Professional Documents
Culture Documents
LEMBAR PENGESAHAN.. I
KATA PENGANTAR ..II
DAFTAR ISI...1
BAB I PENDAHULUAN ..2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...3
2.1Pengertian obat antipsikotik .....3
2.2. Pengertian Partisipasi .3
2.2.1. Antipsikotik generasi pertama ..5
2.2.1.1. efek samping antipsikotik tipikal ..7
2.2.2. Antipsikotik generasi kedua ...15
2.2.2.1. Risperidone..17
2.2.2.2. Clozapine..18
2.2.2.3. Olanzapine20
2.2.2.4. Quetipine..21
2.2.2.5. Aripriprazole21
2.3. Interaksi Obat ..22
2.4. Cara Pemilihan Obat.....23
2.5. Pengaturan dosis...24
2.6. Lama Pemberian Terapi
25
2.7. Penggunaan Parenteral..25
BAB III KESIMPULAN..26
BAB IV DAFTAR PUSTAKA .27
BAB I
PENDAHULUAN
Antipsikotik adalah antagonis dopamin dan menyekat reseptor dopamin dalam berbagai
jaras di otak. Obat-obatan antipsikotik dapat diklasifikasikan dalam kelompok tipikal dan
atipikal. Antipsikotik tipikal merupakan golongan obat yang memblokade dopamine pada
reseptor pasca-sinaptik neuron di otak, khususnya sistem limbik dan sistem ekstrapiramidal
(dopamine D-2 receptor antagonist).1
Dopamine memiliki peran yang sangat penting dalam etiologi psikosis. Berdasarkan penelitian
menggunakan amfetamin dan methamphetamine yang mengeksaserbasi delusi dan halusinasi
pada pasien skizofrenia didapatkan bahwa dopamine merupakan peranan penting dalam etiologi
halusinasi dan delusi tersebut. 1,2
Obat-obat antipsikotik tipikal merupakan antagonis reseptor dopamine sehingga menahan
terjadinya dopaminergik pada jalur mesolimbik dan mesokortikal. Blokade reseptor D dopamine
dapat memberikan efek samping sindrom ekstrapiramidal. 3,4
Sedangkan antipsikotik atipikal merupakan golongan yang selain berafinitas terhadap
Dopamine
D-2
receptor
juga
berafinitas
terhadap
HT2
Reseptor (Serotonin-
dopamine antagonist ). Secara signifikan tidak memberikan efek samping gejala ekstrapiramidal
bila diberikan dalam dosis klinis yang efektif.3,4
Pemberian obat antipsikotik tipikal umumnya pada pasien dengan gejala posititf seperti
halusinasi, delusi, gangguan isi pikir dan waham. Sedangkan untuk pasien psikotik dengan gejala
negatif obat tipikal hanya memberikan sedikit perbaikan. Sehingga pemberian obat psikotik
atipikal lebih dianjurkan karena obat atipikal memiliki kemampuan untuk meningkatkan aktivitas
dopaminergik kortikal prefrontal sehingga dengan peningkatan aktivitas tersebut dapat
memperbaiki fungsi kognitif dan gejala negatif yang ada.4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Obat Antipsikotik
Obat antipsikotik adalah sekelompok bermacam-macam obat yang menghambat reseptor
dopamine tipe 2 (D2). Indikasi utama untuk pemakaian obat adalah terapi skizofrenia dan
gangguan psikotik lainnya. 3
Antipsikotik dan antagonis reseptor dopamine tidak sepenuhnya sama. Clozapine adalah
suatu antipsikotik yang efektif tetapi berbeda dengan semua obat karena memiliki aktivitas pada
reseptor D2 yang kecil. Obat-obat ini dinamakan sebagai neuroleptik dan transkuiliser mayor.
Istilah neuroleptik menekankan efek neurologis dan motorik dari sebagian besar obat.
