You are on page 1of 13

MAKALAH KEPERAWATAN SISTEM ENDROKIN II

GANGGUAN KELENJAR HIPOFISE


DWARFISME

Disusun oleh
Kelompok 5 :
Noviani Nastiti S
Achmad Luky A. F
Agida De Argarinta
Siti Hidayati Al Indasah
Yeny Rachmawati
Thurfah Kustiati Azmi

1313 1112 3034


1313 1113 3035
1313 1112 3037
1313 1112 3039
1313 1112 3041
1313 1112 3045

PROGRAM PENDIDIKAN NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2013
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dwarfisme merupakan gangguan pertumbuhan somatic akibat insufesiensi
pelepasan

Growth

Hormone

yang

terjadi

pada

masa

anak-anak

(Rumahorbo,1999). Adanya kekurangan hormon pertumbuhan ini berkaitan


dengan hipofungsi kelenjar hipofisis ( Hipopituitarisme ). Hipopituitarisme ini
dapat terjadi akibat penyakit pada kelenjar hipofisis sendiri atau pada hipotalamus
Gejalanya berupa badan pendek (Smeltzer, 2001 ).
Kejadian defisiensi hormon pertumbuhan berat ditemukan pada 1 di antara
4000 anak di Skotlandia dan 1 di antara 10.000 anak di dunia, sedangkan
defisiensi relatif lebih sering ditemukan. Jusuf Rukman melaporkan ditemukannya
68 kasus perawakan pendek di antara 367 kasus dalam tahun 1983-1985 di Rumah
Sakit Dr. Cipto Mangun Kusumo Jakarta. Di RSUD Dr. Soetomo Surabaya, dalam
tahun 1989/1990 ditemukan 28 kasus perawakan pendek diantara 209 kasus
rujukan (Syahbuddin,2002).
Kelainan

Dwarfisme

dapat

mengakibatkan

beberapa

gangguan

keseimbangan tubuh. Penatalaksanaan dan asuhan keperawatan yang tepat sangat


diperlukan untuk mengatasi masalah yang muncul akibat gangguan hipofisis yang
terjadi. Oleh karena itu melalui makalah ini akan kami bahas mengenai penyakit
Dwarfisme dan asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan kelenjar
hipofisis khususnya akibat kurangnya hormon pertumbuhan dalam tubuh.
B. Tujuan Umum
1. Tujuan Umum
Mampu memahami konsep dan mengaplikasikan asuhan keperawatan
pada pasien yang menderita Dwarfisme.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui konsep dasar gigantisme:
1) Mengetahui definisi Dwarfisme.
2) Mengetahui etiologi Dwarfisme.
3) Mengetahui manifestasi klinik Dwarfisme.
4) Mengetahui patofisiologi (WOC) Dwarfisme.
5) Mengetahui pemeriksaan diagnostik Dwarfisme.
6) Mengetahui penatalaksanaan Dwarfisme.
7) Mengetahui prognosis Dwarfisme.
b. Mengetahui asuhan keperawatan pada pasien dengan gigantisme:
1) Mengetahui pengkajian pada pasien dengan Dwarfisme.

2) Mengetahui

diagnosis

keperawatan

pada

pasien

dengan

Dwarfisme.
3) Mengetahui

intervensi

keperawatan

pada

pasien

dengan

Dwarfisme.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. KONSEP DASAR
1. Pengertian
Dwarfisme merupakan konsekuensi dari defisiensi Hormon Pertumbuhan
(Growth Hormon). Ketika anak-anak tersebut mencapai pubertas, maka tandatanda seksual sekunder dan genetalia eksterna gagal berkembang (Price,2006).
Dwarfisme adalah gangguan pertumbuhan akibat gangguan pada fungsi
hormon. Gejalanya berupa badan pendek, terdapat penipisan tulang, muka dan
suara imatur (tampak seperti anak kecil), pematangan tulang yang terlambat,
lipolisis (proses pemecahan lemak tubuh) yang berkurang, peningkatan kolesterol
total / LDL, dan hipoglikemia. Biasanya intelengensia / IQ tetap normal kecuali
sering terkena serangan hipoglikemia berat yang berulang (Corwin,2009)

2. Etiologi
Dwarfisme disebabkan defisiensi Hormon Pertumbuhan. Kekurangan
hormon pertumbuhan ini akan mempengaruhi pertumbuhan tulang dan otot serta
mengganggu metabolisme karbohidrat, lemak dan mineral yang bermanifestasi
menjadi cebol. Ada dua sebab kekurangan hormon pertumbuhan yaitu:

Kekurangan hormon pertumbuhan yang congenital (bawaan) yaitu karena


produksinya memang kurang atau karena reseptor dalam sel yang kurang
atau tidak sensitive terhadap ragsangan hormon. Biasanya gejala mulai
tampak sejak bayi hingga puncaknya pada dewasa, jadi dari kecil postur
tubuhnya selalu lebih kecil dari anak yang lain. Misalnya karena agenesis
hipofisis atau defek /mutasi dari gen tertentu yang menyebabkan
kurangnya kadar hormon seperti sindroma laron dan fenomena pada suku
pygmi di Afrika.

Kekurangan hormon pertumbuhan yang didapat. Biasanya gejala baru


muncul pada penghujung masa kanak-kanak atau pada masa pubertas, jadi
saat kecil sama dengan yang lain, namun kemudian tampak terhentinya
pertumbuhan sehingga menjadi lebih pendek dari yang lain. Kadang juga
disertai gejala-gejala lain akibat kurangnya hormon-hormon lain yang juga
diproduksi hipofisis. Penyebab paling sering adalah tumor pada
hipothalamus kelenjar hipofisis seperti kraniofaringioma, glioma.
Iradiasi kronis juga dapat mengurangi produksi hormon (Greenspan, F.S.
& Baxter, J.D.,2000).

3. Manifestasi Klinis
Gambaran klinis defisiensi hormon pertumbuhan berupa perawakan
pendek berat (cebol), agak gemuk, lemak subkutan di abdomen bertambah, bisa
terdapat keluhan dan gejala hipoglikemia, proporsi tulang normal. Bisa terdapat
gejala-gejala yang berkaitan dengan etiologi seperti kraniofaringioma yang
menyebabkan visus mata menurun. Ketika anak-anak mencapai pubertas, maka
tanda-tanda seksual sekunder dari genetalia eksterna gagal berkembang
(Price,2006).
Dwarfisme adalah gangguan pertumbuhan dengan gejalanya berupa badan
pendek, terdapat penipisan tulang, muka dan suara imatur (tampak seperti anak

kecil), pematangan tulang yang terlambat, lipolisis (proses pemecahan lemak


tubuh) yang berkurang, peningkatan kolesterol total / LDL, dan hipoglikemia.
Biasanya intelengensia / IQ tetap normal kecuali sering terkena serangan
hipoglikemia berat yang berulang(Kleingsen,2011).
4. WOC
Tumor hipofisis

kraniofaringioma

Trombosis vaskular hipofisisAgenesis hipofisis / mutasi gen hipofisis

Fungsi hipotalamus abnormal

Hambat sekresi GH

Gangguan penglihatan dan defek lapang pandang

Defisiensi GH
Menurunkan sel tulang, jaringan
ikat, kartilago
dan jar.
lunak
Meningkatkan
penggunaan
glukosa
tubuh alat genetalia eksterna
Gangguan
pertumbuhan
MK: Resiko cidera

Tanda-tanda alat seksual sekunder tidak berkemban


hipoglikemi
Metabolisme tubuh
menurun

Perubahan struktur tubuh


Resti ketidak seimbngan kadar gula darah
Energi tubuh menurun
MK: Disfungsi seksual
MK: Gangguan citra tubuh

MK: Intoleransi aktivitas

5. Pemeriksaan penunjang
Menurut Syahbuddin,2002:
a. Pemeriksaan

hormon

pertumbuhan

dan

somatomedin

secara

RIA

(Radioimmunoassay), dapat memberi petunjuk adanya penurunan kadar


hormon pertumbuhan dan somatomedin C pada defisiensi hormon
pertumbuhan.
b. Pemeriksaan X-Ray tulang epifis dan pergelangan tangan dengan bantuan
Atlas Gruelich dan Pyle adalah untuk menilai tingkat pematangan tulang

dan umur tulang. Umur tulang tertinggal pada defisiensi hormon


pertumbuhan.
c. X Ray sella tursica (tengkorak /kepala) dapat memberi petunjuk adanya
tumor hipofisis dan sekitarnya
d. Pemeriksaan kadar gula darah yang menurun dan kolesterol yang
meningkat.
e. Pengukuran kadar IGF-1 berkisar yang cenderung turun (kadar normal: 0,31,4 U/mL).
6. Penatalaksanaan
a. Terapi pengobatan dengan memberikan hormon pertumbuhan yang
diproduksi dengan teknologi DNA rekombinan dengan dosis 0,05 mg/kgBB
s.c/i.m 3x seminggu .
b. Operasi pengangkatan tumor dan sinar radiasi untuk penanganan tumor.
7. Prognosis
Pada kasus Dwarfisme akibat hipopituarisme yang penyebabnya bisa diobati,
pertumbuhan bahkan dapat melebihi normal setelah diberi pengobatan
(pemberian hormon pertumbuhan) (Sutjahyo,2002).

B. ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Riwayat Keperawatan
1) Keluhan Utama:
Keluhan utama pasien adalah adanya kelelahan dan kelemahan,
kebutuhan tidur atau istirahat meningkat, ketidak mampuan tubuh
untuk tumbuh.
2) Riwayat Penyakit Sekarang:
Adanya keluhan tubuh yang tidak mengalami pertumbuhan sesuai
umurnya, sehingga memeriksakan diri ke pelayanan kesehatan.
3) Riwayat Penyakit Dahulu:
Adanya riwayat tumor hipofisis atau penyakit lain yang berkaitan
dengan dwarfisme.
5) Riwayat Kesehatan Keluarga:
Adanya anggota keluarga yang mengalami dwarfisme..
6) Riwayat psikososial
Adanya rasa cemas, gelisah, dan gangguan citra diri.

b. Pemeriksaan Fisik
1) B1 (Breathing)
Pola napas normal, tidak terjadi gangguan pola napas.
2) B2 (Blood)
Tidak terjadi gangguan jantung.
3) B3 (Brain)
Adanya pusing, gangguan penglihatan/ visus menurun akibat
adanya adenoma.
4) B4 (Bladder)
Glomerulosklerosis.
5) B5 (Bowel)
Penururnan laju metabolisme. BAB dalam batas normal.
6) B6 (Bone and Integumen)
Tubuh terasa lemas dan lelah.
7) Endokrin dan Metabolik
Sensitivitas dengan insulin meningkat, hipoglikemi.
2. Diagnosa Keperawatan
a. Gangguan citra diri berhubungan dengan perubahan struktur tubuh.
b. Nyeri berhubungan dengan peningkatan tekanan intrakranial.
c. Cemas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan tentang penyakit.
d. Resiko cidera berhubungan dengan gangguan sensori persepsi dan
kondisi fisik.
e. Resiko ketidakstabilan kadar gula darah berhubungan dengan resistensi
insulin.
3. Intervensi
a. Gangguan citra diri berhubungan dengan perubahan struktur tubuh.
Tujuan: Pasien mampu menerima dan beradaptasi dengan perubahan
struktur tubuh setelah dilakukan tindakan keperawatan.
Kriteria hasil:
1) Pasien mengungkapkan hal positif tentang dirinya.
2) Pasien mau bersosialisasi dengan lingkungan sekitar tanpa adnya
gangguan citra diri.
Intervensi:
1) Gunakan alat seperti Body Image Instrumen (BII) untuk
mengidentifikasi klien yang memiliki keprihatinan tentang
perubahan citra tubuh.
Rasionalisasi: 5 skala BII (penampilan umum , kompetensi tubuh ,
reaksi lainnya untuk penampilan, nilai penampilan

dan bagian

ubuh) dipamerkan sedang hingga tinggi reliabilitas internal dan


validitas konkuren.

2) Amati mekanisme biasa klien mengatasi selama masa stres yang


ekstrim dan memperkuat penggunaannya dalam krisis saat ini.
Rasionalisasi: Klien shock selama fase akut, dan sistem nilai
mereka sendiri harus dipertimbangkan. Klien sepakat lebih baik
dengan perubahan dari waktu ke waktu.
3) Akui penolakan , kemarahan , atau depresi sebagai perasaan normal
saat menyesuaikan diri dengan perubahan dalam tubuh dan gaya
hidup.
Rasionalisasi: Perubahan citra tubuh menyebabkan kecemasan.
Orang-orang dalam situasi ini menggunakan berbagai mekanisme
koping sadar untuk berurusan dengan citra tubuh mereka berubah.
Mekanisme

