Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Abses otak (AO) adalah suatu reaksi piogenik yang terlokalisir pada jaringan
otak. AO pada anak jarang ditemukan dan di Indonesia juga belum banyak dilaporkan.
Morgagni (1682-1771) pertama kali melaporkan AO yang disebabkan oleh peradangan
telinga.. Abses otak dapat terjadi pada berbagai kelompok usia, namun paling sering
terjadi pada anak berusia 4 sampai 8 tahun. Penyebab abses otak yaitu, embolisasi oleh
penyakit jantung kongenital dengan pintas atrioventrikuler (terutama tetralogi fallot),
meningitis, otitis media kronis dan mastoiditis, sinusitis, infeksi jaringan lunak pada
wajah ataupun scalp, status imunodefisiensi dan infeksi pada pintas ventrikuloperitonial
(VP-Shunt). Patogenesis abses otak tidak begitu dimengerti pada 10-15% kasus.
Walaupun teknologi kedokteran diagnostik dan perkembangan antibiotika saat ini telah
mengalami kemajuan, namun rate kematian penyakit abses otak masih tetap tinggi,
yaitu sekitar 10-60% atau rata-rata 40%. Penyakit ini sudah jarang dijumpai terutama di
negara-negara maju, namun karena resiko kematiannya sangat tinggi, abses otak
termasuk golongan penyakit infeksi yang mengancam kehidupan masyarakat (life
threatening infection).
1.2 TUJUAN PENULISAN
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI
Abses serebri adalah infeksi purulen pada parenkim otak yang diikuti kerusakan
jaringan dan edema di sekitarnya serta terdapat lesi desak ruang. Pada umumnya soliter
tetapi ada kalanya terdapat abses multilokular akibat emboli septic dari bronkiektasis.
Kebanyakan abses terletak di hemisfer serebri, 20-30% berlokasi di serebelum dan
hampir tidak pernah bersarang di batang otak (Harsono, 2011)
2.2 EPIDEMIOLOGI
Abses serebri dapat terjadi pada berbagai kelompok usia, namun paling sering
terjadi pada anak berusia 4 sampai 8 tahun. Penyebab abses serebri yaitu, embolisasi
oleh penyakit jantung kongenital dengan pintas atrioventrikuler (terutama tetralogi
fallot), meningitis, otitis media kronis dan mastoiditis, sinusitis, infeksi jaringan lunak
pada wajah ataupun scalp, status imunodefisiensi dan infeksi pada pintas
ventrikuloperitonial (VP-Shunt). Patogenesis abses serebri tidak begitu dimengerti pada
10-15% kasus (Besharat M et al.,2010).
Walaupun teknologi kedokteran diagnostik dan perkembangan antibiotika saat
ini telah mengalami kemajuan, namun rate kematian penyakit abses serebri masih tetap
tinggi, yaitu sekitar 10-60% atau rata-rata 40%. Penyakit ini sudah jarang dijumpai
terutama di negara-negara maju, namun karena resiko kematiannya sangat tinggi, abses
serebri termasuk golongan penyakit infeksi yang mengancam kehidupan masyarakat
(life threatening infection). Penderita abses serebri lebih banyak dijumpai pada laki-laki
daripada perempuan dengan perbandingan 3:1 yang umumnya masih usia produktif
yaitu sekitar 20-50 tahun. Kondisi pasien sewaktu masuk rumah sakit merupakan faktor
yang sangat mempengaruhi rate kematian. Jika kondisi pasien buruk, rate kematian
akan tinggi (Besharat M et al.,2010).
2.3 ETIOLOGI DAN FAKTOR PREDISPOSISI
Berdasaran bakteri penyebab, maka etiologi dari abses serebri dapat dibagi
menjadi (Helweg-Larsen J et al.,2012):
1. Organisme aerobik:
2
tengkorak kepala karena kelainan bawaan seperti kerusakan tegmentum timpani atau
kerusakan tulang temporal oleh kolesteatoma dapat menyebar ke dalam serebelum
(Wilkinson I et al.,2005).
