You are on page 1of 13

BAB I

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sepsis merupakan respon sistemik terhadap infeksi dimana pathogen atau toksin
dilepaskan ke dalam sirkulasi darah sehingga terjadi proses aktivitas proses inflamasi. Sepsis
merupakan penyebab kematian tersering pada penderita trauma dan perawatan klinis pada
semua usia dan jenis kelamin.
Infeksi pasca trauma sangat bergantung pada usia penderita, waktu antara trauma dan
penanggulangannya , kontaminasi luka, jenis dan sifat luka, kerusakan jaringan, syok, jenis
tindakan, dan pemberian antibiotik. Makin lama tertunda penanggulangannya, makin besar
kemungkinan infeksi. Meskipun telah mengalami kemajuan teknologi penanganan dalam
neonatologi dan perawatan kritis pediatrik dan meluasnya penggunaan spektrum luas agen
antimikroba, infeksi masih menjadi penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada bayi dan
anak-anak. Infeksi mikroba biasanya terjadi akibat kegagalan mekanisme pertahanan tubuh
yang intrinsik untuk memerangi faktor virulensi mikroorganisme. Bayi dan anak-anak
immunocompromised, bersama dengan bayi prematur dan bayi lahir lebih bulan, yang
memiliki gangguan dalam sistem pertahanan tubuh mereka, yang rentan terhadap infeksi
bakteri. Infeksi tersebut awalnya mendapatkan respon inflamasi lokal yang bertujuan untuk
menghancurkan bakteri. Kegagalan untuk mengendalikan baik infeksi itu sendiri atau respon
inflamasi terhadap infeksi dapat membangkitkan gejala klinis yang bervariasi didefinisikan
sebagai sindrom sepsis.

BAB II
PEMBAHASAN
Definisi
Systemic inflammatory response syndrome adalah pasien yang memiliki dua atau lebih
dari kriteria berikut:
1

Suhu > 38C atau < 36C

Denyut jantung >90 denyut/menit

Respirasi >20/menit atau PaCO2 < 32 mmHg

Hitung leukosit > 12.000/mm3 atau >10% sel imatur

Sepsis adalah SIRS ditambah tempat infeksi yang diketahui. Meskipun SIRS, sepsis
dan syok sepsis biasanya berhubungan dengan infeksi bakteri, tidak harus terdapat
bakteriemia.
Sepsis berat adalah sepsis yang berkaitan dengan disfungsi organ, kelainan
hipoperfusi, atau hipotensi. Kelainan hipoperfusi meliputi:
1
2
3

Asidosis laktat
Oliguria
Atau perubahan akut pada status mental

Beberapa kriteria diagnostik baru untuk sepsis, bagian yang terpenting adalah dengan
memasukkan petanda biomelekuler yaitu procalcition (PCT) dan C-reactive protein (CRP),
sebagai langkah awal dalam diagnosa sepsis. Rekomendasi yang utama adalah implementasi
dari suatu sistem tingkatan Predisposition, insult Infection, Response, and Organ disfunction
(PIRO) untuk menentukan pengobatan secara maksimum berdasarkan karakteristik pasien
dengan stratifikasi gejala dan risiko yang individual.

Etiologi Sepsis
Penyebab dari sepsis terbesar adalah bakteri gram (-) dengan prosentase 60-70 %
kasus, yang menyebabkan berbagai produk yang dapat menstimulasi sel imun. Sel tersebut
akan terpacu untuk melepaskan mediator inflamasi. Produk yang berperan penting terhadap
sepsis adalah lipopolisakarida (LPS). LPS atau endotoksin glikoprotein kompleks merupakan
komponen utama membran terluar dari bakteri gram negatif. LPS merangsang peradangan
jaringan, demam dan syok pada penderita infeksi. Struktur lipid A dalam LPS bertanggung

jawab terhadap reaksi dalam tubuh penderita. Staphylococci, Pneumococci, Sterptococcus