pertahanan

normal,

kecuali

mereka

digunakan

sehingga mereka mengganggu daripada meningkatkan rasa percaya


diri.
4) Mengidentifikasi klien beresiko untuk gangguan citra tubuh.
Rasionalisasi: Hasil dari satu penelitian menunjukkan bahwa
pembentukan tubuh laki-laki beresiko untuk gangguan citra tubuh.
5) Jangan meminta klien untuk mengeksplorasi perasaan kecuali
mereka telah menunjukkan kebutuhan untuk melakukannya.
Rasionalisasi: Pasien melaporkan menjaga perasaan mereka kepada
diri mereka sendiri sebagai strategi koping yang sering digunakan.
6) Dorong klien untuk membahas konflik interpersonal dan sosial
yang mungkin timbul.
Rasionalisasi: Sebuah persepsi yang baik terhadap citra tubuh yang
terbaik dicapai dalam kerangka sosial yang mendukung . Klien
dengan dukungan jaringan sosial yang aktif cenderung membuat
kemajuan yang lebih baik
7) Dorong klien untuk membuat keputusan sendiri, berpartisipasi
dalam rencana perawatan , dan menerima baik kekurangan dan
kelebihan.
Rasionalisasi: Hal ini penting bagi klien untuk terlibat dalam
perawatan mereka sendiri. Jika mereka telah menerima informasi
tentang citra perubahan tubuh mereka, pengobatan dan rehabilitasi,
mereka akan mampu untuk membuat pilihan mereka sendiri.

8) Dorong klien untuk melanjutkan rutinitas perawatan pribadi yang


sama yang diikuti sebelum perubahan citra tubuh.
Rasionalisasi: Mendorong kemandirian pasien dan meningkatkan
percaya diri pasien.
b. Cemas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan tentang penyakit.
Tujuan: Cemas hilang/berkurang setelah mendapat tindakan keperawatan.
Kriteria Hasil: Pasien mengungkapkan tingkat kecemasan yang bisa
ditoleransi, cukup tidur dan menunjukkan pengendalian diri terhadap
ansietas dengan merencanakan strategi koping untuk situasi penuh
tekanan, mempertahankan performa peran, memantau distorsi persepsi
sensori, memantau manifestasi perilaku ansietas dan menggunakan teknik
relaksasi untuk meredakan ansietas.
Intervensi:
1) Kaji dan dokumentasikan tingkat kecemasan pasien, termasuk reaksi
fisik.
2) Gali teknik yang berhasil dan tidak berhasil menurunkan cemas di
masa lalu.
3) Pada saat ansietas berat, dampingi pasien,, bicara dengan tenang dan
berikan ketenangan serta rasa nyaman.
4) Beri dorongan pada pasien untuk mengungkapkan secara verbal
pikiran dan perasaan untuk mengekternalisasikan ansietas.
5) Sediakan pengalihan melalui TV, radio, permainan serta terapi okupasi
untuk menurunkan ansietas dan memperluas fokus.
6) Sediakan informasi faktual menyangkut diagnosis, terapi dan
prognosis.
7) Berikan obat penurun ansietas bila perlu.
c. Resiko cidera berhubungan dengan gangguan sensori persepsi dan kondisi
fisik.
Tujuan: Resiko cidera menurun setelah dilakukan tindakan keperawatan.
Kriteria Hasil: Pasien mampu memperlihatkan pengendalian resiko cidera
yaitu dengan memantau faktor resiko perilaku individu dan lingkungan,
mengembangkan strategi pengendalian resiko yang efektif, menerapkan
strategi pengendalian resiko pilihan dan memodifikasi gaya hidup untuk
mengurangi resiko.
Intervensi:

10

1) Identifikasi faktor yang mempengaruhi kebutuhan keamanan,


misalnya perubahan status mental.
2) Identifikasi faktor lingkungan yang memungkinkan resiko jatuh.
3) Orientasikan kembali pasien terhadap realitas dan lingkungan saat ini
4)
5)
6)
7)

bila dibutuhkan.
Bantu ambulasi pasien bila perlu.
Sediakan alat bantu berjalan (seperti tongkat atau walker).
Jauhi bahaya lingkungan (misalnya beri pencahayaan yang adekuat).
Berikan materi edukasi yang berhubungan dengan strategi dan
tindakan untuk mencegah cidera.

d. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelelahan sekunder penurunan


laju metabolisme tubuh.
Tujuan: Mentoleransi aktivitas yang biasa dilakukan setelah dilakukan
tindakan keperawatan.
Kriteria Hasil: Pasien mampu menunjukkan toleransi aktivitas dan
mendemonstrasikan penghematan energi.
Intervensi:
1) Kaji tingkat kemampuan pasien untuk berpindah dari tempat tidur,
2)
3)
4)
5)
6)

berdiri, ambulasi dan melakukan AKS dan AKSI.


