You are on page 1of 19

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
Terminologi
Asfiksia berasal dari bahasaYunani, yaitu terdiri dari a yang berarti
tidak, dan sphinx yang artinya nadi. Jadi secara harfiah, asfiksia diartikan
sebagai tidak ada nadi atau tidak berdenyut. Pengertian ini sering salah dalam
penggunaannya. Akibatnya sering menimbulkan kebingungan untuk membedakan
dengan status anoksia lainnya.

Definisi Asfiksia
Asfiksia atau mati lemas adalah suatu keadaan berupa berkurangnya kadar
oksigen (O2) dan berlebihnya kadar karbon dioksida (CO2) secara bersamaan
dalam darah dan jaringan tubuh akibat gangguan pertukaran antara oksigen
(udara) dalam alveoli paru-paru dengan karbon dioksida dalam darah kapiler paruparu. Kekurangan oksigen disebut hipoksia dan kelebihan karbon dioksida disebut
hiperkapnia.
Dalam kenyataan sehari-hari, hipoksia ternyata merupakan gabungan dari
empat kelompok, dimana masing-masing kelompok tersebut memang mempunyai
ciri tersendiri. Walaupun ciri atau mekanisme yang terjadi pada masing-masing
kelompok akan menghasilkan akibat yang sama bagi tubuh. Kelompok tersebut
adalah:
1. Hipoksik-hipoksia
Dalam keadaan ini oksigen gagal untuk masuk ke dalam sirkulasi darah.
2. Anemik-hipoksia
Keadaan dimana darah yang tersedia tidak dapat membawa oksigen yang
cukup untuk metabolisme dalam jaringan.
3. Stagnan-hipoksia
Keadaan dimana oleh karena suatu sebab terjadi kegagalan sirkulasi.
4. Histotoksik-hipoksia

Suatu keadaan dimana oksigen yang terdapat dalam darah, oleh karena
suatu hal, oksigen tersebut tidak dapat dipergunakan oleh jaringan.

Etiologi Asfiksia
Dari segi etiologi, asfiksia dapat disebabkan oleh hal berikut:
1. Penyebab Alamiah, misalnya penyakit

yang menyumbat saluran

pernafasan seperti laryngitis difteri, tumor laring, asma bronkiale, atau


menimbulkan gangguan pergerakan paru seperti fibrosis paru, pneumonia,
COPD.
2. Trauma mekanik, yang menyebabkan asfiksia mekanik, misalnya trauma
yang mengakibatkan emboli, pneumotoraks bilateral, sumbatan atau
halangan pada saluran napas dan sebagainya. Emboli terbagi atas 2
macam, yaitu emboli lemak dan emboli udara. Emboli lemak disebabkan
oleh fraktur tulang panjang. Emboli udara disebabkan oleh terbukanya
vena jugularis akibat luka.
3. Keracunan bahan yang menimbulkan depresi pusat pernafasan, misalnya
barbiturate, narkotika.

Gejala Asfiksia
Ada 4 stadium gejala / tanda dari asfiksia, yaitu:
a. Fase dispneu / sianosis
b. Fase konvulsi
c. Fase apneu
d. Fase akhir / terminal / final
Pada fase dispneu / sianosis asfiksia berlangsung kira-kira 4 menit. Fase ini
terjadi akibat rendahnya kadar oksigen dan tingginya kadar karbon dioksida.
Tingginya kadar karbon dioksida akan merangsang medulla oblongata sehingga
terjadi perubahan pada pernapasan, nadi dan tekanan darah. Pernapasan terlihat
cepat, berat, dan sukar. Nadi teraba cepat. Tekanan darah terukur meningkat.