Nama obat
Antipsikotik tipikal :
-
Phenothiazine
Rantai aliphatic : chlorpromazine
Rantai piperazine : perphenazine, trifluoperazine, fluphenazine
Rantai piperidine : thioridazine
- Butyrophenone : Haloperidol
- Diphenyl-butyl-piperidine : pimozide
Antipsikotik atipikal :
-
Benzamide : sulpiride
Dibenzodiazepin : clozapine, olanzapine, quetiapine, zotepine
Benzisoxazole : risperidon, aripiprazole
Nama obat
Sediaan
Dosis anjuran
Chlorpromazine
Tab 25-100 mg
150-600mg/h
Amp 50mg/2cc
5-15 mg/h
Amp 5mg/cc
Perphenazine
Fluphenazine
Amp 50mg/cc
Tab 2-4-8 mg
Tab 2,5-5 mg
5
6
7
Trifluoperazine
Thioridazine
Sulpiride
Vial 25 mg/cc
Tab 1-5 mg
Tab 50-100 mg
Amp 100mg/2cc
8
9
Pimozide
Risperidone
Tab 200 mg
Tab 4 mg
Tab 1-2-3 mg
300-600mg/h
2-4 mg/h
2-6 mg/h
Vial 25 mg/cc
3
4
Haloperidol
10
11
Clozapine
Quetiapine
Vial 50 mg/cc
Tab 25-100 mg
Tab 25-100 mg
12
13
14
Olanzapine
Zotepine
Aripiprazole
200 mg
Tab 5-10mg
Tab 25-50 mg
Tab 10-15 mg
Fungsi normal jalur dopamin tuberoinfundibular menghambat pelepasan prolaktin. Pada wanita
postpartum, aktivitas di jalur ini menurun, sehingga memungkinkan laktasi.2,8
Antipsikotik selain menyebabkan terjadinya blokade reseptor D2 pada keempat jalur
dopamine, juga menyebabkan terjadinya blokade reseptor kolinergik muskarinik sehingga timbul
efek samping antikolinergik berupa mulut kering, pandangan kabur, konstipasi dan kognitif
tumpul. Reseptor histamin (H1) juga terblok sehingga timbul efek samping mengantuk dan
meningkatkan berat bdan. Selain itu antipsikotik juga memblok reseptor alfa1 adrenergik
sehingga dapat menimbulkan efek samping pada kardiovaskuler berupa hipotensi ortostatic,
mengantuk, pusing, dan tekanan darah menurun.2,8
10
semua efek samping tersebut akan sangat mungkin mempengaruhi kualitas-kualitas hidup pasien
dan keinginan mereka untuk melanjutkan dan mematuhi terapi .1,2,3
Efek kolinergik perifer sangat serimg ditemukan, terdiri dari mulut dan hidung
kering, hidung tersumbat, pandangan kabur, konstipasi, retensi urin, dan midriasis. Beberapa
pasien juga mengalami mual dan muntah. Obat antipsikotik tipikal seperti chlorpromazine,
thioridazine, dan trifluoperazine adalah antikolinergik yang poten.
Mulut kering merupakan efek yang mengganggu beberapa pasien dan dapat
mempengaruhi kepatuhan terapi. Pasien dapat dianjurkan sering membilas mulutnya dengan
air dan tidak mengunyah permen karet atau permen yang mengandung gula, karena hal
tersebut dapat menyebabkan infeksi jamur pada mulut dan peningkatan insidensi karies gigi.
Konstipasi harus diobati dengan perbanyak olahraga, cairan, diet tinggi serat, serta preparat
laksatif biasa, tetapi kondisi ini masih dapat berkembang menjadi ileus paralitik. Pada kasus
tersebut diperlukan penurunan dosis atau penggantian dengan obat yang kurang
antikolinergik. Pilocarpine mungkin berguna pada beberapa pasien dengan retensi urin. 1,5,8
5.
Efek Endokrin
Penghambatan reseptor dopamine pada saluran tuberinfundibular menyebabkan
diberikan. Pada keadaan impotensi sebagai efek obat dapat diberikan bromokriptin. Untuk
gangguan pada orgasme maupun penurunan libido dapat diberikan brompheniramine
(bromfed), ephedrine (Primatene), phenylpropanolamin (Comtrex), midrione, dan imipramin
(tofranil). Priapisme dan laporan orgasme yang nyeri juga dilaporkan, kemungkinan kedua
hal tersebut terjadi akibat aktivitas antagonis adrenergic 1. Peningkatan berat badan juga
merupakan efek endokrin yang paling sering terjadi akibat penggunaan antipsikotik tipikal.
Peningkatan berat badan nantinya akan menjadi resiko terjadinya DM tipe 2, hipertensi dan
dislipidemia. Peningkatan berat badan juga didaptkan karena adanya blok pada reseptor 5
HT2c1,5,8.
6. Efek Dermatologis
Dermatitis alergik dan fotosensitivitas dapat terjadi pada sejumlah kecil pasien, paling
sering terjadi pada mereka yang menggunakan antipsikotik tipikal potensi rendah, khusunya
chlorpromazine. Berbagai erupsi kulit seperti urtikaria, makulopapular, peteki, dan erupsi
edematous telah dilaporkan. Erupsi terjadi pada awal terapi, biasanya dalam minggu pertama
dan menghilang dengan spontan. Reaksi fotosensitivitas yang menyerupai proses terbakar
10
matahari (sunburn) yang parah juga terjadi pada beberapa pasien yang menggunakan
chlorpromazine. Pasien harus diperingatkan tentang efek tersebut, yaitu agar tidak berada
dibawah sinar matahari lebih dari 30-60 menit, dan harus menggunakan tabir surya.
