You are on page 1of 4

ASURANSI ASET PEMERINTAH DAERAH

Pada bulan Ramadan 1430 H, atau tepatnya hari Rabu tanggal 2 September 2009, masyarakat
Indonesia dikejutkan oleh gempa yang berpusat di Tasikmalaya. Sebelumnya, dua tahun yang
lalu gempa juga terjadi di belahan bumi Sumatera. Simpati mendalam penulis haturkan kepada
segenap masyarakat Jawa Barat yang terkena dampak bencana alam tersebut. Tidak sedikit
korban nyawa, harta benda, baik rumah tinggal, kendaraan atau gedung-gedung bertingkat baik
miliki pribadi maupun miliki pemerintah pusat maupun daerah (Pemda) yang luluh lantak tidak
bersisa.
Jauh sebelum gempa di Pulau Sumatera yang penulis sebut di atas, di Pulau Jawa gempa terakhir
yang mengakibtakan korban masif adalah gempa yang menimpa wilayah Yogyakarta pada tahun
2006 yang lalu. Gempa ini juga menimbulkan kerugian yang tidak sedikit pada individu maupun
entitas baik publik maupun swasta. Yang perlu digarisbawahi, setahun sebelum gempa tersebut
melanda, Propinsi Jawa Tengah telah melakukan sebuah upaya positif untuk mengurangi beban
Pemda dalam menanggung kerugian akibat bencana alam.
Asuransi Aset Pemerintah Daerah
Pemerintah Propinsi Jawa Tengah, telah mencoba untuk melakukan langkah-langkah preventif
yang dapat mengurangi dampak kerugian akibat bencana. Mereka mengalokasikan dana untuk
mengasuransikan aset mereka. Langkah ini tentu saja merupakan terobosan baru yang bahkan
sampai dengan tahun 2006 belum pernah diformulasikan oleh Departemen Keuangan sebagai
Bendahara Umum Negara dan Pengelola Barang Milik Negara (BMN). Mungkin karena domain
tugas pokok dan fungsi yang berbeda antara Barang Milik Negara dan Barang Milik Daerah
(BMD), sehingga pemerintah pusat sampai saat ini belum membuat kajian atau formulasi terkait
dengan asuransi atas aset yang mereka miliki.
Sebagai langkah pertama yang dilakukan oleh Propinsi Jawa Tengah saat itu adalah membentuk
tim appraisal (penaksir atau penilai) aset. Dalam hal ini Pemerintah Propinsi Jawa Tengah
sebetulnya dapat bekerja sama dengan Departemen Keuangan sebagai Pengelola Barang Milik
Negara melalui eselon satu di bawah Departemen Keuangan, yaitu Direktorat Jenderal Kekayaan
Negara (DJKN) yang salah satu tugas pokok dan fungsinya adalah Penilaian Kekayaan
Negara, di mana salah fungsinya antara lain untuk meyakinkan pemerintah atas nilai
wajar (Fair Value) atas seluruh aset pemerintah sehingga aset yang dimiliki oleh pemerintah
dapat mencerminkan keadaan sebenarnya pada Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP).
Mulai triwulan terakhir 2007 DJKN sesuai amanat Keputusan Presiden nomor 17 tahun 2007
sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Presiden nomor 13 Tahun 2009 fokus dalam
melaksanakan penilaian atas aset pemerintah pusat (instansi vertikal) untuk kepentingan Laporan
Keuangan yang akuntabel, akan tetapi tidak menutup

