You are on page 1of 30

5

BAB II
LANDASAN TEORI
2.1.
Karakteristik Waduk
2.1.1. Umum
Pada umumnya tujuan dari dibangunnya suatu waduk atau bendungan adalah
untuk melestarikan sumber daya air dengan cara menyimpan air disaat kelebihan yang
biasanya terjadi pada saat musim penghujan. Air yang datang melimpah pada musim
penghujan tersebut ditampung dan disimpan serta dipergunakann secara tepat guna
sepanjang tahun. Diharapkan pula banjir dapat dicegah serta kekurangan air pada saat
musim kemarau dapat diatasi.
Karakteristik suatu waduk yang merupakan bagian pokok dari waduk yaitu
volume hidup (live storage), volume mati (dead storage), tinggi muka air (TMA)
maksimum, TMA minimum, dan elevasi mercu bangunan pelimpah berdasarkan debit
rencana. Dari karakteristik fisik waduk tersebut didapatkan hubungan antara elevasi
dan volume tampungan yang disebut dengan lengkung kapasitas waduk. Lengkung
kapasitas tampungan waduk merupakan data yang menggambarkan volume tampungan
air di dalam waduk pada setiap ketinggian muka air.

Gambar 2.1. Karakteristik Waduk


Sumber: eprints.undip.ac.id

6
2.1.2. Tampungan-Tampungan dalam Waduk
Bagian-bagian pokok sebagai ciri fisik suatu waduk adalah sebagai berikut:
1. Tampungan berguna (usefull storage) adalah volume tampungan di antara
permukaan genangan minimum (low water level = LWL) dan permukaan genangan
normal (normal water level = NWL).
2. Tampungan tambahan (surcharge storage) adalah volume air diatas genangan
normal selama banjir. Untuk beberapa saat debit meluap melalui pelimpah.
Kapasitas tambahan ini biasanya tidak terkendali, dengan pengertian hanya ada
pada waktu banjir dan tidak dapat dipertahankan untuk penggunaan selanjutnya.
3. Tampungan mati (dead storage) adalah volume air yang terletak dibawah
permukaan genangan minimum, dan air ini tidak dimanfaatkan dalam
pengoperasian waduk.
4. Tampungan tebing (valley storage) adalah banyaknya air yang terkandung di dalam
susunan tanah pervious dari tebing dan lembah sungai. Kandungan air tersebut
tergantung dari keadaan geologi tanah.
5. Permukaan genangan normal (normal water level = NWL) adalah elevasi
maksimum yang dicapai oleh permukaan air waduk.
6. Permukaan genangan minimum (low water level = LWL) adalah elevasi terendah
bila tampungan dilepaskan pada kondisi normal. Permukaan ini dapat ditentukan
oleh elevasi dari bangunan pelepasan yang terendah.
7. Permukaan genangan pada banjir rencana adalah elevasi air selama banjir
maksimum direncanakan terjadi (flood water level = FWL).
8. Pelepasan (realese) adalah volume air yang dilepaskan secara terkendali dari suatu
waduk selama kurun waktu tertentu.
9. Periode kritis (critical periode) adalah periode dimana sebuah waduk berubah dari
kondisi penuh ke kondisi kosong tanpa melimpah selama periode tertentu. Awal
periode kritis adalah keadaan waduk penuh dan akhir periode kritis adalah ketika
waduk pertama kali kosong.

Muka air Banjir


Muka air Normal

Mercu Pelimpah

Tampungan Efektif
MOL

Saluran Pengambilan
Tampungan Mati

Dasar Sungai
Gambar 2.2. Zona-Zona Tampungan Waduk
Sumber: http://www.freevynou.com
2.1.3. Kapasitas Tampungan Beberapa Waduk Besar
Tabel 2.1. Kapasitas Tampungan Waduk di Indonesia
Vol. Waduk pada Kondisi Tertentu (juta m3)
m.a
m.a
Nama Bendungan
Vol. Mati
Vol. Efektif
Banjir
Normal
1. Saguling
970
875
264
661
2. Cirata
2165
2165
177
796
3. Juanda
2893
2556
960
1790
4. Sutami
390
343
90
253
5. Mrican
50
194
146
47
6. Wonogiri
735
560
120
440
7. Wonorejo
259
122
16
106
8. Kedungombo
986
723
88
635
Sumber: http://pustaka.pu.go.id
No

2.1.4

Usia Guna Waduk


Usia guna waduk adalah waktu dimana waduk dapat dipergunakan untuk

menampung air dan mendistribusikannya. Usia guna waduk ditinjau dari penuhnya
dead storage oleh sedimen. Waktu pengendapan dari berbagai elevasi dikumulatifkan
untuk mendapatkan usia waduk. Waduk mempunyai suatu tampungan untuk pengendali
banjir dan tidak diharapkan muka air berada dalam tampungan ini untuk periode waktu
yang penting, sebagian akumulasi sedimen harus diendapkan dalam tampungan ini.
2.1.4.1. Perkiraan Usia Guna Berdasarkan Kapasitas Tampungan Mati (Dead
Storage)

8
Perhitungan ini berdasarkan pada berapa waktu yang dibutuhkan oleh sedimen
untuk mengisi kapasitas tampungan mati. Dengan diketahui besarnya kapasitas
tampungan mati dan besarnya kecepatan laju sedimen yang mengendap, maka akan
diketahui waktu yang dibutuhkan sedimen untuk mengisi pada daerah tampungan mati.
Semakin bertambah umur maka semakin berkurang kapasitas tampungan matinya, yang
kemudian akan mengganggu pelaksanaan operasional waduk. Sehingga hal ini
merupakan acuan untuk memprediksikan kapan kapasitas tampungan mati tersebut akan
penuh.
2.1.4.2

Perkiraan Usia Guna Berdasarkan Besarnya Distribusi Sedimen yang

Mengendap di Tampungan dengan Menggunakan The Empirical Area Reduction


Method
Metode ini pertama kali diusulkan oleh Lane dan Koezler ( 1935 ), yang
kemudian dikembangkan oleh Borland Miller (1958, dalam USBR,1973) dan Lara
(1965, dalam USBR,1973). Dengan metode ini dapat diprediksi bagaimana sedimen
terdistribusi di dalam waduk pada masa-masa yang akan datang. Dalam perhitungan ini
sebagai acuan untuk menentukan usia guna waduk berdasar pada hubungan fungsi
antara luas genangan dengan elevasi genangan dan kapasitas tampungan. Sebagai
patokan elevasi pintu pengambilan sebagai acuannya. Sehingga apabila elevasi pintu
pengambilan akan dicapai oleh elevasi endapan sedimen, maka kegiatan operasional
waduk akan terganggu, yang pada akhirnya secara teknis akan mengakibatkan tidak
berfungsinya waduk.
2.1.5

Unsur-Unsur Kapasitas Waduk


Tampungan yang dibutuhkan di suatu sungai untuk memenuhi permintaan

tertentu bergantung pada tiga faktor (Mc.Mahon, 1976) , yaitu:


