You are on page 1of 19

LAPORAN RESMI

PRAKTIKUM FARMOKOLOGI FARMASI


RUTE PEMBERIAN OBAT

NAMA

: YADE M. PERMATA

NIM

: 050804088

PROGRAM

: FARMASI S1 REGULER

KELOMPOK/HARI

: IV / SELASA

ASISTEN

: EMIL SALIM

TANGGAL PERCOB. : 22 MARET 2007

LABORATORIUM FARMAKOLOGI FARMASI


DEPARTEMEN FARMASI
FAKULTAS FARMASI
UNIVESITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2007

LEMBAR ACC
Lembar Pesetujuan Dan Nilai Laporan Praktikum
Judul Percobaan : Rute Pemberian Obat
Medan, 27 Maret 2007
Tanggal ACC :
Asisten,

Praktikan,

( EMIL SALIM )

( YADE M. PERMATA )

Perbaikan :
1. Perbaikan I, Tanggal:
Telah Diperbaiki

2. Perbaikan I, Tanggal:
Telah Diperbaiki

3. Perbaikan I, Tanggal:
Telah Diperbaiki

4. Perbaikan I, Tanggal:
Telah Diperbaiki

5. Pergantian Jurnal

Nilai:

RUTE PEMBERIAN OBAT

I.

PENDAHULUAN
Tujuan terapi obat adalah mencegah, menyembuhkan atau mengendalikan

berbagai keadaan peyakit. Untuk mencapai tujuan ini, dosis obat ang cuku harus
disampaikan kepada jaringan target sehingga kadar terapiutik (tetapi tidak toksit)
didapatkan. Dokter klinik harus mengetahui bahwa kecepatan awitan kerja obat,
besarnya efek obat dan lamanya kerja obat dikontrol oleh empat proses dasar gerakan
dan modifikasi obat di dalam tubuh.
Pertama absorbsi obat dari tempat pemberian obat memungkinkan masuknya bat
tersebt (secara langsung atau tidak langsung) ke dalam plasma (input). Kedua obat
tersebut kemudian bias secara reversible meninggalkan aliran darah dan menyebar ke
dalam cairan intesterstisial dan intra selular (distribusi). Ketiga, obat tersebut di
metabolisme oleh hati, ginjal atau jaringan lainnya. Akhirnya obat dan metabolitnya
dieliminasi dari tubuh (output) di dalam urin, empedu, atau inja. ( Mycek, et. al., 2001)
Disamping factor frmulasi, cara pemberian obat turt menentukan kecepatan dan
kelengkapan reaksi obat. Terantung pada efek yang dinginkan, yaitu efek sistemik (di
selurh tubuh) atau efek local (setempat), keadaan pasien, dan sifat-sifat fisiko-kimiawi
obat, ada banyak cara untuk memberikan obat. (Tjay, T. T., 2002)

II.
-

TUJUAN PERCOBAAN

Untuk mengetahui teknik-teknik pemberian obat melalui berbagai rute pemberian


obat

Untuk melihat perbandingan dari pengaruh rute pemberian obat terhadap efek
yang ditimbulkan

Untuk melihat perbandingan pemberian obat dengan rute pemberian yang sama
tetapi dengan dosis yang berbeda

III.

PRINSIP PERCOBAAN

Pemberian obat dengan rute berbeda-beda akan menghasikan efek yan berbedabeda pula dan dapat mempengaruhi onset of action karena obat mengalami
farmakokinetik dan farmakodinamik yang berbeda-beda.

IV.

TINJAUAN PUSTAKA

Farmakokinetik adalah aspek farmakologi yang mencakup nasib obat dalam


tubuh yaitu obsorbsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresinya. Obat yang masuk
kedalam tubuh melalui berbagai cara pemberian umumnya mengalami absorbsi,
distribusi, dan pengikatan untuk sampai ditempat kerja dan menimbulkan efek.
Kemudian dengan atau tanpa biotranformasi, obat diekresi dari dalam tubuh.
(Ganiswara, 1995)
Suatu studi harus dibuat tentang lokasi penyerapan obat, distribusi, metabolisme,
dan penghapusan. Efek pengobatan tergantung terutama semata pada rute administrasi
atau pemberian obat tersebut. Dosis yang direkomendasikan obat yang diberikann harus
didasarkan

pada

rute

administrasi

atau

pemberian

yang

diharapkan.

