Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
Asma merupakan salah satu penyakit respiratorius kronik yang sering ditemukan
di seluruh dunia, termasuk di negara berkembang. Asma dapat diderita oleh semua
kelompok umur, baik anak-anak maupun dewasa dengan derajat penyakit yang
bervariasi dari ringan, sedang, hingga berat. Prevalensi asma diketahui mengalami
peningkatan selama periode 20 tahun terakhir ini, terutama prevalensi asma pada
kelompok anak-anak.
Asma didefinisikan sebagai kumpulan tanda dan gejala wheezing (mengi)
dan/atau batuk dengan karakteristik khas berupa muncul secara episodik dan/atau
kronik; cenderung pada malam hari/dini hari (noktural); musiman; ada faktor
pencetus di antaranya aktivitas fisik; dan bersifat reversibel baik secara spontan
maupun dengan pengobatan; serta adanya riwayat asma atau atopi lain pada
pasien/keluarganya, sedangkan sebab-sebab lain sudah disingkirkan.1,2
Prevalensi asma diperkirakan sekitar 5-10% di dunia dengan estimasi sekitar
23.4 juta orang menderita asma, termasuk 7 juta di antaranya adalah kelompok
anak-anak.3 World Health Organization (WHO) memprediksi 250.000 kematian
asma yang dilaporkan di seluruh dunia setiap tahunnya. 4 Terdapat perbedaan
prevalensi asma di setiap negara maupun daerah.2
Berdasarkan hasil Riskesdas 2013, prevalensi asma di Indonesia adalah
sebesar 4.5% dengan prevalensi asma pada anak usia 1-4 tahun sebesar 3.8% dan
anak usia 5-14 tahun sebesar 3.9%.5 Angka kejadian diperkirakan terus meningkat
yang tidak dapat dijelaskan semata-mata dengan faktor genetik, sehingga muncul
dugaan adanya peranan faktor lingkungan sebagai pencetus terjadinya asma.
Faktor risiko asma di antaranya: jenis kelamin, usia, riwayat atopi, lingkungan,
ras, asap rokok, polusi, dan infeksi respiratorius.2
Pada kelompok anak-anak, asma memiliki kecenderungan lebih sering terjadi
pada anak laki-laki dibandingkan anak perempuan dengan rasio 2:1 dan menjadi
1:1 pada kelompok usia pubertas. Prevalensi asma meningkat pada kelompok usia
muda, terutama anak-anak dan juga pada kelompok usia tua. Hal ini dikarenakan
respon saluran napas yang tidak matur atau mengalami penurunan respon dan
fungsi paru-paru masih belum sempurna atau sudah mengalami penurunan fungsi.
Dikatakan dua per tiga kasus asma didiagnosis pada kelompok umur kurang dari
18 tahun.2
Faktor lingkungan yang turut berperan dalam munculnya gejala asma adalah
faktor alergen seperti tangau rumah, debu, bulu hewan peliharaan, jamur, dan asap
rokok, serta cuaca dingin. Infeksi saluran napas lain seperti faringitis dan sinusitis
juga dapat memicu munculnya gejala asma. Diperkirakan 80-85% episode asma
pada anak-anak terkait dengan paparan virus sebelumnya.4
Penatalaksanaan penyakit asma mencakup manajemen terhadap episode asma
akut dan kontrol gejala kronik. Pemberian medikamentosa seperti kortikosteroid
dan bronkodilator diketahui efektif dalam mengatasi gejala asma. 2,4 Intensitas
terapi diberikan bergantung pada derajat serangan asma yang terjadi. Hal yang
terpenting sebagai tata laksana jangka panjang pada pasien asma adalah
penghindaran faktor pencetus munculnya gejala asma.2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Definisi Asma
Asma didefinisikan sebagai kumpulan tanda dan gejala wheezing (mengi) dan/atau
batuk dengan karakteristik khas berupa muncul secara episodik dan/atau kronik;
cenderung pada malam hari/dini hari (noktural); musiman; ada faktor pencetus di
antaranya aktivitas fisik; dan bersifat reversibel baik secara spontan maupun
dengan pengobatan; serta adanya riwayat asma atau atopi lain pada
pasien/keluarganya, sedangkan sebab-sebab lain sudah disingkirkan.1,2
2.2
Epidemiologi
2.3
Etiologi
Penyebab pasti munculnya asma hingga saat ini belum diketahui secara pasti.
