You are on page 1of 20

SGD 2 LBM 4

Perjalanan n.fasialis
Anatomi
Nervus facialis(nervus cranialis ke tujuh) memiliki dua komponen. Bagian yang lebih besar terdiri dari serabut
saraf eferen yang merangsang ekspresi otot wajah. Bagian yang kecil terdiri dari serabut saraf perasa di
sepertiga anterior lidah, serabut sekretomotor ke glandula lacrimalis dan salivarius, dan beberapa serabut
saraf nyeri.

Jalur saraf
Jalur nervus facialis adalah sangat kompleks, akibatnya saraf ini rentan mengalami luka / jejas. Kedua bagian
nervus facialis meninggalkan otak di cerebellopontine, melalui fossa cranialis posterior, masuk ke meatus
acusticus internus, melalui canalis facialis di tulang temporal, selanjutnya berbelok ke belakang melewati
belakang tulang tengah dan keluar dari cranium pada foramen stylomastoideus. Dari sini, nervus
facialismenembus glandula parotis, dan cabang terminalnya keluar dari pleksus parotis untuk merangsang
terjadinya ekspresi wajah.
http://www.scribd.com/doc/36952039/JURNAL-SARAF

Anatomi Nervus Fasialis


Saraf otak ke VII mengandung 4 macam serabut, yaitu :
1. Serabut somato motorik, yang mensarafi otot-otot wajah kecuali m. levator palpebrae (N.III), otot
platisma, stilohioid, digastrikus bagian posterior dan stapedius di telinga tengah.
2. Serabut visero-motorik, (parasimpatis) yang datang dari nukleus salivatorius superior. Serabut saraf ini
mengurus glandula dan mukosa faring, palatum, rongga hidung, sinus paranasal, dan glandula submaksilaris
serta sublingual dan lakrimalis.
3. Serabut visero-sensorik, yang menghantar impuls dari alat pengecap di dua pertiga bagian depan lidah.
4. Serabut somato-sensorik, rasa nyeri dan mungkin juga rasa suhu dan rasa raba dari sebagian daerah kulit
dan mukosa yang dipersarafi oleh nervus
trigeminus.

Nervus VII terutama terdiri dari saraf motorik yang mempersarafi seluruh otot mimik wajah. Komponen
sensorisnya kecil, yaitu nervus intermedius Wrisberg yang mengantarkan rasa pengecapan dari 2/3 bagian
anteriort lidah dan sensasi kulit dari dinding anterior kanalis auditorius eksterna. Serabut-serabut rasa
pengecapan pertama-tama melintasi nervus lingual, yaitu cabang dari nervus mandibularis lalu masuk ke korda
timpani dimana ia membawa sensasi pengecapan melalui nervus fasialis ke nukleus traktus solitarius. Serabutserabut sekretomotor menginervasi kelenjar lakrimal melalui nervus petrosus superfisial major dan kelenjar
sublingual serta kelenjar submaksilar melalui korda tympani.
Nukleus (inti) motorik nervus VII terletak di ventrolateral nukleus abdusens, dan serabut nervus fasialis
dalam pons sebagian melingkari dan melewati bagian ventrolateral nukleus abdusens sebelum keluar dari pons
di bagian lateral traktus kortikospinal. Karena posisinya yang berdekatan (jukstaposisi) pada dasar ventrikel
IV, maka nervus VI dan VII dapat terkena bersama-sama oleh lesi vaskuler atau lesi infiltratif. Nervus
fasialis masuk ke meatus akustikus internus bersama dengan nervus akustikus lalu membelok tajam ke depan
dan ke bawah di dekat batas anterior vestibulum telinga dalam. Pada sudut ini (genu) terletak ganglion
sensoris yang disebut genikulatum karena sangat dekat dengan genu. Nervus fasialis terus berjalan melalui
kanalis fasialis tepat di bawah ganglion genikulatum untuk memberikan percabangan ke ganglion
pterygopalatina, yaitu nervus petrosus superfisial major, dan di sebelah yang lebih distal memberi persarafan
ke m. stapedius yang dihubungkan oleh korda timpani. Lalu nervus fasialis keluar dari kranium melalui foramen
tylomastoideus kemudian melintasi kelenjar parotis dan terbagi menjadi lima cabang yang melayani otot-otot
wajah, m. stilomastoideus, platisma dan m. digastrikus venter posterior
http://www.scribd.com/doc/43595347/Bell-s-Palsy-sudibio

