You are on page 1of 8

1.

Defenisi

Trauma kepala (Trauma Capitis) adalah cedera daerah kepala yang terjadi akibat
dipukul atau terbentur benda tumpul. Untuk mengatasi trauma kepala, maka tengkorak
kepala sangat berperan penting sebagai pelindung jaringan otak. Cedera pada otak bisa
berasal dari trauma langsung atau tidak langsung pada kepala. Trauma tidak langsung
disebabkan karena tingginya tahanan atau kekuatan yang merobek terkena pada kepala
akibat menarik leher. Trauma langsung bila kepala langsung terluka. Semua itu berakibat
terjadinya akselerasi-deselerasi dan pembentukan rongga. Trauma langsung juga
menyebabkan rotasi tengkorak dan isinya. Kekuatan itu bisa terjadi seketika atau
rusaknya otak oleh kompresi, goresan atau tekanan (At a glance, 2006 ).
Trauma kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala, tulang
tengkorak atau otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun tidak
langsung pada kepala. (Suriadi & Rita Yuliani, 2001).

Cedera kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala,
tulang tengkorak atau otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung
maupun tidak langsung pada kepala. (Suriadi, 2003).
2.

Anatomi Fisiologi

a.

Anatomi

Tengkorak dibentuk oleh beberapa tulang. Masing-masing tulang kecuali


mandibula disatukan pada sutura. Sutura dibentuk oleh selapis tipis
jaringan fibrosa yang mengunci pinggiran tulang yang bergerigi. Sutura
mengalami osifikasi setelah umur 35 tahun. Pada atap tengkorak,
permukaan dalam dan luar dibentuk oleh tulang padat dengan lapisan
spongiosa yang disebut diploie terletak diantaranya. Terdapat fariasi yang
cukup besar pada ketebalan tulang tengkorak antar individu. Tengkorak
paling tebal yang dilindungi oleh otot (Westmoreland,1994).
Jenis-jenis tengkorak :
1)

Os frontale

2)

Os parientale dextra dan sinistra

3)

Os occipital

4)

Os temporal dextra dan sinistra

5)

Os ethmoidale

6)

Os sphenoidale

7)

Maxilla

8)

Mandibula

9)

Os zygomatikum dextra dan sinistra

10)

Os platinum dextra dan sinistra

11)

Os nasale dextra dan sinistra

12)

Os lacrimale dextra dan sinistra

13)

Vomer

14)

Concha dextra dan sinistra

b.

Fisiologi

Fungsi tengkorak (Westmoreland,1994) adalah:


1)

Melindungi otak dan indera penglihatan dan pendengaran

2)

Sebagai tempat melekatnya otot yang bekerja pada kepala

3)

Sebagai tempat penyangga gigi

3.

Etiologi

Cedera pada trauma dapat terjadi akibat tenaga dari


Musttaqin, 2008) berupa:

luar (Arif

a.

Benturan/jatuh karena kecelakaan

b.

Kompresi/penetrasi baik oleh benda tajam, benda tumpul, peluru dan ledakan

panas.
Akibat cedera ini berupa memar, luka jaringan lunak, cedera muskuloskeletal dan
kerusakan organ.
4.

