nissenson dkk, mendapatkan kesimpulan yang
sama selama 7-12 tahun penelitian di Trinidad. Hoy dkk, menemukan mikroalbuminuria 4
kali lebih besar pada pasien dengan riwayat GNAPS, sedangkan Potter dkk di Trinidad,
menemukan 3,5% dari 354 pasien GNAPS mempunyai urin abnormal yang menetap dalam
68
12 -17 tahun pemantauan. Penelitian White dkk, menemukan albuminuria yang nyata dan
hematuria masing-masing pada 13% dan 21% dari 63 pasien selama 6-18 tahun
pemantauan. Kemungkinan nefritis kronik harus dipertimbangkan bila dijumpai hematuria
bersama-sama proteinuria yang bertahan setelah 12 bulan.
Prognosis
Berbagai faktor memegang peran dalam menetapkan prognosis GNAPS antara lain
umur saat serangan, derajat berat penyakit, galur streptokukus tertentu, pola serangan
sporadik atau epidemik, tingkat penurunan fungsi ginjal dan gambaran histologis
glomerulus. Anak kecil mempunyai prognosis lebih baik disbanding anak yang lebih besar
atau orang dewasa oleh karena GNAPS pada dewasa sering disertai lesi nekrotik
glomerulus. Perbaikan klinis yang sempurna dan urin yang normal menunjukkan prognosis
yang baik. Insiden gangguan fungsi ginjal berkisar 1-30%. Kemungkinan GNAPS menjadi
kronik 5-10 %; sekitar 0,5-2% kasus menunjukkan penurunan fungsi ginjal cepat dan
progresif dan dalam beberapa minggu atau bulan jatuh ke fase gagal ginjal terminal.18
Angka kematian pada GNAPS bervariasi antara 0-7 %.2,21 Melihat GNAPS masih sering
dijumpai pada anak, maka penyakit ini harus dicegah karena berpotensi menyebabkan
kerusakan ginjal. Pencegahan dapat berupa perbaikan ekonomi dan lingkungan tempat
tinggal, mengontrol dan mengobati infeksi kulit.26 Pencegahan GNAPS berkontribusi
menurunkan insiden penyakit ginjal dan gagal ginjal di kemudian hari.
Ringkasan
Glomerulonefritis akut pasca infeksi streptokokus ditandai oleh adanya kelainan
klinis akibat proliferasi dan inflamasi glomerulus yang berhubungan dengan infeksi
Streptococcus beta hemolyticus grup A tipe nefritogenik. Adanya periode laten antara
infeksi dan kelainan-kelainan glomerulus menunjukkan proses imunologis memegang
peran penting dalam mekanisme terjadinya penyakit. Diagnosis ditegakkan berdasarkan
anamnesis, gejala klinis, pemeriksaan fisis, bakteriologis, serologis, imunologis, dan
histopatologis. Pengobatan hanya bersifat suportif dan simtomatik. Prognosis umumnya
baik, dapat sembuh sempurna pada lebih dari 90% kasus. Observasi jangka panjang
diperlukan untuk membuktikan kemungkinan penyakit menjadi kronik.
69
Oleh :
Sondang Maniur Lumbanbatu
Sari Pediatri, Vol. 5, No. 2, September 2003: 58 - 63
Alamat korespondensi:
Dr. Sondang Maniur Lumbanbatu
Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK USU/RS HAM
Jalan Bunga Lau No. 17, Medan.
Telepon: 061-8361721, Fax.: 061-8361721.
Daftar Pustaka
a. Travis LB, Kalia. Acute nephritic syndrome. Dalam: Poslethwaite RJ, penyunting.
Clinical pediatric nephrology. Edisi ke-2. Oxford: Butterworth-Heinemann, 1994. h.