Penggunaan chlorpromazine juga disertai beberapa kasus diskolorasi biru-kelabu pada kulit
pada daerah yang terpapar dengan sinar matahari. 1
7. Efek pada Mata
Thioridazine disertai dengan pegmentasi ireversibel pada retina bila diberikan dalam
dosis lebih besar dari 800 mg sehari. Gejala awal dari efek tersebut kadang-kadang berupa
kebingungan nocturnal yang berhubungan dengan kesulitan penglihatan malam. Pigmentasi
dapat berkembang menjadi kebutaan walaupun thioridazine dihentikan karena tidak bersifat
reversible.
Chlorpromazine berhubungan dengan pigmentasi mata yang relatif ringan, ditandai
oleh deposit granular coklat keputihan yang terpusat di lensa anterior dan kornea posterior
yang dapat timbul bila pasien mengingesti 1-3 kg chlorpromazine selama hidupnya. Deposit
dapat berkembang menjadi granula putih opak dan coklat kekuningan. Keadaan ini hampir
tidak mempengaruhi penglihatan pasien. 5,8
8. Ikterus
Ikterus obstruktif atau kolestatik adalah suatu efek samping yang relative jarang
terjadi dalam penggunaan antipsikotik tipikal. Biasanya ikterus muncul pada bulan pertama
terapi dan ditandai oleh nyeri abdomen bagian atas, mual, muntah, gejala mirip flu, demam,
ruam, bilirubin pada urin dan peningkatan bilirubin serum, alkali fosfatase dan transaminase
hati. Jika ikterus terjadi, maka terapi harus diberhentikan dan diganti. Ikterus dilaporkan
terjadi pada penggunaan promazine, thioridazine, dan sangat jarang terjadi pada fluphenazine
dan trifluoperazine. 3
9. Overdosis Antipsikotik
Gejala overdosis antipsikotik berupa gejala ekstrapiramidal, midriasis, penurunan
reflex tendon dalam, takikardia, dan hipotensi. Gejala overdosis yang parah adalah delirium,
koma, depresi pernapasan, dan kejang. Terapi overdosis antipsikotik harus termasuk
pemakaian arang aktif (activated charcoal), jika memungkinkan lavage lambung dapat
dipertimbangkan. Terapi kejang dengan diazepam serta hipotensi dengan norepinefrin juga
merupakan terapi overdosis antipsikotik atipikal.1
B. Efek Samping Neurologis
11
Obat antipsikotik tipikal memiliki efek samping neurologis yang mengganggu dan
beberapa efek neurologis yang kemungkinan bersifat serius. Efek neurologis tersebut dikenal
sebagai efek sindrom ekstrapiramidal. Pentingnya mengetahui efek samping neurologis
akibat terapi dibuktikan pada DSM-IV yang memasukkan efek samping tersebut sebagai
kelompok tersendiri gangguan pergerakan akibat medikasi. 1,2
1. Parkinsonisme akibat Neuroleptik
Efek samping berupa parkinsonisme terjadi pada kira-kira 25 % pasien yang diobati
dengan antipsikotik tipikal. Biasanya terjadi dalam 5-30 hari setelah awal terapi. Gejalagejala yang timbul berupa kekakuan otot atau rigiditas pipa besi (lead-pipe rigidity), rigiditas
gigi gergaji (cog-wheel rigidity), gaya berjalan menyeret, postur membungkuk dan air liur
menetes. Tremor menggulung pil (pill-rolling) pada parkinsonisme idopatik jarang terjadi,
tetapi tremor yang teratur dan kasar yang serupa dengan tremor esensial mungkin ditemukan
dan dinamakan sebagai tremor ppostural akibat medikasi dalam DSM-IV. Suatu tanda fisik
parkinsonisme adalah reflek ketukan glabela yang positif yang ditimbulkan dengan mengetuk
dahi antara alis mata. Dikatakan reflek positif bila orbikularis okuli tidak dapat membiasakan
diri dengan ketukan yang berulang. Wajah yang mirip topeng, bradikinesia, akinesia (tidak
ada inisitatif), dan ataraksia (kebingungan terhadap lingkungan) merupakan gejala
parkinsonisme yang sering didiagnosis keliru sebagai gambaran gejala negative atau deficit
pada skizofrenia. 1,3,8
Perbandingan wanita dengan laki-laki yang terkena parkinsonisme akibat neuroleptik
adalah 2:1 dan dapat terjadi pada setiap usia walaupun jarang terjadi pada usia lebih dari 40
tahun. Semua antipsikotik tipikal dapat menyebabkan gejala parkinsonisme, khususnya obat
potensi tinggi dengan aktivitas antikolinergik yang rendah.Penghambatan transmisi
dopaminergik dalam traktus nigrostriatal adalah penyebab dari parkinsonisme akibat
neuroleptik. 1
Gangguan berupa parkinsonisme ini dapat diobati dengan pemberian obat
