You are on page 1of 15

LAPORAN PENDAHULUAN

DIAGNOSA MEDIS FRAKTUR CRURIS TIBIA


A. KONSEP DASAR
a. Pengertian
Ada beberapa pengertian fraktur menurut para ahli adalah
1. Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga
fisik (Price dan Wilson, 2006).
2. Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan di tentukan sesuai jenis dan
luasnya, fraktur terjadi jika tulang di kenai stress yang lebih besar dari yang
dapat diabsorbsinya (Smeltzer dan Bare, 2002).
3. Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang, kebanyakan fraktur akibat dari
trauma, beberapa fraktur sekunder terhadap proses penyakit seperti
osteoporosis, yang menyebabkan fraktur yang patologis (Mansjoer, 2002).
4. Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang yang di tandai oleh rasa nyeri,
pembengkakan, deformitas, gangguan fungsi, pemendekan , dan krepitasi
(Doenges, 2002).
5. Fraktur cruris merupakan suatu istilah untuk patah tulang tibia dan fibulayang
biasanya terjadi pada bagian proksimal (kondilus), diafisis, atau persendian
pergelangan kaki ( Muttaqin, 2008).
Berdasarkan pengertian para ahli dapat disimpulkan bahwa fraktur cruris adalah
terputusnya kontinuitas tulang dan di tentukan sesuai jenis dan luasnya, yang di
sebabkan karena trauma atau tenaga fisik yang terjadi pada tulang tibia dan fibula.
b. Etiologi
Etiologi dari fraktur menurut Price dan Wilson (2006) ada 3 yaitu:
1. Cidera atau benturan
2. Fraktur patologik
Fraktur patologik terjadi pada daerah-daerah tulang yang telah menjadi lemah
oleh karena tumor, kanker dan osteoporosis.
3. Fraktur beban
Fraktur baban atau fraktur kelelahan terjadi pada orang- orang yang baru saja
menambah tingkat aktivitas mereka, seperti baru di terima dalam angkatan

bersenjata atau orang- orang yang baru mulai latihan lari.


c. Patofisiologi
Fraktur dibagi menjadi fraktur terbuka dan fraktur tertutup. Tertutup bila
tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar. Sedangkan
fraktur terbuka bila terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar
oleh karena perlukaan di kulit (Smelter dan Bare,2002).
Sewaktu tulang patah perdarahan biasanya terjadi di sekitar tempat patah ke
dalam jaringan lunak sekitar tulang tersebut, jaringan lunak juga biasanya
mengalami kerusakan. Reaksi perdarahan biasanya timbul hebat setelah fraktur.
Sel- sel darah putih dan sel anast berakumulasi menyebabkan peningkatan aliran
darah ketempat tersebut aktivitas osteoblast terangsang dan terbentuk tulang baru
umatur yang disebut callus. Bekuan fibrin direabsorbsidan sel- sel tulang baru
mengalami remodeling untuk membentuk tulang sejati. Insufisiensi pembuluh
darah atau penekanan serabut syaraf yang berkaitan dengan pembengkakan yang
tidak di tangani dapat menurunkan asupan darah ke ekstrimitas dan
mengakibatkan kerusakan syaraf perifer. Bila tidak terkontrol pembengkakan
akan mengakibatkan peningkatan tekanan jaringan, oklusi darah total dan
berakibat anoreksia mengakibatkan rusaknya serabut syaraf maupun jaringan otot.
Komplikasi ini di namakan sindrom compartment (Brunner dan Suddarth, 2002 ).
Trauma pada tulang dapat menyebabkan keterbatasan gerak dan ketidak
seimbangan, fraktur terjadi dapat berupa fraktur terbuka dan fraktur tertutup.
Fraktur tertutup tidak disertai kerusakan jaringan lunak seperti tendon, otot,
ligament dan pembuluh darah ( Smeltzer dan Bare, 2001). Pasien yang harus
imobilisasi setelah patah tulang akan menderita komplikasi antara lain : nyeri,
iritasi kulit karena penekanan, hilangnya kekuatan otot. Kurang perawatan diri
dapat terjadi bila sebagian tubuh di imobilisasi, mengakibatkan berkurangnyan
kemampuan prawatan diri (Carpenito, 2007).
Reduksi terbuka dan fiksasi interna (ORIF) fragmen- fragmen tulang di
pertahankan dengan pen, sekrup, plat, paku. Namun pembedahan meningkatkan
kemungkinan terjadinya infeksi. Pembedahan itu sendiri merupakan trauma pada
jaringan lunak dan struktur yang seluruhnya tidak mengalami cedera mungkin