Fase konvulsi asfiksia terjadi kira-kira 2 menit. Awalnya berupa kejang


klonik lalu kejang tonik kemudian opistotonik. Kesadaran mulai hilang, pupil
dilatasi, denyut jantung lambat, dan tekanan darah turun.
Fase apneu asfiksia berlangsung kira-kira 1 menit. Fase ini dapat kita amati
berupa adanya depresi pusat pernapasan (napas lemah), kesadaran menurun
sampai hilang dan relaksasi spingter.
Fase akhir asfiksia ditandai oleh adanya paralisis pusat pernapasan lengkap.
Denyut jantung beberapa saat masih ada lalu napas terhenti kemudian mati.

Gambaran Postmortem pada Asfiksia


Karena asfiksia merupakan mekanisme kematian, maka secara menyeluruh
untuk semua kasus akan ditemukan tanda-tanda umum yang hampir sama. Pada
pemeriksaan luar:

Muka dan ujung-ujung ekstremitas sianotik (warna biru keunguan) yang


disebabkan tubuh mayat lebih membutuhkan HbCO2 daripada HbO2.

Tardieus spot pada konjungtiva bulbi dan palpebra. Tardieus spot


merupakan bintik-bintik perdarahan (petekie) akibat pelebaran kapiler
darah setempat.

Lebam mayat cepat timbul, luas, dan lebih gelap karena terhambatnya
pembekuan darah dan meningkatnya fragilitas/permeabilitas kapiler. Hal
ini akibat meningkatnya kadar CO2 sehingga darah dalam keadaan lebih
cair. Lebam mayat lebih gelap karena meningkatnya kadar HbCO2..

Busa halus keluar dari hidung dan mulut. Busa halus ini disebabkan
adanya fenomena kocokan pada pernapasan kuat.

Pada pemeriksaan dalam

Organ dalam tubuh lebih gelap dan lebih berat dan ejakulasi pada mayat
laki-laki akibat kongesti / bendungan alat tubuh & sianotik.

Darah termasuk dalam jantung berwarna gelap dan lebih cair.

Tardieus spot pada pielum ginjal, pleura, perikard, galea apponeurotika,


laring, kelenjar timus dan kelenjar tiroid.

Busa halus di saluran pernapasan.

Edema paru.

Kelainan lain yang berhubungan dengan kekerasan seperti fraktur laring,


fraktur tulang lidah dan resapan darah pada luka.
Gambar 1. Ujung-ujung jari yang sianotik pada kasus asfiksia

Gambar 2. Tardieus spot pada konjungtiva palpebrae

Gambar 3. Lebam mayat pada kasus asfiksia

Asfiksia Mekanik
Asfiksia mekanik adalah mati lemas yang terjadi bila udara pernafasan
terhalang memasuki saluran pernafasan oleh berbagai kekerasan (yang bersifat
mekanik), misalnya :
1. Penutupan lubang saluran pernafasan bagian atas:
Pembekapan (smothering)
Penyumbatan (gagging dan choking)
2. Penekanan dinding saluran pernafasan:
Penjeratan (strangulation)
Pencekikan (manual strangulation)
Gantung (hanging)
3. External pressure of the chest yaitu penekanan dinding dada dari luar.
4. Drawning (tenggelam) yaitu saluran napas terisi air.
5. Inhalation of suffocating gases.
Karena mekanisme kematian pada kasus tenggelam bukan murni
disebabkan oleh asfiksia, maka ada sementara ahli yang tidak lagi memasukkan
tenggelam ke dalam kelompok asfiksia mekanik, tetapi dibicarakan sendiri.
Berikut akan dibahas beberapa kasus asfiksia mekanik.
1. PENGGANTUNGAN (HANGING)
1.1 Definisi