antikolinergik, amantadine atau diphenhydramine. Antikolinergik harus dihentikan setelah 46 minggu untuk menilai apakah pasien telah mengembangkan suatu toleransi terhadap efek
parkinsonisme sebab kira-kira 50% pasien dengan parkinsonisme akibat neuroleptik dapat
meneruskan terapi.Pemberian anti Parkinson seperti levodopa lebih baik jangan diberikan
karena akan memperbuuk gejala psikotiknya.1,3,8
12
Pada pasien lanjut usia, setelah antipsikotik dihentikan, gejala parkinsonisme dapat
terus berjalan sampai 2 minggu dan bahkan sampai 3 bulan sehingga perlu meneruskan
pemberian antikolinergik setelah menghentikan antipsikotik sampai gejala parkinsonisme
pulih sepenuhnya. 1
2. Distonia Akut akibat Neuroleptik
Kira-kira terdapat 10% dari semua pasien yang diberikan terapi antipsikotik tipikal
mengalami distonia sebagai efek samping. Biasanya terjadi dalam beberapa jam atau 90%
pada tiga hari pertama terapi. Gerakan distonia disebabkan oleh kontraksi atau spasme otot
yang perlahan dan terus-menerus yang dapat menyebabkan gerakan involunter. Distonia
dapat mengenai leher (tortikolis atau retrokolis spasmodik), rahang (pembukaan paksa yang
menyebabkan dislokasi rahang atau trismus), lidah (prostrusi, memuntir), dan keseluruhan
tubuh (opistotonus). Terkenanya mata dapat menyebabkan krisis okulorigik, ditandai oleh
gerakan mata yang ke lateral atas. Tidak seperti tipe distonia lainnya, krisis okulorigik dapat
terjadi secara lambat dalam terapi. Distonia lain berupa blefarospasme dan distonia
glosofaringeal menyebabkan diartria, disfagia, dan kesulitan bernapas yang dapat
menyebabkan sianosis. 1,2
Distonia dapat terjadi pada semua umur dan pada kedua jenis kelamin tetapi paling
sering terjadi pada laki-laki muda (<40 tahun), dapat terjadi pada semua antipsikotik dan
paling sering disebabkan oleh antipsikotik potensi tinggi IM. Mekanisme kerja diperkirakan
merupakan suatu hiperaktivitas dopaminergik di ganglia basalis yang terjadi jika kadar
antipsikotik dalam SSP mulai menurun diantara pemberian dosis. 1,3,8
Profilaksis dengan antikolinergik atau obat yang berhubungan biasanya mencegah
berkembangnya distonia, walaupun risiko terapi profilaksis melebihi manfaatnya. Terapi
dengan antikolinergik IM atau diphenhydramine IV atau IM (50 mg) hampir selalu
menghilangkan gejala. Diazepam (10 mg IV), amobarbital (Amytal), caffeine sodium
benzoate dan hipnosis dilaporkan juga efektif. 1,3
3. Sindrom Neuroleptik Maligna
Sindrom neuroleptik maligna adalah komplikasi yang membahayakan yang dapat
terjadi setiap waktu selama pemberian terapi antipsikotik.Hal ini dapat terjadi karena reaksi
idiosinkrasi terhadap obat psikotik khususnya pada long acting.1
Gejala motorik dan perilaku adalah rigiditas otot dan distonia, akinesia, mutisme,
obtundasi, dan agitasi. Gejala otonomik adalah hiperpireksia, berkeringat dan peningkatan
kecepatan denyut nadi dan tekanan darah. Temuan laboratorium adalah peningkatan hitung
13
sel darah putih, kreatinin fosfokinase, enzim hati, mioglobin plasma, dan mioglobinuria,
kadang-kadang disertai dengan gagal ginjal. 1,3
Untuk pengobatan segera hentikan anti psikotik dan berikan perawatan suprotif dan
berikan obat dopamine agonist (bromokriptin 7,5-60 mg/h 3x sehari, l-dopa2x 100 mg/h atau
amantadine 200 mg/h). Menurut kepustakaan lain, pengobatan dengan datrolene juga efektif
dengan dosis 0,8-2,5 mg/kgbb, setiap 6 jam iv, apabila gejala berkurang diberikan oral
dengan dosis 100-200 mg/hari dapat ditambahkan bromocriptin dengan dosis 20-30 mg/hari
dalam 4x pemberian, terapi berlangsung selama 5-20 hari, bila pada penanganan SNM
membaik maka pengobatan anti psikotik dapat dilanjutkan kembali.1,3
4. Efek Epileptogenik
Pemberian antipsikotik ternyata menyebabkan perlambatan dan peningkatan
sinkronisasi EEG. Efek tersebut merupakan mekanisme dimana antipsikotik menurunkan
ambang kejang. Chlorpromazine dan antipsikotik potensi rendah lain diperkirakan lebih
epileptogenik dibandingkan obat potensi tinggi. 1,3,5
5. Sedasi
Sedasi terutama merupakan akibat dari penghambatan reseptor dopamine tipe-1.
