You are on page 1of 16

Anemia Defisiensi Fe pada Anak

Zebriyandi*
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
22 April 2015
*Mahasiswa

semester 6 Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana


Fakultas Kedokteran, Universitas Kristen Krida Wacana
Jl. Terusan Arjuna Utara No. 6 Jakarta 11510
No. telp 021 05694 Email: zebriyandi@yahoo.co.id

Abstrak
Masalah kesehatan di Indonesia masih menjadi perhatian penting bagi masyarakat
Indonesia, khususnya pada kelompok anak usia sekolah, karena pada kelompok umur ini
adalah fase perkembangan dan pertumbuhan anak yang sangat pesat. Hasil survei rumah
tangga tahun 1995 di Indonesia menunjukkan 40,5% anak balita dan 47,2% anak usia sekolah
menderita anemia defisiensi Fe (ADB). Gejala klinik terjadinya anemia defisiensi Fe adalah
rasa lemah, letih, hilang nafsu makan, menurunya daya konsentrasi dan sakit kepala atau
pusing. Faktor-faktor yang menyebabkan anemia defisiensi Fe antara lain meningkatnya
kebutuhan besi, berkurangnya jumlah besi yang diserap, infeksi, dan perdarahan saluran
cerna. Dampak ADB pada anak usia sekolah antara lain produktifitas kerja rendah , daya tahan
tubuh terhadap penyakit menurun, kemampuan belajar rendah, anak lebih mudah stres,
kekurangan neotransmitan menyebabkan anak menjadi hiperaktif, perkembangan terlambat,
gangguan perilaku dan konsentrasi, serta mudah infeksi. Oleh karena itu, anemia defisiensi
Fe perlu menjadi perhatian sebagai suatu masalah kesehatan di masyarakat, sehingga makalah
ini bertujuan menjelaskan anemnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang, working diagnosis
dan differential diagnosis, etiologi, epidemiologi, patofisiologi, penatalaksanaan, pencegahan,
dan komplikasi dari anemia defisiensi besi.
Kata kunci: anemia defisiensi besi, faktor resiko, dampak, anak

Pendahuluan
Masalah kesehatan di Indonesia masih menjadi perhatian penting bagi masyarakat
Indonesia, khususnya pada kelompok anak usia sekolah, karena pada kelompok umur ini
adalah fase perkembangan dan pertumbuhan anak yang sangat pesat. Salah satu masalah
kesehatan yang masih menjadi perhatian baik di dunia maupun di Indonesia adalah Anemia
Defisiensi Besi (ADB). Diperkirakan sekitar 30% penduduk dunia menderita anemia dan
lebih dari setengahnya merupakan anemia defisiensi besi. Anemia defisiensi besi lebih sering
ditemukan di negara yang sedang berkembang sehubungan dengan kemampuan ekonomi
yang terbatas, masukan protein hewani yang rendah, dan investasi parasit yang merupakan
masalah endemik. Saat ini di Indonesia anemia defisiensi besi merupakan salah satu masalah
gizi utama disamping kurang kalori, protein, vitamin A dan Yodium.1 Hasil survei rumah
tangga tahun 1995 di Indonesia ditemukan 40,5% anak balita dan 47,2% anak usia sekolah
menderita ADB.1,2
Anemia defisiensi besi dapat menyebabkan terjadinya berbagai komplikasi antara lain
berupa gangguan fungsi kognitif, penurunan daya tahan tubuh, tumbuh kembang yang
terlambat, penurunan aktivitas, dan perubahan tingkah laku. Oleh karena itu masalah ini
memerlukan cara pengobatan, penanganan, dan pencegahan yang tepat. Diagnosis ditegakkan
berdasarkan adanya gejala pucat menahun tanpa disertai perdarahan maupun organomali.
Pemeriksaan darah tepi menunjukkan anemia mikrositer hipokrom, sedangkan jumlah
leukosit, trombosit dan hitung jenis normal. Diagnosis dipastikan dengan pemeriksaan kadar
besi dalam serum. Pemberian preparat besi selama 3-5 bulan ditujukan untuk mengembalikan
kadar hemoglobin dan persediaan besi di dalam tubuh ke keadaan normal. Mencari dan
mengatasi penyebab merupakan hal yang penting untuk mencegah kekambuhan. Antisipasi
harus di lakukan sejak pasien dalam stadium I (stadium deplesi besi) dan stadium II (stadium
kekurangan besi). Dianjurkan pula untuk memberikan preparat besi pada individu dengan
risiko tinggi untuk terjadinya ADB antara lain untuk individu dari keluarga dengan sosial
ekonomi rendah. Prinsip pengobatan anemia defisiensi besi adalah mengetahui faktor
penyebab dan mengatasinya serta memberikan terapi penggantian dengan preparat besi.1
Skenario
Seorang anak perempuan berusia 6 tahun dibawa oleh ibunya ke puskesmas dengan
keluhan utama pucat sejak 3 bulan yang lalu. Selain itu, anak merasa cepat lelah. Riwayat
perdarahan dan demam disangkal oleh ibu pasien. Tidak ada anggota keluarga yang
menderita batuk-batuk lama.
2