Akan tetapi terdapat banyak faktor yang berkontribusi terhadap muncul dan
berkembangnya penyakit asma. Faktor tersebut mencakup faktor genetik dan
faktor lingkungan.2,4
1. Faktor genetik (keturunan) yang multipel
2. Faktor lingkungan, mencakup:
a. Inducers meliputi allergen lingkungan, misal tangau rumah, bulu hewan,
jamur, serbuk sari, asap rokok, dan debu.
b. Enhancers meliputi infeksi virus pada saluran napas (rhinovirus), ozon,
obat-obatan (misalnya: aspirin dan NSAIDs dan penggunaan betaadrenergic receptor blockers)
c. Triggers meliputi olahraga (exercise-induced asthma), udara/cuaca
dingin, histamine, metakolin, stress
2.4
yang
meningkat
yang
memicu
terjadinya
bronkospasme
dan
memunculkan gejala tipikal seperti mengi, napas pendek, dan batuk setelah
terpapar allergen. Beberapa pasien dengan asma kronis dapat, keterbatasan aliran
napas dapat kembali parsial akibat adanya airway remodeling, seperti hipertropi
dan hiperplasia otot halus, angiogenesis, dan fibrosis sub-epitel. Airway
remodeling terjadi pada pasien dengan penyakit asma kronis yang tidak teratas
dengan baik.4
Inflamasi saluran respiratorius pada asma menunjukkan ada ketidakseimbangan populasi limfosit Th, yaitu Th1 dan Th2. Sel-sel Th1 memproduksi
interleukin (IL)-2 dan IFN- yang berperan dalam mekanisme pertahan tubuh
seluler sebagai respon terhadap infeksi. Sedangkan, sel-sel Th2 menghasilkan
kelompok sitokin (IL-4, IL-5, IL-6, IL-9, dan IL-13) yang bisa memediasi
inflamasi alergis. Mekanisme patogenesis penyakit asma dapat dilihat pada
Gambar 1.4
melalui cara pelepasan sel-sel epitel yang menyebabkan hilangnya pertahanan dan
memudahkan terjadinya inflamasi.8
Mekanisme kebocoran mikrovaskuler terjadi pada pembuluh darah venula
akhir perifer. Beberapa mediator seperti histamine, bradikinin, dan leukotrien
dapat menyebabkan kontraksi sel endotel, sehingga dapat terjadi ekstravasasi
makromolekul. Terjadinya kebocoran mikrovaskuler menyebabkan edema pada
saluran respiratorius, sehingga memicu terjadinya pelepasan epitel dan penebalan
submukosa. Hal ini memicu terjadinya peningkatan resistensi saluran dan
merangsang terjadinya kontraksi otot-otot polos. Penurunan adrenalin dan
kortikosteroid pada malam hari mengakibatkan terjadinya pelepasan mediator dan
peningkatan kebocoran mikrovaskuler. Hal ini terkait dengan munculnya gejala
asma pada malam hari/dini hari.8 Edema pada saluran respiratorius dapat memicu
terjadinya obstruksi aliran napas, negitu juga dengan peningkatan sekresi mucus
akibat inflamasi. Obstruksi ini akan menyebabkan resistensi aliran napas
meningkat dan penurunan laju aliran ekspirasi, sehingga bisa memicu
hiperinflasi.4
2.5
Diagnosis
Diagnosis asma pada anak dapat ditegakkan berdasarkan alur diagnosis berikut:2
Ringan
Sesak
Berjalan
Bayi: menangis
keras
Posisi
Bisa berbaring
Bicara
Sedang
Berat
Berbicara
Bayi: tangis
pendek dan
lemah, sulit
menyusu/makan
Lebih suka
duduk
Istirahat
Bayi: tidak mau
makan/minum
Kalimat
Mungkin
irritable
Tidak ada
Sedang, sering
hanya pada akhir
ekspirasi
Penggal kalimat
Biasanya
irritable
Tidak ada
Nyaring,
sepanjang
ekspirasi
inspirasi
Kata-kata
Biasanya
irritabel
Ada
Penggunaan otot
bantu respiratorik
Biasanya tidak
Biasanya ya
Ya
Retraksi
Dangkal,
interkostal
Frekuensi napas
Takipnea
Normal
Sedang,
ditambah
suprasternal
Takipnea
Takikardi
Dalam, ditambah
napas cuping
hidung
Takipnea
Takikardi
Ada (10-20
mmHg)
Ada (> 20
mmHg)
PEER / FEV1