akan terpotong atau mengalami kerusakan selama tindakan operasi (Price dan
Wilson, 2006).
d. Pathways

e. Manifestasi Klinik
Manifestasi klinis fraktur adalah nyeri, hilangnya fungsi, deformitas, pemendekan
ekstrimitas, krepitus, pembengkakan local, dan perubahan warna.
1. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang di
imobilisasi, spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai
alamiah yang di rancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen tulang.
2. Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tak dapat digunakan dan cenderung
bergerak tidak alamiah bukan seperti normalnya, pergeseran fraktur
menyebabkan deformitas, ekstrimitas yang bias di ketahui dengan
membandingkan dengan ekstrimitas yang normal. Ekstrimitas tidak dapat

berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot bergantung pada integritas
tulang tempat melekatnya otot.
3. Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena
kontraksi otot yang melekat diatas dan dibawah tempat fraktur.
4. Saat ekstrimitas di periksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang yang
dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu dengan
yang lainya.
5. Pembengkakan dan perubahan warna local pada kulit terjadi sebagai akibat
dari trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini biasanya baru
terjadi setelah beberapa jam atau hari setelah cedera (Smelzter dan Bare,
2002).
f. Penatalaksanaan
Menurut Mansjoer (2000) dan Muttaqin (2008) konsep dasar yang harus
dipertimbangkan pada waktu menangani pasien dengan kasus fraktur yaitu :
1. Rekognisi (Pengenalan )
Riwayat kecelakaan, derajat keparahan, harus jelas untuk
menentukan diagnosa dan tindakan selanjutnya. Contoh, pada tempat
fraktur tungkai akan terasa nyeri sekali dan bengkak. Kelainan bentuk
yang nyata dapat menentukan diskontinuitas integritas rangka.
2. Reduksi (manipulasi/ reposisi)
Reduksi adalah usaha dan tindakan untuk memanipulasi fragmen
fragmen tulang yang patah sedapat mungkin kembali lagi seperti letak
asalnya. Upaya untuk memanipulasi fragmen tulang sehingga kembali
seperti semula secara optimal. Reduksi fraktur dapat dilakukan dengan
reduksi tertutup, traksi, atau reduksi terbuka. Reduksi fraktur dilakukan
sesegera

mungkin

untuk

mencegah

jaringan

lunak

kehilangan

elastisitasnya akibat infiltrasi karena edema dan perdarahan. Pada


kebanyakan kasus, reduksi fraktur menjadi semakin sulit bila cedera
sudah mulai mengalami penyembuhan (Mansjoer, 2002).
3. Retensi (Immobilisasi)
Upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen tulang sehingga
kembali seperti semula secara optimal. Setelah fraktur direduksi,
fragmen tulang harus diimobilisasi, atau di pertahankan dalam posisi

kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat


dilakukan dengan fiksasi eksterna atau interna. Metode fiksasi eksterna
meliputi pembalutan, gips, bidai, traksi kontinu, pin, dan teknik gips,
atau fiksator eksterna. Implan logam dapat di gunakan untuk fiksasi
intrerna yang brperan sebagai bidai interna untuk mengimobilisasi
fraktur. Fiksasi eksterna adalah alat yang diletakkan diluar kulit untuk
menstabilisasikan fragmen tulang dengan memasukkan dua atau tiga pin
metal perkutaneus menembus tulang pada bagian proksimal dan distal
dari tempat fraktur dan pin tersebut dihubungkan satu sama lain dengan
menggunakan eksternal bars. Teknik ini terutama atau kebanyakan
digunakan untuk fraktur pada tulang tibia, tetapi juga dapat dilakukan
pada tulang femur, humerus dan pelvis (Mansjoer, 2000).
Prinsip dasar dari teknik ini adalah dengan menggunakan pin yang
diletakkan pada bagian proksimal dan distal terhadap daerah atau zona
trauma, kemudian pin-pin tersebut dihubungkan satu sama lain dengan
rangka luar atau eksternal frame atau rigid bars yang berfungsi untuk
menstabilisasikan fraktur. Alat ini dapat digunakan sebagai temporary
treatment untuk trauma muskuloskeletal atau sebagai definitive
treatment berdasarkan lokasi dan tipe trauma yang terjadi pada tulang
dan jaringan lunak (Muttaqin, 2008).
4. Rehabilitasi
Mengembalikan aktifitas fungsional semaksimal mungkin untuk
menghindari atropi atau kontraktur. Bila keadaan mmeungkinkan, harus
segera dimulai melakukan latihan-latihan untuk mempertahankan
kekuatan anggota tubuh dan mobilisasi (Mansjoer, 2000).
g. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Doenges ( 2000) ada beberapa pemeriksaan penunjang pada pasien
fraktur antara lain:
1. Pemeriksaan roentgen : untuk menentukan lokasi, luas dan jenis fraktur
2. Scan tulang, tomogram, CT- scan/ MRI : memperlihatkan fraktur dan
mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.

