You are on page 1of 31

Focus Group Discussion (FGD)

Skenario 2
KLB

Oleh kelompok J :
No

Nama

NPM

.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

I Kadek Aditya Krisnanda P.


Novia Annur Azizah
Moch. Ramadhan S.
Bobby Agus Setiawan
Muhammad Adi Utomo
Rossa Setyowati
Rizka Rosa Dwi Mulyani
Isnaini Rosidatul Amalia

13700183
13700185
13700187
13700189
13700191
13700193
13700197
13700205

Pembimbing: dr. Andiani, M.Kes

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA SURABAYA
TAHUN 2014/2015
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang atas rahmat-Nya
maka kami dapat menyelesaikan penyusunan tugas focus group discussion (FGD) pada
skenario 2 ini. Penulisan makalah ini merupakan salah satu tugas untuk menjabarkan hasil
diskusi yang telah di lakukan sebelumnya.
Dalam penulisan makalah ini. Kami merasa masih banyak kekurangan baik pada
teknis penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang kami miliki. Untuk itu
kritik dan saran dari semua pihak sangat kami harapkan demi penyempurnaan pembuatan
makalah ini.
Dalam penulisan makalah ini kami menyampaikan ucapan trima kasih yang tak terhingga
kepada pihak-pihak yang membantu dalam menyelesaikan penulisan laporan ini, khususnya
kepada:
1. Pembimbing tutor kelompok FGD J dr. Andiani, M.Kes , yang telah membimbing
kami selama proses diskusi belajar
2. Semua rekan-rekan sekelompok kerja FGD J
Akhirnya penulis berharap semoga makalah ini bermanfaat untuk pembaca dan semua
orang yang memanfaatkannya.

Surabaya, 7 April 2015

Penulis

Skenario 2
KLB
I.

SKENARIO

Kepala Puskesmas melakukan evaluasi laporan data insidens penyakit terbanyak di wilayah
kerjanya selama 3 bulan pertama di tahun 2014. Didapatkan data 5 penyakit terbanyak di
Puskesmas X tahun 2013 sebagai berikut :
N

NAMA PENYAKIT

JAN 2014

FEB 2014

MAR 2014

O
1.
2.
3.
4.
5.

DBD
Thyphoid fever
Diare
Tetanus neonatorum
ISPA

12
5
10
2
8

15
8
11
4
10

10
8
8
9
10

Dari data yang ada Kepala Puskesmas melihat adanya peningkatan insidens salah satu
penyakit selama 3 bulan berturut-turut sehingga perlu dilakukan upaya penanggulangan
terhadap kejadian tersebut.

II.

TUJUAN PEMBELAJARAN :
a. Mahasiswa mengetahui definisi/batasan/deskripsi KLB
b. Mahasiswa mengetahui kriteria kerja KLB
c. Mahasiswa menentukan jenis penyakit mana dari data diatas yang mengetahui kriteria
KLB
d. Mahasiswa mampu menentukan keluasan penyelidikan dan kecepatan cara
penanggulangan
e. Mahasiswa mampu memberikan rekomendasi cara penanggulangan KLB diatas
f. Mengembangkan cara berpikir mahasiswa dalam pemecahan masalah KLB secara
terpadu dari IKM (epidemiologi, kesehatan lingkungan, biostatistik, manajemen,
metodologi riset, kedokteran keluarga, ilmu gizi).

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kejadian Luar Biasa (KLB) adalah timbulnya atau meningkatnya kejadian kesakitan
atau kematian yang bermakna secara epidemiologis pada suatu daerah dalam kurun waktu
tertentu (Depkes, 2004).
Suatu daerah dikatakan Kejadian Luar Biasa jika memenuhi kriteria berikut:
1. Timbulnya suatu penyakit/menular sebelumnya tidak ada/tidak diketahui.
2. Peningkatan kejadian penyakit/kematian terus menerus selama 3 kurun waktu
berturut-turut menurut jenis penyakitnya (jam, hari, minggu)
3. Peningkatan kejadian penyakit / kematian, 2 kali atau lebih dibandingkan dengan
periode sebelumnya (jam, hari, minggu, bulan, tahun)
4. Jumlah penderita baru dalam satu bulan menunjukkan kenaikan dua kali lipat atau
lebih, bila dibandingkan dengan angka rata-rata pebulan dalam tahun sebelumnya.
5. Angka rata-rata perbulan selama satu tahun menunjukkan kenaikan dua kali lipat atau
lebih dibandingkan dengan angka rata-rata perbulan dari tahun sebelumnya.
6. Case Fatality Rate (CFR) suatu penyakit dalam suatu kurun waktu tertentu
menunjukkan kenaikan 50% atau lebih dibanding dengan CFR periode sebelumnya.
7. Proportional Rate (PR) penderita baru dari suatu periode tertentu menunjukkan
kenaikan dua kali atau lebih dibandingkan periode yang sama dan kurun waktu/tahun
sebelumnya.
8. Beberapa penyakit khusus : Kholera,DHF/DSS :
a. Setiap peningkatan kasus dari periode sebelumnya (pada daerah endemis)
b. Terdapat satu atau lebih penderita baru dimana pada periode 4 minggu sebelumnya
daerah tersebut dinyatakan bebas dari penyakit yang bersangkutan.
9. Beberapa penyakit yang dialami 1 atau lebih penderita
a. Keracunan makanan
b. Keracunan Pestisida
Tetanus neonatorum adalah penyakit infeksi yang terjadi melalui luka irisan pada
umbilicus pada waktu persalinan akibat masuknya spora Clostridium tetani yang berasal dari
alat-alat persalinan yang kurang bersih dengan masa inkubasi antara 3-10 hari (Soedarto,
1995). Kasus tetanus Neonatorum di Indonesia masih tinggi, data tahun 2007 sebesar 12,5 per
1000 kelahiran hidup (Supas, 2008). Sedangkan pada tahun 1988, WHO mencatat bahwa
787.000 bayi meninggal karena tetanus neonatorum atau sekitar 6,7 kematian per 1000
kelahiran hidup.
Saat ini kematian akibat tetanus pada maternal dan neonatal dapat dengan mudah
dicegah dengan persalinan dan penanganan tali pusat yang higienis, dan dengan imunisasi ibu
dengan vaksin tetanus. Upaya mengeliminasi Tetanus Maternal dan Neonatal (TMN)
bertujuan untuk mengurangi jumlah kasus tetanus pada maternal dan neonatal hingga ke
tingkat dimana Tetanus Maternal dan Neonatal tidak lagi menjadi masalah utama kesehatan