dan bakteri gram negatif lainnya menyebabkam sepsis. Selain itu jamur opoortunistik, virus (
dengue dan herpes ) atau protozoa ( Falciparum malariae ) dilaporkan dapat menyebabkan
sepsis, walaupun jarang.
Peptidoglikan merupakan komponen dinding sel dari semua kuman, pemberian infus
substansi ini pada binatang akan memberikan gejala mirip pemberian endotoksin.
Peptidogliksn diketahui dapat menyebabkan agregasi trombosit.
Eksotoksin yang dihasilkan oleh berbagai macam kuman , misalnya -hemolisin ( S.
Aurens ), E. coli hemolisin ( E. coli ) dapat merusak integritas membran sel imun secara
langsung.
Dari semua faktor diatas, faktor yang paling penting adalah LPS endotoksin gram
negatif dan dinyatakan sebagai penyebab sepsis terbanyak. LPS dapat langsung mengaktifkan
sistem imun selular dan humoral, yang dapat menimbulkan perkembangan gejala septicemia.
LPS sendiri tidak mempunyai sifat toksik, tetapi merangsang pengeluaran mediator inflamasi
yang bertanggung jawab terhadap sepsis. Makrofag mengeluarkan polipeptida, yang disebut
faktor nekrosis tumor (tumor necrosis factor/ TNF) dan interleukin 1(IL-1), IL-6, dan IL-8
yang merupakan mediator kunci dan sering mengikat sangat tinggi pada penderita
immunocompromise (IC) yang mengalami sepsis.

Patogenesis
Sepsis melibatkan berbagai mediator inflamasi termasuk berbagai sitokin. Sitokin
proinflamasi dan antiinflamasi terlibat dalam patogenesis sepsis. Termasuk sitokin
proinflamasi adalah TNF, IL-1, interferon (IFN-) yang membantu sel menghancurkan
mikroorganisme yang menginfeksi. Termasuk sitokin antiinflamasi adalah interleukin 1
reseptor antagonis (IL-1ra), IL-4, IL-10, yang bertugas untuk memodulasi, koordinasi atau
represi terhadap respon yang berlebihan. Apabila terjadi ketidakseimbangan kerja sitokin
proinflamasi dengan antiinflamasi, maka menimbulkan kerugian bagi tubuh.
`

Endotoksin dapat secara langsung dengan LPS dan bersama-sama membentuk LPSab

(Lipo Poli Sakarida antibodi). LPSab dalam serum penderita kemudian dengan perantara
reseptor CD14+ akan bereaksi dengan makrofag, dan kemudian makrofag mengekspresikan
imunomodulator. Hal ini terjadi apabila mikroba yang menginfeksi adalah bakteri gram
negatif yang mempunyai LPS pada dindingnya.

Eksotoksin, virus dan parasit yang merupakan superantigen setelah difagosit oleh
monosit atau makrofag yang berperan sebagai Antigen Presenting Cell (APC), kemudian
ditampilkan dalam APC. Antigen ini membawa muatan polipeptida spesifik yang berasal
dari Major Histocompatibility Complex (MHC). Antigen yang bermuatan pada peptida MHC
kelas II akan berikatan dengan CD4+ (limfosit Th1 dan Th2) dengan perantaraan TCR (T cell
receptor).
Limfosit T kemudian akan mengeluarkan substansi dari Th1 yang berfungsi sebagai
immunomodulator yaitu: IFN-, IL-2 dan M-CSF (Macrophage Colony stimulating factor).
Limfosit Th2 akan mengekspresikan IL-4, IL-5, IL-6, dan IL-10. IFN- merangsang
makrofag mengeluarkan IL-1 dan TNF-. IFN-, IL-1 dan TNF- merupakan sitokin
proinflamasi, pada sepsis terdapat peningkatan kadar IL-1 dan TNF- dalam serum
penderita. Sitokin IL-2 dan TNF- selain merupakan reaksi sepsis, dapat merusakkan endotel
pembuluh darah, yang mekanismenya sampai saat ini belum jelas. IL-1 sebagai
imunoregulator utama juga mempunyai efek pada sel endotel, termasuk pembentukan
prostaglandin E2 (PG-E2) dan merangsang ekspresiintercellular adhesion molecule1 (ICAM-1). Dengan adanya ICAM-1 menyebabkan neutrofil yang telah tersensitisasi
oleh granulocyte-macrophage colony stimulating factor (GM-CSF) akan mudah mengadakan
adhesi. Interaksi neutrofil dengan endotel terdiri dari 3 langkah, yaitu:
1