3. Pemeriksaan darah lengkap : Ht mungkkin meningkat (hemokonsentrasi) atau


menurun (perdarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada trauma
multiple). Peningkatan sel darah putih adalah respon stress normal setelah
trauma.
4. Kreatinin : Trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens ginjal.
5. Profil koagulasi : perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, transfuse
multiple, atau cedera hati.
B. KONSEP KEPERAWATAN
a. Pengkajian
Pada pengkajian fokus yang perlu di perhatikan pada pasien fraktur merujuk pada
teori menurut Doenges (2002) dan Muttaqin (2008) ada berbagai macam meliputi:
1. Riwayat penyakit sekarang
Kaji kronologi terjadinya trauma yang menyebabkan patah tulang kruris,
pertolongan apa yang di dapatkan, apakah sudah berobat ke dukun patah
tulang. Selain itu, dengan mengetahui mekanisme terjadinya kecelakaan,
perawat dapat mengetahui luka kecelakaan yang lainya. Adanya trauma
lutut berindikasi pada fraktur tibia proksimal. Adanya trauma angulasi
akan menimbulkan fraktur tipe konversal atau oblik pendek, sedangkan
trauma rotasi akan menimbulkan tipe spiral. Penyebab utama fraktur
adalah kecelakaan lalu lintas darat.
2. Riwayat penyakit dahulu
Pada beberapa keadaan, klien yang pernah berobat ke dukun patah
tulang sebelumnya sering mengalami mal-union. Penyakit tertentu
seperti kanker tulang atau menyebabkan fraktur patologis sehingga
tulang sulit menyambung. Selain itu, klien diabetes dengan luka di kaki
sangat beresiko mengalami osteomielitis akut dan kronik serta penyakit
diabetes menghambat penyembuhan tulang.
3. Riwayat penyakit keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan patah tulang cruris adalah
salah satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti osteoporosis
yang sering terjadi pada beberapa keturunan dan kanker tulang yang
cenderung diturunkan secara genetik.
4. Pola kesehatan fungsional

1) Aktifitas/ Istirahat
Keterbatasan/ kehilangan pada fungsi di bagian yang terkena
(mungkin segera, fraktur itu sendiri atau terjadi secara sekunder,
dari pembengkakan jaringan, nyeri)
2) Sirkulasi
- Hipertensi ( kadang kadang terlihat sebagai respon nyeri atau
-

ansietas) atau hipotensi (kehilangan darah)


Takikardia (respon stresss, hipovolemi)
Penurunan / tidak ada nadi pada bagian distal yang
cedera,pengisian kapiler lambat, pusat pada bagian yang

terkena.
- Pembangkakan jaringan atau masa hematoma pada sisi cedera.
5. Neurosensori
- Hilangnya gerakan / sensasi, spasme otot
- Kebas/ kesemutan (parestesia)
- Deformitas local: angulasi abnormal, pemendekan, rotasi,
krepitasi
-

(bunyi

berderit)

Spasme

otot,

terlihat

kelemahan/hilang fungsi.
Angitasi (mungkin badan nyeri/ ansietas atau trauma lain)

6. Nyeri / kenyamanan
- Nyeri berat tiba-tiba pada saat cedera (mungkin terlokalisasi pada
area jaringan / kerusakan tulang pada imobilisasi ), tidak ada nyeri
akibat kerusakan syaraf .
- Spasme / kram otot (setelah imobilisasi)
7. Keamanan
- Laserasi kulit, avulse jaringan, pendarahan, perubahan warna
- Pembengkakan local (dapat meningkat secara bertahap atau tibatiba).
8. Pola hubungan dan peran
Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam masyarakat
karena klien harus menjalani rawat inap.
9. Pola persepsi dan konsep diri dampak yang timbul dari klien fraktur
adalah timbul ketakutan dan kecacatan akibat fraktur yang dialaminya,
rasa cemas, rasa ketidak mampuan untuk melakukan aktifitasnya secara
normal dan pandangan terhadap dirinya yang salah.
10. Pola sensori dan kognitif