masyarakat. Tidak seperti polio atau cacar (smallpox), tetanus tidak dapat dieradikasi, spora
tetanus berada di lingkungan seluruh dunia. Namun, melalui imunisasi pada ibu hamil, wanita
usia subur (WUS) dan promosi persalinan yang higienis akan sedikit demi sedikit dapat
mengeliminasi jumlah kasus tetanus neonatorum (Soepardi, 2012).
Penderita atau yang beresiko penyakit dapat menimbulkan KLB dapat diketahui jika
dilakukan pengamatan yang merupakan semua kegiatan yang dilakukan secara teratur, teliti
dan terus-menerus, meliputi pengumpulan, pengolahan, analisa/interpretasi, penyajian data
dan pelaporan. Apabila hasil pengamatan menunjukkan adanya penderita KLB, maka perlu
dilakukan penyelidikan epidemiologis yaitu semua kegiatan yang dilakukan untuk mengenal
sifat-sifat penyebab dan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya dan
penyebarluasan KLB tersebut di samping tindakan penanggulangan seperlunya. Hasil
penyelidikan epidemiologis mengarahkan langkah-langkah yang harus dilakukan dalam
upaya penanggulangan KLB. Upaya penanggulangan ini meliputi pencegahan penyebaran
KLB, termasuk pengawasan usaha pencegahan tersebut dan pemberantasan penyakitnya.
Upaya penanggulangan KLB yang direncanakan dengan cermat dan dilaksanakan oleh semua
pihak yang terkait secara terkoordinasi dapat menghentikan atau membatasi penyebarluasan
KLB sehingga tidak berkembang menjadi suatu wabah (Efendy Ferry, 2009).

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sikap dan pengetahuan masyarakat terhadap tingginya angka prevalensi
penyakit Tetanus Neonatorum di Puskesmas X ?
2. Apakah faktor faktor resiko yang mempengaruhi timbulnya KLB Tetanus
Neonatorum di Puskesmas X ?
3. Bagaimana cara penanggulangan KLB Tetanus Neonatorum di Puskesmas X ?
4. Bagaiamana cara mencegah agar KLB Tetanus Neonatorum tidak terjadi kembali ?
C. Tujuan
1. Tujuan Umum :

a. Untuk mengetahui cara mencegah Kejadian Luar Biasa (KLB) pada Tetanus
Neonatorum agar tidak terjadi kembali.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mendeskripsikan sikap dan pengetahuan masyarakat terhadap tingginya
angka prevalensi penyakit Tetanus Neonatorum di Puskesmas X.
b. Untuk mendeskripsikan cara penanggulangan dan mencegah KLB Tetanus
Neonatorum di Puskesmas X.
c. Untuk mendeskripsikan faktor faktor resiko yang mempengaruhi timbulnya
KLB Tetanus Neonatorum di Puskesmas X.
D. Sasaran
1. Sasaran Umum : Masyarakat sekitar di Puskesmas X
2. Sasaran Khusus : Penderita Tetanus Neonatorum di Puskesmas X

BAB II
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
A. Analisis
Tetanus neonatorum secara khas berkembang dalam minggu pertama atau minggu kedua
kehidupan bayi dan sering disebut sebagai penyakit hari ke tujuh atau ke delapan (Force,
1997), serta dapat membawa kematian pada 70 90 % kasus. Berdasarkan hasil survey yang
dilaksanakan oleh WHO di 15 negara di Asia, Timur Tengah, dan Afrika pada tahun 1978
1982 menekankan bahwa penyakit tetanus neonatorum banyak dijumpai di daerah pedesaan
negara berkembang termasuk Indonesia yang memiliki angka proporsi kematian neonatal
akibat penyakit tetanus neonatorum mencapai 51%. Pada kasus tetanus neonatorum yang
tidak dirawat, hampir dapat dipastikan CFR akan mendekati 100%, terutama pada kasus yang
mempunyai masa inkubasi kurang dari 7 hari (Depkes, 1993).
1. Faktor internal
a. Man (manusia)
1) Pengetahuan masyarakat kurang
Karena penyakit tetanus neonatorum tergolong penyakit yang masih
terdengar asing di masyarakat maka masyarakat kebanyakan kurang
mengetahui tentang resiko dan akibatnya bila terkena penyakit tersebut.
2) Pendapatan masyarakat rendah
Tingkat pendapatan mempengaruhi kepedulian masyarakat pada
kesehatan, karena dengan pendapatan yang minim masyarakat memilih
untuk mencari pengobatan yang murah asalkan mereka bisa sembuh tanpa
mempedulikan kehigenisan metode pengobatan yang dilakukan.
3) Frekuensi kunjungan antenatal kurang
Dikarenakan pendapatan masyarakat yang kurang maka mereka lebih
memilih untuk berobat ke dukun dibandingkan dengan pergi ke
puskesmas untuk memeriksakan kandungan mereka, karena dinilai lebih
murah dan uangnya bisa digunakan untuk kebutuhan lain yang lebih
penting.

2. Faktor eksternal
b. Method
1) Alat pemotong tali pusat kurang steril

Masyarakat yang sering berobat ke dukun kadang tidak memperhatikan


kebersihan dan prosedur pelaksanaan, dapat menyebabkan meningkatnya
kejadian tetanus neonatorum karena alat yang digunakan tidak di sterilkan
terlebih dahulu.
2) Akses layanan kesehatan sulit
Hambatan dalam penyediaan vaksin terbatas. Mengingat jarak yang
jauh serta fasilitas didaerah tersebut kadang-kadang tidak ada listrik,
sehingga distribusi vaksin agak terganggu, karena vaksin harus disimpan
ditempat dengan suhu tertentu (cooler).
3) Pelaksanaan tidak sesuai prosedur
Karena tidak dilakukan oleh tenaga yang terlatih dan terdidik dalam
bidang kesehatan, dan tidak adanya penyuluhan tentang penjagaan diri
dan janin, serta tidak adanya pengenalan tanda tanda bahaya
kehamilan dan faktor resiko yang akan terjadi.
4) Ketersediaan obat yang terbatas
Karena keterbatasan akses layanan kesehatan akibat jarak yang jauh
serta pengiriman obat yang terlambat menyebabkan persediaan obat
menjadi terbatas. Sehingga masyarakat tidak mendapatkan pelayanan obat
secara maksimal.
5) Imunisasi kurang
Kekhawatiran masyarakat yang berlebihan terhadap efek samping
imunisasi, karen banyak rumor yang beredar di masyarakat menyebutkan
bahwa imunisasi dapat menyebabkan kelumpuhan serta anak menjadi
autis. Banyak yang beranggapan bahwa mereka tidak perlu imunisasi
karena orang-orang tua dulu juga tidak melakukan imunisasi tetapi tetap
sehat.
c. Material
1) Tenaga penolong persalinan kurang kompeten
Tenaga penolong persalinan kurang melakukan pelatihan sehingga
penanganannya kurang tepat dan masih banyak ditemukan persalinan yang
tiba-tiba mengalami komplikasi dan memerlukan penanganan yang
profesional tetapi tidak ditangani secara memadai dan tepat waktu
sehingga mengakibatkan kematian.
2) Fasilitas puskesmas kurang memadai
Karena keterbatasan fasilitas di puskesmas serta pelayanan antenatal
care yang kurang memadai sehingga membuat masyarakat menjadi
enggan untuk melakukan persalinan di puskesmas padahal jika
masyarakat lebih mengerti tentang pentingnya melakukan kontrol rutin ke

