Professional Documents
Culture Documents
Manajemen edema paru akut harus segera dimulai setelah diagnosis ditegakkan, meskipun
pemeriksaan untuk melengkapi anamnesis dan pemeriksaan fisik masih berlangsung.
Manajemen EPA dilakukan dengan langkah-langkah terapi berikut yang biasanya dapat
dilakukan secara bersamaan :
Posisi dan Terapi Oksigen
Pasien diposisikan dalam keadaan duduk atau setengah duduk. Oksigen (40-50%) segera
diberikan sampai dengan 8 L/menit, untuk mempertahankan PO2, kalau perlu dengan masker.
Jika kondisi pasien semakin memburuk, timbul sianosis, makin sesak, takipneu, ronki
bertambah, PO2 tidak bisa dipertahankan 60 mmHg, atau terjadi kegagalan mengurangi
cairan edema secara adekuat, maka perlu dilakukan intubasi endotrakeal, dan penggunaan
ventilator.
Efek terapi : Oksigen konsentrasi tinggi akan meningkatkan tekanan intraalveolar sehingga
dapat menurunkan transudasi cairan dari kapiler alveolar dan mengurangi aliran balik vena
(venous return) ke toraks , mengurangi tekanan kapiler paru.
Morfin Sulfat
Morfin diberikan secara intravena dengan dosis 2-5 mg. Dapat diulangi tiap 15 menit. Sampai
total dosis 15 mg biasanya cukup efektif.
Efek terapi : obat ini mengurangi kecemasan, mengurangi rangsang vasokonstrikstor
adrenergik terhadap pembuluh darah arteriole dan vena. Obat ini dapat menyebabkan depresi
pernapasan, sehingga nalokson harus tersedia.
Nitroglycerin dan Nitroprusside
Nitroglycerin sublingual 0,4-0,6 mg (dapat diulangi setiap 5 menit). Jika pasien tidak respon
atau EKG menunjukkan tanda-tanda iskemik, nitroglycerin dapat diberikan melalui drip
intravena 10-30 ug/menit dan dititrasi.
Pada pasien dengan hipertensi resisten dan tidak berespon baik dengan pemberian
nitroglycerin, dapat diberikan nitroprusside dimulai dengan dosis 2,5 ug/kgBB/menit dan
dititrasi.
Diuretik loop intravena
Diberikan furosemid 40-80 mg i.v. bolus atau bumetanide 0,5 1 mg iv, dapat diulangi atau
dosis ditingkatkan setelah 4 jam atau dilanjutkan dengan drip kontinu sampai dicapai
produksi urin 1 ml/kgBB/jam. Selama terapi ini elektrolit serum dimonitor terutama kalium.
Inotropic
Pada pasien dengan hipotensi atau pasien yang membutuhkan tambahan obat-obatan
inotropic, dapat dimulai dengan Dopamin dosis 5-10 ug/kg/menit dan dititrasi sampai
mencapai tekanan sistolik 90-100 mmHg. Dopamin dapat diberikan sendiri atau
dikombinasikan dengan dobutamin yang dimulai dengan dosis 2,5 ug/kgBB/menit dan
dititrasi sampai terjadi respon klinis yang diinginkan.
Aminofilin
Kadang-kadang aminofilin 240-480 mg intravena efektif mengurangi bronkokonstriksi,
meningkatkan aliran darah ginjal dan pengeluaran natrium dan memperkuat konstraksi
miokard.
Obat trombolitik : atau revaskularisasi pada pasien dengan infark miokard akut.
Setelah dilakukan tindakan terapetik darurat dan mengobati faktor pemicu, diagnosis kelainan
jantung yang mendasari yang menyebabkan edema paru harus ditegakkan jika sebelumnya
belum diketahui. Setelah stabilisasi keadaan pasien, harus dibuat strategi jangka panjang
untuk mencegah edema paru di masa mendatang.