Pra-bronkodilator
Post-bronkodilator
> 60%
> 80%
40-60%
60-80%
< 40%
< 60%
SaO2
PaO2
> 95%
Normal
91-95%
> 60 mmHg
90%
< 60 mmHg
PaCO2
< 45 mmHg
< 45 mmHg
> 45 mmHg
Kesadaran
Sianosis
Mengi
Frekuensi nadi
Pulsus paradoksus
Ancaman
Gagal Napas
Duduk topang
lengan
Sangat nyaring,
terdengar tanpa
stetoskop pada
ekspirasi dan
inspirasi
Kebingungan
Nyata
Sulit/tidak
terdengar
Gerakan
paradoks
torakoabdominal
Dangkal/hilang
Bradipnea
Bradikardi
Tidak ada,
tanda kelelahan
otot respiratorik
10
Episodik Jarang
< 1x/bulan
< 1 minggu
Episodik Sering
>1x/bulan
1 minggu
Asma Persisten
Sering
Hampir sepanjang
tahun, tidak ada
remisi
Di antara serangan
Tanpa gejala
Tidak terganggu
Normal
Mungkin terganggu
Mungkin terganggu
Sangat terganggu
Tidak pernah normal
Obat pengendali
Tidak perlu
Steroid hirupan/oral
PEF/FEV1 60-80%
2.6
Pemeriksaan Penunjang
pemeriksaan foto thoraks biasanya ditemukan dalam kesan normal atau mungkin
menunjukkan adanya hiperinflasi. Pada kasus yang berat dapat ditemukan
gambaran pneumonia dan atelektasis sebagai salah satu komplikasi asma.4
2.7
Penatalaksanaan
Tujuan pengobatan asma adalah agar penderita dapat hidup normal, bebas dari
serangan, serta memiliki fungsi faal paru senormal mungkin dan mencegah atau
mengurangi reaktivasi saluran respiratorius.8 Dalam penatalaksanaan asma,
dibedakan menjadi penatalaksanaan jangka pendek untuk mengatasi serangan
asma dan penatalaksanaan jangka panjang untuk mencegah serangan asma. 2 Pada
tata laksana serangan asma direkomendasikan untuk pemberian agonis 2 kerja
cepat dengan penambahan garam fisiologis secara nebulisasi yang dapat diulang
dengan selang waktu 20 menit. Bila tidak ada perbaikan maka nebulisasi ketiga
menggunakan obat antikolinergik. Tata laksana awal ini sekaligus penapis derajat
serangan karena penilaian derajat secara klinis tidak selalu dapat dilakukan
dengan cepat dan jelas.2 Sementara itu, untuk tata laksana jangka panjang, hal
terpenting yang dilakukan adalah penghindaran diri dari faktor pencetus. Akan
tetapi apabila dengan penghindaran yang optimal asma masih sering kambuh
maka penatalaksanaan yang dapat dilakukan adalah seperti Gambar 4.
12
13
14
sebagai
controller.
Natrium
kromoglikat
dapat
mencegah
bronkokonstriksi respon cepat atau lambat dan mengurangi gejala klinis penderita.
Natrium kromoglikat lebih sering digunakan pada anak-anak karena dianggap
lebih aman daripada kortikosteroid. Kortikosteroid merupakan obat anti-inflamasi
paling kuat yang mampu menekan respon inflamasi dengan cara mengurangi
kebocoran mikrovaskuler, menghambar sekresi sitokin dan menghambat sintesis
leukotrien. Pemberian steroid ini dianjurkan dengan dosis yang seminimal
mungkin.
2.8
Prognosis
15
BAB III
LAPORAN KASUS
3.1
Identitas Pasien
Nama
: GAPY
Jenis Kelamin
: Perempuan
Tanggal Lahir
: 11 April 2010
Umur
: 4 tahun 7 bulan
Alamat
: Bedulu
Tanggal MRS
: 25 November 2014
Tanggal Pemeriksaan
: 26 November 2014
3.2
Anamnesis
Keluhan utama
Sesak napas
Riwayat penyakit sekarang
Pasien diantar oleh kedua orangtuanya ke IGD RSUD Sanjiwani pada tanggal 25
November 2014 dengan keluhan sesak napas. Sesak telah dikeluhkan sejak satu
hari sebelum pasien masuk rumah sakit. Sesak napas terjadi sejak pasien
beraktivitas di ruangan yang berdebu. Sesak dirasakan saat pagi hari dan
memberat sejak sore menjelang malam hari. Sesak napas disertai dengan napas
yang cepat, Keluhan sesak dirasakan tidak membaik dengan perubahan posisi.