patofisiologi
Para ahli menyebutkan bahwa pada Bells palsy terjadi proses inflamasi akut pada nervus fasialis di daerah
tulang temporal, di sekitar foramen stilomastoideus. Bells palsy hampir selalu terjadi secara unilateral.
Patofisiologinya belum jelas, tetapi salah satu teori menyebutkan terjadinya proses inflamasi pada nervus
fasialis yang menyebabkan peningkatan diameter nervus fasialis sehingga terjadi kompresi dari saraf tersebut
pada saat melalui tulang temporal. Perjalanan nervus fasialis keluar dari tulang temporal melalui analis fasialis
yang mempunyai bentuk seperti corong yang menyempit pada pintu keluar sebagai foramen mental. Dengan
bentukan kanalis yang unik tersebut, adanya inflamasi, demyelinisasi atau iskemik dapat menyebabkan
gangguan dari konduksi. Impuls motorik yang dihantarkan oleh nervus fasialis bisa mendapat gangguan di
lintasan supranuklear, nuklear dan infranuklear. Lesi supranuklear bisa terletak di daerah wajah korteks
motorik primer atau di jaras kortikobulbar ataupun di lintasan asosiasi yang berhubungan dengan daerah
somatotropik wajah di korteks motorik primer. Paparan udara dingin seperti angin kencang, AC, atau
mengemudi dengan kaca jendela yang terbuka diduga sebagai salah satu penyebab terjadinya Bells palsy.
Karena itu nervus fasialis bisa sembab, ia terjepit di dalam foramen stilomastoideus dan menimbulkan
kelumpuhan fasialis LMN. Pada lesi LMN bias terletak di pons, di sudut serebelo-pontin, di os petrosum atau
kavum timpani, di foramen stilomastoideus dan pada cabang-cabang tepi nervus fasialis. Lesi di pons yang
terletak di daerah sekitar inti nervus abdusens dan fasikulus longitudinalis medialis. Karena itu paralisis
fasialis LMN tersebut akan disertai kelumpuhan muskulus rektus lateralis atau gerakan melirik ke arah lesi.
Selain itu, paralisis nervus fasialis LMN akan timbul bersamaan dengan tuli perseptif ipsilateral dan ageusia
(tidak bisa mengecap dengan 2/3 bagian depan lidah). Berdasarkan beberapa penelitian bahwa penyebab utama
Bells palsy adalah reaktivasi virus herpes (HSV tipe 1 dan virus herpes zoster) yang menyerang saraf
kranialis. Terutama virus herpes zoster karena virus ini menyebar ke saraf melalui sel satelit. Pada radang
herpes zoster di ganglion genikulatum, nervus fasialis bisa ikut terlibat sehingga menimbulkan kelumpuhan
fasialis LMN. Kelumpuhan pada Bells palsy akan terjadi bagian atas dan bawah dari otot wajah seluruhnya
lumpuh. Dahi tidak dapat dikerutkan, fisura palpebra tidak dapat ditutup dan pada usaha untuk memejam mata
terlihatlah bola mata yang berbalik ke atas. Sudut mulut tidak bisa diangkat. Bibir tidak bisa dicucurkan dan
platisma tidak bisa digerakkan. Karena lagoftalmos, maka air mata tidak bisa disalurkan secara wajar sehingga
tertimbun. Gejala-gejala pengiring seperti ageusia dan hiperakusis tidak ada karena bagian nervus fasialis

yang terjepit di foramen stilomastoideum sudah tidak mengandung lagi serabut korda timpani dan serabut
yang mensyarafi muskulus stapedius.

http://www.scribd.com/doc/43595347/Bell-s-Palsy-sudibio
bells palsy
Definisi
Bells Palsy (BP) ialah suatu kelumpuhan akut N. Facialis perifer yang tidak diketahui sebabnya. Sir
Charles Bell (1821) adalah orang yang pertama meneliti beberapa penderita dengan wajah
asimetrik, sejak itu semua kelumpuhan n. fasialis perifer yang tidak diketahui sebabnya disebut

Bells palsy.Pengamatan klinik, pemeriksaan neurologik, laboratorium dan patologi anatomi


menunjukkan bahwa BP bukan penyakit tersendiri tetapi berhubungan erat dengan banyak faktor
dan sering merupakan gejala penyakit lain. Penyakit ini lebih sering ditemukan pada usia dewasa,
jarang pada anak di bawah umur 2 tahun.Biasanya didahului oleh infeksi saluran napas bagian atas
yang erat hubungannya dengan cuaca dingin.
http://rwinlog.wordpress.com/2010/12/24/bell%E2%80%99s-palsy/

Etiologi
Penyebab
semua yang berkilau bukan berarti emas (William Shakespeare). Etiologi Bell palsy hingga saat ini masih
tidak jelas, meskipun penyebab vaskuler, infeksi, genetik dan imunologis telah dicari. Pasien-pasien dengan
penyakit atau kondisi lain kadang-kadang juga mengalami palsy nervus facialis perifer, tetapi gangguan ini
tidak digolongkan sebagai Bell palsy.
Infeksi virus: Data klinis dan epidemiologis menunjukkan adanya suatu infeksi pada awal gangguan, yang
mencetuskan respon imunologis, sehingga terjadi kerusakan nervus facialis. Kuman-kuman patogen yang
mungkin adalah virus herpes simpleks tipe I (HSV-1); herpes simpleks virus tipe II (HSV-2); Human herpes
virus (HHV); virus varicella zoster (VZV); Mycoplasma pneumonia; Borrelia burgdorferi; influenza B;
adenovirus; coxsackie virus; virusEibs ein- Bar r; hepatitis A, B, dan C; cytomegalovirus (CMV); dan virus
rubella.

Kehamilan: Bell palsy jarang terjadi pada kehamilan; tetapi, prognosis adalah lebih buruk pada wanita
hamil dengan Bell palsy dari pada wanita tidak hamil yang menderita penyakit ini.
Genetik: Tingkat rekurensi (4.5-15%) dan insiden familial (4.1%) telah dinyatakan dalam berbagai
penelitian. Faktor genetik mungkin berperan pada Bell palsy, tetapi mengenai faktor mana yang diwariskan
masih belum jelas.
http://www.scribd.com/doc/36952039/JURNAL-SARAF

Kausa kelumpuhan n. fasialis perifer sampai sekarang belum diketahui secara pasti. Umumnya dapat
dikelompokkan sbb:

Congenital
1. Anomali Congenital (Sindroma Moebius)
2. Trauma Lahir (Fraktur tengkorak, perdarahan intra-kranial, etc)

Didapat
1. Trauma
2. Penyakit tulang tengkorak (Osteomielitis)
3. Proses intra-kranial (Tumor, radang, perdarahan, etc)
4. Proses di leher yang menekan daerah prosesus stilomastoideus
5. Infeksi tempat lain (otitis media, herpes zoster, etc)
6. Sindroma paralisis N. Facialis familial

