Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia telah melalui berbagai perubahan-perubahan politik antara
konfigurasi politik yang demokratis dan konfigurasi politik yang otoriter. Sejalan
dengan perubahan-perubahan konfigurasi politik tersebut, maka karakter produk
hukum juga berubah. Pada saat konfigurasi politik tampil secara demokratis, maka
produk hukum yang dilahirkannya berkarakter responsif, dan sebaliknya saat
konfigurasi politik tampil secara otoriter maka produk hukum yang dihasilkan
berkarakter ortodoks. Hukum sebagai produk politik sangat ditentukan oleh
perubahan politik. Hal ini dapat dilihat pada saat Orde Baru di bawah kekuasaan
Presiden Soeharto jatuh, maka hukum juga langsung diubah terutama hukum publik
yang berkaitan dengan distribusi kekuasaan. Berbagai undang-undang di bidang
politik produk orde baru langsung diubah dengan pembongkaran atas asumsi-asumsi
serta penghilangan atas kekerasan-kekerasan politik yang menjadi muatannya1.
Seiring dengan perubahan konfigurasi politik dari otoriter pada rezim orde
baru menjadi demokratis pasca reformasi, maka banyak tuntutan yang disuarakan oleh
elemen masyarakat untuk memperbaiki kondisi dan struktur ketatanegaraan pasca
orde baru2. Tuntutan tersebut antara lain :
1. Amandemen UUD 1945
2. Penghapusan Dwi Fungsi ABRI
3. Penegakan supremasi hukum, penghormatan hak asasi manusia (HAM)
dan pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN),
4. Desentralisasi dan hubungan yang adil antara pusat dan daerah
(otonomi daerah),
5. Mewujudkan kebebasan pers, dan
6. Mewujudkan kehidupan demokrasi.
1 Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2009), hal.
373.
2 Satya Arinanto (a), Politik Pembangunan Hukum Nasional dalam era Pasca Reformasi, Makalah
tanpa tahun, hal. 7.
percaya
diri
(civil
society)
dan
eksistensi
kepemimpinan
yang
organisasi negara lebih responsif terhadap tuntutan mereka serta lebih efektif dan
efisien dalam melakukan pelayanan publik dan mencapai tujuan penyelenggaraan
pemerintahan. Perkembangan tersebut berpengaruh terhadap struktur organisasi
negara, termasuk bentuk-bentuk dan fungsi-fungsi lembaga negara. Bermunculanlah
kemudian lembaga-lembaga negara sebagai bentuk eksperimentasi kelembagaan
(institutional experimentation) yang dapat berupa dewan (council), komisi
(commision), badan (board), atau otorita (authority).3
Berdasarkan hal tersbut, maka penulis tertarik untuk memmbahas lebih lanjut
dalam sebuah Makalah yang berjudul Politik Hukum Indonesia (Analisis
Perkembangan Lembaga Negara Pasca Reformasi).
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana perkembangan politik hukum Indonesia pasca reformasi?
2. Bagaimana eksistensi lembaga negara yang dibentuk pasca reformasi?
C. Tujuan Penulisan
1. Secara umum penulisan makalah ini bertujuan untuk menambah kepustakaan ilmu
hukum tentang perkembangan lembaga negara pasca reformasi
2. Secara khusus penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah
politik hukum pada Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Bengkulu
BAB II
PEMBAHASAN
I.
3 Jimly Asshiddiqie, 2006, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, , Jakarta,
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, hlm. vii.
ketetapan, perintah, kekuasaan, hukuman dan lain-lain. Berkaitan dengan istilah ini,
belum ada kesatuan pendapat di kalangan para teoretisi hukum tentang apa batasan
dan arti hukum yang sebenarnya. Perbedaan pendapat terjadi karena sifatnya yang
abstrak dan cakupannya yang luas serta perbedaan sudut pandang para ahli dalam
memandang dan memahami apa yang disebut dengan hukum itu. Namun, sebagai
pedoman, secara sederhana kita dapat mengatakan bahwa hukum adalah seperangakat
aturan tingkah laku yang berlaku dalam masyarakat. Penjelasan etimologis di atas
tentu tidak memuaskan karena masih begitu sederhana, sehingga dalam banyak hal
dapat membingungkan dan merancukan pemahaman tetang apa itu politik hukum.
Guna melengkapi uraian di atas penulis menyajikan definisi-definisi politik hukum
yang dirumuskan oleh beberapa ahli hukum yang selama ini cukup concern
mengamati perkembangan disiplin ilmu ini, yaitu :
a.