(www.webusers.xula.edu)
Salah satu faktor yang mempengaruhi kemanfaatan klinik suatu sediaan obat
adalah mutu sediaan obat. Mutu sediaan tidak hanya cukup dinilai dari pemeriksaan
ketepatan kandungan bahan aktif atau kestabilan sediaan, tetapi juga memerlukan
pemeriksaan yang dapat menunjukkan bahwa sediaan tersebut dapat diabsorpsi dengan
baik pada waktu diberikan kepada pasien. Pemeriksaan yang dianggap baku untuk
kebutuhan ini adalah uji ketersediaan hayati. (www.tempo.co.id)
Uji ketersediaan hayati adalah studi yang menilai seberapa banyak dan seberapa
cepat cepat bahan aktif suatu obat diserap tubuh dalam bentuknya yang secara fisiologis
aktif. Dengan demikian, ketersediaan hayati suatu obat menunjukkan jumlah/fraksi
(extent) dari dosis yang diberikan dan kecepatan (rate) yang masuk ke dalam sirkulasi
sistemik (Gibaldi, 1977). Jumlah obat yang masuk ke sirkulasi sitemik dan
kecepatannya akan menentukan saat mulainya obat menunjukkan efek (onset), derajat
(intensitas), dan lama (durasi) efek farmakologis obat. (www.tempo.co.id)
Berbagai studi menunjukkan bahwa metode fabrikasi dan formulasi seringkali
mempengaruhi ketersediaan hayati suatu obat. Sudah diketahui pula bahwa dalam

banyak keadaan sering dijumpai adanya ketersediaan hayati yang tidak sempurna
(incomplete), dan juga adanya keanekaragaman yang besar (variability) antar produk
obat. Dengan demikian, nilai ketersediaan hayati mempunyai arti penting dalam menilai
mutu (performance) suatu produk obat secara in vivo. Oleh karena itu, penelitian untuk
mengevaluasi ketersediaan hayati merupakan tahap penting dalam upaya peningkatan
kualitas suatu obat. (www.tempo.co.id)
Sediaan lepas lambat dibuat dengan tujuan untuk melepaskan obat secara
"lambat" dan ajeg (konstan). Diharapkan pula absorpsinya juga akan ajeg dan konstan.
Konsekuensi dari pola absorpsi ini, kadar puncak yang dicapai sediaan lepas lambat
tidak setinggi sediaan konvensionalnya. Sediaan konvensional seperti tablet dan kapsul
pada umumnya diabsorpsi secara cepat. Dalam hal ini, absorpsi Teofilin sangat cepat
(10--20 menit) dengan kadar puncak tinggi, padahal efek bronkhodilator hanya
memerlukan kadar terapi 5--15g/ml. Tingginya kadar puncak > 15g/ml berkaitan
sangat erat dengan gejala toksisitas teofilin, misalnya palpitasi. Dengan pola absorpsi
seperti ini, ada kebutuhan untuk menghilangkan fluktuasi pada fase absorpsi dan
mempertahankan agar kadar teofilin bertahan lebih lama dalam plasma. Yang menjadi
persoalan kemudian adalah bagaimana cara membuktikan bahwa formulasi sediaan
lepas lambat tertentu benar bisa melepaskan secara lambat. Kegagalan formulasi
membawa risiko toksisitas yang lebih besar, yakni terlepasnya teofilin secara serentak,
padahal dosis sediaan lepas lambat adalah beberapa dosis yang dijadikan satu.
(www.tempo.co.id)
Rute pemberian obat terutama ditentukan oleh sifat obat (seperti kelarutan dalam
air atau lipid, ionisasi dsbnya) dan oleh tujuan terapi. Terdapat dua rute pemberian obat
yang utama, enteral dan parenteral. (Mycek, et. al., 2001)

Enteral
1. Oral
Memberikan suatu obat melalui mulut adalah cara pemberian obat yang paling
sering, tetapi juga paling bervariasi dan memerlukan jalan yang paling rumit untuk
mencapai jaringan. Beberapa obat diabsorbsi di lambung; namun, duodenum sering
merupakan jalan masuk utama ke sirkulasi istemik karena permukaan absorbsinya yang
lebih besar. Kebanyakan obat diabsorbsi dari saluran cerna dan masuk ke hai sebelum
disebarkan ke sirkulasi umum. Metabolisme langkah pertama oleh usus dan hati

membatasi efikasi banyak obat ketika diminum peroral. Sebagai contoh, lebih dari 90%
nitrogliserin dihilangkan pada saat satu kali melewati hati. Minum obat bersamaan
dengan makanan dapat mempengaruhi absorbsi. Keberadaam makanan dalam lambung
memperlambat waktu pengosngan lambung sehingga obat dihancurkan oleh asam,
msalnya pennisilin menjadi rusak dan tidak dissorbsi. Salut enterik suatu oabt
melindungi obat dari lingkngan yang asam dan bisa mencegah iritasi lambung.
Tergantung pada formulasi, pelepasan obat bias diperpanjang, menghasilkan suatu
preparat lepas lambat. (Mycek, et. al., 2001)
Rute administrasi obat yang utama adalah pemberian melalui rongga mulut.
Rute ini adalah rute yang paling aman digunakan. Tidak sama dengan parenteral, yang
jika dialami overdosing, obat dapat dikoreksi dengan penarikan obat yang tidak diserap
dari perut. Kecuali obat diberikan untuk diserap pada sublingual atau bucal ingus, obat
akan ditelan secara perlahan-lahan. Mayoritas obat yang diberikan secara oral adalah
untuk efek yang systemic. Klasifikasi obat yang diberikan selain peroral tetapi untuk
efek yang systemic meliputi obat yang diharapkan untuk tindakan lokal di berbagai
lokasi gastrointestinal (G.I.). Suatu contoh umum obat ini adalah antacid persiapan.
Obat dikonsumsi peroal untuk tindakan systemic harus diserap melalui G.I.. Kerugian
yang utama rute ini adalah penyerapan tak menentu dan yang tidak sempurna untuk
obat tertentu melalui gastro dan ada penghalang yang berhubungan dengan usus. Ini
mengakibatkan bioavailabilas obat menjadi lemah. Kerugian lain dari rute ini adalah
yang obat-obat yang terhidrolisa atau tidak stabil pada suasana asam tidak dapat
diberikan melalui oral. Obat yang tidak stabil pada lingkungan menjadi menrun
dosisnya yang masuk kedalam siklus sistemik. Selama perjalanannya dari G.I..
Peredaran darah obat harus melalui metaolisme di hati. Di dalam hati obat tertentu
mengalami metabolisme pass pertama dan akan mengalami penurunan efek mengobati
mereka. (www.webusers.xula.edu)
Absorbsi obat melalui saluran cerna pada umumnya terjadi secara difusi pasif.
Karena itu absorbsi mudah terjadi bila obat dalam bentuk non ion dan mudah larut
dalam lemak. Absorbsi obat diusus jauh lebih cepat dibandingkan di lambung karena
permukaan epitel usus halus jauh lebih luas dibandingkan dengan epitel lambung. Selain
itu, epitel lambung tertutup lapisan mucus yang tebal dan mempunyai tahanan listrik
yang tinggi. (Ganiswara, 1995)