Bergulirnya neutrofil P dan E selektin yang dikeluarkan oleh endotel dan Lselektin neutrofil dala mengikat ligan respektif

Merupakan langkah yang sangat penting, adhesi dan aktivasi neutrofil yang
mengikat intergretin CD-11 atau CD-18, yang melekatkan neutrofil pada
endotel dengan molekul adhesi (ICAM) yang dihasilkan oleh endotel

Transmigrasi neutrofil menembus dinding endotel.

Neutrofil yang beradhesi dengan endotel akan mengeluarkan lisozyme yang


melisiskan dinding endotel, akibatnya endotel terbuka. Neutrofil juga termasuk radikal bebas
yang mempengaruhi oksigenasi pada mitokondria dan siklus GMPs, sehingga akibatnya
endotel menjadi nekrosis, dan rusak. Kerusakan endotel tersebut menyebabkan vascular leak,
sehingga menyebabkan kerusakan organ multipel. Pendapat lain yang memperkuat pendapat
tersebut bahwa kelainan organ multipel disebabkan karena trombosis dan koagulasi dalam
pembuluh darah kecil sehingga terjadi syok septik yang berakhir dengan kematian.
Untuk mencegah terjadinya sepsis yang berkelanjutan, Th2 mengekspresikan IL-10
sebagai sitokin antiinflamasi yang akan menghambat ekspresi IFN-, TNF- dan fungsi APC.

IL-10 juga memperbaiki jaringan yang rusak akibat peradangan. Apabila IL-10 meningkat
lebih tinggi, maka kemungkinan kejadian syok septik pada sepsis dapat dicegah.
Patofisiologi Syok Septik
Endotoksin yang dilepaskan oleh mikroba akan menyebabkan proses inflamasi yang
melibatkan berbagai mediator inflamasi, yaitu sitokin, neutrofil, komplemen, NO, dan
berbagai mediator lain. Proses inflamasi pada sepsis merupakan proses homeostasis dimana
terjadi keseimbangan antara inflamasi dan antiinflamasi. Bila proses inflamasi melebihi
kemampuan homeostasis, maka terjadi proses inflamasi yang maladaptif, sehingga terjadi
berbagai proses inflamasi yang destruktif, kemudian menimbulkan gangguan pada tingkat
sesluler pada berbagai organ.
Terjadi disfungsi endotel, vasodilatasi akibat pengaruh NO yang menyebabkan
maldistribusi volume darah sehingga terjadi hipoperfusi jaringan dan syok. Pengaruh
mediator juga menyebabkan disfungsi miokard sehingga terjadi penurunan curah jantung.
Lanjutan proses inflamasi menyebabkan gangguan fungsi berbagai organ yang
dikenal sebagai disfungsi/gagal organ multipel (MODS/MOF). Proses MOF merupakan
kerusakan pada tingkat seluler (termasuk difungsi endotel), gangguan perfusi jaringan,
iskemia reperfusi, dan mikrotrombus. Berbagai faktor lain yang diperkirakan turut berperan
adalah terdapatnya faktor humoral dalam sirkulasi (myocardial depressant substance),
malnutrisi kalori protein, translokasi toksin bakteri, gangguan pada eritrosit, dan efek
samping dari terapi yang diberikan.

Gejala Klinis Sepsis


Tidak spesifik, biasanya didahului demam, menggigil, dan gejala konsitutif seperti
lemah, malaise, gelisah atau kebingungan. Tempat infeksi yang paling sering: paru, tractus
digestivus, tractus urinarius, kulit, jaringan lunak, dan saraf pusat. Gejala sepsis akan menjadi
lebih berat pada penderita usia lanjut, penderita diabetes, kanker, gagal organ utama, dan
pasien dengan granulositopenia.
Tanda-tanda MODS dengan terjadinya komplikasi:
1