Keluhan sesak napas tidak disertai sianosis. Selama sesak berlangsung, pasien
dikatakan hanya mampu berbicara satu kalimat dengan terpatah-patah.
Keluhan lain yang dirasakan pasien selain sesak napas adalah demam dan batuk.
Demam dan batuk mulai dirasakan bersamaan dengan timbulnya sesak. Saat
demam muncul, keluarga pasien tidak mengecek suhu tubuh pasien. Demam
dikatakan membaik tanpa obat penurun panas. Batuk disertai dengan dahak yang
sulit dikeluarkan. Batuk cenderung memberat ketika malam hari. Keluhan mual
dan muntah tidak dialami oleh pasien. Keluhan menggigil dan kebiruan disangkal
oleh pasien. Frekuensi buang air besar sebanyak satu kali dalam sehari dengan
16
konsistensi agak keras dan volume sekitar setengah gelas aquadan berwarna
kuning. Frekuensi buang air kecil kira-kira sebanyak lima kali dalam sehari,
berwarna kuning jernih dan volume sekitar tiga pereempat gelas setiap kali buang
air kecil. Keluhan muntah dan pilek disangkal.
17
Makanan dewasa mulai diberikan saat berusia 12 bulan. Saat ini, pasien makan 3
kali sehari, dengan makanan utama nasi porsi sedang dengan lauk dan sayur.
Riwayat alergi
Dikatakan saat ini pasien belum diketahui memiliki riwayat alergi baik terhadap
makanan maupun obat-obatan tertentu.
: 3 bulan
Duduk
: 6 bulan
Merangkak
: 5 bulan
Berdiri
: 10 bulan
Berjalan
: 11 bulan
Bicara
: 14 bulan
Riwayat imunisasi
1.
2.
3.
4.
5.
3.3
Imunisasi BCG
Imunisasi Polio
Imunisasi Hepatitis B
Imunisasi DPT
Imunisasi Campak
:
:
:
:
:
1x usia 0 bulan
4x usia 0,2,4,6 bulan
3x usia 0,2,4 bulan
4x usia 2,4,6, 18-24 bulan
2x usia 9,24 bulan
Pemeriksaan Fisik
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
19 kg
95 cm
14 kg
49 cm
16 cm
18
3. Status Gizi
Waterlow
WHO
4. Status General
Kepala
Mata
THT
Leher
Thoraks
Abdomen
Ekstremitas
Genitalia Eksterna`
: normocephali
: konjungtiva pucat (-/-), secret (-/-), ikterus (-/-)
pupil isokor (+/+), refleks cahaya (+/+), edema (-/-)
: a. Telinga
: secret (-/-)
b. Tenggorok : faringitis hiperemis (+), tonsil T1/T1
c. Lidah
: basah (+)
d. Bibir
: sianosis (-)
: bendungan vena jugularis (-), kaku kuduk (-)
pembesaran kelenjar (-)
: simetris (+)
a. Cor
: S1S2 normal, regular, murmur (-)
b. Pulmo
: bronkovesikuler (+/+), rales (-/-),
wheezing (+/+)
: distensi (-), nyeri tekan (-), bising usus (+) normal
hepar dan lien tidak teraba
: akral hangat, CRT < 2 detik
: tidak ada kelainan
Hematologi rutin
Parameter
26/11/2014
Meningkat/
Nilai Normal
WBC (K/uL)
11,6
Menurun
Meningkat
4,0 10,0
Limfosit (#)
0,8
0,8 4,0
0,4
0,1 0,9
Granulosit (#)
10,4
Meningkat
2,0 7,0
19
Limfosit (%)
6,7
3,7
Granulosit (%)
89,6
Menurun
20,0 40,0
3,0 9,0
Meningkat
50,0 70,0
HGB (g/dl)
12,2
11,0 15,0
HCT (%)
38,6
37,0 64,0
MCV (fl)
80,4
Menurun
82,0 95,0
MCH (pg)
26,6
Menurun
27,0 31,0
MCHC (g/dl)
31,7
Menurun
32,0 36,0
RDW-CV
21,8
Meningkat
11,5 14,5
RDW-SD
57,8
Meningkat
35,0-56,0
PLT (103/uL)
276
150 450
3.5. Diagnosis
Asma serangan sedang episodik sering
3.6. Follow Up
Tanggal
S
O
A
26-11- Sesak (+) Kesadaran: Compos Asma
Derajat
Batuk/
2014
Sedang Episodik
mentis
KU: lemah
Pilek
Sering
o
TAx: 37,4 C
(+/-)
Ma/Mi (+/ Nadi: 114 x/menit
RR: 44 x/ menit
+)
Mata: anemi (-) ,
ikterik ()
hidung (-)
Thorax:
Cor: S1S2 normal
P
Tridek 27B
tpm
Metilprednisolon
3x15 mg
Cefotaxime 3x500
mg
Sanmol 3x15 cc
Ambroxol 3x cth I
Nebul Combivent
@4jam + NaCl
0,9% 1,5 cc
O2 2 lpm
murmur.