puskesmas secara tidak langsung akan menurunkan resiko komplikasi saat


melakukan persalinan.
3) Tenaga kesehatan kurang
Pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan di Indonesia masih
rendah sehingga banyak persalinan yang ditolong oleh dukun bayi yang
terlatih maupun yang tidak terlatih.
d. Environment
1. Kepercayaan masyarakat terhadap dukun
Masyarakat beranggapan ramuan tradisional dari dukun lebih
manjur dan cocok untuk perawatan tali pusat dibandingkan dengan
alat perawatan tali pusat dari puskesmas, dan sudah merupakan
kebiasaan keluarga untuk melakukan persalinan di dukun bayi karena
selain murah dan mudah didapat, mereka lebih yakin dan percaya
terhadap khasiat ramuan tradisional tersebut.
2. Kurangnya kebersihan tempat pelayanan persalinan
Tempat pelayanan persalinan di puskesmas yang kurang steril
karena bakteri Clostridium tetani mengalami penyebaran sehingga
penyakit tetanus noenatorum ini semakin luas sebagai akibat dari
lingkungan dengan sanitasi yang buruk menyebabkan Clostridium
tetani lebih mudah berkembang biak.
3. Biaya kesehatan tinggi
Apabila kelahiran ditangani oleh bidan puskesmas bayarannya
lebih mahal dibanding dengan pergi ke dukun. Maka dari itu,
masyarakat lebih berminat untuk melakukan persalinan ke dukun bayi
karena uang mereka bisa disimpan atau digunakan kebutuhan yang
lain.
4. Keadaaan geografi terpencil
Keadaan geografi pada

puskesmas

yang

terpencil

menjadikan hambatan dalam penyediaan vaksin sehingga vaksin yang


harusnya tersedia cukup dapat menjadi terbatas penyediaannya.
Mengingat jarak yang jauh serta fasilitas di daerah tersebut kadangkadang tidak ada listrik, sehingga distribusi vaksin agak terganggu,
karena vaksin harus disimpan ditempat dengan suhu tertentu (cooler).
5. Budaya perilaku masyarakat seperti jaman dulu
Masyarakat lebih memilih dukun bayi dengan maksud agar
tidak menyinggung perasaan dukun yang akan dimintai tolong untuk
memimpin upacara adat serta upaya untuk menjaga hubungan baik.

10

FISHBONE

A. Langkah-langkah penyidikan KLB Tetanus Neonatorum :


1. Persiapan penelitian lapangan.
a. Persiapan, mengkaji bahan pustaka, dan memperluas fokus perhatian.
1) Mengumpulkan data atau laporan tetanus neonatorum dari Puskesmas, Klinik
atau dari masyarakat langsung
2) Fokus terhadap penderita tetanus neonatorum dan Keluarga serta lingkungan
sekitar yang terdekat
b. Memilih lokasi lapangan dan memperoleh akses untuk masuk dalam lokasi
tersebut.
1) Meminta persetujuan dari pihak terkait untuk mengumpulkan data
2) Mengutamakan langsung ke lokasi penderita daripada mengambil data dari
Instansi

11

c. Memulai di tempat penelitian dan menjalin hubungan sosial dengan orang yang
diteliti.
d. Memilih peran sosial.
e. Mengumpulkan data di lapangan.
Data yang dikumpulkan berupa :
1) Insiden tetanus neonatorum
2) Angka kematian bayi
f. Menganalisis data,mengembangkan, dan mengevaluasi hipotesa kerja.
g. Memfokuskan pada aspek- aspek khusus dari setting yang diamati dan melakukan
pengambilan sampel secara teoritis.
1) Mengarahkan hasil kerja yang berhubungan dengan kasus KLB Tetanus
Neonatorum yang terdapat dilapangan.
2) Mengambil sampel yang berhubungan dengan kasus KLB Tetanus
Neonatorum yang telah didapat dari lapangan sesuai dengan teori yang tepat

h. Melakukan wawancara.
Melakukan investigasi lapangan dengan cara melakukan wawancara wawancara
masyarakat sekitar untuk memperjelas hasil yang didapatkan peneliti dari
lapangan.
i. Meninggalkan lokasi, menyelesaikan analisis, dan menulis laporan penelitian
lapangan.
Meninggalkan lokasi observasi KLB TN dengan menyelesaikan analisis mengenai
penyebab penyebaran kasus KLB TN serta solusi pemecahan masalah dengan
menyusunnya dalam bentuk laporan penelitian lapangan yang bisa di baca oleh
siapa saja yang mengalami kasus serupa sehingga dapat dijadikan acuan tindakan
yang tepat oleh orang lain.
1.2 Persiapaan penyelidikan
a. Asal informasi : Laporan puskesmas

12

NAMA PENYAKIT

JAN 2014

FEB 2014

MAR 2014

O
1
2
3
4
5

DBD
Thyphoid Fever
Diare
Tetanus Neonatorum
ISPA

12
5
10
2
8

15
8
11
4
10

10
8
8
9
10

b. Pembuatan rencana kerja


c. Definisi Kasus
Tipe kasus
Pada kasus ini tidak

dijelaskan secara

rinci

mengenai

pemeriksaan yang dilakukan, oleh karena itu kelompok kami


memilih
Kepastian diagnosis :
Kasus Mungkin
Dari data laporan puskesmas yang didapatkan tidak
adanya pemeriksaan lab yang telah dilakukan
Hubungan epidemiologi
Kasus Primer
Kasus yang sakit TN dikarenakan paparan pertama
2. Menetapkan apakah kejadian tersebut suatu KLB.
Dari data evaluasi laporan insiden penyakit terbanyak di wilayah kerja puskesmas X
selama 3 bulan pertama di tahun 2014 setelah dilakukan analisa lebih lanjut didapatkan
bahwa, yang termasuk kedalam Kejadian Luar Biasa (KLB) adalah penyakit Tetanus
Neunatorum dikarenakan penyakit tersebut timbul secara mendadak yang sebelumnya tidak
ada (tidak dikenal) di wilayah kerja puskesmas X selain itu juga pada penyakit tersebut
terdapat peningkatan kejadian penyakit /kematian terus menerus selama 3 kurun waktu
berturut-turut yakni bulan Januari 2 kasus, bulan Februari 4 kasus dan bulan Maret 9 kasus.

