You are on page 1of 14

A.

DEFENISI
Atresia bilier adalah suatu defek kongenital yang merupakan hasil dari tidak
adanya atau obstruksi satu/lebih saluran empedu pada ekstra hepatik atau intra hepatik
(Suriadi, 2001)
Atresia bilier adalah sumbatan saluran empedu mengenai seluruh atau sebagian
dari saluran empedu ekstrahepatik atau intrahepatik, ekstrahepatik bila sumbatan terjadi
didalam duktus koledokus, dan intrahepatik bila penyumbatan terjadi antara sel hati dan
duktus koledokus. (Ilmu Kesehatan Anak , 1985 : 542)
Atresia biliary merupakan obliterasi atau hipoplasi satu komponen atau lebih dari
duktus biliaris akibat terhentinya perkembangan janin, menyebabkan ikterus persisten
dan kerusakan hati yang bervariasi dari statis empedu sampai sirosis biliaris, dengan
splenomegali bila berlanjut menjadi hipertensi porta. (Kamus Kedokteran Dorland 2002)
Atresia bilier atau atresia biliaris ekstrahepatik merupakan proses inflamasi progresif
yang menyebabkan fibrosis saluran empedu intrahepatik maupun ekstrahepatik sehingga
pada akhirnya akan terjadi obstruksi saluran tersebut. (Donna L. Wong 2008: 1028)
Atresia bilier merupakan kegagalan perkembangan lumen pada korda epitel yang
akhirnya menjadi duktus biliaris, kegagalan ini bisa menyeluruh atau sebagian.
(Chandrasoma & Taylor,2005)
Atresia Billiary merupakan kelainan kongenital yang berhubungan dengan
kolangio hepatic intra uteri dimana saluran empedu mengalami fibrosis. Proses ini sering
berjalan terus setelah bayi lahir sehingga prognosis umumnya buruk. (Sjamsu Hidajat,
1998)

Gambar 1
Atresia Bilier
B. ANATOMI DAN FISIOLOGI
1. Anatomi Sistem Biliary
Hati terletak di belakang tulang-tulang iga (kosta) dalam rongga abdomen daerah
kanan atas. Hati memiliki berat sekitar 1500 gr, dan di bagi menjadi empat lobus.
Setiap lobus hati terbungkus oleh lapisan tipis jaringan ikat yang membentang ke
dalam lobus itu sendiri dan membagi massa hati menjadi unit-unit yang lebih kecil,
yang disebut lobulus. Sirkulasi darah ke dalam dan ke luar hati sangat penting dalam
penyelenggaran fungsi hati.
Saluran empedu terkecil yang disebut kanalikulus terletak di antara lobulus hati.
Kanalikulus menerima hasil sekresi dari hepatosit yang membawanya ke saluran
empedu yang lebih besar yang akhirnya akan membentuk duktus hepatikus. Duktus
hepatikus dari hati dan duktus sistikus dari kandung empedu bergabung untuk
membentuk duktus koledokus (commom bile duct) yang akan mengosongkan isinya
ke dalam intestinum. Aliran empedu ke dalam intestinum di kendalikan oleh sfingter
Oddi yang terletak pada tempat sambungan (junction) di mana duktus koledokus
memasuki duodenum.
Kandung empedu (vesika felea), yang merupakan organ berbentuk sebuah pear,
berongga dan menyerupai kantong dengan panjang 7,5-10 cm, terletak dalam suatu
cekungan yang dangkal pada permukaan inferior hati dimana organ tersebut terikat
pada hati oleh jaringan ikat yang longgar. Kapasitas kandung empedu 30-50 ml
empedu. Dindingnya terutama tersusun dari otot polos. Kandung empedu
dihubungkan dengan duktus koledokus lewat duktus sistikus.
a. Kandung Empedu
Kandung empedu adalah sebuah kantung berbentuk seperti buah pear, memiliki
panjang 7-10 cm dengan kapasitas 30-50 ml namun saat terdistensi dapat
mencapai 300 ml. Kandung empedu berlokasi di sebuah lekukan pada
permukaaan bawah hepar yang secara anatomi membagi hepar menjadi lobus
2