Faktor-faktor yang diduga berperan menyebabkan BP antara lain :

Sesudah bepergian jauh dengan kendaraan,

Tidur di tempat terbuka,

Tidur di lantai,

Hipertensi,

Stres,

Hiperkolesterolemi,

Diabetes mellitus,

Penyakit vaskuler,

Gangguan imunologik dan faktor genetik

Penyebab dari penyakit ini belum diketahui secara pasti tetapi dapat diduga bahwa penyebab dari
penyakit ini adalah karena saraf yang mengendalikan otot wajah membengkak, terinfeksi, atau
mampat karena aliran darah berkurang. Ada pula para ahli yang menyatakan bahwa pada kasus Bells
palsy terjadi proses inflamasi akut pada nervus facialis di daerah tulang temporal, di sekitar foramen
stilomastoideus

Bells palsy disebabkan oleh pembengkakan N. facialis sesisi; akibatnya pasokan darah ke saraf
tersebut terhenti, menyebabkan kematian sel sehingga fungsi menghantar impuls/rangsangnya
terganggu; akibatnya perintah otak untuk menggerakkan otot-otot wajah tidak dapat diteruskan.
Kausanya tidak diketahui, umumnya dianggap akibat infeksi semacam virus herpes simpleksvirus
tersebut dapat dormant (tidur) selama beberapa tahun, dan akan aktif jika yang bersangkutan
terkena stres fisik ataupun psikik. Sekalipun demikian Bells palsy tidak menular.
Penyebab Bells Palsy, yakni angin yang masuk ke dalam tengkorak atau foramen stilo mastoideum.
Angin dingin ini membuat syaraf di sekitar wajah sembab lalu membesar. Pembengkakan syaraf nomor
tujuh atau nervous fascialis ini mengakibatkan pasokan darah ke syaraf tersebut terhenti. Hal itu
menyebabkan kematian sel sehingga fungsi menghantar impuls atau rangsangnya terganggu.
Akibatnya, perintah otak untuk menggerakkan otot-otot wajah tidak dapat diteruskan.
Patogenesis & Patologi;

Hingga kini belum ada pesesuaian pendapat. Teori yang dianut saat ini yaitu teori vaskuler. Pada BP
terjadi iskemi primer n. fasialis yang disebabkan oleh vasodilatasi pembuluh darah yang terletak
antara n. fasialis dan dinding kanalis fasialis. Sebab vasodilatasi ini bermacam-macam, antara lain :
infeksi virus, proses imunologik dll. Iskemi primer yang terjadi menyebabkan gangguan mikrosirkulasi
intraneural yang menimbulkan iskemi sekunder dengan akibat gangguan fungsi n. fasialis .

Terjepitnya n. fasialis di daerah foramen stilomastoideus pada BP bersifat akut oleh karena foramen
stilomastoideus merupakan Neuron Lesion bangunan tulang keras.
Perubahan patologik yang ditemukan pada n. fasialis sbb :
http://rwinlog.wordpress.com/2010/12/24/bell%E2%80%99s-palsy/

Gejala klinis
hampir semua pasien yang dibawa ke ruang gawat darurat merasa bahwa mereka menderita stroke atau tumor
intrakranial. Hampir semua keluhan yang disampaikan adalah kelemahan pada salah satu sisi wajah.
Nyeri postauricular: Hampir 50% pasien menderita nyeri di regio mastoid. Nyeri sering muncul secara
simultan disertai dengan paresis, tetapi paresis muncul dalam 2-3 hari pada sekitar 25% pasien.
Aliran air mata: Dua pertiga pasien mengeluh mengenai aliran air mata mereka. Ini disebabkan akibat
penurunan fungsi orbicularis oculi dalam mengalirkan air mata. Hanya sedikit air mata yang dapat
mengalir hingga saccus lacrimalis dan terjadi kelebihan cairan. Produksi air mata tidak dipercepat.

Perubahan rasa: Hanya sepertiga pasien mengeluh tentang gangguan rasa, empat per lima pasien
menunjukkan penurunan rasa. Hal ini terjadi akibat hanya setengah bagian lidah yang terlibat.
Mata kering.
Hyperacusis: kerusakan toleransi pada tingkatan tertentu pada hidung akibat peningkatan iritabilitas
mekanisme neuron sensoris.

http://www.scribd.com/doc/36952039/JURNAL-SARAF
Diagnose
Pemeriksaan fisik
Gambaran paralisis wajah mudah dikenali pada pemeriksaan fisik. Pemeriksaan yang lengkap dan tepat
dapat menyingkirkan kemungkinan penyebab lain paralisis wajah. Pikirkan etiologi lain jika semua cabang
nervus facialis tidak mengalami gangguan.
Definisi klasik Bell palsy menjelaskan tentang keterlibatan mononeuron dari nervus facialis, meskipun
nervus cranialis lain juga dapat terlibat. Nervus facialis merupakan satu-satunya nervus cranialis yang
menunjukkan gambaran gangguan pada pemeriksaan fisik karena perjalanan anatomisnya dari otak ke
wajah bagian lateral.
Kelamahan dan/atau paralisis akibat gangguan pada nervus facialis tampak sebagai kelemahan seluruh
wajah (bagian atas dan bawah) pada sisi yang diserang. Perhatikan gerakan volunter bagian atas wajah
pada sisi yang diserang.
Pada lesi supranuklear seperti stroke kortikal (neuron motorik atas; di atas nucleus facialis di pons),
dimana sepertiga atas wajah mengalami kelemahan dan dua per tiga bagian bawahnya mengalami
paralisis.Musculus orbicularis, frontalisdan corrugator diinervasi secara bilateral, sehingga dapat
dimengerti mengenai pola paralisis wajah.
Lakukan pemeriksaan nervus cranialis lain: hasil pemeriksaan biasanya normal.
Membran timpani tidak boleh mengalami inflamasi; infeksi yang tampak meningkatkan kemungkinan
adanya otitis media yang mengalami komplikasi.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan laboratorium
Tidak ada pemeriksaan laboratorium khusus untuk memastikan diagnosa Bell palsy. Pemeriksaan klinis
menentukan pemeriksaan yang perlu dilakukan. Penyebab potensial lain pada diagnosis banding dapat
dipastikan atau dicurigai berdasarkan pemeriksaan laboratorium diagnostik berikut:
o
Hitung darah lengkap
o

