You are on page 1of 21

SEKSUALITAS

Tujuan Pembelajaran:
Setelah mengikuti proses pembelajaran selama 2 x 50 menit, mahasiswa dapat:
1. Menjelaskan definisi kesehatan seksual
2. Menjelaskan perbedaan seks dan seksualitas
3. Menjelaskan dimensi seksualitas
4. Menjelaskan identitas seksual
5. Menjelaskan orientasi seksual
6. Menjelaskan perilaku seksual
7. Menjelaskan tahap-tahap perkembangan seksual
8. Menjelaskan tahap-tahap respon seksual
9. Menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi seksualitas dan perilaku seksual
10. Menjelaskan Asuhan Keperawatan pada klien dengan gangguan seksual

A. Pendahuluan
Sex merupakan hal yang dianggap tabu untuk diperbincangkan. Akan
tetapi secara bertahap seiring dengan berjalannya waktu pengetahuan
tentang sex dan pembicaraan mengenai masalah seksualitas dianggap
sebagai hal yang penting dan perlu bagi perkembangan manusia. Akhirnya
pada pertengahan tahun 1960-an, tenaga perawatan kesehatan telah
mengenali keterkaitan kesehatan seksual dengan komponen kesejahteraan.
Pemahaman mengenai seksualitas akan membantu perawat dalam
mengenali nilai dan bias seksual serta memperluas pemahaman tentang
batas normal perilaku seksual sehingga mampu memberikan perawatan
secara lebih efektif.
B. Konsep Seksualitas
Seksualitas merupakan hal yang sulit untuk didefinisikan karena
menyangkut banyak aspek kehidupan dan diekspresikan dalam bentuk
perilaku yang beraneka ragam. Sedangkan kesehatan seksual telah
didefinisikan oleh WHO (1975) sebagai pengintegrasian aspek somatik,
emosional, intelektual, dengan cara yang positif, memperkaya dan
meningkatkan kepribadian, komunikasi, dan cinta.
Apakah sex dan seksualitas merupakan sesuatu yang sama ?
Ternyata kebanyakan orang memahami sexualitas sebatas istilas sex,
padahal antara sex dengan sexualitas merupakan hal yang berbeda.
Menurut Zawid (1994), kata sex sering digunakan dalam dua hal, yaitu: (a)
aktivitas sexsual genital, dan (b) sebagai label jender (jenis kelamin).
Sedangkan seksualitas memiliki arti yang lebih luas karena meliputi
bagaimana seseorang merasa tentang bagaimana seseoarang merasa
tentang diri mereka dan bagaimana mereka mengkomunuksikan perasaan
tersebut terhadap orang lain melalui tindakan yang dilakukannya seperti,
sentuhan, ciuman, pelukan, senggama, atau melalui perilaku yang lebih
halus seperti isyarat gerak tubuh, etiket, berpakaian, dan perbendaharaan
kata.
Lebih lanjut Menurut Raharjo yang dikutip oleh Nurhadmo (1999)
menjelaskan bahwa seksualitas merupakan suatu konsep, kontruksi sosial
terhadap nilai, orientasi, dan aperilaku yang berkaitan dengan seks.
1. Dimensi seksualitas
1

Banyaknya variasi seksualitas dan perilaku seksual membutuhkan


perspektif yang holistik (menyeluruh). Bagaimanapun seksualitas dan
kesehatan seksual memiliki banyak dimensi antara lain: dimensi
sosiokultural, agama & etika, psikologis, dan biologis.
a. Dimensi Sosiokultural
Merupakan dimensi yang melihat bagaimana seksualitas
muncul dalam relasi
antar manusia, bagaimana seseorang
menyesuaikan diri dengan tuntutan peran dari lingkungan sosial,
serta bagaimana sosialisasi peran dan fungsi seksualitas dalam
kehidupan manusia.
Dengan kata laian seksualitas dipengaruhi oleh norma dan
peraturan kultural yang menentukan apakah perilaku tersebut
diterima atau tidak berdasarkan kultur yang ada. Sehingga
keragaman kultural secara global menyebabkan variabilitas yang
sangat luas dalam norma seksual dan menghadirkan spektrum
tentang keyakinan dan nilai yang luas. Misalnya: perilaku yang
diperbolehkan selama pacaran, hal-hal yang dianggap merangsang,
tipe aktivitas seksual, sanksi dan larangan dalam perilaku seksual,
atau menentukan orang yang boleh dan tidak boleh untuk dinikahi.
Contoh lain tradisi seksual kultural adalah sirkumsisi.
Meskipun di AS masih merupakan masalah kontroversial, akan
tetapi hampir 80% neonatus laki-laki disana disirkumsisi dengan
alasan higienis atau simbol keagamaan dan identitas etnik tertentu.
Demikian pula pada wanita, dalam budaya beberapa negara
sirkumsisi pada wanita merupakan tanda fisik kedewasaan seorang
wanita, simbol kontrol sosial terhadap kesenangan seksual dan
reproduksi mereka.
Survei definitif dan komprehensif mengenai keyakinan dan
praktek seksual di Amerika yang dilakukan oleh para peneliti
Universitas Chicago menunjukan
bahwa seorang individu
dipengaruhi oleh jaringan sosial mereka dan cenderung untuk
melakukan apa yang digariskan oleh lingkungan sosial mereka
(Michael et al, 1994). Hal ini diperkuat dengan hasil penelitian
kualitatif mengenai perilaku seksual anak jalanan di stasiun kereta
api Lempuyangan Jogjakarta. Lingkungan sosial yang bersifat
permisif membuat mereka dengan usia yang sangat muda telah
akrab dengan berbagai aktivitas seksual, mulai dari meilhat sampai
dengan melakukan hubungan intim. (Purnawan, 2004).
Singkatnya, setiap masyarakat memainkan peran yang sangat
kuat dalam membentuk nilai dan sikap seksual, juga dalam
membentuk atau menghambat perkembangan dan ekspresi seksual
anggotanya. Misalnya bagi bangsa timur, khususnya Indonesia,
melakukan hubungan intim (senggama) di luar nikah merupakan
sebuah aib walaupun sekarang mulai memudar, akan tetapi bagi
masyarakat Barat hal tersebut merupakan hal yang wajar dan biasa
terjadi.
b. Dimensi Agama dan Etik