kanan dan lobus kiri. Kandung empedu dibagi menjadi 4 area secara anatomi
yaitu fundus, leher, corpus, dan infundibulum.
Fundus berbentuk bulat dan ujungnya 1-2 cm melebihi batas hepar, strukturnya
kebanyakan berupa otot polos, kontras dengan korpus yang kebanyakan terdiri
dari jaringan elastis. Leher biasanya membentuk sebuah lengkungan, yang
mencembung dan membesar membentuk Hartmanns pouch.
Kandung empedu terdiri dari epitel silindris yang mengandung kolesterol dan
tetesan lemak. Mukus disekresi ke dalam kandung empedu dalam kelenjar
tubuloalveolar yang ditemukan dalam mukosa infundibulum dan leher kandung
empedu, tetapi tidak pada fundus dan korpus. Epitel yang berada sepanjang
kandung empedu ditunjang oleh lamina propria. Lapisan ototnya adalah serat
longitudinal sirkuler dan oblik, tetapi tanpa lapisan yang berkembang sempurna.
Perimuskular subserosa mengandung jaringan penyambung, saraf, pembuluh
darah, limfe dan adiposa. Kandung empedu ditutupi oleh lapisan serosa kecuali
bagian kandung empedu yang menempel pada hepar. Kandung empedu
dibedakan secara histologis dari organ-organ gastrointestinal lainnya dari lapisan
muskularis mukosa dan submukosa yang sedikit.
Arteri sistika yang mensuplai kandung empedu biasanya berasal dari
cabang arteri hepatika kanan. Lokasi Arteri sistika dapat bervariasi namun hampir
selalu di temukan di segitiga hepatosistica, yaitu area yang dibatasi oleh Ductus
sistikus, Ductus hepaticus komunis dan batas hepar (segitiga Calot). Ketika arteri
sistika mencapai bagian leher dari kandung empedu, akan terbagi menjadi
anterior dan posterior. Aliran vena akan melalui vena kecil dan akan langsung
memasuki hepar, atau lebih jarang akan menuju vena besar sistika menuju vena
porta. Aliran limfe kandung empedu akan menuju kelenjar limfe pada bagian
leher.
Persarafan kandung empedu berasal dari nervus vagus dan dari cabang
simpatis melewati pleksus celiaca. Tingkat preganglionik simpatisnya adalah T8
3

dan T9. Rangsang dari hepar, kandung empedu, dan duktus biliaris akan menuju
serat aferen simpatis melewati nervus splanchnic memediasi nyeri kolik bilier.
Cabang hepatik dari nervus vagus memberikan serat kolinergik pada kandung
empedu, duktus biliaris dan hepar.
b. Pembentukan empedu
Empedu dibentuk secara terus menerus oleh hepatosit dan dikumpulkan
dalam kanalikulus serta saluran empedu. Empedu terutama tersusun dari air dan
elektrolit, seperti natrium, kalium, kalsium, klorida serta bikarbonat, dan juga
mengandung dalam jumlah yang berati beberapa substansi seperti lesitin,
kolesterol, billirubin serta garam-garam empedu. Empedu dikumpulkan dan
disimpan dalam kandung empedu untuk kemudian dialirkan ke dalam intestinum
bila diperlukan bagi pencernaan. Fungsi empedu adalah ekskretorik seperti
ekskresi bilirubin dan sebagai pembantu proses pencernaan melalui emulsifikasi
lemak oleh garam-garam empedu.
Garam-garam empedu disintesis oleh hepatosit dari kolesterol. Setelah terjadi
konjugasi atau pengikatan dengan asam-asam amino (taurin dan glisin), garam
empedu diekskresikan ke dalam empedu. Bersama dengan kolesterol dan lesitin,
garam empedu diperlukan untuk emulsifikasi lemak dalam intestinum. Proses ini
sangat penting untuk proses pencernaan dan penyerapan yang efisien.
Kemudian garam empedu akan diserap kembali, terutama dalam ileum distal, ke
dalam darah portal untuk kembali ke hati dan sekali lagi diekskresikan ke dalam
empedu. Lintasan hepatosit empedu intestinum dan kembali lagi kepada hepatosit
dinamakan sirkulasi enterohepatik. Akibat adanya sirkulasi enterohepatik, maka
dari seluruh garam empedu yang masuk ke dalam intestinum, hanya sebagian
kecil yang akan diekskresikan ke dalam feses. Keadaan ini menurunkan
kebutuhan terhadap sintesis aktif garam empedu oleh sel-sel hati.
c. Ekskresi Bilirubin