201-9.
b. Sekarwana HN. Rekomendasi mutahir tatalaksana glomerulonefritis akut pasca
streptokokus. Dalam: Aditiawati, Bahrun D, Herman E, Prambudi R, penyunting. Buku
naskah lengkap simposium nefrologi VIII dan simposium kardiologi V. Ikatan Dokter
Anak Indonesia Palembang, 2001. h. 141-62.
c. Noer MS. Glomerulonefritis. Dalam: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO,
penyunting. Buku ajar nefrologi anak. Edisi ke-2. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2002.
h. 345-53.
d. Gauthier B,Edelmann CM, Barnett HL. Clinical acute glomerulonephritis. Dalam:
Nephrology and urology for the pediatrician. Edisi ke-1. Boston: Little Brown & Co,
1982. h. 109-22.
e. Travis LB. Acute post infections glomerulonephritis. Dalam: Rudolph AM, Hoffman
JIE, Axelrod S, penyunting. Pediatrics. Edisi ke-18. Connecticut: Appleton & Lange,
1987. h. 1169-71.
f. Langman CB. Hematuria. Dalam: Stockman III JA, penyunting. Difficult diagnosis in
pediatrics.Philadelphia: W.B.Saunders, 1990. h. 315-22.
g. Ramayati R dan Rusdidjas. Penanggulangan glomerulonefritis kronik pada anak.
Disampaikan pada: Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak X. Bukit Tinggi: Pancaran
Ilmu, 1996. h. 105-19.
h. Ogle JW. Infections: bacterial and spirochaetal. Dalam: Hay WW, Grothuis JR,
Hayward AR, Levin MJ, penyunting. Current pediatric diagnosis & treatment.
70
AL.Non
suppurative
streptococcal
sequelae:
rheumatic
fever
and
LV,
Herdman
RC,
Kleinman
H,
Vernier
RL.
Post
streptococal
w. Potter EV, Abidh S, Sharret AR dkk.Clinical healing two to six years after
poststreptoccocal glomerulonephritis in Trinidad. New Engl J Med l978; 298:767-72.
x. Nissenson AR, Mayon-White V, Potter EV, Earle D. Continued absence of clinical
renal disease seven to 12 years after poststreptococcal acute glomerulonephritis in
Trinidad. Am J Med 1979; 67:255-62. 63 Sari Pediatri, Vol. 5, No. 2, September 2003
y. Hoy WE, Mathews JD, McCredie DA dkk.The multidimensional nature of renal
disease: rate and associations of albuminuria in an aboriginal community. Kidney Int
1998; 54:1296-304.
z. Potter EV, Lipschultz SA, Abidh S, King TP, Earle DP. Twelve to seventeen-year
follow up of patients with poststreptococal acute glomerulonephritis in trinidad. N Engl
J Med 1982; 307:725-8.
g. White AV, Hoy AW, McCredie DA. Chilhood poststreptococal glomerulonephritis as a
risk factor for chronic renal disease in later life. MJA 2001; 174:492-631.
72
4.1 Kesimpulan
Sekitar 1 juta nefron pada setiap ginjal di mana apabila dirangkai akan mencapai
panjang 145 km. Ginjal tidak dapat membentuk nefron baru, oleh karena itu pada keadaan
trauma ginjal atau proses penuaan akan terjadi penurunan jumlah nefron secara bertahap di
mana jumlah nefron yang berfungsi akan menurun sekitar 10% setiap 10 tahun.
Bila glomerulus terjadi peradangan secara mendadak disebut Glomerulonefritis
Akut. Dimana terjadi pengendapan kompleks antigen antibody di kapiler-kapiler
glomerulus setelah infeksi oleh streptokokus.
Sedangkan peradangan glomerulus berkepanjangan disebut Glomerulonefritis
kronis, akibat suatu kondisi peradangan yang lama dari sel-sel glomerulus. Dapat terjadi
akibat glomerulonefritis akut yang tidak membaik atau timbul secara spontan. Biasanya
sering timbul beberapa tahun setelah cidera dan peradangan glomerulus subklinis yang
disertai oleh hematuria (darah dalam urine) dan proteinuria (protein dalam urine) ringan.
Biasanya penyakit ini baru terdeteksi setelah berada pada fase progresif yang biasanya
bersifat ireversibel.
Glomurulonefritis progresif cepat adalah peradangan glomerulus yang terjadi
sedemikian cepat sehingga terjadi penurunan GFR 50% dalam 3 bulan setelah awitan
penyakit. Penyakit ini bisa bersifat idiopatik atau disertai dengan penyakit glomerulus
proliferatif, seperti glomerulonefritis pascastreptokokal.