Patofisiologi

Mekanisme cedera memegang peranan penting dalam menentukan berat-ringannya


konsekuensi patofisiologi dari trauma kepala. Cedera percepatan (aselerasi) terjadi jika
benda yang sedang bergerak membentur kepala yang diam, seperti trauma akibat benda
tumpul atau karena terkena lemparan benda tumpul. Cedera perlambatan (deselerasi)
adalah bila kepala membentur objek yang secara relative tidak bergerak, seperti badan
mobil atau tanah. Kedua kekuatan ini mungkin terjadi secara bersamaan bila terdapat
gerakan kepala tiba-tiba tanpa kontak langsung, seperti yang terjadi bila posisi badan
diubah secara kasar dan cepat. Kekuatan ini bisa dikombinasi dengan pengubahan posisi
rotasi pada kepala, yang menyebabkan trauma regangan dan robekan pada substansi
alba dan batang otak (Prince & Wilson, 1995).
Cedera primer, yang terjadi pada waktu benturan mungkin karena memar pada
permukaan otak, leserasi substansia alba, cedera robekan atau hemoragi. Sebagai
akibat, cedera sekunder dapat terjadi sebagai kemampuan auto regulasi serebral
(peningkatan volume darah) pada area peningkatan permeabilitas kapiler serta
vasodilatasi arterial, semua menimbulkan peningkatan intracranial (TIK). Beberapa
kondisi yang dapat menyebabkan cedera otak sekunder meliputi hipoksia, hiperkarbia
dan hipotensi (Prince & Wilson, 1995).
5.

Klasifikasi cedera

Klasifikasi Cedera Kepala (Arif Muttaqin, 2008)


a.

Cedera kepala primer

Cedera kepala primer mencakup : fraktur tulang, cedera fokal dan cedera otak difusa,
yang masing-masing mempunyaimekanisme etilogis dan patofisiologi yang unik.
1)

Fraktur tulang kepala dapat terjadi dengan atau tanpa kerusakan otak, namun

biasanya ini bukan merupakan penyebab utama timbulnya kacacatan neurologis.


2)

Cedera fokal merupakan akibat kerusakan setempat yang biasanya dijumpai pada

kira-kira separuh dari kasus cedera kepala berat. Kelainan ini mencakup kontusi kortikal,
hematom subdural, epidural dan intraserebral yang secara makroskopis tampak dengan
mata telanjang sebagai suatu kerusakan yang berbatas tegas.
3)

Cedera otak dufusa pada dasarnya berbeda dengan cedera vokal, dimana

keadaan ini berkaitan dengan disfungsi otak yang luas serta biasanya tidak tampak
secara mikroskopis. Mengingat bahwa kerusakan yang terjadi kebanyakan melibatkan
akson-akson, maka cedera ini juga dikenal dengan cedera aksional difusa.
b.

Kerusakan otak sekunder

Cedera kepala berat seringkali menampilkan gejala abnormalitas/gangguan sistemik


akibat hipoksia dan hipotensi, dimana keadaan-keadaan ini merupakan penyebab yang
sering dari kerusakan otak sekunder. Hipoksia dan hipotensi semata akan menyebabkan
perubahan-perubahan minimal, yang kemudian bersamaan dengan efek cedera mekanis
memperberat gangguan-gangguan metabolisme serebral.
Hipoksia dapat merupakan akibat dari kejadian aspirasi, obstyruksi jalan nafas atau
cedera toraks yang terjadi bersamaan dengan trauma kepala, namun sering juga terjadi
hipoksia pasca cedera kepala dengan ventilasi normal dan tanpa adanya keadaankeadaan tersebut di atas.
Hipotensi pada penderita cedera kepala biasanya hanya sementara yaitu sesaat setelah
konkusi atau merupakan tahap akhir dari kegagalan meduler yang berkaitan dengan
herniasi cerebral.
c.

Edema cerebral

Tipe yang terpenting pada kejadian cedera kepala adalah edema vasogenik dan edema
iskemik. Edema vasogenik disebabkan oleh adanya peningkatan permeabilitas kapiler
akibat sawar darah otak sehingga terjadi penimbunan cairan plasma ekstraseluler
terutama di massa putih serebral. Edema iskemik merupakan penimbunan cairan
intraseluler sehingga sel tersebut tidak dapat mempertahankan keseimbangan
cairannya.
Edema cerebral yang mencapai maksimal pada hari ke tiga pasca cedera, dapat
menimbulkan suatu efek massa yang bermakna. Di samping itu edema ini sendiri dapat
juga terjadi, tanpa adanya tampilan suatu konstusi atau pendarahan intraserebral.
Keadaan ini dapat terjadi akibat gangguan sekunder dari hipotensi sistemik dan hipoksia,
cedera arterial atau hipertensi intracranial. Gangguan aliran darah cerebral trauma yang
mengakibatkan anoksia jaringan juga tampil sebagai daerah swelling hipodens difus.
d. Pergeseran otak(Brain Shift)-herniasi batang otak
Adanya satu massa yang berkembang membesar (hemotom, abses atau pembengkakan
otak) di semua lokasi dalam kavitas intracranial (epidural/ubdural/intracerebral
supra/infratentorial) biasanya akan menyebab pergeseran dan distori otak, bersamaan
dengan peningkatan intracranial akan mengarah terjadinya herniasi otak.
6.