Bilirubin adalah pigmen yang berasal dari pemecahan hemoglobin oleh


sel-sel pada sistem retikuloendotelial yang mencakup se-sel Kupffer dari hati.
Hepatosit mengeluarkan bilirubin dari dalam darah dan melalui reaksi kimia
mengubahnya lewat konjugasi menjadi asam glukoronat yang membuat bilirubin
lebih dapat larut di dalam larutan yang encer. Bilirubin terkonjugasi
diekskresikan oleh hepatosit ke dalam kanalikulus empedu di dekatnya dan
akhirnya dibawa dalm empedu ke duodenum.
Dalam usus halus, bilirubin dikonversikan menjadi urobilinogen yang sebagian
akan diekskresikan ke dalam feses dan sebagian lagi diabsorbsi lewat mukosa
intestinal ke dalam daerah portal. Sebagian besar dari urobilinogen yang diserap
kembali ini dikeluarkan oleh hepatosit dan diekskresikan sekali lagi ke dalam
empedu (sirkulasi enterehepatik). Sebagian urobilinogen memasuki sirkulasi
sistemik dan diekskresikan oleh ginjal ke dalam urin. Eliminasi bilirubin dalam
empedu menggambarkan jalur utama ekskresi bagi senyawa ini.
Konsentrasi bilirubin dalam darah dapat meningkat jika terdapat penyakit
hati, bila aliran empedu terhalang (yaitu, oleh batu empedu dalam saluran
empedu) atau bila terjadi penghancuran sel-sel darah merah yang berlebihan.
Pada obstruksi saluran empedu, bilirubin tidak memasuki intestinum dan sebagai
akibatnya, urobilinogen tidak terdapat dalam urin.

Gambar 2
Anatomi Bilier

2. Fisilogi Kandung Empedu


Kandung empedu berfungsi sebagai depot penyimpanan bagi empedu. Di antara
saat-saat makan, ketika sfingter Oddi tertutup, empedu yang diproduksi oleh
hepatosit akan memasuki kandung empedu. Selama penyimpanan, sebagian besar air
dalam empedu diserap melalui dinding kandung empedu sehingga empedu dalam
kandung empedu lebih pekat lima hingga sepuluh kali dari konsentrasi saat
diekskresikan pertama kalinya oleh hati. Ketika makanan masuk ke dalam duodenum
akan terjadi kontraksi kandung empedu dan relaksasi sfingter Oddi yang
memungkinkan empedu mengalir masuk ke dalam intestinum. Respon ini diantarai
oleh sekresi hormon kolesitokinin-pankreozimin (CCK-PZ) dari dinding usus.
C. ETIOLOGI
Etiologi Atresia Billiary masih belum diketahui dengan pasti. Atresia Billiary
terjadi antara lain karena proses inflamasi berkepanjangan yang menyebabkan kerusakan
progresif pada duktus bilier ekstra hepatik sehingga menyebabkan hambatan aliiran
empedu. Ada juga sebagian ahli yang menyatakan bahwa faktor genetik ikut berperan,

yang dikaitkan dengan adanya kelainan kromosom trisomi 17, 18 dan 21 serta
terdapatnya anomaly oragan pada 10-30 % kasus Atresia Billiary. (Parlin Ringoringo)
Atresia atau hipoplasia dapat melibatkan semua atau sebagian dari duktus biliaris
ekstrahepatic dan juga duktus intrahepatic.
Hal penting yang harus diketahui bahwa atresia bilier bukanlah penyakit yang
diturunkan. Kasus atresia bilier pernah terjadi pada bayi kembar identik, dimana hanya
satu anak yang menderita penyakit tersebut. (Steven M, 2009)
Insiden Atresia Billiary adalah 1/10000 sampai 1/14.000 kelahiran hidup. Rasio atresia
billiary pada anak perempuan dan laki-laki adalah +1,4:1. Dari 904 kasus atresia billiary
yang terdaftar di lebih dari 100 institusi, atresia billiary terdapat pada ras Kaukasia
(62%), berkulit hitam (20%), Hispanik (11%), Asia (4,2%) dan Indian Amerika (1,5%).
D. KLASIFIKASI ATRESIA BILLIER
Menurut anatomis atresia billier ada 3 tipe :
1. Tipe I Atresia sebagian atau totalis yang disebut duktus hepatikus komunis, segmen
proksimal paten
2. Tipe IIa Obliterasi duktus hepatikus komunis (duktus billiaris komunis, duktus
sistikus, dan kandung empedu semuanya)
3. Tipe IIb Obliterasi duktus bilierkomunis, duktus hepatikus komunis, duktus sistikus,
kandung empedu normal
4. Tipe III Obliterasi pada semua system duktus billier ekstrahepatik sampai ke hilus
Tipe I dan II merupakan jenis atresia yang dapat di operasi (correctable) sedangkan tipe
III adalah bentuk atresia yang tidak dapat di operasi (non correctable), bila telah terjadi
sirosis maka dilakukan transpalantasi hati. (Parlin Ringoringo)