Chlorpromazine adalah antipsikotik yang paling menimbulkan sedasi. Memberikan dosis
antipsikotik harian sebelum tidur biasanya menghilangkan masalah dari sedasi, dan toleransi
untuk efek merugikan tersebut dapat terjadi. 1,2
6. Efek Antikolinergik Sentral
Gejala aktivasi antikolinergik sentral adalah agitasi parah; disorientasi terhadap
waktu, orang dan tempat; halusinasi; kejang; demam tinggi; dilatasi pupil. Stupor dan koma
dapat timbul. Terapi toksisitas antikolinergik adalah pertama menghentikan obat penyebab
dan pemberian anticholinergic agents seperti injeksi sulfas atropine 0,25 mg(im), tablet
trihexyphenidyl 3x2mg/hari. Hal ini juga dapat terjadi bila pengehntian mendadak dari
antipsikotik. 1,3
2.2. 2 ANTIPSIKOTIK GENERASI KEDUA (APG II)
APG II sering disebut juga sebagai Serotonin Dopamin Antagosis (SDA) atau
antipsikotik atipikal. APG II mempunyai mekanisme kerja melalui interaksi antara serotonin dan
dopamin pada ke 4 jalur dopamin di otak. Hal ini yang menyebabkan efek samping EPS lebih
rendah dan sanagat efektif untuk mengatasi gejala negatif. Perbedaan antara APG I dan APG II
adalah APG I hanya dapat memblok reseptor D 2 sedangkan APG II memblok secara bersamaan
14
reseptor serotonin (5HT2A) dan reseptor dopamin (D2). APG yang dikenal saat ini adalah
clozapine, risperidone, olanzapine, quetiapine, zotepine, ziprasidone, aripiprazole. Saat ini
antipsikotik ziprasidone belum tersedia di Indonesia. 1,3,6
Kerja obat antipsikotik generasi kedua pada dopamin pathways:
11
1. Mesokortikal Pathways
Antagonis 5HT2A tidak hanya akan menyababkan berkurangnya blokade terhadap
antagonis D2 tetapi juga menyebabkan terjadinya aktivitas dopamin pathways sehingga terjadi
keseimbangan antara keseimbangan antara serotonin dan dopamin. APG II lebih berpengaruh
banyak dalam memblok reseptor 5HT2A dengan demikian meningkatkan pelepasan dopamin dan
dopamin yand dilepas menang dari pada yang dihambat di jalur mesokortikal. Hal ini
menyebabkan berkurangnya gejala negatif maka tidak terjadi lagi penurunan dopamin di jalur
mesokortikal dan gejala negatif yang ada dapat diperbaiki.
APG II dapat memperbaiki gejala negatif jauh lebih baik dibandingkan APG I karena di
jalur mesokortikal reseptor 5HT2A jumlahnya lebih banyak dari reseptor D2, dan APG II lebih
banyak berkaitan dan memblok reseptor 5HT 2A dan sedikti memblok reseptor D2 akibatnya
dopamin yang di lepas jumlahnya lebih banyak, karena itu defisit dopamin di jalur mesokrtikal
berkurang sehingga menyebabkan perbaikan gejala negatif skizofrenia.1,6,8
2. Mesolimbik Pathways
15
dapat
memperbaiki
gejala
negatif,
kognitif
dan
mood
sehingga
mengurangi
2.2.2.1 RISPERIDONE
Risperidone merupakan obat APG II yang kedua diterima oleh FDA (Food and Drug
Administration) sebagai antipsikotik setelah clozapine. Absorpsi risperidone di usus tidak di
pengaruhi oleh makanan dan efek terapeutik nya terjadi dalam dosis rendah, pada dosis tinggi
dapat terjadi EPS. Pemakaian risperidone yang teratur dapat mencegah terjadinya kekambuhan
dan menurunkan jumlah dan lama perawatan sehingga baik digunakan dalam dosis
pemeliharaan.1
Risperidone dapat memperbaiki skizofrenia yang gagal di terapi dengan APG I tetapi
hasil pengobatannya tidak sebaik clozapine. Obat ini juga dapat memperbaiki fungsi kognitif
tidak hanya pada skizofrenia tetapi juga pada penderita demensia misalnya demensia Alzheimer.