Pulmo:
bronkovesikuler +/
+.
Rales
10
-/-.
Wheezing +/+
20
Abdomen: Distensi
(-), bising usus +
normal.
Ekstremitas:
27-112014
Akral
hangat.
Derajat Tridek 27B 10
Sesak (+) Kesadaran: Compos Asma
Batuk/
Sedang Episodik
mentis
tpm
KU: lemah
Metilprednisolon
Pilek
Sering
o
TAx:
37,4
C
(+/-)
3x15 mg
Nadi:
110
x/menit
Ma/Mi (+/
Cefotaxime 3x500
RR: 42 x/ menit
+)
mg
Mata: anemi (-) ,
Sanmol 3x15 cc
ikterik ()
Ambroxol 3x cth I
THT: nafas cuping
Nebul Combivent
hidung (-)
@8jam + NaCl
Thorax:
0,9% 1,5 cc
Cor: S1S2 normal
O2 2 lpm
regular, tidak ada
murmur.
Pulmo:
bronkovesikuler +/
+.
Rales
-/-.
Wheezing +/+
Abdomen: Distensi
(-), bising usus +
normal.
Ekstremitas:
Akral
hangat.
3.7
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Penatalaksanaan
Terapi oksigen dengan nasal kanul 2 lpm
Nebul combivent @ 4 jam + NaCl 0,9% 1,5 cc
IVFD Tridex 27 B 10 tpm
Metilprednisolon 3x15 mg
Sanmol 3 x 15 cc
Ambroxol 3 x cth I (15 mg/ 5ml)
Cefotaxime 3x500 mg
21
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 Diagnosis
Asma didefinisikan sebagai kumpulan tanda dan gejala wheezing (mengi) dan/atau
batuk dengan karakteristik khas berupa muncul secara episodik dan/atau kronik;
cenderung pada malam hari/dini hari (noktural); musiman; ada faktor pencetus di
antaranya aktivitas fisik; dan bersifat reversibel baik secara spontan maupun
dengan pengobatan; serta adanya riwayat asma atau atopi lain pada
pasien/keluarganya, sedangkan sebab-sebab lain sudah disingkirkan. Pada kasus
ini, pasien mengeluhkan sesak napas dengan napas cepat dan disertai batuk. Sesak
yang dirasakan terjadi setelah pasien beraktivitas di ruangan yang berdebu, sesak
dirasakan memberat saat malam hari Keluhan sesak dirasakan tidak membaik
dengan perubahan posisi. Keluhan sesak napas tidak disertai sianosis. Selama
sesak berlangsung, pasien dikatakan hanya mampu berbicara satu kalimat dengan
terpatah-patah.
Penyebab pasti munculnya asma hingga saat ini belum diketahui secara pasti.
Akan tetapi terdapat banyak faktor yang berkontribusi terhadap muncul dan
berkembangnya penyakit asma. Faktor tersebut mencakup faktor genetik dan
22
faktor lingkungan. Keluarga pasien pada kasus ini, tepatnya ibu pasien memiliki
riwayat asma. Sesak napas yang dirasakan oleh pasien juga berawal ketika pasien
selesai beraktivitas di tempat yang berdebu, di mana debu merupakan salah satu
faktor lingkungan yang berkontribusi terhadap muncul dan berkembangnya
penyakit asma.
Dalam membuat diagnosis asma, diagnosis harus mencakup derajat asma dan
beratnya serangan asma yang terjadi. Untuk menentukan derajat asma dan derajat
serangan digunakan beberapa parameter. Dari heteroanamnesis didapatkan hasil
bahwa saat pasien sesak, pasien hanya mampu berbicara satu kalimat dengan
terpatah-patah dan selama sesak pasien tidak mengalami sianosis. Pasien juga
sempat mengalami keluhan yang sama saat 2 minggu sebelum masuk rumah sakit.