Rumusan Masalah
Anak perempuan usia enam tahun dengan keluhan pucat sejak 3 bulan yang lalu dan
sering merasa cepat lelah.
Hipotesis
Anak perempuan usia enam tahun dengan keluhan pucat sejak 3 bulan yang lalu dan
sering merasa cepat lelah disebabkan oleh anemia defisiensi besi.
Anamnesis
Anamnesis merupakan kumpulan informasi subjektif yang diperoleh dari apa yang
dipaparkan oleh pasien terkait dengan keluhan utama yang menyebabkan pasien mengadakan
kunjungan ke dokter. Anamnesis diperoleh dari komunikasi aktif antara dokter dan pasien
atau keluarga pasien. Anamnesis yang baik untuk seorang dewasa mencakupi keluhan utama,
informasi mengenai kelainan yang dialami sekarang, riwayat penyakit terdahulu, riwayat
keluarga, dan informasi mengenai keadaan tiap sistem tubuh pasien.
Pemeriksaan Fisik
Sebelum melakukan pemeriksaan fisik kita melakukan inform consent pada pasien
dan meminta persetujuan pada pasien serta meminta kerjasama selama pemeriksaan agar
pemeriksaan dapat terlaksana dengan baik. Mencuci tangan sebelum dan sesudah
pemeriksaan wajib dilakukan.
Pemeriksaan dimulai dengan melihat dan menilai kesadaran pasien untuk menentukan
penangan yang harus diberikan kepada pasien. Dilanjutkan dengan pemeriksaan tanda-tanda
vital (tekanan darah, nadi, suhu, pernapasan). Adakah tanda-tanda ikterus yang ditandai
dengan mata berwarna kuning, atau kulit yg berubah warna menjadi kuning contoh pada
anemia hemolitik dapat dijumpai keadaan ini. Adakah tanda-tanda ikterus yang ditandai
dengan mata berwarna kuning, atau kulit yg berubah warna menjadi kuning contoh pada
anemia hemolitik dapat dijumpai keadaan ini. Lakukan palpasi hati dan limpa untuk menilai
apakah ada hepatomegali atau splenomegali yang biasanya terdapat pada anemia hemolitik
dan kadang pada anemia defisiensi besi juga dapat ditemukan bila anemia tersebut tidak
diterapi. Lakukan palpasi hati dan limpa untuk menilai apakah ada hepatomegali atau
splenomegali yang biasanya terdapat pada anemia hemolitik dan kadang pada anemia
defisiensi besi juga dapat ditemukan bila anemia tersebut tidak diterapi.

Pada pemeriksaan fisik ditemukan:


BB

: 13 Kg

Suhu

: 36.8 C

RR

: 22 x/menit

Nadi

: 110 x/menit

TD

: 90/60

Konjungtiva

: Anemis

Sklera & kulit : Tidak ikterik


Organomegali : Tidak ada
Pemeriksaan Laboratorium
1. Hemoglobin (Hb). Hemoglobin adalah parameter status besi yang memberikan suatu
ukuran kuantitatif tentang beratnya kekurangan zat besi setelah anemia berkembang. Pada
pemeriksaan dan pengawasan Hb dapat dilakukan dengan menggunakan alat sederhana
seperti Hb sachli, yang dilakukan minimal 2 kali selama kehamilan, yaitu trimester I dan
III.
2. Penentuan Indeks Eritrosit. Penentuan indeks eritrosit secara tidak langsung dengan
flowcytometri atau menggunakan rumus:
a. Mean Corpusculer Volume (MCV). MCV adalah volume rata-rata eritrosit, MCV
akan menurun apabila kekurangan zat besi semakin parah, dan pada saat anemia
mulai berkembang. MCV merupakan indikator kekurangan zat besi yang spesiflk
setelah thalasemia dan anemia penyakit kronis disingkirkan. Dihitung dengan
membagi hematokrit dengan angka sel darah merah. Nilai normal 70-100 fl,
mikrositik < 70 fl dan makrositik > 100 fl.
b. Mean Corpuscle Haemoglobin (MCH). MCH adalah berat hemoglobin rata-rata
dalam satu sel darah merah. Dihitung dengan membagi hemoglobin dengan angka sel
darah merah. Nilai normal 27-31 pg, mikrositik hipokrom < 27 pg dan makrositik >
31 pg.
c. Mean Corpuscular Haemoglobin Concentration (MCHC). MCHC adalah konsentrasi
hemoglobin eritrosit rata-rata. Dihitung dengan membagi hemoglobin dengan
hematokrit. Nilai normal 30-35% dan hipokrom < 30%.5
3. Pemeriksaan Hapusan Darah Perifer. Pemeriksaan hapusan darah perifer dilakukan secara
manual. Pemeriksaan menggunakan pembesaran 100 kali dengan memperhatikan ukuran,
bentuk inti, sitoplasma sel darah merah. Dengan menggunakan flowcytometry hapusan
darah dapat dilihat pada kolom morfology flag.
4