Laju endap eritrosit

Pemeriksaan fungsi tiroid

Titerlym e

Kadar glukosa serum

o
o

Rapid plasma regain (RPR) atau pemeriksaan Venereal Disease;Research Laboratory (VDRL)
Human immunodeficiency virus (HIV)

Analisa cairan serebrospinal

Titer Immunoglobulin M (IgM), immunoglobulin G (IgG), dan immunoglobulin A (IgA) untuk CMV,

rubella, HSV, hepatitis A, hepatitis B, hepatitis C, VZV, M pneumonia, dan B burgdorferi.


Pemeriksaan pencitraan
Bell palsy masih menjadi suatu diagnosis klinis. Pemeriksaan pencitraan tidak diindikasikan di bagian
gawat darurat. Untuk menyingkirkan penyebab palsy facial harus dilakukan pemeriksaan pencitraan
berikut sesuai dengan gambaran klinis yang dijumpai.
o CT scan wajah atau foto polos: Untuk menyingkirkan fraktur atau metastase tulang
o CT scan diindikasikan bila stroke,Acquired immunodeficiency syndrome (AIDS)-keterlibatan SSP
digunakan sebagai diagnosa banding
o MRI: Bila dicurigai adanya neoplasma pada tulang temporal, otak, kelenjar parotis, atau struktur
tubuh lain, atau untuk mengevaluasi sklerosis multipel, MRI merupakan pencitraan yang lebih tinggi.
Perjalanan nervus facialis regio intratemporal dan ekstratemporal dari otak ke otot-otot dan kelenjar
di wajah dapat dilihat dengan MRI. MRI juga diindikasikan selain CT scan.
Pemeriksaan lain
Elektrodiagnosis nervus facialis: pemeriksaan ini dilakukan untuk menilai fungsi dari nervus facialis.
Pemeriksaan berikut jarang dilakukan pada keadaan gawat darurat
o Elektromiografi (EMG) dan kecepatan
konduksi saraf menghasilkan gambaran grafik listrik akibat perangsangan pada nervus facialis dan
dapat merekam eksitabilitas otot-otot wajah yang dilalui oleh saraf ini. Bandingkan dengan sisi
kontralateral untuk menentukan luas jejas pada nervus dan pemeriksaan ini dapat menentukan
prognosis. Pemeriksaan ini tidak dilakukan pada masa akut.
o Pada pemeriksaan eksitabilitas saraf, dapat ditentukan ambang rangsang listrik akibat kontraksi otot
yang terjadi.
o Elektroneurografi (ENoG) membandingkan evoked potential pada sisi yang mengalami paresis dengan
sisi yang sehat.
http://www.scribd.com/doc/36952039/JURNAL-SARAF

Studi Imaji:
Bell palsy tetap merupakan suatu diagnosis klinis. Studi imaji tidak diindikasikan di IGD. Dalam
menyingkirkan penyebab lain dari Bell palsy mungkin memerlukan satu dari studi imaji berikut tergantung

pada seting klinis.


o CT scan wajah atau radiografi biasa: Dilakukan untuk menyingkirkan adanya fraktur atau metastase
tulang.
o CT scan diindikasikan jika didiagnosa banding stroke, keterlibatan SSP pada AIDS.
o MRI: Jika terdapat kecurigaan adanya neoplasma tulang temporal, otak, kelenjar parotis, atau struktur
lainnya, atau untuk mengevaluasi adanya sklerosis multipel, maka MRI merupakan metode unggulan dalam
studi imaji. Perjalanan nervus fasial melalui regio intratemporal dan ekstratemporal dari otak ke otot-otot
fasial dan kelenjar dapat diikuti dengan MRI. MRI juga dipertimbangkan sebagai pengganti CT-scan.

Test lainnya:
Elektrodiagnosis nervus fasial: Studi ini menilai fungsi nervus fasial. Test ini jarang dilakukan pada basis
kegawatdaruratan.
o Elektromyografi (EMG) dan kecepatan hantaran saraf menghasilkan grafik bacaan aliran listrik yang
ditampilkan melalui menstimulasi nervus fasial dan merekam eksitabilitas otot-otot fasial yang disuplainya.
Perbandingan terhadap sisi kontralateral membantu menentukan perluasan perlukaan saraf dan mempunyai
implikasi prognostik. Uji ini bukan merupakan bagian dari tindakan akut.
o Pada uji eksitabilitas saraf, dapat ditentukan nilai ambang rangsang elektrik yang menghasilkan kedutan
otot yang dapat dilihat.
o Elektroneurografi (ENoG) membandingkan potensial pembangkit pada sisi yang mengalami paresis dengan
sisi yang sehat.

http://coolhendra.blogspot.com/2010/08/bell-palsy.html

Penatalaksanaan
PENGOBATAN
Di bagian gawat darurat: pengobatan awal bagi pasien dengan Bell palsy di ruang
gawat darurat adalah penanganan farmakologis. Perawatan selanjutnya adalah
edukasi pasien, anjuran perawatan mata, dan perawatan lanjutan yang sesuai.

