You are on page 1of 17

Abses Peritonsil

Raditia Kurniawan
102011219 / D-9
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jakarta 2015
Jl. Terusan Arjuna No.6 Jakarta Barat 11510 Telp. 021-56942061 Fax. 0215631731
Email : kurniawan_md@ymail.com

Pendahuluan
Nyeri tenggorok dan demam yang disertai dengan terbatasnya gerakan membuka mulut
dan leher, harus dicurigai kemungkinan disebabkan oleh abses leher dalam. Abses leher dalam
terbentuk di dalam ruang potensial diantara fasia leher dalam sebagai akibat penjalaran infeksi
dari berbagai sumber, seperti gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga tengah, dan leher.
Gejala dan tanda klinik biasanya berupa nyeri dan pembengkakan di ruang leher dalam yang
terlibat.
Kebanyakan kuman penyebab adalah golongan Streptococcus, Staphylococcus, kuman
anaerob Bacteroides atau kuman campuran. Abses leher dalam dapat berupa abses peritonsil,
abses retrofaring, abses parafaring, abses submandibula, dan angina Ludovici (Ludwigs angina),
tetapi pada pembahasan ini, penulis akan membahas lebih dalam mengenai abses peritonsil.1

1 | Page

Pembahasan
Anamnesis
Informasi dari pasien sangat diperlukan untuk menegakkan diagnosis abses peritonsil.
Adanya riwayat pasien mengalami nyeri pada kerongkongan adalah salah satu yang mendukung
terjadinya abses peritonsil. Riwayat adanya faringitis akut yang disertai tonsillitis dan rasa
kurang nyaman pada pharyngeal uni lateral. Keluhan utama pada organ faring dapat berupa:
a. Nyeri tenggorok
Keluhan ini dapat hilang timbul atau menetap. Apakah nyeri tenggorok ini disertai
demam, batuk, serak, dan tenggorok terasa kering. Apakah pasien merokok dan
berapa jumlah batang rokok yang dikonsumsi dalam satu hari?
b.

Nyeri menelan (Odinofagia)


Nyeri menelan merupakan rasa nyeri di tenggorok waktu gerakan menelan.
Apakah rasa nyeri ini dirasakan sampai telinga?

c.

Rasa banyak dahak di tenggorokan


Adanya dahak di tenggorok merupakan keluhan yang sering timbul akibat adanya
inflamasi di hidung dan faring. Apakah dahak ini berupa lendir saja, nanah, atau
bercampur darah? Dahak ini dapat turun dan keluar bila dibatukkan atau terasa turun
di tenggorok

d.

Sulit menelan (Disfagia)


Pada pasien dengan keluhan sulit menelan perlu ditanyakan sudah berapa lama
hal tersebut terjadi dan jenis makanan cair atau padat. Apakah disertai muntah dan
berat badan menurun dengan cepat?

e.

Rasa ada yang menyumbat atau mengganjal


Rasa sumbatan ditenggorok dapat ditanyakan sudah berapa lama menderita hal
tersebut dan tempatnya terdapat dimana.1