Penggantungan (hanging) merupakan suatu strangulasi berupa tekanan


pada leher akibat adanya jeratan yang menjadi erat oleh berat badan korban
(1,3,4).
1.2 Etiologi Kematian pada Penggantungan
Ada 4 penyebab kematian pada penggantungan, yaitu (1,3):
Asfiksia
Iskemia otak akibat gangguan sirkulasi
Vagal reflex
Kerusakan medulla oblongata atau medulla spinalis
1.3 Cara Kematian pada Penggantungan
Ada 3 cara kematian pada penggantungan, yaitu (1):
Bunuh diri (paling sering) .
Pembunuhan, termasuk hukuman mati .
Kecelakaan, misalnya bermain dengan tali lasso, tali parasut pada terjun
payung, dan penggunaan tali untuk mendapat kepuasan seks.
Untuk mengetahui lebih jelas cara kematian ini, hal yang perlu diperhatikan, yaitu
(1,3):
Ada tidaknya alat penumpu korban, misalnya bangku dan sebagainya.
Arah serabut tali penggantung.
Serabut tali penggantung yang arahnya menuju korban dapat memberi
petunjuk bagi kita bahwa korban melakukan bunuh diri. Sebaliknya, bila arah
serabut tali menjauhi korban menjadi bukti korban dibunuh lebih dahulu
sebelum digantung.
Distribusi lebam mayat.
Distribusi lebam mayat harus kita perhatikan secara seksama, apakah sesuai
dengan posisi mayat ataukah tidak.
Jenis simpul tali gantungan.
Hal ini penting diperhatikan karena dapat kita jadikan sebagai patokan apakah
korban melakukan bunuh diri ataukah korban pembunuhan. Simpul tali, baik
simpul hidup maupun simpul mati, bila melewati lingkar kepala korban dapat

menunjukkan korban melakukan bunuh diri. Apabila simpul tali tidak


melewati lingkar kepala korban, berarti korban dibunuh lebih dahulu sebelum
digantung. Simpul hidup harus dilonggarkan secara maksimal untuk
membuktikannya.
1.4 Gambaran Postmortem pada Penggantungan
1.4.1 Pemeriksaan luar (1,3):
Kepala.
Muka korban penggantungan akan mengalami sianosis dan terlihat
pucat karena vena terjepit. Selain itu, pucat pada muka korban juga
disebabkan terjepitnya arteri. Mata korban dapat melotot akibat adanya
bendungan pada kepala korban. Hal ini disebabkan terhambatnya vena-vena
kepala tetapi arteri kepala tidak terhambat.
Bintik-bintik perdarahan pada konjungtiva korban terjadi akibat
pecahnya vena dan meningkatnya permeabilitas pembuluh darah karena
asfiksia.
Lidah korban penggantungan bisa terjulur, bisa juga tidak terjulur.
Lidah terjulur apabila letak jeratan gantungan tepat berada pada kartilago
tiroidea. Lidah tidak terjulur apabila letaknya berada diatas kartilago tiroidea.
Leher.
Alur jeratan pada leher korban penggantungan berbentuk lingkaran (V
shape). Alur jerat berupa luka lecet atau luka memar dengan ciri-ciri :
- Alur jeratan pucat.
- Tepi alur jerat coklat kemerahan.
- Kulit sekitar alur jerat terdapat bendungan.
- Alur jeratan yang simetris / tipikal pada leher korban penggantungan
(hanging) menunjukkan letak simpul jeratan berada dibelakang leher
korban. Alur jeratan yang asimetris menunjukkan letak simpul disamping
leher.
Anggota gerak (lengan dan tungkai).