Jenis-jenis trauma capitis

Menurut Bornner dan suddarth, 2002 jenis-jenis trauma capitis yaitu :


a.

Fraktur

Fraktur kalvaria atau atap tengkorak apabila tidak terbuka tidak ada hubungan dengan
dunia luar tidak memerlukan perhatian segera yang lebih penting adalah intracranialnya.
Fraktur basis cranium dapat berbahaya terutama karena perdarahan yang ditimbulkan
sehingga menimbulkan ancaman pada jalan nafas.
b.

Comosio cerebri (gegar otak)

Kehilangan kesadaran sebentar dibawah 15 menit dan tidak berbahaya,


penderita tetap dibawa ke rumah sakit karena kemungkinan cedera yang lain.
c.

Kontusio cerebri

Kehilangan kesadaran lebih lama, dalam kepustakaan saat ini dikenal sebagai DAI (Difus
Absonal Injury) yang mempunyai prognosis yang lebih buruk.
d.

Perdarahan intracranial

Perdarahan intracranial dapat berupa perdarahan epidural, perdarahan subdural atau


perdarahan intracranial. Perdarahan epidural dapat berbahaya karena perdarahan
berlanjut atau menyebabkan peninggian tekanan intracranial yang semakin berat.
7.

Klasifikasi klinis cedera kepala

Cedera kepala pada praktek klinis sehari-hari dikelompokkan atas empat gradasi
sehubungan dengan kepentingan seleksi perawatan penderita, pemantauan diagnosticklinik penanganan dan prognosisnya (Brunner & Suddarth, 2001) yaitu:
a.

Tingkat I

: Bila dijumpai adanya riwayat kehilangan kesadaran/pingsan yang

sesaat setelah mengalami trauma, kemudian sadar kembali. Pada waktu diperiksa dalam
keadaan sadar penuh, orientasi baik dan tidak ada defisit neurologist.
b.

Tingkat II

Kesadaran menurun namun masih dapat mengikuti perintah-

perintah yang sederhana, dan dijumpai adanya defisit neurologis vokal.


c.

Tingkat III

Kesadaran yang sangat menurun dan tidak bisa mengikuti

perintah (walaupun sederhana) sama sekali. Penderita masih bisa bersuara namun
susunan kata-kata dan orientasinya kacau, gaduh serta gelisah. Respon motorik
bervariasi dari keadaan yang masih mampu melokalisir rasa sakit sampai tidak ada
respon sama sekali. Postur tubuh dapat menampilkan posisi dekortikasi-deserebrasi.
d. Tingkat IV
8.

Tidak ada fungsi neurologis sama sekali.

Kategori Penentuan Keparahan Cedera Berdasarkan Nilai Glasgow

Comma Scale (GCS) Menurut At a glance, 2006.