Seksualitas berkaitan dengan standar pelaksanaan agama


dan etik Jika keputusan seksual yang ia buat melawati batas kode
etik individu maka akan menimbulkan konflik internal, seperti
perasaan bersalah, berdosa dan lain-lain. Spektrum sikap mengenai
seksualitas memiliki rentang mulai dari pandangan tradisional
(hubungan seks hanya boleh dalam perkawinan) sampai dengan
sikap yang memperbolehkan sesuai dengan keyakinan individu
tentang perbuatannya.
Akan tetapi meskipun agama memegang peranaan penting,
akan tetapi keputusan seksual pada akhirnya diserahkan pada
individu, sehingga sering timbul pelanggaran etik atau agama.
Seperti yang dikemukakan Denney & Quadagno (1992) bahwa
seseorang dapat menyatakan pada publik bahwa ia meyakini sistem
sosial tertentu tetapi berperilaku cukup berbeda secara pribadi.
Misalnya: Seseorang meyakini kalau hubungan sex diluar nikah itu
tidak diperbolehkan menurut agama atau etika, tapi karena kurang
bisa mengendalikan diri, ia tetap melakukan juga.
Michael et al (1994) membagi sikap dan keyakinan individu
tentang seksualitas menjadi 3 kategori:
1)
Tradisional
: keyakinan keagamaan selalu
dijadikan pedoman bagi perilaku seksual mereka. Dengan
demikian homoseksual, aborsi, dan hubungan seks
pranikah dan diluar nikah selalu dianggap sebagai
sesuatu yang salah.
2)
Relasional : berkeyakinan bahwa sex harus
menjadi bagian dari hubungan saling mencintai, tetapi
tidak harus dalam ikatan pernikahan.
3)
Rekreasional : menyatakan bahwa kebutuhan
seks tidak ada kaitannya dengan cinta.
c. Dimensi biologis
Merupakan dimensi yang berkaitan dengan anatomi dan
fungsional organ reproduksi termasuk didalamnya bagaimana menjag
kesehatan dan memfungsikan secara optimal.
d. Dimensi psikologis
Seksualitas mengandung perilaku yang dipelajari sejak dini
dalam kehidupannya melalui pengamatan terhadap perilaku orang
tuanya. Untuk itulah orang tua memiliki pengaruh secara signifikan
terhadap seksualitas anak-anaknya.
Seringkali bagimana
seseorang memandang diri mereka sebagai mahluk seksual
berhubungan dengan apa yang telah orang tua tunjukan tentang
tubuh dan tindakan mereka.
Menurut Deney & Quadagno hasil penelitian menunjukan
kecenderungan orang tua memperlakukan anak perempuan dan
laki-laki secara berbeda, mendekorasi kamar secara berbeda, dan
demikian pula respon terhadap tindakan mereka.
Orang tua juga akan memberikan penghargaan terhadap anak
lak-laki yang melakukan eksplorasi dan mandiri, sedangjan anak
perempuan sering didorong untuk menjadi penolong dan meminta
bantuan. Lebih lanjut orang tua cenderung mempertegas permaian
3

sesuai dengan jenis kelamin pada anak-anak prasekolah mereka.


Kesimpulannya orang tua memperlakukan anaknya sesuai dengan
jender.
2. Identitas seksual
a. Identitas biologis
Perbedaan biologis antara pria dan wanita ditentukan pada masa
konsepsi. Janin perempuan menerima kromosom X (satu dari setiap
orang tuanya), sedangkan janin laki laki menerima satu kromosom X
dari ibunya dan satu kromosom Y dari ayahnya.
Walaupun awalnya genitalia janin belum bisa dibedakan, tetapi
pada saat hormon seks mulai mempengaruhi janin, genitalia
membentuk karakteristik pria atau wanita. Pada saat pubertas wanita
mengalami putaran siklus menstruasi dan karakteristik seks skunder.
Sedangkan pada anak laki-laki mengalami pembentukan sperma dan
karakteristik seks skunder pria.
b. Identitas Jender
Jender adalah suatu ciri yang melekat pada kaum lelaki maupun
perempuan yang dikonstruksikan secara sosial maupun kultural (Faqih,
1996). Sedangkan Identitas Jender merupakan rasa menjadi feminin
atau maskulin.
Dimana segera setelah bayi lahir orang tua dan komunitasnya
akan memberikan label sebagai perempuan atau laki-laki. Kemudian
orang dewasa akan memperlakukan secara berbeda antara bayi lakilaki dengan perempuan. Pola interaksi yang berbeda inilah yang
kemudian mempengaruhi bayi mengembangkan rasa identitas
jendernya.
Pada usia tiga tahun, anak-anak sudah menyadari bahwa mereka
akan menjadi anak perempuan atau anak-laki-laki. Pengenalan ini
merupakan bagian dari perkembangan konsep diri.
c. Peran Jender
Peran jender merupakan cara dimana seseorang bertindak
sebagai wanita atau pria. Ternyata faktor lingkungan (orang tua, teman
sebaya, media massa dll) bukan satu-stunnya faktor yang membentuk
perbedaan perilaku seksual individu, beberapa peneliti berkeyakinan
hormon seks yang mempengaruhi perkembangan otak janin, ikut
membentuk terbentuknya peran jender tersebut. Sehngga perilaku
seksual merupakan hasil kombinasi fakor lingkungan dan biologis.
Selanjutnya faktor kultural juga merupakan elemen penting
dalam menentukan peran seks atau jender. Ada kultur yang secara
ketat menggambarkan peranaan sebagai feminin atau maskulin (misal:
pencari nafkah dan koordinator finansial rumah tangga sebagai peran
maskulin; sedangkan pemberi perawatan anak dan memasak adalah
peran feminin). Kelompok kultur lain mungkin lebih fleksibel dalam
mendefinisikan peran jender mendorong wanita maupun pria untuk
menggali berbagai peran atau perilaku tanpa memberikan label
tertentu yang berkaitan dengan seks.
3. Orientasi Seksual