Faktor predisposisi dapat menyangkut host, kuman infeksi atau faktor
lingkungan (Helweg-Larsen J et al.,2012) :
1. Faktor host
Daya pertahanan susunan saraf pusat untuk menangkis infeksi
mencakup kesehatan umum yang sempurna, struktur sawar darah otak yang
utuh dan efektif, aliran darah ke otak yang adekuat, sistem imunologik humoral
dan selular yang berfungsi sempurna.
2. Faktor kuman
Kuman tertentu cendeerung neurotropik seperti yang membangkitkan
meningitis bacterial akut, memiliki beberapa faktor virulensi yang tidak
bersangkut paut dengan faktor pertahanan host. Kuman yang memiliki virulensi
yang rendah dapat menyebabkan infeksi di susunan saraf pusat jika terdapat
ganggguan pada sistem limfoid atau retikuloendotelial.
3. Faktor lingkungan
Faktor tersebut bersangkutan dengan transisi kuman. Yang dapat masuk
ke dalam tubuh melalui kontak antar individu, vektor, melaui air, atau udara.
2.4 PATOFISIOLOGI
2.4.1 Abses Piogenis karena bakteri
Jaringan otak rentan terhadap infeksi dan tidak mempunyai mekanisme
pertahanan yang baik, pembentukan kapsul kolagen merupakan respons yang
terpenting dalam membatasi penyebaran abses. Untuk terjadinya abses serebri harus
ada daerah yang nekrosis terlebih dahulu dalam jaringan otak (Helweg-Larsen J et
al.,2012).
Pada penderita meningitis bakteri tidak selalu terjadi abses serebri, hal ini
dipengaruhi oleh faktor-faktor (Muzumdar D et al., 2011):
1. Virulensi bakteri
menyebabkan ensefalitis, abses, dan granuloma dengan atau tanpa pusat nekrotik
(Besharat M et al.,2010).
Abses serebri dapat terjadi akibat penyebaran perkontinuitatum dari fokus
infeksi di sekitar otak maupun secara hematogen dari tempat yang jauh, atau secara
langsung seperti trauma kepala dan operasi kraniotomi. Abses yang terjadi oleh
penyebaran hematogen dapat pada setiap bagian otak, tetapi paling sering pada
pertemuan substansia alba dan grisea; sedangkan yang perkontinuitatum biasanya
berlokasi pada daerah dekat permukaan otak pada lobus tertentu (Besharat M et
al.,2010).
Pada tahap awal abses serebri terjadi reaksi radang yang difus pada jaringan
otak dengan infiltrasi lekosit disertai edema, perlunakan dan kongesti jaringan otak,
kadang-kadang disertai bintik perdarahan. Setelah beberapa hari sampai beberapa
minggu terjadi nekrosis dan pencairan pada pusat lesi sehingga membentuk suatu
rongga abses. Astroglia, fibroblas dan makrofag mengelilingi jaringan yang nekrotik.
Mula-mula abses tidak berbatas tegas tetapi lama kelamaan dengan fibrosis yang
progresif terbentuk kapsul dengan dinding yang konsentris. Tebal kapsul antara
beberapa milimeter sampai beberapa sentimeter. Beberapa ahli membagi perubahan
patologi abses serebri dalam 4 stadium yaitu (Ropper AH et al.,2014):
1) Stadium serebritis dini (Early Cerebritis)
Terjadi reaksi radang lokal dengan infiltrasi polymofonuklear leukosit, limfosit
dan plasma sel dengan pergeseran aliran darah tepi, yang dimulai pada hari pertama
dan meningkat pada hari ke 3. Sel-sel radang terdapat pada tunika adventisia dari
pembuluh darah dan mengelilingi daerah nekrosis infeksi. Peradangan perivaskular ini
disebut cerebritis. Saat ini terjadi edema di sekita otak dan peningkatan efek massa
karena pembesaran abses.