LJ. van Appeldoorn dalam bukunya Pengantar Ilmu Hukum menyebut
dengan istilah politik perundang-undangan5. Politik hukum berarti
menetapkan tujuan dan isi peraturan perundang-undangan. Pengertian ini
b.
c.
d.
4 Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, Dasar-dasar Politik Hukum, PT RajaGrafindo Persada,
Jakarta, 1999, hal. 19.
5 LJ. van Appeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Cet. Ke-18, PradnyaParamitha, Jakarta, 1981, hal.
390.
6 A.S.S. Tambunan, Politik Hukum Berdasarkan UUD 1945, Puporis Publishers, Jakarta 2002, hal. 9
7 Teuku Muhammad Radhie dalam majalah PRISMA, no. 6 tahun keI-II, Desember 1973, hal. 4.
8 Abdul Hakim Garuda Nusantara, Politik Hukum Indonesia, YLBHI, Jakarta, 1988, hal. 2.
Dari pengertian politik hukum menurut para ahli hukum di atas maka dapat
disimpulkan bahwa yang dimaksudkan dengan politik hukum adalah serangkaian
konsep, asas, kebijakan dasar dan pernyataan kehendak penguasa negara yang
mengandung politik pembentukan hukum, politik penentuan hukum dan politik
penerapan serta penegakan hukum, menyangkut fungsi lembaga dan pembinaan para
penegak hukum untuk menentukan arah, bentuk maupun isi hukum yang akan
dibentuk, hukum yang berlaku di wilayahnya dan mengenai arah perkembangan
hukum yang dibangun serta untuk mencapai tujuan negara.
Menurut Daniel S. Lev, yang paling menentukan dalam proses pembentukan
hukum adalah konsepsi dan kekuasaan politik, yaitu bahwa hukum sedikit banyak
selalu merupakan alat politik, dan bahwa tempat hukum dalam negara, tergangtung
pada keseimbangan politik, defenisi kekuasaan, evolusi idiologi politik, ekonomi,
sosial, dan seterusnya11.
Walaupun kemudian proses hukum yang dimaksud tersebut di atas tidak
diidentikan dengan maksud pembentukan hukum, namun dalam prateknya seringkali
proses dan dinamika pembentukan hukum mengalami hal yang sama, yakni konsepsi
dan kekuasaan politiklah yang berlaku di tengah masyarakat yang sangat menentukan
terbentuknya suatu produk hukum. Maka untuk memahami hubungan antara politik
dan hukum di negara mana pun, perlu dipelajari latar belakang kebudayaan, ekonomi,
9 Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Alumni, Bandung, 1991,
hal. 1.
10 Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2009, hal. 2.
11 Daniel S. Lev, Hukum dan Politik di Indonesia Kesinambungan dan Perubahan, LP3ES, Jakarta,
1990, hal. 190.
adalah politik hukum yang mendekatkan tata hukum dengan realitas sosial atau
hukum yang populis. Berlarut-larutnya konflik politik antara DPR dan Presiden
Abdurahman Wahid (hampir satu tahun dan dua tahun masa jabatan) membuat
kebijakan di bidang ekonomi terabaikan sehingga pertumbuhan ekonomi masyarakat
sangat terabaikan. Setelah Megawati ditetapkan menjadi presiden mengantikan
Abdurahman Wahid, kebijakan juga banyak ditunjuk untuk memperbaiki sistem
ketatanegaran seperti perubahan Undang Undang Dasar 1945, perubahan susduk
MPR, DPR, DPRD dan DPD, pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, pembentukan
Mahkamah Konstitusi dan menuntaskan amandemen UUD 1945 yang sudah dimulai
pada masa pemerintahan Presiden Abdurahman Wahid. Pembentukan undang-undang
tersebut diatas dan amandemen atas UUD 1945 membutuhkan banyak waktu dan
energi serta mengundang pro dan kontra masyarakat. Selain dari itu kondisi
perekonomian dunia belum membaik akibat maraknya terorisme, peristiwa 11
Septemer 2001 di Amerika Serikat, perang Afganistan, dan Irak, KKN yang semakin
marak, dan beberapa kebutuhan lain yang harus melakukan ratifikasi atas beberapa
konvensi dunia, seperti UU HAM, UU Terorisme, UU Perlindungan Anak, UU
Perlindungan Saksi dan lain sebagainya. Hal-hal tersebut membuat kebijakan
ekonomi yang ditempuh belum juga mengangkat perekononomian secara keseluruhan
sesuai dengan harapan rakyat dan cita-cita reformasi.