Orientasi seksual merupakan preferensi yang jelas, persisten, dan


erotik seseorang untuk jenis kelaminnya atau orang lain. Dengan kata
lain orientasi seksual adalah keteratarikan emosional, romatik, seksual,
atau rasa sayang yang bertahan lama terhadap orang lain
Orientasi seksual memiliki rentang dari Homoseksual murni
sampai dengan Heteroseksual murni termasuk didalamnya Biseksual.
Sebagian besar orang termasuk heteroseksual yang memiliki
ketertarikan hanya dengan lawan jenis. Sedangkan sebagian kecil
termasuk homoseksual atau biseksual.
Homoseksual merupakan orang yang mengalami ketertarikan
emosional, romantik, seksual, atau rasa sayang pada sejenis,
sedangkan biseksual merasa nyaman melakukan hubungan seksual
dengan kedua jenis kelamin. Kaum homoseksual disebut gay (bila lakilaki) atau lesbian (perempuan).
Rentang ini memberikan model konseptual tentang orientasi
seksual dalam masyarakat dan komplesitas perilaku manusia.
Sehingga ada kemungkinan individu mempunyai perasaan erotik yang
ditujukan pada seseorang dengan jenis kelamin yang sama tanpa
melakukan aksi terhadap perasaan itu.
Gaya hidup gay atau lesbian sangat dipengaruhi oleh bagaimana
mereka memutuskan untuk merahasiakan atau terbuka tentang
orientasi seksualnya. Hal ini berkaitan dengan proses penghargaan
diri, penerimaan diri, dan keterbukaan diri. Melihat kenyataan diatas
maka bukan sesuatu yang benar jika kemudian pria gay selalu
berkelakuan agak feminin atau memiliki keinginan menjadi seorang
wanita, atau sebaliknya wanita lesbian tidak mesti maskulin atau
memiliki keinginan untuk jadi pria. Sebagian besar dari mereka merasa
puas dengan jender dan peran sosial mereka, dan hanya memiliki
keinginan untuk bersama dengan anggota jenis kelamin mereka sendiri
Variasi dalam expresi seksual
Transeksual adalah orang yang identitas seksual atau jender nya
berlawanan dengan sex biologisnya. Seorang pria mungkin berfikir
tentang dirinya sebagai seorang wanita dalam tubuh pria, atau
seorang wanita mungkin menggambarkan dirinya sebagai pria yang
terperangkap dalam tubuh wanita. Perasaan terperangkap ini disebut
juga dengan disforia jender.
Transvetit biasanya adalah pria heteroseksual secara periodik
berpakaian seperti wanita untuk pemuasan pikologis dan seksual.
Sikap ini bersifat sangat pribadi bahkan bagi orang yang terdekat
sekalipun.
C. Sistem Nilai Seksual
Sistem nilai seksual merupakan keyakinan pribadi dan keinginan
yang berkaitan dengan seksualitas. Sistem seksual ini dibentuk
sepanjang perjalanan hidupnya. Pengalaman ini dapat membuat klien
mudah untuk berhadapan dengan masalah seksual dalam lingkungan

perawatan
atau
dapat
pula
menghambat
klien
dalam
mengekspresikannya.
Dengan demikian perhatian utama perawat terhadap klien adalah
apakah perilaku, sikap, perasaan, sikap seksual spesifik itu normal.
Klien yang dirawat juga harus diberi privasi ketika dikunjungi oleh
pasangan seksualnya. Privasi ini memungkinkan waktu pembicaraan
intim, menyentuh, atau berciuman.
Ketika orientasi atau nilai seksual perawat berbeda dengan klien
maka sesuatu yang aneh atau salah menurut perawat mungkin tampak
normal dan dapat diterima oleh klien, maka disinilah timbul bias seksual.
Beberapa hal yang bisa dilakukan untuk menghadapi bias seksual
agar tidak mengganggu proses perawatan antara lain:
a)
promosi tentang eduaksi seks dan pemeriksaan
nilai dan keyakinan seksual dengan jujur.
b)
Pemberian informasi mengenai efek penyakit
pada seksualitas secara jujur dan akurat.
D. Perilaku Seksual
Menurut Wahyudi (2000) perilaku seksual merupakan perilaku
yang muncul karena adanya dorongan seksual atau kegiatan
mendapatkan kesenangan organ seksual melalui berbagai perilaku.
Perilaku seksual yang sehat dan dianggap normal adalah cara
heteroseksual, vaginal, dan dilakukan suka sama suka. Sedangkan yang
tidak normal (menyimpang) antara lain Sodomi, homoseksual.
Selama ini perilaku seksual sering disederhanakan sebagai
hubungan seksual berupa penetrasi dan ejakulasi. Padahal menurut
Wahyudi (2000), perilaku seksual secara rinci dapat berupa:
Berfantasi
:
merupakan
perilaku
membayangkan
dan
mengimajinasikan aktivitas seksual yang bertujuan untuk
menimbulkan perasaan erotisme.
Pegangan Tangan : Aktivitas ini tidak terlalu menimbulkan
rangsangan seksual yang kuat namun biasanya muncul keinginan
untuk mencoba aktivitas yang lain.
Cium Kering : Berupa sentuhan pipi dengan pipi atau pipi dengan
bibir.
Cium Basah : Berupa sentuhan bibir ke bibir
Meraba : Merupakan kegiatan bagian-bagian sensitif rangsang
seksual, seperti leher, breast, paha, alat kelamin dan lain-lain.
Berpelukan : Aktivitas ini menimbulkan perasaan tenang, aman,
nyaman disertai rangsangan seksual (terutama bila mengenai
daerah aerogen/sensitif)
Masturbasi (wanita) atau Onani (laki-laki) : perilaku merangsang
organ kelamin untuk mendapatkan kepuasan seksual.
Oral Seks : merupakan aktivitas seksual dengan cara memaukan
alat kelamin ke dalam mulut lawan jenis.
Petting : merupakan seluruh aktivitas non intercourse (hingga
menempelkan alat kelamin).
Intercourse (senggama) : merupakan aktivitas seksual dengan
memasukan alat kelamin laki-laki ke dalam alat kelamin wanita.
6

E. Perkembangan Seksual
Crain
(2002)
menyatakan
bahwa
Freud
dalam
teori
psychosexualnya membagi perkembangan seksual seseorang dalam
beberapa tahap, yaitu:
a.
Oral stage (0-1 tahun)
Rangsangan seksual pada masa ini terletak pada mulutnya. Kegiatan
menghisap puting payudara ibunya atau menghisap jempolnya
merupakan kesenangan bagi seorang bayi.
b.
Anal stage (1-3 tahun)
Pusat rangsangan pada masa ini terletak pada anusnya. Dimana anak
merasakan kesenangan ketika melakukan buang air besar karena
telah mampu mengontrol otot sphincter-nya. Mereka kadang-kadang
mencoba memasukan kembali atau menahan fesesnya dengan cara
menambah tekanan pada rektum. Mereka juga sering tertarik dengan
feses yang telah dikeluarkan dengan menjadikannya sebagai alat
mainan.
c.
Phallic or Oediphal stage (3-6 tahun)

Anak laki-laki
Dimulai dengan adanya ketertarikan terhadap penisnya. Hal
ini disebabkan penis merupakan organ yang mudah dirangsang,
mudah berubah, dan kaya akan rangsangan. Mereka ingin
membandingkan penisnya dengan laki-laki lain atau dengan
binatang, sehingga ia senang memperlihatkan penisnya.
Dia mungkin juga mencium ibunya secara agresiv, ingin tidur
malam bersama ibunya atau membayangkan ia menikahinya.
Akan tetapi ia belum membayangkan untuk melakukan senggama
sehingga merasa bingung apa yang akan dilakukan bersama
ibunya.