1) Unsur-unsur aliran su ngai
2) Ukuran permintaan
3) Tingkat keandalan dari pemenuhan permintaan
Dalam bentuk yang paling sederhana, masalah yang ditangani dapat
digambarkan sebagai berikut:
Rangkaian aliran
Sungai Q (t)

Waduk dengan kapasitas


Tamp.aktif C

Rangkaian pelepasan
terkendali D (t)

limpahan

Gambar 2.3. Idealisasi Masalah Kapasitas Kemampuan Waduk


Sumber: Soedibyo, 1988
Rangkaian aliran sungai Q(t) akan dimanfaatkan untuk memenuhi permintaan
air dengan kebutuhan tertentu D(t). Dalam hal ini mungkin periode aliran rendah (low
flow) dari sungai itu perlu diperbesar. Dengan demikian pertanyaan yang diajukan dapat
berupa berapa besarnya kapasitas waduk (C) yang harus disediakan bagi suatu
pelepasan atau draft yang terkendali D(t) dengan tingkat keandalan yang bisa diterima,
mungkin ada variasi lain dari pertanyaan ini misalnya menentukan pelepasan bagi suatu
kapasitas tertentu, tetapi masalah dasarnya tetap sama, yaitu hubungan antara
karakteristik aliran masuk (inflow), pelepasan yang terkendali dan keandalan harus
ditemukan.
2.1.5.1. Unsur-Unsur Aliran Sungai
Unsur-unsur aliran sungai ini diperlukan untuk menentukan besarnya
tampungan yang perlu dibangun agar dapat memenuhi permintaan.
Di bawah ini diberikan penjelasan tentang unsur-unsur aliran sungai yang
berperan dalam penentuan kapasitas tampungan waduk, antara lain:

Debit, yaitu volume air yang mengalir per satuan waktu melewati suatu
penampang melintang palung sungai, pipa, pelimpah, aquifer dan sebagainya.

Limpasan (run off), yaitu semua air yang bergerak ke luar dari pelepasan (outlet)
daerah pengaliran ke dalam sungai melewati rute, baik di atas permukaan maupun
lewat bawah tanah sebelum municipal sungai tersebut.

Limpasan permukaan (surface run off), yaitu limpasan air yang selalu mengalir
di atas permukaan tanah.

Limpasan bawah tanah (subsurface run off), yaitu limpasan air yang selalu
melewati rute bawah tanah, dan waktu meninggalkan daerah pengaliran pada
pelepasannya berupa aliran permukaan (surface stream).

10
Limpasan bulanan, yaitu volume air selama bulan tertentu atau ekuivalen dengan

debit rata-rata dalam bulan tersebut.


Limpasan rata-rata bulanan atau tahunan, yaitu harga rata-rata aliran dalam tiap

bulan suatu tahun atau aliran tahunan.


2.1.5.2. Ukuran Permintaan
Kapasitas waduk yang dibangun harus disesuaikan dengan ukuran permintaan
yang harus dapat dipenuhi oleh waduk tersebut. Adapun hal tersebut tergantung oleh
jumlah penduduk, jumlah lahan yang perlu diairi, jenis tanaman, jenis tanah, cara
pemberian air, cara pengelolaan dan pemeliharaan saluran, iklim, cuaca dan lain-lain.
2.1.6

Flood Routing (Penelusuran Banjir)


Flood routing atau penelusuran banjir adalah merupakan peramalan hidrograf di

suatu titik pada suatu aliran atau bagian sungai yang didasarkan atas pengamatan
hidrograf di titik lain. Hidrograf banjir dapat ditelusuri lewat palung sungai atau lewat
waduk.
Tujuan penelusuran banjir adalah sebagai berikut:
1.

Peramalan banjir jangka pendek

2.

Perhitungan hidrograf satuan pada berbagai titik sepanjang sungai dari hidrograf
satuan di suatu titik si sungai tersebut.

3.

Peramalan terhadap kelakuan sungai setelah terjadi perubahan keadaan palung


sungai (misalnya karena adanya pembangunan bendungan atau pembuatan tanggul)

4.

Derivasi hidrograf sintetik


Pada dasarnya penelusuran banjir lewat palung sungai merupakan persoalan

aliran tidak tunak (non steady flow), sehingga dapat dicari penyelesaiannya. Karena
pengaruh gesekan tidak dapat diabaikan, maka penyelesaian persamaan dasar alirannya
akan sangat sulit. Dengan menggunakan cara karakteristik atau finite element akan
diperoleh penyelesaian yang memadai, tetapi masih memerlukan usaha yang sangat
besar.
Cara penelusuran banjir yang akan diuraikan dalam bab ini tidak didasarkan atas
hukum-hukum dasar hidrolika, yang ditinjau disini hanyalah hukum kontinuitas,
sedangkan persamaan keduanya didapatkan secara empiris dari pengamatan banjir. Oleh
karenanya berlakunya cara ini harus diperiksa untuk setiap kasus khusus.
2.1.6.1. Penelusuran Banjir Lewat Palung Sungai
Penelusuran banjir dengan cara Muskingum berlaku dalam kondisi:

11
1.

Tidak ada anak sungai yang masuk ke dalam bagian memanjang palung
sungai yang ditinjau.

2.

Penambahan atau kehilangan air oleh curah hujan, aliran masuk atau
keluar air tanah dan evaporasi, kesemuanya ini diabaikan.
Persamaan kontinuitas yang umum dipakai dalam penelusuran banjir adalah:
I Q

Dengan:

ds
dt

(2.1)

= debit yang masuk ke permulaan bagian memanjang palung sungai (m3/dt)

= debit yang keluar dari akhir bagian memanjang palung sungai (m3/dt)

= besarnya tampungan (storage) dalam bagian memanjang palung sungai yang


ditinjau (m3)

dt = periode penelusuran (detik, jam atau hari)


Apabila penelusurannya diubah dari dt menjadi t maka:
I =

I1 I 2
2

I =

Q1 Q2
2

dS = S2 S1
sehingga rumus (2.1) dapat diubah menjadi:
I

I1 I 2
Q Q2
+ 1
= S2 S1
2
2

(2.2)

Dimana indeks-indeks 1 merupakan keadaan pada saat permulaan periode penelusuran,


dan indeks-indeks 2 merupakan keadaan pada akhir peroide penelusuran.
Dalam persamaan (2-2) tersebut, I1 dan I2 dapat diketahui dari hidrograf debit
masuk yang diukur besarnya Q1 dan S1 diketahui dari periode sebelumnya. Q2 dan S2
tidak diketahui.