Steroid

o Pengobatan Bell palsy dengan menggunakan steroid masih merpakan suatu kontroversi. Berbagai artikel
penelitian telah diterbitkan mengenai keuntungan dan kerugian pemberian steroid pada Bell palsy.
o Para peneliti lebih cenderung memilih menggunakan steroid untuk memperoleh hasil yang lebih baik. Bila
telah diputuskan untuk menggunakan steroid, maka harus segera dilakukan konsensus.

Zat antiviral: meskipun pada penelitian yang pernah dilakukan masih kurang menunjukkan efektifitas obatobat antivirus pada Bell palsy, hampir semua ahli percaya pada etiologi virus. Oleh karena itu, zat antiviral
merupakan pilihan yang logis sebagai penatalaksaan farmakologis dan sering dianjurkan pemberiannya.

Perawatan mata: mata sering tidak terlindungi pada pasien-psien dengan Bell palsy. Sehingga pada mata
beresiko terjadinya kekeringan kornea dan terpapar benda asing. Atasi dengan pemberian air mata pengganti,
lubrikan, dan pelindung mata.
o Air mata pengganti: digunakan selama pasien terbangun untuk mengganti air mata yang kurang atau tidak
ada.
o Lubrikan digunakan saat sedang tidur. Dapat juga digunakan saat terbangun jika air mata pengganti tidak
cukup melindungi mata. Salah satu kerugiannya adalah pandangan kabur selama pasien terbangun.
o Kaca mata atau pelindung yang dapat melindungi mata dari jejas dan mengurangi kekeringan dengan
menurunkan jumlah udara yang mengalami kontak langsung dengan kornea.

Konsultasi: dokter yang menangani pasien ini harus melakukan pemeriksaan lanjutan yang ketat. Dokumentasi
yang dilakukan harus mencakup kemajuan penyembuhan pasien. Berbagai pendapat muncul mengenai perlunya
rujukan ke dokter spesialis. Indikasi untuk merujuk adalah sebagai berikut:
Ahli neurologi: bila dijumpai tanda-tanda neurologik pada pemeriksaan fisik dan tanda-tanda yang tidak khas
dari Bell palsy, maka segera dirujuk.
Ahli penyakit mata: bila terjadi nyeri okuler yang tidak jelas atau gambaran yang abnormal pada pemeriksaan
fisik, pasien harus dirujuk untuk pemeriksaan lanjutan.
Ahli otolaryngologi: pada pasien-pasien dengan paralisis persisten, kelemahan otot wajah yang lama, atau
kelemahan yang rekuren, sebaiknya dirujuk.
Ahli bedah: pembedahan untuk membebaskan nervus facialis kadang
dianjurkan untuk pasien dengan Bell palsy. Pasien dengan prognosis yang buruk

Nama obat

Prednisone (Deltasone, Orasone, Sterapred) efek farmakologis yang


berguna adalah efek antiinflamasinya, yang menurunkan kompresi
nervus facialis di canalis facialis.

Dosis dewasa

1 mg/kg/hari peroral selama 7 hari

Dosis pediatrik

Pemberian sama dengan dosis dewasa

Kontraindikasi

Pernah dilaporkan adanya hipersensitivitas; infeksi virus, jamur,


jaringan konektif, dan infeksi kulit tuberkuler; penyakit tukak
lambung; disfungsi hepatik; penyakit gastrointestinal

Interaksi obat

Pemberian bersamaan dengan estrogen dapat menurunkan klirens


prednisone; penggunaan dengan digoksin dapat menyebabkan toksisitas
digitalis akibat hipokalemia; fenobarbital, fenitoin, dan rifampin dapat
meningkatkan metabolisme glukokortikoid (tingkatkan dosis
pemeliharaan); monitor hipokalemia bila pemberian bersama dengan
obat diuretik.

Kehamilan

biasanya aman tetapi keuntungan obat ini dapat


memperberat resiko

Perhatian

Penghentian pemberian glukokortikoid secara tiba-tiba dapat


menyebabkan krisis adrenal; hiperglikemia, edema, osteonekrosis,
miopati, penyakit tukak lambung, hipokalemia, osteoporosis, euforia,
psikosis, myasthenia gravis, penurunan
pertumbuhan, dan infeksi dapat muncul dengan penggunaan
bersama glukokortikoid

Kategori obat:antivirus infeksi herpes simpleks merupakan penyebab paling sering dari Bell palsy. Acyclovir
merupakan yang paling sering digunakan, tetapi antiviral lain mungkin lebih sesuai.
Nama obat

Acyclovir (Zovirax) menunjukkan aktivitas hambatan langsung


melawan HSV-1 dan HSV-2, dan sel yang terinfeksi secara
selektif.

Dosis dewasa

4000 mg/24 jam peroral selama 7-10 hari

Dosis pediatrik

< 2 tahun : tidak dianjurkan


> 2 tahun : 1000 mg peroral dibagi 4 dosis selama 10 hari

Kontraindikasi
Interaksi obat

Pernah dilaporkan adanya hipersensitivitas

Penggunaan bersama dengan probenecid atau zidovudine dapat


memperpanjang waktu paruh dan meningkatkan toksisitas
acyclovir terhadap SSP

Kehamilan

keamanan penggunaan selama kehamilan belum pernah


dilaporkan

Perhatian

Hati-hati pada gagal ginjal atau bila menggunakan obat yang


bersifat nefrotoksik

PERAWATAN LANJUTAN
Pasien rawat inap/jalan
Pertimbangkan pemberian prednisone dengan dosis awal 1 mg/kg/hari.
o

Prednisone merupakan obat yang poten dengan resiko mengalami efeksamping yang tinggi. Bukti

efektivitas obat masih belum dapat dipastikan dalam berbagai literatur. Sebelum efektivitas obat ini jelas,
sebaiknya tidak digunakan sebagai standar pengobatan.
o

Tanpa kontraindikasi, dan jika dokter memilih untuk menggunakansteroid, pilihan yang tepat adalah

prednisone dengan dosis tinggi, mulai pemberian seawal mungkin pada pengobatan. (pertimbangkan penurunan

dosis bertahap pada hari ke lima hingga 5 mg, 2 x sehari selama 5 hari).

