You are on page 1of 69

JURNAL FORUM KESEHATAN

Journal Of Health Forum

ISSN : 2087-9105

Strategy to Improve Students Self Directed Learning Readiness (SDLR)


in Central Kalimantan
Djenta Saha, Berthiana ............................................................................................ 1
Faktor Resiko Kejadian Penyakit Jantung Klien Berusia Muda di Ruang ICCU
POLITEKNIK KESEHATAN
KEMENKES PALANGKA RAYA

RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya


Marselinus Heriteluna, Natalansyah ....................................................................... 10
Pengaruh Status Fungsional Terhadap Tingkat Pengetahuan, Sikap Dan
Mental Lansia di Kecamatan Kamipang Kabupaten Katingan
Natalansyah, Marselinus Heriteluna ....................................................................... 21
Pengaruh Motivasi Kerja Petugas Terhadap Pelaksana TB Paru Dengan Strategi Dots
di Puskesmas Induk Palangka Raya
Natalansyah, Marselinus Heriteluna, Yongwan Nyamin ...................................... 28
Analisis Determinan Sisa Makanan Lauk Nabati Pada Menu Makanan Biasa Pasien
Kelas III di RSUD dr. Doris Sylvanus Palangkaraya
Dhini, Munifa, Yetti Wira Citerawati ..................................................................... 37
Faktor-faktor yang mempengaruhi Partisipasi Masyarakat dalam PSN DBD
di Kelurahan Menteng Kota Palangka Raya

Volume I
Nomor 2, Agustus 2010

ISSN : 2087 - 9105

Yongwan Nyamin, Natalansyah, Ety Sumiati ........................................................ 46


Gambaran Faktor Risiko Janin Letak Sungsang di RSUD dr. Doris Sylvanus
Palangka Raya Tahun 2010
Asih Rusmani, Arainiati Manjat, Eline Carla Sabatina Bingan ............................ 54

ISSN : 2087-9105

Volume I Nomor 2, Agustus 2010

TIM REDAKSI
Penanggung Jawab

: Santhy K. Samuel, S.Pd, M.Kes


(Direktur Politeknik Kesehatan Kemenkes Palangka Raya)
: Pudir I Poltekkes Kemenkes Palangka Raya

Pelindung

Pudir II Poltekkes Kemenkes Palangka Raya


Pudir III Poltekkes Kemenkes Palangka Raya
Kepala Unit PPM Poltekkes Kemenkes Palangka Raya.
Ketua Penyunting

: Iis Wahyuningsih, S.Sos.

Penyunting Ahli

: DR.Djenta Saha, S.Kp, MARS


Visia Didin Ardiyani, SKM, MKM
Prof. Diana Brown

Penyunting Pelaksana

: Marselinus Heriteluna, S.Kp, MA


Erma Nurjanah Widiastuti, SKM

Pelaksana TU

: Arizal, A.Md
Daniel, A.Md.Kom

Alamat Redaksi :
Unit Perpustakaan Politeknik Kesehatan Kemenkes Palangka Raya
Jalan George Obos No. 32 Palangka Raya 73111- Kalimantan Tengah
Telepon/Fax : 0536 - 3230730
Email

: forumkesehatanpky@gmail.com,

Website : forumkesehatanpky.blog.com
Terbit 2 (dua) kali setahun.

ISSN : 2087-9105

PENGANTAR REDAKSI
Salah satu tugas utama dari lembaga pendidikan tinggi sebagaimana tercantum dalam
Tri Dharma Perguruan Tinggi adalah melaksanakan penelitian. Agar hasil-hasil penelitian
dan karya ilmiah lainnya yang telah dilakukan oleh civitas akademika Politeknik Kesehatan
Kemenkes Palangka Raya lebih bermanfaat dan dapat dibaca oleh masyarakat, maka
diperlukan suatu media publikasi yang resmi dan berkesinambungan.
FORUM KESEHATAN merupakan Jurnal Ilmiah sebagai Media Informasi yang
menyajikan kajian hasil-hasil penelitian, gagasan dan opini serta komunikasi singkat maupun
informasi lainnya dalam bidang ilmu khususnya keperawatan, kebidanan, gizi, dan umumnya
bidang ilmu yang berhubungan dengan kesehatan.
Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena hanya
berkat bimbingan dan petunjuk-Nyalah upaya untuk mewujudkan media publikasi ilmiah
Politeknik Kesehatan Kemenkes Palangka Raya yang diberi nama FORUM KESEHATAN
volume kedua ini dapat terlaksana. Dengan tekat yang kuat dan kokoh, kami akan terus lebih
memacu diri untuk senantiasa meningkatkan kualitas tulisan yang akan muncul pada
penerbitan penerbitan selanjutnya.
Ucapan terima kasih disampaikan kepada Direktur Politeknik Kesehatan Kemenkes
Palangka Raya sebagai Penanggung Jawab serta Dewan Pembina yang telah memberikan
kepercayaan dan petunjuk kepada redaktur hingga terbitnya FORUM KESEHATAN Volume
I Nomor 2 ini. Ucapan terimakasih dan penghargaan juga disampaikan kepada Dewan
Redaksi yang telah meluangkan waktunya untuk mengkaji kelayakan beberapa naskah hasil
penelitian/karya ilmiah yang telah disampaikan kepada redaksi.
Kepada para penulis yang telah menyampaikan naskah tulisannya disampaikan
penghargaan yang setinggi-tingginya dan selalu diharapkan partisipasinya untuk mengirimkan
naskah tulisannya secara berkala dan berkesinambungan demi lancarnya penerbitan FORUM
KESEHATAN ini selanjutnya.
Akhirnya, semoga artikel-artikel yang dimuat dalam FORUM KESEHATAN Volume
I Nomor 2 ini dapat menambah wawasan dan memberikan pencerahan bagai lentera yang tak
kunjung padam. Kritik dan saran yang bersifat membangun sangat diharapkan demi
penyempurnaan penerbitan selanjutnya.
Tim Redaksi

ISSN : 2087-9105

DAFTAR ISI
Hal.
Strategy to Improve Students Self Directed Learning Readiness (SDLR)
in Central Kalimantan
Djenta Saha, Berthiana ....................................................................................................... 1
Faktor Resiko Kejadian Penyakit Jantung Klien Berusia Muda di Ruang ICCU
RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya
Marselinus Heriteluna, Natalansyah .................................................................................. 10
Pengaruh Status Fungsional Terhadap Tingkat Pengetahuan, Sikap Dan Mental Lansia
di Kecamatan Kamipang Kabupaten Katingan
Natalansyah, Marselinus Heriteluna .................................................................................. 21
Pengaruh Motivasi Kerja Petugas Terhadap Pelaksana TB Paru Dengan Strategi Dots
di Puskesmas Induk Palangka Raya
Natalansyah, Marselinus Heriteluna, Yongwan Nyamin ................................................. 28
Analisis Determinan Sisa Makanan Lauk Nabati Pada Menu Makanan Biasa Pasien
Kelas III di RSUD dr. Doris Sylvanus Palangkaraya
Dhini, Munifa, Yetti Wira Citerawati ................................................................................. 37
Faktor-faktor yang mempengaruhi Partisipasi Masyarakat dalam PSN DBD
di Kelurahan Menteng Kota Palangka Raya
Yongwan Nyamin, Natalansyah, Ety Sumiati .................................................................... 46
Gambaran Faktor Risiko Janin Letak Sungsang di RSUD
dr. Doris Sylvanus Palangka Raya Tahun 2010
Asih Rusmani, Arainiati Manjat, Eline Carla Sabatina Bingan ....................................... 54

Volume I Nomor 2, Agustus 2010

Strategy to Improve Students Self Directed Learning Readiness (SDLR)


in Central Kalimantan
Djenta Saha*, Berthiana*

Abstract: Most students in Central Kalimantan have only exposed to teacherdirected


learning in their past and current studies. Traditional didactic of teaching and learning are
predominantly used in education focusing on transfer of knowledge. This type of teaching and
learning may have been justifiable in an era of limited technology, gradual changes and
relative stability. However, the times have already changed, new knowledge and technologies
are being created at increasingly rapid pace and today students must possess skills to achieve
knowledge under rapidly changing conditions where knowledge quickly becomes obsolete.
The emphasis in education internationally has changed from the simple transfer of knowledge
to students having skills to extend and apply their knowledge and to become lifelong learners.
Self-directed learning (SDL) is already used as one strategy to move students away from their
past style to a more self-directed approach. Unless the students start to move from being
passive recipient to more active participants the students who graduate from Central
Kalimantan schools will left behind in a rapidly changing sciences and technologies.
Introduction

accommodate the characteristics of adult


learners. Adults are different from children
in learning. Knowles (1984) emphasised
that adults are self-directed and able to
take responsibility for their decisions.
Adults have been found to learn more
effectively by doing or experiencing.
Knowles (1984) further explained the
characteristics of adult learners as being (a)
adults need to know why they need to learn
something; (b) adults approach learning as
problem solving, and (c) adults learn best
when a topic is of immediate value.

he rapid changes in sciences and


technologies
have
many
implications in all aspects of live.
More changes are predicted in the coming
years such as increasing complexity of
modern technologies use in everyday
activities. The rapidity of knowledge
changes have resulted in knowledge
become obsolete. Thus people need to
keep learning in response to the rapidity
changing so they can keep abreast of
knowledge and technological changes.
Lifelong learning is important in rapid
global changes. Self-directed learning
(SDL) is an essential strategy for lifelong
learning and it can be used as a tool to
prepare people to adapt with rapid global
changes.

Self-directed learning readiness


(SDL) is essential for lifelong learning and
professional development; however, it has
not been emphasised in Indonesian nursing
education. SDL requires students to be
more active in their learning; instructional
methods to improve SDL such as
reflection, learning plans and asking
critical questions can encourage students to
take a deep approach to learning.
Therefore, deep learning is more likely if
students are more self-directed in learning.
Strategies are needed to move students

Self-directed learning (SDL) is not a


new concept in adult learning. Educations
in developed countries have already
applied SDL in their teaching and learning
and have used varieties of technologies in
learning. The unique aspect of adult
learning rests in its methods of delivery to

* Jurusan Keperawatan Politeknik Kesehatan Kemenkes Palangka Raya

Knowles definition of self-directed


learning is cited by many authors to form
the basis of other self-directed learning
definitions, such as that of Spencer and
Jordan (1999, p.1281) who define selfdirected learning as: when students take
the initiative for their own learning,
designing needs, formulating goals,
identifying
resources,
implementing
appropriate activities and evaluating
outcomes.

away from their past traditional learning


style to a more self-directed approach.
Definition of Self-directed learning
An early writer, Houle (1961), first
introduced the term of self-directed
learning when he described a study of
adults who had engaged in learning
activities without support or assistance.
The works of Knowles (1975) and Tough
(1979), who popularised the concept, have
had a major influence on self-directed
learning practice. The definition of selfdirected learning varies throughout the
literature. Self-directed learning is
generally defined in terms of either a
personal attribute of a learner, or as a
process of learning (Brockett & Hiemstra,
1991; Caffarella & ODonnell, 1989;
Candy, 1991; Fisher, King & Tague, 2001,
Hiemstra, 1992). The most common
definition of self-directed learning is that
described by Knowles (1975, p.18):

The literature indicates that selfdirected learning can take multiple forms.
The synonyms found for self-directed
learning include independent study, selfinstruction packages, guided study, group
work, learning plans (learning contracts),
computer-assisted learning, distance study,
teleconferencing, and e-learning (Hamilton
& Gregor, 1986; Iwasiw, 1987; OShea,
2003; Piskurich & Piskurich, 2003).
Brockett and Hiemstra (1985) emphasise
three important keys of teaching strategies
to promote self-directed learning: using a
variety of teaching and learning resources;
using a teaching role that is facilitative
rather than didactic; and encouraging an
active role by students during the entire
teaching and learning process. Knowles
(1990) acknowledges that adults might not
be familiar with self-directed learning and
require time to adapt to self-directed
learning, and he also acknowledges that
andragogy and pedagogy need not be
mutually exclusive.

Self directed learning is a process in which


the learner takes the initiative in
diagnosing his/her learning needs,
formulating goals, identifying human and
material resources, and evaluating learning
outcomes. This may be done with or
without the help of others.
Based on the work of Knowles
(1975), Iwasiw (1987) considers selfdirected learning to be a form of study in
which individuals have responsibility for
planning, implementing and evaluating
their own work. Furthermore, Iwasiw
(1987) outlined five characteristics of selfdirected learning and suggests students are
responsible for:

Despite the proposed advantages of


self-directed learning, Brookfield (1986)
suggests self-directed learning might not
be the best approach for all adults.
Darbyshire (1993) argued that selfdirection is a motivational factor which
people exhibit to varying degrees, with
some people being more self-directed than
others. Darbyshire (1993) also suggests
that the differences between adults and
children are insufficient grounds for
distinct educational approaches. A similar
argument comes from Burnard and
Morrison (1992) who refute Knowless
claim and suggest that not all students may
want or be able to be independent.

identifying their own learning needs;


determining their learning objectives;
deciding how to evaluate learning
outcomes;
identifying and pursuing learning
resources and strategies; and
evaluating the end product of learning.

Conceptual
learning

model

of

acquired knowledge, directed action,


exploratory action, fortuitous action,
consistent environment and fortuitous
environment. Spear concluded that selfdirected learning projects do not generally
occur in a linear fashion. Cavaliere (1992)
proposed elements and observations as a
result of her case study of how the Wright
brothers learned to fly. Five specific stages
of their learning project were identified:
inquiring (a need to solve a problem),
modelling (observing similar phenomena
and developing a prototype model),
experimenting and practicing (continuous
refinement and practice with the model),
theorising and perfecting (perfection of
their skills and product), and actualising
(receiving recognition for the product of
their learning efforts. According to
Merriam and Caffarella (1999) Cavalieres
model is especially useful in that it
describes both the stages of the learning
process and the cognitive processes used
throughout a major learning endeavour.

self-directed

Self-directed learning models can be


categorised into three types: a linear
model; an interactive model, and an
instructional model (Merriam & Caffarella,
1999, p.293).
The early model of self-directed
learning was the linear model, similar to
that proposed by Tough (1971) and
Knowles (1975). Learners move through a
series of steps to reach their goals in a selfdirected manner. Tough (1971) outlined a
comprehensive description of self-directed
learning, which he termed self-planned
learning. Tough found that learners used
thirteen steps in self-planned learning
projects, representing key decision making
about choosing what, where and how to
learn (Tough, 1971, p.94). Knowles (1975)
proposed six steps for self-directed
learning and the steps are somewhat
similar to those proposed by Tough (1979).
Knowless (1975) description of six steps
of self-directed learning included: climate
setting, diagnosing learning needs,
formulating learning goals, identifying
human and material resources for learning,
choosing and implementing appropriate
learning strategies, and evaluating learning
outcomes. Knowles included numerous
resources for both learners and teachers for
completing each of these tasks, such as
learning contracts (learning plans).

The
Personal
Responsibility
Orientation (PRO) Model, developed by
Brockett and Hiemstra (1991), provides a
framework for what they term selfdirection in learning, which comprises both
instructional method processes and
personality characteristics of the individual
learner (learner self-direction). In the
instructional process dimensions, learners
assume
primary
responsibility
for
planning, implementing, and evaluating
their learning experiences. In this
facilitation role, instructors must possess
skills in helping learners do need
assessments, locate learning resources, and
choose
instructional
methods
and
evaluation strategies.
Danis (1992) has
proposed a map of the territory that
researchers could use to study the major
components of self-directed learning and
explain how the various components of the
model interact. This model is grounded in
the notion of what Danis terms selfregulated learning, referring to the various
process components of the learning cycle
and not to the internal cognitive aspects.

The interactive model is the second


category. There are five interactive models
reported in the literature, namely: Spears
model (Spear, 1988), Cavalieres model
(Cavaliere, 1992), Personal Responsibility
Orientation (PRO) model (Brockett and
Hiemstra, 1991), Daniss framework
(Danis, 1992), and Garrisons model
(Garrison, 1997). Spears model was based
on three major elementsthe opportunities
people find in their own environments,
past or new knowledge, and chance
occurrences. Spear (1988, p.212) found
that the process of self-directed learning
could be reduced to seven principal
componentsresidual
knowledge,
3

Garrisons model (1997) is the recent


multi-dimensional and interactive model of
self-directed
learning.
His
model,
grounded in a collaborative constructive
perspective, integrates self-management
(contextual
control),
self-monitoring
(cognitive responsibility) and motivational
(entering task) dimensions to reflect a
meaningful and worthwhile approach to
self-directed learning. The first dimension,
self-management, acknowledges the social
milieu in which learners are interacting,
whether they are in formal or informal
settings. It involves learners taking control
of, and shaping, the contextual conditions
such that they can reach their stated goals
and objectives. The next two dimensions,
self-monitoring and motivation, represent
the cognitive dimensions of self-directed
learning. According to Garrison, selfmonitoring
is
synonymous
with
responsibility to construct meaning and the
motivational dimension involves what
influences people to participate in a selfdirected learning activity and what keeps
them participating in the activity.

goals that result in learning agreements;


implementing and managing their learning;
and reflecting on and evaluating their
learning. According to Merriam and
Caffarella (1999), what makes this model
different from the other process models is
the purposeful inclusion of the critical
perspective through the examination of the
social, political, and environmental
contexts that affect their learning, and the
emphasis on developing both personal and
social learning goals.
Instructional methods to improve selfdirected learning
A variety of teaching and learning
strategies can be vehicles to achieve selfdirected learning, and a number of tools
can be used to facilitate the self-directed
learning process. Knowles (1986) cites
learning plans (learning contracts) as an
ideal method to facilitate self-directed
learning. Reflection has also been
suggested as a way to achieve self-directed
learning as it requires individuals to learn
throughout the experience (Parker et al.,
1995), with the outcome a changed
perspective of self and the world (Atkins
and Murphy, 1993). Crooks et al. (2001)
stated that reflection is integral to SDL. It
helps students to attribute meaning to the
learning experience and the outcome of
reflection is to explore learning
experiences
and
develop
deeper
understandings. Problem-based learning
has also been linked to self-directed
learning,
with
Margetson
(1994)
illustrating problem identification followed
by students engaging in self-directed
learning to solve the problem. Taylor
(1997) also linked problem-based learning
and self-directed learning in so far as
students can set their objectives based on a
relevant scenario, access material and
receives feedback on their learning.
Garrison (1987) describes written materials
or modules that can also be used to
promote self-directed learning. Learning
modules as tools of SDL is further
discussed below.

The third category of self-directed


learning models represents frameworks
that instructors in formal settings use to
integrate self-directed methods of learning
into their programs and activities. Three
models are described in the literature that
is designed for educational settings. These
were developed by Grow (1991),
Hammond and Collins (1991) and DA
Slevin and Lavery (1991). According to
Merriam and Caffarella (1999, p.304),
Hammond and Collins (1991) model is
the only model that explicitly addresses the
goal of promoting emancipator learning
and social action as central tenets of SDL.
In this model, learners take the initiative
for building a cooperative climate;
analysing and critically reflecting on
themselves and the social, economic, and
political contexts in which they are
situated; generating competency profiles
for themselves; diagnosing their learning
needs within the framework of both the
personal and social context; formulating
socially and personally relevant learning

Affective Measure (Huckabay, 1981). The


results of the study revealed significant
differences in course evaluation related to
self-directed learning readiness. However,
the results of the study cannot be
generalised due to the particular nature of
the sample who reported a high degree of
self-directed learning readiness scores,
which may be atypical.

Learning modules
Learning modules are frequently
identified as an essential resource for selfdirected learning. Learning modules are
one type of written material widely used in
education specifically for distance
learning. The use of modules as resources
for pro-active learning in self-directed
modes has very important implications for
adult learning, continuing professional
education and programs in rural and
isolated settings (Brockett & Hiemstra,
1985: 35). Many authors have previously
demonstrated that learning modules can
promote self-directed learning (Brunt &
Scott, 1986; Davis & Pearson, 1996;
Donaldson, 1992; Huckabay, 1981; Jones
& Jones, 1996; Kang, 2002; Pedley &
Arber, 1997; Willock, 1998).

Pedley and Arber (1997) conducted


an exploratory qualitative study using
Jarvis (1992) experiential framework to
evaluate student-centred module learning.
Following a nine-month module of study, a
convenience sample of 135 students
completed a questionnaire with fixed
choice and open-ended questions. The
nine-month implementation of the selflearning module was supplemented by
group discussion and feedback. A key
theme that emerged was the beneficial
learning experience. The reported benefits
included more choice, autonomy and
taking responsibility. However, no pilot
test was conducted for the questionnaire
and questions remain regarding its
reliability and validity, therefore the
finding cannot be transferred to other
settings.

Jones and Jones (1996) conducted a


study using a self-learning package
compared to a conventional lecture. The
study aim was to investigate students
preference for conventional lecture or selflearning package. The sample of this study
was 66 first year students divided into a
conventional lecture group and selflearning package group, followed by a sixweek implementation. Two questionnaires
were used in the study; Study Process
Questionnaire (SPQ) and Attitude
Questionnaire (AQ) to examine their level
of understanding. The result of the study
that was there was no correlation between
students study approach and their
preference for different teaching methods
when measured by test performance. Jones
and Jones (1996) suggested a need to
review independent study packages to
better match students needs.

A study conducted by Willock


(1998) compared performance outcomes of
entry-level nursing students who were
taught selected psychomotor skills by
traditional lecture method versus selflearning modules. Students were divided
into two groups: self-learning module
group for urine catheterisation and
lecture/discussion for sterile dressing
change; self-learning module group for
sterile
dressing
change
and
lecture/discussion for urine catheterisation.
The performance outcomes were a
paper/pencil test and skill demonstration.
The finding of the study revealed no
significant difference in the performance
outcomes. Data contamination is suspected
to have influenced the results.

Another study conducted by Davis


and Pearson (1996) used a self-learning
module in a primary health care course.
The sample was 103 nursing students who
enrolled in the Primary Health Care
course, 69% generic students and 31%
registered nurses (RN). Age of the sample
ranged from 2156 years, modal age 22
years. Two instruments were used in the
study, Guglielminos SDLRS (1978) and

A recent study conducted by Kang


(2002) used a self-learning module to teach
nurses caring for hospitalised children with
5

tracheostomies, with a sample of 85


nurses74 RNs and 11 Licensed Practical
Nurses (LPN). Pre- and post- tests using a
self-developed questionnaire contained
eight questions about current practice
regarding tracheotomy care including
skills, knowledge, and critical thinking.
The results of the study revealed a
statistical difference on post-test scores
compared to pre-test scores after four
months implementation of the program.
Furthermore, Kang (2002) suggested
improvements to self-learning modules by
adding other teaching methods to increase
learning and retention, such as, educators
discussing the topic and demonstrating the
skills, as well as using video.

Summary
This article outlined the definition of
self-directed learning. Conceptual models
of self-directed learning as well as the
instructional method to improve SDL were
presented. Learning modules as a teaching
strategy utilised to improve self-directed
learning was also presented. Limited
human resources, funding, teaching and
learning materials, and access to
contemporary information technology
influenced the decision to choose strategies
and tools. It can be assumed that through
the combination of strategies and tools to
fit the local conditions, students would get
maximum benefit to increase their
readiness for self-directed learning.

Brunt and Scott (1986) suggested


that many factors need to be considered
when developing and implementing selflearning module, including appropriate
planning and assessment, which can
provide a mechanism to assist in the
development and implementation of
quality self-learning modules. It is
suggested by many authors that modules,
together with other self-directed learning
tools, can improve self-directed.

References
Atkins,

S., & Murphy, K. (1993).


Reflection: A review of the
literature. Journal of Advanced
Nursing, 18, 11881192.

Brockett, R. G., & Hiemstra, R. (1985).


Bridging the theory-practice gap in
self-directed learning. In S.
Brookfield (Ed.). Self-directed
learning: From theory to practice
(pp. 17-30). San Francisco: Jossey
Bass Inc.

In conclusion, learning modules can


be a challenging, effective way for
students to learn, and can foster deep
learning. In addition, use of learning
modules promotes the concept of
becoming a self-directed, independent,
lifelong learner. Therefore effective use of
learning modules can help students learn
content that is context-specific, relevant
and applied. Moreover, by promoting
independent learning the students are
better prepared to be independent learners.
However, since the learning modules may
be only partially useful in developing the
skills or competencies required for selfdirected learning many researchers
(Caffarella
&
ODonnell,
1989;
McAllister, 1996) suggest that learning
modules should be used in conjunction
with other methods to promote selfdirected learning and to get maximum
benefit from learning modules.

Brockett, R. G., & Hiemstra, R. (1991).


Self-direction in adult learning:
Perspectives on theory, research
and practice. London: Routledge.
Brookfield, S. (1986). Understanding and
facilitating adult learning, San
Francisco: Jossey Bass Inc.
Brunt, B., & Scott, A. L. (1986). Factors to
consider in the development of
self-instruction
method.
The
Journal of Continuing Education in
Nursing, 17(3), 8793.

Burnard, P., & Morrison, P. (1992).


Students and lecturers preferred
teaching strategies. International
Journal of Nursing Studies, 29,
345353.

Davis, J. H., & Pearson, M. A. (1996). An


Instructional Model for Primary
Health Care Education. Public
Health Nursing, 13(1), 3135.
Donaldson, I. (1992). The use of learning
contract in clinical area. Nurse
Education Today, 12, 413436.

Caffarella, R. S., & ODonnell, J. M.


(1989). Self-directed learning.
Nottingham: Department of Adult
Education:
University
of
Nottingham.

Fisher, M., King, J., & Tague, G. (2001).


Development of a self-directed
learning readiness scale for nursing
education. Nurse Education Today,
21, 516525.

Candy, P. C. (1991). Self-direction for


lifelong learning: A comprehensive
guide to theory and practice, San
Francisco: Jossey Bass Inc.

Garrison, D. R. (1997). Self-directed


learning: Toward a comprehensive
model. Adult Education Quarterly,
48(1), 1833.

Cavaliere, L. A. (1992). The Wright


Brothers Odyssey: Their flight on
learning . In L. A. Cavaliere & A.
Sgroi (Eds.), Learning for personal
development. San Francisco: Jossey
Bass

Grow, G. (1991). The Staged Self-Directed


Learning Model. In H. B. Long
(Ed.).
Self-directed
learning:
Consensus and conflict (pp. 199
226). Norman, OK: Oklahoma
Research Center for Continuing
Professional and Higher Education
of the University of Oklahoma.