Metabolisme risperidone sebagian besar terjadi di hati oleh enzim CYP 2D6 menjadi 9hydroxyrisperidone dan sebagian kecil oleh enzim CYP 3A4. Hydroxyrisperiodne mempunyai
potensi afinitas terhadap reseptor dopamin yang setara dengan risperidone. Eksresi terutama
melalui urin. Metabolisme risperiodne dihambat oleh antidepresan fluoxetine dan paroxetine,
karena antidepresan ini menghambat kerja dari enzim CYP 2D6 dan CYP 3A4 sehingga pada
pemberian bersama antidepresan ini, maka dosis risperidone harus dikurangi untuk
meminimalkan timbulnya efek samping dan toksik. Metabolisme obat ini dipercepat bila
diberikan bersamaan carbamazepin, karena menginduksi CYP 3A4 sehingga perlu peningkatan
dosis risperidone pada pemberiaan bersama carbamazepin disebabkan konsentrasi risperidone di
dalam plasma rendah. 1,3,7
Indikasi :
-
Dosis :
-
Umunya perbaikan mulai terlihat dalam 8 minggu dari pengobatan awal, jika belum
terlihat respon perlu penilaian ulang.
17
Kadar puncak plasma dicapai dalam waktu 1-2 jam setelah pemberian oral.1,3
EPS
Peningkatan prolaktin (ditandai dengan gangguan menstruasi, galaktorea, disfungsi
seksual)
Sindroma neuroleptik malignan
Peningkatan berat badan
Sedasi
Pusing
Konstipasi
Takikardi
2.2.2.2 CLOZAPINE
Merupakan APG II yang pertama dikenal, kurang menyebabkan timbulnya EPS, tidak
menyebabkan terjadinya tardice dyskinesia dan tidak terjadi peningkatan dari prolaktin.
Clozapine merupakan gold standard pada pasien yang telah resisten dengan obat antipsikotik
lainnya. Profil farmakoligiknya atipikal bila dibandingkan dengan antipsikotik lain.
Dibandingkan terhadap psikotropik yang lain, clozapine menunjukkan efek dopaminergik
rendah, tetapi dapat mempengaruhi fungsi saraf dopamin pada sistem mesolimbik-mesokortikal
otak, yang berhubungan dengan fungsi emosional dan mental yang lebih tinggi, yang berbeda
dari dopamin neuron di daerah nigrostriatal (darah gerak) dan tuberoinfundibular (daerah
neruendokrin). 1
Clozapine efektif untuk menggontrol gejala-gejala psikosis dan skizofrenia baik yang
positif (iritabilitias) maupun yang negatif (social disinterest dan incompetence, personal
neatness). Efek yang bermanfaat terlihat dalam waktu 2 minggu, diikuti perbaikan secara
bertahap pada minggu-minggu berikutnya. Obat ini berguna untuk pasien yang refrakter dan
terganggu berat selam pengobatan.1,3
Secara farmakokinetik, clozapine di absorpsi secara cepat dan sempurna pada pemberian
per oral. Kadar puncak plasma tercapai pada kira-kira 2 jam setelah pemberian obat, dengan
waktu paruh rata-rata 12 jam (antara 10-16 jam) sehingga pemberiannya dianjurkan 2 kali dalam
sehari. Distribusi dari clozapine dibandingkan obat antipsikotik lainnya lebih rendah. Umunya
afinitas dari clozapine rendah pada reseptor D2 dan tinggi pada reseptor 5HT2A sehingga
cenderung rendah untuk menyebabkan terjadinya efek samping EPS. 1,3,8
Dosis :1,3
18
terbagi.
Dosis maksimal 150-600 mg / hari.
Sediaan tablet 25 mg dan 100 mg
Ngantuk, lesu, lemah, tidur, sakit kepala, bingung, gelisah, agitasi, delirium.
Kontra indikasi :
-
Koma.
Depresi SSP.
Gangguan liver.