Sindrom distress pernapasan pada dewasa

Koagulasi intravaskular

Gagal ginjal akut

Perdarahan usus

Gagal hati

Disfungsi sistem saraf pusat

Gagal jantung

Kematian

Diagnosis
Diagnosis sepsis memerlukan indeks dugaan tinggi, pengambilan riwayat medis yang
cermat, pemeriksaan fisik, uji laboratorium yang sesuai, dan tindak lanjut status
hemodinamik.
Riwayat
Menentukan apakah infeksi berasal dari komunitas atau nosokomial, dan apakah
pasien immunocompromise. Beberapa tanda terjadinya sepsis meliputi:
1

Demam atau tanda yang tidak terjelaskan disertai keganasan atau instrumentasi

Hipotensi, oliguria, atau anuria

Takipnea atau hiperpnea, hipotermia tanpa penyebab yang jelas

Perdarahan

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik diperlukan untuk mencari lokasi dan penyebab infeksi dan
inflamasi yang terjadi, misalnya pada dugaan infeksi pelvis, dilakukan pemeriksaan rektum,
pelvis, dan genital. Pemeriksan tersebut akan mengungkap abses rektal, perirektal, dan/atau
perineal, penyakit dan/atau abses inflamasi pelvis, atau prostatitis.
Laboratorium
Hitung darah lengkap, dengan hitung diferensial, urinalisis, gambaran koagulasi, urea
darah, nitrogen, kreatinin, elektrolit, uji fungsi hati, kadar asam laktat, gas darah arteri,
elektrokardiogram, dan rontgen dada. Biakan darah, sputum, urin, dan tempat lain yang
terinfeksi harus dilakukan.
Tergantung pada status klinis pasien dan risiko-risiko terkait, penelitian dapat juga
menggunakan foto rontgen abdomen, CT Scanning, MRI, ekokardiografi, dan/atau lumbar
puncture.
Temuan laboratorium lain :

Sepsis awal. Leukositosis dengan shift kiri, trombositopenia, hiperbilirubinemia, dan


proteinuria. Dapat terjadi leukopenia. Adanya hiperventilasi menimbulkan alkalosis
respiratorik. Penderita diabetes dapat mengalami hiperglikemia. Lipida serum meningkat.
Selanjutnya. Trombositopenia memburuk disertai perpanjangan waktu trombin,
penurunan fibrinogen, dan keberadaan D-dimer yang menunjukkan DIC. Azotemia dan
hiperbilirubinemia lebih dominan. Aminotransferase meningkat. Bila otot pernapasan lelah,
terjadi akumulasi laktat serum. Asidosis metabolik terjadi setelah alkalosis respiratorik.
Hiperglikemia diabetik dapat menimbulkan ketoasidosis yang memperburuk hipotensi.
Mortalitas meningkat sejalan dengan peningkatan jumlah gejala SIRS dan berat
proses penyakit.
Komplikasi
1
2
3
4
5
6
7
8

Sindroma distres pernapasan dewasa (ARDS, adult respiratory disease syndrome)


Koagulasi intravaskuler diseminata (DIC, disseminated intravascular coagulation)
Gagal ginjal akut (ARF, acute renal failure)
Perdarahan usus
Gagal hati
Disfungsi sistem saraf pusat
Gagal jantung
Kematian
Insidensi komplikasi tersebut yang dilaporkan pada SIRS dan sepsis dalam penelitian

berbeda adalah 19% untuk disfungsi CNS, 2-8% untuk ARDS, 12% untuk gagal hati, 9-23%
untuk ARF, dan 8-18% untuk DIC.
Pada syok septik, ARDS dijumpai pada sekitar 18%, DIC pada 38%, dan gagal ginjal
50%.

Penatalaksanaan
Tiga prioritas utama dalam penatalaksanaan sepsis:
1

Stabilisasi pasien langsung


Pasien dengan sepsis berat harus dimasukkan dalam ICU.
Tanda vital pasien harus dipantau. Pertahankan curah jantung dan
ventilasi yang memadai dengan obat. Pertimbangkan dialisis untuk
membantu fungsi ginjal. Pertahankan tekanan darah arteri pada pasien

hipotensif dengan obat vasoaktif, misal dopamin, dobutamin, dan


norepinefrin.
2

Pemberian antibiotik yang adekuat


Agen antimikrobial tertentu dapat memperburuk keadaan
pasien. Diyakini bahwa antimikrobial tertentu menyebabkan pelepasan
lebih banyak LPS sehingga menimbulkan lebih banyak masalah bagi
pasien. Antimikrobial yang tidak menyebabkan psien memburuk
adalah

karbapenem,

seftriakson,

sefepim,

glikopeptida,

aminoglikosida, dan quinolon.