Crooks, D., Lunyk-Child, O., Patterson, C.,


& LeGris, J. (2001). Facilitating
Self- Directed Learning. In E.
Rideout
(Ed.),
Transforming
nursing
education
through
problem-based learning (pp. 51
74). Toronto: Jones and Barlett
Publishers.

Hamilton, L., & Gregor, F. (1986). Selfdirected learning in a critical care


nursing program. The Journal of
Continuing Education in Nursing,
17(3), 9499.

DA Slevin, O., & Lavery, M. C. (1991).


Self-directed learning and student
supervision.
Nurse
Education
Today, 11, 368377.

Hammond, M., & Collins, R. (1991). Selfdirected learning: Critical practice.


London: Kogan Page.

Danis, C. (1992). A unifying framework


for data-based research into adult
self-directed learning. In H. B.
Long (Ed.), Self-directed learning:
application and research (pp. 47
72). Norman, OK: Oklahoma
Research Center for Continuing
Professional and Higher Education
University of Oklahoma.

Hiemstra, R. (1992). Individualising the


instructional process: What we
have learned from two decades of
research on self-direction learning.
In H. B. Long (Ed.). Self-directed
learning: Application and research
(pp. 323344). Norman, OK:
Oklahoma Research Center for
Continuing
Professional
and
Higher Education of the University
of Oklahoma.

Darbyshire, P. (1993). In defence of


pedagogy: a critique of the notion
of andragogy. Nurse Education
Today, 11, 328335.

Houle, C. (1961). The Inquiring Mind.


Madison: The University of
Wisconsin.

Margetson, D. (1994). Current educational


reform and the significance of
problem based learning. Studies in
Higher Education, 19, 519.

Huckabay, L. M. D. (1981). The effect of


modularized
instruction
and
traditional teaching techniques on
cognitive learning and affective
behaviours of student nurses.
Advances in Nursing Science, 3.
6783.

McAllister, M. (1996). Learning Contracts:


An Australian experience. Nurse
Education Today, 16, 199205.
Merriam, S. B., & Caffarella, R. S. (1999).
Learning
in
Adulthood:
A
comprehensive guide (2 ed.). San
Francisco: Jossey Bass Publisher.

Iwasiw, C. L. (1987). The role of the


teacher in self-directed learning.
Nurse Education Today, 7(5), 222
227.

OShea, E. (2003). Self-directed learning


in nurse education: A review of the
literature. Journal of Advanced
Nursing, 43(1), 6270.

Jarvis, P. (1992). Quality in Practice: The


role of education. Nurse Education
Today, 12(3), 310.

Pedley, G. E., & Arber, A. (1997). Nursing


students response to self-directed
learning: An evaluation of a
learning process applying Jarvis
framework. Journal of Advanced
Nursing, 25, 405411.

Jones, A., & Jones, D. (1996). Student


orientations
to
independent
learning.
Higher
Education
Research and Development, 15(2),
8395.

Piskurich, G. M., & Piskurich, J. F. (2003).


Utilizing a classroom approach to
prepare learner for e-learning. In G.
M. Piskurich. (Ed.), Preparing
learners for e-learning (pp. 4572).
San Francisco, CA: Pfeiffer.

Kang, J. M. (2002). Using a self-learning


module to teach nurses about
caring for hospitalized children
with tracheostomies. Journal for
Nurses in Staff Development, 18(1),
2835.

Spear, G. E. (1988). Beyond the organizing


circumstance: A search for
methodology for the self-directed
learning. In H. B. Long (Ed.), Selfdirected learning: application and
theory. Athens: Department of
Adult Education University of
Georgia.

Knowles, M. S. (1975). Self-directed


learning: A guide for learners and
teacher. Cambridge: Prentice Hall
Regent
Knowles, M. S. (1984). Andragogy in
Action. San Francisco: Jossey-Bass.
Knowles, M. S. (1986). Using Learning
Contract. San Francisco: Jossey
Bass.

Taylor, I. (1997). Developing Learning in


Professional
Education:
Partnerships for practice. London:
Open University Press.

Knowles, M. S. (1990). The Adult


Learners: A neglected species (4th
ed.). Houston: Gulf Publishing
Company.

Tough, A (1971). The adult learning


projects. Toronto: Ontario Institute
of Studies in Education.

Tough, A. (1979). Major learning efforts:


Recent research and future
direction.
Adult
Education
Quarterly, 28(4), 250263.
Willock, K. M. (1998). A comparison of
the performance outcomes of
nursing students who are taught
urinary catheterization and sterile
dressing
by
traditional
lecture/discussion method versus
those who utilised self-directed
learning with module. Unpublished
doctoral dissertation, Kansas State
University.

10

FAKTOR RESIKO KEJADIAN PENYAKIT JANTUNG KLIEN BERUSIA MUDA


DI RUANG ICCU RSUD dr. DORIS SYLVANUS PALANGKA RAYA
Marselinus Heriteluna*, Natalansyah*

Abstract : Recently, heart disease is the leading cause of death in the world. In 1999 at least
55.9 million, equivalent to 30.3% of deaths worldwide are caused by heart disease .. Heart
and blood vessel disease is currently ranked first cause of death in Indonesia. According to
the World Health Organization (WHO), 60% of all causes of death are heart disease is
caused by coronary heart disease (CHD). Nearly 25% of all deaths are caused by disorders of
heart and blood vessel abnormalities. Broadly, the heart and blood vessel disease are:
Coronary Heart Disease (CHD) or Ischemic Heart Disease, hypertension, congenital heart
disease, muscle disease and pericardium, heart rhythm disorders and peripheral vascular
disease. There are many factors that cause heart disease, especially coronary heart disease is.
This study aimed to explore the idea of risk factors that influence the incidence of heart
disease in young clients at dr. Doris Sylvanus Palangkaraya Public Hospital and find out
what health education strategies that can be done as a promotion and prevention on the
incidence of heart disease at a young age. This research type is research that examines case
control relationship between the effect (disease or health condition) certain specific risk
factors for heart disease at a young age. The results showed that family history risk factors,
attitudes toward food arrangements and attitudes toward weight reduction and exercise are
the factors that need to be considered, while the other factors in this study's recommended to
remain a factor in the cautious. This is a concern by health and all health-related parties to
develop strategies for prevention and health promotion in the future. This research is
eventually expected to provide little positive contribution to world health, particularly
regarding coronary heart disease among the young.
Keywords: Heart Risk Factors, Age Youth, Coronary Heart Disease

pembuluh darah. Secara garis besar


penyakit jantung dan pembuluh darah
adalah : Penyakit Jantung Koroner (PJK)
atau penyakit jantung iskemik, hipertensi
atau darah tinggi, penyakit jantung bawaan,
penyakit otot dan selaput jantung, gangguan
irama jantung dan penyakit pembuluh darah
perifer.

Pendahuluan

enyakit Jantung Koroner merupakan


penyakit yang banyak diderita oleh
masyarakat. Penyakit ini menyerang
pembuluh darah yang mengalirkan darah ke
jantung (arteri koroner) sehingga terjadi
penyempitan pada arteri koroner. Pada saat
ini penyakit jantung merupakan penyebab
kematian nomor satu di dunia. Pada tahun
1999 sedikitnya 55,9 juta atau setara dengan
30,3 % kematian diseluruh dunia
disebabkan oleh penyakit jantung. Menurut
Badan Kesehatan Dunia (WHO), 60 % dari
seluruh penyebab kematian penyakit
jantung adalah penyakit jantung koroner
(PJK). Penyakit Jantung dan pembuluh
darah saat ini menduduki urutan pertama
penyebab kematian di Indonesia. Dari
seluruh kematian hampir 25% disebabkan
oleh gangguan kelainan jantung dan

Di Indonesia, penyakit jantung juga


cenderung meningkat sebagai penyebab
kematian. Data survei kesehatan rumah
tangga (SKRT) tahun 19961 menunjukkan
bahwa proporsi penyakit ini meningkat dari
tahun ke tahun sebagai penyebab kematian.
Tahun 1975 kematian akibat penyakit
jantung hanya 5,9 %, tahun 1981 meningkat
sampai dengan 9,1 %, tahun 1986 melonjak
menjadi 16 % dan tahun 1995 meningkat
menjadi 19 %. Sensus nasional tahun 2001
menunjukkan bahwa kematian karena

* Jurusan Keperawatan Politeknik Kesehatan Kemenkes Palangka Raya

10

penyakit kardiovaskuler termasuk penyakit


jantung koroner adalah sebesar 26,4 %, dan
sampai dengan saat ini PJK juga merupakan
penyebab utama kematian dini pada sekitar
40 % dari sebab kematian laki-laki usia
menengah. Tanda dan gejala klinik PJK
pada usia dewasa muda (young adults)
jarang sekali dinyatakan oleh pasien secara
langsung, tanda dan gejalanya tidak khas
dan asymptomatic. Data study awal di
RSUD dr.Doris Sylvanus, tercatat bahwa
angka kejadian Penyakit Jantung juga
didominasi oleh klien berusia muda. Data
secara rinci pada Tahun 2009, di ruang
ICCU RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka
Raya tercatat penderita yang di rawat adalah
sebagai berikut : Berusia 11 20 tahun
tercatat 6 orang, usia 21 30 th : 26 orang,
Usia 31 40 tahun : 45 orang, Usia 41 50
tahun : 82 orang, Usia 51 60 tahun : 138
orang, Usia 61 70 tahun : 95 orang, Usia
71 80 tahun : 45 orang dan berusia 81
90 tahun : 16 orang2

diabetes mellitus, merokok, kegemukan,


dan hipertensi. Penanganan dislipidemia
seperti cara-cara diatas dan kontrol teratur
sudah harus dilakukan segera setelah hasil
cek darah menunjukkan kolesterol yang
tinggi. Tidak perlu menunggu hingga gejala
klinis muncul dan dirasakan mengganggu
karena umumnya kadar kolesterol yang
tinggi jarang menimbulkan gejala klinis dan
keluhan. Yang berbahaya dari dislipidemia
ini jud\stru berupa komplikasi ke depannya,
sehingga intervensi harus segera dilakukan
mumpung pasien masih sehat' dan belum
terjadi komplikasi
Beberapa fakta yang mendukung
diantaranya adalah survey morbiditas dan
disabilitas sebagai bagian dari Survei
Kesehatan Rumah Tangga (SKRT)1 tahun
2001 di Indonesia (kecuali daerah Nanggroe
Aceh Darussalam, Maluku, dan Papua)
yang telah memperlihatkan munculnya
gangguan kesehatan dalam kelompok usia
35 65 tahun berdasarkan kadar kolesteroltotal > 200 mg% disertai kecenderungan
kenaikan prevalensi obesitas pada wanita
sejalan dengan pertambahan usia (mencapai
41% - 50% pada usia di atas 55 tahun),
lebih tinggi daripada pria.

Banyak studi menunjukkan hanya


sekitar 3% dari semua kasus PJK terjadi
pada usia dibawah 40 tahun. Yang menjadi
ciri khas dan merupakan faktor tunggal
yang berhubungan kuat atas kejadian PJK
pada usia dewasa muda adalah merokok
sigaret,
selain
itu
juga
masalah
kolesterol.Masalah
kolesterol memang
sudah tidak asing lagi bagi masyarakat
perkotaan. Masalah satu ini memang teman
akrab' bagi masyarakat yang sedenter, super
sibuk, super instant dan yang menyukai
makanan serba fast food, suatu karakteristik
masyarakat
perkotaan.
Gaya
hidup
demikian cenderung akan menimbulkan
permasalahan pada nilai-nilai kolesterol
dalam darah. Seringnya yang ditemukan
adalah kadar kolesterol total, LDL
(kolesterol jahat) dan Trigliserid meninggi,
sedangkan kolesterol baik (HDL) menciut.
Jadi tidaklah heran banyak orang kota yang
berusia dewasa muda dan seterusnya harus
menerima banyak angka merah' pada raport
kolesterol di hasil laboratorium darah.
Kadar kolesterol yang tinggi (terutama
LDL) merupakan faktor risiko mayor untuk
terkena penyakit jantung koroner dan
stroke, apalagi dengan adanya berbagai
faktor risiko mayor lainnya misalnya

Tujuan
pembangunan
kesehatan
adalah tercapainya kemampuan untuk hidup
sehat
bagi
setiap
penduduk
agar
dapatmewujudkan
derajat
kesehatan
masyarakat yang optimal sebagaisalah satu
unsur kesejahteraan umum dari tujuan
nasional. Untuk mencapai tujuan ini, upaya
kesehatan dilaksanakan melalui pendekatan
promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif.
Upaya kuratif untuk penyakit jantung
koroner memerlukan teknologi tinggi serta
biaya mahal, yang akan sulit dipikul secara
nasional; oleh karena itu upaya preventif
dan promotifnya perlu lebih mendapatkan
perhatian.
Berdasarkan beberapa hal di atas,
kiranya menarik untuk diketahui lebih jauh
tentang Karakterisitik faktor resiko kejadian
penyakit jantung, dengan basis orang muda
yang notabene masih produktif, namun saat
ini mengalami kecenderungan / trend yang
cukup significan, dan mengingat penelitian
11

yang ada khususnya di Kalimantan Tengah


belum ada yang spesifik mengenai hal ini.

Analisa Univariat
Karakteristik Responden

Metode Penelitian

Pada tabel 1 di bawah di dapatkan :


Responden penelitian ini 65 % berasal dari
suku Dayak, sisanya adalah suku Jawa
(20%), Banjar (12,5%) dan Melayu (2,5 %).
Jenis kelamin Laki-laki (55%). Pendidikan
SMA yang terbanyak ( 37%), lainnya
hampir merata antara SD (25%) , SMP
(15%) dan PT (22,5%). Jenis Pekerjaan
terbanyak bekerja dalam jenis swasta
(mandiri) sebanyak 60 %, dan selanjutnya
sebagai PNS (17,5 %), sisanya kontraktor,
tidak bekerja serta IRT. Sebaran Responden
menurut status perkawinannya 70 % telah
menikah sementara sisanya 2,5 % bercerai
hidup / mati dan lainnya adalah bujangan
(27,5 %), cukup menarik bahwa responden
dengan status bujangan berada pada urutan
ke dua. Kebiasaan merokok, responden
merokok lebih sedikit (27,5%) daripada
yang tidak merokok (72,5 %). Untuk
riwayat penyakit dalam keluarga hanya
menunjukkan 77,5 % tidak memiliki
riwayat penyakit dan sisanya 22,5 % ada
riwayat penyakit dalam keluarga.

Penelitian ini dilaksanakan di RSUD


dr. Doris Sylvanus Palangka, dan
dilaksanakan pada bulan Oktober sampai
dengan Desember 2010. Penelitian ini
menggunakan metoda kasus-kontrol Analisa
Univariat dilakukan untuk menganalisa
Variabel
Karakteristik
Responden
berdasarkan
suku,
jenis
kelamin,
pendidikan, pekerjaan, penghasilan, status
perkawinan, kebiasaan merokok dan
riwayat keluarga. Selain itu, analisa bivariat
dilakukan dengan menggunakan uji
hipotesis Chi Square untuk variabel
kategori, dan menggunakan uji regresi
logistik sederhana untuk melihat odds ratio
pada variabel yang lebih dari dua.
Penelitian ini menggunakan daftar isian
oleh responden menggunakan Skala Likert.
Populasi adalah klien yang
menderita
penyakit jantung Koroner di ruang ICCU
RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka,
sedangkan responden kontrol lainnya di
ambil secara random dengan kriteria usia di
bawah 50 Tahun. Pengumpulan data
dilakukan pada responden oleh petugas di
Ruang ICCU dan Ruangan A, G dan
Paviliun dan hasil data tersebut dilakukan
editing, cooding, tabulating dan entry data
ke komputer dengan menggunakan aplikasi
program SPSS (Statistical Package for
Social Science)
Hasil Penelitian
Penelitian dilaksanakan di RSUD dr. Doris
Sylvanus Palangka Raya, tahun 2010.
Penelitian ini dilaksanakan pada 20
responden dengan kasus Diagnosa medik
jantung di ruang ICCU sebagai variabel
penelitian dan 20 responden pasien lain di
Ruang A, G dan Paviliun sebagai variabel
kontrol.

12

Tabel 1
Distribusi Karakteristik Responden (n=40)
Variabel
Suku
Dayak
Jawa
Banjar
Melayu
Jenis Kelamin Laki-laki
Perempuan
Pendidikan
SD
SMP
SMA
PT
Pekerjaan
Belum bekerja
PNS
Swasta
Kontraktor
Sekolah
IRT
Penghasilan
< Rp1.000.000
Rp1.000.000 - Rp3.000.000
Status Perkawinan Kawin
Cerai Hidup/mati
Bujangan
Kebsn. Merokok
Merokok
Tidak Merokok
Riwayat Klg
Ya
Tidak

Jumlah
26
8
5
1
22
18
10
6
15
9
2
7
24
1
3
3
16
24
28
1
11
11
29
9
31

Persentase (%)
65
20
12,5
2,5
55
45
25
15
37
22,5
5
17,5
60
2,5
7,5
7,5
40
60
70
2,5
27,5
27,5
72,5
22,5
77,5

merokok, riwayat keluarga, pengetahuan


dan sikap, dapat dilihat pada tabel 2 di
bawah ini :

Analisa Bivariate
Hasil penelitian menghimpun variabel
pendidikan, jenis kelamin, kebiasaan

Tabel 2
Proporsi Pasien Kasus dan Kontrol menurut Faktor Risiko (n=40 Pasien),
RSUD dr. Doris Sylvanus, Palangka Raya, 2010
Variabel
(1)
Suku
Dayak
Non Dayak
Jumlah
Jenis Kelamin
Laki-laki
Perempuan
Jumlah
Pendidikan
Tinggi
Dasar
Jumlah

Kasus
n
%
(2)
(3)

Kontrol
n
%
(4)
(5)

Total
n
(6)

14
6
20

70
30
100

12
8
20

8
12
20

40
60
100

11
9
20

55
45
100

%
(7)

60
40
100

26
14
40

14
6
20

70
30
100

13
7
20

65
35
100
13

Nilai
P
(8)

OR

95% CI

(9)

(10)

65
35
100

0,507

0,643

0,17-2,38

22
18
40

55
45
100

0,057

3,5

0,95-12,9

24
16
40

60
40
100

0,519

1,5

0,43-5,43

(1)
Status Kawin
Berpasangan
Tunggal
Jumlah
Kebiasaaan
Merokok
Merokok
Tidak
Merokok
Jumlah
Riwayat
Keluarga
Ya
Tidak
Jumlah
Pengetahuan
Baik
Buruk
Jumlah
Sikap terhadap
Makanan
Baik
Buruk
Jumlah
Sikap terhadap
Penurunan BB
Baik
Buruk
Jumlah
Sikap terhadap
Olahraga
Buruk
Baik
Jumlah

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

(7)

(8)

(9)

(10)

16
4
20

80
20
100

12
8
20

60
40
100

28
12
40

70
30
100

0,168

0,375

0,09-1,54

5
15

25
75

6
14

30
70

11
29

27,5
72,5

0,723

0,778

0,19-3,13

20

100

20

100

40

100

16
4
20

80
20
100

15
5
20

75
25
100

31
9
40

77,5
22,5
100

0,705

0,750

0,17-3,33

16
4
20

80
20
100

4
16
20

20
80
100

20
20
40

50
50
100

0,000*

0,063

0,01-0,29

4
16
20

20
80
100

18
2
20

90
10
100

22
18
40

55
45
100

0,000*

36

5,79-223,5

8
12
20

40
60
100

16
4
20

80
20
100

24
16
40

60
40
100

0,010*

1,46-24,69

11
9
20

55
45
100

4
16
20

20
80
100

15
25
40

37,5
62,5
100

0,022*

4,5

1,5-20,7

Analisa bivariat dilakukan dengan


menggunakan uji hipotesis Chi Square
untuk variabel kategori. Dan menggunakan
uji regresi logistik sederhana untuk melihat
odds ratio pada variabel yang lebih dari
dua. Berdasarkan tabel 2 di atas maka
dapat di jelaskan sebagai berikut :

Jenis Kelamin dan Penyakit Jantung


Koroner
Berdasarkan hasil analisis bivariat
didapatkan tidak ada perbedaan kejadian
penyakit jantung koroner menurut jenis
kelamin responden (Nilai P > 0,05;
OR=3,5; 95% CI=0,95-12,9).

Suku dan Penyakit Jantung Koroner


Berdasarkan hasil analisis bivariat
didapatkan tidak ada perbedaan kejadian
penyakit jantung koroner menurut suku
responden (Nilai P > 0,05; OR=0,643;
95% CI=0,17-2,38).

Pendidikan dan Penyakit


Koroner
Berdasarkan hasil analisis
didapatkan tidak ada perbedaan
penyakit
jantung koroner
pendidikan responden (Nilai P
OR=3,5; 95% CI=0,95-12,9).

14

Jantung
bivariat
kejadian
menurut
> 0,05;

terkena PJK dibandingkan dengan


responden yang memiliki kebiasaan makan
yang baik. Namun, kemaknaan ini perlu
diinterpretasikan secara hati-hati karena
terdapat rentang yang cukup besar dari
hasil 95% CI.

Status Perkawinan dan Penyakit


Jantung Koroner
Berdasarkan hasil analisis bivariat
didapatkan tidak ada perbedaan kejadian
penyakit jantung koroner menurut status
perkawinan responden (Nilai P > 0,05;
OR=0,375; 95% CI=0,09-1,54).

Sikap terhadap Penurunan Berat Badan


dan Penyakit Jantung Koroner
Berdasarkan hasil analisis bivariat
didapatkan ada perbedaan kejadian
penyakit
jantung koroner
menurut
kebiasaan makan tentang PJK (Nilai P <
0,05; OR=6; 95% CI=1,46-24,69).
Responden yang memiliki sikap penurunan
berat badan yang buruk memiliki risiko 6
kali terkena PJK dibandingkan dengan
responden yang memiliki penurunan berat
badan yang baik. Namun, kemaknaan ini
perlu diinterpretasikan secara hati-hati
karena terdapat rentang yang cukup besar
dari hasil 95% CI.

Kebiasaan Merokok dan Penyakit


Jantung Koroner
Berdasarkan hasil analisis bivariat
didapatkan tidak ada perbedaan kejadian
penyakit
jantung koroner
menurut
kebiasaan merokok responden (Nilai P >
0,05; OR=0,778; 95% CI=0,19-3,13).
Riwayat Keluarga dan Penyakit
Jantung Koroner
Berdasarkan hasil analisis bivariat
didapatkan tidak ada perbedaan kejadian
penyakit jantung koroner menurut riwayat
keluarga (Nilai P > 0,05; OR=0,750; 95%
CI=0,17-3,33).

Sikap terhadap Kebiasaan Olahraga


dan Penyakit Jantung Koroner
Berdasarkan hasil analisis bivariat
didapatkan ada perbedaan kejadian
penyakit
jantung koroner
menurut
kebiasaan olahraga tentang PJK (Nilai P <
0,05;
OR=4,5;
95%
CI=1,5-20,7).
Responden yang memiliki sikap kebiasaan
olahraga yang buruk memiliki risiko 4,5
kali terkena PJK dibandingkan dengan
responden yang memiliki kebiasaan
olahraga yang baik. Namun, kemaknaan
ini perlu diinterpretasikan secara hati-hati
karena terdapat rentang yang cukup besar
dari hasil 95% CI.

Pengetahuan dan Penyakit Jantung


Koroner
Berdasarkan hasil analisis bivariat
didapatkan ada perbedaan kejadian
penyakit
jantung koroner
menurut
pengetahuan tentang PJK (Nilai P < 0,05;
OR=15,8; 95% CI=0,01-0,29). Responden
yang memiliki pengetahuan tinggi
memiliki risiko 15 kali terkena PJK
dibandingkan dengan responden yang
pengetahuan PJK-nya kurang. Namun,
makna ini bukan berarti secara langsung
responden yang pengetahuan PJKnya
tinggi terkena PJK. Arti yang sebenarnya
adalah responden yang mempunyai
pengetahuan tinggi dikarenakan mereka
terkena PJK, sehingga mereka mencari
informasi mengenai PJK.

Pembahasan
Suku dan Penyakit Jantung Koroner
Berdasarkan hasil analisis bivariat
didapatkan tidak ada perbedaan kejadian
penyakit jantung koroner menurut suku
responden (Nilai P > 0,05; OR=0,643;
95% CI=0,17-2,38). Berdasarkan hasil
analisis bivariat didapatkan tidak ada
perbedaan kejadian penyakit jantung
koroner
menurut
suku
responden.
Dikarenakan
penelitian
ini
hanya
dilakukan di wilayah Kalimantan Tengah,

Sikap terhadap Kebiasaan Makan dan


Penyakit Jantung Koroner
Berdasarkan hasil analisis bivariat
didapatkan ada perbedaan kejadian
penyakit
jantung koroner
menurut
kebiasaan makan tentang PJK (Nilai P <
0,05; OR=36; 95% CI=5,79-223,5).
Responden yang memiliki sikap kebiasaan
makan yang buruk memiliki risiko 36 kali
15

belum bisa menggambarkan karakteristik


perbedaan antara suku-suku.