Perundang-undangan yang dihasilkan pada pasca 1999 sesuai dengan politik
hukum yang ditempuh, yang pertama adalah : perubahan UUD 1945 (amandemen).
Melalui amandemen sebanyak empat kali tersebut, yang dimulai pada Sidang Umum
MPR Oktober 1999 dan berakhir pada amandemen keempat pada bulan Agustus 2002,
dan sekarang ini politik hukum dalam rangka melaksanakan amandemen UUD 1945
di parlemen kembali mengemuka. Melalui perubahan UUD 1945 yang lalu, maka
antara lain ditentukan :
pada level negara(state) dan masyarakat (society12. Level negara terlihat dari solidnya
semua unsur yang ada dalam entitas negara yang kemudian mendorong pada karakter
negara yang hegemonik, tunggal dan monolitik. Sedangkan pada level masyarakat
tercipta kondisi masyarakat yang dikendalikan, ditundukkan dan diarahkan.
Dalam konteks pembangunan hukum pasca reformasi, Romli Atmasasmita
mengatakan bahwa sebagai hasil kompromi reformasi dan dialektika politik dan
hukum, perkembangan penyusunan perundang-undangan di Indonesia dapat
dibedakan menjadi 3 (tiga) perkembangan,pertama, peraturan perundang-undangan
berdasarkan kesepakatan dengan IMF, kedua, ketetapan Mejelis Permusyawaratan
Rakyat Republik Indonesia bulan Novemver 1998, ketiga, berdasarkan Perundangundangan lainnya yang sudah dilaksanakan oleh Departemen Kehakiman Republik
Indonesia13.
Dengan adanya pengaruh globalisasi terhadap politik hukum Indonesia dewasa
ini, merupakan sesuatu yang tidak dapat diabaikan. Untuk itu dalam rangka
membangun pemerintahan yang demokratis, konfigurasi politik yang demokratis,
sistem politik yang demokratis dan mewujudkan Indonesia sebagai negara hukum
yang demokratis maka dibutuhkan politik hukum yang mendekatkan tata hukum
dengan realitas sosial dengan demikian akan terdapat check and balance dalam
tatanan politik yang akan meciptakan keseimbangan. Atau, mempertahankan hukum
yang populis dengan memperhatikan lingkungan baik di dalam dan di luar negeri,
dengan berorientasi pada kepentingan nasional dalam rangka pembangunan ekonomi.
Terbentuknya politik hukum yang baik, dapat dilihat dari sistem politik suatu
negara. Manakala sistem politiknya berakhir dengan kekacauan, demokrasi yang
berakhir dengan anarki membuka jalan untuk melawan dengan kediktatoran, yang
bersifat tangan besi. Dalam hal ini, akan bergantung kepada kewibawaan orang
seorang yang tidak akan lama umurnya. Jadi tidak ada gunanya membangun sistem
politik apabila Pemerintahannya diktator, sebagaimana yang terjadi pada era
sebelumnya, masa Demokrasi Terpimpin dan Orde Baru.
12 Alfred Stepan, Militer dan Demokratisasi : Pengalaman Brasil dan Beberapa Negara
Latin, Pustaka Utama Grafitti, Jakarta, 1996. hlm 13-14
13 Romli Atmasasmita, Reformasi Hukum, Hak Asasi Manusia & Penegakan Hukum, Mandar Maju,
Bandung, 2001, hlm 24-29
Hal lain, yang patut menjadi bahan pemikiran dimasa mendatang, berkenaan
dengan politik hukum adalah bagaimana menyiasati perubahan jaman untuk
merencanakan politik hukum nasional yang berorientasi dengan kepentingan nasional
dan internasional, sehingga Indonesia dapat membentuk sistem hukum yang dinamis
terhadap negara-negara maju. Perlu dipertimbangkan, bahwa semakin tingginya
tingkat mobilitas perekonomian dunia, maka Indonesia harus berani menempatkan
hukumnya sebagai sarana mencapai tujuan politik, ekonomi budaya, sosial dan lain
sebagainya,
dalam
rangka
mewujudkan
kesejahteraan
rakyat.
14 John Alder, Constitutional & Administrative Law, (London: Macmillan Professional Masters,
1989), hal. 232
15 A. Ahsin Thohari, Kedudukan Komisi-komisi Negara dalam Striktur Ketatanegaraan Indonesia,
Jurnal Hukum Jentera, edisi 12 Tahun III, April-Juni 2006.