2)
Stadium serebritis lanjut (Late Cerebritis)
Saat ini terjadi perubahan histologis yang sangat berarti. Daerah pusat nekrosis
membesar oleh karena peningkatan acellular debris dan pembentukan nanah karena
pelepasan enzim-enzim dari sel radang. Di tepi pusat nekrosis didapati daerah sel
radang, makrofag-makrofag besar dan gambaran fibroblas yang terpencar. Fibroblas
mulai menjadi retikulum yang akan membentuk kapsul kolagen. Pada fase ini edema
otak menyebar maksimal sehingga lesi menjadi sangat besar
3)
Bentuk pusat nekrosis diisi oleh acellular debris dan sel-sel radang.
Daerah tepi pusat nekrosis terdiri dari sel radang, makrofag, dan fibroblast.
Kapsul kolagen yang tebal.
Lapisan neurovaskular sehubungan dengan serebritis yang berlanjut.
Reaksi astrosit, gliosis, dan edema otak di luar kapsul.
Abses dalam kapsul substansia alba dapat makin membesar dan meluas ke arah
ventrikel sehingga bila terjadi ruptur, dapat menimbulkan meningitis. Infeksi jaringan
fasial, selulitis orbita, sinusitis etmoidalis, amputasi meningoensefalokel nasal dan
abses apikal dental dapat menyebabkan abses serebri yang berlokasi pada lobus
frontalis. otitis media, mastoiditis terutama menyebabkan abses serebri lobus
temporalis dan serebelum, sedang abses lobus parietalis biasanya terjadi secara
hematogen (Brouwer MC et al., 2014).
2.4.4 Respon Imunologik pada Abses Serebri
Setelah kuman telah menerobos permukaan tubuh, kemudian sampai ke susunan
saraf pusat melalui lintasan-lintasan berikut. Kuman yang bersarang di mastoid dapat
menjalar ke otak perkuntinuitatum. Invasi hematogenik melalui arteri intraserebral
7
merupakan penyebaran ke otak secara langsung. Ada penjagaan khusus otak terhadap
bahaya yang datang melalui lintasan hematogen, yang dikenal sebagai sawar darah otak
atau blood brain barrier. Pada toksemia dan septicemia, sawar darah otak terusak dan
tidak lagi bertindak sebagai sawar khusus. Infeksi jaringan otak jarang dikarenakan
hanya bakterimia saja, oleh karena jaringan otak yang sehat cukup resisten terhadap
infeksi (Brouwer MC et al., 2014).
Kuman yang dimasukkan ke dalam otak secara langsung pada binatang
percobaan ternyata tidak membangkitkan abses sereebri/ abses serebri, kecuali apabila
jumlah kumannya sangat besar atau sebelum inokulasi intraserebral telah diadakan
nekrosis terlebih dahulu. Walaupun dalam banyak hal sawar darah otak sangat
protektif, namun ia menghambat penetrasi fagosit, antibodi dan antibiotik. Jaringan
otak tidak memiliki fagosit yang efektif dan juga tidak memiliki lintasan pembuangan
limfatik untuk pemberantasan infeksi bila hal itu terjadi. Maka berbeda dengan proses
infeksi di luar otak, infeksi di otak cenderung menjadi sangat virulen dan destruktif
(Helweg-Larsen J et al.,2012).
Unsur
prostaglandin, leukotrin, dan sitokin yang dapat berkomunikasi dengan neuron dan sel
glia. Salah satu jenis sitokin adalah Interleukin-1 yang memiliki kemampuan untuk
mengubah fungsi T-sel. Zat aktif itu homolog dengan pirogen, yang menjalankan
peranan penting dalam regulasi suhu oleh hipotalamus. Kini diperoleh banyak data
yang menyatakan bahwa astrosit bersama mikroglia dapat berfungsi seperti makrofag
(Helweg-Larsen J et al.,2012).