Anggota gerak korban penggantungan dapat kita temukan adanya


lebam mayat pada ujung bawah lengan dan tungkai. Penting juga kita ketahui
ada tidaknya luka lecet pada anggota gerak tersebut.
Dubur dan Alat kelamin.
Dubur korban penggantungan dapat mengeluarkan feses. Alat kelamin
korban dapat mengeluarkan mani, urin, dan darah (sisa haid). Pengeluaran
urin disebabkan kontraksi otot polos pada stadium konvulsi atau puncak
asfiksia. Lebam mayat dapat ditemukan pada genitalia eksterna korban.
1.4.2 Pemeriksaan Dalam (1,3):
Kepala.
Kepala korban penggantungan dapat kita temukan tanda-tanda
bendungan pembuluh darah otak, kerusakan medulla spinalis dan medulla
oblongata. Kedua kerusakan tersebut biasanya terjadi pada hukuman gantung
(judicial hanging).
Leher.
Leher korban penggantungan dapat kita temukan adanya perdarahan
dalam otot atau jaringan, fraktur (os hyoid, kartilago tiroidea, kartilago
krikoidea, dan trakea), dan robekan kecil pada intima pembuluh darah leher
(vena jugularis).
Dada dan perut.
Pada dada dan perut korban dapat ditemukan adanya perdarahan
(pleura, perikard, peritoneum, dan lain-lain) dan bendungan/kongesti organ.
Darah.
Darah dalam jantung korban penggantungan (hanging) warnanya lebih
gelap dan konsistensinya lebih cair.
Tabel 1. Perbedaan antara penggantungan antemortem dan postmortem
No
1

Penggantungan antemortem

Penggantungan postmortem

Tanda-tanda penggantungan ante- Tanda-tanda post-mortem


mortem bervariasi. Tergantung

menunjukkan kematian yang bukan

dari cara kematian korban

disebabkan penggantungan

No
2

Penggantungan antemortem

Penggantungan postmortem

Tanda jejas jeratan miring,

Tanda jejas jeratan biasanya berbentuk

berupa lingkaran terputus (non-

lingkaran utuh (continuous), agak

continuous) dan letaknya pada

sirkuler dan letaknya pada bagian leher

leher bagian atas

tidak begitu tinggi

Simpul tali biasanya tunggal,

Simpul tali biasanya lebih dari satu,

terdapat pada sisi leher

diikatkan dengan kuat dan diletakkan


pada bagian depan leher

Ekimosis tampak jelas pada salah

Ekimosis pada salah satu sisi jejas

satu sisi dari jejas penjeratan.

penjeratan tidak ada atau tidak jelas.

Lebam mayat tampak di atas jejas Lebam mayat terdapat pada bagian
jerat dan pada tungkai bawah

tubuh yang menggantung sesuai


dengan posisi mayat setelah meninggal

Pada kulit di tempat jejas

Tanda parchmentisasi tidak ada atau

penjeratan teraba seperti

tidak begitu jelas

perabaan kertas perkamen, yaitu


tanda parchmentisasi
6

Sianosis pada wajah, bibir,

Sianosis pada bagian wajah, bibir,

telinga, dan lain-lain sangat jelas

telinga dan lain-lain tergantung dari

terlihat terutama jika kematian

penyebab kematian

karena asfiksia
7

Wajah membengkak dan mata

Tanda-tanda pada wajah dan mata

mengalami kongesti dan agak

tidak terdapat, kecuali jika penyebab

menonjol, disertai dengan

kematian adalah pencekikan

gambaran pembuluh dara vena

(strangulasi) atau sufokasi

yang jelas pada bagian kening


dan dahi
8

Lidah bisa terjulur atau tidak

Lidah tidak terjulur kecuali pada kasus

sama sekali

kematian akibat pencekikan

Penis. Ereksi penis disertai

Penis. Ereksi penis dan cairan sperma

No

Penggantungan antemortem

Penggantungan postmortem

dengan keluarnya cairan sperma

tidak ada. Pengeluaran feses juga tidak

sering terjadi pada korban pria.

ada

Demikian juga sering ditemukan


keluarnya feses
10

Air liur. Ditemukan menetes dari

Air liur tidak ditemukan yang menetes

sudut mulut, dengan arah yang

pad kasus selain kasus penggantungan.

vertikal menuju dada. Hal ini


merupakan pertanda pasti
penggantungan ante-mortem
Tabel 2. Perbedaan penggantungan pada bunuh diri dan pada pembunuhan
No