13

Dilihat dari data tersebut juga sudah sangat jelas membuktikan bahwa kejadian
penyakit Tetanus Neunatorum mengalami peningkatan 2 kali atau lebih dibanding dengan
periode sebelumnya, (jam, minggu, bulan, tahun) terlihat juga bahwa jumlah penderita baru
dalam satu bulan menunjukan kenaikan 2 kali atau lipat atau lebih dibandingkan dengan
angka rata-rata penularan dalam tahun sebelumnya.
3. Memastikan diagnosis Etiologis.
Tetanus neonatorum adalah kelainan neurologik yang terdapat pada neonatal, yang
ditandai oleh peningkatan tonus dan spasme otot, yang disebabkan oleh tetanospasmin, suatu
toksin protein kuat yang dihasilkan oleh clostridium tetani.

ETIOLOGI
Penyebab penyakit ini adalah clostridium tetani yang hidup anaerob. Kuman ini
mudah dikenal karena pembentukan spora dan karena bentuk yang khas, tersebar luas di
tanah dan mengeluarkan toksin bila dalam kondisi baik. Sporanya dapat bertahan sampai
bertahun-tahun bila tidak kena sinar matahari, tersebar luas di tanah dan mengeluarkan toksin
bila dalam kondisi baik. Toksin daripada tetanus ini dapat menghancurkan sel darah merah,
merusak leukosit dan merupakan tetanospasmin, yaitu toksin yang neurotropik dapat
menyebabkan ketegangan dan spasme otot. Selain itu juga tidak jarang ditemukan pada feses
manusia, juga pada feses kuda, anjing, dan kucing.
4. Mengidentifikasi dan menghitung kasus atau paparan
Identifikasi kasus KLB TN di puskesmas :
Nama penyakit
JANUARI 20014 FEBRUARI 2014 MARET 2014
TETANUS NEONATORUM
2
4
9
Evaluasi laporan data insidens penyakit tetanus neonatorum yang dilakukan oleh kepala
puskesmas selama 3 bulan bertururt-turut.
Data evaluasi di puskesmas X selama 3 bulan pertama di tahun 2014 termasuk kedalam
Kejadian Luar Biasa (KLB) adalah penyakit Tetanus Neunatorum karena terdapat
peningkatan kejadian penyakit/kematian terus menerus selama 3x kurun waktu berturut-turut
yakni bulan Januari 2 kasus, bulan Februari 4 kasus dan bulan Maret 9 kasus.

14

Faktor utama terpaparnya Clostridium tetani yaitu pada pertolongan persalinan yang
tidak steril sehingga dapat menyebabkan terjadinya TN.
Identifikasi paparan yang mungkin terjadi
Kasus tetanus neonatorum berdasarkan penolong kelahiran, dari tahun 2007-2011
yang paling besar terjadi pada ibu yang melahirkan ditolong secara tradisional, diikuti
ditolong oleh bidan/perawat yang dapat dilihat pada grafik dibawah ini.

Gambar 1 :Jumlah Kasus Tetanus Neonatorum Berdasarkan Penolong Kelahiran di Indonesia


Tahun 2007 2011. Sumber : Subdit Surveilans, Ditjen P2&PL
Berdasarkan alat yang digunakan untuk pemotongan tali pusat saat persalinan, selama
tahun 2007-2011 didapatkan ka-sus TN lebih banyak terjadi pada bayi yang pemotongan tali
pusatnya menggunakan gunting, seperti terlihat pada grafik di bawah ini.

15

Gambar

:Jumlah

Kasus

Tetanus Neonatorum Berdasarkan Alat Pemotongan tali pusat di Indonesia Tahun 2007
2011. Sumber : Subdit Surveilans, Ditjen P2&PL

Berdasarkan cara perawatan tali pusat pada neonatus, selama tahun 2007-2011
didapatkan kasus TN lebih banyak terjadi pada bayi dengan perawatan tali pusatnya
dilakukan secara tradisional, seperti terlihat pada grafik di bawah ini.

Gambar 3 :Jumlah Kasus Tetanus Neonatorum Berdasarkan cara perawatan tali pusat di
Indonesia Tahun 2007 2011. Sumber : Subdit Surveilans, Ditjen P2&PL

Dari kasus TN yang dilaporkan, diperoleh data riwayat pemeriksaan kehamilan ibu
selama hamil. Dari tahun 2007-2011 riwayat pemeriksaan kehamilan ibu dari bayi yang
terkena TN paling banyak adalah di Bidan/Perawat dan tidak memeriksakan kehamilannya.

16

Gambar 4 : Jumlah Kasus Tetanus Neonatorum Berdasarkan Riwayat Pemeriksaan


Kehamilan di IndonesiaTa hun 2007 2011. Sumber : Ditjen P2&PL, Subdit Surveilans

Kasus tetanus neonatorum berdasarkan status imunisasi ibu hamil, dari tahun 20072011 yang paling besar terjadi pada ibu hamil yang tidak di imunisasi. Kasus tetanus
neonatorum pada ibu yang mendapat diimunisasi TT2 dan TT1 hampir sama yang dapat
dilihat pada grafik dibawah ini.

Gambar 5 : Jumlah Kasus Tetanus Neonatorum Berdasarkan Status Imunisasi Ibu Hamil di
Indonesia Tahun 2007 2011. Sumber : Subdit Surveilans, Ditjen P2&PL

5. Mendeskripsikan kasus berdasarkan waktu, tempat, dan orang.


Dalam mendepskrisikan kasus kejadian luar biasa pada tetanus neonatorum
berdasarkan waktu, tempat, dan orang (WTO) yang pertama harus didapatkan yaitu data
insiden, jenis kelamin, waktu terjadinyanya kasus, dan dimana tempat dengan angka kejadian
terbanyak.

17

Deskripsi menurut tempat


Untuk mendapatkan petunjuk populasi yang rentan kaitannya dengan tempat yaitu
identifikasi sumber penularan.
Berdasarkan provinsi kasus TN tahun 2011, provinsi yang mempunyai kasus TN
sebanyak 15 provinsi seperti terlihat pada grafik di bawah. Sedangkan kasus TN yang paling
banyak adalah Provinsi Banten sebanyak 38 kasus kemudian Provinsi Jawa Timur sebanyak
22 kasus TN, Kalimantan Barat sebanyak 13 kasus TN, yang lebih rinci dapat dilihat pada
gambar dibawah ini.

Gambar 6 :Jumlah Kasus Tetanus Neonatorum per Provinsi di


Indonesia Tahun 2011
Sumber : Subdit Surveilans, Ditjen P2&PL
Deskripsi menurut waktu
Adalah penggambaran kasus selama periode KLB dalam kurva epidemic.
Kurva epidemik : grafik yang menggambarkan frekuensi kasus yaitu sumbu vertical ;
berdasar saat mulai sakit (onset of illness) dengan sumbu horizontal . (Atik choirulah
hidajah,dr, M.kes, n.d).