Penentua
n
Deskripsi

Frekuensi

Keparaha
n

Minor

GCS 13 15
Dapat terjadi kehilangan

55 %

Sedang

kesadaran atau amnesia

24 %

tetapi kurang dari 30 menit


Berat

21 %
-

Tidak ada fraktur

tengkorak, tidak ada konstusio


cerebral, hematoma, abrasi,
pusing dan nyeri kepala
-

GCS 9 12
Kehilangan kesadaran atau

amnesia lebih dari 30 menit


tapi kurang dari 24 jam
-

Dapat mengalami faktur

tengkorak
-

Muntah

GCS 3 8

Kehilangan kesadaran atau

amnesia lebih dari 24 jam


-

Juga meliputi konstusio

cerebral, laserasi atau


hematona intracranial
-

Tanda neurologis vocal

Teraba fraktur

9. Evaluasi diagnostic dan laboratorium


Evaluasi diagnostic dan laboratorium (Marilynn, 1999).
-

Scan CT tanpa/dengan kontras : Mengidentifikasi adanya SOL, hemoragic,

menentukan ukuran ventrikuler, pergeseran jaringan otak. Catatan pemeriksaan


berulang mungkin diperlukan karena iskemia/infark mungkin tidak terdeteksi dalam 24
72 jam pasca trauma.
-

MRI : Sama dengan scan CT tanpa/dengan menggunakan kontras.

Angiografi cerebral : Menunjukan kelainan sirkulasi cerebral seperti pergeseran

jaringan otak akibat edema, perdarahan serta trauma.

EEG : Untuk memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya gelombang

patologis.
-

Sinar X : Mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (fraktur), pergeseran

struktur dari garis tengah (karena perdarahan, edema), adanya fragmen tulang.
-

BAER (Brain Auditori Evoked Respons). : Menentukan fungsi korteks dan batang

otak.
-

PET (Positron Emission Tomografi) : Menunjukan perubahan aktivitas metabolisme

dalam otak.
-

Pungsi Lumbal, CSS : Dapat menduga kemungkinan adanya perdarahan

subarachnoid.
-

GDA (Gas Darah Arteri) : Mengetahuai adanya masalah ventilasi atau oksigenasi

yang dapat meningkatkan TIK.


-

Kimia/Eolektrolit Darah : Mengetahui ketidakseimbangan yang berperan dalam

peningkatan TIK/perubahan mental.


-

Pemeriksaan Toksikologi : Mendeteksi obat yang mungkin bertanggung jawab

dalam penurunan kesadaran.


-

Kadar Antikonvulsan Darah : Dapat dilakukan untuk mengetahui tingkat terapi

yang cukup efektif untuk mengatasi kejang.


10. Gambaran / Gejala Klinis
Menurut Agus Purwadianto & Budi Sampurna, 2000 gambaran klinis cedera yaitu :
a.

Komosio Cerebri

1)

Penderita pingsan sebentar (kurang dari 10 menit)

2)

Nyeri kepala

3)

Pusing

4)

Mual, muntah

5)

Setelah sadar, penderita menunjukkan gejala-gejala retrograt amnesia (lupa akan

kejadian-kejadian pada waktu beberapa saat sebelum terjadinya kecelakaan)


b.
1)

Kontusio Cerebri
Penderita pingsan selama berjam-jam, bahkan berhari-hari sampai berminggu-

minggu
2)

Retrograt amnesia lebih berat dan jelas

3)

Ditemukan gejala neurologik yaitu reflek babinski positif serta kelumpuhan nyata

4)

Pada keadaan berat didapatkan denyut nadi yang cepat sekali, suhu badan

meningkat, pernapasan chyne strokes dan kesadaran menurun sampai koma.


c.
1)

Perdarahan Epidural
Penderita hanya pingsan sesaat, kemudian sadar kembali akan tetapi beberapa

waktu (biasanya 3 x 24 jam) timbul gejala-gejala progresif seperti nyeri kepala hebat,
kesadaran menurun dapat sampai koma
2)

Pupil anisokor

3)

Refleks patologik babinski ditemukan unilateral

4)

Ditemukan tanda-tanda gangguan traktus piramidalis seperti hemipareses, refleks

tendon yang meninggi dibandingkan dengan sisi kontralateral


d. Perdarahan Subdural

1)

Nyeri kepala yang makin lama makin berat biasanya di daerah dehidrasi, edema

papila nervus optikus (papil edema)


2)

Derajat gangguan kesadaran berbeda-beda tergantung kepada kerusakan yang

terdapat di otak.