Ini berarti diperlukan persamaan kedua. Kesulitan terbesar dalam

penelusuran banjir lewat palung sungai ini terletak pada cara mendapatkan persamaan
kedua ini.
Pada penelusuran banjir lewat waduk, persamaan tersebut lebih sederhana, yaitu
Q2 = f (S2). Tetapi pada penelusuran banjir lewat palung sungai besarnya tampungan
tergantung pada debit masuk dan debit keluar. Persamaan yang menyangkut hubungan S
dan Q pada palung sungai hanya berlaku untuk hal-hal yang khusus, yang bentuknya
adalah sebagai berikut:
S = k {x I + (1-x) Q}

12
k dan x ditentukan oleh hidrograf debit masuk dan debit keluar yang masingmasing diamati pada saat bersamaan, sehingga hanya berlaku untuk bagian memanjang
palung sungai yang ditinjau.
Faktor x merupakan faktor penimbang (weight) yang besarnya berkisar antara 0
dan 1, biasanya lebih kecil dari 0,5 dan dalam banyak hal besarnya kira-kira sama
dengan 0,3 serta tidak berdimensi.
Karena S mempunyai dimensi volume, sedangkan I dan Q berdimensi debit,
maka k harus dinyatakan dengan dimensi waktu (jam atau hari).
Dari persamaan (2.2) dapat dibuat persamaan berikut:
S1 = k {x I1 + (1-x) Q1}
S2 = k {x I2 + (1-x) Q2}
Dari persamaan didapat:
Q2 = c0 I2 + c1 I1 + c2 Q1
dimana
kx 0,5t

c0 = - k kx 0,5t
kx 0,5t

c1 = k kx 0,5t
k kx 0,5t

c2 = k kx 0,5t
dan c0 + c1 + c2 = 1
2.1.6.2. Penelusuran Banjir Lewat Waduk
Penelusuran lewat waduk, dimana penampungannya adalah merupakan fungsi
langsung dari aliran keluar (outflow), maka cara penyelesaiannya lebih eksak.
Berdasarkan rumus (2.2) diperoleh hubungan berikut:
I 1 I 2 Q1 Q2

S 2 S1
2
2

(2.2)

Faktor-faktor yang diketahui ditempatkan di ruas kiri seperti berikut:


Q
Q
I1 I 2

xt S 1 1 xt S 2 2 xt

2
2
2

jika

(2.3)

S 1 Q1
S
Q

1 dan 2 2 2 maka rumus dapat ditulis menjadi:


t
2
t
2

I1 I 2
1 2
2

(2.4)

13
I1 dan I2 diketahui dari hidrograf debit masuk ke waduk, jika periode
penelusuran (Flood Routing) t telah ditentukan.
S1 merupakan tampungan waduk pada permulaan periode penelusuran yang
diukur dari datum fasilitas pengeluaran (puncak bangunan pelimpah atau spillway atau
sumbu terowongan outlet).
Q1 adalah debit keluar pada permulaan periode penelusuran kalau fasilitas
pengeluarannya berupa bangunan pelimpah (spillway), maka:
Q C.B.H

3
2

dengan:
C = koefisien debit bangunan pelimpah (1,7 2,2 m1/2/dt)
B = panjang ambang bangunan pelimpah (m)
H = tinggi energi di atas ambang bangunan pelimpah
Pada umumnya kecepatan air di waduk di depan ambang bangunan pelimpah
sangat kecil, sehingga dapat diabaikan. Kalau fasilitas pengeluarannya berupa
terowongan, maka harus diperhitungkan terhadap dua macam keadaan:
1.

Pada saat seluruh panjang terowongan belum terisi penuh oleh air,
sehingga masih berupa aliran bebas atau aliran alur terbuka. Dalam hal ini
digunakan rumus kontinuitas Q = V.A, dimana V menggunakan rumus Manning.

2.

Pada saat seluruh panjang terowongan penampang atau profil alirannya


terisi penuh oleh air, sehingga terjadi aliran tekan atau aliran alur tertutup. Dalam
hal demikian kecepatan airnya ditentukan oleh perbedaan tinggi tekanan di
permulaan dan ujung terowongan. Perbedaan tekanan tersebut merupakan
penjumlahan dari kehilangan energi yang dipengaruhi oleh bentuk inlet
terowongan, kekasaran dinding terowongan, adanya penyempitan atau pelebaran
dalam terowongan, adanya belokan dan bentuk outlet terowongan.
Pada suatu elevasi muka air setinggi kurang lebih 1,5 kali diameter terowongan

di atas sumbu terowongan di hulu inlet terjadi peralihan dari aliran alur bebas menjadi
aliran tekan. Karena peralihan tersebut tidak dapat ditentukan pada ketinggian yang
tepat.
2.2.
Lengkung Kapasitas Waduk
2.2.1. Umum
Lengkung kapasitas waduk (storage capacity curve of reservoir) merupakan
suatu kurva yang menggambarkan hubungan antara luas muka air (reservoir area),
volume (storage capacity) dengan elevasi (reservoir water level).

14
Dari lengkung kapasitas waduk ini akan diketahui berapa besarnya tampungan
pada elevasi tertentu, sehingga dapat ditentukan ketinggian muka air yang diperlukan
untuk mendapatkan besarnya volume tampungan pada suatu elevasi tertentu, kurva ini
juga dipergunakan untuk menentukan besarnya kehilangan air akibat perkolasi yang
dipengaruhi oleh luas muka air pada elevasi tertentu.
Dari persamaan lengkung kapasitas tinggi dapat ditentukan tinggi muka air
waduk dengan persamaan:
H = Ch. S0,5

(2.5)

dengan:
A

= luas muka air waduk (km2)

= volume tampungan total (m3)

Ch

= koefesien
Jika kehilangan turut diperhitungkan, kehilangan ini dikalikan luasan untuk

mendapatkan volume kehilangan. Persamaan lengkung kapasitas luasan waduk dapat


dinyatakan:
A = Ca . S0,5

(2.6)

dengan:
A

= luas muka air waduk (km2)

= volume tampungan total (m3)

Ca

= koefisien
Tabel 2.2. Kapasitas Tampungan Waduk Wonorejo
Elevasi (m)
114
120
130
140
150
160
170
180
190

Luas Muka Air Waduk (km2)


0
0.197
0.650
1.235
1.819
2.380
2.976
3.635
4.318

Tampungan (106 m3)


0
0.591
4.826
14.251
29.521
50.516
77.296
110.351
150.116

Sumber: http://pustaka.pu.go.id
Tabel 2.3. Kapasitas Tampungan Waduk Ir. H. Juanda
Interval Kontur (m)
110
107
105
100

Luas Permukaan (km2)


82.2
80.2
78.9
73.0

Volume Komulatif (106 m3)


2695
2451
2292
1912

15
Interval Kontur (m)
Luas Permukaan (km2)
95
67.1
90
57.4
85
46.4
80
41.3
75
35.9
70
30.1
65
24.7
60
18.5
55
13.7
50
8.98
45
2.86
40
0.14
37
0.05
Sumber: http://pustaka.pu.go.id

Volume Komulatif (106 m3)


1562
1251
992
773
581
416
279
171
90.9
34.6
6.37
0.33
0.06

2.2.2. Lengkung Kapasitas Waduk di Indonesia

Gambar 2.4. Lengkung Kapasitas Waduk Wonorejo


Sumber: http://pustaka.pu.go.id

16

Gambar 2.5. Lengkung Kapasitas Waduk Ir. H. Juanda


Sumber: http://pustaka.pu.go.id
2.3.
Inflow Tampungan waduk
2.3.1. Umum
Rangkaian air yang memberikan kontribusi sebagai debit inflow sungai antara
lain adalah berasal dari presipitasi langsung, debit air tanah, dan termasuk juga limpasan
permukaan dan limpasan bawah permukaan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi volume total limpasan adalah:
1. Faktor-faktor iklim
a.