16 Jimly Asshiddiqie, Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen dalam Sejarah: Telaah
Perbandingan Konstitusi Berbagai Negara, (Jakarta: UI-Press, 1996), hal. 21
17 Secara harfiah, Ombudsman dapat diartikan sebagai seseorang yang bertugas mengurusi
kepentingan orang lain Lihat misalnya Bengt Wieslander, The Parliamentary Ombudsman in Sweden,
(Stokholm: The Bank of Sweden Tercentenary Foundation, 1999), hal. 3.
dipaksa harus berbagi dengan kekuatan lain, khususnya parlemen, inilah yang
mengakibatkan persaingan di antara keduanya tidak terelakkan. Tentu saja hal ini
membawa dampak negatif berupa ketidakjelasan pertanggungjawaban dan pola kerja
lembaga-lembaga ekstra tersebut, karena pembentukannya sering kali tidak dilandasi
kebutuhan rasional dan landasan yuridis yang cukup. Sebagai lembaga independen
yang terlepas dari hubungan struktural dengan pemerintah, pemerintah tentu tidak
berada dalam kapasitas untuk bisa mengontrol secara khusus terhadap lembagalembaga ekstra tersebut22. Ketidakjelasan mekanisme pertanggungjawaban ini,
menurut Alder, dikarenakan ketentuan yang mengatur lembaga-lembaga ekstra itu
kadang-kadang menciptakan mekanisme tersendiri yang berbeda satu sama lain tanpa
ada perangkat konstitusional yang logis23.
Menurut Hans Kelsen, organ negara itu setidaknya menjalankan salah satu dari
2 (dua) fungsi, yakni fungsi menciptakan hukum (law-creating function) atau fungsi
yang menerapkan hukum (law-applying function)24. Dengan menggunakan analisis
Kelsen tersebut, Jimly Asshiddiqie menyimpulkan bahwa pascaperubahan UUD 1945,
dapat dikatakan terdapat 34 lembaga negara. Dari 34 lembaga negara tersebut, ada 28
lembaga yang kewenangannya ditentukan baik secara umum maupun secara rinci
dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Ke-28 lembaga negara inilah
yang dapat disebut sebagai lembaga negara yang memiliki kewenangan konstitusional
atau yang kewenangannya diberikan secara eksplisit oleh UUD Negara Republik
Indonesia Tahun 194525.
Ke-34 organ tersebut dapat dibedakan dari dua segi, yaitu dari segi fungsinya
dan dari segi hirarkinya. Hirarki antarlembaga negara itu penting untuk ditentukan
karena harus ada pengaturan mengenai perlakuan hukum terhadap orang yang
menduduki jabatan dalam lembaga negara itu. Mana yang lebih tinggi dan mana yang
lebih rendah perlu dipastikan untuk menentukan tata tempat duduk dalam upacara dan
22 Thohari, A. Ahsin. Kedudukan Komisi-komisi Negara dalam Striktur Ketatanegaraan Indonesia,
Jurnal Hukum Jentera, edisi 12 Tahun III, April-Juni 2006.
23 John Alder, Constitutional & Administrative Law, (London: Macmillan Professional Masters,
1989), hal. 229
24 Hans Kelsen, General Theory of Law and State (New York: Russel & Russel, 1973), hal. 192.
25 Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi (Jakarta:
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006), hal. viii-ix.
besarnya tunjangan jabatan terhadap para pejabatnya. Untuk itu, ada dua kriteria yang
dapat dipakai, yaitu (i) kriteria hirarki bentuk sumber normatif yang menentukan
kewenangannya, dan (ii) kualitas fungsinya. Yang bersifat utama atau penunjang
dalam sistem kekuasaan negara. Sehubungan dengan hal itu, maka dapat ditentukan
bahwa dari segi fungsinya, ke-34 lembaga tersebut, ada yang bersifat utama atau
primer, dan ada pula yang bersifat sekunder atau penunjang (auxiliary). Sedangkan
dari segi hirarkinya, ke-34 lembaga itu dapat dibedakan ke dalam tiga lapis. Organ
lapis pertama dapat disebut sebagai lembaga tinggi negara. Organ lapis kedua disebut
sebagai Lembaga negara saja, sedangkan organ lapis ketiga merupakan lembaga
daerah. Di antara lembaga-lembaga tersebut ada yang dapat dikategorikan sebagai
organ utama atau primer (primary constitutional organs), dan ada pula yang
merupakan organ pendukung atau penunjang (auxiliary state organs). Corak dan
struktur organisasi negara kita di Indonesia juga mengalami dinamika perkembangan
yang sangat pesat.