2 | Page

Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan tonsil, ada pembengkakan unilateral, karena jarang kedua tonsil
terinfeksi pada waktu bersamaan. Bila keduanya terinfeksi maka yang kedua akan membengkak
setelah tonsil yang satu membaik. Bila terjadi pembengkakan secara bersamaan, gejala sleep
apnea dan obstruksi jalan nafas akan lebih berat. Pada pemeriksaan fisik penderita dapat
menunjukkan tanda-tanda dehidrasi dan pembengkakan serta nyeri kelenjar servikal/ servikal
adenopati. Disaat abses sudah timbul, biasanya akan tampak pembengkakan pada daerah
peritonsilar yang terlibat disertai pembesaran pilar-pilar tonsil atau palatum molle yang terkena.
Tonsil sendiri pada umumnya tertutup oleh jaringan sekitarnya yang membengkak atau
tertutup oleh mukopus. Timbul pembengkakan pada uvula yang mengakibatkan terdorongnya
uvula pada sisi yang berlawanan. Paling sering abses peritonsil pada bagian supratonsil atau di
belakang tonsil, penyebaran pus kearah inferior dapat menimbulkan pembengkakan supraglotis
dan obstruksi jalan nafas. Pada keadaan ini penderita akan tampak cemas dan sangat ketakutan.
Abses peritonsil yang terjadi pada kutub inferior tidak menunjukkan gejala yang sama
dengan pada kutub superior. Umumnya uvula tampak normal dan tidak bergeser, tonsil dan
daerah peritonsil superior tampak berukuran normal hanya ditandai dengan kemerahan.2
Pemeriksaan Penunjang
Prosedur diagnosis dengan melakukan Aspirasi jarum (needle aspiration). Tempat
aspirasi dibius/ dianestesi menggunakan lidocain dengan epinephrine dan jarum besar (berukuran
16-18) yang biasa menempel pada syringe berukuran 10cc. Aspirasi material yang bernanah
(purulent) merupakan tanda khas dan material dapat dikirim untuk dibiakkan.
Pada penderita abses peritonsil perlu dilakukan pemeriksaan:
a. Hitung darah lengkap (complete blood count), pengukuran kadar elektrolit (electrolyte
level measurement), dan kultur darah (blood cultures)
b. Tes Monospot (antibody heterophile) perlu dilakukan pada pasien dengan tonsillitis dan
bilateral cervical lymphadenopathy. Jika hasilnya positif, penderita memerlukan
evaluasi/ penilaian hepatosplenomegali. Liver function tests perlu dilakukan pada
penderita dengan hepatomegali
3 | Page

c. Throat culture atau throat swab and culture: diperlukan untuk identifikasi
organismee yang infeksius. Hasilnya dapat digunakan untuk pemilihan antibiotik yang
tepat dan efektif untuk mencegah timbulnya resistensi antibiotic
d. Plain radiographs: pandangan jaringan lunak lateral (Lateral soft tissue views) dari
nasopharynx dan oropharynx dapat membantu dokter dalam menyingkirkan diagnosis
abses retropharyngeal
e. Computerized tomography (CT scan); biasanya tampak kumpulan cairan hypodense di
apex tonsil yang terinfeksi (the affected tonsil), dengan peripheral rim enhancement
f. Ultrasound, contohnya: intraoral ultrasonografi.3

Diagnosis Kerja
Abses peritonsil adalah akumulasi pus lokal di jaringan peritonsil yang terbentuk sebagai
akibat dari tonsilitis supuratif. Abses terbentuk pada kelompok kelenjar ludah di fosa
supratonsilar, yang dikenal sebagai kelenjar Weber. Sarang akumulasi pus terletak antara kapsul
tonsil palatina dan otot-otot konstriktor faring. Pilar anterior dan posterior, torus tubarius
superior, dan sinus piriformis inferior membentuk ruang potensial peritonsil. Karena terdiri dari
jaringan ikat longgar, infeksi parah pada daerah ini dapat mengakibatkan pembentukan materi
purulen. Peradangan progresif dan pus dapat secara langsung mengenai palatum, dinding faring
lateral, dan, dasar lidah.4
Abses peritonsil dapat terjadi pada umur 10-60 tahun, namun paling sering terjadi pada
umur 20-40 tahun. Pada anak-anak jarang terjadi kecuali pada mereka yang menurun system
immunnya, tapi infeksi bisa menyebabkan obstruksi jalan napas yang signifikan pada anak-anak.
Infeksi ini memiliki proporsi yang sama antara laki-laki dan perempuan. Angka kejadian abses
peritonsil juga tidak dipengaruhi oleh ras.
Abses peritonsil biasanya merupakan komplikasi dari tonsilitis akut. Edema akibat
inflamasi dapat mengakibatkan kesulitan menelan. Dehidrasi sekunder sering terjadi akibat
pasien menghindari menelan makanan dan cairan. Perluasan abses dapat menyebabkan
peradangan ke dalam kompartemen fasia yang berdekatan dengan kepala dan leher, sehingga
berpotensi menyebabkan obstruksi jalan napas.4
4 | Page