Banyaknya presipitasi.

b.

Banyaknya evapotranspirasi.

2. Faktor-faktor DAS
a.

Ukuran daerah aliran sungai.

b.

Tinggi tempat rata-rata daerah aliran sungai (pengaruh orografis).


Faktor-faktor yang mempengaruhi aliran waktu limpasan adalah:

1. Faktor-faktor meteorologis
a.

Presipitasi.

b.

Intensitas curah hujan.

c.

Lamanya curah hujan.

d.

Distribusi curah hujan dalam daerah pengaliran.

17
e.

Arah pergerakan curah hujan.

f.

Curah hujan terdahulu dan kelembaban tanah.

g.

Kondisi-kondisi meteorologi yang lain.

2. Faktor-faktor daerah aliran sungai


a.

Topografi.

b.

Geologi.

c.

Tipe tanah.

d.

Vegetasi.

e.

Jaringan drainasi.

3. Faktor-faktor manusiawi
a.

Struktur hidrolik.

b.

Teknik-teknik pertanian.

c.

Urbanisasi.

2.3.2. Macam Limpasan


2.3.2.1. Limpasan Permukaan
Limpasan permukaan merupakan limpasan air yang mengalir di atas permukaan
tanah. Limpasan permukaan berasal dari air hujan yang terus mengalir karena tidak ada
tanaman yang menghambatnya. Limpasan permukaan disebut juga run off.
2.3.2.2. Limpasan Bawah Permukaan
Limpasan air yang selalu mengalir di bawah permukaan tanah, dan pada waktu
meninggalkan daerah pengaliran pada pelepasaannya berupa aliran permukaan.
2.3.3

Debit Andalan
Debit andalan adalah besarnya debit yang tersedia untuk memenuhi kebutuhan

air dengan resiko kegagalan yang telah diperhitungkan. Dalam perencanaan proyek
proyek penyediaan air terlebih dahulu harus dicari debit andalan (dependable
discharge), yang tujuannya adalah untuk menentukan debit perencanaan yang
diharapkan selalu tersedia di sungai (Soemarto, 1987).
Tabel 2.4 Besarnya Andalan untuk Berbagai Kegunaan
Kegunaan
1. Penyediaan air minum
2. Penyediaan air indutri
3. Penyediaan air irigasi untuk
Daerah iklim setengah lembab
Daerah iklim kering
4. Pembangkit listrik tenaga air (PLTA)
Sumber: C.D. Soemanto, Hidrologi Teknik

Keandalan
99 %
95 98 %
75 85 %
80 95 %
85 90 %

18
Ada berbagai cara untuk menentukan debit andalan, masing-masing cara
mempunyai ciri khas sendiri-sendiri. Pemilihan metode yang sesuai umumnya
didasarkan atas pertimbangan data yang tersedia, jenis kepentingan dan pengalaman.
Metode-metode untuk analisis debit andalan tersebut antara lain berikut:
a)

Metode karakteristik aliran (flow characteristic)


Perhitungan debit andalan dengan metode ini antara lain memakai data yang

didapatkan berdasar karakteristik alirannya. Metode ini umumnya dipakai untuk:

Daerah pengaliran sungai (DPS) dengan fluktuasi maksimum dan minimumnya


relatif besar dari tahun ke tahun.

Kebutuhan yang relatif tidak konstan sepanjang tahun.

Data yang tersedia cukup panjang.


Karakteristik aliran dalam hal ini dihubungkan dengan kriteria sebagai berikut:

Tahun normal, jika debit rata-rata tahunannya sama dengan atau mendekati debit
rata-rata dari tahun ke tahun.

Tahun kering, jika debit rata-rata tahunannya di bawah debit rata-rata dari tahun
ketahun.

Tahun basah, jika debit rata-rata tahunannya diatas debit rata-rata dari tahun
ketahun.

b)

Metode tahun penentu (basic year).


Penentuan debit andalan dengan menggunakan metode ini antara lain dengan

menentukan suatu tahun tertentu sebagai dasar perencanaan.


c)

Metode bulan penentu.


Metode ini seperti pada karakteristik aliran tetapi hanya dipilih bulan tertentu

sebagai dasar perencanaan.


d)

Metode Q rata-rata minimum.


Penentuan debit andalan dengan metode ini berdasar data debit rata-rata bulanan

yang minimum.
Menurut Suyono Sosrodarsono (1980:204), terminologi debit dinyatakan
sebagai berikut:
1.

Debit air cukup (affluent), yaitu debit yang dilampaui oleh debit-debit
sebanyak 95 hari dalam setahun (peluang keandalan 26,02%).

2.

Debit air normal, yaitu debit yang dilampaui oleh debit-debit sebanyak
185 hari dalam setahun (peluang keandalan 50,68%).

19
3.

Debit air rendah, yaitu debit yang dilampaui oleh debit-debit sebanyak
275 hari dalam setahun (peluang keandalan 75,34%).

4.

Debit air kering, yaitu debit yang dilampaui oleh debit-debit sebanyak
355 hari dalam setahun (peluang keandalan 97,30%).

2.4.

Pembangkitan Data Inflow


Terdapat tiga model yang digunakan dalam perhitungan-perhitungan hidrologi

yaitu model deterministik, model probabilistik dan model stokastik. Model stokastik
mampu mengisi kekosongan di antara kedua model tersebut, yaitu mempertahankan
sifat-sifat peluang yang berhubungan dengan runtun waktu kejadiannya. Termasuk
dalam model stokastik adalah proses perpanjangan runtun data.
Sedangkan dasar-dasar teknik pembangkitan data dapat dijelaskan seperti
berikut, dasar proses perpanjangan runtun data (generated) adalah bahwa prosesnya
tidak berubah, dalam arti sifat-sifat statistik proses terhadap runtun data historis tidak
berubah terhadap waktu sehingga sifat-sifat kejadian sesungguhnya dapat dipakai untuk
membuat runtun data sintetis yang panjang. Kegunaan pembangkitan data debit sungai
adalah:
1.

Untuk memenuhi kebutuhan tampungan waduk dengan data sintetis.

2.

Untuk membantu perancangan waduk akibat data kurang panjang.

3.

Untuk simulasi pengoperasian waduk.


Pembangkitan data dalam hal ini memerlukan proses dimana kekuatan-kekuatan

yang saling bersangkut paut dan menimbulkan pengaruh bertindak menghasilkan suatu
rangkaian waktu (time series). Proses terbaik adalah yang sesuai dengan karakteristik
fisik dari rangkaian waktu tersebut. Sedangkan dari segi pandang stokastik, aliran
sungai bisa dipandang dari empat komponen yaitu:
1.

Komponen kecenderungan (Tt).

2.

Komponen periodik atau musiman (St).

3.

Komponen korelasi (Kt).

4.

Komponen acak (t).


Yang dapat dikombinasikan secara sederhana sebagai berikut:
Xt = Tt + St + Kt + t

(2.8)

Konsep dari metode stokastik adalah pembangkitan data dengan cara


mempertahankan karakteristik data debit historis, melalui parameter rerata data, standar
deviasi dan koefisien korelasi antar waktu.