kemungkinan suatu saat akan melebarkan sayap menjadi penilai aset pemda atau
aset korporasi pemerintah/pemda (BUMN/D) maupun entitas swasta yang akan diasuransikan.
Pada kasus seperti Propinsi Jawa Tengah, aset Pemerintah Propinsi Jawa Tengah yang pada tahun
2005 bernilai sekitar Rp. 12 triliun yang meliputi 16 kaveling tanah, 37 unit bangunan, 348 unit
kendaraan roda empat, 174 unit kendaraan roda dua serta sejumlah barang inventaris lain yang
diasuransikan hanya gedung, kendaraan bermotor dan barang inventaris dengan nilai tanggungan
sebesar Rp. 2 triliun (Suara Merdeka, 2005). Sebuah nominal yang cukup besar yang bisa
mengurangi beban pemda dalam menanggulangi dampak kerugian bencana.
Langkah berikutnya yang tidak kalah penting adalah penilaian performa perusahaan asuransi
yang mampu memberikan nilai paling menguntungkan secara ekonomi dan diutamakan berasal
dari dalam negeri atau swasta nasional. Pemda Propinsi Jawa Tengah dapat dikatakan proaktif
dan selangkah lebih maju dalam melaksanakan Instruksi Menteri Dalam Negeri (Mendagri) No.
2 tahun 2006 tanggal 16 Maret 2006 tentang Pelaksanaan Perlindungan Asuransi Barang
Milik/Dikuasai Pemerintah Daerah.
Instruksi Mendagri No. 2 tahun 2006 ini sebetulnya dapat menjadi wacana dalam
mengurangi beban pemda dalam menanggung kerugian karena bencana alam. Bila melihat
contoh kasus pada gempa terakhir di Jawa Barat, penulis yakin bahwa (1) jumlah aset pemda
yang belum sempat dinilai, akan tetapi sudah
hancur karena bencana alam sangat besar (2) fokus anggaran pemerintah pasca pemilihan umum
dan resesi global adalah mengembalikan kekuatan fundamental ekonomi sehingga anggaran
penanggulangan bencana belum menjadi prioritas walau harus selalu dialokasikan setiap tahun
(3) menyongsong era di mana pemda dapat mengeluarkan obligasi daerahnya masing-masing.
Mau tidak mau, suka atau tidak suka aset akan
menjadi jaminan/garansi bagi penerbitan instrumen ini.
Apabila aset diasuransikan kepada perusahaan asuransi, bukankah setiap 'force
majeur' itu bisa ditutup oleh perusahaan asuransi dan bila jadi
jaminan/garansi penerbitan obligasi bisa lebih secure karena telah
diasuransikan?

Kendala Biaya Premi


Salah satu kendala dalam menerapkan pokok-pokok pikiran tersebut di atas adalah belum adanya
peraturan perundang-undangan yang mengatur secara tegas biaya asuransi dalam APBD. Sampai
saat ini belum ada peraturan yang mengakomodir biaya asuransi dalam dana APBD. Menarik
untuk dikaji, dimana Pemerintah Propinsi Jawa Tengah, telah mengalokasikan biaya asuransi
pada Program Peningkatan Sarana dan Prasarana Pemerintah Daerah.