Mikroglia yang telah teraktivasi akan merilis sejumlah sitokin dan dan kemokin
melalui proses parakrin dan autokrin, yang selanjutnya akan bekerjasama melawan
infeksi pada susunan saraf pusat. Produk yang telah disekresi oleh microglia juga
berkontribusi dalam proses imunologik dan peradangan. Dalam hal ini, diketahui
bahwa matrix metalloproteinases (MMPs) berpotensial merusak sawar darah otak,
masuknya leukosit ke dalam sistem saraf pusat, dan kerusakan jaringan. MMP sendiri
adalah suatu enzim zinc-dependent yang mampu merusak protein, dan sering dijumpai
di matriks ekstraseluler (Besharat M et al.,2010).
8
motorik
melibatkan
penilaian
dari
integritas
sistem
normal atau sedikit berkurang kecuali bila terjadi perforasi dalam ruangan ventrikel
(Brouwer MC et al., 2014).
Pemeriksaan EEG terutama penting untuk mengetahui lokalisasi abses dalam
hemisfer. EEG memperlihatkan perlambatan fokal yaitu gelombang lambat delta
dengan frekuensi 13 siklus/detik pada lokasi abses. Pnemoensefalografi penting
terutama untuk diagnostik abses serebelum. Dengan arteriografi dapat diketahui lokasi
abses di hemisfer. Saat ini, pemeriksaan angiografi mulai ditinggalkan setelah
digunakan pemeriksaan yang relatif noninvasif seperti CT scan. Dan scanning otak
menggunakan radioisotop tehnetium dapat diketahui lokasi abses; daerah abses
memperlihatkan bayangan yang hipodens daripada daerah otak yang normal dan
biasanya dikelilingi oleh lapisan hiperderns. CT scan selain mengetahui lokasi abses
juga dapat membedakan suatu serebritis dengan abses. Magnetic Resonance Imaging
saat ini banyak digunakan, selain memberikan diagnosis yang lebih cepat juga lebih
akurat (Brouwer MC et al., 2014).
Gambaran CT-scan pada abses :
Late cerebritis (hari 4-9): daerah inflamasi meluas dan terdapat nekrosis dari
zona central inflamasi.
10
Early
capsule
stage
(hari
10-14):
gliosis
post
infeksi,
fibrosis,
hipervaskularisasi pada batas pinggir daerah yang terinfeksi. Pada stadium ini
dapat terlihat gambaran ring enhancement.
Late capsule stage (hari >14): terdapat daerah sentral yang hipodens (sentral
abses) yang dikelilingi dengan kontras - ring enhancement (kapsul abses)
Pemeriksaan CT scan dapat dipertimbangkan sebagai pilihan prosedur
2.
3.
4.
5.
Pencegahan kejang
6.
Neurorehabilitasi
Penatalaksanaan awal dari abses serebri meliputi diagnosis yang tepat dan
pemilihan antibiotik didasarkan pada pathogenesis dan organisme yang memungkinkan
terjadinya abses. Ketika etiologinya tidak diketahui, dapat digunakan kombinasi dari
sefalosporin generasi ketiga dan metronidazole. Jika terdapat riwayat cedera kepala dan
komplikasi pembedahan kepala, maka dapat digunakan kombinasi dari napciline atau
vancomycine dengan sephalosforin generasi ketiga dan juga metronidazole. Antibiotik
terpilih dapat digunakan ketika hasil kultur dan tes sentivitas telah tersedia (Brouwer
MC et al., 2014).
11
Pada abses yang terjadi akibat trauma penetrasi, cedera kepala, atau sinusitis
dapat diterapi dengan kombinasi dengan napsiline atau vancomycin, cefotaxime atau
cetriaxone dan juga metronidazole. Monoterapi dengan meropenem terbukti baik
melawan bakteri gram negatif, bakteri anaerob, stafilokokkus dan streptokokkus dan
menjadi pilihana alternatif (Brouwer MC et al., 2014).