Tatalaksana di ruang emergensi ACS :
Tujuan
tatalaksana
di
IGD
pada
pasien
yang
dicurigai
STEMI
mencakup:
c. Morfin
Morfin sangat efektif mengurangi nyeri dada dan merupakan analgesik pilihan dalam
tatalaksana nyeri dada pada STEMI. Morfin diberikan dengan dosis 2-4 mg dan dapat diulang
dengan interval 5-15 menit sampai dosis total 20 mg. Efek samping yang perlu diwaspadai
pada pemberian morfin adalah konstriksi vena dan arteriolar melalui penurunan simpatis,
sehingga terjadi pooling vena yang akan mengurangi curah jantung dan tekanan arteri. Efek
hemodinamik ini dapat diatasi dengan elevasi tungkai dan pada kondisi tertentu diperlukan
penambahan cairan IV dengan NaCl 0,9%. Morfin juga dapat menyebabkan efek vagotonik
yang menyebabkan bradikardia atau blok jantung derajat tinggi, terutama pasien dengan
infark posterior. Efek ini biasanya dapat diatasi dengan pemberian atropin 0,5 mg IV. 5
d. Acetyl salicyc acid (ASA)
ASA merupakan tatalaksana dasar pada pasien yang dicurigai STEMI dan efektif pada
spektrum SKA. Inhibisi cepat siklooksigenase trombosit yang dilanjutkan reduksi kadar
tromboksan A2 dicapai dengan absorpsi aspirin bukal dengan dosis 160-325 mg di ruang
emergensi. Selanjutnya aspirin diberikan oral dengan dosis 76-162 mg.5
II.5.1.2 Terapi Reperfusi
Pasien STEMI dengan onset nyeri dada <12 jam dan dengan elevasi segmen
ST menetap atau diduga blok cabang berkas kiri baru harus menjalani reperfusi mekanis
Percutaneous Coronary Intervention (PCI) atau farmakologis. Reperfusi dini akan
memperpendek lama oklusi koroner, meminimalkan derajat disfungsi dan dilatasi ventrikel
dan mengurangi kemungkinan pasien STEMI berkembang menjadi pump failure dan
takiaritmia ventrikular yang maligna.5
Kriteria Seleksi PCI Primer dan Terapi Farmakologis
Penelitian menunjukkan bahwa outcome klinis akan memburuk jika terjadi
keterlambatan tindakan PCI primer. Sehingga, seleksi strategi PCI primer dan reperfusi
farmakologis tergantung pada lama waktu antara mulai gejala dan kontak medis pertama
(KMP), waktu dari KMP sampai ke laboratorium kateterisasi, waktu dari KMP ke insersi
sheath dan waktu mulai KMP ke inflasi balon.7
PCI primer harus dikerjakan dalam 2 jam setelah KMP, dan walaupun belum ada
penelitian spesifik yang sudah dilakukan, keterlambatan waktu maksimal 90 menit setelah
KMP tampaknya menjadi rekomendasi yang reasonable pada pasien dengan presentasi dini
dengan infark luas dan risiko perdarahan rendah. PCI primer juga diindikasikan pada pasien
syok dan terdapat kontraindikasi terhadap terapi fibrinolitik. Rescue PCI harus
dipertimbangkan setelah kegagalan terapi fibrinolisis berdasarkan tanda klinis dan bukti
infark luas, jika tindakan dapat dikerjakan dalam waktu 12 jam setelah onset gejala.7
PCI Primer
Intervensi koroner perkutan, biasanya angioplasti dan/atau stenting tanpa didahului
fibrinolisis disebut PCI primer. PCI ini efektif dalam mengembalikan perfusi pada STEMI
jika dilakukan dalam beberapa jam pertama IMA. PCI primer lebih efektif dari fibrinolisis
dalam membuka arteri koroner yang tersumbat dan dikaitkan dengan outcome klinis jangka
pendek dan jangka panjang yang lebih baik. Dibandingkan trombolisis, PCI primer lebih
dipilih jika terdapat syok kardiogenik (terutama pasien <75 tahun), risiko perdarahan
meningkat, atau gejala sudah ada sekurang-kurangnya 2 atau 3 jam jika bekuan darah lebih
matur dan kurang mudah hancur dengan obat fibrinolisis. Namun demikian PCI lebih mahal
dalam hal personil dan fasilitas, dan aplikasinya terbatas berdasarkan tersedianya sarana,
hanya di beberapa rumah sakit.5
PCI primer adalah memasukkan kateter (melalui arteri femoral) ke dalam arteri
koroner. Visualisasi dilakukan dengan sinar-X dengan bantuan injeksi medium kontras
radioopaque melalui kateter. Ketika pembuluh darah koroner sudah dapat dilihat, identifikasi
definitif arteri yang trombosis dapat dilakukan dan arteri dapat dibuka menggunakan balon
pada ujung kateter sehingga terjadi reperfusi miokard yang mengalami infark. Stent kemudian
disisipkan untuk menjaga patensi pembuluh darah. Teknik ini memungkinkan pembukaan
arteri yang dikehendaki dengan lebih tepat, tidak seperti jika digunakan obat trombolisis
sistemik. Sebelum dilakukan PCI primer platelet harus dihambat sepenuhnya, dimaksudkan
untuk mengurangi resiko trombosis periprosedur yang disebabkan oleh lepasnya plak atau
trombosis pada stent. Hal ini dapat dicapai dengan pemberian clopidogrel (300-600 mg)
bersama dengan terapi standard aspirin. Pemberian harus dilakukan secepatnya, sebelum PCI.