Bila pemerintah pusat mau lebih efisien dalam soal pengeluaran APBN seharusnya biaya
asuransi aset seperti di atas sudah harus sudah dipikirkan dari sekarang. Dimana tergambar jelas
bahwa negara ini ternyata menjadi tempat singgah favorit bagi segala macam bencana alam,
terutama gempa, Tsunami ataupun longsor maka persoalan asuransi aset pemda harus bisa dikaji
lebih dalam. Masih relevan dengan wacana efisien di atas, Bappenas pada situsnya menyatakan
bahwa mereka akan memfokuskan diri pada kualitas belanja pemerintah sejak Tahun Anggaran
2008 yang lalu. Bappenas dan Departemen Keuangan seyogyanya dapat memberikan formulasi
atau kajian terkait dengan asuransi aset ini.
Mari kita coba simulasikan, sebagai contoh diasumsikan dari 33 Propinsi, setiap propinsi
masing-masing memiliki porsi dana untuk biaya asuransi aset, setiap propinsi dikenakan premi
Rp. 100 juta/bulan, maka akan terkumpul 3.3 milyar/bulan atau setahun berkisar Rp. 39,6 milyar
yang dimiliki perusahaan asuransi yang bisa menutup kerugian pemerintah karena
bencana. Ini hanyalah sebuah contoh kecil, bisa dibayangkan berapa jumlah yang dapat
dikumpulkan dikalikan dengan jumlah pemerintah daerah tingkat dua di seluruh Indonesia.
Secara eksplisit pemerintah diuntungkan pertama karena jika ada aset yang rusak karena
bencana, maka perusahaan asuransi yang menanggung kerugian, bukan pemerintah lagi melalui
APBN/APBD nya. Kedua, hal ini juga sebagai salah satu wadah mewujudkan Public-Private
Partnership.
Pihak asuransi (baik swasta atau pemerintah) dapat menginvestasikan uangnya pada
obligasi pemerintah atau apabila sudah memungkinkan pada obligasi pemda yang lebih aman.
Hal ini lebih menghasilkan manfaat daripada apabila uang pemerintah daerah di taruh di
Sertifikat Bank Indonesia. Kendala yang mungkin timbul adalah berkaitan dengan Opportunity
Cost dari uang premi tersebut. Masyarakat apalagi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) akan
sangat sensitif dengan uang sebesar Rp.1,2 milyar/tahun yang dipakai untuk premi tersebut.
Analoginya bukankah lebih bermanfaat bila uang sebesar itu digunakan untuk pemberdayaan
masyarakat atau peningkatan sarana air bersih/sanitasi pedesaan, daripada digunakan untuk
membayar premi asuransi ke perusahaan asuransi. Lebih lanjut, asuransi adalah wilayah abu-abu
di mana beberapa daerah mungkin tidak ingin terlibat dalam kegiatan asuransi. Seharusnya
Infrastruktur terkait sistem, peraturan perundangan ,sumber daya manusia tentang asuransi aset
pemerintah harus sudah disiapkan sebelum formulasi atau kebijakan terkait asuransi aset
diterapkan. Kembali ke kualitas belanja, coba bandingkan Rp. 1,2 milyar setahun untuk premi
untuk satu propinsi dan Rp. 10 milyar setahun yang dikeluarkan oleh salah satu pemerintah
daerah untuk membiayai klub sepakbola menjalani kompetisi Super Liga Indonesia. Meskipun
sudah ada peraturan Permendagri No. 13 tahun 2005 yang menyatakan bahwa setiap belanja
harus ada kinerja atau tolok ukur prestasinya (Performance Based Budgeting) toh biaya untuk
cabang olahraga ini tidak pernah diaudit kinerjanya oleh auditor. Berapa besarnya uang APBN
yang terbuang percuma setiap tahun, akibat ketidakmampuan menentukan skala prioritas dan
kualitas belanja.

Pengawasan
Berkaitan dengan pengawasan terhadap skala prioritas dan kualitas belanja, pengeluaran terkait
biaya asuransi akan sangat terasa manfaatnya bila bencana secara nyata terjadi. Apabila bencana
tidak secara nyata terjadi, maka akan sangat sulit mengukur kinerja atas pengeluaran belanja
biaya asuransi tersebut. Penulis berpendapat selama dana APBN masih bisa bisa ditrasir, tidak
terlalu sulit untuk melakukan pengawasan atas biaya asuransi yang sudah dialokasikan. Wacana
meng-upload dana yang dimiliki oleh setiap instansi pemerintah pada awal tahun anggaran di
website masing-masing instansi pemerintah harus segera diupayakan, jadi apapun yang terkait
dengan anggaran baik tingkat pusat, pemerintah daerah atau tingkat kecamatan sekalipun
bukanlah bersifat rahasia. Anggaran harus 'accessable by public' dan hal ini sudah terlihat banyak
kemajuan dibanding dulu. Setelah tahun 2004, di mana pemerintah telah berupaya secara
sungguh-sungguh untuk membuat LKPP, pemerintah telah membuat mekanisme yang solid
tentang Mekanisme Pertanggungjawaban Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah. Bahkan
kesalahan penerimaan atau pengeluaran yang nominalnya kecil sekalipun bisa segera dilacak
karena LKPP Pemerintah saat ini sudah mengikuti kaidah-kaidah akuntansi pemerintah seperti di
negara-negara maju.

You might also like