4. Luas Distribusi Sel Darah Merah (Red Distribution Wide = RDW). Luas distribusi sel
darah merah adalah parameter sel darah merah yang masih relatif baru, dipakai secara
kombinasi dengan parameter lainnya untuk membuat klasifikasi anemia. RDW
merupakan variasi dalam ukuran sel merah untuk mendeteksi tingkat anisositosis yang
tidak kentara. Kenaikan nilai RDW merupakan manifestasi hematologi paling awal dari
kekurangan zat besi, serta lebih peka dari besi serum, jenuh transferin, ataupun serum
feritin. MCV rendah bersama dengan naiknya RDW adalah pertanda meyakinkan dari
kekurangan zat besi, dan apabila disertai dengan eritrosit protoporphirin dianggap
menjadi diagnostik. Nilai normal 15 %.
5. Eritrosit Protoporfirin (EP). EP diukur dengan memakai haematofluorometer yang hanya
membutuhkan beberapa tetes darah dan pengalaman tekniknya tidak terlalu dibutuhkan.
EP naik pada tahap lanjut kekurangan besi eritropoesis, naik secara perlahan setelah
serangan kekurangan besi terjadi. Keuntungan EP adalah stabilitasnya dalam individu,
sedangkan besi serum dan jenuh transferin rentan terhadap variasi individu yang luas. EP
secara luas dipakai dalam survei populasi walaupun dalam praktik klinis masih jarang.
6. Besi Serum (Serum Iron = SI). Besi serum peka terhadap kekurangan zat besi ringan,
serta menurun setelah cadangan besi habis sebelum tingkat hemoglobin jatuh.
Keterbatasan besi serum karena variasi diurnal yang luas dan spesitifitasnya yang kurang.
Besi serum yang rendah ditemukan setelah kehilangan darah maupun donor, pada
kehamilan, infeksi kronis, syok, pireksia, rhematoid artritis, dan malignansi. Besi serum
dipakai kombinasi dengan parameter lain, dan bukan ukuran mutlak status besi yang
spesifik.
7. Serum Transferin (Tf). Transferin adalah protein tranport besi dan diukur bersama -sama
dengan besi serum. Serum transferin dapat meningkat pada kekurangan besi dan dapat
menurun secara keliru pada peradangan akut, infeksi kronis, penyakit ginjal dan
keganasan.5
8. Transferrin Saturation (Jenuh Transferin). Jenuh transferin adalah rasio besi serum
dengan kemampuan mengikat besi, merupakan indikator yang paling akurat dari suplai
besi ke sumsum tulang. Penurunan jenuh transferin dibawah 10% merupakan indeks
kekurangan suplai besi yang meyakinkan terhadap perkembangan eritrosit. Jenuh
transferin dapat menurun pada penyakit peradangan. Jenuh transferin umumnya dipakai
pada studi populasi yang disertai dengan indikator status besi lainnya. Tingkat jenuh
transferin yang menurun dan serum feritin sering dipakai untuk mengartikan kekurangan
zat besi. Jenuh transferin dapat diukur dengan perhitungan rasio besi serum dengan

kemampuan mengikat besi total (TIBC), yaitu jumlah besi yang bisa diikat secara khusus
oleh plasma.
9. Serum Feritin. Serum feritin adalah suatu parameter yang terpercaya dan sensitif untuk
menentukan cadangan besi orang sehat. Serum feritin secara luas dipakai dalam praktek
klinik dan pengamatan populasi. Serum feritin < 12 ug/l sangat spesifik untuk kekurangan
zat besi, yang berarti kehabisan semua cadangan besi, sehingga dapat dianggap sebagai
diagnostik untuk kekurangan zat besi. Rendahnya serum feritin menunjukan serangan
awal kekurangan zat besi, tetapi tidak menunjukkan beratnya kekurangan zat besi karena
variabilitasnya sangat tinggi. Penafsiran yang benar dari serum feritin terletak pada
pemakaian range referensi yang tepat dan spesifik untuk usia dan jenis kelamin.
Konsentrasi serum feritin cenderung lebih rendah pada wanita dari pria, yang menunjukan
cadangan besi lebih rendah pada wanita. Serum feritin pria meningkat pada dekade kedua,
dan tetap stabil atau naik secara lambat sampai usia 65 tahun. Pada wanita tetap saja
rendah sampai usia 45 tahun, dan mulai meningkat sampai sama seperti pria yang berusia
60-70 tahun, keadaan ini mencerminkan penghentian mensturasi dan melahirkan anak.
Pada wanita hamil serum feritin jatuh secara dramatis dibawah 20 ug/l selama trimester II
dan III bahkan pada wanita yang mendapatkan suplemen zat besi. Serum feritin adalah
reaktan fase akut, dapat juga meningkat pada inflamasi kronis, infeksi, keganasan,
penyakit hati, alkohol. Serum feritin diukur dengan mudah memakai Essay
immunoradiometris (IRMA), Radioimmunoassay (RIA), atau Essay immunoabsorben
(Elisa).5
Working Diagnosis
Anemia dalah suatu keadaan dimana jumlah hemoglobin dalam darah kurang dari
normal. Zat ini dibuat di dalam sel darah merah, sehingga anemia dapat terjadi baik karena
sel darah merah mengandung terlalu sedikit hemoglobin maupun karena jumlah sel darah
yang tidak cukup.6