Grafik TN pada wilayah puskesmas

18

10
9
8
7
6
5
4
3
2
1
0
Januari 2014

Februari 2014

Maret 2014

Berdasarkan Riskesdas tahun 2007, sebagian besar (78,5%) kematian neonatus terjadi
pada minggu pertama kehidupan (06 hari). Terkait hal tersebut, tahun 2008 ditetapkan
perubahan kebijakan dalam pelaksanaan kunjungan neonatus dari semula 2 kali (satu kali
pada minggu pertama dan satu kali pada 828 hari),menjadi 3 kali (dua kali pada minggu
pertama dan satu kali pada 828 hari). Dengan perubahan ini, jadwal kunjungan neonatus
dilaksanakan pada umur 648 jam, umur 37 hari dan umur 828 hari.Pelayanan kesehatan
neonatal ini diantaranya adalah untuk perawatan tali pusat yang dapat bermanfaat untuk
mencegah tetanus neonatorum digambarkan dengan indikator cakupan kunjungan neonatal.

6. Penanggulangan Sementara Dengan Segera


a.

Jika etiologi telah diketahui sumber dan cara penularannya dapat dipastikan
maka penanggulangan dapat dilakukan tanpa penyelidikan yang luas.

b.

Jika etiologi diketahui tetapi sumber dan cara penularan belum dapat
dipastikan, maka belum dapat dilakukan penanggulangan. Masih diperlukan
penyelidikan yang lebih luas untuk mencari sumber dan cara penularannya.

c.

Jika etiologi belum diketahui tetapi sumber dan cara penularan sudah
diketahui maka penanggulangan segera dapat dilakukan, walaupun masih
memerlukan penyelidikan yang luas tentang etiologinya.

d.

Jika etiologi dan sumber atau cara penularan belum diketahui, maka
penanggulangan tidak dapat dilakukan. Dalam keadaan ini cara penanggulangan
baru dapat dilakukan sesudah penyelidikan.

19

7. Mengidentifikasi sumber dan cara penyebaran


Untuk mengetahui sumber dan cara penularan dilakukan dengan :
1.

Faktor Risiko Pencemaran Lingkungan Fisik dan Biologi


Clostridium tetani yaitu kuman yang mengeluarkan toksin atau racun dan menyerang
sistem syaraf pusat. Penyebaran penyakit tetanus noenatorum ini semakin luas akibat
lingkungan dengan sanitasi yang buruk menyebabkan Clostridium tetani lebih mudah
berkembang biak. Kebanyakan penderita dengan gejala tetanus sering mempunyai
riwayat tinggal di lingkungan yang kotor. Sehingga diperlukan penjagaan kebersihan
diri dan lingkungan untuk mencegah tetanus.

2.

Riwayat Pemeriksaan Kehamilan


Pemeriksaan kehamilan dilakukan untuk memeriksa keadaan ibu hamil dan janin
secara berkala,yang diikuti dengan upaya koreksi terhadap penyimpangan yang
ditemukan. Salah satu faktor penyebaran penyakit tetanus noenatorum ini adalah
pemeriksaan yang tidak dilakukan oleh tenaga yang terlatih dan terdidik dalam
bidang kesehatan,seperti tidak adanya penyuluhan tentang penjagaan kesehatan diri
dan janin,pengenalan tanda-tanda bahaya kehamilan dan faktor risiko yang akan
terjadi.

3.

Penolong persalinan
Pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan di Indonesia masih rendah, banyak
persalinan yang ditolong oleh dukun bayi yang terlatih maupun yang tidak terlatih,hal
inilah menyebabkan masih banyak ditemukan persalinan yang tiba-tiba mengalami
komplikasi dan memerlukan penanganan profesional tetapi tidak ditangani secara
memadai dan tepat waktu,sehingga mengakibatkan kematian.
Beberapa hal yang mungkin menjadi alasan masyarakat memilih tenaga dukun bayi
untuk pertolongan persalinannya (Adji, 1995) :

a.

Apabila kelahiran ditangani oleh bidan puskesmas biayanya jauh lebih mahal.

b.

Selain alasan ekonomi, masyarakat memilih dukun bayi dengan maksud agar tidak
menyinggung perasaan dukun desa demi tetap menjaga hubungan baik.

4.

Tempat pelayanan persalinan


Persalinan di rumah mengandung risiko tetanus neonatorum yang tinggi apalagi di
pedesaan yang jauh dari pusat pelayanan kesehatan yang berlokasi di ibukota,
kecamatan,proses persalinan selalu berlangsung di rumah. Meskipun persalinan itu
berlangsung di pusat pelayanan kesehatan atau klinik bersalin tidak jarang

20

sekembalinya kerumah para wanita yang baru melahirkan itu menjalani perawatan
secara tradisional (Ulaen, 1998).
5.

Perawatan Tali Pusat


Ramuan tradisional umumnya masih banyak digunakan oleh masyarakat pedesaan,
terutama oleh dukun bayi atau keluarga. Dukun bayi memakai ramuan seperti
kunyit,kapur dan abu sebagai bahan perawatan tali pusat . Alasan digunakannya obat
atau bahan tradisional pada masyarakat yaitu karena dianggap manjur dan
cocok,sudah merupakan kebiasaan keluarga, mudah didapat,murah, dan masyarakat
lebih yakin terhadap khasiat obat tersebut (Soedarmo, 1998).

6.

Alat pemotongan tali pusat bayi


Penggunaan sembilu untuk memotong tali pusat sampai saat ini masih dilakukan oleh
beberapa dukun bayi terutama di pedesaan. Sembilu di ambil dari bambu yang
merupakan alat penghembus api milik keluarga yang sedang digunakan di dapur.
Sembilu tidak perlu dicuci karena di anggap sudah bersih (Adji 1998). Meskipun
pemotong tali pusat dilakukan dengan gunting atau benang para dukun masuh sering
tidak membersihkan alat-alat itu lebih dahulu sama halnya saat mereka menggunakan
sembilu (Adji 1998).

7.

Status imunisasi ibu hamil


Sebagian besar bayi yang terkena tetanus neonatorum biasanya lahir dari ibu yang
tidak pernah mendapatkan imunisasi TT (Tetanus Toksoid) .

8. Mengidentifikasi keadaan penyebab KLB TN


Faktor-faktor resiko kejadian tetanus neonatorum :
1. Pemeriksaan Antenatal
Pemeriksaan antenatal adalah pemeriksaan kehamilan yang dilakukan untuk
memeriksakan keadaan ibu hamil dan janin secara berkala, yang diikuti dengan upaya
koreksi terhadap penyimpangan yang ditemukan. Tujuannya adalah untuk menjaga
agar ibu hamil dapat melalui masa kehamilan, persalinan, dan nifas dengan baik dan
selamat, serta menghasilkan bayi yang sehat. Pemeriksaan kehamilan dilakukan oleh
tenaga terlatih dan terdidik dalam bidang kebidanan, yaitu bidan, dokter, dan perawat
yang sudah terlatih (Depkes, 1994).
Pemeriksaan antenatal, hendaknya memenuhi tiga aspek pokok, yaitu :
a. Aspek medis yang meliputi diagnosis kehamilan, penemuan kelainan secara dini
dan pemberian terapi sesuai dengan diagnosis.

