Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sepsis merupakan respon sistemik terhadap infeksi dimana pathogen atau toksin
dilepaskan ke dalam sirkulasi darah sehingga terjadi proses aktivitas proses inflamasi. Sepsis
merupakan penyebab kematian tersering pada penderita trauma dan perawatan klinis pada
semua usia dan jenis kelamin.
Infeksi pasca trauma sangat bergantung pada usia penderita, waktu antara trauma dan
penanggulangannya , kontaminasi luka, jenis dan sifat luka, kerusakan jaringan, syok, jenis
tindakan, dan pemberian antibiotik. Makin lama tertunda penanggulangannya, makin besar
kemungkinan infeksi. Meskipun telah mengalami kemajuan teknologi penanganan dalam
neonatologi dan perawatan kritis pediatrik dan meluasnya penggunaan spektrum luas agen
antimikroba, infeksi masih menjadi penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada bayi dan
anak-anak. Infeksi mikroba biasanya terjadi akibat kegagalan mekanisme pertahanan tubuh
yang intrinsik untuk memerangi faktor virulensi mikroorganisme. Bayi dan anak-anak
immunocompromised, bersama dengan bayi prematur dan bayi lahir lebih bulan, yang
memiliki gangguan dalam sistem pertahanan tubuh mereka, yang rentan terhadap infeksi
bakteri. Infeksi tersebut awalnya mendapatkan respon inflamasi lokal yang bertujuan untuk
menghancurkan bakteri. Kegagalan untuk mengendalikan baik infeksi itu sendiri atau respon
inflamasi terhadap infeksi dapat membangkitkan gejala klinis yang bervariasi didefinisikan
sebagai sindrom sepsis.
BAB II
PEMBAHASAN
Definisi
Systemic inflammatory response syndrome adalah pasien yang memiliki dua atau lebih
dari kriteria berikut:
1
Sepsis adalah SIRS ditambah tempat infeksi yang diketahui. Meskipun SIRS, sepsis
dan syok sepsis biasanya berhubungan dengan infeksi bakteri, tidak harus terdapat
bakteriemia.
Sepsis berat adalah sepsis yang berkaitan dengan disfungsi organ, kelainan
hipoperfusi, atau hipotensi. Kelainan hipoperfusi meliputi:
1
2
3
Asidosis laktat
Oliguria
Atau perubahan akut pada status mental
Beberapa kriteria diagnostik baru untuk sepsis, bagian yang terpenting adalah dengan
memasukkan petanda biomelekuler yaitu procalcition (PCT) dan C-reactive protein (CRP),
sebagai langkah awal dalam diagnosa sepsis. Rekomendasi yang utama adalah implementasi
dari suatu sistem tingkatan Predisposition, insult Infection, Response, and Organ disfunction
(PIRO) untuk menentukan pengobatan secara maksimum berdasarkan karakteristik pasien
dengan stratifikasi gejala dan risiko yang individual.
Etiologi Sepsis
Penyebab dari sepsis terbesar adalah bakteri gram (-) dengan prosentase 60-70 %
kasus, yang menyebabkan berbagai produk yang dapat menstimulasi sel imun. Sel tersebut
akan terpacu untuk melepaskan mediator inflamasi. Produk yang berperan penting terhadap
sepsis adalah lipopolisakarida (LPS). LPS atau endotoksin glikoprotein kompleks merupakan
komponen utama membran terluar dari bakteri gram negatif. LPS merangsang peradangan
jaringan, demam dan syok pada penderita infeksi. Struktur lipid A dalam LPS bertanggung
Patogenesis
Sepsis melibatkan berbagai mediator inflamasi termasuk berbagai sitokin. Sitokin
proinflamasi dan antiinflamasi terlibat dalam patogenesis sepsis. Termasuk sitokin
proinflamasi adalah TNF, IL-1, interferon (IFN-) yang membantu sel menghancurkan
mikroorganisme yang menginfeksi. Termasuk sitokin antiinflamasi adalah interleukin 1
reseptor antagonis (IL-1ra), IL-4, IL-10, yang bertugas untuk memodulasi, koordinasi atau
represi terhadap respon yang berlebihan. Apabila terjadi ketidakseimbangan kerja sitokin
proinflamasi dengan antiinflamasi, maka menimbulkan kerugian bagi tubuh.
`
Endotoksin dapat secara langsung dengan LPS dan bersama-sama membentuk LPSab
(Lipo Poli Sakarida antibodi). LPSab dalam serum penderita kemudian dengan perantara
reseptor CD14+ akan bereaksi dengan makrofag, dan kemudian makrofag mengekspresikan
imunomodulator. Hal ini terjadi apabila mikroba yang menginfeksi adalah bakteri gram
negatif yang mempunyai LPS pada dindingnya.
Eksotoksin, virus dan parasit yang merupakan superantigen setelah difagosit oleh
monosit atau makrofag yang berperan sebagai Antigen Presenting Cell (APC), kemudian
ditampilkan dalam APC. Antigen ini membawa muatan polipeptida spesifik yang berasal
dari Major Histocompatibility Complex (MHC). Antigen yang bermuatan pada peptida MHC
kelas II akan berikatan dengan CD4+ (limfosit Th1 dan Th2) dengan perantaraan TCR (T cell
receptor).