OR=3,5; 95% CI=0,95-12,9). Berdasarkan


penelitian di RSUD dr. Doris Sylvanus di
dapatkan bahwa responden
yang
mengalami penyakit jantung koroner
memiliki tingkat pendidikan yang tinggi
(55%), sedangkan orang yang tidak
mengalami penyakit jantung koroner juga
lebih banyak pada tingkat pendidikan
tinggi (65%), namun Hasil uji statistik
ditemukan tidak terdapat hubungan
bermakna antara tingkat pendidikan
dengan kejadian PJK

Jenis Kelamin dan Penyakit Jantung


Koroner
Berdasarkan hasil analisis bivariat
didapatkan tidak ada perbedaan kejadian
penyakit jantung koroner menurut jenis
kelamin responden (Nilai P > 0,05;
OR=3,5; 95% CI=0,95-12,9). Hasil
analisis bivariat didapatkan tidak ada
perbedaan kejadian penyakit jantung
koroner menurut status perkawinan
responden. Dari hasil penelitian ditemukan
bahwa kasus PJK perempuan lebih banyak
yang mengalami kejadian yaitu sebesar 60
% dan laki-laki 40%, sedangkan kontrol
pada wanita lebih sedikit (30 %) daripada
laki-laki (70 %). Hal tersebut memiliki
perbedaan dengan survei penyakit jantung
yang pernah dilakukan di Semarang,
menemukan adanya perbedaan prevalensi
penyakit jantung antara pria, yaitu penyakit
jantung iskemik sebesar 15/124 atau 12,1
% pada pria, dan 16/119 atau 13,1% pada
wanita, sementara penyakit jantung
hipertensif sebesar 5/124 atau sebesar 4,0
% pada pria dan sebesar 13/119 atau 10,9
% pada wanita3. Penelitian lain yang
dikaitkan antara jenis kelamin dan usia
bahwa kejadian PJK sebelum usia 40
tahun, perbedaan kejadian PJK antara pria
dan wanita adalah 8 : 1, dan setelah usia 70
tahun perbandingannya adalah 1 : 1. Pada
pria insiden puncak manifestasi klinik PJK
adalah pada usia 50 60 tahun, sedangkan
pada wanita pada usia 60 70 tahun. Pada
wanita PJK terjadi sekitar 10-15 tahun
lebih lambat daripada pria dan risiko
meningkat
secara
drastis
setelah
menopouse4. American Heart Association
(2007)5 merilis hasil risetnya bahwa lakilaki memiliki risiko lebih besar terkena
serangan jantung dan kejadiannya lebih
awal dari pada wanita.
Pendidikan dan Penyakit
Koroner
Berdasarkan hasil analisis
didapatkan tidak ada perbedaan
penyakit
jantung koroner
pendidikan responden (Nilai P

Status Perkawinan dan Penyakit


Jantung Koroner
Berdasarkan hasil analisis bivariat
didapatkan tidak ada perbedaan kejadian
penyakit jantung koroner menurut status
perkawinan responden (Nilai P > 0,05;
OR=0,375; 95% CI=0,09-1,54). Hasil
analisis bivariat didapatkan tidak ada
perbedaan kejadian penyakit jantung
koroner menurut status perkawinan
responden. Dari hasil penelitian ditemukan
bahwa kasus PJK perempuan lebih banyak
yang mengalami kejadian yaitu sebesar 60
% dan laki-laki 40%, sedangkan kontrol
pada wanita lebih sedikit (30 %) daripada
laki-laki (70 %). Hal tersebut memiliki
perbedaan dengan survei penyakit jantung
yang pernah dilakukan di Semarang,
menemukan adanya perbedaan prevalensi
penyakit jantung antara pria, yaitu penyakit
jantung iskemik sebesar 15/124 atau 12,1
% pada pria, dan 16/119 atau 13,1% pada
wanita, sementara penyakit jantung
hipertensif sebesar 5/124 atau sebesar 4,0
% pada pria dan sebesar 13/119 atau 10,9
% pada wanita3.
Kebiasaan Merokok dan Penyakit
Jantung Koroner
Berdasarkan hasil analisis bivariat
didapatkan tidak ada perbedaan kejadian
penyakit
jantung koroner
menurut
kebiasaan merokok responden (Nilai P >
0,05; OR=0,778; 95% CI=0,19-3,13).
Berdasarkan hasil analisis bivariat
didapatkan tidak ada perbedaan kejadian
penyakit
jantung koroner
menurut
kebiasaan merokok responden. Cukup
menarik bahwa dalam kasus kejadian

Jantung
bivariat
kejadian
menurut
> 0,05;
16

penyakit jantung koroner maupun kontrol


data bahwa kebanyakan responden tidak
memiliki kebiasaan merokok. Hal ini di
tunjukkan bahwa klien dengan PJK hanya
berjumlah 25 %, sedangkan kontrol hanya
berjumlah 30 %. Hal ini sekilas tidak
mempegaruhi pola kesehatan respon,
namun merokok bukan faktor tunggal
untuk kejadian kesakitan. Walaupun
beberapa penelitian menunjukkan bahwa
kebiasaan merokok mempunyai kontribusi
pada angka kesakitan, seperti pada
penelitian di Lombok dan Jakarta
memperlihatkan 75% dan 61% pria dewasa
dan kurang dari 5% wanita dewasa
mempunyai
kebiasaan
merokok
menghabiskan rokok lebih dari 20 batang
per hari. Hubungan merokok dengan
kesehatan juga dapat dibuktikan oleh
SKRT Depkes 1972, 1980, 1986 dan 1992
dimana terlihat jelas peningkatan proporsi
kematian akibat penyakit kardiovaskuler
yaitu tahun 1972 sebesar 5,1% tahun 1980
sebesar 9,9%, tahun 1986 sebesar 9.7%
dan tahun 1992 sebesar 16,4 %6
Merokok adalah salah satu kebiasaan yang
identik dengan kebanyakan penyakit tidak
menular, termasuk terbukti hadir sebagai
faktor risiko pada penelitian di negaranegara kawasan Sub Sahara Afrika7.
Sebagian besar penderita penyakit jantung
adalah perokok8. Berdasarkan faktor yang
berhubungan dengan perilaku merokok ini,
Rachiotis dkk (2008)9 menemukan bahwa
laki-laki hampir dua kali berpotensi
merokok dibandingkan perempuan serta
usia yang lebih tua bahkan mencapai lima
kali berpotensi merokok dibandingkan
kelompok usia yang paling muda. Mereka
yang merokok juga dipengaruhi oleh
orangtuanya, baik orangtua laki-laki yang
merokok maupun orangtua perempuan
yang merokok, kecenderungannya lebih
besar untuk merokok dibandingkan dengan
orangtua
laki-laki
atau
orangtua
perempuan yang tidak merokok.
Faeh dkk (2006)10 juga menemukan pola
yang sama berhubungan dengan jenis
kelamin, yaitu bahwa ada kecenderungan
perilaku merokok pada anak laki-laki
dibandingan anak perempuan.

Riwayat Keluarga dan Penyakit


Jantung Koroner
Berdasarkan hasil analisis bivariat
didapatkan tidak ada perbedaan kejadian
penyakit jantung koroner menurut riwayat
keluarga (Nilai P > 0,05; OR=0,750; 95%
CI=0,17-3,33). Dalam riwayat penyakit
keluarga ditemukan bahwa rata-rata
responden, baik responden dengan PJK
maupun responden kontrol memiliki
riwayat
keluarga,
masing-masing
responden dengan PJK sebesar 80 % dan
kontrol 75 %. Hasil analisis bivariat
didapatkan tidak ada perbedaan kejadian
penyakit jantung koroner menurut riwayat
keluarga. Hal ini sejalan pendapat Peter, et
al, 199811 bahwa Faktor Risiko PJK, yaitu
kondisi
yang
berkaitan
dengan
meningkatnya risiko timbulnya PJK.
Faktor risiko tersebut diantaranya adalah
tekanan darah, merokok, lipid, diabetes
mellitus, obesitas, dan riwayat kelurga
dengan penyakit jantung. Sementara
Goldstein
and
Brwon
(1993)12,
mengatakan bahwa Penyakit jantung
koroner kadang-kadang bisa merupakan
manifestasi kelainan gen tunggal spesifik
yang berhubungan dengan mekanisme
terjadinya aterosklerotik. Dapat kita lihat
dari beberapa temuan di atas bahwa faktor
genetik dan riwayat keluarga memegang
kontribusi yang signifikan pada kejadian
PJK. Terdapat beberapa bukti bahwa
riwayat keluarga yang positif dapat
mempengaruhi usia onset PJK pada
keluarga dekat13
Pengetahuan dan Penyakit Jantung
Koroner
Berdasarkan hasil analisis bivariat
didapatkan ada perbedaan kejadian
penyakit
jantung koroner
menurut
pengetahuan tentang PJK (Nilai P < 0,05;
OR=15,8; 95% CI=0,01-0,29). Responden
yang memiliki pengetahuan tinggi
memiliki risiko 15 kali terkena PJK
dibandingkan dengan responden yang
pengetahuan PJK-nya kurang. Namun,
makna ini bukan berarti secara langsung
responden yang pengetahuan PJKnya
tinggi terkena PJK. Arti yang sebenarnya
adalah responden yang mempunyai
17

pengetahuan tinggi dikarenakan mereka


terkena PJK, sehingga mereka mencari
informasi mengenai PJK. Pengetahuan
merupakan salah satu aspek yang
ditempatkan dalam rentetan faktor yang
berhubungan perilaku. Tindakan seseorang
tidak selalu didasari oleh pengetahuan.
Proses perubahan perilaku seseorang
melalui beberapa tahap yaitu pengetahuan
sikap perilaku. Beberapa penelitian
membuktikan bahwa proses perubahan
perilaku tidak selalu melalui pengetahuan,
karena dalam praktek sehari-hari sering
terjadi sebaliknya yaitu kadang-kadang
seseorang bertindak tidak sesuai dengan
pengetahuan yang dimiliki. Supriyono,
(2008)14
dalam
penelitiannya
menyimpulkan bahwa aspek pengetahuan
tidak bermakna dan disimpulkan bahwa
tingkat pengetahuan bukan merupakan
faktor risiko terjadinya PJK pada usia < 45
tahun.

dapatkan risiko PJK yang lebih rendah


dibandingkan orang Amerika. Jadi diet
merupakan
faktor
penting
yang
berpengaruh terhadap tinggi rendahnya
kolesterol darah
Sikap terhadap Penurunan Berat Badan
dan Penyakit Jantung Koroner
Berdasarkan hasil analisis bivariat
didapatkan ada perbedaan kejadian
penyakit
jantung koroner
menurut
kebiasaan makan tentang PJK (Nilai P <
0,05; OR=6; 95% CI=1,46-24,69).
Responden yang memiliki sikap penurunan
berat badan yang buruk memiliki risiko 6
kali terkena PJK dibandingkan dengan
responden yang memiliki penurunan berat
badan yang baik. Namun, kemaknaan ini
perlu diinterpretasikan secara hati-hati
karena terdapat rentang yang cukup besar
dari hasil 95% CI. Obesitas adalah
kelebihan jumlah lemak tubuh >19% pada
laki-laki dan > 21% pada perempuan.
Obesitas sering didapatkan bersama-sama
dengan
hipertensi,
DM
dan
hipertrigliserdemi. Obesitas juga dapat
meningkatkan kadar kolesterol total dan
LDL kolesterol. Risiko PJK akan jelas
meningkat bila BB mulai melebihi 20%
dari BB ideal. Penderita yang gemuk
dengan kadar kolesterol yang tinggi dapat
menurunkan kadar kolesterolnya dengan
mengurangi BB melalui diet ataupun
menambah exercise. Diet merupakan
langkah pertama dalam penanggulangan
hiperkolesterolemi serta dapat menurunkan
berat badan.
Beberapa petunjuk diet untuk menurunkan
kolesterol: makanan harus mengandung
rendah lemak terutama kadar lemak jenuh
tinggi, mengganti susunan makanan yang
mengandung lemak jenuh dengan lemak
tak jenuh, makanan harus mengandung
rendah kolesterol, memilih makanan yang
tinggi karbohidrat atau banyak tepung dan
serat, makanan mengandung sedikit kalori
bila berat badan akan diturunkan pada
obesitas dan memperbanyak exercise

Sikap terhadap Kebiasaan Makan dan


Penyakit Jantung Koroner
Berdasarkan hasil analisis bivariat
didapatkan ada perbedaan kejadian
penyakit
jantung koroner
menurut
kebiasaan makan tentang PJK (Nilai P <
0,05; OR=36; 95% CI=5,79-223,5).
Responden yang memiliki sikap kebiasaan
makan yang buruk memiliki risiko 36 kali
terkena PJK dibandingkan dengan
responden yang memiliki kebiasaan makan
yang baik. Namun, kemaknaan ini perlu
diinterpretasikan secara hati-hati karena
terdapat rentang yang cukup besar dari
hasil 95% CI. Tampak bahwa pola diet
dalam hidup memegang peranan yang
cukup menentukan kejadian penyakit
khususnya PJK.
Coopers, (1998)15
menyatakan bahwa didapatkan hubungan
antara kadar kolesterol darah dengan
jumlah lemak didalam susunan makanan
sehari-hari (diet). Makanan orang Amerika
rata-rata mengandung lemak jenuh dan
kolesterol yang tinggi sehingga kadar
kolesterol darahnya cenderung tinggi
sedangkan
makanan
orang Jepang
umumnya berupa nasi, sayur-sayuran dan
ikan sehingga orang Jepang rata-rata kadar
kolesterol darahnya rendah dan di
18

terutama mahasiswa dalam lingkup


Keperawatan Medikal Bedah khusunya
Penyakit jantung.

Sikap terhadap Kebiasaan Olahraga


dan Penyakit Jantung Koroner
Berdasarkan hasil analisis bivariat
didapatkan ada perbedaan kejadian
penyakit
jantung koroner
menurut
kebiasaan olahraga tentang PJK (Nilai P <
0,05;
OR=4,5;
95%
CI=1,5-20,7).
Responden yang memiliki sikap kebiasaan
olahraga yang buruk memiliki risiko 4,5
kali terkena PJK dibandingkan dengan
responden yang memiliki kebiasaan
olahraga yang baik. Namun, kemaknaan
ini perlu diinterpretasikan secara hati-hati
karena terdapat rentang yang cukup besar
dari hasil 95% CI. Kecenderungan terkena
PJK nampaknya dapat dikurangi dengan
latihan fisik teratur dan terprogram sesuai
dengan standar usia dan kesehatan.
Dari penelitian di Havard selama 10 tahun
(1962-1972) terhadap 16.936 alumni
Universitas Havard di Amerika Serikat
menyimpulkan orang dengan latihan fisik
yang adekuat kemungkinan menderita
serangan PJK lebih kecil dibandingkan
dengan yang kurang melakukan aktifitas16.
Meskipun tekanan darah meningkat secara
tajam ketika sedang berolahraga, namun
jika berolahraga secara teratur akan lebih
sehat dan memiliki tekanan darah lebih
rendah dari pada mereka yang melakukan
olah raga. Olahraga yang teratur dalam
jumlah sedang lebih baik dari pada
olahraga berat tetapi hanya sekali17

Daftar Pustaka
1. , Survei Kesehatan Rumah
Tangga (SKRT) tahun 1996, 2001

Kesimpulan dan Saran


Karakteristik Faktor Resiko Kejadian
Penyakit Jantung Klien berusia muda di
Ruang ICCU RSUD dr. Doris Sylvanus
Palangka Raya, relatif menunjukkan
adanya suatu peningkatan,
walaupun
perubahan
ini
tidak
secara
signifikan,namun perlu menjadi perhatian
dalam upaya pemberikan komunikasi,
informasi dan edukasi kepada masyarakat
akan pentingnya pemahaman tentang
penyakit Jantung.
Penelitian
ini
diharapkan
dapat
dikembangkan pada area dan variabel yang
lebih luas khususnya di Kalimantan
Tengah, dan di harapkan penelitian ini
dapat bermanfaat bagi peneliti lain
19

2.

.., Data Ruang ICCU RSUD

3.

Dr.Doris Sylvanus Palangka Raya


tahun 2009 (2010)

4.

Bodhie Darmojo, R, Kris-Pranarka &


Sutrisno, B, Survei penyakit jantung
pada orang usia lanjut, Dalam :
Bunga Rampai Karangan Ilmiah,
Buku II,Kardiovaskular, 1994, 168179.

5.

Stangl V, et al, Coronary atherogenic


risk factors in women, Eur Heart J,
2002; 23: 1738-1752.

6.

American Heart Association (AHA)


Scientific Position, Risk factors and
coronary heart disease, AHA
Scientific Position, November 24,
2007, 1-3.

7.

Aulia Sani. 2004. Pelayanan Tiga


Tahun Pelayanan Klinik Berhenti
Merokok Yayasan Indonesia.
http://angelnet.info/index

8.

BeLue, R., Totilayo, A.O, Juliet, I.,


Kelly, D.T., Arnold, N.D., Charles,
A., dan Gbenga, O. 2009. An
Overview of Cardiovascular Risk
Factor Burden in sub-Saharan African
Countries:
A
Socio
Cultural
Perspective.
Globalization
and
Health, 2009, 5:10

9.

Ruckinger, S., Rudinger, V.K, dan


Andre, M.T., 2009. An Illustration of
and Programs Estimating Attributable
Fractions in Large Scale Surveys
Considering Multiple Risk Factors.
BMC Medical Research Methodology,
2009, 9:7

10. Rachiotis, G., Adamson, S.M.,


Emmanuel, R., Seter, S., Athina, K.,
Konstatinos, G., dkk. 2008. Factors
Associated with Adolescent Cigarette
Smoking in Greece: Results from A
Cross Sectional Study (GYTS Study).
BMC Public Health, 2008, 8:313

Cholesterol NIH Publications, Juni


1989.
18. Beevers D.G. 2002. Tekanan Darah.
Jakarta: Dian Rakyat.

11. Faeh, D., Bharathi, V., Arnaud, C.,


Wick, W., dan Pascal, B. 2006.
Clustering of Smoking, Alcohol
Drinking dan Cannabis Use In
Adolescents in A Rapidly Developing
Country. BMC Public Health, 2006,
6:169
12. Peter W.F Wilson, MD, Ralph B.D
Agostino, PhD, Daniel Levy, MD,
Albert M Belanger, BS, Helit
Silbershatz, PhD, William B Kennel,
MD, Prediction of
coronary heart disease using risk
factor catagories, Special Report
Sirculation, 1998; 97 : 18371847.
13. Goldstein JL, Brown MS, Familial
hypercholesterolemia, In Stanbury JB,
Wyngaarden JB, Fredrickson DS, et al
(eds): The Metabolic Basis of
Inherited Disease, 5th ed. New York,
McGraw Hill, 1983, pp. 672-712.
14. Huon H. Gray, Keith D. Dawkins,
John M. Morgan, Iain A. Simpson,
Lecture notes cardiology, Edisi 4,
Erlangga Medical Series, Jakarta,
2002, 107-150.
15. Supriyono, Mamat , Faktor-faktor
Risiko yang Berpengaruh terhadap
Kejadian Penyakit Jantung Koroner
pada Kelompok Usia Kurang 45
Tahun, Studi Kasus di RSUP Dr.
KARIADI DAN RS TELOGOREJO
Semarang, Thesis, 2008.
16. Coopers
K.H.:
Controlling
Cholesterol, Bantam Books, New
York, 1988
17. US Departement of Health & Human
Sevices : So You Have High Blood
20

21

PENGARUH STATUS FUNGSIONAL TERHADAP TINGKAT PENGETAHUAN,


SIKAP DAN MENTAL LANSIA
DI KECAMATAN KAMIPANG KABUPATEN KATINGAN
Natalansyah*, Marselinus Heriteluna*

Abstract : Elderly dependency occurs when they are experiencing declining function of the
sublime or suffering from various diseases. Dependency of elderly who live in cities will be
charged to children, especially women9. From the socio-economic aspects can be said if they
are adequate enough to meet all kinds of necessities of life, whether elderly people who have
children or not having children. The high degree of independence because they were among
the elderly has been used to complete the work in the household relating to the fulfillment of
his life Independence elderly people can be seen from the quality of mental health. Judging
from the quality of mental health, can put forward the results of the WHO expert group in
1959 (Hardywinoto, 1999)2. In Central Kalimantan are still many elderly who the parents are
still working and did not enjoy his old age as expected. In order to create an old and
hopefully society, it is necessary to study in an effort to determine the extent of the functional
aspects of cognitive ability, attitude & mental Elderly in order to socialize. This study aims to
determine the influence functional Status of the level of knowledge, attitude and mental
Elderly in the Village of Kamipang Katingan District. This was an observational study with
Quantitative Descriptive through sectional, because data collection, data interpretation and
conclusions from this research in the form of numbers and explanations. Research results
show that the value of the average age is 70 years older. Most of the elderly aged 67 years
and 76 years. The lowest age is 54 years older and the highest 93 years and most are women.
Measured functional status using Katz index showed that the elderly in the district was
largely to perform their activities independently (self-reliance in terms of eating, continent,
move to a room / small toilet, dressing, and bathing). This shows that the degree of
independence that occurs is closely related to the relevant efforts in meeting the needs without
depending on other parties. Cognitive and social status overall status is also good. From the
results of research and bivariate analysis of both variables: Functional status in this case
KATZs Index Measuring Tool that is connecting with cognitive status as measured by SPMSQ
obtained a very significant influence of such functional status and mental attitude. This
research is expected to be developed on a broader level, to see the condition of elderly in
Central Kalimantan and useful to other researchers, especially students who have an interest
in elderly issues
Keywords : Elderly Dependency, Functional status, Mental Attitude,Cognitive Status

eningkatnya jumlah penduduk


Lanjut Usia (Lansia), akan
berdampak
pada
semakin
besarnya beban yang ditanggung oleh
keluarga,masyarakat
dan
pemerintah,
terutama dalam penyediaan fasilitas dan
kesejahteraan bagi lansia. Berdasarkan hasil
penemuan di Indonesia menujukkan bahwa
62,3% lansia masih berpenghasilan sendiri,
59,4% sebagai Kepala keluarga, 53%
menanggung beban keluarga dan 27,5%
ditanggung oleh keluarga. Data diatas
memperlihatkan besarnya peran lansia baik

dari segi psikologis, spritual. Sosial ekonomi


status mental maupun kognitif.5
Semakin tua secara alami tingkat
kognitif akan mengalami kemunduran.
Kognitif Issue mengenai Kemampuan
kognitif atau penurunan intelektual selama
tahun-tahun masa dewasa merupakan suatu
hal yang provokatif. Menurut David
Wechsler (1972) dalam buku Tjokronegoro,
dkk, 199910 yang mengembangkan skala
inteligensi, menyimpulkan bahwa pada masa
lansia
dicirikan
dengan
penurunan
intelektual, karena adanya proses penuaan

* Jurusan Keperawatan Politeknik Kesehatan Kemenkes Palangka Raya

21

yang dialami setiap orang. Sementara, John


Horn (1980) dalam buku Potter, 20057
berpendapat bahwa beberapa kemampuan
memang menurun, sementara kemampuan
lainnya tidak. Horn menyatakan bahwa
kecerdasan yang mengkristal (crystallized
intelligence=yaitu sekumpulan informasi dan
kemampuan-kemampuan
verbal
yang
dimiliki individu) meningkat, seiring dengan
peningkatan usia. Sedangkan kecerdasan
yang mengalir (fluid intelligence=yaitu
kemampuan seseorang untuk berpikir
abstrak) menurun secara pasti sejak masa
dewasa madya.
Ketergantungan lanjut usia terjadi
ketika mereka mengalami menurunnya
fungsi luhur /pikun atau mengidap berbagai
penyakit . Ketergantungan lanjut usia yang
tinggal di perkotaan akan dibebankan kepada
anak, terutama anak wanita2. Dari aspek
sosial ekonomi dapat dikatakan jika cukup
memadai dalam memenuhi segala macam
kebutuhan hidup, baik lanjut usia yang
memiliki anak maupun yang tidak memiliki
anak. Tingginya tingkat kemandirian mereka
diantaranya karena orang lanjut usia telah
terbiasa menyelesaikan pekerjaan di rumah
tangga yang berkaitan dengan pemenuhan
hayat hidupnya Kemandirian orang lanjut
usia dapat dilihat dari kualitas kesehatan
mental.
Di Kalimantan Tengah masih banyak
lansia yang masih bekerja dan tidak
menikmati masa tuanya sebagaimana yang
diharapkan. Dalam rangka menciptakan
lansia yang memiliki pengharapan akan
kualitas kehidupan optimal, maka diperlukan
suatu kajian untuk mengetahui sejauh mana
pengaruh aspek kemampuan fungsional
terhadap aspek kognitif, sikap dan mental
Lansia.

Kemudian diberikan pertanyaan melalui


kuesioner. Komponen yang ditanyakan dan
dinilai meliputi
kemampuan fungsional
yang meliputi kemampuan makan, berpindah
ke kursi roda, kebersihan diri, aktifitas di
toilet, mandi, berjalan, naik-turun tangga,
berpakaian, mengontrol buang air besar dan
kecil. Sedangkan untuk status kognitif juga
dilakukan pertanyaan
yang meliputi
kemampuan memori,orientasi dan matematis
dan status social meliputi adaptasi,
pertumbuhan,
afeksi,
hubungan
dan
pemecahan. Penelitian ini merupakan
penelitian Deskriptif Kuantitatif. Tempat
pelaksanaannya bertempat di desa pada
Kecamatan Kamipang Kabupaten Katingan.
Subyek penelitian yang digunakan dalam
penelitian ini adalah 120 lansia. Pemilihan
ini didasarkan pertimbangan jumlah lansia.
Alat penelitian yang digunakan dalam
penelitian ini adalah tape recorder, kaset
rekaman , alat ukur kemampuan fungsional
dengan indeks KATZ dan Status Kognitif
dan Afektif dengan SPMSQ. Dan status
Mental dan Sosial di ukur dengan APGAR
Score. Jalannya Penelitian adalah melalui
Tahap Pengumpulan data yang dilakukan
pada 120 responden yang tersebar di 6 (
enam ) desa yang berada di kecamatan
kamipang Kabupaten Katingan. Hasil data
dari 120 responden dilakukan editing dan
coding kemudian untuk pengolahan data
dilakukan dengan menggunakan aplikasi
statistik pada program komputer
dengan
menggunakan analisis chi-square.
HASIL PENELITIAN
Karakteristik Lansia
Dari tabel 1 didapatkan nilai rata-rata usia
lansia yaitu 70 tahun. Lansia terbanyak yaitu
usia 67 tahun dan 76 tahun. Usia lansia
terendah yaitu 54 tahun dan tertinggi 93
tahun. Variasi usia lansia, tidak bervariasi.
Hal ini terlihat dari nilai mean, median, dan
modus tidak berbeda jauh.

METODA PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan dengan
memilih sample
sebanyak 120 lansia.