Gambar 1. Abses peritonsil


Diagnosis Banding
1. Abses Retrofaring
Penyakit ini biasanya ditemukan pada anak yang berusia di bawah 5 tahun. Hal ini
terjadi karena pada usia tersebut ruang retrofaring masih berisi kelenjar limfa, masingmasing 2-5 buah pada sisi kanan dan kiri. Kelenjar ini menampung aliran limfa dari
hidung, sinus paranasal, nasofaring, faring, tuba Eustachius, dan telinga tengah. Pada usia
di atas 6 tahun kelenjar limfa akan mengalami atrofi.1
Etiologi
Keadaan yang dapat menyebabkan terjadinya abses ruang retrofaring ialah (1)
Infeksi saluran napas atas yang menyebabkan limfaadenitis retrofaring. (2) Trauma
dinding belakang faring oleh benda asing seperti tulang ikan atau tindakan medis, seperti
adenoidektomi, intubasi endotrakea dan endoskopi. (3) Tuberkulosis vertebra servikalis
bagian atas (abses dingin).
Gejala dan tanda
Gejala utama abses retrofaring ialah rasa nyeri dan sukar menelan. Pada anak
kecil, rasa nyeri menyebabkan anak menangis terus (rewel) dan tidak mau makan atau
minum. Juga terdapat demam, leher kaku dan nyeri. Dapat timbul sesak napas karena
sumbatan jalan napas, terutama di hipofaring. Bila proses peradangan berlanjut sampai
5 | Page

mengenai laring dapat timbul stridor. Sumbatan oleh abses juga dapat mengganggu
resonansi suara sehingga terjadi perubahan suara.
Pada dinding belakang faring tampak benjolan, biasanya unilateral. Mukosa
terlihat bengkak dan hiperemis.
Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan adanya riwayat infeksi saluran napas bagian
atas atau trauma, gejala dan tanda klinik serta pemeriksaan penunjang foto Rontgen
jaringan lunak leher lateral. Pada foto Rontgen akan tampak pelebaran ruang retrofaring
lebih dari 7 mm pada anak dan dewasa serta pelebaran retrotrakeal lebih dari 14 mm pada
anak dan lebih dari 22 mm pada orang dewasa. Selain itu juga dapat terlihat
berkurangnya lordosis vertebra servikal.1
2. Abses Parafaring
Abses parafaring yaitu peradangan yang disertai pembentukan pus pada ruang
parafaring. Ruang parafaring dapat mengalami infeksi secara langsung akibat tusukan
saat tonsilektomi, limfogen dan hematogen.
Etiologi
Ruang parafaring dapat mengalami infeksi dengan cara 1) Langsung, yaitu akibat
tusukan jarum pada saat melakukan tonsilektomi dengan analgesia. Peradangan terjadi
karena ujung jarum suntik yang telah terkontaminasi kuman, menembus lapisan otot tipis
(m. kontriktor faring superior) yang memisahkan ruang parafaring dari fosa tonsilaris. 2)
Proses supurasi kelenjar limfa leher bagian dalam, gigi, tonsil, faring, hidung, sinus
paranasal, mastoid, dan vertebra servikal dapat merupakan sumber infeksi untuk
terjadinya abses ruang parafaring. 3) Penjalaran infeksi dari ruang peritonsil, retrofaring,
atau submandibula.

Gejala dan tanda

6 | Page

Gejala dan tanda yang utama ialah trismus, indurasi atau pembengkakan di sekitar
angulus mandibula, demam tinggi, dan pembengkakan dinding lateral faring, sehingga
menonjol kearah medial.
Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat penyakit, gejala, dan tanda klinik. Bila
meragukan, dapat dilakukan pemeriksaan penunjang berupa foto Rontgen jaringan lunak
AP atau CT scan.1
3. Abses Submandibula
Ruang submandibula terdiri dari ruang sublingual dan ruang submaksila. Ruang
sublingual dipisahkan dari ruang submaksila oleh otot milohioid.
Ruang submaksila selanjutnya dibagi lagi atas ruang submental dan ruang
submaksila (lateral) oleh otot digastrikus anterior.
Namun ada pembagian lain yang tidak menyertakan ruang sublingual ke dalam
ruang submandibula, dan membagi ruang submandibula atas ruang submental dan ruang
submaksila saja. Abses dapat terbentuk di ruang submandibula atau salah satu
komponennya sebagai kelanjutan infeksi dari daerah kepala leher.
Etiologi
Infeksi dapat bersumber dari gigi, dasar mulut, faring, kelenjar liur, atau kelenjar
limfa submandibula. Bisa juga sebagian kelanjutan infeksi ruang leher dalam lain.
Kuman penyebab biasanya campuran kuman aerob dan anaerob.
Gejala dan tanda
Terdapat demam dan nyeri leher disertai pembengkakan di bawah mandibula dan
atau di bawah lidah, mungkin berfluktuasi. Trismus sering ditemukan.1