20
2.4.1. Bilangan Random
Data debit historis dan sintetik memiliki urutan terjadi berdasarkan proses acak,
serta terletak dalam interval waktu tertentu. Urutan nilai ini sering disebut rangkaian
waktu (time series). Secara umum nilai ke-i dari variabel X yang merupakan anggota
dari suatu rangkaian waktu adalah jumlah dari 2 komponen.
Xi = di + ei

(2.9)

Dimana komponen deterministik diperoleh dari nilai parameter-parameternya dan nilai


sebelumnya dari proses, seperti Xi+1, Xi+2 dan seterusnya. Komponen bilangan acak
uniform dengan cara sebagai berikut:
t1 = (u1 + u2 + u3 + + u12) 6: dst

(2.10)

dengan:
t1 dan t2

= bilangan acak normal.

u1,u2,u3

= bilangan acak uniform.

Metode lain untuk memperoleh bilangan acak normal dengan persamaan Box
Muller, yaitu:

2 . ln(U i ) Cos (2 . . U i 1 )

(2.11)

N i 1

2 . ln(U i ) Sin ( 2 . . U i 1 )

(2.12)

Ni

dengan:
N1 dan N2

= bilangan acak normal.

u1,u2,u3

= bilangan acak uniform.

2.4.2. Metode Thomas-Fiering


Untuk membangkitkan data debit dapat digunakan model Thomas-Fiering.
Model ini menganggap bahwa setahun terbagi menjadi musim atau terdiri dari 12 bulan.
Dianggap bahwa data aliran adalah x1.1, x1.2,x1.12, x2.1, x2.2,..,xn.12; contoh, indeks
pertama menyatakan tahun dimana aliran terjadi dan kedua berjalan secara siklus dari 1
ke 12.
Prosedur perhitungan metode ini adalah:
1. Perhitungan aliran rata-rata untuk tiap bulannya.
1
X =
n

Xi, b
i 1

dengan:
X

= debit rata-rata.

n = jumlah tahun.
Xi,b

= data debit pada tahun ke-i dan bulan ke-b.

(2.13)

21
2. Perhitungan standar deviasi

2
1 b
Xi X
Sd =

n 1 i 1

1/2

(2.14)

3. Perhitungan koefisien korelasi antar aliran dalam waktu i. dan waktu i.-1
n

rj =

X
i 1

i, b

, X i, b 1 n.X b .X b 1

(2.15)

Sd b .Sd b 1. n 1

Persamaan aliran sintetis:


q1,b =

Xb

rb. Sd b
q i, b 1 X b 1 + t i, b . Sd b . 1 rb2
Sd b 1

(2.16)

dengan:
qi,b

= debit hasil pembangkitan untuk bulan b dan tahun ke-I.

Xb , Xb-1

= rerata debit pada bulan b.

rb , rb-1

= korelasi untuk bulan b dan bulan b-1.

Sdb , Sdb-1

= standar deviasi bulan b dan bulan b-1.

ti,b

= bilangan random bulan b.

qi,b-1

= debit pada tahun ke-i dan bulan b.

2.4.3. Uji Hipotesis


Perlu dipastikan tentang keandalan data sebelum dilakukan perhitungan dan
analisis. Untuk itu dilakukan pengujian-pengujian secara statistik. Pengujian dilakukan
untuk memastikan ketepatannya agar hasil perhitungan itu dapat digunakan untuk
proses lebih lanjut.
Pengujian statistik lebih ditujukan untuk menguji parameter-parameternya,
antara lain dapat dilakukan dengan membandingkan rerata, variansi, kovariansi, korelasi
dan sebagainya. Sedangkan pada pengujian suatu fungsi, diuji keandalan parameterparameter yang membentuk fungsi tersebut.
Hipotesa yang dirumuskan dengan harapan untuk ditolak disebut hipotesa nol
atau dinyatakan dengan Ho. Penolakan Ho mengakibatkan penerimaan hipotesa
alternatif yaitu H1.
2.4.3.1. Uji F
Uji analisis pada dasarnya adalah menghitung F score, lalu membandingkan
dengan F tabel. Yang diuji adalah ketidaktergantungan (independence) atau
keseragaman (homogenitas). Uji analisis variansi dapat bersifat satu arah atau dua arah.

22
Prinsip uji hipotesis ini adalah membandingkan variansi gabungan antara
kelompok sampel (variance between group) dengan varian kombinasi seluruh
kelompok.
F hitung =

S12
, (S12 S22)
S2 2

F hitung =

S2 2
, (S12 S22)
S12

dengan:
S12
S2

= variansi sampel 1 (debit historis) =

n 1Sd 12
n 1 1

n 1Sd 22
= variansi sampel 2 (debit sintetis) =
n 2 1

Harga F kritis = (, n1-1, n2-1)


dengan:
n1 = jumlah sampel 1 (debit historis).
n2 = jumlah sampel 2 (debit sintetis).
Ho diterima jika harga F hitung Fkritis.
Ho ditolak jika harga F hitung Fkritis.
Untuk pengaman selanjutnya akan digunakan uji f dengan analisa variansi yang
bersifat dua arah, dengan hipotesa sebagai berikut:
Hipotesa 1 : Ho = hujan homogen dari bulan ke bulan.
H1 = hujan tidak homogen dari bulan ke bulan.
Hipotesa 2 : Ho = hujan homogen dari tahun ke tahun.
H1 = hujan tidak homogen dari tahun ke tahun.
Ada dua F score dihitung dengan rumus-rumus berikut:

n 1 n x i x
k

F1 =

x
k

i 1

i 1 j1

ij

xi x j x

k 1 k x j x
k

F2 =

x
k

i 1 j1

ij

(2.17)

i 1

xi x j x

(2.18)

23
dengan:
XI

= harga rata-rata untuk bulan i.

Xj

= harga rata-rata untuk bulan j.

= harga rata-rata untuk keseluruhan.

Xij

= pengamatan untuk bulan i pada tahun j.

= banyak pengamatan perbulan (tahun).

= banyak bulan.

2.4.3.2. Uji T
Uji T termasuk jenis uji untuk sampel kecil. Sampel kecil adalah dimana ukuran
sampel n < 30. Untuk mengetahui apakah 2 sampel x1 dan x2 berasal dari populasi yang
sama, maka dihitung t score dengan rumus:

x1 x2
t

1
1

N1 N 2

N1 1 s12 N 2 1 s2 2
N1 N 2 2

(2.19)

(2.20)

dengan:
x1 = rerata dari sampel x1
x 2 = rerata dari sampel x2
s1

= simpangan baku dari sampel x1

s2

= simpangan baku dari sampel x2

N1 = ukuran dari sampel x1


N2 = ukuran dari sampel x2
Hipotesa:
H0 = sampel x1 dan x2 berasal dari populasi yang sama
H1 = sampel x1 dan x2 tidak berasal dari populasi yang sama
Harga t tabel dicari pada tabel distribusi student's t untuk derajat bebas

=N1+N22 dan = (Level of Significance). Apabila t score < t tabel, maka H0 diterima,
dan jika sebaliknya maka H0 ditolak.
2.5.
Simulasi Pola Operasi di Waduk
2.5.1. Umum
Pola Operasi waduk adalah patokan operasional bulanan suatu waduk dimana
debit air yang dikeluarkan oleh waduk harus sesuai dengan ketentuan agar elevasinya

24
terjaga sesuai dengan rencana. Pola operasi waduk disepakati bersama oleh para
pemanfaat air dan pengelola melalui Panitia Tata Pengaturan Air (PTPA).
Tujuan dari disusunnya pola operasi waduk adalah untuk memanfaatkan air
secara optimal demi tercapainya kemampuan maksimal waduk dengan cara
mengalokasikan secara proporsional sehingga tidak terjadi konflik antar kepentingan.
Pengoperasian waduk secara efisien dan optimal merupakan permasalahan yang
kompleks karena melibatkan beberapa faktor seperti:

Operasional policy, pola kebijakan pengoperasian waduk.