21

b. Penyuluhan,penjagaan kesehatan diri serta janinnya, pengenalan tanda-tanda


bahaya dan faktor risiko yang dimiliki, dan pencarian pertolongan yang memadai
secara tepat waktu.
c. Rujukan : ibu hamil dengan risiko tinggi harus ke tempat pelayanan yang
mempunyai fasilitas lebih lengkap
Adapun perawatan kehamilan meliputi pemeriksaan fisik, yang meliputi
pemeriksaan muka, gigi, mulut, leher, payudara, jantung, hati , paru-paru, perut, dan
organ reproduksi. Pemeriksaan laboratorium meliputi pemeriksaan urin dan
hemoglobin, sedangkan pemeriksaan kebidanan meliputi 5T yaitu penimbangan berat
badan, pengukuran tekanan darah, pengukuran tinggi fundus uteri, pemberian
imunisasi TT dan pemberian tablet tambah darah. Selain itu, ibu hamil mendapat
penyuluhan tentang jenis dan jumlah makanan bergizi tinggi yang diperlukan selama
hamil, kebersihan perorangan, perawatan payudara, dan air susu ibu, keluarga
berencana, kebiasaan hidup sehat selamahamil serta faktor-faktor yang berhubungan
dengan kesakitan dan kematian ibu maupun bayi.
Dari rangkaian pemeriksaan antenatal, pemberian imunisasi TT adalah hal yang
paling penting dilakukan untuk mencegah infeksi tetanus neonatorum.
Pemeriksaan antenatal dapat dilakukan di puskesmas, rumah sakit, rumah bersalin,
maupun di rumah penduduk. Pemeriksaan kehamilan dapat dilakukan oleh dokter,
bidan, atau perawat kesehatan. Pemeriksaan dilakukan minimal sebanyak empat kali
yaitu pada trisemester pertama, trisemester kedua dan dua kali pada trisemester
ketiga.

2. Imunisasi Tetanus Toksoid pada Ibu Hamil


Salah satu komitmen global yang ingin dicapai adalah untuk menekan insiden
tetanus neonatorum hingga di bawah 1 per 1000 kelahiran hidup pada tahun 2000.
Pencapaian program ETN (Eliminasi Tetanus Neonatorum) di tingkat kabupaten atau
kota dinilai berdasarkan cakupan imunisasi TT ibu hamil dan TT wanits usia subur
(WUS) serta cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan (Depkes RI, 1999).

22

Pemberian imunisasi tetanus toksoid pada ibu hamil dimaksudkan agar bayi
yang dilahirkan sudah mempunyai kekebalan terhadap toksin tetanus yang didapatkan
secara pasif sewaktu masih berada dalam kandungan. Dua dosis TT sekurangnya
dengan jarak waktu satu bulan serta sekurangnya sebulan menjelang persalinan,
hampir 100% efektif mencegah tetanus neonatorum. Jadi tidak adanyan imunisasi
tetanus pada ibu merupakan faktor risiko yang berarti untuk tetanus pada neonatus
yang akhirnya menyebabkan kematian (Depkes RI, 1994).
Imunisasi TT dua dosis (TT) memberikan perlindungan selama tiga tahun,
artinya apabila dalam waktu tiga tahun seorang ibu akan melahirkan, bayi yang
dilahirkan akan terlindung dari tetanus neonatorum. Sebaliknya imunisasi TT tidak
lengkap (TT1) hanya langkah awal untuk mengembangkan kekebalan tubuh terhadap
infeksi (Depkes RI, 1996).
Meskipun terdapat banyak kendala, di banyak daerah di Indonesia, tetanus
neonatorum bukan lagi menjadi masalah kesehatan masyarakat. Hendaknya dicatat,
bahwa keberhasilan penuh barulah tercapai setelah semua wanita usia subur yang
tidak hamil juga dijadikan sasaran imunisasi. Mengingat pengalaman ini dan
rendahnya cakupan TT pada wanita hamil berisiko pada saat ini, WHO pada
pertemuan kelompok penasehat seluruh dunia mengubah target TT menjadi untuk
semua wanita usia subur (15-44 tahun). Bilaprogram pengembangan imunisasi WHO
sudah sepenuhnya mencakup bayi dan anak kecil, maka satu suntikan TT untuk
wanita muda, yang pada masa kanak-kanaknya sudah diimunisasi akan dapat
mencegah tetanus neonatorum.
3. Jenis penolong persalinan
Pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan di Indonesia masih rendah, yaitu sekitar
50%, selebihanya di tolong oleh dukun bayi baik ang terlatih maupun yang tidak terlatih. Hal
ini menyebabkan mas bayak di temukan persalinan yang tiba-tiba mengalami komplikasi dan
memerlukan penanganan professional tetapi tidak di tangani secara mendasar dan tepat
waktu., sehingga mengakibatkan kematian.
Dengan mengupayakan agar persalinan yang di tolong oleh dukun bayi di damping
oleh bidan, maka selain pertolongan persalinana 3 bersih lebih terjamin, diharapkan
persalinan yang aman juga terjamin.

23

Pertolongan persalinan yang bersih, meliputi: bersih tangan penolong, bersih daerah
perineum ibu, jalan lahir tersentuh oleh sesuatu yang tidak bersih, bersih alas tempat
melahirkan, dan memotong tali pusat menggunakan alat yang bersih.
Bahkan bila kenaikan proporsi persalinan yang dilakukan oleh tenaga paramedic dan
medis ternyata efektif, maka biaya untuk melatih tenaga dalam jumlah yang memadai agar
diperoleh cukupan yang luas merupakan penghalang bagi Negara berkembang, terutama bila
yag digukan adalah bidan bidan yang terlatih atau dokter. Lebih jauh lagi, andai kata tenagatenaga itu tersedia mungkin juga mereka tidak selalu digunakan. Banyak peneliti
menenmukan kenyataan bahwa ibu-ibu tetap lebih menyukai dukun bayi yang tidak terlatih
meskipun fasilitas-fasilitas untuk persalinan di lembaga-lembaga kedoktera, atau meskipun
ada tenaga-tenaga kesehatan masyrakat yang terlatih.
Beberapa hal yang mungkin menjadi alasan masyarakat memilih tenaga dukun bayi
untuk pertolongan persalinananya :
1) Apabila kelahiran ditangani oleh bidan puskesmas, bayarannya jauh lebih mahal
dan harus berupa uang. Salain itu tugas bidan hanyalah untuk membantu
persalinana, padahal satiap bayi masih harus menjalani upacara adat,
2) Selain alasan ekonomi, masyarakat memilih dukun bayi dengan maksud agar
tidak menyinggung perasaan dukun yang akan dimintai tolong untuk memimpin
upacara adat, serta sebgai upaya untuk menjaga hubungan baik.
4. Tempat persalinan
Persalinan di rumah mengandung resiko tetanus neonatorum yang inggi, tetapi
persalinana di rumah sakit tidak menjamin perlindungan untuk tidak terkena tetanus
neonatorum, karena lamanya tinggal di rumah sakit sengatlah pendek (setelah bayi lahir
langsung pulang). Sampai di rumah, biasanya perawatan ibu dan bayi diserahkan kepada
dukun beranak.
Meskipun persalinan itu berlagsung di pusat pelayanan kesehatan atau klinik bersalin,
tidak jarang sekembalinya ke rumah, para wanita yang baru melahirkan itu menjalani
perawatan secara tradisional. Namun, di daerah pedesaan apalagi yang jauh dari pusat
pelayanan kesehatan yang berlokasi di ibu kota kecamatan, proses persalinan selalu
berlangsung di rumah.
5. Alat pemotong tali pusat