Differential Diagnosis

Diagnosis diferensial Anemia defisiensi zat basi


Anemia defisiensi
besi

Anemia akibat
penyakit kronik

Anemia
sideroblastik

Ringan sampai berat

Ringan

Ringan

MCV

Menurun

Menurun/ normal

Menurun/ normal

MCH

Menurun

Menurun / normal

Menurun/normal

Menurun<30

Menurun <50

Normal/ meningkat

Meningkat >360

Menurun <300

Normal/ menurun

Menurun <15%

Menurun/N 10-20%

Meningkat >20%

Negatif

Positif

Positif dengan ring


sideroblast

Meningkat

Meningkat

Normal

Menurun <20g/l

Normal 20-200g/l

Meningkat >50g/l

Parameter
Derajat anemia

Besi serum
TIBC
Saturasi
transferin
Besi sum-sum
tulang
Protoporfirin
eritrosit
Feritin serum
Elektrofoesis Hb
Etiologi

Faktor-faktor yang Berperan pada Terjadinya Defisiensi Besi


1. Kebutuhan yang meningkat

Pertumbuhan cepat yaitu pada umur 1 tahun pertama dan masa remaja, pada saat itu
berat badan bayi bertambah dengan cepat, dapat mencapai 6 kali lipat dari berat badan
lahir. Pada remaja terjadi perubahan hormonal yang menyebabkan terjadinya
menstruasi.
2. Kurangnya besi yang diserap

ADB dapat terjadi akibat masukan besi dari makanan yang tidak adekuat. Pada bayi
yang hanya mengkunsumsi susu formula saja, kandungan besi di dalam susu sangat
sedikit dan bentuk ikatan besi di dalam susu adalah ikatan non-heme yang sulit
diserap oleh usus. Makanan bayi juga sangat sedikit mengandung daging oleh karena
itu sebagian besar zat besi dalam makanannya berbentuk non-heme sehingga
absorpsinya sangat dipengaruhi faktor dalam makanan. Pada anak kurang gizi
didapatkan mukosa usus yang mengalami perubahan secara histologis dan fungsional
sehingga terjadi sindrom malabsorpsi, enteritis lema dan atrofi vili usus, hal ini dapat
mengganggu penyerapan besi.
3. Infeksi
7

Infeksi mudah dan sering terjadi pada bayi dan anak, terutama di Negara sedang
berkembang, misalnya infeksi kronis akibat tuberculosis, infeksi parasit, infeksi
saluran nafas, diare dan lain sebagainya. Pada infeksi zat besi banyak digunakan oleh
sistem kekebalan tubuh yaitu pada aktivitas fagositik netrofil dan proliferasi sel
limfosit.
4. Pendarahan saluran cerna

Perdarahan saluran cerna pada anak paling sering disebabkan oleh infestasi cacing
tambang atau parasit lain. Pada bayi pendarahan saluran cerna dapat disebabkan oleh
alergi protein susu sapi, diverticulum Meckel, duplikasi usus, teleangiektasi
hemoragika dan polip usus.
Faktor lain yang berperan pada terjadinya ADB adalah transfuse fero maternal,
hemoglobinuria, dan iatrogenic blood loss akibat pengambilan darah vena berulang-ulang.4
Epidemiologi
Berdasarkan hasilhasil penelitian terpisah yang dilakukan dibeberapa tempat di
Indonesia pada tahun 1980-an, prevalensi anemia pada wanita hamil 50-70%, anak belita 3040%, anak sekolah 25-35% dan pekerja fisik berpenghasilan rendah 30-40%. Prevalensi rata
rata nasional pada ibu hamil 63,5%, anak balita 40,1%. Prevalensi anemia gizi yang tinggi
pada anak sekolah membawa akibat negatif yaitu rendahnya kekebalan tubuh sehingga
menyebabkan tingginya angka kesakitan.Dengan demikian konsekuensi fungsional dari
anemia gizi menyebabkan menurunnya kualitas sumber daya manusia. Khusus pada anak
balita, keadaan anemia gizi secara perlahan-lahan akan menghambat pertumbuhan dan
perkambangan kecerdasan, anak anak akan lebih mudah terserang penyakit karena
penurunan daya tahan tubuh, dan hal ini tentu akan melemahkan keadaan anak sebagai
generasi penerus.
Diperkirakan 30% penduduk dunia menderita anemia dan lebih dari 50% penderita ini
adalah ADB dan terutama mengenai bayi, anak sekolah, ibu hamil dan menyusui. Di
Indonesia masih merupakan masalah gizi utama selain kekurangan kalori protein, vitamin A
dan yodium. Penelitian di Indonesia mendapatkan prevalensi ADB pada anak balita sekitar 30
40%, pada anak sekolah 25 35% sedangkan hasil SKRT 1992 prevalensi ADB pada balita
sebesar 5,55%. ADB mempunyai dampak yang merugikan bagi kesehatan anak berupa
gangguan tumbuh kembang, penurunan daya tahan tubuh dan daya konsentrasi serta
kemampuan belajar sehingga menurunkan prestasi belajar di sekolah.2,3