Limfosit T kemudian akan mengeluarkan substansi dari Th1 yang berfungsi sebagai
immunomodulator yaitu: IFN-, IL-2 dan M-CSF (Macrophage Colony stimulating factor).
Limfosit Th2 akan mengekspresikan IL-4, IL-5, IL-6, dan IL-10. IFN- merangsang
makrofag mengeluarkan IL-1 dan TNF-. IFN-, IL-1 dan TNF- merupakan sitokin
proinflamasi, pada sepsis terdapat peningkatan kadar IL-1 dan TNF- dalam serum
penderita. Sitokin IL-2 dan TNF- selain merupakan reaksi sepsis, dapat merusakkan endotel
pembuluh darah, yang mekanismenya sampai saat ini belum jelas. IL-1 sebagai
imunoregulator utama juga mempunyai efek pada sel endotel, termasuk pembentukan
prostaglandin E2 (PG-E2) dan merangsang ekspresiintercellular adhesion molecule1 (ICAM-1). Dengan adanya ICAM-1 menyebabkan neutrofil yang telah tersensitisasi
oleh granulocyte-macrophage colony stimulating factor (GM-CSF) akan mudah mengadakan
adhesi. Interaksi neutrofil dengan endotel terdiri dari 3 langkah, yaitu:
1
Bergulirnya neutrofil P dan E selektin yang dikeluarkan oleh endotel dan Lselektin neutrofil dala mengikat ligan respektif
Merupakan langkah yang sangat penting, adhesi dan aktivasi neutrofil yang
mengikat intergretin CD-11 atau CD-18, yang melekatkan neutrofil pada
endotel dengan molekul adhesi (ICAM) yang dihasilkan oleh endotel
IL-10 juga memperbaiki jaringan yang rusak akibat peradangan. Apabila IL-10 meningkat
lebih tinggi, maka kemungkinan kejadian syok septik pada sepsis dapat dicegah.
Patofisiologi Syok Septik
Endotoksin yang dilepaskan oleh mikroba akan menyebabkan proses inflamasi yang
melibatkan berbagai mediator inflamasi, yaitu sitokin, neutrofil, komplemen, NO, dan
berbagai mediator lain. Proses inflamasi pada sepsis merupakan proses homeostasis dimana
terjadi keseimbangan antara inflamasi dan antiinflamasi. Bila proses inflamasi melebihi
kemampuan homeostasis, maka terjadi proses inflamasi yang maladaptif, sehingga terjadi
berbagai proses inflamasi yang destruktif, kemudian menimbulkan gangguan pada tingkat
sesluler pada berbagai organ.
Terjadi disfungsi endotel, vasodilatasi akibat pengaruh NO yang menyebabkan
maldistribusi volume darah sehingga terjadi hipoperfusi jaringan dan syok. Pengaruh
mediator juga menyebabkan disfungsi miokard sehingga terjadi penurunan curah jantung.
Lanjutan proses inflamasi menyebabkan gangguan fungsi berbagai organ yang
dikenal sebagai disfungsi/gagal organ multipel (MODS/MOF). Proses MOF merupakan
kerusakan pada tingkat seluler (termasuk difungsi endotel), gangguan perfusi jaringan,
iskemia reperfusi, dan mikrotrombus. Berbagai faktor lain yang diperkirakan turut berperan
adalah terdapatnya faktor humoral dalam sirkulasi (myocardial depressant substance),
malnutrisi kalori protein, translokasi toksin bakteri, gangguan pada eritrosit, dan efek
samping dari terapi yang diberikan.
Koagulasi intravaskular
Perdarahan usus
Gagal hati
Gagal jantung
Kematian
Diagnosis
Diagnosis sepsis memerlukan indeks dugaan tinggi, pengambilan riwayat medis yang
cermat, pemeriksaan fisik, uji laboratorium yang sesuai, dan tindak lanjut status
hemodinamik.
Riwayat
Menentukan apakah infeksi berasal dari komunitas atau nosokomial, dan apakah
pasien immunocompromise. Beberapa tanda terjadinya sepsis meliputi:
1
Demam atau tanda yang tidak terjelaskan disertai keganasan atau instrumentasi
Perdarahan
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik diperlukan untuk mencari lokasi dan penyebab infeksi dan
inflamasi yang terjadi, misalnya pada dugaan infeksi pelvis, dilakukan pemeriksaan rektum,
pelvis, dan genital. Pemeriksan tersebut akan mengungkap abses rektal, perirektal, dan/atau
perineal, penyakit dan/atau abses inflamasi pelvis, atau prostatitis.
Laboratorium
Hitung darah lengkap, dengan hitung diferensial, urinalisis, gambaran koagulasi, urea
darah, nitrogen, kreatinin, elektrolit, uji fungsi hati, kadar asam laktat, gas darah arteri,
elektrokardiogram, dan rontgen dada. Biakan darah, sputum, urin, dan tempat lain yang
terinfeksi harus dilakukan.