24

Penggunaan sembilu untuk memotong tali pusat sampai kini masih dilakukan oleh
beberapa dukun bayi terutama di pedesaan. Pada masyarakat Sunda alat pemotong (sembilu)
ini dikenal dengan hinis (Soedarno, 1998). Penelitian di pedesaan pulau lombok juga
memperlihatkan keadaan yang sama. Tali pusat bayi yang baru lahir dipotong dengan cara
mengikat bagian pangkal dan kira-kira tiga jari di bagian atasnya, kemudian dipotong bagian
tengahnya dengan sembilu yang terbuat dari irisan kulit bambu yang diambil dari rangka atap
rumah bagian depan (Prattiwi, 1998).
Penelitian di desa Kmantan Kebalai Keabupaten Kerinci menunjukkan bahwa masih
terdapat penggunaan sembilu untuk memotong tali pusat bayi baru lahir, sembilu diambil dari
bambu yang merupakan alat penghembus api milik keluarga yang sedang digunakan di dapur.
Sembilu tidak perlu dicuci karena dianggap sudah bersih (Adji, 1998).
Meskipun pemotong tali pusat telah dilakukan dengan gunting atau benang, para
dukun masih sering tidak membersihkan alat-alat itu lebih dahulu, sama halnya saat mereka
menggunakan sembilu (Adji, 1998).
6. Perawatan Tali Pusat
Tiga segi perawatan pusar dan tali pusat mempunyai pengaruh terhadap risiko tetanus
neonatorum, yaitu: alat pemotong tali pusat, praktek menyimpul, atau membuka sampulnya,
serta bahan yang diurapkan atau dioleskan pada pangkal potongan tali pusat yang belum
kering (Foster, 1988).
Merawat tali pusat berarti menjaga agar luka tersebut tetap bersih, tidak terkena
kencing, kotoran bayi, atau tanah. Bila kotor, luka tali pusat dicuci dengan air bersih yang
mengalir dan segera keringkan dengan kain/kasa bersih dan kering. Tidak boleh
membubuhkan atau mengoleskan ramuan, abu dapur, dan sebagainya pada luka tali pusat
sebab dapat menyebabkan infeksi dan tetanus yang dapat berakhir dengan kematian neonatal.
Infeksi tali pusat merupakan faktor resiko untuk terjadinya tetanus neonatorum (Depkes
RI,2000).
Ramuan tradisional umumnya masih banyak digunakan oleh masyarakat pedesaan,
terutama oleh dukun bayi atau keluarga. Telah didapati bahwa 60% dukun bayi memakai
ramuan seperti kunyit, kapur, dan abu sebagai perawatan tali pusat. Alasan digunakannya
obat/bahan tradisional pada masyarakat yaitu karena dianggap manjur dan cocok, sudah

25

merupakan kebiasaan keluarga, mudah didapat, murah, dan masyarakat lebih yakin
terhadapkhasiat obat atau bahan tradisional tersebut (Soedarno,1998).
Penggunaan abu dapur bekas pembakaran kayu di tungku untuk melumuri bekas
potongan tali pusat agar luka cepat kering, sering mengakibatkan pusar bayi menjadi bengkak
dan berwarna merah. Jika tidak dirawat dengan baik, keadaan ini dapat mengakibatkan
kematian. Adanya kematian bayi akibat serangan tetanus neonatorum banyak terjadi karena
praktek perawatan luka dengan cara seperti di atas (Danandjaja, 1980).
9. Merencanakan penelitian lain yang sistematis
Faktor faktor yang diteliti adalah
1. karakteristik ibu, meliputi umur, pendidikan, dan urutan kelahiran bayi,
2. keadaan sebelum persalinan meliputi periksa kehamilan, imunisasi TT,
3. pertolongan persalinan dan
4. perawatan tali pusat, mengenai obat tali pusat dan tenaga yang melakukan perawatan tali
pusat tersebut.
Disamping faktor resiko di atas didapatkan pula hasil penelitian lainnya, berupa
keadaan atau situasi yang melatarbelakangi dari faktor resiko di atas yaitu:
-pengetahuan ibu mengenai imunisasi TT
-Hampir 50% ibu hamil pernah kontak dengan dukun selama masa kehamilannya.
10. Menetapkan saran pencegahan dan penanggulangan tetanus neonatorum
Tetanus nenatorum dapat dicegah dengan cara

1. Pemberian imunisassi tetanus toksoid (TT) pada ibu hamil. Pada awalnya sasaran
program imunisasi TT untuk mencegah penyakit tetanus neonatorum adalah ibu
hamil. Menurut rekomendasi WHO, pemberian imunisasi TT sebanyak 5 dosis dengan
internal minimal antara satu dosis ke dosis berikutnya seperti yang telah ditentukan,
akan memberikan perlindungannya seumur hidup. Saat ini imunisasi TT diberikan
kepada murid SD kelas VI, wanita calon pengantin wanita, dan ibu hamil.
2. Peningkatan pelayanan antenatal dan pertolongan persalinan tiga bersih, yaitu bersih
diri, bersih tempat, dan bersih alat.
3. Promosi perawatan tali pusat yang benar.
11. Menetapkan sistem kasus baru penemuan kasus baru

26

A. Investigasi Pendahuluan
Langkah pertama investigasi KLB adalah untuk melakukan konfirmasi KLB dan
melihat besarnya masalah KLB tersebut. Tim provinsi dan kabupaten atau kota akan
bergabung dengan petugas dari puskesmas dan memulai investigasi dan menemukan kasus
secara aktif. Setiap KLB diinvestigasi dengan menggunakan format PE KLB sesuai dengan
lampiran dan alogritma. Semua informasi tentang kasus KLB tersebut dicatat dalam program
spreed sheet. Kemudian melakukan analisa data diprogram seperti Epi info atau Epi data
untuk menghasilkan analisis deskriptif menurut waktu, tempat, orang.
12. sistem pelaporan
A. Alur pelaporan dimulai dari puskesmas pembantu, puskesmas kelurahan, posyandu, bidan
desa yang diserahkan ke puskesmas untuk diolah, dianalisis, disajikan demi kepentingan
puskesmas dalam mengambil tindakan.
B. Frekuensi laporan :
a. Laporan bulanan (laporan bulanan data kesakitan, laporan bulanan data kematian,
laporan bulanan data layanan kesehatan, laporan bulanan data obat-obatan).
b.