Gambar 3
Klasifikasi Atresia Bilier
E. PATOFISIOLOGI
Penyebabnya sebenarnya atresia bilier tidak diketahui sekalipun mekanisme imun
atau viral injurio bertanggung jawab atas progresif yang menimbulkan obstruksi saluran
empedu. Berbagai laporan menunjukkan bahwa atresia bilier tidak terlihat pada janin,
bayi yang baru lahir (Halamek dan Stefien Soen, 1997). Keadaan ini menunjukan bahwa
atresia bilier terjadi pada akhir kehamilan atau pada periode perinatal dan
bermanisfestasi dalam waktu beberapa minggu sesudah dilahirkan. Inflamasi terjadi
secara progresif dengan menimbulkan obstruksi dan fibrosis pada saluran empedu
intrahepatik atau ekstrahepatik (Wong, 2008).
Obstruksi pada saluran empedu ekstrahepatik menyebabkan obstruksi aliran
normal empedu keluar hati, kantung empedu dan usus akhirnya akan menyebabkan
peradangan, edema, degenerasi hati, bahkan hati menjadi fibrosis dan sirosis.
Obstruksi melibatkan dua duktus hepatic yaitu duktus biliaris yang menimbulkan ikterus
dan duktus didalam lobus hati yang meningkatkan ekskresi bilirubin. Obstruksi yang
terjadi mencegah terjadi bilirubin ke dalam usus menimbulkan tinja berwarna pucat
seperti kapur.
Obstruksi bilier menyebabkan akumulasi garam empedu di dalam darah sehingga
menimbulkan gejala pruritus pada kulit. Karena tidak adanya empedu dalam usus, lemak
dan vitamin A, D, E, K tidak dapat di absorbsi sehingga mengalami kekurangan vitamin
yang menyebabkan gagal tumbuh pada anak (Parakrama, 2005).
F. MANIFESTASI KLINIS
1. Warna tinja pucat, terhambatnya aliran empedu untuk mengakut garam empedu yang
diperlukan untuk mencerna lemak dalam usus halus dimana fungsi empedu adalah
mengekresikan bilirubin dan membantu proses pencernaan melalui emulsifikasi
lemak oleh garam empedu
8

2.
3.
4.
5.
6.

Asites
Spenomegali
Distensi abdomen
Hepatomegali
Pruritus, akibatnya adanya obstruksi pada saluran empedu maka terjadi resistensi

garam empedu
7. Jaundice dalam 2 minggu sampai 2 bulan (kenaikan kadar bilirubin berlangsung
cepat >5 mg/dl dalam 24 jam, kadar bilirubin serum >12 mg/dl pada bayi cukup
bulan serta >15 mg/dl pada bayi premature pada minggu pertama kehidupan), karena
obtruksi pengaliran getah empedu dalam duodenum akan menimbulkan gejala yang
khas yaitu getah empedu tidak dibawa ke duodenum tapi di serap oleh darah dan
penyerapan empedu ini akan menyebabkan kulit dan membrane mukosa berwarna
kuning
8. Letargi
9. Urine berwarna gelap, sebagian urobilinogen memasuki sirkulasi sistemik dan di
ekresikan ginjal ke dalam urine pada obstruksi saluran empedu bilirubin tidak
memasuki intestinum sehingga urobilinogen tidak terdapat dalam urine
10. Bayi tidak mau minum dan lemah
11. Mual muntah

G. KOMPLIKASI
1. Kolangitis
Komunikasi langsung dari saluran empedu intrahepatic ke usus, dengan aliran
empedu yang tidak baik, dapat menyebabkan ascending cholangitis. Hal ini terjadi
terutama dalam minggu-minggu pertama atau bulan setelah prosedur Kasai sebanyak
30-60% kasus. Infeksi bisa berat dan kadang-kadang fulminan. Ada tanda-tanda
sepsis (demam, hipotermia, status hemodinamik terganggu), ikterus yang berulang,
feses acholic dan mungkin timbul sakit perut. Diagnostic dapat dipastikan dengan
kultur darah atau biopsy hati.
2. Hipertensi portal