Penggantungan pada bunuh

Penggantungan pada pembunuhan

diri
1

Usia. Gantung diri lebih sering

Tidak mengenal batas usia, karena

terjadi pada remaja dan orang

tindakan pembunuhan dilakukan oleh

dewasa. Anak-anak di bawah usia musuh atau lawan dari korban dan
10 tahun atau orang dewasa di

tidak bergantung pada usia

atas usia 50 tahun jarang


melakukan gantung diri
2

Tanda jejas jeratan, bentuknya

Tanda jejas jeratan, berupa lingkaran

miring, berupa lingkaran terputus

tidak terputus, mendatar, dan letaknya

(non-continuous) dan terletak

di bagian tengah leher, karena usaha

pada bagian atas leher

pelaku pembunuhan untuk membuat


simpul tali

Simpul tali, biasanya hanya satu

Simpul tali biasanya lebih dari satu

simpul yang letaknya pada bagian pada bagian depan leher dan simpul
samping leher
4

tali tersebut terikat kuat

Riwayat korban. Biasanya korban Sebelumnya korban tidak mempunyai


mempunyai riwayat untuk
mencoba bunuh diri dengan cara

riwayat untuk bunuh diri

No

Penggantungan pada bunuh

Penggantungan pada pembunuhan

diri
lain
5

Cedera. Luka-luka pada tubuh

Cedera berupa luka-luka pada tubuh

korban yang bisa menyebabkan

korban biasanya mengarah kepada

kematian mendadak tidak

pembunuhan

ditemukan pada kasus bunuh diri


6

Racun. Ditemukannya racun

Terdapatnya racun berupa asam opium

dalam lambung korban, misalnya

hidrosianat atau kalium sianida tidak

arsen, sublimat korosif dan lain-

sesuai pada kasus pembunuhan, karena

lain tidak bertentangan dengan

untuk hal ini perlu waktu dan kemauan

kasus gantung diri. Rasa nyeri

dari korban itu sendiri. Dengan

yang disebabkan racun tersebut

demikian maka kasus penggantungan

mungkin mendorong korban

tersebut adalah karena bunuh diri

untuk melakukan gantung diri


7

Tangan tidak dalam keadaan

Tangan yang dalam keadaan terikat

terikat, karena sulit untuk

mengarahkan dugaan pada kasus

gantung diri dalam keadaan

pembunuhan

tangan terikat
8

Kemudahan. Pada kasus

Pada kasus pembunuhan, mayat

bunuhdiri, mayat biasanya

ditemukan tergantung pada tempat

ditemukan tergantung pada

yang sulit dicapai oleh korban dan alat

tempat yang mudah dicapai oleh

yang digunakan untuk mencapai

korban atau di sekitarnya

tempat tersebut tidak ditemukan

ditemukan alat yang digunakan


untuk mencapai tempat tersebut
9

Tempat kejadian. Jika kejadian

Tempat kejadian. Bila sebaliknya pada

berlangsung di dalam kamar,

ruangan ditemukan terkunci dari luar,

dimana pintu, jendela ditemukan

maka penggantungan adalah kasus

dalam keadaan tertutup dan

pembunuhan

No

Penggantungan pada bunuh

Penggantungan pada pembunuhan

diri
terkunci dari dalam, maka
kasusnya pasti merupakan bunuh
diri
10

Tanda-tanda perlawanan, tidak

Tanda-tanda perlawanan hampir selalu

ditemukan pada kasus gantung

ada kecuali jika korban sedang tidur,

diri

tidak sadar atau masih anak-anak.