Etiologi
Abses peritonsil terjadi sebagai akibat komplikasi tonsillitis akut atau infeksi yang

7 | Page

bersumber dari kelenjar mucus Weber di kutub atas tonsil. Biasanya kuman penyebabnya sama
dengan kuman penyebab tonsillitis. Biasanya unilateral dan lebih sering pada anak-anak yang
lebih tua dan dewasa muda.5
Abses peritonsiler disebabkan oleh organismee yang bersifat aerob maupun yang bersifat
anaerob. Organismee aerob yang paling sering menyebabkan abses peritonsiler adalah
Streptococcus pyogenes (Group A Beta-hemolitik streptococcus), Staphylococcus aureus, dan
Haemophilus influenza, sedangkan organisme anaerob yang berperan adalah Fusobacterium.
Prevotella, Porphyromonas, Fusobacterium, dan Peptostreptococcus spp. Untuk kebanyakan
abses peritonsiler diduga disebabkan karena kombinasi antara organisme aerobik dan anaerobik.5
Patofisiologi
Patofisiologi abses peritonsil belum diketahui secara pasti. Namun teori yang paling
banyak diterima adalah perkembangan dari episode tonsillitis eksudatif ke peritonsilitis dan
kemudian terjadi proses pembentukan abses.
Daerah superior dan lateral fosa tonsilaris merupakan jaringan ikat longgar, oleh karena
itu infiltrasi supurasi ke ruang potensial peritonsil tersering menempati daerah ini. Pada stadium
permulaan (stadium infiltrate), terjadi proses pembengkakan dan tampak permukaan peritonsil
hiperemis. Bila proses berlanjut, terjadi supurasi sehingga daerah tersebut lebih lunak.
Pembengkakan peritonsil akan mendorong tonsil dan uvula ke arah kontralateral (arah yang
sehat). Bila proses berlangsung terus, peradangan jaringan di sekitarnya akan menyebabkan
iritasi pada m. pterigoid interna sehingga timbul trismus. Abses dapat pecah spontan, mungkin
dapat terjadi aspirasi ke paru.
Teori lain menyatakan abses peritonsil di kelenjar Weber. Kelenjar ludah minor ini
ditemukan di ruang peritonsil dan diperkirakan berfungsi membantu pembersihan debris dari
amandel. Kemungkinan, obstruksi kelenjar Weber akibat infeksi, nekrosis jaringan dan proses
pembentukan abses, mengakibatkan terjadinya abses peritonsil.1
Gejala Klinis
Pasien abses peritonsil biasanya datang ke klinik dengan keluhan utama nyeri menelan
(odinofagia). Selain itu pasien juga mengeluhkan demam, lemah, lesu serta nyeri kepala. Pada
kasus yang agak berat, terdapat sulit menelan (disfagia), nyeri alih ke telinga pada sisi
terbentuknya abses peritonsil, saliva yang meningkat, serta trismus. Pembengkakan peritonsil

8 | Page

mengganggu artikulasi sehingga pasien sulit berbicara dan mengakibatkan suara gumam (hot
potato voice).
Inspeksi

terperinci

pada

daerah

yang

membengkak

mungkin

sulit

karena

ketidakmampuan pasien membuka mulut. Pemeriksaan mulut dengan menggunakan spatula lidah
menyebabkan pasien merasa tidak nyaman dan ada rasa ingin muntah. Diagnosis sering hampir
pasti dapat ditegakkan bila pemeriksa melihat pembengkakan peritonsil yang luas, mendorong
uvula melewati garis tengah, dengan edema dari palatum molle. Tonsil sendiri dapat terlihat
bengkak, hiperemis, dan mungkin banyak detritus. Tonsil juga dapat terdorong ke arah medial,
depan, ataupun bawah.1