Pemberian acyclovir (zovirax) 800

mg peroral, 5 x sehari selama 10 hari; 20 mg/kg pada pasien yang berusia < 2 tahun. Bukti menunjukkan bahwa
70% kasus Bell palsy disebabkan oleh HSV.

Edukasi pasien
Perawatan mata:
o Lindungi mata dari paparan benda asing dan cahaya matahari.
o Berikan lubrikasi yang cukup.
o Edukasi psaien untuk segera berobat jika terjadi gangguan okuler yang baru seperti nyeri, sulit digerakkan,
atau perubahan visual.
http://www.scribd.com/doc/36952039/JURNAL-SARAF
Perawatan di IGD: Terapi utama pasien dengan Bell palsy di IGD adalah manajemen farmakologis.
Perawatan lainnya difokuskan pada penenangan, instruksi perawatan mata, dan perawatan follow-up yang
sesuai.
Steroid
o Terapi Bell palsy dengan steroid masih kontroversial. Berbagai artikel-artikel penelitian telah bercerita
mengenai manfaat atau ketidakmanfaatan steroid dalam hal terapi pasien dengan Bell palsy.
o Peneliti cenderung mengandalkan steroid sebagai perangkat mengoptimalkan outcome. Pada saat
diputuskan penggunaan steroid, konsensus segera dimulai.
Agen-agen anti viral: Meskipun penelitian dalam mengevaluasi keefektifitasan obat-obat antiviral pada
Bell palsy masih belum mencukupi, sebagian besar ahli meyakini adanya etiologi virus. Oleh karena itu, agenagen antiviral cenderung merupakan pilihan yang logis pada manajemen farmakologis dan sering
direkomendasikan.
Perawatan mata: Mata sering tidak terlindungi pada pasien Bell palsy. Hal ini menyebabkan mata beresiko
mengalami kekeringan kornea dan paparan benda asing. Tatalaksana dengan pengganti air mata, pelumas
dan pelindung mata.
o Air mata buatan: Gunakan ini selama masa sadar untuk menggantikan lakrimasi yang hilang.
o Pelumas digunakan saat tidur: Mereka dapat digunakan selama masa sadar jika air mata buatan tidak
mampu menyedikan perlindungan yang adekuat. Satu kerugiannya adalah pandangan kabur.
o Kacamata atau tameng pelindung mata dari trauma dan menurunkan pengeringan dengan menurunkan
paparan udara langsung terhadap kornea.

Konsultasi: Dokter-dokter pada pusat pelayanan kesehatan primer pasien atau konsultan hendaknya
menyediakan perawatan follow up secara erat. Hendaknya didokumentasikan grafik kemajuan kesembuhan
pasien.
Masih terdapat berbagai pendapat menyangkut rujukan ke spesialis. Beberapa indikasi rujukan secara
spesifik adalah sebagai berikut:
Ahli saraf: Jika dikenali tanda-tanda neurologis lain dan rujukan diindikasikan jika terdapat tampilan Bell
palsy yang tidak khas.
Ahli mata: Untuk tiap nyeri okular atau temuan-temuan abnormal pada pemeriksaan fisik mata, pasien
hendaknya dirujuk untuk dilakukan pemeriksaan lebih alasan.
Ahli THT: Pada pasien dengan paralisis persisten, perpanjangan kelemahan otot-otot fasial, atau
kelemahan rekuren disarankan untuk dirujuk.
Ahli bedah: Pembedahan untuk dekompresi nervus fasial terkadang disarankan pada pasien dengan Bell
palsy. Pasien-pasien dengan prognosis buruk yang diidentifikasi dengan pengujian nervus fasial atau
paralisis persisten cenderung mendapatkan manfaat dari intervensi bedah.

MEDIKASI

Karena sebagian besar pasien dapat sembuh tanpa medikasi, dokter mampu menatalaksana pasien tanpa
merepkan medikasi. Rencana penungguan yang dipantau dengan erat merupakan suatu pilihan; akan tetapi,
beberapa individu dengan Bell palsy tidak sembuh sempurna. Medikasi yang terdaftar dibawah ini
mempunyai uji-uji klinis yang mendukung dan memperselisihkan keefektifitasannya.

Kategori Obat: KortikosteroidMemiliki sifat anti inflamasi dan menyebabkan efek metabolik yang dalam
dan bervariasi. Memodifikasi respon imun tubuh untuk terhadap berbagai rangsangan.