Patofisiologi
Sel-sel darah merah membawa oksigen dari paru-paru ke jaringan-jaringan dan
mengangkut Karbondioksida dari jaringan-jaringan ke paru-paru. Setiap keadaan yang
mengurangi kemampuan membawa oksigen dari sel-sel darah merah akan mengurangi
pemasokan oksigen ke jaringan-jaringan termasuk otak dan otot. Gejala akan mencakup
kelesuan, konsentrasi yang buruk dan kelemahan. Anemia defisiensi zat besi adalah kondisi
dimana seseorang tidak memiliki zat besi yang cukup untuk memenuhi kebutuhan tubuhnya
atau pengurangan sel darah karena kurangnya zat besi. Defisiensi besi merupakan penyebab
terpenting dari suatu anemia mikrositik hipokrom dengan ketiga indeks eritrosit (MCV,
MCH, MCHC) berjurang dan sediaan apus darah menunjukan eritrosit yang kecil (mikrositik)
dan pucat (hipokrom). Derajat anemia untuk menentukan seorang anak mengalami anemia
atau tidak dapat ditentukan jumlah kadar Hb yang terdapat dalam tubuh. Klasifikasi derajat
anemia yang umum dipakai sebagai berikut

Stadium pada anemia defisiensi besi :

Stadium I: Hanya ditandai oleh kekurangan persediaan besi di dalam depot. Keadaan
ini dinamakan stadium deplesi besi. Pada stadium ini baik kadar besi di dalam serum
maupun kadar hemoglobin masih normal. Kadar besi di dalam depot dapat ditentukan
dengan pemeriksaan sitokimia jaringan hati atau sumsum tulang. Disamping itu kadar
feritin/saturasi transferin di dalam serumpun dapat mmencerminkan kadar besi di

dalam depot.1
Stadium II: Mulai timbul bila persediaan besi hampir habis. Kadar besi di dalam
serum mulai menurun tetapi kadar hemoglobin di dalam darah masih normal.

Keadaan ini disebut stadium defisiensi besi.


Stadium III: Keadaan ini disebut anemia defisiensi besi. Stadium ini ditandai oleh
penurunan kadar hemoglobin MCV, MCH, MCHC disamping penurunan kadar feritin
dan kadar besi di dalam serum.

Metabolisme Zat Besi


Zat besi bersama dengan protein (globin) dan protoporirin mempunyai peranan yang
penting dalam pembentukan hemoglobin. Selain itu besi juga terdapat dalam beberapa enzim
yang berperan dalam metabolisme oksidatif, sitesis DNA, neurotransmitter, dan proses
katabolisme.1
Berdasarkan bentuk ikatan dan fungsinya zat besi didalam tubuh terbagi atas 2 macam, yaitu:
1. Zat besi yang membentuk ikatan heme dengan protein (heme-protein) adalah sekitar
10% berasal dari makanan. Zat besi ini dapat langsung diserap tanpa memperhatikan
cadangan besi dalam tubuh, asam lambung ataupun zat yang dikonsumsi.
2. Cadangan dan transport zat besi (non heme iron) ada sekitar 90% berasal dari
makanan, yaitu dalam bentuk senyawa besi inoerganik (feri.Fe3+), agar diserap dalam
usus besinya harus diubah dulu menjadi bentuk fero (Fe2+), contoh non heme iron
adalah hemosiderin dan ferritin.
Absorbsi dan Ekskresi Zat Besi
Penyerapan besi oleh tubuh terutama di mukosa usus duodenum sampai pertengahan
jejunum. Penyerapan besi akan meningkat pada keadaan asam, defisiensi besi dan kehamilan
sedangkan penyerapan akan menurun pada keadaan basa, infeksi, adanya bahan makanan
yang mengandung phytat dan kelebihan zat besi. Penyerapan dalam bentuk fero, diabsorbsi
oleh sel mukosa usus dan dalam sel usus mengalami oksidasi menjadi feri, feri akan diikat
oleh apoferitin menjadi fero dan di dalam plasma ion fero dioksidasi kembali. Kemudian
berikatan dengan 1 globulin membentuk transferrin.Transferrin berfungsi mengangkut besi
dan selanjutnya didistribusikan ke jaringan hati, limpa, sumsum tulang dan dilepaskan ke
eritrosit yang selanjutnya bersenyawa dengan porfirin membentuk heme dan dengan globulin
10