Perlu segera perawatan empirik dengan antimikrobial, yang jika
diberikan secara dini dapat menurunkan perkembangan syok dan angka
mortalitas. Setelah sampel didapatkan dari pasien, diperlukan regimen
antimikrobial dengan spektrum aktivitas luas. Bila telah ditemukan
penyebab pasti, maka antimikrobial diganti sesuai dengan agen
penyebab sepsis tersebut.
Sebelum ada hasil kultur darah, diberikan kombinasi antibiotik
yang kuat, misalnya antara golongan penisilin/penicillinaseresistant
penicillin dengan gentamisin.
a. Golongan penicillin
- Procain penicillin 50.000 IU/kgBB/hari im, dibagi dua
dosis
- Ampicillin 4-6 x 1 gram/hari iv selama 7-10 hari
b. Golongan penicillinaseresistant penicillin
- Kloksasilin (Cloxacillin Orbenin) 41 gram/hari iv selama
7-10 hari sering dikombinasikan dengan ampisilin), dalam
hal ini masing-masing dosis obat diturunkan setengahnya,
atau menggunakan preparat kombinasi yang sudah ada
(Ampiclox 4 x 1 gram/hari iv).
- Metisilin 4-6 x 1 gram/hari iv selama 7-14 hari.
c. Gentamycin
Garamycin, 5 mg/kgBB/hari dibagi tiga dosis im selama 7
hari, hati-hati terhadap efek nefrotoksiknya.

Bila hasil kultur dan resistensi darah telah ada, pengobatan disesuaikan. Beberapa
bakteri gram negatif yang sering menyebabkan sepsis dan antibiotik yang dianjurkan:
Bakteri

Antibiotik

Dosis

Escherichia coli

Ampisilin/sefalotin

- Sefalotin: 1-2 gram tiap 4-6 jam, biasanya

Klebsiella,

Gentamisin

dilarutkan dalam 50-100 ml cairan, diberikan


per

Enterobacter

drip

dalam

20-30

menit

Proteus mirabilis

Ampisilin/sefalotin

menghindari flebitis.

Pr. rettgeri, Pr.

Gentamisin

- Kloramfenikol: 6 x 0,5 g/hari iv


- Klindamisin: 4 x 0,5 g/hari iv

morgagni, Pr.
Vulgaris
Mima-Herellea

Gentamisin

Pseudomonas

Gentamisin

Bacteroides

Kloramfenikol/klindamisin
3

Fokus infeksi awal harus dieliminasi


Hilangkan benda asing. Salurkan eksudat purulen, khususnya
untuk infeksi anaerobik. Angkat organ yang terinfeksi, hilangkan atau
potong jaringan yang gangren.

Pemberian nutrisi yang adekuat


Pemberian nutrisi merupakan terapi tambahan yang sangat
penting berupa makro dan mikronutrient. Makronutrient terdiri dari
omega-3 dan golongan nukluetida yaitu glutamin sedangkan
mikronutrient berupa vitamin dan trace element.

5 Terapi suportif
Eli Lily and Company mengumumkan bahwa hasil uji klinis
Phase III menunjukkan drotrecogin alfa (protein C teraktifkan
rekombinan, Zovant) menurunkan risiko relatif kematian akibat sepsis
dengan disfungsi organ akut terkait (dikenal sebagai sepsis berat)
sebesar 19,4 %. Zovant merupakan antikoagulan.