Daya raba pasien fraktur berkurang terutama pada bagian distal fraktur,
sedangkan indra yang lain dan kognitif tidak mengalami gangguan.
Selain itu juga timbul nyeri akibat fraktur.
11. Pola nilai dan keyakinan
Klien fraktur tidak dapat beribadah dengan baik, terutama frekuensi dan
konsentrasi dalam ibadah. Hal ini disebabkan oel nyeri dan keterbatasan
gerak yang di alami klien.
b. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan fraktur menurut Doengoes (2000), dan Barbara (1999)
adalah
1. Nyeri berhubungan dengan terputusnya jaringan tulang, gerakan fragmen
tulang, edema dan cedera pada jaringan, alat traksi/ immobilisasi, stress,
ansietas.
2. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan tekanan, perubahan status
metabolic, kerusakan sirkulasi dan penurunan sensasi dibuktikan oleh terdapat
luka/ ulserasi, kelemahan, penurunan berat badan, turgor kulit buruk, terdapat
jaringan nekrotik.
4. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri / ketidak nyamanan,
kerusakan musculoskeletal, terapi pembatasan aktifitas, penurunan kekuatan /
tahanan.
5. Resiko infeksi berhubungan dengan stasis cairan tubuh, respon inflamasi
tertekan, prosedur invasi dan jalur penusukan, luka/ kerusakan kulit, insisi
pembedahan.
6. Defisit perawatan diri berhubungan dengan factor (kolaboratif): traksi atau
gibs pada ekstrimitas
7. Resiko ketidak seimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubunngan
dengan intake yang tidak adekuat.
8. Harga diri rendah berhubungan dengan penurunan fungsi tubuh.
c. Rencana Tindakan Keperawatan (Rasional)
Fokus intervensi keperawatan dan rasional merujuk pada Carpenito (2007),
Doenges (2002), dan Yosep (2007) tersebut antara lain :

1. Nyeri berhubungan dengan terputusnya jaringan tulang, gerakan fragmen


tulang, edema dan cedera pada jaringan, alat kontraksi/ immobilisasi,
stress, ansietas.
a.
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan klien mampu
beradaptasi dengan nyeri yang di alami.
b.
Kriteria hasil : nyeri berkurang atau hilang, klien tampak tenang.
c.
Intervensi :
1)

Lakukan pendekatan pada klien dan keluarga.


Rasional: hubungan yang baik membuat klien dan keluarga
kooperatif.

2)

Kaji tingkat intensitas dan frekuensi nyeri.


Rasional: tingkat intensitas nyeri dan frekwensi menunjukan skala
nyeri.

3)

Jelaskan pada klien penyebab nyeri.


Rasional: memberikan penjelasan akan menambah pengetahuan
klien tentang nyeri.

4)

Observasi tanda- tanda vital.


Rasional: untuk mengetahui perkembangan klien.

5) Melakukan kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian


analgetik.
Rasional: merupakan tindakan dependent perawat, dimana
analgetik berfungsi untuk memblok stimulasi nyeri.
2. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan tekanan, perubahan status
metabolik, kerusakan sirkulasi dan penurunan sensasi dibuktikan oleh
terdapat luka atau ulserasi, kelemahan, penurunan berat badan, turgor kulit
buruk, terdapat jaringan nekrotik.
a. Tujuan : setelah di lakukan tindakan pemenuhan masalah kerusakan
kulit dapat teratasi, penyembuhan luka sesuai waktu.
b. Kriteria hasil : tidak ada tanda- tanda infeksi seperti pus, kemerahan,
luka bersih tidak lembab dan tidak kotor, tanda- tanda vital dalam
batas normal atau dapat di toleransi.

c. Intervensi :
1) Kaji kulit dan identitas pada tahap perkembangan luka. Rasional:
mengetahui sejauhmana perkembangan luka mempermudah dalam
melakukan tindakan yang tepat.
2) Kaji lokasi, ukuran, warna, bau, serta jumlah dan tipe cairan luka.
Rasional: mengidentifikasi
mempermudah intervensi.

tingkat

keparahan

luka

akan

3) Pantau peningkatan suhu tubuh.