Kaji respons emosi, sosial dan spiritual terhadap aktivitas.
Evaluasi motivasi dan keinginan pasien untuk meningkatkan aktivitas.
Tentukan penyebab keletihan.
Pantau respons kardiorespiratori terhadap aktivitas.
Pantau asupan nutrisi untuk memastikan sumber-sumber energi yang

adekuat.
7) Instruksikan kepada pasien dan keluarga tindakan untuk menghemat
energi, misalnya menyimpan alat/benda yang sering digunakan di
tempat yang mudah dijangkau.
8) Hindari menjadwalkan pelaksanaan aktivitas perawatan selama
periode istirahat.
9) Rencanakan aktivitas bersama pasien dan keluarga yang dapat
meningkatkan kemandirian dan ketahanan.
10) Kolaborasikan dengan ahli terapi okupasi, fisisk atau rekreasi untuk
merencanakan dan memantau program aktivitas, jika perlu.

11

BAB III
PENUTUP
A. SIMPULAN
Dwarfisme terjadi akibat hiposekresi persisten dari GH

yang

merangsang sekresi IGF-1 sebelum lapisan epifise menutup, sehingga


menyebabkan manifestasi klinis pada anak-anak/remaja berupa tubuh tinggi
abnormal. Penyebab gigantisme adalah kelainan hipotalamus dan

adanya

adenoma hipofise.
Pilihan utama pengobatan adala pengobatan medis/farmakologis
mengalami perkembangan yang pesat. Pengobatan radiasi mempunyai banyak

12

kelemahan, sehingga penggunaannya hanya sebagai penunjang pada kasuskasus tertentu.


Masalah keperawatan yang muncul pada pasien dengan dwarfisme
adalah

nyeri,

cemas,

resiko

cidera,

gangguan

citra

tubuh,

resiko

ketidakstabilan kadar gula darah dan intoleransi aktivitas.


Rencana asuhan keperawatan pada pasien dengan dwarfisme bertujuan
untuk mengatasi permasalahan keperawatan, sehingga dapat meningkatkan
derajat kesehatan pasien.
B. SARAN
Berdasarkan kesimpulan di atas maka penulis menyampaikan saran-saran
yang kiranya dapat dijadikan perhatian dan masukan untuk mencapai tujuan
yang diharapkan yaitu:
1. Pasien hendaknya lebih memahami tentang penyakit, gejala, pengobatan
dan penanganan di rumah.
2. Keluarga hendaknya memahami keadaan pasien dan mendukung proses
pengobatan pasien.
3. Perawat hendaknya lebih memahami tentang konsep dwarfisme, sehingga
dapat mengaplikasikan asuhan keperawatan pada pasien dwarfisme secara
komprehensif.
Daftar Pustaka

Corwin,Elizabet.J.2009.Buku Saku Patologi. Jakarta : EGC


Doengoes,Marilynn E.1999.Rencana Asuhan Keperawatan Edisi 3.Jakarta: ECG.
Ganong.W.F.1995.Buku Ajar Fisiologi kedokteran Edisi 14. Jakarta :EGC.
Greenspan, F.S. & Baxter, J.D. (2000). Endokrinologi dasar & klinik (ed. ).
Jakarta: EGC.
Kleingsen, Anna and Jackson, Andrew P.2011.Mechanisms and pathways of
growth
failure
in
primordial
dwarfism.
http://genesdev.cshlp.org/content/25/19/2011.long diakses tanggal 10
November 2013
Price, Sylvia A. & Wilson, Lorraine M. (2006). Patofisiologi : Konsep Klinis
Proses-Proses penyakit edisi 6. Jakarta: EGC
Rumahorbo, Hotma. 1999. Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem
Endokrin. Jakarta : EGC

13

Sloane, Ethel.2004.Anatomi dan fisiologi untuk pemula. Jakarta: EGC


Smeltzer, Suzanne C. dan Bare, Brenda G., (2002). Buku ajar: keperawatan
medikal bedah brunner & suddarth (ed. 8). Jakarta: EGC.
Syahbuddin,Syafril.(2002). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi . Jakarta : Balai
Penerbit FKUI.
Wilkinson, J.M. & Ahern, N.R. (2013). Buku saku diagnosis keperawatan:
diagnosis NANDA, intervensi NIC, kriteria hasil NOC (ed. 9). Jakarta: EGC.

You might also like