Tergantung pada status klinis pasien dan risiko-risiko terkait, penelitian dapat juga
menggunakan foto rontgen abdomen, CT Scanning, MRI, ekokardiografi, dan/atau lumbar
puncture.
Temuan laboratorium lain :
berbeda adalah 19% untuk disfungsi CNS, 2-8% untuk ARDS, 12% untuk gagal hati, 9-23%
untuk ARF, dan 8-18% untuk DIC.
Pada syok septik, ARDS dijumpai pada sekitar 18%, DIC pada 38%, dan gagal ginjal
50%.
Penatalaksanaan
Tiga prioritas utama dalam penatalaksanaan sepsis:
1
karbapenem,
seftriakson,
sefepim,
glikopeptida,
Bila hasil kultur dan resistensi darah telah ada, pengobatan disesuaikan. Beberapa
bakteri gram negatif yang sering menyebabkan sepsis dan antibiotik yang dianjurkan:
Bakteri
Antibiotik
Dosis
Escherichia coli
Ampisilin/sefalotin
Klebsiella,
Gentamisin
Enterobacter
drip
dalam
20-30
menit
Proteus mirabilis
Ampisilin/sefalotin
menghindari flebitis.
Gentamisin
morgagni, Pr.
Vulgaris
Mima-Herellea
Gentamisin
Pseudomonas
Gentamisin
Bacteroides
Kloramfenikol/klindamisin
3
5 Terapi suportif
Eli Lily and Company mengumumkan bahwa hasil uji klinis
Phase III menunjukkan drotrecogin alfa (protein C teraktifkan
rekombinan, Zovant) menurunkan risiko relatif kematian akibat sepsis
dengan disfungsi organ akut terkait (dikenal sebagai sepsis berat)
sebesar 19,4 %. Zovant merupakan antikoagulan.
untuk
Kortikosteroid
Penggunaan kortikosteroid masih banyak kontroversial, ada yang menggunakan
pada awal terjadinya sepsis, ada yang menggunakan terapi steroid sesuai dengan
kebutuhan dan kekurangan yang ada didalam darah dengan memeriksa kadar steroid pada
saat itu (pengobatan suplementasi). Peggunaan steroid ada yang menganjurkan setelah
terjadi septic shock. Penggunaan kortikosteroid direkomendasikan adalah dengan low
doses corticosteroid >300 mg hydrocortisone / hari dalam keadaan septic shock.
Penggunaan high dose corticosteroid tidak efektif sama sekali pada keadaan sepsis dan
septic shock.
Glukosa kontrol
Pada penderita sepsis sering terjadi peningkatan gula darah yang tidak mengalami
dan yang mengalami diabetes melitus. Sebaiknya kadar gula darah dipertahankan sampai
dengan <150 mg/ dL. Dengan melakukan monitoring pada gula darah setiap 1-2 jam dan
dipertahankan minimal sampai dengan 4 hari.
Mencegah
terjadinya
stress
ulcer
dapat
diberikan
profilaksis
dengan
Pencegahan
Hindarkan trauma pada permukaan mukosa yang biasanya dihuni bakteri Gram-
negatif
Gunakan trimetoprim-sulfametoksazol secara profilaktik pada anak penderita
leukimia
Gunakan nitrat perak tipikal, sulfadiazin perak, atau sulfamilon secara profilaktik
Lingkungan yang protektif bagi pasien beresiko kurang berhasil karena sebagian
Oksigenasi
Hipoksemia dan hipoksia pada sepsis dapat terjadi sebagai akibat
bertujuan
mengatasi
hipoksia
dengan
upaya
Terapi cairan
Hipovolemia pada sepsis perlu segera diatasi dengan pemberian
cairan baik kristaloid maupun koloid. Volume cairan yang diberikan perlu
dimonitor kecukupannya agar tidak kurang ataupun berlebih. Secara klinis
Bikarbonat
Secara empirik, bikarbonat dapat diberikan bila pH <7,2 atau
Disfungsi renal
Sebagai terapi pengganti gagal ginjal akut dapat dilakukan
Nutrisi
Pada sepsis kecukupan nutrisi berupa kalori, protein, asam lemak,
Kortikosteroid
Saat ini terapi kortikosteroid diberikan hanya pada indikasi
Daftar Pustaka
Chen K dan Pohan H.T. 2009. Penatalaksanaan Syok Septik dalam Sudoyo, Aru W.
Setiyohadi, Bambang. Alwi, Idrus. Simadibrata K, Marcellus. Setiati, Siti. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid I Edisi V. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam FKUI.
Hermawan A.G. 2009. Sepsis daalam Sudoyo, Aru W. Setiyohadi, Bambang. Alwi, Idrus.
Simadibrata K, Marcellus. Setiati, Siti. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi V.
Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
Purwadianto A dan Sampurna B. 2000. Kedaruratan Medik Edisi Revisi. Jakarta: Bina
Aksara.