22

Tabel 1.
Status Fungsional dan kognitif Lansia
di Kecamatan Kamipang, Kabupaten Katingan, 2009
No.
Karakteristik
n=120
n
%
1 Jenis Kelamin
Laki-laki
47
39,2
Perempuan
73
60,8
2

Status Fungsional
Tidak mandiri
Mandiri
Status Kognitif
Intelektual utuh
Intelektual ringan
Intelektual sedang
Intelektual berat

Gambaran Status Fungsional dan


Kognitif
Lansia di Kecamatan Kamipang lebih
banyak berjenis kelamin perempuan (60,8%)
dibandingkan dengan laki-laki (39,2%)
(Tabel 2). Dilihat dari status fungsionalnya
para lansia di kecamatan ini sebagian besar
(92,5%) dapat melakukan kegiatannya
secara mandiri (kemandirian dalam hal
makan,
kontinen,
berpindah,
ke
kamar/jamban kecil, berpakaian, dan mandi).
Sedangkan dilihat dari status kognitif para
lansia, yang mempunyai intelektual utuh
sebanyak 67,5% dan yang memiliki
intelektual sedang maupun berat kurang dari
15% (berturut-turut 11,7% dan 0,8%).
Nilai APGAR Lansia
1. Adaptasi
Adaptasi pada lansia paling banyak pada
situasi selalu (59,2%).
2. Hubungan
Hubungan pada lansia paling banyak
pada situasi kadang-kadang (55,8%).
3. Pertumbuhan
Pertumbuhan pada lansia paling banyak
pada situasi kadang-kadang (60,8%).

23

9
111

7,5
92,5

81
24
14
1

67,5
20,0
11,7
0,8

4. Afeksi
Hubungan pada lansia paling banyak
pada situasi kadang-kadang (57,5%).
5. Pemecahan Masalah
Hubungan pada lansia paling banyak
pada situasi kadang-kadang (54%).
APGAR keluarga diperkenalkan oleh
Smilkstein, merupakan alat ukur untuk
mengukur disfungsi sosial. Ada lima item
pertanyaan untuk mendeteksi disfungsi
sosial yaitu item adaptasi, hubungan,
pertumbuhan, afeksi, dan pemecahan
masalah. Masing-masing item diberi skor 0
untuk status fungsi sosial buruk, skor 1
untuk status fungsi sosial sedang, skor 2
untuk status fungsional sosial baik.
Pada penelitian ini didapatkan status sosial
lansia di Kecamatan Kamipang 56,7%
memiliki status sosial baik dan 41,7% status
sosialnya sedang. Hanya 1,7% lansia
memiliki status sosial buruk.
ANALISIS BIVARIATE
Analisis
yang
digunakan
untuk
menghubungkan antara variabel independent
(umur, jenis kelamin, status fungsional, dan
status kognitif lansia) dengan variabel
dependent (status sosial lansia) yaitu analisis
chi square. Pada analasis ini semua variabel

independent berskala nominal/ordinal dan


variabel
dependennya
berskala
nominal/ordinal.
Variabel status sosial yang semula tiga
kategori diubah menjadi dua kategori dengan
pertimbangan ada sel yang jumlah
kelompoknya kosong. Demikian pula
dengan variabel status kognitif, terjadi

penggabungan sel karena ada sel yang


jumlahnya nol, sehingga persyaratan uji chi
square tidak terpenuhi. Hasil analisis chi
square yang diperoleh yaitu semua variabel
independent tidak terdapat perbedaan status
sosial lansia (status sosial sedang atau baik)
dapat dilihat pada tabel 2 :

Tabel 2.
Hubungan antara Variabel Independen dengan APGAR Lansia, di Kecamatan
Kamipang, Kabupaten Katingan, 2009
Variabel
n = 120
OR Nilai 95% CI Ket
*
P
Status
Status
Total
Sosial
Sosial
Sedang
Baik
n
%
n
%
n
%
Umur
Lansia
33 51,6
31 48,4 64 100 0,6 0,23
0,31
NS
Lansia risti
35 62,5
21 37,5 56 100
1,33
Jumlah
68 56,7
52 43,3 120 100
Jenis Kelamin
Laki-laki
29 61,7
18 38,3 47 100 1,4 0,37
0,66NS
Perempuan
39 53,4
34 46,6 73 100
0,296
Jumlah
68 56,7
52 43,3 120 100
Status Fungsional
Tidak mandiri
5
55,6
4
44,4
9 100 1,0 0,94 0,24-3,74 NS
Mandiri
63 56,8
48 43,2 111 100
Jumlah
68 56,7
52 43,3 120 100
Status Kognitif
Intelektual utuh
49 60,5
32 39,5 81 100 1,2 0,50 0,72-1,99 NS
Intelektual ringan
10 41,7
14 58,3 24 100
Intelektual
9
60
6
40,0 15 100
sedang_berat
68 56,7
52 43,3 120 100
Jumlah
*Uji Chi Square, Bermakna pada Nilai P>0,05 dan tidak bermakna pada nilai P>0,05
67 tahun dan 76 tahun. Usia lansia terendah
yaitu 54 tahun dan tertinggi 93 tahun.
Pengaruh yang terlihat antara rentang umur
dengan hasil penelitian yang terlihat baik
dikarenakan batasan usia diatas termasuk
usia kronologis yang cukup mudah untuk di
implementasikan, hal ini sesuai dengan
pendapat dari Suparjo (1982) dalam
Setiabudi, dkk, 19998 menyatakan bahwa
informasi tentang usia selalu hampir
tersedia dalam sumber data kependudukan.

PEMBAHASAN
Karakteristik Responden
Pada umumnya responden menunjukkan
bahwa tingkat kemandirian yang banyak
terjadi di wilayah Kecamatan Kamipang
Kabupaten Katingan. Pada aspek kognitif
mempunyai intelektual yang masih utuh,
demikian pula mengenai sikap dan mental
yang terlihat pada status social yang ada
sebagain besar baik. Dari Karateristik yang
terlihat didapatkan nilai rata-rata usia lansia
yaitu 70 tahun. Lansia terbanyak yaitu usia
24

keluarga
dan
lingkungannya.
Jika
kebutuhan kebutuhan tersebut tidak
terpenuhi akan timbul masalah-masalah
dalam kehidupan orang lanjut usia yang
akan menurunkan kemandiriannya.

Kemandirian/Status Fungsional
Lansia di Kecamatan Kamipang status
fungsionalnya
yang
diukur
dengan
menggunakan Indeks Katz menunjukkan
bahwa para lansia di kecamatan ini
sebagian besar
dapat melakukan
kegiatannya secara mandiri (kemandirian
dalam hal makan, kontinensia, berpindah,
ke kamar/jamban kecil, berpakaian, dan
mandi). Hal ini menunjukkan bahwa tingkat
kemandirian yang terjadi berhubungan erat
dengan upaya yang bersangkutan dalam
memenuhi kebutuhan tanpa tergantung
dengan pihak lain. Tingginya tingkat
kemandirian mereka diantaranya karena
orang
lanjut
usia
telah
terbiasa
menyelesaikan pekerjaan di rumah tangga
yang berkaitan dengan pemenuhan hayat
hidupnya Kemandirian orang lanjut usia
dapat dilihat dari kualitas kesehatan mental.
Menurut Koswara (1991) dalam
Prasetyaningrum, 20096 menyatakan bahwa
kebutuhan manusia meliputi (1) Kebutuhan
fisik
(physiological
needs)
adalah
kebutuhan fisik atau biologis seperti
pangan, sandang, papan, seks dan
sebagainya. (2) Kebutuhan ketentraman
(safety needs) adalah kebutuhan akan rasa
keamanan dan ketentraman, baik lahiriah
maupun batiniah seperti kebutuhan akan
jaminan hari tua, kebebasan, kemandirian
dan sebagainya (3) Kebutuhan sosial (social
needs)
adalah
kebutuhan
untuk
bermasyarakat atau berkomunikasi dengan
manusia lain melalui paguyuban, organisasi
profesi, kesenian, olah raga, kesamaan
hobby dan sebagainya (4) Kebutuhan harga
diri (esteem needs) adalah kebutuhan akan
harga
diri
untuk
diakui
akan
keberadaannya, dan (5) Kebutuhan
aktualisasi diri (self actualization needs)
adalah kebutuhan untuk mengungkapkan
kemampuan fisik, rohani maupun daya pikir
berdasar pengalamannya masing-masing,
bersemangat untuk hidup, dan berperan
dalam kehidupan. Demikian pula Setiati,
20009. Menyatakan bahwa Kebutuhan
orang lanjut usia membutuhkan rasa
nyaman bagi dirinya sendiri, serta rasa
nyaman terhadap lingkungan yang ada.
Tingkat pemenuhan kebutuhan tersebut
tergantung pada diri orang lanjut usia,

Status Kognitif
Status kognitif para lansia yang didapat dari
hasil penelitian menunjukkan intelektual
utuh. Kondisi tersebut mencerminkan
bahwa kemampuan orientasi, memori dan
matematis pada kondisi baik dan hal ini
tidak sesuai dengan pendapat Carrol,
(1999)1 yang menyatakan bahwa lansia
akan mengalami penurunan status kognitif
apabila status psikisnya terganggu, hal ini
berbeda dengan masyarakat desa dan kota,
apa yang terjadi dimungkinkan berbeda.
Dan yang lebih menarik lagi adalah kondisi
yang ada di Indonesia menunjukkan
Mereka sering berperan sebagai model bagi
generasi muda, walaupun sebetulnya
banyak diantara mereka tidak mempunyai
pendidikan formal Pengalaman hidup lanjut
usia merupakan pewaris nilai-nilai sosal
budaya sehingga dapat menjadi panutan
bagi
kesinambungan
kehidupan
bermasyarakat dan berbudaya. Walaupun
sangat sulit untuk mengukur berapa besar
produktivitas budaya yang dimiliki orang
lanjut usia, tetapi produktivitas tersebut
dapat dirasakan manfaatnya oleh para
generasi penerus mereka.
Status Sosial
Status Sosial dalam penelitian ini
menggunakan APGAR keluarga, hal ini
untuk mendeteksi disfungsi sosial yaitu
item adaptasi, hubungan, pertumbuhan,
afeksi, dan pemecahan masalah. Pada
penelitian ini didapatkan status sosial lansia
di Kecamatan Kamipang memiliki status
sosial baik, hal ini sesuai dengan pendapat
Menurut Tjokronegoro (1999)10 ada dua
syarat yang harus dipenuhi bagi perilaku
yang menjurus pada pertukaran sosial : (1)
Perilaku tersebut berorientasi pada tujuantujuan yang hanya dapat dicapai melalui
interaksi dengan orang lain (2) Perilaku
harus bertujuan untuk memperoleh sarana
bagi pencapaian tujuan. Tujuan yang
hendak dicapai dapat berupa imbalan
25

intrinsik, yaitu imbalan dari hubungan itu


sendiri, atau dapat berupa imbalan
ekstrinsik, yang berfungsi sebagai alat bagi
suatu imbalan lain dan tidak merupakan
imbalan bagi hubungan itu sendiri. Jadi
pada
umumnya
kebahagiaan
dan
penderitaan manusia ditentukan oleh
perilaku orang lain. Sama halnya pada
tindakan manusia yang mendatangkan
kesenangan disatu pihak dan ketidak
senangan di pihak lain. Lebih lanjut
dikatakan oleh Hasyim Adelina (2009)3
bahwa interaksi sosial tidak akan mungkin
terjadi apabila tidak memenuhi dua syarat,
yaitu : (1) Adanya kontak sosial. Dengan
perkembangan teknologi sekarang ini
kontak sosial dapat dilakukan melalui,
surat, telepon, radio dan sebagainya. (2)
Adanya komunikasi. Berkomunikasi adalah
suatu proses yang setiap hari dilakukan.
Akan tetapi komunikasi bukanlah suatu hal
yang mudah. Sebagai contoh salah paham
merupakan hasil dari komunikasi yang
tidak
efektif
dan
sering
terjadi.
Berkomunikasi dengan orang lanjut usia
merupakan hal lebih sulit lagi. Hal ini
disebabkan lanjut usia memiliki ciri yang
khusus dalam perkembangan usianya. Ada
dua sumber utama yang menyebabkan
kesulitan berkomunikasi dengan lanjut usia,
yaitu penyebab fisik dan penyebab psikis.
Penyebab fisik, pendengaran lanjut usia
menjadi berkurang sehingga orang lanjut
usia sering tidak mendengarkan apa yang
dibicarakan. Secara psikis, orang lanjut usia
merasa mulai kehilangan kekuasaan
sehingga ia menjadi seorang yang lebih
sensitif , mudah tersinggung sehingga
sering menimbulkan kesalah pahaman.
Simulasi yang bersifat simultif/merangsang
lanjut usia untuk berpikir, dan kemampuan
berpikir lanjut usia akan tetap aktif dan
terarah.

Pengaruh yang sangat signifikan. Kondisi


ini menunjukkan bahwa untuk dapat
beraktivitas sehari-hari, keadaan intelektual
para lansia juga sangat berpengaruh
terhadap kelangsungan aktivitas tersebut
secara baik, hal ini sesuai dengan pendapat
Raharjo (996) dalam Mubarak, 20064
Meskipun secara alamiah terjadi penurunan
fungsi berbagai organ, tetapi tidak harus
menimbulkan penyakit oleh karenanya usia
lanjut harus sehat dan mampu beraktivitas.
Adanya aspek lain yang menunjukkan
bahwa status fungsional semakin berkurang
terhadap status kognitif hal ini wajar terjadi
karena semakin tua sudah banyak terjadi
penurunan secara kumulatif seperti :
Genetic clock (proses menua terprogram
secara genetic ); Erros Catastrope / Mutasi
somatic (Kesalahan beruntun dalam jangka
waktu yang lama dalam jangka transkripsi
dan dan transaksi); Auto Immune (Proses
metabolisme tubuh suatu saat diproduksi
zat khusus); Radikal bebas (terbentuk
dialam bebas yang berdampak pada sulitnya
sel bergenerasi secara bebabas); Pemakaian
dan rusak; Immunology slow virus theory (
sistem akan kurang efektif dengan
bertambahnya usia); Stress (kelebihan
usaha menyebabkan kerusakan organ
tubuh); Rantai silang (sel semakin tua,
ikatan semakain kuat dan kaku dan
hilangnya fungsi); Program (kemampuan
organisme untuk menetapkan sel yang
membelah
setelah
sel-sel
mati)
2
Hardywinoto (1999)
Pengaruh Status Fungsional terhadap
Sikap dan Mental
Dari hasil Penelitian dan analisis bivariat
variable status Fungsional yang dalam hal
ini alat ukurnya Indeks Kats yang di
hubungkan dengan status Sosial yang
diukur dengan APGAR score di Kecamatan
Kamipang Kabupaten Katingan didapatkan
Pengaruh yang sangat signifikan. Dalam
judul penelitian ini aspek sikap dan mental
yang merupakan bagian dari status sosial
tidak dapat dianalisis secara spesifik,
namun
hasil
secara
menyeluruh
menunjukkan bahwa status fungsional
cukup berpengaruh terhadap status sosial
hal ini menunjukkan bahwa sangat penting

Pengaruh Status Fungsional terhadap


status Kognitif
Dari hasil Penelitian dan analisis bivariat
kedua variable, yaitu status Fungsional
yang dalam hal ini alat ukurnya Indeks kats
yang di hubungkan dengan status kognitif
yang diukur dengan SPMSQ di Kecamatan
Kamipang Kabupaten Katingan didapatkan
26

lansia untuk beraktivitas dan mencapai


kepuasan hidup5

Hidup Para Lanjut Usia. Jakarta :


Gramedia.
9. Setiati, Siti. dkk. 2000. Pedoman
Pengelolaan
Kesehatan
Pasien
Geriatric Untuk Dokter Dan Perawat.
Pusat Informasi dan Penerbitan bagian
Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : FK UI
10. Tjokronegoro, Arjatmo. dkk. 1999.
Buku Ajar Geriatric Ilmu Kesehatan
Lanjut Usia. Jakarta : FK UI.

Kesimpulan dan Saran


Rata-rata usia lansia yaitu 70 tahun. Lansia
terbanyak yaitu usia 67 tahun dan 76 tahun.
Usia lansia terendah yaitu 54 tahun dan
tertinggi 93 tahun. lebih banyak berjenis
kelamin perempuan. Intelektual utuh, status
sosial baik. Terdapat Pengaruh yang
signifikan antara status fungsional dengan
status kognitif dan status fungsional yang di
hubungkan dengan status Sosial didapatkan
Pengaruh yang sangat signifikan.
Diharapkan dengan adanya penelitian ini,
dapat dikembangkan pada tingkat yang
lebih luas, untuk melihat kondisi lansia
yang di Kalimantan Tengah.
Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi
peneliti lain khususnya mahasiswa yanag
mempunyai minat terhadap masalah lansia

Daftar Pustaka
1. Carol A, Miller. 1999. Nursing Care Of
Older Adult. Lippincott : Philadelphia
2. Hardywinoto, setiabudi tony. 1999.
Panduan Gerontology Tinjauan Dari
Berbagai Aspek. PT. persada utamatirta
lestari : Jakarta.
3. Hasyim Adelina, 2009 Meningkatkan
kondisi Kesejahteraan Sosial, Lemlit
Jakarta
accesed:
http:
www.
google.Lansia, 2009
4. Mubarak, 2006, Perawatan Komunitas,
Salemba Medika Jakarta
5. Notoatmojo, Soekidjo.1993. Metode
Penelitian Kesehatan.Jakarta : Rineka
cipta
6. Prasetyaningrum,2009,
Perdebatan
Tentang Penurunan Intelektual Dewasa
Akhir.
http.www.google
Lansia,
(accessed 16 agustus 2009)
7. Perry,
Potter.2005.
Buku
Ajar
Fundamental Keperawatan Konsep ,
Proses, Praktik.Edisi 4. Jakarta EGC.
8. Setiabudi, Toni. dkk.1999. Panduan
Gerontologi Tinjauan Dari Berbagai
Aspek Menjaga Keseimbangan Kualitas

27

PENGARUH MOTIVASI KERJA PETUGAS TERHADAP PELAKSANA TB PARU


DENGAN STRATEGI DOTS
DI PUSKESMAS INDUK PALANGKA RAYA
Natalansyah*, Marselinus Heriteluna*, Yongwan Nyamin*

Abstract : Prevention Tubercolusis Program lead by Republic Indonesia Ministry recently using
Directly Treatment Shortcourse (DOTS) strategy recommended by WHO and this program is
politicaly commitment by government1. Recently DOTS program is not already yet reach all of
the health center (Puskesmas), in other hand, the longterm porpuses of TB program is to
reducing of morbidity case mortality case and spreading and short term purposes of TB program
is 85% cured of BTA + client in fact achieve about 70% of all TB client. In Central Kalimantan
this program carried out since 1995 in health center program concept that is consist of
microscopic rever health center, independent health center, with variaed health care/provider the
purposes of TB Program provider influencing their action in field. This research is quantitative
descriptive research, in where data collecting data interpretation and conclusion is in number
and description. The result: motivation of TB care giver in Palangka Raya Health center shows
good aspect, primarily to peer satisfaction, TB care provider aged less than 30 years old tend to
have good work compare to more than years old. In aspect of education TB care provider which
is have low level education is better than the high one is work. The term of work the old one is
better than new one. Another result show that respondent with low achievement of work tend to
low in enthusisasm and bigger than the high one. Low recognized respondent with low
responsibility has a bad enthusiastic and bigger than the good one. Education, motivation in
high level education of TB care giver tend to 1 8 times better than the low level of eduvation.
High motivation TB Care giver tend to show 5,6 times better than the low one. This research
hopefully brings positive contribution to development program in health system, primarily to TB
program within education, training and good facility.
Keywords : Motivation, DOTS Strategy, TB Programs

ebagaimana Visi Indonesia Sehat 2010


yang
telah
dirumuskan
oleh
Departemen Kesehatan dinyatakan
bahwa gambaran masyarakat Indonesia di
masa depan yang ingin dicapai melalui
pembangunan kesehatan adalah masyarakat,
bangsa dan negara yang ditandai oleh
penduduknya hidup dalam lingkungan dan
dengan perilaku yang sehat, memiliki
kemampuan untuk menjangkau pelayanan
kesehatan yang bermutu secara adil dan
merata, serta memiliki derajat kesehatan yang
setinggi-tingginya diseluruh wilayah Republik
Indonesia2. Salah satu kendala untuk
mencapai derajat kesehatan yang setinggitingginya bagi masyarakat masih banyak
penyakit menular khususnya Tuberkulosis

Paru. Penyakit Tuberkulosis Paru menjadi


masalah kesehatan di dunia dan di Indonesia.
WHO
(World
Health
Organization),
menyatakan bahwa Tuberkulosis paru saat ini
telah menjadi ancaman global, dan
diperkirakan 1,9 milyar manusia atau
sepertiga
penduduk
dunia
terinfeksi
Tuberkulosis Paru. Di Indonesia pada tahun
2002, Tuberkulosis merupakan masalah utama
kesehatan masyarakat,
jumlah pasien
Tuberkulosis Paru di Indonesia merupakan
ketiga terbanyak di dunia setelah India dan
Cina dengan jumlah pasien sekitar 10% dari
total jumlah pasien Tuberkulosis Paru dunia13
Insidens
Tuberkulosis
Paru
dilaporkan meningkat secara drastis pada

* Jurusan Keperawatan Politeknik Kesehatan Kemenkes Palangka Raya

28

dekade terakhir ini diseluruh dunia termasuk


juga di Indonesia. Penyakit ini biasanya
banyak terjadi pada negara berkembang atau
yang mempunyai tingkat sosial ekonomi
menengah ke bawah. Tuberkulosis Paru
merupakan penyakit infeksi penyebab
kematian dengan urutan atas atau angka
kematian (mortalitas) dan angka kejadian
penyakit (morbiditas) yang tinggi serta
diagnosis dan terapi yang cukup lama2

meningkatkan ketrampilan dan pengetahuan.


Selain itu perlunya penyegaran (refreshing
course) yang dilakukan 2-3 kali / tahun.
Penanggulangan
TB-Paru
diperlukan
kemitraan dari departemen terkait, karena TB
bukan masalah penyakit saja tetapi masalah
sosial, sehingga keterlibatan masyarakat,
swasta, lembaga swadaya masyarakat sangat
diperlukan. Dalam aspek penyembuhan peran
keluarga dan adanya petugas yang berfungsi
mengawasi dalam PMO.

Dalam
Pedoman
Nasional
Penanggulangan
Tuberkulosis
yang
dikeluarkan Departemen Kesehatan Republik
Indonesia (Depkes RI) Tahun 2008 bahwa
pada tahun 2006, WHO memperkirakan setiap
tahun terjadi 764.000 kasus baru dengan
kematian karena Tuberkulosis Paru sekitar
150.000. Secara kasar diperkirakan setiap
100.000 penduduk Indonesia terdapat 150
penderita baru Tuberkulosis Paru BTA positif.

Program penanggulangan TB-Paru


dengan strategi DOTS telah dilaksanakan di
Kalimantan Tengah sejak tahun tahun 1995
dengan Konsep Puskesmas Program (KPP)
yang terdiri dari Puskesmas Rujukan
Mikroskopik
(PRM)
dan
Puskesmas
Pelaksana Mandiri (PPM) dengan tenaga
bervariasi dari SPR, SPK dan tenaga
laboratorium.

Program penanggulangan TB-Paru


saat ini dilakukan oleh Departemen Kesehatan
RI dengan menggunakan Strategi Directly
Observed Treatment Shortcourse (DOTS)
yang direkomendasi WHO2 adalah: Komitmen
politis dari pengambil keputusan masyarakat;
Diagnosis dengan pemeriksaan miskroskopis
dahak penderita; Jaminan ketersediaan obat
dan jalur distribusinya; Pengobatan dan
pengawasan langsung oleh PMO (Pengawas
Minum Obat); menggunakan pencatatan dan
pelaporan untuk mempermudah pemantauan
dan pembinaan. Sampai saat ini program
penanggulangan TB-Paru dengan strategi
DOTS belum dapat menjangkau seluruh
Puskesmas yang ada, sedangkan tujuan jangka
panjang program penanggulangan TB-Paru
adalah menurunkan angka kesakitan, kematian
dan penularan dan tujuan jangka pendek
adalah angka kesembuhan mencapai 85% dari
penderita BTA (+) yang pada kenyataannya
hanya tercapai 70% dari semua penderita TBParu 1 Tenaga program TB-Paru mulai dari
jenjang terbawah (Puskesmas) sampai
tertinggi (pusat), bagi tenaga pelaksana TB
yang baru wajib mengikuti pelatihan atau
minimal in service trainning, dengan tujuan

Berdasarkan
data
dari
Dinas
Kesehatan Propinsi Kalimantan Tengah kasus
Tuberkulosis Paru pada tahun 2008 dengan
BTA positif berjumlah 1.215 kasus, dan pada
tahun 2009 terdapat 1.240 kasus BTA positif.
Berdasarkan angka-angka tersebut di
atas terlihat kasus Tuberkulosis Paru terjadi
peningkatan dibanding tahun sebelumnya. Hal
ini menunjukkan betapa seriusnya masalah
Tuberkulosis Paru, untuk itu perlu dilakukan
upaya pelayanan kesehatan semaksimal
mungkin, setidaknya untuk menekan angka
kejadian
sehingga
jumlah
penderita
Tuberkulosis Paru dapat dipantau dan dapat
ditindak lanjuti agar tidak terjadi komplikasi
lebih lanjut. Salah satu upaya pemerintah
adalah
menjadikan
pemberantasan
Tuberkulosis Paru menjadi program nasional.
Manajemen terapi yang tidak efektif
sangat mempengaruhi proses penularan dan
penyembuhan,
selain
itu
rendahnya
pengetahuan penderita dan keluarga tentang
bahaya penyakit Tuberkulosis Paru untuk
dirinya, keluarga, dan masyarakat sekitarnya,
makin besar bahaya si penderita.

29

Sebagai sumber penularan, baik di


rumah maupun di tempat pekerjaannya, untuk
keluarga dan orang-orang di sekitarnya.
Sebaliknya pengetahuan yang baik tentang
penyakit ini, akan menolong masyarakat
untuk menghindarinya, selain permasalahan
diatas permasalahan yang tidak kalah
pentingnya adalah motivasi petugas pelaksana
yang berperan dalam tercapainya program.

berjumlah 67,4% dan yang kurang atau sama


dengan 30 tahun berjumlah 32,6%. Sebagian
besar responden berjenis kelamin perempuan
(76,1%). Pendidikan responden sudah banyak
yang berpendidikan D3 (63%), yang
berpendidikan SMA sebanyak 23,9%, yang
berpendidikan sampai dengan perguruan
tinggi hanya 13%. Responden sebagian besar
berstatus PNS (97%) dan sisanya 3% berstatus
CPNS, dan semua petugas merupakan
pelaksana di tempat mereka bekerja. Lamanya
responden bekerja 47,8% yaitu 10-20 tahun.
Kurang dari 20 tahun sebanyak 37% dan lebih
dari 20 tahun sebanyak 15,2%.

