Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyakit pada hewan disebabkan oleh berbagai faktor yang cukup kompleks,
mulai dari diri hewan itu sendiri sampai hal yang ada di luar hewan tersebut. Salah
satu penggolongan penyakit hewan adalah berdasarkan agen penyebab/etiologi, yaitu
etiologi infeksius dan non-infeksius. Penyakit infeksius adalah penyakit yang
etiologinya adalah mikrorganisme, yang menyebabkan sakit dengan cara menginfeksi
hewan, sedangkan penyakit non-infeksius adalah penyakit yang etiologinya bukan
mikroorganisme, misalnya akibat abnormalitas fungsi tubuh, kelainan metabolisme,
defisiensi nutrisi, penyakit maternal, dan lain-lain.
Mikroorganisme yang dapat menyebabkan penyakit infeksius adalah bakteri,
virus, fungi, parasit, dan amoeba. Semua agen penyakit tersebut memiliki peran yang
sama penting, namun penyakit parasitik memiliki kepentingan tersendiri karena
keberadaannya hampir dapat dipastikan dalam tubuh setiap hewan. Mulai dari
menyebabkan gejala klinis sampai subklinis, keberadaan parasit sangat merugikan
hewan tersebut karena menyerap banyak unsur dari tubuh hewan untuk dijadikan
nutrisinya. Parasit pada tubuh hewan diklasifikasikan dalam dua kelompok besar
yaitu ektoparasit yang menginfestasi bagian luar dan permukaan tubuh hewan serta
endoparasit yang menginfeksi internal tubuh hewan.
Salah satu penyakit akibat parasit adalah toksoplasmosis. Toksoplasmosis
adalah penyakit parasitik yang disebabkan oleh endoparasit protozoa Toxoplasma
gondii. Protozoa adalah mikroorganisme obligat bersel tunggal yang memiliki sifat
makhluk hidup yaitu motil dan fagosit. Host definitive dari protozoa ini adalah
kucing namun dapat menginfeksi juga semua hewan homoiterm termasuk manusia
sehingga penyakit toksoplamosis ini dikelompokkan dalam penyakit zoonosis.
Penularan antar kucing, ke hewan lain ataupun ke manusia terjadi melalui
transmisi vertikal kepada fetus, konsumsi daging mentah hewan terinfeksi dan kontak
dengan benda yang tercemar bentuk ookista T. gondii dari feses kucing. Dampak
zoonosis toksoplasmosis paling bahaya jika menginfeksi manusia pada keadaan
pregnansi, karena dapat meyebabkan abortus spontan atau abnormalitas pada fetus.
Sifat zoonosis dari penyakit inilah yang menyebabkan pengendalian dan
pencegahannya menjadi sangat strategis, mengingat kucing merupakan hewan
peliharaan yang sering berinteraksi dengan manusia. Selain itu, hewan terinfeksi juga
sering tanpa gejala klinis/subklinik sehingga pengetahuan tentang kejadian penyakit
serta morfologi, siklus hidup dan patogenesa dari T. gondii penting untuk mengambil
langkah pencegahan bahkan pengobatan yang tepat pada hewan maupun pada
manusia.
B. Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui morfologi, siklus
hidup, dan patogenesis dari Toxoplasma gondii, serta untuk mengetahui gejala klinis
yang
ditimbulkan,
diagnosa,
pencegahan,
pengobatan
dan
epidemiologi
toksoplasmosis di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Morfologi Toxoplasma gondii
Nama Toxoplasma gondii berasal dari dua suku kata. Toxoplasma
berasal dari kata toxon (bahasa Yunani) yang berarti busur yang mengacu pada
bentuk sabit (crescent shape) dari takizoit, dan nama gondii berasal dari kata
Ctenodactylus gondii yaitu nama rodensia dari Afrika Utara di mana parasit
tersebut untuk pertama kali diisolasi (Subekti dan Arrasyid, 2006).
Domain:
Kingdom:
Superphylum:
Phylum:
Class:
Order:
Family:
Subfamily:
Genus:
Species:
Eukaryota
Chromalveolata
Alveolata
Apicomplexa
Conoidasida
Eucoccidiorida
Sarcocystidae
Toxoplasmatinae
Toxoplasma
T. gondii
terutama di otak, otot jantung, dan otot lurik. Kista berbentuk lonjong atau
bulat di otak, dan di dalam otot bentuk kista mengikuti bentuk sel otot.
Ookista berbentuk lonjong, berukuran 11 14 x 9 11 m. Ookista
memiliki dinding, berisi satu sporoblas yang membelah menjadi dua
sporoblas. Perkembangan selanjutnya kedua sporoblas membentuk dinding
dan menjadi sporokista. Masing-masing sporokista tersebut berisi 4 sporozoit
yang berukuran 8 x 2 m. Toxoplasma gondii diklasifikasikan dalam kelas
Sporozoasida, berkembang biak secara seksual dan aseksual yang terjadi
secara bergantian (Yuadza, 2011).