Debit inflow yang akan masuk ke waduk yang tergantung dari ketepatan
perencanaan debit yang akan masuk ke waduk tersebut.

Demand, kebutuhan air untuk irigasi dan PLTA.

Ketepatan peralatan akan besarnya debit banjir yang akan terjadi.

Keandalan peralatan monitoring tinggi muka waduk, debit aliran dan curah hujan.

Koordinasi antara instansi yang terkait.

Kemampuan Operasional.

Koordinasi pengoperasian jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang


serta pengoperasian real time.

2.5.2. Pola Operasi Waduk Harian dan Waduk Tahunan


Pola operasi waduk adalah suatu acuan pengaturan air untuk pengoperasian
waduk-waduk yang disepakati bersama oleh para pemanfaat air dan pengelola melalui
Panitia Tata Pengaturan Air (PTPA). Maksudnya adalah sebagai pedoman pengaturan
air untuk memenuhi berbagai kebutuhan air dan pengendali banjir, dengan tujuan untuk
memenfaatkan air secara optimal dengan cara mengalokasikan secara proporsional
sedemikian sehingga tidak terjadi konflik antar kepentingan dan pengendalian banjir
pada musim hujan.
Waduk tahunan berfungsi sebagai penampung/penyediaan air dan pengendali
fluktuasi debit yang terjadi selama kurun waktu satu tahun, sedangkan waduk harian
berfungsi sebagai pengatur/pengendali fluktuasi debit yang terjadi dalam rentang waktu
yang relatif pendek, yaitu satu hari saja.
Ketersediaan air di waduk tergantung dari kapasitas waduk dan debit inflow
yang masuk ke waduk. Fluktuasi debit air yang masuk ke waduk sangat dipengaruhi
oleh penutup lahan di hulu waduk.

25

2.5.3. Simulasi Kapasitas Tampungan Waduk


Dalam situasi atau analisa perilaku operasi waduk bertujuan untuk mengetahui
perubahan kapasitas tampungan waduk. Persamaan yang digunakan adalah kontinuitas
tampungan (mass storage equation) yang memberi hubungan antara masukan, keluaran
dan perubahan tampungan.
Persamaan secara matematika dinyatakan sebagai berikut:
St + 1 = St + Qt Dt Et Lt

(2.21)

dengan:
t

= interval waktu yang digunakan.

St

= tampungan waduk pada awal interval waktu.

St+1

= tampungan waktu pada akhir interval waktu

Qt

= aliran masuk selama interval waktu t.

Dt

= lepasan air selama interval waktu t.

Et

= evaporasi selama interval waktu t.

Lt

= kehilangan-kehilangan air lain dari waduk selama interval waktu t

= tampungan aktif (tampungan efektif).


Kapasitas tampungan harus dapat menjamin pasokan air dengan keandalan

pemenuhan 100%.
2.5.4. Simulasi Luas Lahan yang Dapat Diairi
Simulasi luas lahan yang dapat diairi diizinkan dengan peluang kegagalan
maksimum sebesar 20%, untuk pemenuhan seluruh kebutuhan air dari kapasitas
tampungan yang ada.
Dengan mempertimbangkan luas genangan waduk yang bervariasi terhadap
waktu, maka lebih lanjut persamaan ditulis sebagai berikut (Sudjarwadi, 1990):
St + 1 = St + Qt + Rt(A) Ot Et Pt SPt(A)

(2.22)

dengan:
Rt(A)

= hujan yang jatuh ke waduk pada interval waktu t


sebagai fungsi luas permukaan air waduk.

Ot

= pengambilan air waduk selama interval dari t.

Et(A)

= evaporasi selama interval waktu t


sebagai fungsi luas permukaan waduk

Pt

= limpahan yang melewati bangunan pelimpah selama interval waktu t.

SPt(A) = rembesan keluar dari waduk selama interval waktu

26
sebagai fungsi luas permukaan waduk, dapat diabaikan.
2.6.
Outflow Tampungan Waduk
2.6.1. Outflow Melalui Pelimpah
Debit outflow melalui pelimpah dihitung berdasarkan rumus berikut ini:
Q = C . L . H 3/2
dengan:
Q

= debit melalui pelimpah (m3/det).

= koefisien debit (m/dt).

= lebar efektif mercu pelimpah (m).

= total tinggi tekanan di atas mercu (m).

2.6.2
Kehilangan Air di Waduk Akibat Evaporasi
2.6.2.1. Umum
Evaporasi adalah proses perubahan fisik yang mengubah suatu cairan atau
bahan padat menjadi gas melalui proses perpindahan panas. Besarnya harga evaporasi
sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan yang terkadang tidak merata di seluruh
daerah (Suyono, 1980:57).
Volume kehilangan air di waduk karena evaporasi dihitung dengan rumus:
Vew = Ev(t) x A(t) x t x 10

(2.23)

dengan:
Vew

= volume evaporasi di waduk (m3).

Ev(t)

= evaporasi rata-rata yang tercatat di alat ukur (mm/hari).

A(t)

= luas genangan waduk (km2).

= jumlah hari (hari).


Sedangkan kehilangan air di sungai karena evaporasi diperhitungkan dengan

asumsi bahwa keliling basah pada penampang sungai dalam kondisi jenuh dan bersifat
impermeabel. Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut:
Ves = Ev(t) x L(t) x P x t
dengan:
Ves

= volume evaporasi di sungai (m3).

Ev(t)

= evaporasi rata-rata yang tercatat di alat ukur (mm/hari).

L(t)

= lebar muka air sungai (m).

= panajang alur sungai (km).

= jumlah hari (hari).