Penghambatan platelet periprosedural tambahan dapat dilakukan dengan abciximab (inhibitor
glikoprotein IIb/IIIa) atau bivalirudin (inhibitor langsung trombin). PCI primer merupakan
pilihan yang lebih baik untuk pasien MI akut yang dapat dilakukan dalam waktu 90 menit
sejak kontak medik pertama (door to balloon time kurang dari 90 menit). Jika lebih dari 90
menit,
PCI
primer
masih
merupakan
terapi
pilihan
apabila
terapi
trombolisis
dikontraindikasikan atau jika pasien berisiko tinggi mengalami perdarahan, syok kardiogenik
atau dengan faktor risiko tinggi lainnya. Lebih dari 90% pasien yang mendapat PCI kembali
normal secara angiografi, dibanding dengan 60% pasien yang mendapat trombolisis (dimana
arteri yang tersumbat berhasil dialiri kembali).10
Keuntungan lain PCI:
Tidak ada efek samping serius (misalnya hemoragik intrakranial)
Waktu tinggal rawat inap lebih pendek
Resiko reinfark berkurang.
Jika pasien alergi terhadap medium kontras yang digunakan untuk angiografi, maka
trombolisis merupakan pilihan terapi satu-satunya. 10
Reperfusi Farmakologis
Jika tidak ada kontraindikasi, terapi fibrinolisis idealnya diberikan dalam 30 menit
sejak masuk. Tujuan utama fibrinolisis adalah restorasi cepat patensi arteri koroner. Terdapat
beberapa macam obat fibrinolitik antara lain: tissue plasminogen activator (tPA),
streptokinase, tenekteplase (TNK) dan reteplase (rPA). Semua obat ini bekerja dengan cara
memicu konversi plasminogen menjadi plasmin, yang selanjutnya melisiskan trombus fibrin.
Terdapat 2 kelompok yaitu: golongan spesifik fibrin seperti tPA dan nonspesifik fibrin seperti
streptokinase.5
Jika dinilai secara angiografi, aliran di dalam arteri koroner yang terlibat digambarkan
dengan skala kualitatif sederhana disebut thrombolysis in myocardial infarction (TIMI)
grading system:5
Grade 3 menunjukkan perfusi penuh pembuluh yang mengalami infark dengan aliran
normal.
Target terapi reperfusi adalah aliran TIMI grade 3, karena perfusi penuh pada
arteri koroner yang terkena infark menunjukkan hasil yang lebih baik dalam membatasi
luasnya infark, mempertahankan fungsi ventrikel kiri dan menurunkan laju mortalitas jangka
pendek dan jangka panjang.5
ditoleransi. Kontraindikasinya hipotensi, gangguan ginjal, stenosis arteri ginjal bilateral, dan
alergi ACEi. Elektrolit serum, fungsi ginjal dan tekanan darah harus dicek sebelum mulai
terapi dan setelah 2 minggu.11
5. Antagonis Aldosteron
Pedoman NICE menyatakan untuk pasien dengan gejala gagal jantung dan LVSD
antagonis aldosteron (eplerenone) dilisensikan sebagai terapi pasca-MI yang dimulai dalam
3-14 hari MI, lebih disukai setelah terapi ACEi. Studi EPHESUS menunjukkan penurunan
43% resiko 30 hari untuk semua mortalitas. Setelah maksimum terapi eplerenone 12 bulan,
pasien LVSD dapat diterapi dengan spironolakton sesuai dengan pedoman NICE untuk gagal
jantung. Kadar potasium/kalium dan fungsi ginjal harus dimonitor.11
6. Suplemen Diet
Pasien dianjurkan untuk meningkatkan konsumsi minyak ikan polyunsaturated dan makan
dengan pola diet Mediteranian. NICE menyarankan untuk menkonsumsi paling sedikit
omega 3 acid ethyl ester 7g/minggu. Ini bisa diperoleh dari 2-4 porsi ikan (oily fish) atau
1g/hari suplementasi peroral.11
II.5.2 Penatalaksanaan UAP/NSTEMI
Sasaran tatalaksana NSTE-ACS adalah memperbaiki iskemia miokard dalam waktu
segera dan mencegah terjadinya severe adverse outcomes seperti kematian atau reinfark.
Dalam jangka pendek, hal ini meliputi pemberian obat antiiskemik dan antitrombotik.
Penggunaan prosedur invasif adalah opsional tergantung status medis pasien.7