Gambar 1. Takizoit
Gambar 2. Bradizoit
Gambar 3. Ookista
Gambar 5. Siklus hidup Toxoplasma gondii pada tubuh host definitif (A: Enteroepitelial; B:
Ekstraintestinal).
10
tahap kedua setelah terjadinya infeksi. Tahap ketiga rnerupakan fase kronik, terbentuk
kista-kista yang menyebar di jaringan otot dan saraf yang sifatnya menetap tanpa
menimbulkan peradangan lokal (Yuadza, 2011).
Takizoit dapat menembus retina, otak dan barrier plasenta. Infeksi primer
pada fetus host intermedier (manusia) diawali dengan masuknya darah induk yang
mengandung T. gondii ke dalam plasenta, sehingga terjadi keadaan plasentitis.
Keadaan patologik yang ditimbulkan manifestasinya sangat tergantung pada usia
kehamilan. Toksoplasmosis jarang menimbulkan gejala klinis yang nyata tetapi
dengan uji serologis dapat diketahui prevalensinya. Hal ini diduga berkaitan dengan
virulensi parasit, kerentanan host terhadap infeksi, umur dan imunitas host.
Infeksi toksoplasmosis dapat bersifat akut, sub akut, kronis dan kongenital.
Infeksi kongenital adalah yang paling berbahaya karena dapat menyebabkan abortus,
stillbirth (lahir mati) ataupun lahir cacat. Usus merupakan lokasi infeksi pertama.
Infeksi berat akibat menelan ookista akan mengakibatkan lesi pada usus sampai
terjadi kematian pada anak kucing atau hewan lain, sedangkan pada manusia biasanya
terjadi pembengkakan limfoglandula mesenterika dan terjadi degenerasi sel parenkim
pada hati.
Selama stadium akut, takizoit akan mengalami replikasi dengan cepat dan siap
mengadakan invasi serta melisiskan sel inang. Takizoit yang telah menginfeksi sel,
hidup dalam suatu vakuola parasitoforus yang mengalami suatu modifikasi sehingga
tidak dapat fusi dengan kompartemen intrasel lisosom dan menyebabkan parasit
mampu bertahan hidup serta berkembang untuk jangka waktu lama di dalam sel. Pada
manusia gejala klinis infeksi akut adalah nyeri, pembesaran beberapa limfoglandula,
demam, sakit kepala, nyeri otot, anemia dan kadang komplikasi paru-paru (Hartati,
2011).
D. Diagnosis Toksoplasmosis
Diagnosis toksoplasmosis baik pada manusia maupun hewan secara klinis
sulit ditegakkan karena gejalanya tidak menciri dan mirip dengan penyakit infeksi
11
lainnya. Untuk meyakinkan diagnosis dapat dilakukan isolasi parasit dengan cara
menginokulasi jaringan pada mencit atau hewan coba yang peka, namun cara ini
memerlukan waktu yang lama dan kurang sensitif.
Diagnosis yang biasa dilakukan adalah berdasarkan uji serologis untuk
mendeteksi antibodi. Ada beberapa metode yang dapat digunakan yaitu tes warna
Sabin dan Feldman, Indirect Flourescent Antibody Test (IFAT), Enzyme Linked
Immunosorbent Assay (ELISA), dan Indirect Haemaglutination Test (IHA). Dari
kesemuanya, uji warna Sabin dan Feldman adalah yang paling sering digunakan.
Pemeriksaan feses juga dapat dilakukan untuk melihat adanya ookista T. gondii
namun relatif tidak sensitif dan spesifik. Pelepasan ookista dapat terjadi meskipun
kucing tidak menunjukkan gejala klinis. Selain itu, ookista T. gondii sulit dibedakan
dengan ookista coccidian lainnya seperti Hammondia dan Besnoitia yang juga
menginfeksi kucing.
Diagnosis molekuler dengan teknik Polymerase Chain Reaction (PCR) untuk
mendeteksi asam nukleat (DNA) banyak digunakan pada toksoplasmosis kongenital
dan individu immunocompromised karena cukup sensitif dan spesifik. Ada satu
metode diagnosis lagi yang ditemukan kemudian yaitu LAMP (Loop-Mediated
Amplification) berbasis gen surface antigen 1 (SAG1) T. gondii yang ternyata lebih
sensitif dibandingkan metode PCR. Hal ini menjadi harapan baru untuk diaplikasikan
karena metode LAMP tidak memerlukan peralatan mahal seperti PCR (Hartati, 2011).