2. Sublingual
Penempatan dibawah lidah memungkinkan obat tersebut berdifusi kedalam
anyaman kapiler dan karena itu secara langsung masuk kedalam sirkulasi sistemik.
Pemberian suatu obat degan rute ini mempunyai keuntungan obat melakukan bypass
melewati usus dan hati dan tidak diinaktivasi oleh metabolisme. (Mycek, et. al., 2001)
Buccal Dan Sublingual mucosa di dalam rongga mulut menyediakan suatu
alternatif sempurna untuk pelepasan obat tertentu. Penempatan buccal mucosa adalah
pada pipi. Penempatan sublingual mucosa adalah pada lidah yang yang mengenai sirip
perut dan di atas lantai mulut. Kedua-Duanya mucosa ini menawarkan suatu area yand
dapat diakses untuk penempatan dosis membentuk seperti tablet mudah lengket.
Keuntungan yang utama dari rute ini untuk tindakan yang systemic suatu perumusan
obat adalah bahwa kemngkinan obat tersebut membypass yang hepatic first-pass
metabolisme. Oleh karena itu, buccal dan sublingual merupakan rute pemberian obat
yang ditingkatkan untuk yang obat tertentu yang inactivated oleh enzim hati. Rute ini
adalah juga lebih sedikit resiko untuk obat tertentu yang tidak stabil pada saluran G.I.
oleh karena ketidakhadiran enzim proteolytic. Walaupun rute baik untuk obat tertentu ,
secara umum, rute oral tetap lebih populer untuk penerimaan dan kenyamanan pada
pemakaiannnya. Rute ini dapat digunakan hanya untuk obat yang kuat oleh karena area
permukaan kecil nya, sekitar 100 centimeter kuadrat, yang tersedia untuk penyerapan.
Rute

ini

hanya

diinginkan

hanya

untuk

obat

yang

berasa

hambar.

(www.webusers.xula.edu)
3. Rektal
Lima puluh persen aliran darah dari bagian rectum memintas sirkulasi portal;
jadi, biotransformasi obat oleh hati dikurangi. Rute sublingual dan rectal mempunyai
keuntungan tambahan, yaitu mencegah penghancuran obat oleh enzim usus atau pH
rendah di lambung. Rute rectal tersebut juga berguna jika obat menginduksi muntah
etika diberikan secara oral atau jika penderita sedang muntah-muntah. Rute rectal juga
sering digunakan untuk obat antimuntah. (Mycek, et. al., 2001)
Rute yang berkenaan dengan dubur digunakan terutama semata untuk perawatan
constipation. Salah satu keuntungan yang utama dari rute ini untuk penyerahan obat
yang systemic adalah kemungkinan menghindarkan, sampai taraf tertentu, first-pass
metabolisme. Obat yang diserap dari rute yang berkenaan dengan dubur membypass

hati, sebab yang kapiler yang lebih rendah dan bagian pertengahan dubur mengalirkan
secara langsung ke dalam vena yang lebih rendah cava, dengan begitu menghindarkan
obat melalui sistem hepatic. Bagian yang lebih rendah dubur adalah juga kaya akan
getah bening, dengan begitu menawarkan suatu kesempatan ke sistem yang
mengandung getah bening. Keuntungan lain dari rute ini adalah bahwa pemberian rectal
memberikan kemunkinan penyerapan dosis yang tepat. Di samping potensi nya untuk
penyerahan yang systemic, seluruh sedikit dosis format telah dikembangkan untuk
pasien yang berada dalam kondisi lemah. (www.webusers.xula.edu)