Dari pemeriksaan fisik ditemukan takipnea, takikardi, dan wheezing saat
dilakukan auskultasi namun tidak ditemukan nafas cuping hidung maupun
sianosis. Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, kriteria dari asma
serangan sedang dan episodik sering telah terpenuhi.
Pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan radiologis tidak rutin dilakukan untuk
keperluan diagnosis asma. Akan tetapi pemeriksaan penunjang terkadang
dilakukan untuk mengeksklusi diagnosis lain dan menilai tingkat keparahan
eksaserbasi dan menilai ada/tidaknya komplikasi dari penyakit asma. Pada pasien
ini hanya dilakukan pemeriksaan darah lengkap, namun dari pemeriksaan darah
lengkap saja belum mampu untuk menegakkan diagnosis asma. Pemeriksaan
radiologis yang umumnya dapat dilakukan yaitu pemeriksaan foto thoraks polos.
Pada kasus ini, tidak dilakukan pemeriksaan foto thoraks polos, tujuan
dilakukannya pemeriksaan ini adalah untuk evaluasi awal adanya komplikasi atau
penyebab lain munculnya mengi.
4.2 Penatalaksanaan
Pada pasien asma, penatalaksanaan awal adalah nebulisasi agonis 2 1-2x selang
20 menit. Nebulisasi kedua ditambah antikolinergik. Jika serangan sedang/ berat
nebulisasi langssung dengan agonis 2 + antikolinergik. Setelah tatalaksana awal
dilakukan maka dilanjutkan dengan tatalaksana jangka pendek serangan sedang
23
sesuai dengan alur penatalaksanaan pada gambar 3. Pada kasus ini, dilakukan
terapi dengan pemberian oksigen 2 liter per menit dan nebul combivent setiap
4jam + NaCl 0,9% 1,5 cc. Hal ini sesuai dengan teori dimana jika terjadi serangan
sedang/ berat nebulisasi langssung dengan agonis 2 + antikolinergik. Combivent
merupakan kombinasi dari salbutamol (agonis 2 ) dan ipratriopium bromide
(antikolinergik). Selain mendapat terapi combivent dan oksigen, pasien juga
mendapat terapi tridex 27B 10 tpm sebagai upaya pemberian terapi rumatan untuk
memenuhi kebutuhan cairan tubuh. Pemberian metilprednisolon 3x15 mg sebagai
salah satu upaya pemberian steroid oral dalam tatalaksana asma. Pemberian
antibiotik cefotaxime 3x500 mg karena pada pasien ini didapatkan hasil WBC
yang meningkat. Pemberian sanmol 3x15 cc apabila pasien mengalami demam,
dan pemberian ambroxol 3x cth I karena pasien memiliki keluhan batuk hingga
saat ini.
BAB V
KESIMPULAN
Diagnosis asma serangan sedang episodik sering pada pasien ini ditegakkan
melalui heteroanamnesis didapatkan hasil bahwa saat pasien sesak, pasien hanya
mampu berbicara satu kalimat dengan terpatah-patah dan selama sesak pasien
tidak mengalami sianosis. Pasien juga sempat mengalami keluhan yang sama saat
2 minggu sebelum masuk rumah sakit. Dari pemeriksaan fisik ditemukan
takipnea, takikardi, dan wheezing saat dilakukan auskultasi namun tidak
ditemukan nafas cuping hidung maupun sianosis. Pada pasien ini hanya dilakukan
pemeriksaan darah lengkap, namun dari pemeriksaan darah lengkap saja belum
mampu untuk menegakkan diagnosis asma. Pemeriksaan radiologis yang
umumnya dapat dilakukan yaitu pemeriksaan foto thoraks polos. Pada kasus ini,
tidak dilakukan pemeriksaan foto thoraks polos, tujuan dilakukannya pemeriksaan
ini adalah untuk evaluasi awal adanya komplikasi atau penyebab lain munculnya
mengi.
24
Penatalaksanaan asma derajat sedang episodik sering pada pasien ini adalah
dengan pemberian oksigen dan combivent. Hal ini sesuai dengan teori dimana jika
terjadi serangan sedang/ berat nebulisasi langssung dengan agonis 2 +
antikolinergik. Combivent merupakan kombinasi dari salbutamol (agonis 2 ) dan
ipratriopium bromide (antikolinergik). Selain mendapat terapi combivent dan
oksigen, pasien juga mendapat terapi tridex 27B 10 tpm, metilprednisolon 3x15
mg, antibiotik cefotaxime 3x500 mg, sanmol 3x15 cc apabila pasien mengalami
demam, dan ambroxol 3x cth I.
25