2.6.2.2. Pengambilan Data Evaporasi di Waduk

(2.24)

27
Relatif hanya sedikit waduk-waduk yang mempunyai perhitungan-perhitungan
penguapan yang dapat diandalkan untuk bisa dijabarkan dari budjet air secara kontinyu,
tetapi nilai-nilai dari periode tertentu sering dapat mengecek atau mengkalibrasikan
teknik-teknik lainnya. Bila kondisinya sedemikian rupa sehingga hasil-hasil yang
memuaskan tidak diperoleh dengan menggunakan budjet air, penguapan dari waduk
yang ada dapat ditentukan baik dengan pendekatan aerodinamis empiris maupun budjet
energi. Kedua metode ini sebaiknya dipakai dalam jangka pendek, mengingat mahalnya
biaya yang diperlukan.
Pengoperasian stasiun panci (di dekat waduk, tapi tak cukup dekat untuk
terpengaruh secara materiil olehnya) untuk pengambilan data, relatif tidak mahal dan
akan memberikan hasil-hasil evaporasi waduk yang sebenarnya. Beberapa reabilitas
akan diperoleh jika adveksi waduk bersihnya dihitung, tetapi item ini jarang sangat
penting kecuali evaporasi musiman atau bulanan dari penguapan tahunannya
diperlukan.
Untuk studi-studi desain waduk, semua data yang berhubungan bagi daerah
tersebut harus dianalisa dengan menggunakan semua teknik untuk mana datanya cocok
bila aspek-aspek ekonomi perencanaan sangat memungkinkan, jarang terdapat alasanalasan yang dapat dibenarkan untuk membangun waduk yang besar sebelum diperoleh
pengumpulan data yang sekurang-kurangnya 1 atau 2 tahun dari panci dan data
meteorologi yang berhubungan dengan lokasi proyek.
2.6.3
Kebutuhan Air Irigasi
2.6.3.1. Umum
Kebutuhan air irigasi adalah adalah jumlah volume air yang diperlukan untuk
memenuhi kebutuhan evapotranspirasi, kehilangan air, kebutuhan air untuk tanaman
dengan memperhatikan jumlah air yang disediakan oleh alam melalui hujan dan
kontribusi air tanah.
Penggunaan air irigasi ditetapakan dalam peraturan pemerintah no. 23 pasal 4
dan pasal 7 tahun 1992 tentang irigasi yaitu air irigasi digunakan untuk mengairi
tanaman, selain itu digunakan untuk pemukiman, ternak dan sebagainya. Untuk
memperoleh hasil produksi yang optimal pemberian air harus sesuai dengan jadwal
dengan jumlah dan waktu yang diperlukan tanaman.
Dalam pembangunan proyek irigasi banyaknya air diperlukan untuk pertanian
harus diketahui dengan tepat, sehingga pemberian air irigasi dapat diefisienkan dengan
maksimal.

28
Faktor-faktor yang mempengaruhi banyaknya pemakaian air irigasi adalah:

Jenis tanaman.

Cara pemberian air.

Jenis tanah.

Cara pengolahan dan pemeliharaan saluran serta bangunan (dengan


memperhitungkan kehilangan air berkisar 30% - 40%).
Waktu tanam yang berturutan yang berselang lebih dari dua minggu

sehingga memudahkan pergiliran air.

Pengolahan tanah.

Iklim dan cuaca, meliputi; curah hujan, angin, letak lintang,


kelembaban, dan suhu udara.

2.6.3.2. Perhitungan Kebutuhan Air Irigasi


Kebutuhan total air irigasi yang diukur pada pintu pengambilan dalam satu
periode adalah hasil kali kebutuhan air disawah dengan faktor efisien dan jumlah hari
dalam satu periode penanaman.
Rumus yang digunakan:
DR =

WR.A.T
Ki.1000

(2.25)

dengan:
DR

= kebutuhan air irigasi pada pitu pengambilan (m3).

WR

= kebutuhan air disawah (mm/hari).

= luas sawah yang diairi (ha).

Ki

= efisiensi irigasi (%).

= periode waktu pemberian air (hari).


= jumlah hari dalam 1 periode x 24 jam x 3600 detik.
Perkiraan kebutuhan air disawah:

1. Untuk tanaman padi


NFR = Cu + Pd + NR + P Re

(2.26)

2. Untuk tanaman palawija


NFR = Cu + P Re
dengan:
NFR

= kebutuhan air bersih disawah (l/dt/ha).

Cu

= kebutuhan air tanaman (mm/hari).

Pd

= Kebutuhan air untuk kebutuhan tanah (mm/hari).

(2.27)

29
NR

= Kebutuhan air untuk pembibitan (mmm/hari).

= Kebutuhan air karena perkolasi (mm/hari).

Re

= hujan efektif (mm).


Perkiraan kebutuhan air irigasi:

a. Untuk tanaman padi


IR = NFR/e

(2.28)

b. Untuk tanaman palawija


IR = (Etc Re)/e

(2.29)

dengan:
Etc

= penggunaan konsumtif (mm).

= kehilangan air akibat perkolasi (mm/hari).

= efisiensi irigasi secara keseluruhan (%).


Langkah-langkah dalam menentukan besarnya kebutuhan air bagi tanaman dapat

ditentukan sebagai berikut:


1.

Menghitung evaporasi potensial.

2.

Menghitung kebutuhan air tanaman.

3.

Menentukan laju perkolasi lahan.

4.

Menentukan kebutuhan air untuk pengolahan lahan dan pertanian.

5.

Menghitung curah hujan efektif.

6.

Menentukan koefisien tanaman.

7.

Menghitung kebutuhan air disawah.

8.

Menentukan efisien irigasi.

9.

Perhitungan kebutuhan air irigasi.

2.6.4

Kebutuhan Air Baku


Nilai-nilai parameter mutu yang dipergunakan untuk meninjau kecocokan suatu

air tertentu bagi pemakaian tertentu sering disebut kriteria. Kriteria mutu air adalah
nilai-nilai yang didasarkan pada pengalaman dan kenyataan ilmiah yang dapat
dipergunakan oleh pemakainya untuk menetapkan manfaat-manfaat relatif dari air
tertentu, sedangkan baku mutu air biasanya untuk menetapkan taraf-taraf batas bagi
berbagai bahan kandungan yang dapat disetujui sesuai dengan tujuan pemanfaatan atau
pemanfaatan-pemanfaatannya.
Baku mutu air biasanya didasarkan pada salah satu atau beberapa hal dibawah
ini:
1.

Praktek yang diterapkan atau yang sudah berjalan.

30
2.

Perolehan (baku tersebut harus dapat diperoleh dengan mudah atau


dengan wajar).

3.

Pemukiran ilmiah dengan mempergunakan informasi terbaik yang ada.

4.

Percobaan-percobaan.

5.

Pengalaman berdasarkan akibat terhadap manusia.