Nama Obat Prednison (Deltason, Orason, Sterapred) Kesuksesan farmakologis mungkin dihasilkan dari
efek antiinflamasi, yang kiranya mengurangi kompresi nervus fasial di kanalis fasialis.
Dosis Dewasa 1 mg/kg/hr PO selama 7 hari
Dosis Pediatri Diberikan sebagaimana pada orang dewasa
Kontraindikasi Riwayat hipersensitifitas; infeksi tuberkular kulit dan infeksi jaringan penghubung karena
visur atau jamur; penyakit ulkus peptikum; disfungsi hepar; penyakit GI
Interaksi Pemberian bersama dengan estrogen dapat menurunkan klirens prednison; penggunaan disertai

dengan digoksin dapat menyebabkan toksisitas digitalis karena hipokalemia; fenobartital, fenitoin dan
rifampin dapat meningkatkan metabolisme glukokortikoid (pertimbangkan meningkatkan dosis
pemeliharaan); pemberian bersama dengan diuretik memerlukan pengawasan akan kejadian hipokalemia
Kehamilan B Biasanya aman tetapi manfaatnya harus melebihi resikonya.
Kewaspadaan Penghentian glukokortikoid secara tiba-tiba dapat menyebabkan krisis adrenal; dalam
penggunaan glukokortikoid dapat terjadi infeksi, penekanan pertumbuhan, myasthenia gravis, psikosis,
euforia, osteoporosis, hipokalemia, penyakit ulkus peptikum, myopati, osteonekrosis, edema, hiperglikemia,
krisis adrenal

Kategori Obat: Antivirus Infeksi herpes simpleks mungkin merupakan penyebab yang sering dari Bell
palsy. Asiklovir merupakan terapi yang paling sering digunakan, tetapi agen antiviral lainnya juga dapat
digunakan.

Nama Obat Asiklovir (Zovirax) Telah menunjukkan adanya aktivitas inhibitor langsung terhadap HSV-1
maupun HSV-2, dan sel terinfeksi secara selektif dapat menerimanya
Dosis Dewasa 4000 mg/24 jam PO selama 7-10 hari
Dosis Pediatri <2 tahun: tidak disarankan
>2 tahun: 1000 mg PO 4 kali sehari selama 10 hari
Kontraindikasi Riwayat hipersensitifitas
Interaksi Penggunaan berurutan dengan probenecid atau zidovudin memperlama waktu paruh dan
meningkatkan toksisitas SSP terhadap asiklovir
Kehamilan C Keamanan dalam penggunaan saat kehamilan belum ditetapkan
Kewaspadaan Waspada pada gagal ginjal atau saat menggunakan obat-obat nefrotoksik

FOLLOW-UP

Pasien rawat jalan:


Pertimbangkan pemberian prednison dengan dosis inisial 1 mg/kg/hr
o Prednison merupakan obat poten dengan resiko efek samping yang tinggi. Bukti manfaatnya masih tetap
diteliti secara seksama dalam literatur. Hingga keefektifitasannya jelas, hendaknya jangan diperlakukan
sebagai perawatan standart.

o Dengan tanpa kontraindikasi dan jika dokter memilih untuk memberikan steroid, pilihan terbaik adalah
prednison dosis tinggi, segera mungkin diberikan dalam perjalanan penyakit. (dosis perlu diturunkan pada
hari ke 5 hingga 5 mg dalam dua kali sehari selama 5 hari)
Berikan asiklovir (Zovirax) 800 mg PO 5 kali/hr selama 10 hari; 20 mg/kg pada pasien dibawah 2 tahun.
Bukti terkini mendukung HSV sebagai perkiraan penyebab pada lebih dari 70% kasus Bell palsy.
Komplikasi:
Sebagian besar pasien Bell palsy sembuh tanpa adanya deformitas yang dapat terlihat secara kosmetik;
akan tetapi, sekitar 5% meninggalkan derajat sekuele yang tinggi.
Regenerasi motorik inkomplit
o Bagian terluas nervus fasialis mengganggu serabut eferen yang menstimulasi otot-otot ekspresi fasial.
Jika bagian motorik mencapai regenerasi suboptimal, paresis dari seluruh atau beberapa dari hasil-hasil
otot fasial ini.
o Bermanifestasi sebagai (1) Inkompetensi oral, (2) epifora (airmata yang berlebihan), dan (3) obstruksi
nasal.
Regenerasi sensorik inkomplit
o Dapat terjadi dysgeusia (kerusakan indera perasa).
o Dapat juga terjadi ageusia (hilangnya sensasi perasa).
o Dapat terjadi dysestesia (kerusakan sensasi atau sensasi yang tidak enak terhadap stimuli normal).
Reinervasi nervus fasial yang menyimpang
o Setelah hantaran saraf dari nervus fasial yang terganggu memulai proses regenerasi dan perbaikan,
beberapa serabut saraf dapat mengambil jalur yang tidak biasanya dan berhubungan dengan serabut
tetangga. Perhubungan yang tidak biasa ini menghasilkan jalur neurologis yang tidak biasa.
o Ketika gerakan volunter dimulai, mereka disertai dengan gerakan involunter (ms, gerakan penutupan mata
diikuti dengan mata yang tidak terlindungi). Gerakan involunter yang disertai dengan gerakan volunter ini
disebut dengan sinkinesis.
Edukasi Pasien:
Perawatan mata
o Lindungi mata dari benda asing dan cahaya matahari.
o Jaga agar mata tetap terlumasi dengan baik.
o Edukasi pasien untuk melaporkan temuan-temuan okuler baru seperti nyeri, sekret, atau perubahan visus.
http://coolhendra.blogspot.com/2010/08/bell-palsy.html

Prognosis
Perjalanan penyakit Bell palsy yang alami bervariasi dari penyembuhan komplit secara dini hingga
perlukaan saraf yang substansial dengan sekuele yang permanen. Berdasarkan prognosisinya pasien terbagi
menjadi 3 kelompok dengan jumlah yang kasarnya sama tiap-tiap kelompoknya.
o Grup 1 mendapatkan kesembuhan fungsi motorik fasial komplit tanpa sekuele.
o Grup 2 mengalami kesembuhan fungsi motorik fasial yang tidak komplit tetapi tanpa defek kosmetik yang
jelas pada mata yang tidak terlatih.
o Grup 3 mengalami sekuele neurologis permanen yang jelas terlihat secara kosmetik maupun klinis.
Sebagian besar pasien mengembangkan paralisis fasial inkomplit selama fase akut. Grup ini mempunyai
prognosis kesembuhan total yang sempurna. Pasien memperlihatkan paralisis komplit beresiko tinggi
terhadap sekuele berat.
Dari pasien-pasien dengan Bell palsy, 85% mencapai kesembuhan komplit. Sepuluh persen diganggu oleh
beberapa otot fasial yang tidak simetris, sedangkan 5% pasien mengalami sekuele berat.