11. Komplikasi
Komplikasi yang terjadi pada cedera kepala menurut Arif Muttaqin, 2008.
a.

Hemorhagic

b.

Infeksi

c.

Edema

d.

Herniasi

12. Faktor-faktor yang mempengaruhi trauma kepala


Faktor-faktor yang mempengarui trauma kepala (Brunner & Suddarth, 2002)
a.

Kardiovaskuler

Akibat adanya perdarahan otak akan mempengaruhi tekanan vaskuler dimana


penurunan tekanan vaskuler menyebabkan pembuluh darah anterior bekontraksi
pengaruh persarafan simpatik dan parasimpatik pada pembuluh darah arteri dan anterior
otak yang tidak terlalu besar.
b.

Respiratori
Adanya edema paru pada trauma kepala dan fase kontraksi paru-paru atau

hipertensi paru menyebabkan hipernoe dan berkontraksi. Abnea, edema otak terjadi
robekan pada pembuluh darah kapiler atau cairan traumatic yang mengandung protein
aksudal yang berisi albumen. Edema otak terjadi karena penekanan pembuluh darah dan
jaringan di sekelilingnya.
c.

Metabolisme

Pada trauma kepala terjadi perubahan metabolisme seperti trauma tubuh lainnya yaitu
kecenderungan retensi natrium, air dan hilangnya sejumlah netrogen.
d. Gastrointestinal
Trauma kepala juga mempengaruhi sistem gastrointestinal setelah trauma kepala tiga
hari terdapat respon tumbuh dengan merangsang aktivitas hipotamalus akan
merangsang lambung menjadi hiperaditas.
e.

Psikologis

Selain dampak masalah yang mempengaruhi fisi klinis, trauma kepala lain adalah suatu
pengalaman yang menakutkan.
13. Penanganan Cedera Kepala
Penanganan kasus-kasus cedera kepala di unit gawat darurat/

emergensi

didasarkan atas patokan pemantauan dan penanganan terhadap


6 B(Arif Muttaqin 2008), yakni:
1) Breathing
Perlu diperhatikan mengenai frekuensi dan jenis pernafasan penderita. Adanya obstruksi
jalan nafas perlu segera dibebaskan dengan tindakan-tindakan : suction, inkubasi,

trakheostomi. Oksigenasi yang cukup atau hiperventilasi bila perlu, merupakan tindakan
yang berperan penting sehubungan dengan edema cerebri.
2) Blood
Mencakup pengukuran tekanan darah dan pemeriksaan laboratorium darah (Hb,
leukosit). Peningkatan tekanan darah dan denyut nadi yang menurun mencirikan adanya
suatu peninggian tekanan intracranial, sebaliknya tekanan darah yang menurun dan
makin cepatnya denyut nadi menandakan adanya syok hipovolemik akibat perdarahan
(yang kebanyakan bukan dari kepala/otak) dan memerlukan tindakan transfusi.
3) Brain
Penilaian keadaan otak ditekankan terhadap respon-respon mata, motorik dan verbal
(GCS). Perubahan respon ini merupakan implikasi perbaikan/perburukan kiranya perlu
pemeriksaan lebih mendalam mengenai keadaan pupil (ukuran, bentuk dan reaksi
terhadap cahaya) serta gerakan-gerakan bola mata.
4) Bladder
Kandung kemih perlu selalu dikosongkan (pemasangan kateter) mengingat bahwa
kandung kemih yang penuh merupakan suatu rangsangan untuk mengedan sehingga
tekanan intracranial cenderung lebih meningkat.
5) Bowel
Seperti halnya di atas, bahwa yang penuh juga cenderung dapat meninggikan TIK.
6) Bone
Mencegah terjadinya dekubitus, kontraktur sendi dan sekunder infeksi.

You might also like