Parenteral
Pemberian parenteral digunakan ntuk obat yang absorbsinya buruk melalui
saluran cerna, dan untuk obat seperti insulin yang tidak stabil dalam saluran cerna.
Pemberian parenteral juga digunakan untuk pengobatan pasien yang tidak sadar dan
dalam keadaan yang memerlukan awitan kerja obat cepat. Pemberian parenteral
memberikan control yang paling baik terhadap dosis obat yang sesungguhnya yang
dimasukkan ke dalam tubuh. Tiga rute parenteral yang utama adalah intara vascular
(intravena dan intra-arteri), intramuscular, dan subkutan. Masing-masing mempunyai
kelebihan dan kekrangan. (Mycek, et. al., 2001)
Parenteral Rute adalah rute yang prinsip untuk penyerahan obat yang
memberikan efek systemic. Rute parenteral yang paling umum digunakan adalah
kedalam pembuluh darah (i.v), intramuscular (i.m), subcutaneous (s.c), dan intradermal
(i.d). Rute parenteral yang lain adalah intraperitoneal, intraspinal, intrathecal,
intracerebroventricular, intraarterial, subarachnoid, dan epidural. Keuntungan yang
utama dari rute ini adalah cepat dan penyerapan lengkap, ukuran dosis lebih kecil, dan
penghindaran first-pass metabolisme. Secara umum, pembatasan yang utama dari rute
ini adalah pemberian obat yang teratur dan dengan dosis yang tepat. Sekali dosis obat
yang diberikan berlebih makan tidak akan dapat dikeluarkan dari peredaran darah.
Pembatasan lain meliputi reaksi jaringan lokal dalam kaitan dengan trauma, jaringan
necrosis,

hemolysis,

hypersensitivas

reaksi,

dan

goncangan

kecepatan.

(www.webusers.xula.edu)
1. Intramuskular (IM)
Obat-obat yang diberikan secara intramuscular dapat berpa larutan dalam air
atau preparat depo khusus sering berupa suspensi obat dalam vehiculum non aqua sperti

etilen gliklol atau mnyak kacang. Absorbsi obat-obat dalam bentuk lartan air cepat,
sedangkan absorbsi preparat-preparat depo berlangsung lambat. Setelah vehikulum
berdifusi keluar dari otot, obat itu mengendap pada tempat suntikan. Kemudian obat
melarut perlahan-lahan memberikan suatu dosis sedikit demi sedikit untuk waktu yang
lebih lama. Suatu contoh adalah obat suntikan haloperidol dekanoat lepas lambatt yang
difusinya lambat dari otot menghasilkan suatu efek neuroleptik yang panjang.
(Mycek, et. al., 2001)
2. Subkutan (SC)
Rute pemberian ini, seperti suntikan intramuscular, memerlukan absorbsi yang agak
lebih lambat dibandingkan dengan cara intravena. Suntikan subkutan mengurangi esiko
yang berhubungan dengan suntikan intravascular. Sejumlah kecil epinefrin kadangkadang dikombinasikan dengan suatu obat untuk membatasi area kerjanya. Epinefrin
bekerja sebagai suatu vasokonstriktor local dan mengrangi pembangan obat sperti
lidokain, dari tempat pemberian. Contoh-contoh lain dari pemberian obat subkutan
meliputi bahan-bahan padat seperti kapsul silastik yang berisikan kontrasepsi
levonorgestrel yang diimplantasikan untuk aktifitas jangka panjang, dan juga pompa
mekanik yang dapat deprogram yang dapat diimplantasikan untuk memberikan insulin
pada beberapa penderita diabetes mellitus. (Mycek, et. al., 2001)
Pemberian subkutan hanya boleh untuk obat yang tidak menyebabkan iritasi
jaringan. Obat dalam bentuk suspensi diserap lebih lambat dari pada dalam bentuk
larutan. Pencampuran obat dengan vasokonstriktor juga akan memperlambat absorbsi
selama beberapa minggu atau beberapa bulan. (Ganiswara, 1995)
3. Intrakutan dan intradermal
Biasanya berupa larutan atau suspensi dalam air, volume yang disuntikkan sedikit
(0,1-0,2ml). Digunakan untuk tujuan diagnosa. Biasanya yang digunakan adalah ekstrak
alergenik. (Anief, M., 2000)
4. Intrakor atau intra kardial
Berupa larutan, hanya digunakan untuk keadaan yang gawat, dan disuntkkan ke
dalam otot jantung atau ventrikulus. (Anief, M., 2000)
5. Intratekal, intraspinal, atau intradural
Berupa larutan harus isotonus, sebab sirkulasi cairan serebrspinal adalah lambat,
meskipun larutan anaestetika sumsum tulang belakang sering hipertonus. Larutan harus