untuk

Kortikosteroid
Penggunaan kortikosteroid masih banyak kontroversial, ada yang menggunakan
pada awal terjadinya sepsis, ada yang menggunakan terapi steroid sesuai dengan
kebutuhan dan kekurangan yang ada didalam darah dengan memeriksa kadar steroid pada
saat itu (pengobatan suplementasi). Peggunaan steroid ada yang menganjurkan setelah
terjadi septic shock. Penggunaan kortikosteroid direkomendasikan adalah dengan low
doses corticosteroid >300 mg hydrocortisone / hari dalam keadaan septic shock.
Penggunaan high dose corticosteroid tidak efektif sama sekali pada keadaan sepsis dan
septic shock.
Glukosa kontrol
Pada penderita sepsis sering terjadi peningkatan gula darah yang tidak mengalami
dan yang mengalami diabetes melitus. Sebaiknya kadar gula darah dipertahankan sampai
dengan <150 mg/ dL. Dengan melakukan monitoring pada gula darah setiap 1-2 jam dan
dipertahankan minimal sampai dengan 4 hari.
Mencegah

terjadinya

stress

ulcer

dapat

diberikan

profilaksis

dengan

menggunakan H2 broker protonpan inhibitor.


Apabila terjadi kesulitan pernafasan penderita memerlukan ventilator dimana
tersedia di ICU.

Pencegahan

Hindarkan trauma pada permukaan mukosa yang biasanya dihuni bakteri Gram-

negatif
Gunakan trimetoprim-sulfametoksazol secara profilaktik pada anak penderita

leukimia
Gunakan nitrat perak tipikal, sulfadiazin perak, atau sulfamilon secara profilaktik

pada pasien luka bakar


Berikan semprotan (spray) polimiksin pada faring posterior untuk mencegah

pneumonia Gram-negatif nosokomial


Strerilisasi flora aerobik lambung dengan polimiksin dan gentamisin dengan
vankomisin dan nistatin efektif dalam mengurangi sepsis Gram-negatif pada
pasien neutropenia

Lingkungan yang protektif bagi pasien beresiko kurang berhasil karena sebagian

besar infeksi berasal dari dalam (endogen)


Untuk melindungi neonatus dari sepsis strep Grup B ambil apusan (swab)
vagina/rektum pada kehamilan 35-37 minggu. Biakkan untuk Streptococcus
agalactiae (penyebab utama sepsis pada neonatus). Jika positif untuk Strep Grup
B, berikan penisilin intrapartum pada ibu hamil. Hal ini akan menurunkan infeksi
Grup B sebesar 78%.

Penatalaksanaan Syok Septik


Penatalaksanaan hipotensi dan syok septik merupakan tindakan resusitasi yang perlu
dilakukan sesegera mungkin. Resusitasi dilakukan secara intensif dalam 6 jam pertama,
dimulai sejak pasien tiba di unit gawat darurat. Tindakan mencakup airway: a) breathing; b)
circulation; c) oksigenasi, terapi cairan, vasopresor/inotropik, dan transfusi bila diperlukan.
Pemantauan dengan kateter vena sentral sebaiknya dilakukan untuk mencapai tekanan vena
sentral (CVP) 8-12 mmHg, tekanan arteri rata-rata (MAP)>65 mmHg dan produksi urin >0,5
ml/kgBB/jam.
1

Oksigenasi
Hipoksemia dan hipoksia pada sepsis dapat terjadi sebagai akibat

disfungsi atau kegagalan sistem respirasi karena gangguan ventilasi


maupun perfusi. Transpor oksigen ke jaringan juga dapat terganggu akibat
keadaan hipovolemik dan disfungsi miokard menyebabkan penurunan
curah jantung. Kadar hemoglobin yang rendah akibat perdarahan
menyebabkan daya angkut oleh eritrosit menurun. Transpor oksigen ke
jaringan dipengaruhi juga oleh gangguan perfusi akibat disfungsi vaskuler,
mikrotrombus dan gangguan penggunaan oksigen oleh jaringan yang
mengalami iskemia.
Oksigenasi

bertujuan

mengatasi

hipoksia

dengan

upaya

meningkatkan saturasi oksigen di darah, meningkatkan transpor oksigen


dan memperbaiki utilisasi oksigen di jaringan.
2

Terapi cairan
Hipovolemia pada sepsis perlu segera diatasi dengan pemberian

cairan baik kristaloid maupun koloid. Volume cairan yang diberikan perlu
dimonitor kecukupannya agar tidak kurang ataupun berlebih. Secara klinis