2. PENJERATAN (STRANGULATION BY LIGATURE)


2.1 Definisi
Jerat (strangulation by ligature) adalah suatu strangulasi berupa tekanan pada
leher korban akibat suatu jeratan dan menjadi erat karena kekuatan lain bukan
karena berat badan korban (1,4).
2.2 Etiologi Kematian pada Penjeratan
Ada 3 penyebab kematian pada jerat (strangulation by ligature), yaitu (1,4,6):
Asfiksia
Iskemia
Vagal refleks
2.3 Cara Kematian pada Penjeratan:
Ada 3 cara kematian pada kasus jeratan (strangulation by ligature), yaitu (1,4,6):
Pembunuhan (paling sering).
Pembunuhan pada kasus jeratan dapat kita jumpai pada kejadian
infanticide dengan menggunakan tali pusat, psikopat yang saling menjerat,
dan hukuman mati (zaman dahulu).
Kecelakaan.
Kecelakaan pada kasus jeratan dapat kita temukan pada bayi yang
terjerat oleh tali pakaian, orang yang bersenda gurau dan pemabuk. Vagal
reflex menjadi penyebab kematian pada orang yang bersenda gurau.
Bunuh diri.

Pada kasus bunuh diri dengan jeratan, dilakukan dengan melilitkan tali
secara berulang dimana satu ujung difiksasi dan ujung lainnya ditarik. Antara
jeratan dan leher dimasukkan tongkat lalu mereka memutar tongkat tersebut.
Hal-hal penting yang perlu kita perhatikan pada kasus jeratan, antara lain (1,6):
Arah jerat mendatar / horisontal.
Lokasi jeratan lebih rendah daripada kasus penggantungan.
Jenis simpul penjerat.
Bahan penjerat misalnya tali, kaus kaki, dasi, serbet, serbet, dan lain-lain.
Pada kasus pembunuhan biasanya kita tidak menemukan alat yang digunakan
untuk menjerat.
2.4 Gambaran Postmortem
Pemeriksaan otopsi pada kasus jeratan (strangulation by ligature) mirip kasus
penggantungan (hanging) kecuali pada (1,4):
Distribusi lebam mayat yang berbeda.
Alur jeratan mendatar / horisontal.
Lokasi jeratan lebih rendah.
Gambar 4. Jejas jerat pada leher

Gambar 5. Berbagai mekanisme penjeratan

3. PENCEKIKAN (MANUAL STRANGULASI)


3.1 Definisi
Pencekikan (manual strangulasi) adalah suatu strangulasi berupa tekanan pada
leher korban yang dilakukan dengan menggunakan tangan atau lengan bawah.
Pencekikan dapat dilakukan dengan 3 cara, yaitu:
Menggunakan 1 tangan dan pelaku berdiri di depan korban.
Menggunakan 2 tangan dan pelaku berdiri di depan atau di belakang korban.
Menggunakan 1 lengan dan pelaku berdiri di depan atau di belakang korban.
Apabila pelaku berdiri di belakang korban dan menarik korban ke arah pelaku
maka ini disebut mugging (1,4).

3.2 Etiologi Kematian pada Pencekikan


Ada 3 penyebab kematian pada pencekikan, yaitu (1):
Asfiksia
Iskemia
Vagal reflex
3.3 Cara Kematian pada Pencekikan
Ada 2 cara kematian pada kasus pencekikan, yaitu (1):
Pembunuhan (hampir selalu).
Kecelakaan, biasanya mati karena vagal reflex.
3.4 Gambaran Postmortem Pencekikan
3.4.1 Pemeriksaan Luar:
Yang perlu diperhatikan pada pemeriksaan luar kasus pencekikan, antara lain
(1,4):
Tanda asfiksia.
Tanda-tanda asfiksia pada pemeriksaan luar otopsi yang dapat kita
temukan antara lain adanya sianotik, petekie, atau kongesti daerah kepala,
leher atau otak. Lebam mayat akan terlihat gelap.
Tanda kekerasan pada leher.
Tanda kekerasan pada leher yang penting kita cari, yaitu bekas kuku
dan bantalan jari. Bekas kuku dapat kita kenali dari adanya crescent mark,
yaitu luka lecet berbentuk semilunar/bulan sabit. Terkadang kita dapat
menemukan sidik jari pelaku. Perhatikan pula tangan yang digunakan pelaku,
apakah tangan kanan (right handed) ataukah tangan kiri (left handed). Arah
pencekikan dan jumlah bekas kuku juga tak luput dari perhatian kita.
Tanda kekerasan pada tempat lain.
Tanda kekerasan pada tempat lain dapat kita temukan di bibir, lidah,
hidung, dan lain-lain. Tanda ini dapat menjadi petunjuk bagi kita bahwa
korban melakukan perlawanan.
3.4.2 Pemeriksaan Dalam:

Hal yang penting pada pemeriksaan dalam bagian leher kasus pencekikan, yaitu
(1,4):
Perdarahan atau resapan darah.
Perdarahan atau resapan darah dapat kita cari pada otot, kelenjar tiroid,
kelenjar ludah, dan mukosa & submukosa pharing atau laring.
Fraktur.
Fraktur yang paling sering kita temukan pada os hyoid. Fraktur lain pada
kartilago tiroidea, kartilago krikoidea, dan trakea.
Memar atau robekan membran hipotiroidea.
Luksasi artikulasio krikotiroidea dan robekan ligamentum pada mugging.
4. PEMBEKAPAN (SMOTHERING)
4.1 Definisi
Pembekapan (smothering) adalah suatu suffocation dimana lubang luar jalan
napas yaitu hidung dan mulut tertutup secara mekanis oleh benda padat atau
partikel-partikel kecil (1).
4.2 Etiologi Kematian pada Pembekapan:
Ada 3 penyebab kematian pada pembekapan (smothering), yaitu (1):
Asfiksia
Edema paru
Hiperaerasi
Edema paru dan hiperaerasi terjadi pada kematian yang lambat dari pembekapan.
4.3 Cara Kematian pada Pembekapan:
Cara kematian pada kasus pembekapan, yaitu (1,4):
Kecelakaan (paling sering), misalnya tertimbun tanah longsor atau salju,
alkoholisme, bayi tertutup selimut atau mammae ibu
Pembunuhan, misalnya hidung dan mulut diplester, bantal ditekan ke wajah,
serbet atau dasi dimasukkan ke dalam mulut.
Bunuh diri
4.4 Gambaran Postmortem Pembekapan
Hal-hal penting pada pemeriksaan otopsi kasus pembekapan, yaitu (1,4):

Mencari penyebab kematian.


Menemukan tanda-tanda asfiksia.
Menemukan edema paru, hiperaerasi dan sianosis pada kematian yang lambat.
5. TERSEDAK (CHOCKING)
5.1 Definisi
Tersedak (chocking) adalah suatu suffocation dimana ada benda padat yang masuk
dan menyumbat lumen jalan udara (1).
5.2 Cara Kematian Pada Kasus Tersedak
Ada 2 cara kematian pada kasus tersedak, yaitu (1,4):
Kecelakaan (paling sering), seperti gangguan refleks batuk pada alkoholisme,
pada bayi atau anak kecil yang gemar memasukkan benda asing ke dalam
mulutnya, tonsilektomi, aspirasi, dan kain kasa yang tertinggal pada anestesi
eter.
Pembunuhan (kasus infanticide)
5.3 Gambaran Postmortem
Hal-hal penting pada pemeriksaan otopsi kasus tersedak (chocking), yaitu (1,4):
Mencari bahan penyebab dalam saluran pernapasan. Juga kadang-kadang ada
tanda kekerasan di mulut korban.
Menemukan tanda asfiksia.
Mencari tanda-tanda edema paru, hiperaerasi dan atelektasis pada kematian
lambat.
Tersedak dapat terjadi sebagai komplikasi dari bronkopneumonia dan abses.
6. ASFIKSIA TRAUMATIK (EXTERNAL PRESSURE OF THE CHEST)
6.1 Definisi
Asfiksia traumatik (external pressure of the chest) adalah terhalangnya udara
untuk masuk dan keluar dari paru-paru akibat terhentinya gerak napas yang
disebabkan adanya suatu tekanan dari luar pada dada korban (1,4).
6.2 Cara Kematian Pada Kasus Asfiksia Traumatik
Cara kematian pada kasus asfiksia traumatik, antara lain (1,4):