2.2.2.3 OLANZAPINE
Merupakan
derivat
dari
clozapine
dan
dikelompokkan
dalam
golongan
19
dan menurun bila diberikan bersama dengan antidepresan fluvoxamine atau antibiotik
ciprofloxacin. 1
Bila dibandingkan dengan clozapine, olanzapine memblok D2 lebih besar sehingga dosis
tinggi dapat menyebabkan peningkatan kadar prolactin dan efek pada EPS Olanzapine juga
agonis pada 5HT1a sehingga baik untuk antianxietas dan antidepresi. 1
Indikasi :1,3
-
Dosis :1,3
-
Efek samping:
-
2.2.2.4 QUETIAPINE
Quetiapine merupakan antagonis reseptor serotonin (5HT1A dan 5HT2A), reseptor dopamin
(D1 dan D2), reseptor histamin (H1), reseptor adrenergik 1 dan 2. Afinitasnya lemah pada
reseptor muskarinik (M1) dan reseptor benzodiazepin. Cleareance quetiapine menurun 40% pada
penderita usia lanjut, sehinga perlu penyesuaian dosis yang lebih rendah dan menurun 30%-50%
pada penderita yang mengalami gangguan fungsi hati. Cleareance quetiapine meningkat apabila
pemberiannya dilakukan bersamaan dengan antiepileptik fenitoin, barbiturat, carbamazepin dan
antijamur ketokonazole.1,2,3
20
Quetiapine dapat memperbaiki gejala positif, negatif, kognitif dan mood. Dapat juga
memperbaiki pasien yang resisten dengan antipsikotik generasi pertama tetapi hasilnya tidak
sebaik apabila di terapi dengan clozapine. Pemberian pada pasien pertama kali mendapat
quetiapine perlu dilakukan titrasi dosis untuk mencegah terjadinya sinkope dan hipotensi
postural.Waktu untuk konsentrasi penuh setelah pemberian oral adalah 2 jam dengan waktu
paruh berkisar 3-5 jam, setelah 8-12 jam reseptor masih diduduki. 1
Dosis anjuran 50-400mg/hari dan sediaannya 25-100mg dan 200mg dan 300mg tablet XR
(50mg, 300mg dan 400mg). Efek samping obat ini yang sering adalah somnolen, hipotensi
postural, pusing, peningkatan berat badan, takikardi, dan hipertensi. 1,3
2.2.2.5 ARIPIPRAZOLE
Merupakan antipsikotik generasi baru, yang bersifat partial agonis pada reseptor D 2 dan
reseptor serptonin 5HT1A serta antagonis pada reseptor serotonin 5HT 2A. Aripiprazole bekerja
sebagai dopamin sistem stabilizer artinya menghasilkan signal transmisi dopamin yang sama
pada keadaan hiper atau hipo-dopaminergik karena pada keadaan hiperdopaminergik aripiprazole
afinitasnya lebih kuat dari dopamin akan mengeser secara kompetitif neurotransmiter dopamin
dan berikatan dengan reseptor dopamin. Pada keadaan hipodopaminergik maka aripiprazole
dapat menggantikan peran neurotransmiter dopamin dan akan berikatan dengan reseptro
dopamin. 3,7,8
Aripiprazole di metabolisme di hati melaui isoenzim P450 pada CYP 2D6 dan CYP 3A4,
menjadi dehydro-aripiprazole. Afinitas dari hasil metabolisme ini mirip dengan aripiprazole pada
reseptor D2 dan berada di plasma sebesar 40% dari keseluruhan aripiprazole. Waktu paruh
berkisar antara 75-94 jam sehingga pemberian cukup 1 kali sehari. Absorpsi aripiprazole
mencapai konsentrasi plasma ouncak dalam waktu 3-5 jam setelah pemberian oral. Aripiprazole
sebaiknya diberikan sesudah makan, terutama pada pasien yang mempunyai keluhan dispepsia,
mual dan muntah.3,7
Indikasi : Skizofrenia.
Dosis : dosis anjuran 1015mg/hari dan sedian tablet (5mg, 10mg dan 15mg). Pemberuannya
dapat 10 atau 15 mg 1 x sehari.
Efek samping :
21
Sakit kepala.
Mual, muntah.
Konstipasi.
Akhatisia.
Antipsikosis + Antipsikosis lain = potensi efek samping obat dan tidak ada bukti lebih
efektif (tidak ada sinergis antara 2 obat anti-psikosis). Misalnya, Chlorpromazine +
gejala dan gaduh gelisah yang sangat hebat (acute adjunctive therapy).3
Antispikosis + ECT = dianjurkan tidak memberikan obat anti-psikosis pada pagi hari
sebelum ECT (Electro Convulsive Therapy) oleh karena angka mortalitas yang tinggi.3
Antipsikosis + antikonvulsan = ambang konvulsi menurun, kemungkinan serangan
kejang meningkat, oleh karena itu dosis antikonvulsan harus lebih besar (dose-related).
Yang paling minimal menurunkan ambang kejang adalah obat anti-psikosis Haloperidol.3
Antipsikosis + Antasida = efektivitas obat antu-psikosis menurun disebabkan gangguan
absorpsi.3
Mg. Eq
Dosis (Mg/h)
Sedasi
Otonomi
Eks.Pir.
k
Chlopromazine
Thioridazine
Perphenazine
Trifluoperazine
Fluphenazine
Haloperidol
Pimozide
Clozapine
100
100
8
5
5
2
2
25
150
100
8
5
5
2
2
25
1600
900
48
60
60
100
6
200
+++
+++
+
+
++
+
+
++++
+++
+++
+
+
+
+
+
+
++
+
+++
+++
+++
++++
++
22
Zotepine
Sulpiride
Risperidone
Quetiapine
Olanzapine
Aripiprazole
50
200
2
100
10
10
75
200
2
50
10
10
100
1600
9
400
20
20
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
Pemilihan jenis obat anti-psikosis mempertimbangkan gejala psikosis yang dominan dan
kekambuhan setelah obat dihentikan, biasanya satu bulan kemudian baru gejala Sindrom
Psikosis kambuh kembali.