Faktor penyebab Glomerulonefritis Akut yang mendasari terjadinya sindrom ini
secara luas dapat dibagi menjadi kelompok infeksi dan noninfeksi. Penyebab
Glomerulonefritis kronik yang sering adalah diabetes melitus dan hipertensi kronik.
Sedangkan
Glomerulonefritis
progresif
cepat
dapat
terjadi
akibat
perburukan
glomerulonefritis akut, suatu penyakit autoimun, atau tanpa diketahui sebabnya (idiopatik).
Penatalaksanaan Glomerulonefritis Akut bertujuan untuk memulihkan fungsi ginjal
dan untuk mengobati komplikasi dengan cepat. Pemberian antibiotik Penisilin, untuk
infeksi streptokokus residual, Preparat diuretik untuk keseimbangan cairan tubuh dan
pemberian antihipertensi. Pertukaran plasma ( plasmaferesis ) dan pengobatan dengan obatobat steroid dan sitotoksik untuk mengurangi respon inflamasi, diberikan untuk progresif
glomerulonefritis akut. Kadang diperlukan dialisis. Tirah baring sangat diperlukan, selama
73
fase akut sampai urine jernih dan BUN, kreatinin, dan tekanan darah kembali normal.
Nutrisi diberikan berupa Diit protein dibatasi pada peningkatan BUN, Natrium dibatasi
pada hipertensi, edema, dan gagal jantung kongestif, Karbohidrat untuk energi dan
penurunan protein katabolisme, serta Cairan yang diberikan sesuai kehilangan cairan dan
berat badan harian; masukan dan haluaran.
Dalam asuhan keperawatan klien dengan Glumerulonefritis dilakukan pengkajian,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan, pemeriksaan diagnostik laboratorium, pemeriksaan
diagnostik medis, sehingga dapat menentukan diagnosis keperawatan. Berikut diagnosis
keperawatan yang paling menjadi prioritas, antara lain :
Diagnosis keperawatan untuk Glomerulonefritis Akut, antara lain :
1. Aktual atau resiko kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan volume
urine, retensi cairan dan natrium, peninngkatan aldosteron sekunder dari penurunan
GFR.
2. Risiko tinggi kejang berhubungan dengan kerusakan hantaran saraf sekunder dari
abnormalitas elektrolit dan uremia.
3. Nyeri berhubungan dengan respons inflamasi ,kontraksi otot sekunder, adanya
inflamasi glomerulus
Untuk Glomerulonefritis Kronik, diagnosis keperawatan yang lazim ditemukan,
antara lain :
1. Aktual / resiko tinggi pola napas tidak efektif b.d pengembangan paru tidak optimal,
perembesan cairan, kongesti paru sekunder perubahan membran kapiler alveoli dan
retensi cairan interstisial dari edema paru dan respons asidosis metabolik.
2. Aktual / resiko kelebihan volume cairan b.d penurunan volume urine, retensi cairan
dan natrium, peningkatan aldosteron sekunder dari penurunan GFR.
3. Aktual / resiko tinggi penurunannya curah jantung b.d penurunan kontraktilitas
ventrikel kiri, perubahan frekuensi, irama, konduksi elektikal sekunder penurunan p6,
hiperkalemi, dan uremia.
Sedangkan diagnosis keperawatan glomerulonefritis progresif cepat, antara lain :
1. Aktual/ resiko tinggi jalan napas tidak efektif b.d akumulasi sekret dan darah di jalan
napas
2. Aktual/resiko kelebihan volume cairan b.d penurunan voleume urine, retensi cairan
dan natrium, peningkatan aldosteron efek sekunder dari penurunan GFR
74
75
Guyton, Arthur C. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Jakarta : EGC
Muttaqin, Arif, dkk. 2011. Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem Perkemihan. Jakarta :
Salemba Medika
Nursalam. 2008. Asuhan Keperawatan pada Pasien denga Gangguan Sistem Perkemihan.
Jakarta : Salemba Medika
Potter, P. A., & Perry, A. G. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses,
dan Praktik Edisi 4. Jakarta : EGC
Price, Sylvia A. 1995. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses Penyakit Edisi 4. Jakarta : EGC
Smeltzer, Suzane C. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : EGC
Williams, Lippincott & Wilkins. 2011. Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta : EGC
76