Aliran darah yang melewati hati terganggu (rusak) meningkatkan tekanan darah yang
melewati vena vortal, diikuti oleh penumpukan cairan dirongga abdomen
mengakibatkan volume intravena menurun dan ginjal melepas renin yang
meningkatkan skeresi hormon aldesteron oleh kelenjar adrenal yang selanjutnya
membuat ginjal menahan natriun dan air dalam upaya unruk menggembalikan
volume intravaskuler dalam keadaan normal.
3. Hepapulmonary syndrome dan hipertensi pulmonal
Seperti pada pasien dengan penyebab lain secara spontan (sirosis atau prehepatic
hipertensi portal) atau diperoleh (bedah) portosystemic shunts, shunts pada
arterivenosus pilmo mungkin terjadi. Biasanya, hal ini menyebabkan hipoksia,
sianosis dan dyspneu. Diagnosis dapat ditegakkan dengan scintigraphy paru. Selain
itu, hipertensi pulmonal dapat terjadi pada anak-anak dengan sirosis yang menjadi
penyebab kelesuan dan bahkan kematian mendadak. Diagnosis dalam kasus ini dapat
ditegakkan oleh echocardiograf. Transplantasi liver dapat membalikkan shunts, dan
dapat membalikkan hipertensi pulmonal ke tahap semula.
4. Keganasan
Hepatocarcinomas, hepatoblastomas, dan cholangiocarcinomas dapat timbul pada
pasien dengan atresia bilier yang mengalami bilier. Skrining untuk keganasan harus
dilakukan secara teratur dalam tindak lanjut pasien dengan operasi Kasai yang
berhasil.
H. PEMERIKSANAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Laboratorium
a. Pemerikasaan rutin
1) Kadar komponen bilirubin direk < 4 mg/dl.
2) Kadar SGOT normal.
3) Kadar SGPT normal.
b. Pemeriksaan khusus
Pemeriksaan Aspirasi Duodenum (DAT) merupakan upaya diagnostik yang
cukup sensitif. Pawlaskaw menyatakan bahwa karena kadar bilirubin dalam
empedu hanya 10 %, sedangkan kadar asam empedu di dalam empedu adalah

10

60%. Maka asam empedu di dalam cairan duodenum dapat menentukan adanya
Atresia Billiary.
2. Penelitian
Untuk menentukan potensi saluran empedu dan menilai parenkim hati.
a. Pemeriksaan Ultra Sonografi
Diagnostik USG dilakukan dalam 3 fase: saat puasa, saat minum dan sesudah
minum.
b. Sintigrafi Hati
1) Isotop Technetium
Sebelum dilakukan pemeriksaan, pasien diberikan fenobarbital 5 mg/kgBB
per hari per oral dalam 2 dosisi selama 5 hari. Pada Atresia Billiary, proses
pengambilan isotop normal, tetapi ekskresinya ke usus lambat atau tidak
terjadi sama sekali.
2) Indeks hepatik kurang dari 4,3 merupakan petunjuk kuat adanya Atresia
Billiary.
c. Pemeriksaan Kelangiografi
Pemeriksaan ERCP (Endoscopic Retrograde Cholangio Pancreaticography)
merupakan upaya diagnostik dini yang berguna untuk membedakan antara
Atresia Billiary dengan kolestasis intra hepatik.

Gambar 4
Kelangiografi
d. Liver scan
Scan pada

liver

dengan

menggunakan

metode

HIDA

(Hepatobiliary

Iminodeacetic Acid). HIDA melakukan pemotretan pada jalur dari empedu dalam
tubuh, sehingga dapat menunjukkan bilamana ada blockade pada aliran empedu.
11