Pada umumnya pemberian obat anti-psikosis sebaiknya dipertahankan selama 3 bulan
sampai 1 tahun setelah semua gejala psikosis mereda sama sekali. Untuk Psikosis Reaktif
Singkat penurunan obat secara bertahap setelah hilangnya gejala dalam kurun waktu 2 minggu
2 bulan.
Obat anti psikosis tidak menimbulkan gejala lepas obat yang hebat walaupun diberikan
dalam jangka waktu lama, sehingga potensi ketergantungan obat kecil sekali.
Pada penghentian yang mendadak dapat timbul gejala Cholinergic Rebound :
gangguan lambung, mual, muntah, diare, pusing, gemetar dan lain-lain.
mereda dengan pemberian anticholinergic agent (injeksi Sulfas Atropin 0,25 mg (im), tablet
Trihexyphenidyl 3x 2 mg/h). Oleh karena itu pada penggunaan bersama obat anti-psikosis +
antiparkinson, bila sudah tiba waktu penghentian obat, obat antipsikosis dihentikan lebih dahulu,
kemudian baru menyusul obat antiparkinson.
2.6 Penggunaan Parenteral
Obat anti-psikosis long acting (Fluphenazine Decanoate 25 mg/cc atau Haloperidol
Decanoas 50 mg/cc, im, setiap 2 4 minggu sangat berguna untuk pasien yang tidak mau atau
sulit teratur makan obat atau apapun yang tidak efektif terhadap medikasi oral. Sebaiknya
sebelum penggunaan parenteral diberikan secara oral lebih dahulu beberapa minggu untuk
melihat apakah terdapat efek hipersensitivitas. Dosis mulai dengan cc setiap 2 minggu pad
bulan pertama kemudian bau ditingkatkan menjadi 1 cc setiap bulan. Pemberian obat anti
24
psikosis long acting hanya untuk terapi stabilisasi dan pemeliharaan (maintenance therapy)
terhadap kasus Skizofrenia. 15 25 % kasus menunjukkan toleransi yang baik terhadap efek
samping ektrapiramidal.
BAB III
KESIMPULAN
25
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
1. Amir N.Buku Ajar Psikiatri Fakultas Kedokteran Universias Indonesia. Edisi kedua.
Jakarta : Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Indonesia. 2013.Bab 12. Skizofrenia; p.
173-95.
2. Sadock BJ, Sadock VA. Kaplan & Sadocks synopsis of psychiatry : Behavioral
sciences/clinical psychiatry.10 th edition. Philadelphia : Lippincott Williams and
WOLTERS Kluwer business.2007.Bab 13.Schizophrenia.;p.467-97.
3. Muslim R. Panduan Praktis Penggunaan Klinis Obat Psikotropik.Edisi ketiga. Jakarta :
Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya.Bab 3. Penggolongan obat
psikotropik; p.10-11.
4. Muslim R. Panduan Praktis Penggunaan Klinis Obat Psikotropik.Edisi ketiga. Jakarta :
Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya.Bab 3. Obat antipsikosis; p.14-22.
5. Stahl SM. Psychopharmacology of Antipsychotic.United Kingdon : Martin Dunitz
Ltd.1999.Bab 4.Conventional Antipsychotic: the classical neuroleptics;p.35-47.
6. Stahl SM. Psychopharmacology of Antipsychotic.United Kingdon : Martin Dunitz
Ltd.1999.Bab 5.Atypical Antipsychotic and Seotonine-Dopamine Antagonism;p.50-62.
7. Stahl SM. Psychopharmacology of Antipsychotic.United Kingdon : Martin Dunitz
Ltd.1999.Bab 6. Beyond the serotonine-dopamine antagonism concept : how individual
atypical antipsychotic differ;p.63-96.
8. Ebert MH, Loosen PT, Nurcombe B. Current Diagnosis & Treatment in
PSYCHIATRY.Singapore : McGraw-Hill Book.2000.Bab III.Syndrome and their
treatments in adult psychiatric : schizophrenia and other psychotic disorders; p.260-89.
9. Psychopharmacology Institute. First Generation of Antipsychotic. Accessed on : 3
November
2014.
Available
at
http://psychopharmacologyinstitute.com/antipsychotics/first-generation-antipsychotics/
26
27
28