Rasional: suhu tubuh yang meningkat dapat diidentifikasi sebagai
adanya proses peradangan.
4) Berikan perawatan luka dengan tehnik aseptic. Balut luka dengan
kasa kering dan steril, gunakan plester kertas.
Rasional: tehnik aseptik membantu mempercepat penyembuhan
luka dan mencegah terjadinya infeksi.
5) Jika pemulihan tidak terjadi kolaborasi tindakan lanjutan, misalnya
debridement. Rasional: agar benda asing atau jaringan yang
terinfeksi tidak menyebar luas pada area kulit normal lainya.
6) Setelah debridement, ganti balutan sesuai kebutuhan.
Rasional: balutan dapat diganti satu atau dua kali sehari tergantung
kondisi parah/ tidaknya luka, agar tidak terjadi infeksi.
7) Kolaborasi pemberian anti biotic sesuai indikasi.
Rasional: anti biotik berguna untuk mematikan mikroorganisme
pathogen pada daerah yang beresiko terjadi infeksi.

3. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri/ ketidak nyamanan,


kerusakan musculoskeletal, terapi pembatasan aktivitas, dan penurunan
kekuatan/ tahanan.
a. Tujuan : pasien akan menunjukan tingkat mobilitas optimal
b. Kriteria hasil : klien mampu melakukan pergerakan dan perpindahan,
mempertahankan mobilitas optimal yang dapat ditoleransi dengan
karakteristik :

0 = mandiri penuh
1 = memerlukan alat bantu
2 = memerlukan bantuan dari orang lain untuk bantuan pengawasan
dan pengajaran.
3 = membutuhkan bantuan dari orang lain dan alat bantu 4 =
ketergantungan; tidak berpartisipasi dalam aktivitas.
c. Intervensi
1) Kaji kebutuhan akan pelayanan kesehatan dan kebutuhan akan
peralatan.
Rasional: mengidentifikasi masalah, memudahkan intervensi.
2) Tentukan tingkat motivasi pasien dalam melakukan aktivitas.
Rasional: mempengaruhi penilaian terhadap kemampuan aktifitas
apakah karena ketidakmampuan atau ketidakmauan.
3) Ajarkan dan pantau pasien dalam hal penggunaan alat bantu.
Rasional: menilai batasan kemampuan aktivitas optimal.
4) Ajarkan dan dukkung pasien dalam latihan ROM aktif dan pasif.
5) Kolaborasi dengan ahli terapi fisik atau okupasi.
Rasional:

sebagai

suatu

sumber

untuk

mengembangkan

perencanaan dan mempertahankan atau meningkatkan mobilitas


pasien.
4. Resiko infeksi berhubungan dengan stasis cairan tubuh, respons inflamasi
tertekan, prosedur infasif dan jalur penusukan, luka/ kerusakan kulit, insisi
pembedahan.
a. Tujuan : infeksi tidak terjadi/ terkontrol
b. Kriteria hasil : tidak ada tanda- tanda infeksi seperti pus, luka bersih
tidak lembab dan tidak kotor, tanda-tanda vital dalam batas normal
atau dapat ditoleransi.
c. Intervensi :
1) Pantau tanda-tanda vital.
Rasional: mengidentifikasi tanda-tanda peradangan terutama bila
suhu tubuh meningkat.

2) Lakukan perawatan luka dengan tehnik aseptik.


Rasional: mengendalikan penyebaran mikroorganisme pathogen.
3) Lakukan perawatan terhadap prosedur inpasif seperti infuse,
kateter, drainase luka, dll.
Rasional: untuk mengurangi resiko infeksi nosokomial.
4) Jika di temukan tanda infeksi kolaborasi untuk pemeriksaan darah,
seperti Hb dan leukosit.
Rasional: penurunan Hb dan peningkatan jumlah leukosit dari
normal bias terjadi akibat terjadinya proses infeksi.
5) Kolaborasi untuk pemberian antibiotic. Rasional: antibiotic
mencegah perkembangan mikroorganisme pathogen.

5. Defisit perawatan diri berhubungan dengan faktor(kolaboratif): traksi atau


gibs pada ekstrimitas
a.
b.

Tujuan : tidak terjadi defisit perawatan diri


Kriteria hasil :tidak ada bau badan, tidak bau mulut, mukosa mulut
lembab, kulit utuh

c.

Intervensi :
1)

Berikan bantuan pada AKS sesuai kebutuhan, ijinkan


pasien untuk merawat diri sesuai dengan kemampuannya.
Rasional: AKS adalah fungsi-fungsi dimana orang normal
melakukan tiap hari untuk memenuhi kebutuhan dasar. Merawat
untuk kebutuhan dasar orang lain membantu mempertahanka harga
diri.