Anak perempuan
Pada fase ini ia merasa kecewa dan marah besar dengan
ibunya karena tidak memmpunyuai penis. Ia menganggap ibunya
melahirkan kedunia dengan keadaan kurang lengkap Ia juga
memiliki kedekatan yang lebih terhadap ayahnya. Hal ini mungkin
disebabkan
ayahnya
mulai
mengagumi
kecantikannya,
memanggilnya
little princess serta senang bermain-main
dengannya.
d.
Latency stage (6-11 tahun)
Pada fase ini, sebagian besar fantasi seksual tersembunyi di alam
bawah sadar mereka.
e.
Puberty (Genital Stage)
Pada anak laki-laki dimulai umur 13 tahun sedangkan anak
perempuan dimulai pada usia 11 tahun. Pada saat ini anak ingin
melepaskan dirinya dari orang tua.
Bagi anak laki-laki masa ini adalah saat melepaskan pertalian
dengan
ibunya
untuk
mendapatkan
wanita
lain
sebagai
penggantinya. Dia juga harus mengakhiri rivalitas dengan ayahnya
dan membebaskan diri dari dominasi ayahnya.

Bagi anak perempuan mempunyai tugas yang sama, ia harus


berpisah dari orang tuanya dan menentukan jalan hidupnya sendiri.
f.
Adolescence
Pada saat ini seseorang mulai merasakan cinta dan kasih
saying satu sama lain. Adolescence mempunyai perhatian yang lebih
mengenai siapa mereka, bagaimana mereka di mata orang lain, dan
akan menjadi apakah mereka. Mereka mulai merasakan ketertarikan
secara seksual antara satu dengan yang lain, sampai dengan jatuh
cinta.
Sedangkan dalam buku Fundamental of Nursing (Potter & Perry.
2005), dijelaskan perkembangan seksual meliputi:
1. Masa Bayi (0-1 Tahun)

Bayi perempuan dan laki-laki memiliki kapasitas untuk


kesenangan dan respon seksual, dimana bayi laki-laki berespon
terhadap stimulasi dengan ereksi sedangkan perempuan dengan
lubrikasi vagina.

Bayi laki-laki mengalami ereksi nokturnal spontan tanpa


stimulasi

Perilaku dan respon itu TIDAK berhubungan dengan kontak


PSIKOLOGI EROTIK seperti pada masa pubertas.

Orang tua seharusnya memahami dan menerima perilaku


eksplorasi bayi sebagai langkah perkembangan identitas diri yang
positif dengan cara:
Memberikan stimulasi taktil lainnya melalui menyusui, memeluk,
dan menyentuh atau membuainya.
2. Masa Usia Bermain dan Prasekolah (1- 5/6 Tahun)
Pada masa ini anak mulai menguatkan rasa identitas jender dan
membedakan perilaku sesua dengan jender yang didefinisikan
secara sosial.
Proses pembelajaran terjadi melalui:
o
Interaksi anak dengan orang dewasa
o
Boneka yang diberikan
o
Pakaian yang dikenakan
o
Permainan yang dilakukan
o
Respon yang dihargai
Anak mulai meniru tindakan orang tua yang berjenis kelamin
sama, mempertahankan dan memodifikasi perilaku yang didasarkan
umpan balik orang tua.
Ekspolorasi seksual meliputi
o
Mengelus diri sendiri
o
Manipulasi genital
o
Memeluk boneka,hewan peliharaan, atau orang sekitarnya
o
Percobaan sensual lainnya.

Anak sudah bisa diajarkan perbedaan perilaku yang


bersifat pribadi atau publik.

Pertanyaan darimana bayi berasal yang diamati harus


dijelaskan dengan terbuka, jujur dan sederhana.
3. Masa Usia Sekolah ( 6 10 tahun)
8

Pada masa ini edukasi dan penekanan tentang seksualitas bisa


datang dari orang tua atau gurunya disekolah, tapi yang paling
signifikan berasal dari teman sebayanya.

Anak juga akan terus mengajukan pertanyaan tentang seks dan


menunjukan kemandirian mereka dengan menguji perilaku yang
sesuai, misalnya menggunakan kata-kata kotor atau menceritakan
guyonan yang berkonotasi seksual sambil mengamati reaksi orang
dewasa

Anak-anak mulai mempunyai keinginan dan kebutuhan privasi.

Pada usia 10 tahun, banyak anak gadis dan sebagian sudah


mulai mengalami perubahan pubertas, terjadi perubahan pada
tubuh mereka. Dengan demikian mereka membutuhkan informasi
yang akurat dari rumah maupun sekolah mengenai perubahan
tubuh yang dialami. Karena jika tidak
mungkin anak akan
ketakutan dengan menstruasi atau emisi nokturnal yang
dianggapnya sebagai suau penyakit yang menakutkan.

Pada usia sekolah dini, anak harus diberikan informasi untuk


berhati-hati terhadap potensi adanya penganiayaan seksual.
Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mencegah pelecehan
seksual terhadap anaka antara lain:
Ajarkan kepada anak mengenai perbedaan antara sentuhan
yang baik dengan sentuhan yang buruk dari orang dewasa.
Beritahu anak mengenai bagian tubuh tertentu yang tak
boleh disentuh oleh orang dewasa kecuali saat mandi atau
pemeriksaan fisik oleh dokter.
Ajarkan kepada anak untuk mengatakan tidak jika merasa
tidak nyaman dengan perlakuan orang dewasa dan
menceritakan kejadian itu kepada orang dewasa yang
meraka percaya.
Ajarkan bahwa orang dewasa tidak selalu benar, dan
semua orang mempunyai kontrol terhadap tubuh mereka,
sehingga ia dapat memutuskan siapa yang boleh atau tidak
boleh untuk memeluknya.