respon terhadap pemberian cairan dapat terlihat dari peningkatan tekanan


darah, penurunan ferkuensi jantung, kecukupan isi nadi, perabaan kulit dan
ekstremitas, produksi urin, dan membaiknya penurunan kesadaran. Perlu
diperhatikan tanda kelebihan cairan berupa peningkatan tekanan vena
jugular, ronki, gallop S3, dan penurunan saturasi oksigen.
Pada keadaan serum albumin yang rendah (< 2 g/dl) disertai
tekanan hidrostatik melebihi tekanan onkotik plasma, koreksi albumin
perlu diberikan. Transfusi eritrosit (PRC) perlu diberikan pada keadaan
perdarahan aktif, atau bila kadar Hb rendah pada keadaan tertentu
misalnya iskemia miokardial dan renjatan septik. Kadar Hb yang akan
dicapai pada sepsis dipertahankan pada 8-10 g/dl.
3

Vasopresor dan inotropik


Vasopresor sebaiknya diberikan setelah keadaan hipovolemik

teratasi dengan pemberian cairan secara adekuat, tetapi pasien masih


mengalami hipotensi. Terapi vasopresor diberikan mulai dosis rendah
secara titrasi untuk mencapai MAP 60 mmHg, atau tekanan sistolik 90
mmHg. Untuk vasopresor dapat digunakan dopamin dengan dosis >8
mcg/kg/menit, norepinefrin 0,03-1,5 mcg/kg/menit, fenileferin 0,5-8
mcg/kg/menit atau epinefrin 0,1-0,5 mcg/kg/menit. Inotropik yang dapat
digunakan adalah dobutamin dosis 2-28 mcg/kg/menit, dopamin 3-8
mc/kg/menit, epinefrin 0,1-0,5 mcg/kg/menit atau inhibitor fosfodiesterase
(amrinon dan milrinon).
4

Bikarbonat
Secara empirik, bikarbonat dapat diberikan bila pH <7,2 atau

serum bikarbonat <9 meq/l, dengan disertai upaya untuk memperbaiki


keadaan hemodinamik.
5

Disfungsi renal
Sebagai terapi pengganti gagal ginjal akut dapat dilakukan

hemodialisis maupun hemofiltrasi kontinu (continuous hemofiltration).


Pada hemodialisis digunakan gradien tekanan osmotik dalam filtrasi
substansi plasma, sedangkan pada hemofiltrasi digunakan gradien tekanan

hidrostatik. Hemofiltrasi dilakukan kontinu selama perawatan, sedangkan


bila kondisi telah stabil dapat dilakukan hemodialisis.
6

Nutrisi
Pada sepsis kecukupan nutrisi berupa kalori, protein, asam lemak,

cairan, vitamin dan mineral perlu diberikan sedini mungkin, diutamakan


pemberian secara enteral dan bila tidak memungkinkan beru diberikan
secara parenteral.
7

Kortikosteroid
Saat ini terapi kortikosteroid diberikan hanya pada indikasi

insufisiensi adrenal, dan diberikan secara empirik bila terdapat dugaan


keadaan tersebut. Hidrokortison dengan dosis 50mg bolus intravena 4 kali
selama 7 hari pada pasien renjatan septik menunjukkan penurunan
mortalitas dibanding kontrol.

Daftar Pustaka
Chen K dan Pohan H.T. 2009. Penatalaksanaan Syok Septik dalam Sudoyo, Aru W.
Setiyohadi, Bambang. Alwi, Idrus. Simadibrata K, Marcellus. Setiati, Siti. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid I Edisi V. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam FKUI.
Hermawan A.G. 2009. Sepsis daalam Sudoyo, Aru W. Setiyohadi, Bambang. Alwi, Idrus.
Simadibrata K, Marcellus. Setiati, Siti. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi V.
Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
Purwadianto A dan Sampurna B. 2000. Kedaruratan Medik Edisi Revisi. Jakarta: Bina
Aksara.

You might also like