E. Pencegahan dan Pengobatan Toksoplasmosis
Langkah pencegahan di kucing dapat dilakukan dengan beberapa cara untuk
tujuan yang berbeda pula. Pertama, tidak memberikan kucing daging hewan liar
untuk mencegah terinfeksi bradizoit. Kedua, mengandangkan kucing agar terhindar
dari infeksi bradizoit dari hewan mangsanya. Ketiga, pemberian vaksinasi pada
kucing peliharaan untuk mencegah eksresi ookista. Vaksinasi dapat menurunkan
tingkat kontaminasi ookista dari kucing terhadap lingkungan. Administrasi oral dari
vaksinasi menghasilkan infeksi intestinal namun tidak sampai pada tahap mampu
12
menghasilkan ookista pada kucing sehingga dapat menginduksi sistem imun kucing
tersebut. Sementara itu, untuk mencegah penularan ke manusia, pengetahuan tentang
siklus hidup T. gondii sangat penting. Salah satu cara yang paling tepat adalah
menghindari resiko terpapar kista T. gondii melalui konsumsi daging dari hewan yang
sudah terinfeksi T. gondii. Bradizoit yang terdapat di dalam daging dapat mati pada
suhu 58 C selama 10 menit atau 61 C selama 4 menit. Bradizoit juga dapat mati
secara langsung pada suhu -13 C. Selain itu, papan iris, pisau, dan segala peralatan
yang berkontak langsung dengan daging dapat dicuci menggunakan sabun untuk
membunuh bradizoit dan kista infektif yang mungkin ada. Kebiasaan mencuci tangan
dengan air sabun hangat setelah mengolah daging juga penting sebagai langkah
pencegahan (Bowman et al., 2002).
Tidak ada agen kemoterapi yang dapat digunakan untuk pengibatan
toksoplasmosis di kucing. Pengobatan yang dapat dipakai adalah dengan pemberian
clindamycin yang terbukti efektif. Beberapa rekomendasi pengobatan pada kucing
dengan toksoplasmosis dapat dilihat pada tabel di bawah ini .
13
lainnya lagi, Sri Hartati (1993) menyatakan bahwa prevalensi toksoplasmosis pada
kucing di Yogyakarta adalah 40%. Prevalensi toksoplasmosis baik pada hewan
maupun manusia sangat bervariasi dan proporsi populasi yang terinfeksi T. gondii
pada manusia sangat tergantung pada letak geografis dan gaya hidup (Hartati, 2011).
14
BAB III
KESIMPULAN
Ada beberapa poin penting yang dapat ditarik sebagai kesimpulan dari
pembahasan makalah ini, yaitu:
1. Toksoplasmosis merupakan penyakit hewan zoonosis yang disebabkan oleh
protozoa intraseluler Toxoplasma gondii dengan host definitifnya adalah
kucing dan host intermediernya adalah semua hewan homoiterm.
2. Toxoplasma gondii memiliki tiga fase perkembangan yaitu takizoit, bradizoit
dalam bentuk kista di jaringan dan sporozoit dalam bentuk ookista.
3. Siklus hidup Toxoplasma gondii terbagi atas dua yaitu siklus seksual dan
aseksual. Siklus hidup seksual dan aseksual terjadi pada host definitif,
sedangkan pada host intermedier hanya terjadi siklus aseksual.
4. Ada 3 tahap infeksi Toxoplasma gondii dalam tubuh yaitu tahap parasitemia,
pembentukan antibodi dan kronik. Sedangkan jenis infeksinya terbagi menjadi
4 yaitu infeksi akut, sub akut, kronis dan kongenital. Infeksi kongenital adalah
yang paling berbahaya karena dapat menyebabkan abortus.
5. Vaksinasi adalah cara pencegahan infeksi Toxoplasma gondii pada kucing, dan
hygiene personal dan lingkungan adalah cara pencegahan infeksi Toxoplasma
gondii pada manusia.
6. Tidak ada pengobatan spesifik untuk toksoplasmosis namun pengobatan
menggunakan antibiotik seperti clindamicyn, trimetophrim dan sulfadiazine
terbukti efektif.
7. Prevalensi toksoplasmosis pada kucing yang dilaporkan di Indonesia baru
terbatas pada Yogyakarta dan Jakarta saja dengan nilainya berturut-turut
adalah 40% dan 72,7%. Sedangkan pada hewan selain kucing, prevalensi
toksoplasmosis pada domba, kambing, sapi dan babi yang dilaporkan di
Yogyakarta berturut-turut adalah 50%, 18%, 2%, dan 44%.
DAFTAR PUSTAKA
Bowman, D.D., Hendrix, C.M., Lindsay, D.S., and Barr, S.C. 2002, Feline Clinical
Parasitology, Iowa State University Press, USA.
15
2015,
18
Juni
2015,
16