dan besi. Selanjutnya beliverdin akan direduksi menjadi bilirubin, sedangkan besi akan
masuk ke dalam plasma dan mengikuti siklus seperti diatas atau tetap disimpan sebagai
cadangan besi. Proses terjadinya anemia defisiensi besi melalui 3 tahap yaitu :
1. Stadium I: deplesi cadangan besi yang ditandai dengan penurunan serum ferritin
(<10-12g/L) sedangkan pemeriksaan Hb dan zat besi masih normal.
2. Stadium II: defisiensi besi tanpa anemia terjadi bila cadangan besi sudah habis maka
kadar besi di dalam serum akan menurun dan kadar hemoglobin masih normal.
Pemeriksaan laboratorium didapatkan penurunan serum iron (SI) dan saturasi
transferrin, sedangkan total iron binding capacity (TIBC) meningkat.
3. Stadium III: anemia defisiensi besi ditandai dengan penurunan kadar Hb, volume
eritrosit rata-rata (VER), Ht dan peningkatan kadar free erythrocyte protoporphyrin
(FEP). Gambaran darah tepi didapatkan mikrositosis dan hipokromik.1
Produksi Hemoglobin
Eritropoitin adalah pengatur hormon primer dan merupakan produksi sel darah merah
(SDM). Pada fetus, eritropoitin dihasilkan dari monosit/makrofag di hati. Setelah lahir,
eritropoitin diproduksi oleh sel-sel peritubular ginjal. Dalam differensiasi sel darah merah ,
kondensasi material inti sel merah, menghasilkan hemoglobin sehingga jumlahnya mencapai
90% dari masa sel darah merah. Normalnya sel darah merah dapat bertahan sekitar 120 hari.
Setelah eritrosit berumur 120 hari fungsinya kemudian menurun dan selanjutnya
dihancurkan didalam sel retikuloendotelial. Hemoglobin mengalami proses degradasi
menjadi biliverdin dan besi. Selanjutnya biliverdin akan direduksi menjadi bilirubin,
sedangkan besi akan masuk ke dalam plasma dan mengikuti siklus seperti diatas atau tetap
disimpan sebagai cadangan tergantung aktivitas eritropoisis.7
Manisfestasi klinik
Rasa lemah, letih, hilang nafsu makan, menurunya daya konsentrasi dan sakit kepala atau
pening adalah gejala awal anemia.Pada kasus yang lebih parah, sesak nafas disertai gejala
lemah jantung dapat terjadi. Untuk memastikan, diagnosa perlu dilakukan pemeriksaan
laboratorium, diantaranya dilakukan penentuan kadar hemoglobin atau hematokrit dalam
darah. Anak tampak lemas, sering berdebar-debar, sering tampak lelah, pucat, sakit kepala,
iritabel, dan sebagainya.mereka tidak tampak sakit karena perjalanan penyakitnya bersifat
menahun. Tampak pucat terutama pada mukosa bibir dan faring, telapak tangan dan dasar
kuku, konjungtiva ocular berwarna kebiruan atau putih mutiar.Papil lidah tampak atrofi. Ada
11

banyak gejala dari anemia, setiap individu tidak akan mengalami seluruh gejala dan apabila
anemianya sangat ringan, gejalanya mungkin tidak tampak. Beberapa gejalanya antara lain;
warna kulit yang pucat, mudah lelah, peka terhadap cahaya, pusing, lemah, nafas pendek,
lidah kotor, kuku sendok, selera makan turun, sakit kepala (biasanya bagian frontal), disfagia
yang menyebabkan pharyngeal web danb nafsu makan yang tidak biasa. Gastritis atrofi dan
sekresi lambung yan berkurang, biasanya reversible dengan terapi besi, terjadi sebagian
pasien. Defisiensi zat besi mengganggu proliferasi dan pertumbuhan sel. Dampak Anemia
Defisiensi Besi pada Anak Usia Sekolah :8

Produktifitas kerja rendah


Daya tahan tubuh terhadap penyakit menurun
Kemampuan belajar rendah
Anak lebih mudah stres
Kekurangan neotransmitan menyebabkan anak menjadi hiperaktif
Perkembangan terlambat atau mengalami gangguan tumbuh kembang
Anak yang pernah mengalami defisiensi besi menunjukan skor motorik, IQ, verbal
dan IQ keseluruhan lebih rendah pada umur 11-14 tahun ( karenatransfer oksigen

terhambat, kecepatan impuls syaraf terganggu )