Gambar 2. Gambaran inflamasi tonsil (gambar kiri) dan abses peritonsil (gambar kanan)
Epidemiologi
Abses peritonsil sering mengenai orang dewasa pada usia 20 sampai 40 tahun. Pada anak
jarang terjadi, kecuali yang mengalami gangguan penyakit kekebalan tubuh, tetapi pada anak
infeksi dapat menyebabkan gangguan obstruksi jalan nafas. Persentase efek gangguan jalan nafas
sama pada anak laki-laki dan perempuan.
Pada umumnya infeksi dibagian kepala leher terjadi pada orang dewasa. Insiden abses
peritonsil di AS terjadi 30 per 100.000 orang/ tahun. Di Irlandia Utara dilaporkan 1 per 10.000
pasien pertahun, dengan rata-rata usia 26,4 tahun.1
9 | Page

Penatalaksanaan
Meskipun fakta menunjukkan bahwa abses peritonsil merupakan komplikasi tersering
dari tonsillitis akut, penatalaksanaan dari abses peritonsil masih controversial. Penatalaksanaan
yang umum dikenal untuk abses peritonsil adalah insisi, drainase dan terapi antibiotika, diikuti
oleh tonsilektomi beberapa minggu kemudian.
Dikutip dari Badran, Herzon menyatakan bahwa aspirasi jarum saja dapat digunakan
sebagai drainase prosedur pembedahan awal karena tingkat resolusi dengan teknik ini adalah 9496%. Pada 54% kasus abses peritonsil, penanganannya menggunakan teknik insisi dan drainase,
32% digunakan jarum aspirasi, dan 14% dilakukan tonsilektomi. Sebelum zaman antibiotika
dikenal pada akhir 1930-an dan awal 1940-an, beberapa tipe pembedahan telah digunakan pada
sebagian besar infeksi abses peritonsil.6
a. Terapi antibiotika
Salah satu faktor yang masih merupakan kontroversi dalam penanganan abses
peritonsil adalah pemilihan terapi antibiotika sebelum dan sesudah pembedahan.
Antibiotika pada gejala awal diberikan dalam dosis tinggi disertai obat simptomatik,
kumur-kumur dengan cairan hangat dan kompres hangat pada leher (mengendurkan
tegangan otot).
Dengan mengutamakan pemeriksaan kultur dan sensitifitas, pemberian terapi
antibiotika ditunjukkan pada jenis bakteri mana yang lebih banyak muncul. Penisilin dan
sefalosporin (generasi pertama, kedua, atau ketiga) biasanya merupakan obat pilihan.
Penisilin dalam dosis tinggi sebagai obat pilihan diberikan dengan mempertimbangkan
kontra indikasi seperti alergi atau timbulnya kemungkinan adanya reaksi koagulasi
organismee.
Penisilin dapat digunakan pada penderita abses peritonsil yang diperkirakan
disebabkan oleh kuman Staphylococcus. Metronidazol merupakan antimikroba yang
sangat baik untuk infeksi anaerob. Tetrasiklin merupakan antibiotika alternatif yang
sangat baik bagi orang dewasa, meskipun klindamisin saat ini dipertimbangkan sebagai
antibiotik pilihan untuk menangani bakteri yang memproduksi beta laktamase. Penting

10 | P a g e

untuk dicatat bahwa memberikan antibiotika intravena pada penderita abses peritonsil
yang dirawat inap belakangan ini sudah kurang umum digunakan.6
b. Insisi dan drainase
Abses peritonsil merupakan suatu indikasi tindakan yang juga disebut intraoral
drainase. Tujuan utama tindakan ini adalah mendapatkan drainase abses yang adekuat dan
terlokalisir secara cepat. Lokasi insisi biasanya dapat diidentifikasi pada pembengkakan
di daerah pilar-pilar tonsil atau dipalpasi pada daerah paling berfluktuasi.
Teknik insisi, pada penderita yang memerlukan anastesi umum, posisi penderita
saat tindakan adalah kepala lebih rendah (trendelenberg) menggunakan ETT
(Endotrakeal tube). Anestesi topical dapat berupa xylocaine spray atau menggunakan
lidokain 4-5% atau tetrakain 2% untuk mencegah keterlibatan jaringan tonsil yang lain.
Lokasi insisi biasanya dapat diidentifikasi pada pembengkakan di daerah pilar-pilar tonsil
atau dipalpasi pada daerah yang paling fluktuatif, pada titik yang terletak dua pertiga dari
garis khayal yang dibuat antara dasar uvula dengan molar terakhir, pada pertengahan
garis horizontal antara pertengahan basis uvula dan M3 atas, pada pertemuan garis
vertikal melalui titik potong pinggir medial pilar anterior dengan lidah dengan garis
horizontal melalui basis uvula, pada pertemuan garis vertikal melalui pinggir medial M3
bawah dengan garis horizontal melalui basis uvula.
Insisi diperdalam dengan klem dan pus yang keluar langsung dihisap dengan
menggunakan alat penghisap. Tindakan ini (menghisap pus) penting dilakukan untuk
mencegah aspirasi yang dapat mengakibatkan timbulnya pneumonitis. Biasanya bila
insisi yang dibuat tidak cukup dalam, harus lebih dibuka lagi dan diperbesar. Setelah
cukup banyak pus yang keluar dan lubang insisi yang cukup besar, penderita kemudian
disuruh berkumur dengan antiseptic dan diberi terapi antibiotika.6