Laporan triwulan(Laporan Triwulan untuk dinas kesehatan tingkat II, Laporan


Triwulan untuk tingkat dinas provinsi, Laporan Triwulan untuk departemen kesehatan
pusat).

c. Laporan semester terpadu berisi kegiatan gizi, KIA, kesling sarana dan prasarana.
d. Laporan tahunan berisi seluruh kegiatan dan masalah yang ada

Tabel Prioritas penyelesaian masalah

.
No

Masalah

Efektifitas Efisiensi Hasil


m
i
v

p=m.i.v/c

1.

Rendahnya

18

pengetahuan
mengenai
alat

sterilitas

pertolongan

27

persalinan
Rendahnya

13,5

tali pusar bayi


Tenaga persalinan 3

pengetahuan
mengenai perawatan
3

yang
4

minim

dan

kurang memadai
Kurangnya
kebersihan

tempat

pelayanan persalinan
P
: Prioritas jalan keluar
M : Maknitude, besarnya masalah yang bisa diatasi apabila solusi ini
dilaksanakan (turunnya prevalensi dan besarnya masalah lain)
I
: Implementasi, kelanggengan selesainya masalah.
V
: Valiability, sensitifnya dalam mengatasi masalah
C
: Cost, biaya yang diperlukan.

BAB III
Rencana Pelaksanaan (POA)
N Kegi
o

Sasaran

Target

atan

Rincian

Lokasi

Tenaga

Jadwal

Kebutuh

Kegiatan

Pelaksa Pelaksa

an

naan

na

pelaksan

Tujuan

Indikator

aan
1

Pen

Ibu

Meningkatk

Memberi

Balai

Tenag

1.

Mena

Penurun

yulu

hamil

an

kan

desa

bulan

spandu

mbah

an

han

di

pengetahua

pengeta

keseh

sekali

penge

angka

Puskes

huan

atan

2.

tahua

kejadia

mas X,

masyarakat

tentang

pada

Brosur

28

dukun

mengenai

penting

puskes

tentang

menge

tetanus

bayi,

tetanus

nya

mas X

imunisa

nai

neonato

dan

neonatorum

imunisa

si

pentin

rum

bidan

si

3. PPT

gnya

minimal

meminimali

tetanus

imunis

75%

sirkan

asi

angka

tetanu

kematian

pada

bayi

akibat
tetanus
2

Imu

Ibu

neonatorum
Mencegah

Memberi

Puske

Tenag

Dosis

1.

Menin

Penurun

nisa

hamil

meningkatn

kan

smas

I:

Vaksin

gktaka

an

si

di

ya

imunisa

keseh

trisem

2.

angka

sekitar

neonatorum

si

atan

ester I

Tenaga

kekeb

kejadia

tetanus

pada

setela

kesehat

alan

puskes

an

tubuh

tetanus

mas X

keha

bayi

neonato

milan

yang

rum

positif

dilahir

minimal

; dosis

kan

75%

II: 4-8

terhad

mingg

ap

toksin

setela

tetanu

Puskes

tetanus

mas X

tes

yang
perta
ma

BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

29

KESIMPULAN
Kejadian Luar Biasa (KLB) adalah timbulnya atau meningkatnya kejadian kesakitan
atau kematian yang bermakna secara epidemiologis pada suatu daerah dalam kurun waktu
tertentu (Depkes, 2004). Berdasarkan data diatas tetanus neonatorum dianggap sebagai KLB
karena memenuhi salah satu kriteria yaitu peningkatan kejadian penyakit / kematian, 2 kali
atau lebih dibandingkan dengan periode sebelumnya (jam, hari, minggu, bulan, tahun).
Tetanus neonatorum adalah penyakit infeksi yang terjadi melalui luka irisan pada
umbilicus pada waktu persalinan akibat masuknya spora Clostridium tetani yang berasal dari
alat-alat persalinan yang kurang bersih. Saat ini kematian neonatal karena kasus tetanus
nenatorum mengalami peningkatan. Untuk meminimalisir angka kejadian tetanus neonatorum
ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, seperti melakukan pemeriksaan antenatal secara
berkala sebagai koreksi terhadap penyimpangan yang ditemukan; melakukan imunisasi
tetanus toksoid agar bayi yang dilahirkan mempunyai kekebalan terhadap toksin tetanus;
mempercayakan persalinan pada tenaga medis agar dapat memberikan

pertolongan

persalinan yang bersih, meliputi bersih tangan penolong, bersih daerah perineum ibu, jalan
lahir tersentuh oleh sesuatu yang tidak bersih, bersih alas tempat melahirkan, dan memotong
tali pusat menggunakan alat yang bersih; dan teknik perawatan tali pusat yang benar.
SARAN
Untuk tenaga medis
a. Memberikan arahan kepada tenaga medis agar dapat mengetahui cara mencegah dan
menanggulangi timbulnya penyakit Tetanus Neonatorum agar tidak terjadi
peningkatan 2 kali lipat seperti bulan sebelumnya.
b. Meningkatkan pelayanan antenatal care melalui kader kader dengan memberikan
penyuluhan kepada tenaga kesahatan seperti dokter, perawat, bidan agar mereka dapat
menjelaskan tentang pentingnya imunisasi terhadap maternal maupun neonatal.
c. Meningkatkan pelaksanaan program imunisasi untuk menghindari terjadinya tetanus
neonatorum.
Untuk ibu hamil
a. Mengikuti penyuluhan terkait kehamilan agar maternal lebih paham mengenai
kesehatan diri dan janin.

30

b. Rutin melakukan pemeriksaan selama masa kehamilan untuk mengontrol kesehatan


janin sekaligus mencegah agar janin tidak terkena tetanus neonatorum
c. Mempercayakan persalinan pada tenaga medis agar proses persalinan berjalan sesuai
standar operasional dengan menggunakan alat alat yang disterilkan. Karena
kebanyakan kasus tetanus neonatorum disebabkan karena tidak sterilnya alat yang
digunakan untuk memotong tali pusat.

31

DAFTAR PUSTAKA

Effendi, Ferry. 2009. Keperawatan Kesehatan Komunitas. Jakarta: Salemba Medika.


Soepardi, Jane. 2012. Eliminasi Tetanus Maternal dan Neonatal. Jakarta: Buletin Jendela
Data dan Informasi Volume I September 2012.
Depkes. 2004. Pedoman penyelenggaraan sistem kewaspadaan dini kejadian luar biasa
(KLB).
Soedarto. 1995. Helmintologi Kedokteran Edisi ke 2. Jakarta : EGC

You might also like