Gangguan perilaku dan konsentrasi
Mudah infeksi

Terapi
Pengobatan anemiadefisiensi besi terdiri atas:

Terapi zat besi oral: pada bayi dan anak terapi besi elemental diberikan dibagi dengan
dosis 3-6 mg/kgBB/hari diberikan dalam dua dosis, 30 menit sebelum sarapan pagi
dan makan malam. Terapi zat besi diberikan selama 1 sampai 3 bulan dengan lama
maksimal 5 bulan. Enam bulan setelah pengobatan selesai harus dilakukan kembali
pemeriksaan kadar Hb untuk memantau keberhasilan terapi.

Terapi zat besi intramuscular atau intravena dapat dipertimbangan bila respon
pengobatan oral tidak berjalan baik, efeksamping dapat berupa demam, mual
urtikaria, hipotensi nyeri kepala, lemas, artragia, bronkospasme sampai relaksi
anafilaktik.

Transfusi darah diberikan apabila gejala anemia disertai risiko terjadinya gagal
jantung yaitu pada kadar Hb 5-8 g/dL. Komponen darah yang diberikan berupa
suspensi eritrosit (PRC) diberikan secara serial dengan tetesan lambat.

Komplikasi

12

o Terhadap kekebalan tubuh (imunitas seluler dan humoral)


Kekurangan zat besi dalam tubuh dapat lebih meningkatkan kerawanan terhadap penyakit
infeksi. Seseorang yang menderita defisiensi besi (terutama balita) lebih mudah terserang
mikroorganisme, karena kekurangan zat besi berhubungan erat dengan kerusakan
kemampuan fungsional dari mekanisme kekebalan tubuh yang penting untuk menahan
masuknya penyakit infeksi. Fungsi kekebalan tubuh telah banyak diselidiki pada hewan
maupun manusia. Meskipun telah banyak publikasi yang mengatakan bahwa kekurangan
besi menimbulkan konsekwensi fungsional pada sistem kekebalan tubuh, tetapi tidak
semua peneliti mencapai kesepakatan tentang kesimpulan terhadap abnormalitas pada
fungsi kekebalan spesifik.
o Imunitas humoral
Peranan sirkulasi antibodi sampai sekarang dianggap merupakan pertahanan utama
terhadap infeksi, dan hal ini dapat didemonstrasikan pada manusia. Pada manusia
kemampuan pertahanan tubuh ini berkurang pada orang-orang yang menderita defisiensi
besi.
o Imunitas sel mediated
Invitro responsif dari limfosit dalam darah tepi dari pasien defisiensi besi terhadap
berbagai mitogen dan antigen merupakan topik hangat yang saling kontraversial.
Bhaskaram dan Reddy menemukan bahwa terdapat reduksi yang nyata jumlah sel T pada
9 anak yang menderita defisiensi besi. Sesudah pemberian Suplemen besi selama empat
minggu, jumlah sel T naik bermakna. Pada anak yang defisiensi berat dan sedang terjadi
depresi respons terhadap PHA oleh limfosit, sedangkan pada kelompok defisiensi ringan
dan normal tidak menunjukkan hal serupa.Keadaan ini diperbaiki dengan terapi besi.
o Fagositosis
Faktor penting lainnya dalam aspek defisiensi besi adalah aktivitas fungsional sel
fagositosis. Dalam hal ini, defisiensi besi dapat mengganggu sintesa asam nukleat
mekanisme seluler yang membutuhkan metaloenzim yang mengandung Fe. Schrimshaw
melaporkan bahwa sel-sel sumsum tulang dari penderita kurang besi mengandung asam
nukleat yang sedikit dan laju inkorporasi (3H) thymidin menjadi DNA menurun.
Kerusakan ini dapat dinormalkan dengan terapi besi. Sebagai tambahan, kurang
tersedianya zat besi untuk enzim nyeloperoksidase menyebabkan kemampuan sel ini
membunuh bakteri menurun. Anak-anak yang menderita defisiensi besi menyebabkan
persentase limfosit T menurun, dan keadaan ini dapat diperbaiki dengan suplementasi
besi. Menurunnya produksi makrofag juga dilaporkan oleh beberapa peneliti. Secara
umum sel T, di mana limfosit berasal, berkurang pada hewan dan orang yang menderita
defisiensi besi. Terjadi penurunan produksi limfosit dalam respons terhadap mitogen, dan
13