Jika terjadi pelecehan seksual pada anak,


beberapa hal yang perlu diperhatikan:

Ciptakan kondisi sehingga anak merasa leluasa


dalam menceritakan tentang bagian tubuhnya dan
menggambarkan kejadian dengan akurat.

Yakinkan anak bahwa orang dewasa yang


melakukannya adalah salah, sedangkan anaknya sendiri
adalah benar.

Orang tua harus bisa mengkontrol ekspresi


emosional didepan anak.
4. Pubertas dan Masa Remaja
a.
Perubahan fsik
1)
Perempuan

Ditandai dengan perkembangan


payudara, bisa dimulai paling muda umur 8 tahun sampai
akhir usia 10 tahun.

Meningkatnya kadar estrogen


mempengaruhi genitalia, antara lain: uterus membesar;
vagina memanjang; mulai tumbuhnya rambut pubis dan
aksila; dan lubrikasi vagina baik spontan maupun akibat
rangsangan.

Menarke sangat bervariasi, dapat


terjadi pada usia 8 tahun dan tidak sampai usia 16 tahun.
Siklus menstruasi pada awalnya tidak teratur dan avulasi
mungkin tidak terjadi saat menstruasi pertama.
2)
Laki-laki
Meningkatnya
kadar
testosteron
ditandai
dengan
peningkatan ukuran penis, testis, prostat, dan vesikula
seminalis; tumbuhnya rambut pubis, wajah
Walaupun mengalami orgasme, tetapi mereka tidak akan
mengalami ejakulasi, sebelum organ seksnya matur yaitu
sekitar usia 12 14 tahun.
Ejakulasi terjadi pertama kali mungkin saat tidur (emisi
nokturnal), dan sering diinterpretasikan sebagai mimpi
basah dan bagi sebagian anak hal tersebut merupakan
sesuatu yang sangat memalukan.
Oleh karena itu anak laki-laki harus mengetahui bahwa
meski ejakulasi pertama tidak menghasilkan sperma, akan
tetapi mereka akan segera menjadi subur.
b.
Perubahan psikologis/emosi

Periode ini ditandai oleh mulainya tanggungjawab dan


asimilasi pengharapan masyarakat

Remaja dihadapkan pada pengambilam sebuah keputusan


seksual, dengan demikian mereka membutuhkan informasi
yang akurat tentang perubahan tubuh, hubungan dan aktivitas
seksual, dan penyakit yang ditularkan melalui aktivitas seksual.

Yang perlu diperhatikan terkadang pengetahuan yang


diadapatkan tidak diintegrasikan dengan gaya hidupnya, hal ini
menyebabkan mereka percaya kalau penyakit kelamin maupun
kehmilan tidak akan terjadi padanya sehingga ia cenderung
melakukan aktivitas seks tanpa kehati-hatian.

Masa ini juga merupakan usia dalam mengidentifikasi


orientasi seksual, banyak dari mereka yang mengalami
setidaknya satu pengalaman homoseksual. Remaja mungkin
takut jika pengalaman itu merupakan gambaran seksualitas
total mereka, walaupun sebenarnya anggapan ini tidak benar
karena banyak individu terus berorientasi heteroseksual secara
ketat setelah pengalaman demikian.

Remaja yang kemudian mengenali preferensi mereka


sebagai homoseksual yang jelas akan merasa
dan
kebingungan sehingga membutuhkan banyak dukungan dari
10

berbagai sumber (Bimbingan Konselor, penasihet spiritual,


keluarga, maupun profesional kesehatan mental).
Hubungan dengan perawatan kesehatan:
Pada masa ini remaja mungkin pertama kali mencari perawatan
kesehatan tanpa didampingi orangtua. Agar intervensi pada
kelompok usia ini bisa efektif harus diperhatikan beberapa hal
antara lain:
Ciptakan lingkungan yang
menunjukan kasih sayang, saling percaya, serta kesediaan
untuk mendengar
Klarifikasi
dan
hormati
masalah yang bersifat rahasia
Perawat
kesehatan
reproduktif hendaknya memiliki pengetahuan yang mendalam
mengenai perkembangan remaja.
5. Masa Dewasa

Pada masa ini telah


mencapai maturasi akan tetapi terus mengeksplorasi untuk
menemukan maturasi emosional dalam hubungan.

Sambil
mengembangkan hubungan yang intim, semua orang dewasa
yang secara seksual aktif harus belajar teknik stimulasi dan respon
seksual yang memuaskan bagi pasangannya. Mengapa ? karena
pengenalan secara mutual tentang keinginan dan preferensi serta
negosiasi praktek seksual mencetuskan ekspresi seksual yang
positif.

Teknik
stimulasi
hendaknya memperhatikan agama, nilai dan sikap keluarga
tentang seksualitas karena kalau tidak menimbulkan efek
emosional residual seperti rasa bersalah, cemas, atau perasaan
berdosa.

Pada akhir masa


dewasa diperlukan pembaruan kembali keintiman diantara
pasangan., namun demikian jika salah satu atau keduanya
mengalami ancaman gambaran diri karena tubuh yang menua,
dan mungkin mencoba menemukan kemudaannya dengan
melakukan hubungan seksual dengan pasangan yang jauh lebih
muda.

Untuk mecegah hal


tersebut, jika diinginkan pasangan dapat dibantu untuk
menemukan hal atau kegairahan baru dalam hubungan mereka,
baik dengan posisi, teknik seksual, maupun fantasi.
6. Masa Lanjut Usia

Seksualitas pada masa ini beralih dari penekanan prokreasi


menjadi lebih kerah pertemanan , kedekatan fisik, komunikasi
intim, dan hubungan fisik mencari kesenangan. Walaupun

11

demikian mereka juga bisa tetap aktif.melakukan aktivitas seks


jika memang menginginkan.
Perubahan fisik yang dialami menyebabkan perubahan perilaku
seksual, sehingga perlu dijelaskan perubahan yang terjadi
bersama dengan proses penuaan.
Demikian pula lansi dengan kekuatiran masalah kesehatan
yang
mengganggu
aktivitas
seksual,
dianjurkan
untuk
menyesuaikan tindakan seksual dengan kondisinya tersebut.