2)

Setelah reduksi, tempatkan kantung plastik di atas


ekstrimitas untuk mempertahankan gibs/ belat/ fiksasi eksternal
tetap kering pada saat mandi. Rujuk pada bagian terapi fisik sesuai
pesanan untuk instruksi berjalan dengan kruk untuk ambulasi dan
dapat menggunakannya secara tepat.
Rasional: kantong plastik melindungi alat-alat dari kelembaban
yang berlebih yang dapat menimbulkan infeksi dan dapat

menyebabkan lunaknya gibs, hal ini menyiapkan pasien untuk


mendorong dirinya sendiri setelah dia pulang. Ahli terapi fisik
adalah sepesialis latihan yang membantu pasien dalam rehabilitasi
mobilitas.

6. Resiko ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubunngan


dengan intake yang tidak adekuat.
a. Tujuan : nutrisi terpenuhi sesuai kebutuhan tubuh
b. Kriteria hasil: tanda-tanda mal nutrisi tidak ada
c. Intervensi:
1) Kaji kemampuan pasien untuk mendapatkan nutrisi yang dibutuhkan
Rasional: untuk mengetahui tingkat status nutrisi pasien
2) Ciptakan lingkungan yang nyaman dan menyenangkan selama waktu
makan
Rasional: untuk meningkatkan nafsu makan.
3) Berikan makanan dengan porsi sedikit tapi sering
Rasional: untuk mengurangi rasa mual.
4) Kaji factor yang dapat merubah masukan nutrisi seperti anoreksi dan
mual
Rasional: menyediakan informasi mengenai factor lain yang dapat di
ubah atau di hilangkan untuk meningkatkan masukan diet.
5) Kolaborasi dengan tim medis pemberian obat anti mual
Rasional: mengurangi rasa mual pada pasien.
7. Harga diri rendah berhubungan dengan penurunan fungsi tubuh.
a. Tujuan: memperbaiki konsep diri
b. Kriteria hasil: pasien tidak minder dan malu dengan keadaan sekarang
c. Intervensi:
1) Kaji respon dan reaksi pasien serta keluarga terhadap penyakit dan
penangananya
Rasional: Mengetahui bagaimana tanggapan pasien dan keluarga
terhadap penyakitnya sekarang.
2) Kaji hubungan pasien dengan anggota keluarganya

Rasional: Mengetahui adanya masalah dalam keluarga.


3) Kaji pola koping pasien dan keluarga pasien
Rasional: Mengetahui cara penyelesaian masalah dalam keluarga
4) Diskusikan peran memberi dan menerima kasih sayang, kehangatan
dan kemesraan.
Rasional: seksualitas mempunyai arti yang berbeda bagi tiap
individu tergantung pada tahap maturasi.

C. DAFTAR PUSTAKA

Pierce A, Neil R. At a glance ilmu bedah. Alih bahasa. Umami V. Jakarta:


Erlangga, 2007: 85.
Sapardan S. Fraktur dan dislokasi. Dalam buku: Reksoprodjo S. eds.
Kumpulan kuliah ilmu bedah, Bagian ilmu bedah FKUI: Binarupa aksara, 1995: 502 503.
Anonimous. Fraktur mandibula. 2011. http://www.definisi-fraktur-mandibulamakalah-20110202.html(Maret 16.2012).

Cholid Z. Perawatan fraktur kondilus mandibula dengan reduksi tertutup. M.I.


Kedokteran Gigi 2006; 21: 113
Sjamsuhidajat R. Jong WD. Buku ajar ilmu bedah. Edisi kedua. Jakarta: EGC,
2005: 91-4.
Banks P. Frakturpada mandibula menurut Killey.Edisi Ketiga.Alih Bahasa
Wahyono.Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1992: 1-5, 9, 44-79.
Mark W, Ellis E, Tucker MR. Management of facial fractures. In: Larry J. eds.
Contemporary oral and maxillofacial surgery. 5th ed. St. Louis: Mosby Elsevier, 2008:
527, 535-7.
Pederson GW. Buku ajar praktis bedah mulut. Edisi I. Alih bahasa. Purwanto,
Basoeseno. Jakarta: EGC, 1996: 236-242.
Thapliyal GK, Sinha R, Menon PS. Management of mandibular fractures,
MJAFI, 2008: 64. 218-220.

Lilie S. Suatu laporan kasus perawatan bersama fraktur maksilofasial. Dalam:


Kumpulan makalah KPPIKG X. Jakarta Hilton Convention Center. Jakarta, 1994:
33,36.

You might also like