http://coolhendra.blogspot.com/2010/08/bell-palsy.html
Prognosis
Perjalanan Bell palsy bervariasi mulai dari penyembuhan awal yang komplit pada jejas nervus disertai dengan
gejala sisa yang permanen. Secara prognostik, pasien terbagi dalam tiga kelompok dengan sejumlah gejala sisa
pada masih-masing kelompok.
o Kelompok 1 mengalami perbaikan fungsi motorik wajah secara sempurna tanpa disertai gejala sisa.
o Kelompok 2 mengalami perbaikan fungsi motorik wajah yang tidak sempurna, tetapi tidak mengalami defek
kosmetik pada mata yang tidak dilatih.
o Kelompok 3 mengalami gejala sisa neurologik yang berat yang tampak secara kosmetik dan klinis.

Hampir semua pasien mengalami paralisis facial inkomplit selama fase akut. Kelompok pasien ini memiliki
prognosis yang baik untuk sembuh sempurna. Pasien yang mengalami paralisis komplit lebih beresiko mengalami
gejala sisa yang berat.

Dari semua pasien dengan Bell palsy, 85% sembuh sempurna. 10% sedikit terganggu dengan otot wajah yang
asimetris, sementara 5% sisanya mengalami gejala sisa yang berat.

http://www.scribd.com/doc/36952039/JURNAL-SARAF
Komplikasi
Hampir semua pasien dengan Bell palsy dapat sembuh tanpa mengalami deformitas kosmetik, tetapi sekitar
5% mengalami gejala sisa cukup berat yang tidak dapat diterima oleh pasien.

Regenerasi motorik yang tidak sempurna.


o Bagian terbesar dari nervus facialis terdiri dari serabut saraf eferen yang merangsang otot-otot ekspresi
wajah. Bila bagian motorik mengalami regenerasi yang tidak optimal, maka dapat terjadi paresis semua atau
beberapa otot wajah tersebut.
o Gangguan tampak sebagai (1) inkompetensi oral, (2) epifora (produksi
air mata berlebihan), dan (3) obstruksi nasal.

Regenerasi sensoris yang tidak sempurna.


o Dysgeusia (gangguan rasa).
o Ageusia (hilang rasa).
o Dysesthesia gangguan sensasi atau sensasi yang tidak sesuai dengan stimulus normal).

Reinervasi aberan dari nervus facialis.


o Setelah gangguan konduksi neuron pada nervus facialis dimulai dengan regenerasi dan proses perbaikan,
beberapa serabut saraf akan mengambil jalan lain dan dapat berhubungan dengan serabut saraf di dekatnya.
Rekoneksi aberan ini dapat menyebabkan jalur neurologik yang tidak normal.
o Bila terjadi gerakan volunter, biasanya akan disertai dengan gerakan
involunter (seperti gerakan menutup mata yang satu diikuti dengan gerakan
menutup mata disebelahnya). Gerakan involunter yang menyertai gerakan
volunter ini disebut synkinesis.
http://www.scribd.com/doc/36952039/JURNAL-SARAF

gejala dan tanda klinik lainnya berhubungan dengan tempat/lokasi lesi.


a.
Lesi di luar foramen stilomastoideus: Mulut tertarik ke arah sisi mulut yang sehat,
makanan berkumpul di antar pipi dan gusi, dan sensasi dalam (deep sensation) di wajah
menghilang. Lipatan kulit dahi menghilang. Apabila mata yang terkena tidak tertutup atau tidak
dilindungi maka air mata akan keluar terus menerus.

b.

Lesi di kanalis fasialis (melibatkan korda timpani): Gejala dan tanda klinik seperti pada

(a), ditambah dengan hilangnya ketajaman pengecapan lidah (2/3 bagian depan) dan salivasi di
sisi yang terkena berkurang. Hilangnya daya pengecapan pada lidah menunjukkan terlibatnya
nervus intermedius, sekaligus menunjukkan lesi di daerah antara pons dan titik di mana korda
timpani bergabung dengan nervus fasialis di kanalis fasialis.
c.
Lesi di kanalis fasialis lebih tinggi lagi (melibatkan muskulus stapedius): Gejala dan tanda
klinik seperti pada (a), (b), ditambah dengan adanya hiperakusis.
d.
Lesi di tempat yang lebih tinggi lagi (melibatkan ganglion genikulatum): Gejala dan tanda
klinik seperti (a), (b), (c) disertai dengan nyeri di belakang dan di dalam liang telinga. pina.
e.
Lesi di daerah meatus akustikus interna: Gejala dan tanda klinik seperti (a), (b), (c), (d),
ditambah dengan tuli sebagi akibat dari terlibatnya nervus akustikus.
f.
Lesi di tempat keluarnya nervus fasialis dari pons.: Gejala dan tanda klinik sama dengan di
atas, disertai gejala dan tanda terlibatnya nervus trigeminus, nervus akustikus, dan kadangkadang juga nervus abdusens, nervus aksesorius, dan nervus hipoglosus.

Djamil Y, A Basjiruddin. Paralisis Bell. Dalam: Harsono, ed. Kapita selekta neurologi; Yogyakarta:

Gadjah Mada University Press.2003. p 297-300

You might also like