F. Respon Seksual
Menurut Masters dan Johnson (1966) siklus respon seksual terdiri
dari fase excitement, plateu, orgasmus, dan, resolusi. Pada dasarnya
fase-fase tersebut diakibatkan oleh vasokonstriksi dan miotania, yang
merupakan respons fisiologis dasar dari rangsangan seksual.
Perbandingan siklus respon pada wanita dan pria dapat dilihat pada
tabel berikut ini
WANITA
PRIA
I. EXICETEMENT : peningkatan bertahap dalam rangsangan seksual

Lubrikasi vaginal: dinding


Ereksi penis
vaginal berkeringat

Penebalan
dan
elevasi

Ekspansi 2/3 bagian dalam


skrotum
lorong vagina.

Elevasi
dan
perbesaran

Peningkatan
sensitivitas
moderat testis
dan pembesaran klitoris serta
Ereksi
puting
dan
labia
tumescence (pembengkakan)

Ereksi
puting
dan
peningkatan ukuran payudara
II. PLATEU : penguatan respons fase Exitement

Retraksi klitoris di bawah


Peningkatan ukuran glans
topi klitoral
(ujung) penis

Pembentukan
platform
Peningkatan intensitas warna
orgasmus: pembengkakan 1/3
glans
luar vagina dan labisa minora
Elevasi dan peningkatan 50%

Elevasi serviks dan uterus:


ukuran testis.
efek tenting

Emisi
mukoid
kelenjar

Perubahan
warna
kulit
cowper,
kemungkinan
oleh
yang tampak hidup pada labia
sperma
minora: Kulit Seks

Peningkatan tegangan otot

Pembesaran areola dan


dan pernafasan
payudara

Peningkatan frekuensi denyut

Peningkatan tegangan otot


jantung, tekanan darah, dan
dan pernafasan
frekuensi pernafasan

Peningkatan
frekuensi
denyut
jantung,
tekanan
darah,
dan
frekuensi
pernafasan
III. ORGASME: penyaluran kumpulan darah dan tegangan otot

12

Kontraksi
involunter
platform orgasmik, uterus,
rektal dan spingter uretral,
dan kelompok otot lain
Hiperventilasi
dan
peningkatan frekuensi jantung
Memuncaknya
frekuensi
jantung, tekanan darah, dan
frekuensi pernafasan

Penutupan sfingter urinarius


internal

Sensasi ejakulasi yang tidak


tertahankan

Kontraksi duktus deferens


vesikel seminalis prostat dan

duktud ejakulatorius

Relaksasi sfingter kandung


kemih eksternal

Memuncaknya
frekuensi
jantung, tekanan darah, dan
frekuensi pernafasan

Ejakulasi
IV. RESOLUSI: fisiologis dan psikologis kembali kedalam keadaan
tidak terangsang.

Relaksasi bertahap dinding


Kehilangan ereksi penis
vagina

Periode
refraktori
ketika

Perubahan warna yang


dilanjutkan
stimulasi
menjadi
cepat pada labia minora
tidak enak

Berkeringat

Reaksi berkeringat

Secara bertahap frekuensi


Penurunan testis
jantung, tekanan darah, dan
Secara bertahap frekuensi
frekuensi pernafasan kembali
jantung, tekanan darah, dan
normal
frekuensi
pernafasan
kembali

Wanita mampu kembali


normal
mengalami orgasme karena
tidak
mengalami
periode
refraktori seperti yang terjadi
pada pria.
G. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Seksualitas dan Perilaku
Seksual
Faktor-faktor yang mempengaruhi seksualitas antara lain:
1.
Faktor Fisik
Klien dapat mengalami penurunan keinginan seksual karena alasan
fisik, karena bagamanapun aktivitas seks bisa menimbulkan nyeri dan
ketidaknyamanan. Kondisi fisik dapat berupa penyakit ringan/berat,
keletihan, medikasi maupun citra tubuh. Citra tubuh yang buruk,
terutama disertai penolakan atau pembedahan yang mengubah
bentuk tubuh menyebabkan seseorang kehilangan gairah.
2.
Faktor Hubungan
Masalah dalam berhubungan (kemesraan, kedekatan) dapat
mempengaruhi hubungan seseorang untuk melakukan aktivitas
seksual.
Hal ini sebenarnya tergantung dari bagimana kemampuan mereka
dalam berkompromi dan bernegosiasi mengenai perilaku seksual yang
dapat diterima dan menyenangkan
3.
Faktor Gaya Hidup

13

Gaya hidup disini meliputi penyalahgunaan alkohol dalam aktivitas


seks, ketersediaan waktu untuk mencurahkan perasaan dalam
berhubungan, dan penentuan waktu yang tepat untuk aktivitas seks.
Penggunaan alkohol dapat menyebabkan rasa sejahtera atau gairah
palsu dalam tahap awal seks dengan efek negatif yang jauh lebih
besar dibanding perasaan eforia palsu tersebut.
Sebagian klien mungkin tidak mengetahui bagaiman mengatur waktu
antara bekerja dengan aktivitas seksual, sehingga pasangan yang
sudah merasa lelah bekerja merasa kalau aktivitas seks merupakan
beban baginya.
4.
Faktor Harga Diri
Jika harga-diri seksual tidak dipelihara dengan mengembangkan
perasaan yang kuat tentang seksual-diri dan dengan mempelajari
ketrampilan seksual, aktivitas seksual mungkin menyebabkan
perasaan negatif atau tekanan perasaan seksual.
Harga diri seksual dapat terganggu oleh beberapa hal antara lain:
perkosaan, inses, penganiayaan fisik/emosi, ketidakadekuatan
pendidikan seks, pengaharapan pribadi atau kultural yang tidak
realistik.
Sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku seksual,
menurut Purnawan (2004) yang dikutip dari berbagai sumber antara lain:
a.
Faktor Internal
1)
Tingkat
perkembangan
seksual (fisik/psikologis)
Perbedaan kematangan seksual akan menghasilkan perilaku
seksual yang berbeda pula. Misalnya anak yang berusia 4-6
tahun berbeda dengan anak 13 tahun.
2)
Pengetahuan
mengenai
kesehatan reproduksi
Anak yang memiliki pemahaman secara benar dan proporsional
tentang kesehatan reproduksi cenderung memahami resiko
perilaku serta alternatif cara yang dapat digunakan untuk
menyalurkan dorongan seksualnya
3)
Motivasi
Perilaku manusia pada dasarnya berorientasi pada tujuan atau
termotivasi untuk memperoleh tujuan tertentu. Hersey &
Blanchard cit Rusmiati (2001) perilaku seksual seseorang
memiliki tujuan untuk memperoleh kesenangan, mendapatkan
perasaan aman dan perlindungan, atau untuk memperoleh uang
(pada gigolo/WTS)
b.
Faktor Eksternal
1)
Keluarga
Menurut Wahyudi (2000) kurangnya komunikasi secara terbuka
antara orang tua dengan remaja dapat memperkuat munculnya
perilaku yang menyimpang
2)
Pergaulan
Menurut Hurlock perilaku seksual sangat dipengaruhi oleh
lingkungan pergaulannya, terutama pada masa pubertas/remaja