benar-benar steril, bersih sebab jaringan syaraf daerah otonomi di sini sangat peka.
Injeksi disuntikkan ke dalam saluran sumsum tulang belakang (antara 3-4 atau 5-6
lumba vertebra) yang ada cairan cerebrospinal. (Anief, M., 2000)
6. Intratikulus
Berupa larutan atau suspensi dalam air yang disuntikkan ke dalam cairan sendi
dalam rongga sendi. (Anief, M., 2000)
7. intrasubkonjungtiva
Berupa larutan atau suspensi dalam air untuk injeksi selaput lender mata bawah,
umumnya tidak lebih dari 1 ml. (Anief, M., 2000)
8. Intraperitoneal
Injesi yang disuntikkan langsung ke dalam rongga perut. Penyerapan cepat, bahaya
infeksi besar dan jarang digunakan. (Anief, M., 2000)
9. Peridural
Injeksi ekstradural, disuntikkan langsung kedalam ruang epidural, terletak di atas
durameter, lapisan penutup terluar dari otak dan sumsum tulang belakang. (Anief, M.,
2000)
10. Intrasisternal
Disuntikkan ke dalam saluran sumsum tulang belakang pada otak. (Anief, M., 2000)
11. Intravena
Injeksi kedalam pembuluh darah menghasilkan efek tercepat dalam waktu 18
detik, yaitu waktu satu kali peredaran darah, obat sudah tersebar keseluruh jaringan.
Tetapi lama obat biasanya sangat singkat. Cara ini digunakan untk mencapai pentakaran
yang tepat dan dapat dipercaya, atau efek yang sangat cepat dan kuat. Tidak untuk obat
yang tak lrut dalam air atau menimbulkan endapan dengan protein atau butiran darah.
Bahaya injeksi intra vena adalah dapat mengakibatkan terganggunya zat-zat klorida
darah dengan reaksi hebat, karena dengan cara ini benda asing langsung dimasukkan
kedalam sirkulasi, misalnya tekanan darah mendadak turun dan timbulnya shock.
Bahaya ini lebih besar bila injeksi dilakukan terlalu cepat, sehingga kadar obat setempat
dalam darah meningkat terlalu pesat. Oleh karena itu, setiap intra vena harus dilkukan
amat perlahan, antara 50 dan 70 detik lamanya. Infuse tetes intravena dengan obat
sering dilakukan di rumah sakit pada keadaan darurat atau dengan obat yang cepat
metabolisme dan ekskresinya guna mencapai kadar plasma yang tetap tinggi. Bahaya

trombosis terdapat bila infus digunakan terlampau sering pada satu tempat. (Tjay, T. H.,
2002)
12. Intra-arteri
Injeksi ke pembulu nadi adakalanya dlkukan untuk membanjiri suatu organ,
misalnya hati, dengan obat yang sangat cepat diinaktifkan atau terikat pada jaringan,
misalnya obat kanker nitrogenmustad. (Tjay, T. H., 2002)

Rute lain-lain
1. Rute nasal
Rute ini biasanya digunakan untuk obat yang memberikan efek lokal. Rute ini
semakin tenar untuk penyerapan protein yang systemic dan peptide obat. Secara alami
pada pemberian ini dapat mencapai efek sistemik. Keuntungan yang utama dari rute ini
adalah mempercepat administrasi, penyerapan cepat, dan penghindaran dari hepatic
first-pass metabolisme. Seperti buccal dan sublingual, rute ini adalah juga bermanfaat
untuk obat yang mempunyai efek kuat oleh karena area permukaan lebih kecil nya,
sekitar

200

centimeter

kuadrat,

yang

tersedia

untuk

penyerapan.

(www.webusers.xula.edu)
2. Rute pulmonary (paru-paru, inhalasi)
Rute yang berkenaan dengan paru-paru telah digunakan untuk dekade untuk
mengurus obat kepada paru-paru, biasanya digunakan untuk perawatan sakit asma dan
lain tindakan lokal. Baru-baru ini, rute ini telah menerima perhatian lebih untuk
penyerahan obat yang systemic. Serangan tindakan yang mengikuti administrasi obat
yang berkenaan dengan paru-paru adalah dapat diperbandingkan dan sangat cepat
kepada rute yang kedalam pembuluh darah. Paru-Paru adalah suatu lokasi menarik
untuk penyerahan protein yang systemic dan peptide obat. Mereka menawarkan suatu
area permukaan lebih besar (70 m2) untuk penyerapan obat yang memberikan efek
systemic ketika dibandingkan dengan rute pemberian nonintra obat systemic yang lain
seperti buccal, sublingual, nassal, rektal, dan rongga vaginal. Tantangan yang utama
untuk rute ini adalah ketiadaan reproducibilas dalam

lokasi pemberhantian dosis.

Tingkat penyerapan obat bertukar-tukar pada posisi berbeda disebabkan karena


ketebalan variabel epithelial sel lapisan pada posisi berbeda pada cabang bronchial.
(www.webusers.xula.edu)

Cara inhalasi hanya bias digunakan untuk obat yang berbentuk gas atau cairan
yang mudah menguap seperti anestetik umum, dan untuk obat lain yang dapat diberikan
dalam bentuk aerosol. Absorbsi terjadi melalui paru dan mukosa saluran nafas.
(Ganiswara, 1995)
3. Rute vagina
Rute vaginal adalah rute penyerahan obat systemic yang juga cepat, karena area
ini kaya akan darah dan mempunyai suatu sistem getah bening yang efisien. Walaupun
mempunyai potensi untuk penyerahan obat yang systemic, obat yang dirancang untuk
rute ini terbatas hanya untuk obat yang benar-bena efektif. Ini meliputi beberapa
persiapan kesehatan feminin, kontrasepsi, dan tenaga kerja yang mempengaruhi obat.
Keuntungan yang utama dari rute ini adalah kemungkinan menghindarkan first-pass
metabolisme yang mengikuti penyerapannya melalui epithelium yang vaginal.
Ketebalan epithelium yang vaginal dan peredaran darah di daerah ini berubah dengan
umur dan siklus haid, dan penyerapan obat juga berubah. Perubahan fisiologis ini
membuat lebih sedikit obat yang diserap untuk efek yang systemic. Kerugian lain dari
rute

lain

adalah

kemampuan

menerima

pasien

dalam

beberapa

kultur.