ribonucleotide reductase juga menurun. Semuanya ini dapat kembali normal setelah
diberikan suplemen besi.
o Terhadap kemampuan intelektual
Telah banyak penelitian dilakukan mengenai hubungan antara keadaan kurang besi dan
dengan uji kognitif. Walaupun ada beberapa penelitian mengemukakan bahwa defisiensi
besi kurang nyata hubungannya dengan kemunduran intelektual tetapi banyak penelitian
membuktikan bahwa defisiensi besi mempengaruhi pemusnahan perhatian (atensi),
kecerdasan (IQ), dan prestasi belajar di sekolah. Dengan memberikan intervensi besi
maka nilai kognitif tersebut naik secara nyata.Salah satu penelitian di Guatemala terhadap
bayi berumur 6-24 bulan. Hasil, penelitian tersebut menyatakan bahwa ada perbedaan
skor mental (p<0,05) dan skor motorik (p<0, 05) antara kelompok anemia kurang besi
dengan kelompok normal.9
Prognosis
Anemia defisiensi besi ini memberikan dampak buruk bagi kesehatan masyarakat baik
anak-anak, para wanita baik yang hamil maupun yang tidak, juga pada pria dewasa. Dengan
dilakukan pencegahan, masyarakat dapat terhindar dari anemia ini, sehingga pada anak-anak
usia sekolah tidak terjadi penurunan prestasi belajarnya dan pada orang dewasa tidak terjadi
penurunan kemampuan fisiknya yang berakibat pada produktivitas kerja yang menurun.
Apabila sudah terjadi anemia defisiensi besi maka segera obati dengan menggunakan
preparat besi dan dicari kausanya serta pengobatan terhadap kausa ini harus juga dilakukan.
Dengan pengobatan yang tepat dan adekuat maka anemia defisiensi besi ini dapat
disembuhkan.

Kesimpulan
Anemia defisiensi zat besi adalah kondisi dimana seseorang tidak memiliki zat besi
yang cukup untuk memenuhi kebutuhan tubuhnya atau pengurangan sel darah karena
kurangnya zat besi. Kebutuhan zat besi pada anak usia 6 tahun adalah sekitar 5 9 mg/hari.
Faktor-faktor yang menyebabkan anemia defisiensi gizi besi antara lain meningkatnya
kebutuhan besi, berkurangnya jumlah besi yang diserap, infeksi, dan perdarahan saluran
cerna. Gejala klinik terjadinya anemia adalah rasa lemah, letih, hilang nafsu makan,
menurunya daya konsentrasi dan sakit kepala atau pening. Pada kasus yang lebih parah, sesak
nafas disertai gejala lemah jantung dapat terjadi. Untuk memastikan, diagnosa perlu
14

dilakukan pemeriksaan laboratorium, diantaranya dilakukan penentuan kadar hemoglobin


atau hematokrit dalam darah. Hasil dari pemeriksaan laboratorium biasanya ditemukan
penurunan pada MCV dan MCH.
Dampak Anemia Defisiensi Besi pada anak usia sekolah antara lain produktifitas kerja
rendah, daya tahan tubuh terhadap penyakit menurun, kemampuan belajar rendah, anak lebih
mudah stres, kekurangan neotransmitan menyebabkan anak menjadi hiperaktif, perkembangan
terlambat atau mengalami gangguan tumbuh kembang, anak yang pernah mengalami
defisiensi besi menunjukan skor motorik, IQ, verbal dan IQ keseluruhan lebih rendah pada
umur 11-14 tahun, gangguan perilaku dan konsentrasi, dan mudah infeksi.

Daftar Pustaka
1. Abdulsalam M, Daniel A. 2002. Diagnosis, pengobatan dan pencegaha anemia
defisiensi besi. Sari Pediatri. 4(2): 7477.
2. Al Zabedi EM et al. 2014. Prevalence and risk factors of iron deficiency anemia
among children in Yemen. American Journal of Health Research. 2(5): 319326.
3. Shabariah R. 2011. Prevalensi anak dengan anemia defisiensi besi berdasarkan
pemeriksaan darah. Jurnal Kedokteran dan Kesehatan. 7(1): 116.
4. Ullah I et al. 2014. Iron deficiency anemia in school age children in district Karak
Khyber Pakhtunkhwa Province, Pakistan. Open Journal of Blood Diseases. 4(1): 9
15.
15

5. Corwin E J. Buku saku patofisiologi. Edisi 3. Jakarta: EGC; 2009. Hal 427-428
6. Mehta AB, Hoffbrand Av. At a glance hematologi (terjemahan). Edisi ke-2, Jakarta:
Erlangga; 2008. hal. 26-85.
7. Bakta IM, Suega K, Dharmayuda TG. Anemia defisiensi besi. Dalam: Sudoyo AW,
Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, etiadi S. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi
ke-5. Jakarta: Interna Publishing; 2009. hal. 1130-3, 1135-6.
8. Kumar R. Dasar-dasar patofisiologi penyakit. Tangerang: Binarupa aksara publisher;
2012. hal. 40-3.
9. Bakta, IM. Hematologi klinik Ringkas. Jakarta: EGC; 2007.

16

You might also like