Metode Penelitian
Lokasi Penelitian bertempat di
Puskesmas Induk yang ada di Kota Palangka
Raya dan dilaksanakan pada bulan Oktober
sampai dengan akhir bulan Desember 2010.
Penelitian ini direncanakan pelaksanaannya
dengan memilih sampel petugas pelaksana
TB-Paru yang ada di Puskesmas Induk.
Kemudian diberikan pertanyaan melalui
kuesioner. Komponen yang ditanyakan dan
dinilai meliputi motivasi kerja (prestasi,
pengakuan, tanggung jawab, wewenang, dan
promosi) dalam pelaksanaan strategi DOTS.
Sedangkan penatalaksanaannya dilihat dari
kinerja petugas pelaksana yang meliputi
(kerjasama, inisiatif, kemampuan, kualitas dan
kuantitas). Penelitian ini merupakan penelitian
Deskriptif Kuantitatif Survey Observasional
melalui pendekatan crosss sectional. Populasi
adalah seluruh Petugas Pelaksana TB- Paru
dengan Strategi DOTS yang berada di
Puskesmas Induk Palangka Raya dan sampel
adalah Petugas Pelaksana TB Paru sejumlah
46 responden.
Pengumpulan Data dilakukan pada
petugas Pelaksana di Puskesmas Induk di
Kota Palangka Raya dan hasil data dari
responden dilakukan editing dan selanjutnya
dilakukan coding kemudian untuk pengolahan
data. Pengolahan data dilakukan dengan
menggunakan aplikasi statistik pada program
komputer.

Motivasi Petugas Pelaksana


Motivasi Petugas Pelaksana Program
TB Paru di Puskesmas Kota Palangka Raya
menunjukkan aspek yang baik, terutama pada
kepuasan rekan kerja, 65,2% responden
mengungkapkan tentang bagaimana rekanrekan mendukung, hal ini sependapat dengan
motivasi menurut Claude S. George, F.W
Taylor, serta Abraham Maslow yang
menyatakan hubungan dengan tempat dan
suasana dilingkungan bekerja yang kondusif
dapat berdampak pada kepuasan kerja. Selain
itu upaya motivasi dapat meningkatkan
kinerja menurut sebagian besar responden
yaitu 73,9% menyatakan baik, hal ini
sependapat dengan clelland, bahwa status
motivasi merupakan kebutuhan manusia untuk
mencapai atau menduduki tingkatan tertantu
di dalam sebuah kelompok, organisasi atau
masyarakat. Dan Parson juga menambahkan
karakteristik kepribadian dapat meningkatkan
kualitas perseorangan. Motivasi pelaksana Tb
paru lebih besar di jawab respoden adalah
tanggung jawab terhadap tugas sesuai dengan
kemampuan hal ini mendorong sesorang
untuk bekerja secara maksimal serta terarah,
hal ini terlihat dari adil atau tidaknya seorang
atasan. Menurut Equaty Theory (Victor H
Vroom) dalam mumuh (2005)8, menyatakan
bahwa semangat kerja seseorang tergantung
dari daya penggerak pimpinan yang bertindak
adil dan sesuai dengan kemampuannya.
Adapun mendapat penghargaan dalam bekerja
39,1 persen petugas kurang setuju, hal ini

HASIL
Analisis Univariate
Karakteristik Responden
Dari 46 responden yang diteliti pada
umumnya tingkat umur responden pada
penelitian ini berumur lebih dari 30 tahun
30

sesuai dengan Elton Mayo (1949) dalam


Mangkunegara (2001)7, kepuasan manusia itu
jamak baik psikologis maupun biologis /
material maupun non material.

fungsi suatu pekerjaan atau apa yang akan


dihasilkan.
Analisis Bivariate
Dalam
melaksanakan
tugasnya
responden dalam bekerja selalu minta ide
bawahan, bekerjasama, ketepatan waktu, baik
dilakukan sesuai dengan fungsinya, dan
menurut George dan Jones, 2002 dalam buku
Robbins, dkk, (2003)9, menunjukkan bahwa
rekan kerja yang mendukung adalah kondisi
untuk mengisi kebutuhan akan sosial. Tetapi
perilaku atasan juga merupakan determinan
utama dari kepuasan. Adapun mengenai hasil
kerja yang mengutamakan kualitas, responden
masih dianggap baik meskipun tidak pada
posisi yang signifikan. Hal ini sependapat
dengan Siagian, 200110, menyatakan bahwa
hasil merupakan ukuran sejauh mana setiap
produk jasa dapat memenuhi kebutuhan yang
diharapkan masyarakat.

Pelaksanaan Strategi DOTS


Indikator kerja klinis yang diterapkan pada
petugas pelaksana sebagai langkah untuk
mewujudkan komitmen kerja individu
maupun tim. Model pengembangan dan dan
manajemen kinerja klinis bagi perawat dan
bidan, dimulai dari First Line Manager.
Responden (petugas pelaksana TB Paru) di
Puskesmas Kota Palangka Raya. Dalam
melakukan aktivitasnya lebih dikarenakan
adanya perintah dan sesuai dengan anjuran
pimpinan, sebesar 93,5%, kondisi ini
memperlihatkan bahwa adanya kesepakatan
antara
bawahan
dan
atasan
dalam
menghasilkan kerja (out come), hal ini
menurut Gibson (1996) dalam Hasibuan
(2003)6, bahwa kinerja ditekankan pada

Tabel. 1
Hubungan Kinerja dengan Berbagai Variabel Jenis Kelamin, Umur, Pendidikan, Status
Kepegawaian, Lama Bekerja Responden di Puskesmas Kota Palangka Raya Tahun 2010
Kinerja
Buruk
Jenis Kelamin
Laki-laki
Wanita
Total
Umur
>30 thn
30 thn
Total
Pendidikan
SMA
PT
Total
Status Kepeg
PNS
CPNS
Total
Lama Kerja
<20 thn
10-20 thn
>20 thn
Total

Total

Baik

Nilai P

OR

95% CI

0,585

1,47

0,36-5,96

36,4%

63,6%

11

100%

16

45,7%

19

54,3%

35

100%

20
16

43,5%
51,6%

26
15

56,5%
48,4%

46
31

100%
100%

0,110

0,34

0,09-1,31

4
20
4

26,7%
43,5%
36,4%

11
26
7

73,3%
56,5%
63,6%

15
46
11

100%
100%
100%

0,586

1,5

0,36-5,96

16
20
20

45,7%
43,5%
44,4%

19
26
25

54,3%
56,5%
55,6%

35
46
45

100%
100%
100%

0,375

0
20
8

0
43,5%
47,1%

1
26
9

100%
56,5%
52,9%

1
46
17

100%
100%
100%

0,685

1,4

0,58-3,22

10
2
26

45,5%
28,6%
56,6%

12
5
20

54,5%
71,4%
43,5%

22
7
46

100%
100%
100%

Hasil analisa bivariate dari tabel.1 di atas, dapat dijelaskan di bawah ini :

31

Hubungan Kinerja menurut jenis kelamin


Secara statistik hasil penelitian ini
menyatakan tidak ada hubungan yang
bermakna (signifikan) antara jenis kelamin
dengan kinerja petugas pelaksana TB Paru di
Puskesmas Induk Palangka Raya. Dimana
dari petugas yang berjenis kelamin laki-laki,
sebagian besar mempunyai kinerja baik
(63.6%). Sedangkan dari petugas yang
berjenis kelamin perempuan, sebagian besar
dengan kinerja baik (54.3%). Hasil penelitian
ini menunjukkan bahwa petugas laki-laki
mempunyai peluang berkinerja lebih besar
dibandingkan petugas perempuan. Hal ini
tidak sesuai dengan sejarah awal dari profesi
keperawatan (Florence Nightingale) yang
identik dengan pekerjaan yang didasari oleh
kasih sayang, kelembutan seorang ibu atau
perempuan. Hasil penelitian ini sejalan
dengan hasil penelitian yang dilakukan Faisal
Rizal (2005)4 yang menyatakan tidak ada
hubungan yang bermakna antara jenis
kelamin dengan kinerja karyawan tidak
sejalan dengan penelitian ini.

Rizal (2005)4 yang menyatakan tidak ada


hubungan yang bermakna antara umur dengan
kinerja
karyawan.
Siagian
(2002)10
menyatakan bahwa terdapat korelasi antara
kinerja dan kepuasan kerja dengan umur
seorang karyawan, artinya kecenderungan
yang sering terlihat adalah bahwa semakin
lanjut umur karyawan, kinerja dan tingkat
kepuasan kerjanya pun biasanya semakin
tinggi. Berbagai alasan yang sering
dikemukakan menjelaskan fenomena ini,
antara lain adalah adanya sikap yang dewasa
dan matang mengenai tujuan hidup, harapan,
keinginan, dan cita-cita bagi karyawan yang
lebih tua. Sebaliknya, para karyawan yang
lebih muda usianya, kepuasan kerja
cenderung lebih kecil, karena berbagai
pengharapan yang lebih tinggi, kurang
penyesuaian dan penyebab-penyebab lainnya
serta pengalaman yang relatif lebih rendah.
Hubungan Kinerja Menurut Tingkat
Pendidikan
Menurut Kristianto (2000) dalam Faisal
(2005)4, pendidikan berarti perbuatan atau
proses
perbuatan
untuk
memperoleh
pengetahuan. Dalam pengertian yang agak
luas, pendidikan dapat diartikan sebagai
sebuah proses dengan metode-metode tertentu
sehingga orang memperoleh pengetahuan,
pemahaman, dan cara bertingkah laku sesuai
dengan kebutuhan. Dalam pengertian yang
luas dan refresentatif, pendidikan adalah
seluruh tahapan pengembangan kemampuankemampuan dan perilaku-perilaku manusia
dan juga proses penggunaan hampir seluruh
pengalaman kehidupan.

Hubungan Kinerja Menurut Umur


Umur merupakan salah satu faktor yang
cukup dominan terhadap pembentukan kerja
seseorang. Menurut Gibson (1996) dalam
Hasibuan (2003)6, umur sebagai sub variabel
demografik mempunyai efek tidak langsung
pada perilaku kerja individu. Secara statistik
hasil penelitian ini menyatakan tidak ada
hubungan yang bermakna antara umur dengan
kinerja petugas TB Paru di puskesmas Induk
Palangka Raya. Petugas yang berumur > 30
tahun, sebagian besar mempunyai kinerja baik
(48.4%). Sedangkan dari petugas yang
berumur < 30 tahun, sebagian besar dengan
kinerja baik (73.3%). Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa petugas yang berumur >
30 tahun cenderung mempunyai peluang
berkinerja baik dibandingkan petugas yang
berumur < 30 tahun. Hasil penelitian ini tidak
sejalan dengan penelitian yang dilakukan
Yaslis Ilyas (2002), Mumuh (2005) dan Faisal

Hasil penelitian ini menyatakan tidak


ada hubungan yang bermakna antara tingkat
pendidikan dengan Petugas Pelaksana TB.
Paru di Puskesmas Induk Palangka Raya.
Dimana dari petugas dengan tingkat
pendidikan yang rendah, sebagian besar
mempunyai kinerja baik (63.6%). Sedangkan

32

dari petugas dengan tingkat pendidikan yang


tinggi, sebagian besar dengan kinerja baik
(54.3%). Hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa petugas dengan tingkat pendidikan
rendah (SMA, SPK) mempunyai peluang
berkinerja baik lebih besar dibandingkan
petugas dengan tingkat pendidikan Perguruan
Tinggi (D.III dan D. IV Keperawatan). Hasil
penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian
Mumuh (2005) dan Faisal Rizal (2005)4 yang
menyatakan tidak ada hubungan yang
bermakna antara tingkat pendidikan dengan
kinerja karyawan.

orang. Status kepegawaian sebagai CPNS dan


PNS adalah suatu proses kepegawaian
seseorang yang ditetapkan oleh pemerintah,
dan bukanlah hal multak menjamin kinerja
petugas.
Apalagi
bertugas
dengan
keterbatasan yang dimiliki baik pengalaman,
kemampuan teknis serta sarana dan prasarana.
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian
yang dilakukan Riyadi di RSUD Dr. Moh.
Anwar Sumenep Madura menunjukkan tidak
ada hubungan antara status kepegawaian
dengan kinerja perawat 11
Hubungan Kinerja Menurut Lama
Bekerja
Pengalaman adalah guru yang paling
baik mengajarkan kita tentang apa yang telah
kita lakukan, baik itu pengalaman baik
maupun buruk, sehingga kita dapat memetik
hasil dari pengalaman tersebut. Semakin lama
bekerja semakin banyak pengalaman dan
semakin banyak kasus yang ditangani akan
membuat seorang petugas akan mahir dan
terampil dalam menyelesaikan pekerjaan
sebagaimana hasil penelitian menunjukkan
tidak ada hubungan yang bermakna antara
umur berpengaruh terhadap kinerja. Hal ini
dibuktikan hasil.
Penelitian menunjukan kinerja baik
adalah mereka yang bekerja di atas 20 tahun
sebesar 71,4% dibandingkan mereka yang
memiliki masa kerja di bawah 20 tahun
sebesar 52,9%. Keberhasilan bidan dalam
meningkatkan kinerjanya bukan semata-mata
terletak pada masa kerja tetapi lebih dari itu
yaitu harus bisa menempatkan diri di antara
teman sejawat dan pandai bergaul, sehingga
adanya rasa saling membutuhkan walaupun
masa kerjanya sudah lama, tetapi ia masih
tetap bersemangat menjalankan tugas dan
bekerja secara profesional sesuai tugas yang
diberikan. Hasil penelitian ini sependapat
dengan George dan Jones, 2002 dalam buku
Hasibuan (2003)5 yang menyatakan bahwa
kepuasan kerja merupakan feelings dan beliefs
yang dimiliki orang tentang pekerjaanya.

Pendidikan merupakan karakteristik


individu yang menjadi sumber status yang
penting dalam organisasi kerja. Pendidikan
yang diikuti jenjang kepangkatan adalah
imbang dari status yang tinggi. Semakin
tinggi pendidikan yang dicapai, besar
keinginan untuk memanfaatkan kemampuan
dan keterampilannya dalam mencapai
kedudukan yang lebih tinggi dalam organisasi
(Siagian, 2002)10. Oleh sebab itu, semakin
tinggi tingkat pendidikan seseorang, akan
semakin pula tuntutannya atas pekerjaannya
sehingga mempengaruhi kepuasan kerjanya.
Dengan perkataan lain, dengan tingkat
pendidikan yang tinggi, akan berpengaruh
terhadap jenjang kepangkatan seorang
karyawan, dan berdampak pada kepuasan
kerja yang tinggi, sebab dengan ditunjang
oleh jenjang kepangkatan dan upah yang
memadai, maka seorang karyawan akan lebih
mudah memenuhi kebutuhannya.
Hubungan
Kinerja
Kepegawaian

Menurut

Status

Status kepegawaian seseorang akan


berpengaruh terhadap kinerja karena dengan
status yang jelas seorang pegawai akan
merasa tenang dengan masa depannya
sekaligus sebagai prestise di lingkungan
kerja. Hasil penelitian menunjukan kinerja
petugas TB Paru di Puskesmas Induk
Palangka Raya 55,6% baik, dengan status
PNS sedangkan yang masih CPNS hanya 1
33

kecenderungan, responden dengan prestasi


kerja rendah memiliki kinerja buruk sebesar
57,1% lebih besar dari responden dengan
prestasi kerja tinggi. Responden dengan
kinerja baik lebih banyak terdapat pada
responden dengan motivasi pretasi kerja yang
tinggi (68%) dibandingkan dengan responden
yang motivasinya rendah (42,9%). Dengan
kata lain Responden dengan prestasi kerja
yang buruk memiliki kinerja buruk sebesar
2,8 kali dibandingkan dengan prestasi kerja
yang baik. Faktor yang mempengaruhi
pencapaian prestasi kerja yang baik menurut
Mangkunegara (2000)10 menyatakan salah
satu faktor yang mempengaruhi pencapaian
prestasi kerja yang baik adalah : Faktor
Motivasi, Motivasi terbentuk dari sikap
(attitude)
seorang
karyawan
dalam
menghadapi
situasi
kerja.
Motivasi
merupakan kondisi menggerakkan diri
karyawan yang terarah untuk mencapai tujuan
organisasi.

Hubungan Kinerja Menurut Motivasi


Motivasi sebagai upaya yang dapat
memberikan dorongan kepada seseorang
untuk mengambil suatu tindakan yang
dikehendaki, sedangkan motif sebagai daya
gerak seseorang untuk berbuat. Karena
perilaku seseorang cenderung berorientasi
pada tujuan dan didorong oleh keinginan
untuk mencapai tujuan tertentu.
Hasil penelitian menunjukkan tidak ada
perbedaan yang signifikan antara motivasi
dan kinerja responden. Responden dengan
motivasi rendah memiliki kerja buruk sebesar
63,6% lebih besar dari responden dengan
motivasi tinggi. Responden dengan kinerja
baik lebih banyak terdapat pada responden
dengan motivasi tinggi (75%) di banding
dengan responden yang motivasinya rendah.
Hal ini sependapat dengan Robbins, 20019
yang menyatakan bahwa dalam konteks
pekerjaan, motivasi merupakan salah satu
faktor penting dalam mendorong seorang
karyawan untuk bekerja. Motivasi adalah
kesediaan individu untuk mengeluarkan
upaya yang tinggi untuk mencapai tujuan
organisasi.

Motivasi Pengakuan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
ada perbedaan yang signifikan antara motivasi
pengakuan kerja dan kinerja responden.
Responden motivasi pengakuan rendah
memiliki kinerja buruk sebesar 65,2% lebih
besar dari responden dengan pengakuan kerja
tinggi. Responden dengan kinerja baik lebih
banyak terdapat pada responden dengan
motivasi pengakuan kerja yang tinggi (78,3%)
dibandingkan dengan responden yang
pengakuan motivasinya rendah (34,8%).

Motivasi Prestasi Kerja


Handoko (2000)8 menyatakan bahwa:
Penilaian prestasi kerja (performance
appraisal) adalah proses melalui mana
organisasi mengevaluasi atau menilai prestasi
kerja karyawan. Kegiatan ini dapat
memperbaiki keputusan-keputusan personalia
dan memberikan umpan balik kepada para
karyawan tentang pelaksanaan kerja mereka.
Prestasi kerja yang dicapai karyawan
merupakan suatu hal yang sangat penting
dalam menjamin kelangsungan hidup
organisasi. Dalam mencapai prestasi kerja
yang
tinggi
beberapa
faktor
yang
mempengaruhi menjadi pemicu apakah
prestasi kerja karyawan tinggi atau rendah.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak
ada perbedaan yang signifikan antara prestasi
kerja dan kinerja responden. Namun ada

Dengan kata lain Responden dengan


pengakuan kerja yang buruk memiliki kinerja
buruk sebesar 6,75 kali dibandingkan dengan
pengakuan kerja yang baik. Menurut Hezberg
dalam Handoko. H, 20015 hal-hal yang
mendorong karyawan adalah pekerjaan yang
menantang yang mencakup perasaan untuk
berprestasi, bertanggung jawab, kemajuan
dapat menikmati pekerjaan itu sendiri dan
adanya pengakuan atas semuanya itu.

34

Motivasi Tanggung Jawab


Tanggung jawab mengarah pada kinerja
tindakan dari tugas, mencakup tindakan para
staf dalam memberikan pelayanan kesehatan
untuk kesejahteraan . Hasil penelitian tidak
ada perbedaan yang signifikan antara motivasi
tanggung jawab dan kinerja responden.
Namun ada kecenderungan, responden
dengan tanggung jawab rendah memiliki
kinerja buruk sebesar 63,6% lebih besar dari
responden dengan tanggung jawab yang
tinggi. Responden dengan kinerja baik lebih
banyak terdapat pada responden dengan
motivasi tanggung jawab yang tinggi (62,9%)
dibandingkan dengan responden yang
tanggung jawab rendah (36,4%).

Dimana
berikut:

interpretasinya

adalah

sebagai

Dengan kata lain responden dengan


motivasi tanggung jawab yang buruk
memiliki kinerja buruk sebesar 2,9 kali
dibandingkan dengan tanggung jawab yang
baik. Meskipun tidak bermakna, menurut
Tjahjono,200511 yang perlu diperhatikan dari
pelaksanaan
tanggung
jawab
adalah
memahami secara jelas tentang uraian tugas
dan spesifikasinya serta dapat dicapai
berdasarkan standar yang berlaku atau yang
disepakati. Hal ini berarti petugas mempunyai
tanggung jawab yang dilandasi oleh
komitmen, dimana mereka harus bekerja
sesuai fungsi tugas yang dibebankan
kepadanya.

Motivasi Petugas pelaksana Program TB


Paru di Puskesmas Kota Palangka Raya
menunjukkan aspek yang baik, terutama pada
kepuasan rekan kerja, dan tentang bagaimana
rekan-rekan mendukung. Demikian juga
adanya perintah dan sesuai dengan anjuran
pimpinan karena kesepakatan antara bawahan
dan atasan dalam menghasilkan kerja (out
come), Hasil penelitian menunjukkan bahwa
pengakuan rendah memiliki kinerja lebih
besar dari responden dengan pengakuan kerja
tinggi. Sedangkan responden dengan kinerja
baik lebih banyak terdapat pada responden
dengan motivasi pengakuan kerja yang tinggi
dibandingkan dengan responden yang
pengakuan motivasinya rendah.

1. Petugas kesehatan dengan latar belakang


pendidikan sekolah menengah 1,8 kali
untuk memiliki kinerja yang buruk
dibandingkan dengan petugas kesehatan
dengan latar belakang pendidikan tinggi
setelah dikontrol oleh variabel lain.
2. Petugas kesehatan dengan motivasi yang
rendah memiliki kinerja yang buruk 5,6
kali dibandingkan dengan petugas
kesehatan yang motivasinya tinggi setelah
dikontrol oleh variabel lain.
Kesimpulan dan Saran

Analisis Multivariate
Berdasarkan hasil analisa Multivariate
dengan menggunakan Regresi Logistik di
dapatkan hasil permodelan persamaan
variabel. Dari analisis multvariat variabel
yang masuk ke dalam persamaan regresi yaitu
pendidikan dan motivasi. Berikut adalah
persamaan regresi logistik pada kinerja tenaga
kesehatan dalam melaksanakan DOTS: Logit
y (kinerja) = -0,495 + 1,8*edu + 5,6*motivasi

Variabel yang masuk ke dalam persamaan


regresi yaitu pendidikan dan motivasi, dimana
Petugas kesehatan dengan latar belakang
pendidikan sekolah menengah 1,8 kali untuk
memiliki kinerja yang buruk dibandingkan
dengan petugas kesehatan dengan latar
belakang pendidikan tinggi setelah dikontrol
oleh variabel lain, sedangkan Petugas
kesehatan dengan motivasi yang rendah
memiliki kinerja yang buruk 5,6 kali
dibandingkan dengan petugas kesehatan yang

35

motivasinya tinggi setelah dikontrol oleh


variabel lain.

6. Hasibuan. M. 2003. Organisasi dan


Motivasi
:
Dasar
Peningkatan
Produktivitas. Jakarta: Bumi Aksara.
7. Mangkunegara, AP. 2001. Manajemen
Sumber Daya Manusia Perusahaan
(Cetakan Ketiga). Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya Offset.
8. Mumuh. 2005. Hubungan Kepuasan
Kerja dengan Kinerja Perawat di RSUD
Sekarwangi Kabupaten Sukabumi. Tesis
Program Pascasarjana
9. Robbins, S.P. Alih Bahasa Pujaatmaka, H
& Molan, B. 2003, Perilaku Organisasi:
Konsep Kontroversi, Aplikasi, Edisi
kedelapan. Jakarta: PT Prenlindo.
10. Siagian, Sondang (2002). Manajemen
Sumber Daya Manusia. Jakarta : Bumi
Aksara
11. Tjahjono. Kuntjoro. 2005. Pengembangan
Manajemen Kinerja Perawat Dan Bidan
Sebagai Strategi Dalam Peningkatan
Mutu Klinis.
12. World Health Organization (2000)
"Design and Implementation of Health
Information System", Genewa.

Penelitian diharapkan dapat memberikan


kesempatan berkembang kepada petugas
pelaksana TB Paru untuk dapat mengikuti
pendidikan dan pelatihan. Memperbaiki dan
melengkapi sarana yang membuat nyaman
ruangan tempat kerja dan Melengkapi sarana /
perlengkapan kerja yang memadai .
Meningkatkan intensif diluar gaji resmi sesuai
dengan jasa pelayanan yang diberikan
misalnya, intensif kinerja dan lain sebagainya.
Memberikan hadiah/penghargaan berupa uang
bagi petugas dengan kinerja terbaik/teladan
secara periodik.

DAFTAR PUSTAKA
1. Depkes. RI. 1995. Rancangan Pedoman
Pengembangan Sistem Jenjang Karir
Profesional Perawat. Jakarta : Direktorat
Keperawatan dan Keteknisian Medik
Dirjen Yan Med Depkes RI.
2. _________. 2005. Keputusan Menteri
Kesehatan
RI
nomor
:
836/MENKES/SK/VI/2005
tentang
Pedoman Pengembangan Manajemen
Kinerja Perawat dan Bidan. Jakarta :
Depkes RI
3. Edward E. Lawler. Dampak Kinerja
Terhadap Kepuasan Kerja. Editor
Usmara,
dalam
Handbooks
of
Organization. Yogyakarta : Amara
Books., 2003.
4. Faisal Rizal. 2005. Faktor-Faktor yang
Berhubungan dengan Kepuasan Kerja
Pegawai Dinas Kesehatan Kotamadya
Jakarta Barat Tahun 2004. Tesis Program
Pascasarjana
Program
Studi
Ilmu
Kesehatan
Masyarakat
Universitas
Respati Indonesia.
5. Handoko, T. Hani 2001. Manajemen
Personalia dan Sumber Daya Manusia.
Yogjakarta : BPFE .