Kecelakaan (paling sering), misalnya terjepit antara lantai dengan elevator,


antara 2 kendaraan, atau antara dinding dengan kendaraan yang mundur,
tertimbun runtuhan benda atau bangunan, pasir, atau batubara atau berdesakan
di pintu sempit akibat panik.
Pembunuhan (misalnya burking)
6.3 Gambaran Postmortem
Ada 2 hal yang penting kita lakukan pada pemeriksaan otopsi korban kasus
asfiksia traumatik (external pressure of the chest), yaitu (1,4):
Mencari tanda kekerasan di dada.
Menemukan tanda asfiksia.
7. INHALATION OF SUFFOCATING GASSES
7.1 Definisi
Inhalation of suffocating gasses adalah suatu keadaan dimana korban menghisap
gas tertentu dalam jumlah berlebihan sehingga kebutuhan O2 tidak terpenuhi (1).
7.2 Cara kematian pada kasus Inhalation of suffocating gasses:
Ada 3 cara kematian pada korban kasus inhalation of suffocating gasses, yaitu
menghisap gas (1):
CO
CO2
H2S
Gas CO banyak pada kebakaran hebat. Gas CO2 banyak pada sumur tua dan
gudang bawah tanah. Gas H2S pada tempat penyamakan kulit.
BAB III
PENUTUP
Asfiksia atau mati lemas adalah suatu keadaan berupa berkurangnya kadar
oksigen dan berlebihnya kadar karbon dioksida secara bersamaan dalam darah dan
jaringan tubuh akibat gangguan pertukaran antara oksigen dalam alveoli paru-paru
dengan karbon dioksida dalam darah kapiler paru-paru. Asfiksia mekanik adalah
mati lemas yang terjadi bila udara pernafasan terhalang memasuki saluran
pernafasan oleh berbagai kekerasan (yang bersifat mekanik), misalnya pada kasus

pembekapan (smothering), penyumbatan (gagging dan chocking), penjeratan


(strangulation), pencekikan (manual strangulation), penggantungan (hanging),
external pressure of the chest yaitu penekanan dinding dada dari luar, dan
inhalation of suffocating gasses.
DAFTAR PUSTAKA
1. Muhammad Al Fatih II. Asfiksia dalam Forensik Klinik. 2007. Available at
http://www.klinikindonesia.com/forensik.php. Diakses tanggal 6 Maret 2008
2. Abdul Munin Idries. Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik Edisi Pertama.
Binarupa Aksara. 1997. Hal 170-175
3. Anonim. Tanatologi Dan Identifikasi Kematian Mendadak (Khususnya Pada
Kasus

Penggantungan).

Available

at

http://fkuii.org/tiki-

download_wiki_attachment.php?attId=14. Diakses tanggal 6 Maret 2008


4. Budiyanto A. Kematian Akibat Asfiksia Mekanik dalam Ilmu Kedokteran
Forensik Edisi I. Jakarta. Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 1997. Hal 55 70.
5. Surya Putra. Penentuan Standar Asfiksia Sebagai Penyebab Kematian di
Instalasi Kedokteran Forensik RSUD DR.Sardjito. Badan Litbang Kesehatan,
Departemen Kesehatan RI. Available at http://digilib.litbang.depkes.go.id.
Diakses tanggal 6 Maret 2008
6. Amy R. Suicidal Ligature Strangulation: Case Report and Review of the
Literature. 2000. Available at http://www.forensikkasus.fkui.com. Diakses
tanggal 6 Maret 2008

You might also like