Pada abses yang terjadi akibat penyakit jantung sianotik dapat diterapi dengan
penissilin dan metronidazole. Abses yang terjadi akibat ventrikuloperitoneal shunt
dapat diterapi dengan vancomycin dan ceptazidine. Jika otitis media, sinusitis, atau
mastoidits yang menjadi penyebab dapat digunakan vancomycin karena strepkokkus
pneumonia telah resisten terhadap penissilin. Jika meningitis citrobacter, yang
merupakan bakteri utama pada abses local, dapat digunakan sefalosporin generasi
ketiga, yang secara umum dikombinasikan dengan terapi aminoglikosida. Pada pasien
dengan immunocompromised digunakan antibiotik yang berspektrum luas dan
dipertimbangkan pula terapi amphoterids (Brouwer MC et al., 2014).
Tabel 2.2 Dosis dan Cara Pemberian Antibiotik pada Abses serebri
Drug Dose
Cefotaxime (Claforan)
50-
100 mg/KgBBt/Hari
Ceftriaxone (Rocephin)
IV
2-3 kali per hari,
50-100 mg/KgBBt/Hari
Metronidazole (Flagyl)
IV
3 kali per hari,
35-50 mg/KgBB/Hari
Nafcillin (Unipen, Nafcil)
IV
setiap 4 jam,
2 grams
Vancomycin
IV
setiap 12 jam,
15 mg/KgBB/Hari
IV
12
atau jamur yang berhubungan dengan proses infeksi, seperti mastoiditis, sinusitis, dan
abses periorbita, dapat pula dilakukan pembedahan drainase. Terapi kombinasi
antibiotik bergantung pada organisme dan respon terhadap penatalaksanaan awal.
Tetapi, efek yang nyata terlihat 4-6 minggu (Brouwer MC et al., 2014).
Penggunaan antikonvulsan dipengaruhi juga oleh lokasi abses dan posisinya
terhadap korteks. Oleh karena itu kapan antikonvulsan dihentikan tergantung dari
kasus per kasus (ditetapkan berdasarkan durasi bebas kejang, ada tidaknya
abnormalitas pemeriksaan neurologis, EEG dan neuroimaging) (Brouwer MC et al.,
2014).
2.7 Komplikasi
Abses
serebri
menyebabkan
kecacatan
bahkan
kematian.
Adapun
BAB 3
14
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Abses Otak merupakan kumpulan dari unsur-unsur infeksius di dalam atau
melibatkan jaringan otak, berupa penumpukan substansi eksudat hasil proses infeksi
atau peradangan berupa pus atau nanah didalam otak, yang dapat mengakibatkan
penurunan hingga kerusakan fungsi neurologis, abses otak sangat berbahay apalagi jika
terjadi pada anak maka akan mempengaruhi tumbuh kembang anak dan proses ataupun
csrs berpikir anak. Abses otak perlu di ketahui danditangani sedini mungkin sebelum
menyebar dan meradang lebih lama karna akan berdampak lebih fatal.
DAFTAR PUSTAKA
Alvis MH, Castellar-Leones SM, Elzain MA, Moscote-Salazar LR. Brain abscess:
Current
management. Journal
of
Neurosciences
in
Rural
Practice.
Diseases
2010;5(4):231-234.
http://www.sid.ir/en/VEWSSID/J_pdf/122020100409.pdf
Available
from:
[accessed May 3,
2015]
15
Brouwer MC, Tunkel AR, Mckhann II GM et al. Brain Abscess. N Engl J Med
2014;371:447-56.
Available
from:
http://www.nejm.org/doi/pdf/10.1056
Infect
Dis.
2012;12:332.
Available
from:
Available
from:
http://www.journal-surgery.net/article/S1743-
16