36

ANALISIS DETERMINAN SISA MAKANAN LAUK NABATI PADA MENU


MAKANAN BIASA PASIEN KELAS III
DI RSUD dr. DORIS SYLVANUS PALANGKARAYA
Dhini*, Munifa*, Yetti Wira Citerawati *
Abstract : This study is an observational analytic research with the design crossectional.
The research objective determinants know the cause of food waste concerning vegetable at
regular meals lunch menu class III patients in hospitals Doris Sylvanus Palangkaraya. A
sample of 97 patients in August, which was in third grade and getting regular meals, most
patients are male sex as many as 51 people (52.6%) women as many as 46 people (47.4%).
Most samples of the Dayak tribe of 54 people (55.7%). Nutrient intake of concerning
vegetable food grade III patients in hospitals dr. Doris Sylvanus Palangkaraya for energy
nutrients by an average of 63.9 calories, with a standard hospital 91.8 calories per day, so
that of energy intake by 69.6%, so the remaining energy: 30.4%. Nutrients average protein at
3.5 grams with a standard hospital of 5.1 grams per day so the% of protein intake by 68.6%,
so the remaining 31.4% protein. Fat Nutrients average of 4.4 grams with a standard hospital
of 6.1 g per day, so the% of fat intake by 72.2%, so the remaining 27.8% fat. Nutrients
Carbohydrates average of 4.0 gr with standard hospital / day of 5.3 gr. so% carbohydrate
intake by 75.5%, so the remaining 24.5% carbohydrate. There is a difference in taste to the
rest of the concerning vegetable on the regular food menu class III patients in the Hospital
dr. Doris Sylvanus Palangkaraya.
Keywords : food waste concerning vegetable

* Jurusan Gizi Politeknik Kesehatan Kemenkes Palangka Raya

37

PENDAHULUAN

siang pasien kelas III di RSUD dr. Doris


Sylvanus Palangka Raya belum pernah
dilakukan dan dapat menganalisis faktorfaktor yang berpengaruh terhadap sisa
makanan lauk nabati pada menu makanan
biasa pasien kelas III di RSUD dr. Doris
Sylvanus Palangka Raya.

Pelayanan gizi merupakan rangkaian


kegiatan terapi gizi medis yang
merupakan upaya preventif, promotif
kuratif serta rehabilitative dalam rangka
mencapai kesehatan pasien/klien yang
dilakukan di institusi kesehatan baik di
puskesmas dan rumah sakit.1
Pelayanan gizi di rumah sakit adalah
pelayanan gizi yang disesuaikan dengan
keadaan pasien dan berdasarkan keadaan
klinis, status gizi dan status metabolisme
tubuhnya. Pelayanan Gizi Rumah Sakit
adalah kegiatan pelayanan gizi di rumah
sakit baik rawat jalan maupun rawat inap.
Pelayanan gizi Rumah Sakit yang baik
sangat berpengaruh dalam menyediakan
makanan berkualitas sehingga dapat
mempercepat penyembuhan pasien.1
Dari hasil evaluasi persepsi pasien
dan pengamatan sisa makanan pasien
terhadap siklus menu sepuluh hari di
Instalasi Gizi RSUD Sunan Kalijaga
Demak tahun 2002 menunjukkkan hasil
sisa : makanan pokok 39 %, lauk hewani
25 % lauk nabati 37 %, sayur 29 % dan
buah habis dikonsumsi oleh pasien. Hasil
tersebut masih tinggi dari target di
instalasi gizi RSUD Sunan Kalijaga
Demak yaitu sisa makanan dihitung rata
rata 10 % dari yang disajikan.
Menurut Djamaludin (2002) dalam
penelitiannnya, yang dilakukan di RS dr.
Sardjito Yogyakarta, menunjukkan bahwa
sisa lauk hewani rata-rata perhari 9,69%
dari standar makanan rumah sakit,
sedangkan biaya yang terbuang untuk sisa
lauk hewani rata-rata perhari sebesar RP.
399,24,Pasien yang dilayani atau yang
mendapat makan pada tahun 2009 (Januari
Mei) sebanyak 23.944 orang. Jumlah
pasien kelas III dari bulan Januari Mei
2009 yang mendapat makanan dengan
bentuk nasi biasa sebanyak 3389 orang,
jadi rata-rata pasien per bulan sebanyak
678 orang.3
Penelitian tentang sisa makanan lauk
nabati pada menu makanan biasa makan

METODE
Penelitian yang dilakukan merupakan
penelitian observasional analitik secara cross
sectional. Penelitian dilakukan di RSUD dr.
Doris Sylvanus Palangka Raya pada bulan
Juli sampai dengan September 2009.
Populasi penelitian ini adalah semua pasien
yang dirawat inap pada kelas III di RSUD dr.
Doris Sylvanus Palangka Raya pada bulan
Agustus 2009. Sampel yang digunakan
dalam penelitian ini adalah semua pasien
yang di rawat inap pada kelas III di ruang C,
D dan E di RSUD dr. Doris Sylvanus
Palangka Raya pada bulan Agustus 2009.
Subjek yang akan diteliti adalah pasien
rawat inap dengan kriteria sebagai berikut:
a. Pasien laki-laki dan perempuan dewasa
yang berusia 18 tahun ke atas.
b. Bersedia di jadikan sebagai subjek
penelitian.
c. Mampu berkomunikasi dengan baik.
d. Mendapatkan makanan biasa.
e. Sedang di rawat inap dalam satu siklus
menu.
Besar sampel dalam penelitian ini
adalah sesuai kriteria subyek penelitian yang
dibatasi oleh lamanya waktu penelitian yaitu
satu siklus menu (10 hari). Sampel yang
digunakan pada penelitian ini adalah
sebanyak 97 pasien pada bulan agustus yang
berada di kelas III dan mendapatkan
makanan biasa.
Variabel yang diteliti dalam penelitian
ini terdapat dua variabel yaitu variabel
independen yang meliputi karateristik pasien
(umur, jenis kelamin, suku, pendidikan), cita
rasa makanan, lama rawat inap. Sedangkan
variabel kedua adalah variabel dependen
yaitu sisa lauk nabati pada makanan biasa
disajikan ke pasien kelas III di RSUD dr.
Doris Sylvanus Palangka Raya.

38

Data yang diperoleh, ditabulasi


kemudian dilakukan analisis menggunakan
regresi linier berganda.

sentralisasi.
Berdasarkan bentuk makanannya,
rumah sakit dr. Doris Sylvanus Palangka
Raya membedakan dalam bentuk makanan
biasa dan makanan lunak dengan standar
porsi yang telah ditetapkan untuk tiap jenis
makanan. Pada penelitian ini, pasien
yang diteliti adalah pasien yang mendapatkan
makanan biasa berupa nasi biasa dan jenis
dietnya tidak bervariasi / bukan diet khusus.
Karakteristik pasien meliputi umur,
jenis kelamin, suku dan pendidikan. Sampel
yang digunakan pada penelitian ini adalah
sebanyak 97 pasien pada bulan agustus yang
berada di kelas III dan mendapatkan
makanan biasa. Karakteristik pasien secara
umum disajikan pada tabel di bawah ini:

HASIL DAN PEMBAHASAN


Penyelenggaraan makanan bagi
pasien disesuaikan dengan kondisi
masing-masing
pasien
dengan
memperhatikan kebutuhan dan kondisi
penyakit pasien. Siklus menu yang
digunakan adalah siklus menu 10 hari,
dengan pembagian makanan yaitu tiga kali
makanan utama di tambah snack dan buah
dengan frekuensi yang berbeda tiap kelas
perawatan. Cara distribusi makanan
kepada pasien menggunakan sistem

Tabel 1. Distribusi Karakteristik Pasien


No
1

Variabel
Jenis kelamin:
Laki-laki
Perempuan
Umur:
< 25
> 25
Pendidikan:
SD
SLTP
SMA
Mahasiswa
Suku:
Dayak
Banjar
Jawa
Madura
NTT

Sebagian besar pasien berjenis


kelamin laki-laki yaitu sebanyak 51 orang
(52,6%)
dibandingkan
perempuan
sebanyak 46 orang (47,4%). Sebagian
besar umur pasien lebih banyak berumur
kurang dari 25 tahun dan pendidikan
pasien sebagian besar 33 orang (34%)
pendidikan SD. Sedangkan pasien lebih
banyak berasal dari suku dayak yaitu
sebanyak 54 orang (55,7%).

51
46

52,6
47,4

55
42

56,7
43,3

33
16
47
1

34
16,5
48,5
1

54
15
22
2
4

55,7
15,5
22,7
2,1
4,1

RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya.


Yang dimaksud dengan lama rawat
inap pada penelitian ini adalah jumlah hari
yang di perlukan pasien mulai dari masuk
rumah sakit sampai selesainya waktu
pengambilan data penelitian. Pada penelitian
ini, lama rawat inap pasien bervariasi antara
1 sampai dengan 22 hari. Pasien yang
mempunyai hari rawat lebih lama (22 hari)
menderita penyakit luka bakar lama rawat
pasien dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Lama Rawat Inap Pasien Kelas III di

39

Tabel 2. Distribusi Lama Rawat Inap Pasien


No
1
2
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.

Lama Rawat Inap


1 hari
2 hari
3 hari
4 hari
5 hari
6 hari
7 hari
8 hari
9 hari
10 hari
11 hari
12 hari
14 hari
22 hari
Total

N
21
14
12
12
7
4
7
4
4
4
3
3
1
1
97

Lama rawat inap pasien yang diteliti


adalah antara 1 sampai dengan 22 hari. Hal
ini berhubungan dengan kondisi penyakit
pasien, dimana rata-rata penyakit yang
diderita pasien memerlukan waktu untuk
sembuh yang lama antara 1 sampai dengan
22 hari, terutama untuk pasien yang luka
bakar yang dalam penelitian ini
memerlukan hari rawat paling lama.
Pada pasien yang lama rawat
inapnya dapat menimbulkan rasa bosan
dan menurunnya nafsu makan. Rasa bosan
dan penurunan nafsu makan ini dapat
mengakibatkan timbulnya sisa makanan.
Untuk itu perlu pengolahan dan
penampilan yang bervariasi supaya pasien
dapat termotivasi untuk menghabiskan
makanannya (Moehyi, 2003; Djamaludin,
2002). Penelitian Djamaludin (2002)
Tabel 3.

Kategori
Sesuai
Kurang
Sesuai
Tidak Sesuai
Tidak
Menjawab
Total

%
21,6
14,4
12,4
12,4
7,2
4,1
7,2
4,1
4,1
4,1
3,1
3,1
1
1
100

menyebutkan jika pengolahan makanan


kurang bervariasi dapat menimbulkan rasa
bosan dan akan menyebabkan nafsu makan
pasien berkurang sehingga makanan yang
disajikan tidak dihabiskan.
Cita Rasa Lauk Nabati Pada Menu
Makanan Biasa Pasien Kelas III di RSUD
dr. Doris Sylvanus Palangka Raya.
Cita rasa makanan ditimbulkan oleh
terjadinya rangsangan terhadap berbagai
indera dalam tubuh manusia, terutama indera
penglihatan, indera pencium dan indera
pengecap. Makanan yang memiliki rasa yang
tinggi adalah makanan yang disajikan
menarik, menyebarkan bau yang sedap dan
memberikan rasa yang lezat.4

Penilaian Rata-Rata Cita Rasa Lauk Nabati pada Menu Makan Biasa Pasien
Kelas III di RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya.
Bumbu

Rasa
Aroma

N
71
12

%
73,2
12,4

Penampilan
Besar Porsi
Bentuk
Penyajian
N
%
N
%
71
73,2
64
66,0
17
17,5
23
23,7

N
28
21

%
28,9
21,6

N
39
14

%
40,2
14,4

Tingkat
Kematangan
N
%
42
43,3
9
9,3

Warna

5
43

5,2
44,3

1
43

1,0
44,3

3
43

3,1
44,3

6
8

6,2
8,2

1
8

1,0
8,2

2
8

2,1
8,2

97

100

97

100

97

100

97

100

97

100

97

100

40

Rata-Rata
Penilaian
N
%

52,5

54,1

Cita
Rasa

Sedang

Data cita rasa lauk nabati dihitung


dengan cara menghitung total penilaian
pasien berdasarkan kategori yang ada (ada
6 kategori meliputi bumbu, aroma, tingkat
kematangan, warna, besar porsi dan
bentuk penyajian) kemudian dirata-rata
dan dikategorikan.
Berdasarkan tabel 3 diatas, penilaian
rasa lauk nabati pada menu makanan biasa
kelas III di RSUD dr. Doris Sylvanus
Palangka Raya pada penilaian bumbu
terdapat 28 orang atau (28,9%)
menyatakan sesuai dan 43 orang (44,3%)
yang tidak menjawab, pada penilaian
aroma terdapat 39 orang atau (40,2%)
yang menyatakan sesuai dan 43 atau
(44,3%) yang tidak menjawab, penilaian
pada tingkat kematangan lauk nabati
terdapat 42 orang atau (43,3%) yang
menyatakan sesuai dan 43 orang atau
(44,3%) yang tidak menjawab, penilaian
pada warna lauk nabati yang disajikan
terdapat 71 orang atau (73,2%) yang
menyatakan sesuai dan 8 orang atau
(8,2%) yang tidak menjawab, penilaian
pada besar porsi lauk nabati terdapat 71
orang atau (73,2%) yang menyatakan
sesuai dan 8 orang atau 8,2%) yang tidak
menjawab,
penilaian
pada
bentuk
penyajian lauk nabati tahu terdapat 64
orang atau (66,0%) yang tidak menjawab.
Pasien yang tidak menjawab di karenakan
pasien tidak memakan lauk nabati yang
disajikan dengan berbagai alasan, sehingga
pasien tidak mengetahui cita rasa lauk
nabati yang di sajikan tersebut.
Untuk mendukung atau memperkuat
pernyataan diatas tentang cita rasa lauk
nabati yang tidak memuaskan maka
dilakukan wawancara mendalam kepada

pasien yang mempunyai sisa lauk nabati


paling
banyak.
Para
pasien
yang
diwawancarai
memberikan
penjelasan
sebagai berikut : Pasien menyukai tahu,
tetapi karena sudah dingin jadi tahu tidak
dimakan, pasien ingin memakan jika dalam
keadaan panas (Renot, Ruang D, tanggal 13
agustus 2009). Tempe tidak dimakan
karena keras (Sriatun, Ruang E, 19 agustus
2009). Tidak suka tahu karena rasa tahu
masam (Senitha, Ruang C, 15 agustus
2009). Bumbu masih tidak berasa (tahu
tawar) tetapi aroma tahu ada dan sesuai,
sedangkan warna tahu yang disajikan ada
sebagian yang gosong (Muliati, Ruang C,
15 Agustus 2009).
Berdasarkan hasil komentar pasien
yang menyatakan kurang sesuai terhadap
cita rasa lauk nabati yang disajikan di kelas
III, banyak faktor yang mempengaruhi yaitu
dari kualitas bahan dasar (tempe dan tahu)
yang digunakan, cara pengolahan (tahu
goreng, tempe bacem, tahu bacem, tempe
mendoan), bumbu yang digunakan, cara
penyajian,
periode siklus menu yang
berlaku terlalu panjang, bahwa siklus menu
yang digunakan siklus menu 10 hari berlaku
selama 6 bulan atau sesuai kebutuhan.
Periode
yang
terlalu
lama
akan
menyebabkan kebosanan pasien terhadap
penyajian makanan sehingga menimbulkan
nafsu makan pasien menurun.
Sisa Lauk Nabati Pasien Kelas III di
RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya.
Sisa makanan pasien yang diteliti
adalah makanan dengan bentuk biasa yaitu
lauk nabati. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa sisa makanan pasien bervariasi.

41

Rentang sisa lauk nabati antara 0-1


Berdasarkan pengaturan porsi lauk nabati
untuk tempe sebesar 30 gram dan tahu
sebesar 50 gr/porsi sekali waktu makan.
Dari rata-rata sisa lauk nabati pasien

kemudian dibandingkan dengan standar


porsi rumah sakit, sehingga didapatkan
persentase sisa makanan dapat dilihat pada
tabel di bawah ini :

Tabel 4. Sisa Lauk Nabati Pasien Kelas III


di RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya.

Hari
I
II
III
IV
V

VI
VII
VIII

IX
X

Jenis
N
1

Tahu
Bacem
Perkedel 2
Tempe
Tahu
2
Goreng
Tempe
2
Bacem
Tahu
6
Bumbu
Bali
Tempe
0
Mendoan
Tempe
1
Bacem
Tempe
1
RicaRica
Tahu
0
Opor
Rendang 2
Tahu
Total
17

Jumlah Lauk Nabati

N
% N %
N
%
1 11,1 0
0
0
0

% N
11,1 0

%
0

20,0

20,0

30,0

20,0

11,1

10,0

28,6

14,2

42,9

9,1

14,3

Total

N
7

%
77,8

30,0 10 100

10,0

50,0 10 100

28,6

28,6

7,1

50,0 14 100

27,3

18,2

18,2

36,4 11 100

18,1

9,1

27,3

36,4 11 100

14,3

28,6

42,9

100

25,0

12,5

62,5

100

20,0

10,0

20,0

50,0 10 100

17,5

1,0

14 14,4

7,2

Dari hasil penelitian sisa lauk nabati


rata-rata pasien paling banyak sisa
sebanyak orang 45 (46,4%) yang tidak
menghabiskan lauk nabati hal ini
disebabkan karena menu rumah sakit
berbeda dengan kehidupan sehari-hari
pasien sehingga pasien memerlukan proses
adaptasi untuk bisa menerima makanan
yang disajikan di rumah sakit. Proses
adaptasi ini menyebabkan sisa makanan
pada pasien apalagi jika diberikan dalam
waktu yang lama. Hal ini menunjukkan
bahwa faktor kebiasaan, rasa suka dan
terjadinya penurunan nafsu makan yang
akan berakibat terhadap menurunnya

N
9

%
100

100

13 13,4 45 46,4 97 100

asupan makan. Asupan yang menurun akan


meningkatkan sisa makanan.tidak suka, dan
faktor kondisi pasien (Muwarni, 2001). Rasa
tidak senang atau takut karena sakit dan
keterbatasan gerak mengakibatkan hilangnya
nafsu makan dan rasa mual pada pasien
sehingga makanan tidak dapat dihabiskan.
Faktor lain yang mempengaruhi terjadinya
sisa adalah cita rasa hidangan2,4.
Faktor lain yang mempengaruhi sisa
makanan adalah kondisi pasien. Menurut
Djamaludin (2002) dan Moehyi (2003),
penyakit yang diderita pasien akan
mempengaruhi nafsu makan pasien, yaitu

42

Rata-rata zat gizi sisa lauk nabati


pasien dalam sehari berdasarkan nilai gizi
standar RS adalah sebagai berikut :

Zat Gizi Sisa Makanan Lauk Nabati


Pasien Kelas III di RSUD dr. Doris
Sylvanus Palangka Raya.

Tabel 5. Zat Gizi Sisa Makanan Lauk Nabati Pasien Kelas III
di RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya.
Zat Gizi Sisa Lauk Nabati/hari

Zat Gizi

Kategori
Asupan

Rata-rata

Standar RS/hari

Energi

63,9 kal

91,8 gr

69,6

Defisit

Protein

3,5 gr

5,1 gr

68,6

Defisit

Lemak

4,4 gr

6,1 gr

72,2

Kurang

Karbohidrat

4,0 gr

5,3 gr

74,7

Kurang

Dari tabel 5, diketahui zat gizi sisa


makanan lauk nabati pasien kelas III di
RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya
untuk zat gizi Energi rata-rata sebesar 63,9
kalori dengan standar rumah sakit/hari
sebesar 91,8 sehingga % asupan energi
sebesar 69,6%. Zat gizi protein rata-rata
sebesar 3,5 gr dengan standar rumah

sakit/hari sebesar 5,1 gr sehingga % asupan


protein sebesar 68,6%. Zat gizi Lemak ratarata sebesar 4,4 gr dengan standar rumah
sakit/hari sebesar 6,1 gr sehingga % asupan
lemak sebesar 72,2%. Zat gizi Karbohidrat
rata-rata sebesar 4,0 gr dengan standar rumah
sakit/hari sebesar 5,3 gr.

Tabel 6. Hubungan Determinan-Determinan Penyebab Sisa Makanan Lauk Nabati Pada Menu
Makanan Biasa Pasien Kelas III di RSUD dr.Doris Sylvanus Palangka Raya
Variabel
Mean
SD
P value
Umur
- < 25 tahun
0,65
0,39
0,065
- 25 tahun
0,78
0,33
Jenis kelamin
- Laki-laki
0,75
0,36
0,217
- Perempuan
0,66
0,38
Suku
- Dayak
0,75
0,34
- Banjar
0,75
0,33
- Jawa
0,63
0,44
0,300
- Madura
0,25
0,35
- NTT
0,62
0,47
Pendidikan
- SD
0,65
0,37
- SMP
0,78
0,34
0,620
- SMA
0,72
0,39
- MAHASISWA
0,50
Cita rasa
- Tidak memuaskan
0,97
0,15
0,000*
- Memuaskan
0,49
0,36
Lama rawat inap
4,68
3,776
0,405
Sisa makanan lauk nabati
0,71
0,375
*bermakna, analisis regresi linier berganda nilai p < 0,05
43

N
55
42
51
46
54
15
22
2
4
33
16
47
1
44
53
97
97

Hubungan antara variabel jenis


kelamin dengan sisa lauk nabati dari hasil
uji statistik didapatkan nilai p= 0,065,
berarti pada alpha 5% terlihat tidak ada
perbedaan yang signifikan rata-rata umur
responden yang berumur < 25 tahun
dengan 25 tahun. Hubungan antara
variabel jenis kelamin dengan sisa lauk
nabati, hasil uji statistik didapatkan nilai
p= 0,217, terlihat tidak ada perbedaan
yang signifikan rata-rata jenis kelamin
antara laki-laki dengan perempuan.
Hubungan suku dengan sisa lauk nabati,
rata-rata sisa lauk nabati pada responden
yang bersuku Dayak adalah 0,75 dengan
standar deviasi 0,34. Pada responden yang
bersuku Banjar adalah 0,75 dengan standar
devaisi 0,33. Pada responden yang bersuku
Jawa adalah 0,63 dengan standar deviasi
0,44.
Pada responden yang bersuku
Madura adalah 0,25 dengan standar
deviasi 0,35. Pada mereka yang bersuku
NTT adalah 0,62 dengan standar deviasi
0,47. Hasil uji statistik didapat nilai p=
0,300, berarti pada alpha 5% dapat
disimpulkan tidak ada perbedaan sisa lauk
nabati diantara kelima suku.
Hubungan pendidikan dengan sisa
lauk nabati dari hasil uji statistik didapat
nilai p= 0,620, berarti pada alpha 5% dapat
disimpulkan tidak ada perbedaan sisa lauk
nabati
diantara
keempat
jenjang
pendidikan. Hubungan cita rasa dengan
sisa lauk nabati, rata-rata responden yang
menyatakan cita rasa lauk nabati tidak
memuaskan adalah 0,97 dengan standar
deviasi 0,15, sedangkan yang menyatakan
cita rasa lauk nabati memuaskan adalah
0,49 dengan standar deviasi 0,36. Hasil uji
statistik didapatkan nilai p= 0,000, berarti
pada alpha 5% terlihat ada perbedaan yang
signifikan rata-rata cita rasa lauk nabati
yang meyatakan tidak memuaskan dengan

memuaskan. Cita rasa makanan di timbulkan


oleh terjadinya rangsangan terhadap berbagai
indra dalam tubuh manusia terutama, indra
penglihatan, penciuman, dan indra pengecap.
Makanan yang memiliki cita rasa yang tinggi
adalah makanan yang di sajikan dengan
menarik, menyebarkan bau yang sedap, dan
memberikan rasa yang lezat.3,4
Hubungan lama rawat inap dengan sisa
lauk nabati hasil uji statistik didapatkan nilai
p = 0,405, berarti pada alpha 5% terlihat
tidak ada perbedaan yang signifikan rata-rata
lama rawat inap terhadap sisa makanan lauk
nabati. Pada pasien yang lama rawat inapnya
dapat menimbulkan rasa bosan dan
menurunnya nafsu makan. Rasa bosan dan
penurunan nafsu makan ini
dapat
mengakibatkan timbulnya sisa makanan.
Untuk itu perlu pengolahan dan penampilan
yang bervariasi supaya pasien dapat
termotivasi
untuk
menghabiskan
makanannya.3,4
KESIMPULAN DAN SARAN
Penilaian rasa lauk nabati pada menu
makanan biasa kelas III di RSUD dr. Doris
Sylvanus Palangka Raya pada penilaian
bumbu terdapat 28 orang atau (28,9%)
menyatakan sesuai dan 43 orang (44,3%)
yang tidak menjawab, pada penilaian aroma
terdapat 39 orang atau (40,2%) yang
menyatakan sesuai dan 43 atau (44,3%) yang
tidak menjawab, penilaian pada tingkat
kematangan lauk nabati terdapat 42 orang
atau (43,3%) yang menyatakan sesuai dan 43
orang atau (44,3%) yang tidak menjawab,
penilaian pada warna lauk nabati yang
disajikan terdapat 71 orang atau (73,2%)
yang menyatakan sesuai dan 8 orang atau
(8,2%) yang tidak menjawab, penilaian pada
besar porsi lauk nabati terdapat 71 orang atau
(73,2%) yang menyatakan sesuai dan 8 orang

44

atau 8,2%) yang tidak menjawab,


penilaian pada bentuk penyajian lauk
nabati tahu terdapat 64 orang atau (66,0%)
yang tidak menjawab. Dari hasil penelitian
sisa lauk nabati rata-rata pasien paling
banyak sisa sebanyak orang 45 (46,4%).
Zat gizi sisa makanan lauk nabati
pasien kelas III di RSUD dr. Doris
Sylvanus Palangka Raya untuk zat gizi
Energi rata-rata sebesar 63,9 kalori dengan
standar rumah sakit/hari sebesar 91,8
sehingga % asupan energi sebesar 69,6%.
Zat gizi protein rata-rata sebesar 3,5 gr
dengan standar rumah sakit/hari sebesar
5,1 gr sehingga % asupan protein sebesar
68,6%. Zat gizi Lemak rata-rata sebesar
4,4 gr dengan standar rumah sakit/hari
sebesar 6,1 gr sehingga % asupan lemak
sebesar 72,2%. Zat gizi Karbohidrat ratarata sebesar 4,0 gr dengan standar rumah
sakit/hari sebesar 5,3 gr. Ada perbedaan
cita rasa terhadap sisa lauk nabati pada
menu makanan biasa pasien kelas III di
RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya.
Perlu adanya peningkatan cita rasa
lauk nabati dalam penyelenggaraan
makanan rumah sakit, karena masih
adanya sisa dari lauk nabati pasien. Perlu
dilakukan
upaya-upaya
untuk
meminimalisir makanan dari luar rumah
sakit sebagai bagian dari upaya pendidikan
pasien,
dengan
cara
memberikan
penyuluhan dan konsultasi gizi tentang
makanan yang diberikan oleh rumah sakit,
makanan yang dibolehkan dan tidak
dibolehkan. Untuk penelitian lebih lanjut,
sebaiknya hitung banyaknya makanan luar
rumah sakit yang dikonsumsi pasien
terhadap pengaruhnya pada sisa makanan
yang diberikan oleh rumah sakit.
Terdapat hubungan yang signifikan
antara cita rasa makanan terhadap pasien
yang menyisakan makanan lauk nabati
sehingga perlu adanya peningkatan cita
rasa lauk nabati dalam penyelenggaraan
makanan rumah sakit. Perlu dilakukan
upaya-upaya
untuk
meminimalisir
makanan dari luar rumah sakit sebagai
bagian dari upaya pendidikan pasien,
dengan cara memberikan penyuluhan dan

konsultasi gizi tentang makanan yang


diberikan oleh rumah sakit, makanan yang
dibolehkan dan tidak dibolehkan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Departemen Kesehatan RI. Pedoman
Pelayanan
Gizi
Rumah
Sakit.
Departemen Kesehatan RI Direktorat
Jenderal
Pembinaan
Kesehatan
Masyarakat. Direktorat Gizi Masyarakat:
Jakarta: 2003
2. Djamaludin, M. Analisis Zat Gizi dan
Biaya Sisa Makanan Pada Pasien
dengan Makanan Biasa di RS Sardjito
Yogyakarta. Thesis, Univesitas Gajah
Mada: Yogyakarta; 2002.
3. Instalasi gizi RSUD dr. Doris Sylvanus
Palangka Raya
4. Moehyi,
Sjahmien,
Ilmu
Gizi
Penanggulangan Gizi Buruk 2. PT
Bhratara Niaga Media: Jakarta; 2003.
5. Muwarni, R. Penuntun Sisa Makanan
Pasien Rawat Inap Dengan Metode
Taksiran Visual Comstock di RSUP Dr.
Sardjito Yogyakarta. Tesis Program
Pascasarjana UGM: Yogyakarta; 2001.
6. Comstock, E. M., Pierre R. G., and
Mackiernan, Y. D. Measuring Individual
Plate Waste in School Lunches, J. Am.
Diet. Assoc., 94:290-297; 1981.