(www.webusers.xula.edu)
4. Pemberikan topical pada mata
Rute okuler biasanya digunakan untuk aplikasi obat lokal. Aplikasi obat yang
diberikan pada mata diperlukan untuk perawatan glaukoma dan kondisi-kondisi
penyakit local yang lain. Walaupun, adakalanya 5-10% dosis yang dapat diserap melalui
corneal epithelium masuk ke peredaran darah yang mengikuti administrasi obat yang
berkenaan dengan penglihatan, rute ini tidak mempunyai banyak potensi untuk
penyerahan obat yang systemic. Penerimaan Pasien untuk penyerahan obat yang
systemic melalui rute ini adalah minimum. Obat yang diberikan melalui rute ini dapat
menyebabkan pnggunanya merasa kesakitan pada ambang batas obat diserap secara
minimum. (www.webusers.xula.edu)
Absorbsi terjadi lebih cepat bila kornea engalami infeksi atau trauma. Absorbsi
sistemik melalui saluran nasolakrimal sebenarnya tidak diinginkan, absorbsi disini dapat
menyebabkan efek sistemik karena obat tidak mengalami metabolisme lintas pertama di
hati maka -bloker yang diberikan sebagai tetes mata misalnya pada glaucoma dapat
menimbulkan toksisitas sistemik. (Ganiswara, 1995)

5. Rute transdermal
Rute kulit atau transdermal adalah salah satu rute yang paling luas untuk
penyerahan obat. Selain dari tindakan obat ang memberikan efek lokal, kulit
menyediakan suatu rata-rata 20,000 centimeter kuadrat permukaan untuk penyerapan
obat untuk efek systemic. Kulit biasanya diuraikan dalam kaitan dengan tiga lapisan
jaringan kulit luar, dermis, dan subcutaneous lapisan lemak. Lapisan yang paling jauh
kulit adalah lapisan corneum, yang terdiri dari sel-sel mati, compacted, dan sel
keratinized. Lapisan ini terdiri dari sel keratanized yang mengatur penyerapan obat yang
dierikan melalui kulit. Secara umum, lapisan ini menyediakan suatu penghalang bersifat
melindungi dari obat yang mengandung bahan-bahan kimia, hanya dengan bantuan
penetrasi enhancers suatu jumlah obat dapat diserap dan digunakan untuk penyerahan
systemic. Keuntungan yang utama dari rute ini adalah tidak perlu pengawasan dari
keracunan pasien, dan penghindaran first-pass metabolisme. Pembatasan yang utama
dari rute ini adalah ukuran partikel yang dapat menembus kulit. Molekul Obat dengan
suatu bobot molekular lebih kecil menunjukkan janji lebih tinggi untuk penyerahan
yang systemic melalui rute ini . (www.webusers.xula.edu)
Absorpsi obat:

absorpsi obat pada traktus gastrointestinal umumnya lebih

lambat dari pada dewasa. Absorpsi obat yang diberikan secara intra muskular sulit
diduga hasilnya pada neonatus. Absorbsi obat pada pemberian subkutan sangat cepat
pada neonatus dan bayi. (www.pediatrik.com)
Distribusi obat: perubahan pada distribusi obat seiring dengan pertumbuhan
terjadi secara paralel dengan perubahan komposisi tubuh. Jumlah cairan tubuh total
lebih besar pada neonatus dari pada dewasa, yaitu sekitar 70% berat bedan pada
neonatus menjadi 55 sampai 60% pada dewasa. Karenanya, untuk memperoleh
konsentrasi obat pada plasma yang ekivalen, obat yang larut air diberikan dalam dosis
yang menurun seiring dengan meningkatnya usia pertumbuhan. (www.pediatrik.com)
Ikatan protein plasma: ikatan protein plasma obat pada neonatus kurang jika
dibandingkan dengan dewasa, tetapi akan mencapai kapasitas puncaknya setelah usia
beberapa bulan. Kemampuan ikatan protein yang kurang ini mungkin disebabkan oleh
perbedaan kualitatif dan kuantitatif pada protein plasma neonatus dan juga karena
adanya substrat-substrat eksogen dan endogen pada plasma. Penurunan ikatan protein
ini dapat mengubah respons farmakologik dan bersihan obat tetapi hal ini tidak terlalu