14

dimana pengaruh teman sebaya lebih besar dibandingkan


orangtuanya atau anggota keluarga lain.
3)
Media massa
Penelitian yang dilakukan Mc Carthi et al (1975), menunjukan
bahwa frekuensi menonton film kekerasan yang disertai adeganadegan merangsang berkolerasi positif dengan indikator agresi
seperti konflik dengan orang tua, berkelahi , dan perilaku lain
sebagi manifestasi dari dorongan seksual yang dirasakannya.
H. Penyimpangan Perilaku Seksual
1. Transeksualisme

Rasa tidak nyaman yang menetap dan adanya ketidakwajaran seks


dengan preokupasi yang menetap (sedikitnya untuk 2 tahun) dengan
menyisihkan karakteristik seks primer dan sekunder dan memperoleh
karakteristik lawan jenis

2. Gangguan identitas jender pada masa kanak-kanak, remaja dan dewasa

Tekanan yang kuat dan menetap mengenai status sebagai laki-laki


atau perempuan dengan keinginan yang kuat untuk berjenis kelamin
lawan seks dan penanggalan struktur anatomis individu

3. Pedofilia

Terjadinya hubungan yang menetap, sedikitnya berlangsung selama


6 bulan antara rangsangan dan keinginan seksual, tindakan, fantasi
atau rangsangan lain yang melibatkan seorang anak atau lebih yang
berusia 13 tahun kebawah

4. Eksibisionisme

Terjadinya hubungan yang menetap, sedikitnya berlangsung selama


6 bulan, antara rangsangan dan keinginan seksual, tindakan, fantasi
atau rangsangan lain dengan memamerkan genitalnya kepada orang
asing/orang yang belum dikenal

5. Sadisme Seksual

Terjadinya hubungan yang menetap, sedikitnya berlangsung selama


6 bulan antara rangsangan dan keinginan seksual, tindakan, fantasi
atau rangsangan lain yang menimbulkan kesakitan yang nyata atau
stimulasi psikologis dan penderitaan fisik

6. Masokisme Seksual

Terjadinya hubungan yang menetap, sedikitnya berlangsung selama


6 bulan, antara rangsangan dan keinginan seksual, tindakan ,fantasi

15

atau rangsangan lain yang melibatkan penghinaan, pemukulan,


pengikatan atau hal-hal lain yang sengaja dilakukan untuk menderita
7. Voyeurisme

Terjadinya hubungan yang menetap, sedikitnya berlangsunag selama


6 bulan, antara rangsangan dan keinginan seksual, tindakan, fantasi
atau rangsangan lain yang melibatkan pengamatan terhadap orangorang yang telanjang, sedang menanggalkan pakaian atau sedang
melakukan kegiatan seksual tanpa diketahui mereka

8. Fetisisme

Terjadi hubungan yang menetap, sedikitnya berlangsung selama 6


bulan, antara rangsangan dan keinginan seksual, tindakan, fantsi atau
rangsangan lain dengan menggunakan objek mati

9. Fetisisme Transvestik

Terjadinya hubungan yang menetap, sedikitnya berlangsung selam 6


bulan, antara rangsangan dan keinginan seksual, tindakan, fantasi
atau rangsangan lain dengan menggunakan pakaian orang lain

10. Frotterurisme

Terjadinya hubungan yang menetap, sedikitnya berakhir 6 bulan


antara rangsangan dan keinginan seksual, tindakan, fantasi atau
rangsangan lain meraba tanpa persetujuam pihak lain

11. Gangguan keinginan Seksual Hipoaktif

Defisit yang menetap/berulang atau tidak terdapatnya fantasi seksual


dan keinginan untuk melakukan kegiatan seksual

12. Gangguan Keengganan Seksual

Keengganan yang berlebihan dan menetap dan menghindari semua


atau hampir semua kontak dengan pasangan seksual

13. Gangguan Rangsangan Seksual

Kegagalan yang menetap dan sebagian untuk mencapai atau


mempertahankan respons fisiologis dari kegiatan seksual atau
hilangnya kepuasan seksual selama kegiatan seksual dilakuak

14. Hambatan Orgasme

Keterlambatan yang menetap atau tidak adanya orgasme yang


menyertai pada saat fase puncak hubungan seksual, walaupun
menurut tenaga profesional terhadap intensitas, lama dan fokus yang
sesuai dengan usia individu
16

Asuhan Keperawatan Pasien dengan Gangguan Seksual


Pengkajian
Berikut ini pedoman wawancara yang baik dalam mengumpulkan data
yang berkaitan dengan aspek psikoseksual :
1.

2.

Menggunakan pendekatan yang jujur dan berdasarkan fakta yang


menyadari bahwa klien sedang mempunyai pertanyaan atau masalah
seksual
Mempertahankan kontak mata dan duduk dekat klien

3.

Memberikan waktu yang


seksual, jangan terburu-buru

memadai

untuk

membahas

masalah

4.

Menggunakan pertanyaan yang terbuka, umum dan luas untuk


mendapatkan informasi mengenai pengetahuan, persepsi dan dampak
penyakit berkaitan dengan seksualitas

5.

Jangan mendesak klien untuk membicarakan mengenai seksualitas,


biarkan terbuka untuk dibicarakan pada waktu yang akan datang

6.

Masalah citra diri, kegiatan hidup sehari-hari dan fungsi sebelum


sakit dapat dipakai untuk mulai membahas masalah seksual\

7.

Amati klien selama interaksi, dapat memberikan informasi tentang


masalah ap yang dibahs, bigitu pula masalah apa yang dihindari klien

8.

Minta klien untuk mengklarifikasi komunikasi verbal dan nonverbal


yang belum jelas

9.

Berinisiatif untuk membahas masalah seksual berarti menghargai


kjlien sebagai makhluk seksual, memungkinkan timbulnya pertanyaan
tentang masalah seksual.