45

Faktor-faktor yang mempengaruhi Partisipasi Masyarakat dalam PSN DBD


di Kelurahan Menteng Kota Palangka Raya
Yongwan Nyamin .* Natalansyah,.* Ety Sumiati
Abstract : Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) is a viral endemic disease in Indonesia which still
represent a society health problem. The infection of Dengue Haemorrahagic Fever (DHF)
through bite of mosquito of species Aedes aegypti and Aedes albopictus. This disease represent
the serious problem especially at population urban area. Cases in Palangkaraya city year 2009
as much 135 patient with the death as much 3 people (CFR 2,44% ). The way to prevent this
disease is by cutting disease transmission chain namely vector control that is influenced by
Mosquito Nest Elemination (MNE) activity. Therefore the aim of this study was to analyze factor
of society participation on MNE correlation with DHF epidemic in Palangkaraya inclusive in
Menteng Sub-district. The research was made by determine the corelation of individual
characteristic and knowledge with real behavioural or society participation on MNE DHF in
Menteng sub-district. The research is an analytic explanatory with Cross sectional study method,
population are all of the people who live in Menteng sub-distric. The sample was list led family at
Menteng sub-distric of 150 lead family. The sample get rid of or using simple random sampling .
Data collection use the questioner and analyse by chi square us comparator with double regress
logistic. The result of Research showed that all variable factor to participated didnt influence
dengues ( P >0,005). It is recommended to local health department to increase DHF incident
with giving attention to society enableness (Chief citizen/ neighbour foundation, elite figure and
cadre) in Mosquito Nest Elemination (MNE) activity.
Keywords : Society participation, Mosquito Nest, DHF

Pendahuluan

pemberantasan sarang nyamuk (PSN) dan


peningkatan profesional pelaksana program.
Berbagai upaya telah dilakukan untuk
menanggulangi terjadinya peningkatan kasus.
Salah
satunya
diantaranya
dengan
memberdayakan
masyarakat dengan
kegiatan
PSN
(menguras,
menutup,
mengubur), kegiatan ini telah diintensifkan
sejak 1992 dan pada tahun 2000
dikembangkan 3M Plus. Sampai saat ini
upaya tersebut belum menampakan hasil
yang diinginkan karena setiap tahun masih
terjadi peningkatan angka kematian. Hal ini
disebabkan upaya peningkatan peran serta
masyarakat yang belum optimal. Meskipun
telah disadari bahwa peran serta masyarakat
masih dijadikan obyek
yang akan
diintervensi bukan subyek yang mampu
melakukan intervensi untuk diri sendiri.
Tingkat partisipasi sebagai kemauan dan

emam Berdarah Dengue (DBD)


merupakan salah satu penyakit yang
endemis dan hingga saat ini angka
kesakitan DBD cenderung meningkat dan
Kejadian Luar Biasa (KLB) masih sering
terjadi diberbagai daerah di Indonesia.
Menurut laporan Kementerian Kesehatan RI.
Tahun
2008 penderita DBD mencapai
137.469 kasus dengan korban meninggal
1.187 orang dan tahun 2009 tercacat 154.855
kasus
dengan korban meninggal lebih
banyak yaitu 1.384 orang.
Kebijakan yang ditempuh pemerintah
dalam mengendalikan penyakit DBD dengan
melaksanakan lima kegiatan pokok yaitu:
menemukan
dan
mengobati
kasus,
memutuskan
mata
rantai
penularan,
kemitraan dengan POKJA NAL DBD,
gerakan

*. Jurusan keperawatan Politeknik Kesehatan Kemenkes Palangka Raya

46

kemampuan yang terlihat dalam bentuk


tindakan nyata, belum optimal.
Sejak Desember 2009 Januari
2010 di Kota Palangka Raya yang terjadi
KLB DBD dengan jumlah 123 kasus,
meninggal 3 orang (CFR: 2,4%) dan
puncaknya minggu kedua bulan Januari 2010
(Dinkes Prop.Kalteng 2010). Upaya yang
dilakukan Dinkes Kota Palangka Raya untuk
memutuskan
rantai
penyebaran
dan
perkembangbiakan
vektor
berupa
pelaksanaan gerakan PSN, penyuluhan,
pengasapan (Foging) dan abatetisasi.
Cara yang tepat dalam mencegah dan
menanggulangi DBD saat ini adalah dengan
PSN. Karena kegiatan PSN DBD tanpa
biaya mahal sebab dengan gerakan 3M
(menguras, menutup dan mengubur) yang
berupa pengurasan dan penutupan tempattempat penampungan air serta menimbun
barang-barang tempat perkembangbiakan
vektor
dimana kegiatan ini merupakan
tindakan yang praktis, murah, dan dapat
dilakukan oleh siapapun dan dimanapun .
Keberhasilan PSN DBD antara lain
diukur dengan angka bebas jentik (ABJ),
dimana lebih atau sama dengan 95%
diharapkan penularan DBD dapat dicegah
atau dikurangi. .
Upaya pemberdayaan peran serta
masyarakat (PSM) oleh petugas Puskesmas
sangat penting, sehingga masyarakat
memiliki ; kesempatan, kemauan dan
kemampuan berpartisipasi dalam bentuk
perilaku/tindakan nyata.
Partisipasi
masyarakat salah satunya
dapat dilihat
Perilaku terhadap lingkungan kesehatan
(environment health behavior) sehubungan
dengan pembersihan sarang nyamuk (vector)
dan sebagainya.
Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui faktor-faktor :
karakteristik
(jenis kelamin, umur, pendidikan, pekerjaan),
pengetahuan , sikap terhadap
terhadap
partisipasi masyarakat dalam gerakan PSN
DBD di Kelurahan Menteng Kota Palangka
Raya.

Metode
Rancangan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah
penelitian survey
analitik dengan pendekatan Cross Sectional4
untuk mengetahui faktor-faktor yang
mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam
PSN DBD di Kelurahan Menteng Kota
Palangka Raya.
Populasi penelitian ini adalah semua
rumah tangga yang berada di Kelurahan
Menteng terdaftar dalam kartu keluarga.
Pada penelitian ini sampel ditarik dari
populasi teknik bertahap5: Simple Cluster
Sampling dan dilanjutkan dengan Simple
Rondom Sampling
sehingga
diperoleh
sampel
maksimal 150 responden.
Pengumpulan data dengan menggunakan
kuesioner yang dilakukan oleh tim peneliti
yang sudah dilatih. Data yang diperoleh
diolah dan dianalisa menggunakan SPSS
versi 17.6. Analisa data menggunakan
univariat dan bivariat (Chi-square) untuk
mencari hubungan antar variabel. Variabel
yang diteliti karakteristik responden (umur,
jenis kelamin, pendidikan dan pekerjaan) dan
pengetahuan,
sikap
sebagai
varibel
independen dan partisipasi dalam bentuk
perilaku/tindakan nyata sebagai variabel
dependen.
Hasil Penelitian
Karakteristik Masyarakat.
Berdasarkan umur dari 150 responden
yang menjadi sampel penelitian ini terdiri
dari umur 14 - 20 tahun 10 orang (6,7%),
umur 21 35 tahun 68 orang (45,3%), 51
orang (34%) umur 36 tahun. Jenis kelamin
Perempuan 76 orang (50,6%), Laki-laki : 74
orang
(49,4%).
Menurut
Pendidikan
terbanyak berpendidikan SMA : 56 orang
(37,3%) kemudian diikuti oleh PT : 28 orang
(18,7) dan SMP : 25 orang (16,7%) serta
terkecil tidak sekolah : 2 orang (1,3%).
Berdasarkan pekerjaan terbesar responden
mempunyai pekerjan sebagai Wiraswasta:
50 orang (34%), dikuti oleh PNS dan Ibu RT
masing-masing
39 (26%) serta terkecil
reponden
yang
masih
sekolah
(masiswa/pelajar) : 21 orang (14%).
47

Gambaran variabel karakteristik


responden seperti terdapat pada tabel berikut

ini. Hasil ditampilkan


distribusi dan persentase.

dalam

bentuk

Tabel 1. Distribusi Karakteristik Responden


Karakteristik

Umur
14-20 tahun

10

6,7

21-35 tahun

68

45,3

>36 tahun

51

34

Jenis Kelamin
Perempuan

76

50,6

Laki-laki

74

49,4

1.3

SD

16

10.7

SMP

25

16.7

SMA

56

37,3

PT

28

18,7

39

26

Wiraswasta

51

34

Ibu RT

39

26

Sekolah

21

14

Jumlah

150

100

Tingkat Pendidikan
Tidak sekolah

Pekerjaan
PNS

Cara pencegahan yang diketahui oleh


responden yaitu 78% responden menyatakan
dengan dilaksanakannya 3M yaitu menguras
(membersihkan) tempat penampungan air (bak
mandi, WC, drum) minimal sekali seminggu,
menutup rapat-rapat tempat penampungan air,
mengubur barang-barang bekas yang bisa
digenangi air hujan.
Untuk pemberantasan DBD
yang
responden ketahui yaitu fogging (57,3%), PSN
(40,6%), penyuluhan (31,3%), dan larvanisasi
(16%).

Pengetahuan
Dari sisi pengetahuan tentang gejalagejala penyakit DBD, sebagian besar
responden
menyatakan
adanya
gejala
mendadak demam tinggi yang terjadi selama
2-7 hari dan demam terus-menerus, sedikit
persentase responden yang menjawab adanya
penurunan leukosit dan hematokrit. Sebagian
besar respoden telah mengetahui nyamuk
Aedes aegypty sebagai vektor penyebab DBD
(88,7%).

48

Tabel 3.
Distribusi Pengetahuan
Kategori
Gejala Awal
1.Demam tinggi

116

77,3

2.Tanpa sebab yang jelas

37

24,7

2.Demam terus menerus

93

62

3.Adanya perdarahan

22

14,7

4.Leukosit menurun

17

11,3

5.Penurunan hematokrit

3,3

Agen penular
Nyamuk Aedes aegypti

133

88,7

Pemberantasan DBD
1.PSN

61

40,6

2.Larvanisasi

24

16

3.Penyuluhan

47

31,3

4.Foging

86

57,33

PSN merupakan kegiatan


nyamuk dewasa

35

23,3

Cara PSN
menguras bak

118

78,6

menutup penampungan

111

74

menimbun barang bekas

117

78

Partisipasi Masyarakat.
Sebagian besar responden (63,6%)
menyatakan bahwa tempat penampungan air
di rumah dibersihkan sekali dalam seminggu.
(19,2%) membersihkan tempat penampungan
air sebanyak dua kali seminggu dan hanya
sedikit
yang
membersihkan
tempat
penampungan air sebanyak tiga kali
seminggu (7,9%).
Responden lebih banyak melakukan
sendiri
dalam
membersihkan
tempat
penampungan air (86,7%). Sedangkan yang
membersihkan tempat penampungan air
dengan memberikan tugas kepada orang lain
sepuluh persen (10%). Responden yang tidak
terlibat dalam pembersihan tempat penampungan air hanya 3,3% saja.
Hanya separuh responden yang
memiliki kesadaran untuk menutup tempat
penampungan air (52%), sedangkan 32,7%
49

responden hanya kadang-kadang saja


menutup tempat penampungan. Dan sisanya
15,3% tidak menutup tempat penampungan
air. Perilaku menutup tempat penampungan
air sebagian besar dilaksanakan sendiri oleh
responden (86,7%). Hanya sebagian besar
kecil responden yang menyuruh orang lain
untuk menutup tempat penampungan air
(7,3%).
Responden tidak menaburkan bubuk abate
(60,7%) sedangkan yang menaburkan bubuk
abate hanya 39,3%. Penanganan terhadap
barang bekas oleh responden hampir semua
ditangani dengan baik (98%) hanya 2% saja
yang tidak ditangani dengan baik.
Penanganan
barang
bekas
langsung
dikerjakan sendiri oleh responden (78%).

Hanya 22% saja yang dilakukan dengan cara


menyuruh orang lain.
Kegiatan kerja bakti kurang dilakukan oleh
responden. Hal ini terlihat dari jumlah
responden yang menjawab kadang-kadang

melakukan kerja bakti lebih banyak (61,3%)


dibandingkan dengan yang rutin melakukan
(20%).
Gambaran variabel partisipasi responden
seperti terdapat pada tabel.3 berikut ini :

Tabel.4.
Partisipasi Masyarakat
Kategori

96

63,6

satu kali dua minggu

29

19,2

satu kali tiga minggu

12

7,9

tidak tahu

14

9,3

Peran pembersihan TPA


melakukan langsung

130

86,7

menyuruh orang lain

15

10

tidak terlibat sama sekali

3,3

78

52

kadang-kadang tertutup

49

32,7

Peran menutup TPA


tidak tertutup

23

15,3

Langsung melakukan

130

86,7

menyuruh orang lain

11

7,3

Tidak terlibat

Perlakuan barbes
Dikubur

67

44,7

Dibiarkan

dibuang ke TPS

80

53,3

117

78

33

22

Pembersihan penampungan air


satu kali seminggu

Menutup TPA
selalu tertutup

Peran mengubur/membakar
langsung melakukan
menyuruh orang lain

masyarakat dalam kegiatan PSN DBB, didapat


hasil sebagai berikut (tabel 4 ) :

Faktor-faktor yang mempengaruhi


Partisipasi dalam PSN DBD
Berdasarkan Hasil analisis bivariat
dari
variabel
karakteristik individu dan
pengetahuan terhadap
variabel pertisipasi

50

Tabel.4 Faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi masyarakat


Dalam PSN DBB
Umur

Partisipasi
Tinggi

P Value

Total

OR
(95% CI)

Rendah

35 tahun

35

44,9

43

55,1

78

100

36-50 tahun

31

60,8

20

39,2

51

100

> 50 tahun

38,1

13

61,9

21

100

Jenis Kelamin
Perempuan

40

52,6

36

47,4

36

100

Laki-laki

34

45,9

40

54,1

40

100

Total

74

49,3

76

50,7

76

100

PNS

21

53,8

18

46,2

39

100

Wiraswasta

23

45,1

28

54,9

51

100

Ibu RT

22

56,4

17

43,6

39

100

Sekolah

38,1

13

61,9

21

100

Tidak sekolah

35

44,9

43

55,1

78

100

SD

31

60,8

20

39,2

51

100

SMP

14

56

11

44

25

100

SMA

25

44,6

31

55,4

56

100

PT
Tingkat
Pengetahuan

23

45,1

28

54,9

51

100

Pengetahuan Tinggi

36

51,4

34

48,6

70

100

Pengetahuan Rendah

38

47,5

42

52,5

80

100

0,799

0,944
(0,604-1,474)

0,413

1,3
(0,688-2,483)

Pekerjaan
0,544

1,1
(0,801-1,522)

Pendidikan
0.11

1,298
(0,942-1,787)

0,631

1,170
(0,616-2,224)

terhadap riset baru-baru ini bahwa usia dan


kinerja tidak ada hubungannya.
Jenis kelamin dan Partisipasi Masyarakat :
bahwa diantara responden dengan tingkat
partisipasi tinggi tidak terlalu banyak
perbedaan antara jenis kelamin laki-laki dan
perempuan berturut-turut yaitu 45,9% dan
52,6%. Hasil uji statistik didapatkan nilai
P=0,413 (OR:1,3; 95% CI:0,688-2,483) dapat
disimpulkan tidak ada perbedaan yang
signifikan persentase tingkat partisipasi antara
responden laki-laki dengan perempuan. Hal ini
sesuai dengan pendapat.8 tidak ada perbedaan
yang konsisten pria-wanita dalam kemampuan
memecahkan masalah, ketrampilan analisa,
dorongan
kompetitif,
motivasi
dan
kemampuan
belajar.
Berbeda
dengan

Pembahasan :
Umur dan Partisipasi Masyarakat :
kelompok umur responden dengan tingkat
partisipasi tinggi paling banyak terdapat pada
kelompok 36-50 tahun, (60,8%) sedangkan
diantara responden dengan tingkat partisipasi
rendah paling banyak terdapat pada kelompok
>51 tahun (61,9%). Berdasarkan anlisis
bivariat didapat bahwa tidak ada perbedaan
antara umur dan partisipasi masyarakat
didapatkan nilai P=0,799 (OR:0,94; 95%
CI:0,604-1,474).
Hal ini sesuai dengan hasil penelitian.7
Dalimunthe dalam Pambudi (2009) faktor
umur tidak berpengaruh terhadap partisipasi
Masyarakat dalam program pencegahan
Malaria. Pendapat
lain yang dapat
diasumsikan mendukung, sebagaimana yang
dikatakan8 suatu tinjauan-ulang menyeluruh
51

pendapat9 bahwa antara jenis kelamin antara


laki-laki dan perempuan terdapat perbedaan.
Perbedaan tersebut berasal dari segi psikologis
yang bisa disimpulkan dari tindak tanduk,
ucapan kedua jenis kelamin tersebut yang
terungkap dalam kepribadiannya. Kepribadian
wanita merupakan kesatuan yang terpadu
antara aspek emosi, rasio dan suasana hati, hal
ini acapkali menggambarkan tindakan sering
emosi. Kepribadian laki-laki didasarkan pada
adanya pembatasan yang jelas antara pikiran,
rasio dan suasana hati. Rasio panalarannya
tidak mudah dipengaruhi oleh emosi dan
suasana hati.
Pekerjaan dan Partisipasi Masyarakat : Status
pekerjan responden dengan tingkat partisipasi
tinggi distribusinya tersebar secara merata.
Sedangkan diantara responden dengan tingkat
partisipasi rendah distribusinya tersebar secara
merata. Berdasarkan uji statistik didapatkan
nilai P=0,544 (OR:1,1; 95% CI:0,801-1,522)
dapat disimpulkan tidak ada perbedaan yang
signifikan persentase tingkat partisipasi
dengan status pekerjaan responden. Hal ini
sesuai dengan
hasil penelitian10 yang
menyatakan bahwa variabel : pekerjaan ibu
rumah tangga tidak berpengaruh terhadap
partisipasi ibu rumah tangga dalam kegiatan
PSN DBD. Hasil penelitian lain berbeda
sebagaimana
dilakukan
oleh7
yang
membuktikan bahwa
jenis
pekerjaan
memiliki hubungan yang signifikan terhadap
partisispasi para kader Jumantik di Desa
Ketilang Kecamatan Nogosari Kab. Boyolali
dalam pemberantasan DBD.
Pendidikan dan partisipasi Masyarakat :
Tingkat pendidikan responden dengan tingkat
partisipasi tinggi paling banyak terdapat pada
kelompok SD (60,8%), dan diantara tingkat
partisipasi rendah distribusinya secara merata.
Berdasarkan Analisis uji binaviat didapatkan
nilai P=0,11 (OR:1,298; 95% CI:0,942-1,787)
dapat disimpulkan tidak ada perbedaan yang
signifikan persentase tingkat partisipasi
dengan status pendidikan responden. Hal ini
sesuai dengan
hasil penelitian10 bahwa
variabel : pendidikan, pendapan ibu rumah
tangga tidak berpengaruh terhadap partisipasi

ibu rumah tangga dalam kegiatan PSN DBD.


Keadaan ini berkaitan dengan aktivitas dan
gerakan 3M dan 3 Plus abatetisasi merupakan
tindakan yang praktis, murah dan dapat
dilakukan oleh siapapun dan dimanapun.1
Pengetahuan dan Partisipasi Masyarakat :
bahwa tingkat partisipasi tinggi tidak terdapat
perbedaan yang berarti antara responden
dengan pengetahuan tinggi dan rendah (51,4%
dan 47,5%). Namun, ada kecenderungan
renponden dengan partisipasi tinggi lebih
banyak berasal dari responden dengan
pengetahuan tinggi. Sedangkan diantara
responden dengan tingkat partisipasi rendah
tidak terdapat perbedaan yang berarti antara
responden yang berpengetahuan tinggi dan
rendah (48,6% dan 52,5%). Namun, diantara
responden dengan partisipasi rendah lebih
banyak dari tingkat pengetahuan rendah.
Berdasarkan analisa statistik didapatkan nilai
P = 0,631 (OR:1,170; 95% CI:0,616-2,224)
sehingga dapat disimpulkan tidak ada
perbedaan yang signifikan persentase tingkat
partisipasi dengan tingkat pengetahuan
responden. Hal ini sesuai dengan hasil
penelitian yang dilakukan oleh11 Fathi, dkk
(2005).
yang
menyimpulkan
bahwa
pengetahuan responden tidak berpengaruh
terhadap kejadian DBD di Kota Mataram Nusa
Tenggara Barat.
Hal yang sama dikatakan12 Sumekar
dalam Anton, menyebutkan bahwa tidak ada
hubungan yang bermakna antara pengetahuan
dengan keberadaan jentik (p = 0,35) dengan
demikian mendukung penelitian ini dimana
secara tidak langsung dapat dikatakan bahwa
pengetahuan kurang memberi pengaruh nyata
terhadap partisipasi masyarakat dalam PSN
DBD.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan :
Berdasarkan hasil analisis data dan
pembahasan tidak terdapat perbedaan antara
variavel umur, jenis kelamin, pendidikan,
pekerjaan,
dan
pengetahuan
terhadap
partisipasi masyarakat
52

8.

Stephen.P.Robbin, 1998. Organization


Behavior,
Consepts,
Controversies,
Applications. PT Prenhalindo, Jakarta.
9. Singgih Gunarsa (1991) Psikologi
Perkembangan
10. Achmad., Holani.H. Variabel yang
mempengaruhi partisipasi ibut Rumah
Tangga
dalam
Pelaksanaan
Pemberantasan Sarang Nyamuk , Jurnal
Cermin Kedokteran , 1 September 1997.
11. Pathi. Dkk. Peran Faktor Lingkungan dan
Perilaku terhadap Penularan DBD di Kota
Mataram , Jurnal Kesehatan Lingkungan,
Vol.2, No.1 Juli 2005.
12. Anton Sitio.2008. Hubungan perilaku
tentang pemberantasan sarang nyamuk
dan kebiasaan keluarga dengan kejadian
DBD di Kec.Medan Perjuangan Kota
medan .