bermakna pada anak-anak yang lebih tua. Peningkatan sensitifitas neonatus terhadap
beberapa obat disebabkan oleh penurunan ikatan protein ini, menyebabkan semakin
banyaknya jumlah obat pada reseptor sehingga terjadi efek efek farmakologik yang
lebih kuat. Karenanya, efek samping dapat timbul pada konsentrasi plasma obat yang
jauh lebih rendah, yang dianggap aman pada dewasa. (www.pediatrik.com)
Metabolisme dan eliminasi obat: dosis perawatan suatu obat umumnya
merupakan suatu fungsi dari kemampuan bersihan tubuh, yang tergantung utamanya
pada kecepatan metabolisme dan eliminasi. Proses-proses ini cenderung untuk lebih
lambat pada neonatus, dan meningkat secara progresif selama beberapa bulan pertama
kehidupan, dan akan melewati kecepatan orang dewasa pada beberapa tahun pertama
kehidupan. Elimansi obat melambat pada usia remaja dan akan mencapai kecepatan
orang dewasa pada akhir masa pubertas.
Perubahan metabolisme dan karakter obat sesuai dengan usia sangat bervariasi
dan juga bergantung pada substrat obat. Sebagian besar obat mempunyai waktu paruh
plasma dua sampai tiga kali lebih lama pada neonatus dari pada dewasa. Obat lainnya
ada yang dieliminasi sangat lambat pada neonatus dan bayi. Suatu obat mungkin saja
dieliminasi dalam beberapa hari pada dewasa tetapi memerlukan beberapa minggu
untuk dieliminasi pada neonatus. (www.pediatrik.com)
Metabolisme dan eliminasi obat menunjukkan suatu perbedaan yang sangat
besar pada masing-masing penderita. Selain itu, metabolisme dan eliminasi juga
tergantung pada keadaan patofisiologik. Lebih jauh lagi, ada jalur biotransformasi
alternatif yang timbul pada neonatus. Adanya hal-hal semacam ini menyebabkan
peribahan dosis obat pada bayi dan anak. (www.pediatrik.com)
Eliminasi ginjal merupakan rute utama pada obat-obat antimikrobial. Eliminasi
ginjal sangat bergantung pada GFR dan sekresi tubular. Kedua fungsi ini belum
berkembang secara sempurna pada neonatus dan akan menjadi sempurna pada usia 2
tahun. GFR (glomerular filtration rate/laju filtrasi ginjal) pada neonatus sekitar 30%
GFR dewasa. RBF (renal blood flow/aliran darah ginjal) yang efektif akan
mempengaruhi laju eliminasi obat oleh ginjal. Bersihan plasma suatu obat akan
menignkat secara bermakna pada awal masa kanak setelah usia 1 tahun; hal ini terutama
karena relatif meningkatnya eliminasi renal dan hepatik suatu obat pada anak dibanding

dewasa. Karenanya, dosis obat yang akan diberikan pada penderita pediatri harus
disesuaikan. (www.pediatrik.com)

V.

METODE PERCOBAAN

5.1.Alat Dan Bahan


5.1.1. Alat
- Timbangan Elektrik
- Oral sonde mencit
- Spuit 1 ml
- Stopwatch
- Alat suntik 1 ml
- Beaker glass 25 ml
-

Erlenmeyer 10 ml

5.1.2. Bahan
- Mencit 5 ekor
- Aquadest
- Luminal Na konsentrasi 0,7 %
5.2. Prosedur Percobaan
- Hewan ditimbang, lalu ditandai
- Dihitung dosis pemberian
Mencit 1 : kontrol dosis aquadest 1 % / BB ( IP )
Mencit 2 : Phenobarbital [ ] 0,7 % dosis 80 mg/kg BB ( Oral )
Mencit 3 : Phenobarbital [ ] 0,7 % dosis 80 mg/kg BB ( IP )
Mencit 4 : Phenobarbital [ ] 0,7 % dosis 90 mg/kg BB ( Oral )
Mencit 5 : Phenobarbital [ ] 0,7 % dosis 90 mg/kg BB ( IP )
- Diamati efek yang terjadi pada mencit dan dicatat
- Dibuat grafik respon vs waktu

VI.

PERHITUNGAN, DATA, GRAFIK DAN PEMBAHASAN

6.1. Perhitungan Dosis

Mencit 1
Berat mencit 1
Volume air

= 18,9 gram
= 1% berat badan
= 1% X 18,9
= 0,189 gram
= 0,189 ml
Jumlah air yang diberikan = volume / 0,0125
= 15,2 skala

Mencit 2
Berat mencit 2
jumlah obat (mg)

= 25,2 gram
= Dosis Obat (mg/KgBB) / 1000 X Berat Badan Hewan
= 80 mg/KgBB /1000 X 25,2
= 2,016 mg

Konsentrasi Obat dalam 0,7%, berarti:


Konsentrasi obat
= 0,7%
0,7% = 0,7 gr / 100ml
= 0,7 x 1000 mg / 100ml
= 7 mg/100ml
jumlah larutan obat yang diberikan = jumlah obat yang diberikan / 7mg/100ml
= 2,016 mg / 7mg/100ml
= 0,288 ml
Jika skala dalam Syringe 1 ml = 80 skala, maka:
1 skala = 1: 80
= 0,0125 ml
Jadi jumlah Obat yang diberikan dalam syringe 1 ml adalah :
Jumlah larutan = jumlah larutan obat diberikan / 0,0125
= 0,288ml / 0,0125ml
= 23,04 skala

Mencit 3
Berat mencit 1
jumlah obat (mg)

= 29,2 gram
= Dosis Obat (mg/KgBB) / 1000 X Berat Badan Hewan
= 80 mg/KgBB /1000 X 29,2
= 2,336 mg

Konsentrasi Obat dalam 0,7%, berarti:


Konsentrasi obat
= 0,7%
0,7% = 0,7 gr / 100ml

= 0,7 x 1000 mg / 100ml


= 7 mg/100ml
jumlah larutan obat yang diberikan = jumlah obat yang diberikan / 7mg/100ml
= 2,336 mg / 7mg/100ml
= 0,334 ml
Jika skala dalam Syringe 1 ml = 80 skala, maka:
1 skala = 1: 80
= 0,0125 ml
Jadi jumlah Obat yang diberikan dalam syringe 1 ml adalah :
Jumlah larutan = jumlah larutan obat diberikan / 0,0125
= 0,334ml / 0,0125ml
= 26,72 skala

Mencit 4
Berat mencit 1
jumlah obat (mg)

= 18,4 gram
= Dosis Obat (mg/KgBB) / 1000 X Berat Badan Hewan
= 90 mg/KgBB /1000 X 18,4
= 1,656 mg

Konsentrasi Obat dalam 0,7%, berarti:


Konsentrasi obat
= 0,7%
0,7% = 0,7 gr / 100ml
= 0,7 x 1000 mg / 100ml
= 7 mg/100ml
jumlah larutan obat yang diberikan = jumlah obat yang diberikan / 7mg/100ml
= 1,656 mg / 7mg/100ml
= 0,2366 ml
Jika skala dalam Syringe 1 ml = 80 skala, maka:
1 skala = 1: 80
= 0,0125 ml
Jadi jumlah Obat yang diberikan dalam syringe 1 ml adalah :
Jumlah larutan = jumlah larutan obat diberikan / 0,0125
= 0,2366ml / 0,0125ml
= 18,928 skala

Mencit 5
Berat mencit 1
jumlah obat (mg)

= 30,1 gram
= Dosis Obat (mg/KgBB) / 1000 X Berat Badan Hewan
= 90 mg/KgBB /1000 X 30,1
= 2,71 mg

Konsentrasi Obat dalam 0,7%, berarti:


Konsentrasi obat
= 0,7%
0,7% = 0,7 gr / 100ml

= 0,7 x 1000 mg / 100ml


= 7 mg/100ml
jumlah larutan obat yang diberikan = jumlah obat yang diberikan / 7mg/100ml
= 2,71 mg / 7mg/100ml
= 0,39 ml
Jika skala dalam Syringe 1 ml = 80 skala, maka:
1 skala = 1: 80
= 0,0125 ml
Jadi jumlah Obat yang diberikan dalam syringe 1 ml adalah :
Jumlah larutan = jumlah larutan obat diberikan / 0,0125
= 0,39ml / 0,0125ml
= 31,2 skala
6.2. Data percobaan
Data terlampir
6.3.

Grafik percobaan

Keterangan
1. Normal
2. Garuk-garuk (reaktif)
3. Gearak lambat
4. Tidur
6.4.

Pembahasan

VII. KESIMPULAN DAN SARAN


7.1. Kesimpulan
-

Dari percobaan dilakukan pemberian obat dengan rute pemberian secara oral dan
intra peritoneal.Rute oral yaitu pemberian obat melalui mulut sedangkan intra
peritoneal adalah suntikan ke rongga peritoneum.

Obat yang diberikan secara intra peritoneal memberikan efek yang lebih cepat
dibandingkan dengan pemberina secara oral karena pada injeksi intra peritoneal
serapan ke darah
pemberina

lebih cepat dan luas permukaan serapan luas.Sedangkan

secara

oral,banyak

faktor

yang

dapat

mempengaruhi

bioavailabilitasnya dan obat harus menembus membran mukosa dan GIT.


-

Obat dengan dosis yang lebih tinggi mempunyai efek yang lebih cepat
dibandingkan obat dengan dosis yang lebih rendah pda rute pemberian yang
sama.

7.2. Saran
-

Dihrapkan praktikan agar berhati-hati dalam pemberian obat melali rute oral,
sebab, ketidakhati-hatian praktikan dalam memasukkan jarum sonde kedalam
saluran pencernaan mencit akan menyebabkan mencit tersebut mati.

Diharapkan praktikan agar berhati-hati pada saat pemberian obat melalui rute
inraperitoneal, sebab jika pada pentuntikan obat bias saja tidak sampai ke jaringan
di bawah kulit perut, melainkan masuk hanya sampai dibawah kulit atau subkutan
sehingga menyebabkan perut akan menggembung dan obat tak akan terasorbsi
bagaimana semestinya.

You might also like