3. Biopsi hati
Gambaran histopatologik hati adalah alat diagnostic yang paling dapat diandalkan. Di
tangan seorang ahli patologi yang berpengalaman, akurasi diagnostiknya mencapai
95%, sehingga dapat membantu pengambilan keputusan untuk melakukan laparatomi
eksplorasi, dan bahkan berperan untuk penentuan operasi Kasai. Keberhasilan aliran
empedu pasca operasi Kasai ditentukan oleh diameter duktus bilier yang paten di
daerah hilus hati. (Steven M, 2009)
I. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada pasien dengan kasus Atresia Billiary antara
lain
:
1. Terapi Medika Mentosa
Terapi Medika Mentosa ini bertujuan untuk
:
a. Memperbaiki aliran bahanbahan yang dihasilkan oleh hati, terutama asam
empedu (asam litokolat), dengan memberikan
:
1) Fenobarbital 5 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis per oral.
Fenobarbital akan merangsang enzim glukoronil transferase yang berfungsi
untuk mengubah bilirubin indirek menjadi bilirubin direk.
2) Enzim sitokrom P-450, berfungsi untuk oksigenasi toksin.
3) Enzim Na+, K+, ATPase yang berfungsi menginduksi aliran empedu.
4) Kolestiramin 1gr/kgBB/hari dibagi menjadi 6 dosis atau sesuai jadwal
pemberian susu. Kolestiramin memotong siklus enterohepatik asam empedu
sekunder.
b. Pencitraan untuk menentukan potensi saluran empedu dan menilai parenkim hati.
1) Asam ursodeoksikolat, 310 mg/kgBB/hari dibagi 3 dosis per oral. Asam
ursodeoksikolat mempunyai daya ikat kompetitif terhadap asam litokolat
yang hepatotoksik.
2. Terapi Nutrisi
Terapi Nutrisi ini memungkinkan anak tumbuh dan berkembang seoptimal mungkin,
yaitu dengan :
a. Pemberian makanan yang mengandung Medium Chain Trigliserida (MCT) untuk
mengatasi mal absorbsi lemak.
b. Penatalaksanaan defisiensi vitamin yang larut dalam lemak.
3. Terapi Bedah

12

Jika pada semua pemeriksaan yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis gagal
atau dengan hasil yang meragukan, Fitzgerald mengajukan untuk segera dilakukan
Laparatomi Eksplorasi pada keadaan sebagai berikut :
a. Bila feses tetap akolik dengan bilirubin direk > 4 mg/dl atau terus meningkat
meskipun telah diberi Fenobarbital atau telah dilakukan Uji Prednison selama 5
hari.
b. Gamma-GT meningkat > 5 hari
c. Tidak ada defisiensi alfa-1 antitripsin.
d. Pada Sintigrafi tidak ditemukan eksresi usus.
Jika diagnosis telah ditegakkan, maka segera dilakukan intervensi bedah dengan
ketentuan :
a. Pada Atresia Billiary yang dapat dikoreksi (correctable) yaitu tipe I dan II dengan
intervensi bedah portoenterostomi
b. Pada Atresia Billiary yang tidak dapat dikoreksi (noncorrectable), terlebih dahulu
dilakukan laparatomi eksplorasi untuk menentukan potensi duktus bilier yang ada
di daerah hilus hati dengan bantuan Frozen Section. Masih ada atau tidaknya
duktus bilier yang paten tetap dikerjakan operasi Kasai, yaitu operasi untuk
melompati Atresia Billiary dan langsung menghubungkan hati dengan usus halus
(hanya untuk tujuan jangka pendek) dan bila mungkin untuk persiapan
transplantasi hati (untuk tujuan jangka panjang).
1) Terapi bedah Kasai prosedur
Prosedur yang terbaik adalah mengganti saluran empedu yang mengalirkan
empedu ke usus. Tetapi prosedur ini hanya mungkin dilakukan pada 5-10%
penderita. Untuk melompati atresia bilier langsung menghubungkan hati
dengan usus halus, dilakukan pembedahan yang disebut operasi Kasai.
Pembedahan akan berhasil jika dilakukan sebelum bayi berusia 8 minggu.
Biasanya pembedahan ini hanya merupakan pengobatan sementara pada
akhirnya perlu dilakukan pencangkokan hati. (Widodo Judarwanto).

13

Gambar
Kasai Prosedur

DAFTAR PUSTAKA

Hull, David dan Derek I. Johnston. 2008. Dasar-Dasar Pediatric Edisi 3. Jakarta; EGC
Ringoringo, Parlin. Atresia Bilier Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta; FKUI RSCM
Suradi dkk. 2006. Asuhan Keperawatan Pada Anak. Edisi 2. Penebar Swadaya, Jakarta
Schwartz, Shires Spencer. 2002. Intisari Prinsip-Prinsip Ilmu Bedah Edisi 6. Jakarta; EGC

14

You might also like