Saran
Dinkes Kota Palangka Raya melalui
Puskesmas Menteng perlu memberikan
perhatian terhadap pemberdayaan masyarakat
(Ketua RW / RT, Toma dan Kader) dalam
gerakan PSN DBD.
Hendaknya pihak Puskesmas dan
Kelurahan Menteng merevitalisasi kemitraan
dengan wadah POKJANAL DBD di tingkat
RW/RT.
Kiranya
Pukesmas
Menteng
melibatkan partisipasi dengan melatih : kader,
anggota PKK
sebagai Jumantik dalam
kegiatan pemeriksaan jentik berkala (PJK).
Sebaiknya Pukesmas Menteng dapat
meningkatkan frekwensi kegiatan penyuluhan
DBD baik dalam dan luar gedung.
Penelitian ini dapat dilanjutkan dengan
dengan menambah variabel lain seperti :
penyuluhan, Abatetisasi, Fogging, pelatihan
Jumantik
serta
menambah
sampel
pembanding (Case control).
Daftar Pustaka
1. Dinkes Propinsi Kalteng, 2007, Profil
Kesehatan Provinsi Kalimantan Tengah .
2. Depkes RI., 2005. Pemberantasan dan
Pencegahan
Demam
Berdarah
di
Indonesia. Dirjend. P2M & LP Jakarta
3. Notoatmodjo, Soekidjo. N. 1997, Ilmu
Kesehatan Masyarakat, Rineka Cipta
Jakarta
4. Murti.B.(2006) Desain dan Ukuran Sampel
untuk Peneltitian Kuantitatif dan Kualitatif
di bidang Kesehatan, Jogjakarta, Gajah
Mada University Press
5. Singarimbun, M dan Effendi, S. (1995)
Metode Penelitian Survey, Cetakan
Pertama LP3ES, Jakarta.
6. C.Trihendradi, 2009. 7 Langkah Mudah
melakukan Analisis Statistik menggunakan
SPSS 17.Andi Jogjakarta.
7. Pambudi
(2009) Faktor-faktor yang
mempengaruhi partisipasi kader jumantik
dalam pemberantasan DBD di Desa
Ketipang,
Kec.Nogosari
Kabupaten
Boyolali
53

GAMBARAN FAKTOR RISIKO JANIN LETAK SUNGSANG DI RSUD


dr. DORIS SYLVANUS PALANGKA RAYA TAHUN 2010
Asih Rusmani*, Arainiati Manjat*, Eline Carla Sabatina Bingan*

ABSTRACT
Background : Breech presentation is situation where foetus backside or foot reside in
underside of Cavum Uteri ( Gracious Cavity). Factors causing inverse situation foetus among
others pregnancy age and parity. Of data of RSUD dr. Great Doris Sylvanus Palangka in
January up to December Year 2009 patients amount with case of obstetri breech presentation
indication counted 22 month and people of January up to July Year 2010 counted 13 people is
mostly conducted by actions.
Target of Research : Analysing factors influencing breech presentation foetus.
Method Research : This Type Research is research of deskriftif made the image of
concerning factors influencing breech prsentation foetus. Research device that is Case
Control.
Result of : From statistical test result got [by] result of formulasi situation of age data with
ratio value of odds which level of 3,149233, where bigger than 1 ( one), hence pregnancy age
are factor of risk the happening of breech presentation foetus, and formulasi situation of
mother parity data with ratio value of odds which level of 1,053878, where is equal to 1(satu),
hence parity dont the including risk factor the happening of inverse situation foetus.
Conclusion : Age Pregnancy are inverse situation foetus risk factor, and also parity dont
the including inverse situation foetus risk factor.
Keyword : Factor Risk, inverse.

* Jurusan Kebidanan Politeknik Kesehatan Kemenkes Palangka Raya

54

Strategi utama dalam pembangunan


kesehatan yaitu menggerakkan dan
memberdayakan masyarakat untuk hidup
berkualitas,
meningkatkan
sistem
surveillance, pemantauan dan informasi
kesehatan serta meningkatkan pembiayaan
kesehatan (Departemen Kesehatan, 2007).
Angka
kematian
ibu
dalam
kehamilan dan persalinan di seluruh dunia
mencapai 515 ribu jiwa tiap tahunnya. Ini
berarti seorang ibu meninggal hampir
setiap menit karena komplikasi dalam
kehamilan maupun persalinannya. 2
Hampir 99% dari angka kematian itu
terjadi di negara-negara berkembang,
termasuk Indonesia. Angka Kematian Ibu
(AKI) di Indonesia saat ini masih
merupakan yang tertinggi dibandingkan
dengan AKI negara-negara ASEAN
lainnya. Berdasarkan Survei Demografi
dan Kesehatan Indonesia (SDKI) dan data
Biro Pusat Stastistik (BPS) didapatkan
Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia
pada Tahun 2007 sebesar 248/100.000
kelahiran hidup dan Angka Kematian Bayi
(AKB) 26,9/1000 kelahiran hidup (SDKI,
2007). Untuk mempercepat penurunan
AKI dan AKB, pemerintah mencanangkan
gerakan nasional kehamilan yang aman,
salah satunya dengan pemeriksaan
kehamilan yang teratur.4
Pemerintah telah mengupayakan
beberapa
program
dalam
usaha
menurunkan angka kematian ibu dan bayi.
Pada Tahun 2000 dicanangkan Gerakan
Nasional Kehamilan yang Aman atau
Making Pregnancy Safer (MPS) sebagai
bagian dari Strategi Pembangunan

Kesehatan Masyarakat menuju Indonesia


Sehat 2010. Fokus pembenahannya bahwa
dalam setiap persalinan hendaknya ditolong
oleh tenaga kesehatan terampil, setiap
komplikasi
persalinan
mendapatkan
pelayanan optimal, dan setiap wanita usia
subur memiliki akses terhadap pencegahan
kehamilan yang tidak diinginkan, serta
penanganan komplikasi aborsi. Komitmen
terakhir
dari
pemerintah
adalah
mendeklarasikan Tujuan Pembangunan
Millenium atau Millenium Development
GoalS 2015 yang di antaranya bertujuan
mendorong
kesetaraan
gender
dan
memberdayakan
perempuan
dalam
pendidikan dasar, serta berkomitmen untuk
menurunkan angka kematian ibu sebesar
75% dari Tahun 1990 menjadi sebesar
124/100.000 kelahiran hidup. Upaya
menurunkan kematian ibu merupakan
masalah kompleks yang melibatkan berbagai
aspek dan disiplin ilmu termasuk faktor
sosial ekonomi dan budaya masyarakat
sebagai mata rantai yang berkaitan.
Sehingga,
selain
komitmen
politik
pemerintah sebagai pengambil keputusan
yang akan menentukan arah dan prioritas
pelayanan kesehatan, juga diperlukan
partisipasi masing-masing individu dalam
upaya pencegahan.4
Upaya untuk menurunkan AKI dan
AKB salah satunya dengan pertolongan
persalinan yang dilakukan oleh tenaga
kesehatan yang profesional. Persalinan
adalah proses alami yang akan berlangsung
dengan sendirinya, tetapi persalinan pada
manusia setiap saat terancam penyulit yang
membahayakan ibu maupun janinnya

55

sehingga
memerlukan
pengawasan,
pertolongan, dan pelayanan dengan
fasilitas yang memadai.7
Letak sungsang merupakan keadaan
dimana bokong janin atau kaki berada di
bagian bawah kavum uteri (rongga rahim).
Adapun faktor-faktor yang menyebabkan
janin letak sungsang diantaranya paritas,
usia kehamilan, fiksasi kepala pada PAP,
janin mudah bergerak, Gemelli, kelainan
uterus, janin sudah lama mati, dan tumor
pelvis. Selain faktor di atas terdapat pula
faktor lain yaitu akses terhadap pelayanan
kesehatan, dan faktor-faktor yang tidak
diketahui atau diperkirakan, sehingga
dapat meningkatkan persalinan dengan
tindakan. Diharapkan ibu yang sedang
hamil dan terutama yang memiliki risiko
untuk menjalani persalinan melalui
tindakan dapat lebih menjaga dan
memelihara
kesehatan
diri
dan
kandungannya
utamanya
melalui
pelayanan kesehatan yang optimal.5
Dari data RSUD dr. Doris Sylvanus
Palangka Raya pada bulan Januari sampai
dengan Desember Tahun 2009 jumlah
pasien dengan kasus obstetri indikasi letak
sungsang sebanyak 22 orang dan bulan
Januari sampai dengan Juli Tahun 2010
sebanyak 13 orang yang semuanya hampir
dilakukan dengan secara tindakan (Profil
Ruang C Tahun 2009-2010). Meskipun
angka tersebut menurun tindakan tersebut
tetap dikatakan berisiko.3
Melihat fenomena di atas, peneliti merasa
tertarik untuk meneliti lebih jauh tentang
masalah yang terjadi yaitu faktor risiko
janin letak sungsang di RSUD dr. Doris
Sylvanus Palangka Raya Tahun 2010.

METODE PENELITIAN
Jenis penelitian ini adalah penelitian
deskriptif atau suatu metode penelitian yang
dilakukan dengan tujuan utama untuk
membuat gambaran dan deskripsi tentang
suatu keadaan yang objektif.
Penelitian ini hanya sebatas membuat
gambaran tentang faktor risiko janin letak
sungsang di Ruang Kebidanan (Ruang C)
RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya.
Rancangan penelitian yaitu Case Control.
Sampel penelitian berjumlah 175 responden.
Teknik pengambilan data melalui status
pasien dan buku register pada bulan Januari
sampai dengan Desember Tahun 2009 dan
bulan Januari sampai dengan Juli Tahun
2010.
HASIL PENELITIAN
HASIL
Data
yang dikumpulkan untuk
penelitian ini berasal dari data sekunder yang
dikumpulkan dari Register Ruang Kebidanan
(Ruang C) dan dari status pasien yang
diambil di Rekam Medik pada periode bulan
Januari sampai dengan bulan Desember
tahun 2009, serta bulan Januari sampai
dengan bulan Juli tahun 2010. Sedangkan,
responden penelitian ini adalah ibu hamil
dengan janin letak sungsang. Dengan jumlah
subyek penelitian sebanyak 210 orang.
a. Karakteristik Responden
Dari 210 responden yang diteliti didapatkan
hasil karakteristik sebagai berikut :

Distribusi Frekuensi Ibu Hamil Janin Letak Sungsang


Berdasarkan Usia Kehamilan
NO
1
2

Usia Kehamilan
Berisiko (> 42 Minggu)
Tidak Berisiko
(0-42 Minggu)
Jumlah

Berdasarkan penelitian, terlihat bahwa


subjek penelitian terbanyak ibu hamil
janin letak sungsang berdasarkan usia

Jumlah
8

Prosentase
22,86%

27

77,14%

35

100%

kehamilan adalah usia kehamilan tidak


berisiko (0-42 minggu) dengan jumlah 27
orang (77,14%).
56

Distribusi Frekuensi Ibu Hamil Normal Berdasarkan Usia Kehamilan


NO
1
2

Usia Kehamilan
Berisiko (> 42 Minggu)
Tidak Berisiko
(0-42 Minggu)
Jumlah

Berdasarkan penelitian terlihat bahwa


subjek penelitian terbanyak ibu hamil
normal berdasarkan usia kehamilan adalah

Jumlah
25

Prosentase
14,29

150

85,71

175

100%

usia kehamilan tidak berisiko (0-42 minggu)


dengan jumlah 150 orang (85,71%).

Distribusi Frekuensi Ibu Hamil Janin Letak Sungsang Berdasarkan Paritas


NO
1
2

Paritas
Berisiko ( 1 dan > 4)
Tidak Berisiko ( 2-4)
Jumlah

Jumlah
27
8
35

Prosentase
77,14%
22,86%
100%

adalah paritas berisiko (1 dan >4) dengan


jumlah 27 orang (77,14%).

Berdasarkan penelitian terlihat bahwa


subjek penelitian terbanyak ibu hamil
janin letak sungsang berdasarkan paritas

Distribusi Frekuensi Ibu Hamil Normal Berdasarkan Paritas


NO
1
2

Paritas
Berisiko ( 1 dan > 4)
Tidak Berisiko (2-4)
Jumlah

Jumlah
138
37
175

Berdasarkan penelitian terlihat bahwa


subjek penelitian terbanyak ibu hamil
normal berdasarkan paritas adalah paritas
berisiko (1 dan >4) dengan jumlah 138
orang (78,86%).

Prosentase
78,86
21,14
100%

b. Analisis Bivariat
Dari 210 responden yang diteliti didapatkan
hasil penelitian sebagai berikut :

57

Formulasi Keadaan Data Usia Kehamilan Ibu Berdasarkan Faktor Risiko (Usia
Kehamilan Ibu) dengan Hasil Jadi (Janin Letak Sungsang).
Janin Letak
Sungsang
n
%
Usia Kehamilan Ibu
Berisiko (>42 Minggu)

Usia Kehamilan Ibu Tidak


Berisiko (0-42 Minggu)

Janin Letak
Normal
n
%

22,86%

25

14,29

Tota
l

Nilai PValue

Nilai
Odds
Ratio

0,2088

1,772171

0,2088

1,772171

33

27

77,14%

150

85,71

177

35

100%

175

100%

210

Formulasi Keadaan Data Paritas Ibu Berdasarkan Faktor Risiko (Paritas) dengan Hasil
Jadi (Janin Letak Sungsang).
Janin Letak
Sungsang
n
%

Janin Letak
Normal
n
%

Paritas Ibu Berisiko


(1 atau >4)

27

138

Paritas Ibu Tidak


Berisiko (Antara 2-4)

22,86%

37

23,80%

45

35

100%

175

100%

210

2.

77,14%

76,20%

Total

Nilai PValue

Nilai
Odds
Ratio

0,8232

0,9053378

0,8232

0,9053378

165

sungsang berkurang dengan bertambahnya


usia kehamilan. Letak sungsang terjadi pada
25% dari persalinan yang terjadi sebelum
usia kehamilan 28 minggu, terjadi pada 7%
persalinan yang terjadi pada minggu ke-23
dan terjadi pada minggu ke-32 dan terjadi
pada 1-3 persalinan yang terjadi pada
kehamilan aterm.10
Hasil penelitian formulasi keadaan
data paritas ibu berdasarkan faktor risiko
(paritas) dengan hasil jadi janin letak
sungsang yaitu berdasarkan nilai rasio odds
yang besarnya 0,9053378, dimana mendekati
1(satu), maka paritas tidak termasuk faktor
risiko terjadinya janin letak sungsang, artinya
tidak terdapat asosiasi atau hubungan. Dalam
teori dikatakan bahwa hanya pada ibu
dengan primipara (wanita yang melahirkan

Pembahasan

Hasil penelitian formulasi keadaan


data usia kehamilan ibu berdasarkan faktor
risiko (usia kehamilan ibu) dengan hasil
jadi janin letak sungsang yaitu berdasarkan
nilai rasio odds yang besarnya 1,772171,
dimana lebih besar dari 1 (satu), maka usia
kehamilan merupakan faktor risiko
terjadinya janin letak sungsang, artinya
mempertinggi
risiko.
Sarwono
mengatakan dalam bukunya bahwa pada
kehamilan cukup bulan frekuensi letak
sungsang lebih tinggi, sedangkan pada
kehamilan cukup bulan janin sebagian
besar ditemukan pada presentasi kepala.
Letak sungsang terjadi dalam 3-4% dari
persalinan yang ada. Terjadinya letak

58

bayi hidup) pertama kali saja, karena


pengalaman melahirkan belum pernah
maka kemungkinan terjadinya kelainan
dan komplikasi cukup besar baik pada
kekuatan his (power), jalan lahir
(passage), dan kondisi janin (passager).5

4. Buku Survey Demografi Kesehatan


Indonesia Tahun 2007
5. Haryoga, I Made.2008.Penanganan
Untuk Kehamilan dan Persalinan Letak
Sungsang.
http//:www.imadeharyoga.com
6. Manuaba, Ida Bagus Gde.1998.Ilmu
Kebidanan, Penyakit Kandungan dan
Keluarga Berencana untuk Pendidikan
Bidan, Cetakan Pertama.Jakarta : EGC
7. Manuaba,
Ida
Bagus
Gde.1999.Memahami
Kesehatan
Reproduksi Wanita. Jakarta : Arcan
8. Mochtar, Rustam. 1998. Sinopsis
Obstetri : obstetri fisiologi dan obstetri
patologi. Jakarta : EGC
9. Notoatmodjo,
Soekidjo.
2005.
METODOLOGI
PENELITIAN
KESEHATAN Cetakan ketiga. Jakarta :
PT. RINEKA CIPTA
10. Prawirohardjo, Sarwono. 2005. ILMU
KEBIDANAN Edisi Ketiga, Cetakan
Ketujuh. Jakarta : Tridasa Printer
11. Sugiyono.2005.Statistika
untuk
Penelitian Cetakan Kedelapan. Bandung
: ALFABETA.

3. Kesimpulan dan Saran


a. Kesimpulan
1. Paritas ibu hamil dengan janin letak
sungsang merupakan faktor yang
mempengaruhi janin letak sungsang di
RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka
Raya Tahun 2010
Usia kehamilan ibu hamil dengan
janin letak sungsang tidak termasuk
faktor yang mempengaruhi janin letak
sungsang di RSUD dr. Doris Sylvanus
Palangka Raya Tahun 2010.
b. Saran
1. Diberitahukan bahwa faktor yang
mempengaruhi janin letak sungsang
yaitu salah satunya karena paritas ibu
2. Informasi bagi pasien bahwa salah
satu faktor yang mempengaruhi janin
letak sungsang yaitu paritas ibu, untuk
itu pasien dapat ikut berperan aktif
dalam
kegiatan
pemeliharaan
kehamilan dan persalinan janin letak
sungsang sehingga tercipta hubungan
dua arah antara pasien dan tenaga
kesehatan yang dapat menurunkan
frekuensi kehamilan janin letak
sungsang maupun persalinan janin
letak sungsang. Sehingga tercipta
kualitas kehamilan yang baik sehingga
dapat menurunkan angka kematian
ibu.
DAFTAR PUSTAKA
1. Azwar.Azrul, dkk.2003.Metodologi
Penelitian Kedokteran dan Kesehatan
Masyarakat. Jakarta : Binarupa
Aksara
2. Buku Profil Kementerian Kesehatan
RI Tahun 2009
3. Buku Profil Ruang C RSUD dr. Doris
Sylvanus Palangka Raya Tahun 2008,
Tahun 2009, dan Tahun 2010

59

60

ISSN : 2087-9105

PANDUAN PENULISAN NASKAH


SISTEMATIKA PENULISAN LAPORAN AKHIR PENELITIAN
Unsur - unsur yang ada dalam laporan akhir Penelitian Risbinakes
1. Halaman Sampul, Judul dan Penelitian
2. Kata Pengantar
3. Daftar Isi
4. Abstrak (Indonesia an Inggris)
5. Bab I Pendahuluan, meliputi : Latar Belakang masalah, tujuan umum, tujuan khusus,
hipotensi, manfaat penelitian.
6. Bab II Tinjauan Pustaka, Meliputi : kerangka teori, kerangka konsep dan definisi
operasional.
7. Bab III Metodologi Penelitian meliputi ; lokasi penelitian, waktu penelitian, desain
penelitian, instrumen penelitian, populasi dan sample, tehnik pengumpulan data,
tehnik pengolahan data, dan analisa data statistik.
8. Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan, meliputi : Penyajian hasil pengumpulan data
dalam bentuk tabel dan atau grafik, membandingkan hasil penelitian dengan bahan
publikasi lain yang sejenis dengan penelitian seperti buku, jurnal dll.
9. Bab V Kesimpulan dan Saran, Kesimpulan pada umumnya mengemukakan hasil
pembahasan yang berkaitan dengan tujuan khusus sehingga dapat menggambarkan
sekaligus menjawab tujuan umum, sedangkan saran adalah tindak lanjut dari
kesimpulan yang diperoleh sehingga jika saran ini dilakukan maka akan dapat
mengurangi atau mengeliminasi masalah yang ada.
10. Daftar Pustaka
11. Lampiran, meliputi jadwal kegiatan, surat izin selama penelitian, hasil analisa statistic
(bila ada) denah lokasi, dll yang dianggap mendukung tujuan penelitian.
Petunjuk Bagi Calon Penulis Jurnal Forum Kesehatan
1. Jurnal Forum menerima naskah tentang Kesehatan atau yang berhubungan dengan
Kesehatan, baik berupa telaah pustaka (hanya atas undangan) dan hasil penelitian yang
bermanfaat bagi kemajuan ilmu Kesehatan maupun perbaikan program kesehatan
khususnya di Indonesia. Naskah belum pernah dimuat ataupun sedang diajukan untuk
dimuat dalam media komunikasi lainnya. Naskah yang dikirim belum tentu dimuat
tergantung pada pertimbangan Dewan Redaksi. Naskah yang tidak dimuat tidak akan
dikembalikan kecuali disertai perangko Pengiriman.
2. Naskah yang ditulis untuk Jurnal Forum Kesehatan diketik dengan huruf Times New
Roman, ukuran 12 pts, dengan jarak (2) spasi, diatas kertas HVS ukuran kuarto (A4),
panjang naskah minimum 8 maksimum 15 halaman. Naskah diketik dengan (2) kolom,
dikirim rangkap dua (2) disertai dengan Disket,CD-Rom atau Flasdisk ke alamat :

Jurnal Forum Kesehatan, Politeknik Kesehatan Kemenkes Palangka Raya, Unit


Perpustakaan Jalan George Obos Nomor 32 Palangka Raya 73112, Telepon (0536)
3230730 / 08561073357, email : forumkesehatanpky@gmail.com.
3. Judul naskah dicetak dengan huruf besar ditengah dengan huruf sebesar 14 pts.
Peringkat judul dicetak dengan ukuran yang berbeda :
Peringkat 1 (Huruf Besar Semua, Tebal, Rata Tepi Kiri), Pts 12
Peringkat 2 (Huruf Besar Kecil, Tebal, Rata Tepi Kiri) pts 11
Peringkat 3 (Huruf Besar Kecil, Tebal-Miring, Rata Tepi Kiri) pts 10
4. Nama penulis artikel/naskah dicantumkan tanpa gelar akademik dan ditempatkan
dibawah judul artikel. Nama penulis hendaknya dilengkapi dengan alamat
korespondensip serta nama dan alamat lembaga tempat peneliti. Jumlah penulis
maksimum tiga (3) orang. Dalam hal peneliti dilakukan oleh tim, penyunting hanya
berhubungan dengan penulis utama atau penulis yang namanya tercantum pada urutan
pertama. Penulis dianjurkan menggunakan email untuk memudahkan komunikasi.
Penulis utama juga diminta untuk mengisi Formulir pernyataan originalitas naskah
yang ditulis. Formulir disediakan oleh Jurnal Forum Kesehatan.
5. Dibawah nama penulis dicantumkan abstrak dalam bahasa Inggris untuk naskah
berbahasa Indonesia dan dalam bahasa Inggris bila naskah berbahasa Inggris. Abstrak
ditulis tanpa alenia (paragraf) maksimum 200 kata, satu spasi, disertai lima (5) kata
kunci.
6. Artikel/naskah ditulis dalam bahasa Indonesia/Inggris dengan sistematika penulisan
naskah asli (hasil penelitian) terdiri atas : Pendahuluan, Tinjauan Pustaka, Metode,
Hasil dan Pembahasan, Kesimpulan dan Saran dan Rujukan (hanya memuat sumbersumber yang dirujuk).
7. Segala Sesuatu yang menyangkut Ethical clearance, perijinan, pengutipan dan
penggunaan software computer untuk pembuatan naskah atau hal lainnya yang terkait
dengan HKI yang dilakukan oleh penulis, berikut konsekuensi hukum yang mungkin
timbul karenanya, menjadi tanggung jawab penuh penulis artikel.
8. Biodata seluruh penulis yang memuat data pribadi ditulis pada lembar terpisah. Data
pribadi diisi nama, tempat dan tanggal lahir, pekerjaan, instansi tempat kerja, alamat
kantor dan rumah beserta nomor telpon/hp, riwayat pendidikan (hanya Pendidikan
Tinggi), pengalaman penelitian dan publikasi.
9. Judul tabel ditulis pada bagian atas, sedangkan judul grafik atau bagan ditulis dibagian
bawah. Lambang dan singkatan kecuali satuan ukuran yang sudah baku hanya
digunakan dalam tabel dengan mencantumkan keterangan pada bagian bawah.
Lambang atau singkatan didalam naskah boleh digunakan hanya sesudah ada
penjelasan atau kepanjangannya.
10. Sumber rujukan sedapat mungkin menggunakan pustaka terbitan 10 (sepuluh) tahun
terakhir. Rujukan yang diutamakan adalah sumber sumber primer berupa laporan
penelitian, atau artikel-artikel dalam jurnal dan majalah ilmiah yang terakreditasi
secara nasional atau Internasional. Jumlah rujukan minimum delapan (8) dan
maksimum Lima Belas (15). Pencantuman sumber pada kutipan langsung disertai
dengan nomor halaman tempat asal kutipan.
contoh : (Polit and Hungler, 2006:47)

11. Penulisan rujukan menggunakan Harvard Style diurut secara alfabetis seperti contoh
berikut ini;
Buku :
Green, S.B.& Salkind, N.J. 2004. Using SPSS for Windows and Macintosh Analysing
and Understanding Data. Fourth Editon.New Jersey: Prentice Hall
Buku Kumpulan Artikel :
Nicol,M.& Glen,S. (Eds.). 1999. Clinical Skills in Nursing: The return of the practical
room?
London: McMilla Press LTD
Atikel dalam Buku Kumpulan artikel :
Rideout, E.& Carpio,B.2001. The Problem-Based Learning Model of Nursing
Education. In B.Rideout (Eds.)Transforming Nursing Education Through ProblemBased Learning.(p.21-49). Toronto: Jones and Bartllet Publisher.
Ariel dalam Jurnal atau Majalah :
Husaini, Y.K.2006. Perilaku Memberi Makan Untuk Meningkatkan Tumbuh
Kembang Anak.
Gizi Indonesia, 29 (1): 58-64
Artikel Dalam Koran :
Sunarty, S.31 Desember, 2010. Penurunan Kepekaan Sosial Remaja.Kalteng Post,
hlm.11
Tulisan/berita dalam Koran (tanpa nama pengarang) :
Kalteng Post. 31 Desember,2010.RSUD Berlaku Tarif Baru, hlm.9.
Dokumen Resmi :
Direktorat Ketenagaan Dirjen Dikti, 2006. Himpunan Peraturan Tentang Pola
Pembinaan Karier Dosen Perguruan Tinggi di Indonesia.Jakarta: Depdiknas.
Buku Terjemahan:
Tits,S,Mayers,M.,Wodak,R.& Vetter,E.1999. Metode Analisis Teks & Wacana.
Terjemahan Oleh : Abdul Syukur Ibrahim (Eds.) Gazali,Frans Thomas dan Suwarna
Priggawidagda., 2000. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Skripsi, Thesis, Disertasi, Laporan Penelitian:
Kuncoro,T.1996. Pengembangan Kurikulum pelatihan Magang di STM Nasional
Malang Jurusan Bangunan Program Studi Bangunan Gedung : Suatu studi
Berdasarkan Kebutuhan Dunia Usaha Jasa Konstruksi. Tesis Tidak Diterbitkan
Malang - PPS IKIP MALANG.

You might also like