11 | P a g e

Gambar 3. Teknik insisi


Drainase dengan aspirasi jarum, model terapi abses peritonsil yang digunakan
sampai saat ini, pertama insisi dan drainase serta yang kedua tonsilektomi. Saat ini ada
beberapa penelitian yang mendiskusikan tentang aspirasi menggunakan jarum sebagai
salah satu terapi bedah pada abses peritonsil. Beberapa keuntungan dari evaluasi
penatalaksanaan aspirasi jarum dibanding insisi dan drainase adalah:

Mudah untuk dilakukan, sederhana, aman, dan murah

Dapat digunakan untuk konfirmasi diagnosis dengan trauma minimal (yang


biasanya dapat dilakukan sebelum insisi dan drainase)

Dapat ditoleransi (ditahan) oleh penderita/ tidak menakutkan

Tidak/ kurang mencederai struktur jaringan sekitar

Lebih memudahkan untuk mengumpulkan spesimen/ pus guna pemeriksaan


mikroskopis dan tes kultur/ sensitifitas

Memberikan penyembuhan segera, mengurangi kesakitan

Mencegah prosedur bedah dan anestesi umum

Merupakan prosedur yang dapat dipercaya untuk abses peritonsil

Kerugian terapi dengan drainase dengan aspirasi jarum adalah:

Bila pus terkumpul kembali dapat menyebabkan infeksi yang berulang

Tidak dapat melakukan pembersihan kantung pus secara maksimal

12 | P a g e

Pus yang tersisa tidak maksimal keluar sehingga dapat menyebabkan proses
penyembuhan lama.6

Gambar 4. Tindakan aspirasi abses peritonsil


c. Tonsilektomi
Tindakan pembedahan pada abses peritonsil merupakan topik yang kontroversial
sejak beberapa abad. Filosofi dari tindakan tonsilektomi pada abses peritonsil adalah
karena berdasarkan pemikiran bahwa kekambuhan pada penderita abses peritonsil terjadi
cukup banyak sehingga tindakan pengangkatan kedua tonsil ini dilakukan untuk
memastikan tidak terjadinya kekambuhan.
Waktu pelaksanaan tonsilektomi sebagai terapi abses peritonsil, bervariasi:

Tonsilektomi a chaud: dilakukan segera/ bersamaan dengan drainase abses

Tonsilektomi a tiede: dilakukan 3-4 hari setelah insisi dan drainase

Tonsilektomi a froid: dilakukan 4-6 minggu setelah drainase

Tonsilektomi merupakan penanganan yang terbaik untuk mencegah rekurensi


abses peritonsil. Pada masa lalu, orang berpendapat operasi harus dilakukan 2-3 minggu
setelah infeksi akut berkurang. Tetapi setalah 2-3 minggu, menimbulkan bekas luka yang
terdapat pada kapsul tonsil, sehingga tindakan operasi sulit dan menimbulkan perdarahan
serta sisa tonsil.
13 | P a g e

Saat ini tampaknya dibenarkan bahwa tonsilektomi pada abses peritonsil


dilakukan dalam anestesi umum, melalui tonsilektomi secara diseksi dan dalam
perlindungan terapi antibiotika adalah suatu operasi yang memberikan resiko yang sama
dengan tonsilektomi abses pada fase tenang (cold tonsillectomy).
Beberapa keuntungan dari tonsilektomi segera pada abses peritonsil adalah:

Penanganan penderita dilakukan dalam satu tahap pada saat sakit

Memberikan drainase pus yang lengkap

Mengurangi kesulitan tonsilektomi selang waktu yang kadang-kadang timbul

Mengurangi waktu perawatan (bila penderita dirawat inap di rumah sakit)

Mengurangi rasa sakit dengan segera dan menghilangkan perasaan tidak enak
mengalami prosedur yang lain (insisi dan drainase)

Beberapa kerugian tindakan tonsilektomi segera pada abses peritonsi adalah:

Dapat terjadinya perdarahan pada saat tindakan tonsilektomi

Dapat terjadi thrombosis, sinus kavernosus, aspirasi paru, dan meningitis

Indikasi tonsilektomi segera, yaitu:

Abses peritonsil yang tidak dapat diinsisi dan drainase karena trismus atau
abses yang berlokasi di kutub bawah

Abses peritonsil yang meluas dari hipofaring ke daerah parafaring, dengan


resiko meluas ke daerah leher dalam

Penderita dengan DM yang memerlukan toleransi terhadap terapi berbagai


antibiotika

Penderita diatas 50 tahun dengan tonsil-tonsil yang melekat karena abses akan
sangat mudah meluas ke daerah leher dalam.6

14 | P a g e

Gambar 5. Tonsilektomi
Komplikasi
Komplikasi yang mungkin terjadi ialah:
a. Abses pecah spontan, mengakibatkan perdarahan, aspirasi paru, atau piema
b. Penjalaran infeksi dan abses ke daerah parafaring, sehingga terjadi abses parafaring.
Kemudian dapat terjadi penjalaran ke mediastinum menimbulkan mediastinitis
c. Bila terjadi penjalaran ke daerah intracranial; dapat mengakibatkan thrombus sinus
kavernosus, meningitis, dan abses otak. Sejumlah komplikasi klinis lainnya dapat
terjadi jika diagnosis abses peritonsil diabaikan. Beratnya komplikasi tergantung dari
kecepatan progression penyakit. Untuk itulah diperlukan penanganan dan intervensi
sejak dini.1
Prognosis
Abses peritonsil merupakan penyakit yang jarang menyebabkan kematian kecuali jika
terjadi komplikasi berupa abses pecah spontan dan menyebabkan aspirasi ke paru. Selain itu
komplikasi ke intracranial juga dapat membahayakan nyawa pasien. Abses peritonsil hampir
selalu berulang bila tidak diikuti dengan tonsilektomi, maka perlu dilakukan tonsilektomi pada

15 | P a g e

pasien abses peritonsil. Tonsilektomi sebaiknya dilakukan pada saat peradangan telah mereda,
biasanya terdapat jaringan fibrosa dan granulasi pada saat operasi.1
Kesimpulan
Abses peritonsil merupakan kumpulan atau timbunan nanah (pus) yang terlokalisir/
terbatas pada jaringan peritonsilar yang terbentuk sebagai hasil dari supuratif tonsilitis. Gejala
klinis meliputi odinofagia (nyeri menelan) yang hebat, biasanya pada sisi yang sama juga dan
nyeri telinga (otalgia), muntah (regurgitasi), mulut berbau, banyak ludah (hipersalivasi), suara
sengau, dan kadang-kadang sukar membuka mulut (trismus), Abses peritonsil hampir selalu
berulang bila tidak diikuti dengan tonsilektomi.

16 | P a g e

Daftar Pustaka
1. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku ajar ilmu kesehatan telinga,
hidung, tenggorok, dan kepala. Jakarta: FKUI; 2007
2. Ming CF. Effycacy of three theraupetic methods for peritonsillar abscess. Journal of
Chinese Clinical Medicine; 2006
3. Abidin, Taufik. Abses Peritonsiler. Mataram: Fakultas Kedokteran Universitas Mataram;
2006
4. Adrianto, Petrus. Penyakit telinga, hidung dan tenggorokan. Jakarta: EGC; 2003
5. Adams GL. Penyakit-penyakit nasofaring dan orofaring . Jakarta:EGC; 2001
6. Braude DA, Shalit M. A novel approach to enchance visualization during drainage of
peritonsillar abscess. The Journal of Emergency Medicine; 2007

17 | P a g e

You might also like