Perlu dikaji berbagai mekanisme koping yang mungkin digunakan klien


untuk mengekspresikan masalah seksualnya, antara lain :
1.

Fantasi, mungkin digunakan untuk meningkatkan kepuasan sekasual

2.

Denial, mungkin digunakan untuk tidak mengakui adanya konflik atau


ketidakpuasan seksual

3.

Rasionalisasi, mungkin digunakan untuk memperoleh pembenaran


atau penerimaan tentang motif, perilaku, perasaan dan dorongan
seksual

4.

Menarik Diri, mungkin dilakukan untuk mengatasi perasaan lemah,


perasaan ambivalensi terhadap hubungan intim yang belum
terselesaikan secara tuntas
17

Diagnosa dan Intervensi Keperawatan


1. Disfungsi seksual berhubungan dengan perubahan struktur dan fungsi
tubuh, penganiayaan fisik (seksual), depresi.
Batasan Karakteristik :

Tidak adanya hasrat untuk aktivitas seksual

Perasaan jijik, ansietas, panik sebagai respons terhadap kontak


genital

Tidak adanya pelumasan atau sensasi subjektif dari rangsangan


seksual selama aktivitas seksual

Kegagalan untuk mencapai atau mempertahankan ereksi penis


selama aktivitas seksual

Ketidakmampuan untuk mencapai orgasme atau ejakulasi

Ejakulasi prematur

Nyeri genital selama koitus

Kontriksi vagina yang mencegah penetrasi penis

Tujuan Jangka Pendek :

Pasien akan mengidentifikasi stresor yang berperan dalam penurunan


fungsi seksual dalam 1 minggu

Pasien akan mendiskusikan patofisiologi proses penyakitnya yang


menimbulkan disfungsi seksual dalam 1 minggu

Untuk pasien dengan disfungsi permanen karenan proses penyakit :


pasien akan mengatakan keinginan untuk mencari bantuan profesional
dari seorang terapis seks supaya belajar alternatif cara untuk
mencapai kepuasan seksual dengan pasangannya dalam dimensi
waktu ditetapkan sesuai individu

Tujuan Jangka Panjang :

Pasien akan mendapatkan kembali aktivitas seksual pada tingkat


yang memuaskan untuk dirinya dan pasangannya (dimensi waktu
ditentukan oleh situasi individu)

Intervensi :

Kaji riwayat seksual dan tingkat kepuasan sebelumnya dalam


hubungan seksual

18

Kaji persepsi pasien terhadap masalah


Bantu pasien menetapkan dimensi waktu yang berhubungan dengan
awitan masalah dan diskusikan apa yang terjadi dalam situasi
kehidupannya pada waktu itu

Kaji alam perasaan dan tingkat energi pasien

Tinjau aturan pengobatan, observasi efek samping

Anjurkan pasien untuk mendiskusikan proses penyakit yang mungkin


menambah disfungsi seksual

Dorong pasien untuk menanyakan hal-hal yang berkenaan dengan


seksual dan fungsi yang mungkin menyusahkan dirinya

b. Perubahan pola seksualitas berhubungan dengan pilihan sksual yang


berbeda, penyesuaian diri terhadap seksual terlambat.
Batasan Karakteristik :

Laporan adanya kesukaran, pembatasan atau perubahan dalam


perilaku atau aktivitas seksual

Laporan bahwa getaran seksual hanya dapat dicapai melalui praktik


yang berbeda

Hasrat untuk mengalami hubungan seksual yang memuaskan dengan


individu lain tanpa butuh getaran melalui praktik yang berbeda

Tujuan Jangka Pendek :

Pasien akan mengatakan aspek-aspek seksualitas yang ingin diubah

Pasien dan pasangannya akan saling berkomunikasi tentang caracara dimana masing-masing meyakini hubungan seksual mereka dapat
diperbaiki

Tujuan Jangka Panjang :

Pasien akan memperlihatkan kepuasan dengan pola seksualitasnya


sendiri

Pasien dan pasangannya akan memperlihatkan kepuasan dengan


hubungan seksualnya

Intervensi :

Ambil riwayat seksual, perhatikan ekspresi area ketidakpuasan pasien


terhadap pola seksual

19

Kaji area-area stress dalam kehidupan pasien dan periksa hubungan


dengan pasangan seksualnya

Catat faktor-faktor budaya, sosial, etnik dan religius yang mungkin


menambah konflik yang berkenaan dengan praktik seksual yang
berbeda

Terima dan jangan menghakimi

Bantu therapy dengan perencanaan modifikasi perilaku untuk


membantu pasien yang berhasrat untuk menurunkan perilaku-perilaku
seksual yang berbeda

Jika perubahan pola seksualitas berhubungan dengan penyakit atau


pengobatan medis, berikan informasi untuk pasien dan pasangannya
berkenaan dengan hubungan antara penyakit dan perubahan seksual

Hasil Pasien Yang Diharapkan / Kriteria Pulang


1.

Pasien mampu menghubungkan faktor-faktor fisik atau psikososial


yang mengganggu fungsi seksual

2.

Pasien mampu berkomunikasi dengan pasangannya


hubungan seksual mereka tanpa merasa tidak nyaman

3.

Pasien dan pasangannya mengatakan keinginan dan hasrat untuk


mencari bantuan dari terapi seks yang professional

4.

Pasien mengatakan kembali bahwa aktivitas seksualnya ada pada


tahap yang memuaskan dirinya dan pasangannya

5.

Pasien dan pasangannya mengatakan modifilkasi dalam aktivitas


seksual dalam berespon pada keterbatasan karena penyakit atau
tindakan medis

tentang

Referensi
1. Crain, W. 1992Theorist of Development Concept and Applications. 3th
ed. New York: Engle Wood Cliffs
2. Potter & Perry. 2005 .Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep,
Proses, dan Praktek. Alih Bahasa, Yasmin Asih. Ed. 4. Jakrta: EGC
3. Purnawan, I. 2004. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perilaku
Seksual Pada Anak Jalanan di Stasiun Kereta Api Lempuyangan
Jogjakarta. Program Studi Ilmu Keperawatan, Fakultas Kedokteran
UGM.
4. Minangsari,2005, Merespons Anak yang Mengalami Pelecehan
Seksual!, down load from: kompas online, 9 Februari 2007.
5. Wahyudi,K.2000.Kesehatan Reproduksi Remaja. Lab Ilmu Kedokteran
Jiwa FK UGM Jogjakarta.

20

21

You might also like