Setelah masa reformasi sejak tahun 1998, banyak sekali lembaga-lembaga dan
komisi-komisi independen yang dibentuk. Menurut Jimly Assshiddiqie, beberapa di
antara lembaga-lembaga atau komisi-komisi independent dimaksud dapat diuraikan di
bawah ini dan dikelompokkan sebagai berikut:26
1) Lembaga Tinggi Negara yang sederajat dan bersifat independen, yaitu:
a) Presiden dan Wakil Presiden;
b) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR);
c) Dewan Perwakilan Daerah (DPD);
d) Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR);
e) Mahkamah Konstitusi (MK);
f)
27 T.M. Luthfi Yazid, Komisi-komisi Nasional dalam Konteks Cita-cita Negara Hukum, (makalah
disampaikan dalam Diskusi Terbatas dengan tema Eksistensi Sistem Kelembagaan Negara
Pascaamandemen UUD 1945, diselenggarakan oleh Konsorsium Reformasi Hukum Nasional, di
Hotel Aryaduta, Jakarta, 9 September 2004), hal. 2.
Undang-Undang
perundangan lainnya.
Dasar,
Undang-Undang
ataupun
peraturan
6. Lembaga-lembaga
negara
tersebut
muncul
karena
tuntutan
kebutuhan
yang
mendorong
terbentuknya
lembaga-lembaga
baru
untuk
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Abdul Hakim Garuda Nusantara, 1988, Politik Hukum Indonesia, YLBHI, Jakarta.
Alfred Stepan, 1996, Militer dan Demokratisasi : Pengalaman Brasil dan Beberapa
Negara Latin, Pustaka Utama Grafitti, Jakarta.
A.S.S. Tambunan, 2002, Politik Hukum Berdasarkan UUD 1945, Puporis Publishers,
Jakarta.
Daniel S. Lev, 1990, Hukum dan Politik di Indonesia Kesinambungan dan Perubahan,
LP3ES, Jakarta.
Hans Kelsen, 1973, General Theory of Law and State (New York: Russel & Russel.
Imam Syaukani dkk, 1999, Dasar-dasar Politik Hukum, PT RajaGrafindo Persada,
Jakarta.
Jimly Asshiddiqie, 1996, Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen dalam Sejarah:
Telaah Perbandingan Konstitusi Berbagai Negara, UI-Press, Jakarta.
---------------, 2006,
Perkembangan
dan
Konsolidasi Lembaga
Negara
Pasca
LJ. van Appeldoorn, 1981, Pengantar Ilmu Hukum, Cet. Ke-18, PradnyaParamitha,
Jakarta.
Moh. Mahfud MD, 1998, Politik Hukum di Indonesia, LP3ES, Jakarta.
Romli Atmasasmita, 2001, Reformasi Hukum, Hak Asasi Manusia & Penegakan
Hukum, Mandar Maju, Bandung.
Satjipto Rahardjo, 2001, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung.
---------------------, 2006, Membedah Hukum Progresif, Penerbit Buku Kompas, Jakarta.
Sunaryati Hartono, 1991, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Alumni,
Bandung.
B. Jurnal dan Makalah
Ahsin Thohari, Kedudukan Komisi-komisi Negara dalam Striktur Ketatanegaraan
Indonesia, Jurnal Hukum Jentera, edisi 12 Tahun III, April-Juni 2006.
Komisi Ombudsman Nasional, Laporan Tahunan 2001, Jakarta: Komisi Ombudsman
Nasional, 2001)
Satya Arinanto , Politik Pembangunan Hukum Nasional dalam era Pasca Reformasi,
Makalah tanpa tahun
Teuku Muhammad Radhie dalam majalah PRISMA, no. 6 tahun keI-II, Desember 1973
T.M. Luthfi Yazid, Komisi-komisi Nasional dalam Konteks Cita-cita Negara Hukum,
(makalah disampaikan dalam Diskusi Terbatas dengan tema Eksistensi Sistem
Kelembagaan Negara Pascaamandemen UUD 1945, diselenggarakan oleh
Konsorsium Reformasi Hukum Nasional, di Hotel Aryaduta, Jakarta, 9 September
2004)