Dibawah ini disajikan nilai-nilai baku air minimum berdasarkan ciri-ciri fisik

dan kimianya.
Tabel 2.5 Ciri-Ciri Fisik
Ciri-Ciri Fisik
Batas yang Diijinkan
Kekeruhan
1 satuan
Warna
15 satuan
Bau
3 angka ambang bau
Sumber: Drinking Water Standard and Guidelines
Tabel 2.6 Ciri-Ciri Kimiawi dalam Miligram Perliter
Unsur
Atsenikum (As)
Barium (Ba)
Kadmium (Cd)
Klorida (Cl)
Chromium
Tembaga (Cu)
Ekstrak Chloroform Carbon (CCC)
Sianida (CN)
Fluorida (F)
Besi (Fe)
Timah (Pb)
Mangan (Mn)
Mercury (Hg)
Bahan methylene biru aktif
Nitrogen nitrat (NO3 sebagai N)
Selenium (Se)
Perak (Ag)
Sulfat (SO4)
Bahan padat terlarut semua
Seng (Zn)
Aldrin
DDT
Dieldrin
Chlordane

Batas yang diijinkan


Estetika
Kesehatan
0,1
1,0
0,01
2,50
0,05
1,0
0,7
0,2
0,6-1,8
0,3
0,05
0,05
0,02
0,5
10,0
0,01
0,05
2,50
(tak terbatas)
5,0
(ditangguhkan)
(ditangguhkan)
(ditangguhkan)
0,00

31
Unsur

Batas yang diijinkan


Estetika
Kesehatan

Endrin
Hepta chlor
Hepta chlor epoxide
Lindane
Methoxy chlor
Toxaphene
0,005
Insektisida organophosphorus
Azodrin
0,003
Dichlorvos
0,01
Dimethoate
0,002
Ethion
0,02
Sumber: Drinking Water Standard and Guidelines

0,0002
0,0001
0,0001
0,004
0,1

2.6.5
Pembangkit Tenaga Listrik
2.6.5.1. Umum
Tujuan utama dari konsep dasar ini adalah dalam aspek pengembangan sumber
daya air seperti pemakaian air, pengaturan waduk dan sistem perencanaan menghasilkan
hal yang positif. Sebelum beberapa aspek tersebut memenuhi sasaran maka konsep
dasar dari teknik tenaga air perlu diketahui lebih dalam.
Perencanaan PLTA umumnya terdiri dari perencanaan dengan tinggi jatuh
rendah, perencanaan dengan tinggi jatuh menengah dan perencanaan dengan tinggi
jatuh tinggi.
Perencanaan dengan tinggi jatuh rendah berkisar antara beberapa feet sampai
kurang lebih 50 feet dengan tujuan mendapatkan debit yang besar. Sedangkan
perencanaan dengan tinggi jatuh menengah berkisar antara 50-200 feet, tentunya dalam
merencanakan dam yang tinggi khusus PLTA adalah cukup mahal sehingga biasanya
perencanaan ini dipilih jika kebetulan pada daerah sungainya ada terjunan. Sedangkan
perencanaan dengan tinggi jatuh tinggi bekisar antara 200-5000 feet. Perencanaan ini
hampir sama dengan perencanaan tipe menengah yaitu menentukan lokasi yang sesuai,
mengalirkan air pada saluran terbuka dengan kemiringan yang kecil sampai mencapai
beda tinggi antara kanal dan sungai bagian bawah tempat rumah turbin sebesar mungkin
sedangkan jarak horisontal antara kanal dan sungai sekecil mungkin.
2.6.5.2. Turbin
Terdapat dua jenis turbin, yaitu turbin impuls dan turbin reaksi. Pada turbin
impuls, pancaran (jet) air bebas mendorong bagian turbin yang terbuka yang
ditempatkan pada tekanan atmosfir. Pada turbin reaksi, aliran air terjadi dengan tekanan
pada ruang tertutup. Meskipun energi yang diberikan pada turbin impuls adalah semata-

32
mata energi kinetik sedangkan turbin reaksi juga memanfaatkan tekanan disamping
energi kinetik, tetapi kedua jenis turbin tersebut tergantung kepada perubahan
momentum dari air, sehingga gaya dinamiklah yang berputar atau runner dari turbin
tersebut.
Untuk PLTA pada umumnya turbin yang dipakai biasanya turbin reaksi. Pada
dasarnya turbin reaksi dibedakan menjadi dua yaitu:

Turbin Francis.

Turbin baling-baling.
Pada turbin Francis yang biasa air masuk kedalam rumah siput dan bergerak

kedalam runner melalui sederet sudut pengatur dengan celah-celah penyempitan yang
mengubah tinggi tekanan menjadi tinggi kecepatan.
Turbin baling-baling adalah suatu mesin yang digerakkan oleh gerakan aksial
dengan runnernya diletakkan di dalam saluran tertutup. Ada satu jenis lagi turbin reaksi
yang sering dipakai yaitu turbin kaplan. Turbin kaplan adalah suatu turbin baling-baling
dengan daun baling-baling yang dapat bergerak dan gerak majunya dapat diatur agar
sesuai dengan kondisi operasi yang baik.
2.6.5.3. PLTA di Waduk
PLTA di waduk adalah PLTA yang mempunyai tampungan air yang ukurannya
cukup untuk memungkinkan penampungan air kelebihan musim hujan guna musim
kemarau yang dimaksud untuk mengatur pastinya aliran air yang lebih dari pada aliran
alamiah minimum. Suatu PLTA aliran sungai biasanya hanya mempunyai kapasitas
waduk yang terbatas dan hanya dapat mempergunakan air bila memang datang.
Suatu pengembangan tenaga air umumnya meliputi sebuah bangunan sadap,
suatu pipa saluran (pipa pesat) untuk mengaliri air ke turbin, turbin-turbin dengan
mekanisme pengaturnya, generator pelengkapan kontrol dan tombol penghubung,
rumah peralatan, transfromator dan jarak transmisi ke pusat-pusat distribusi.
Dalam waduk, biasanya PLTA dibangun dengan dilengkapi pompa untuk
membangkitkan energi untuk beban puncak, tetapi pada waktu-waktu tertentu diluar itu
airnya dipompa dari kolam air buangan ke kolam hulu untuk pemanfataan yang akan
datang. Pompa ini memiliki nilai ekonomis tambahan bagi jaringan daya yang
bersangkutan. Penentuan PLTA di waduk dapat diperhitungkan tanpa memperhatikan
tampungan (ROR = Run Of River) atau dengan memperhatikan tampungan harian:
1.

PLTA di waduk tanpa tampungan (ROR) dengan menggambarkan lengkung


durasi atau hubungan antar debit dengan presentasi waktu

33
2.

PLTA dengan tampungan harian (ROR)


Q2 = .Q1

(2.30)

dengan:
Q2 = debit dengan adanya tampungan.
Q1 = debit tanpa adanya tampungan.
= perbandingan jumlah jam operasi tanpa adanya tampungan dengan adanya
tampungan.
Pada waduk yang mempunyai aktif tertentu, waduk membangkitkan daya
PLTA sesuai dengan debit outflow yang tersedia. Rumus pembangkitan tenaga PLTA
adalah sebagai berikut:
Pw = 9,8 EffPLTA . Q . He

(2.31)

dengan:
Pw

= daya pembangkit PLTA (kw).

EffPLTA = efisiensi PLTA (%).


Q

= debit outflow yang lewat PLTA (m3/det).

He

= head efektif dari PLTA (m).


Head efektif suatu PLTA dapat dicari dari hubungan berikut:
He = El.MAW El.TWL Head loss

(2.32)

dengan:
El.MAW

= elevasi Muka Air Waduk (m).

El. TWL= elevasi Tail Water Level di saluran tailrace (m).


Head loss = kehilangan tinggi di penstock dan waterway.
2.7. Peluang Kegagalan Operasi Waduk
2.7.1. Umum
Penilaian kuantitatif kegagalan waduk dapat didasarkan pada kegagalan menurut
jumlah kejadian (occurance based probability) maupun jumlah kekurangan air (volume
based probability). Peluang keandalan dalam operasi waduk didefinisikan sebagai
hubungan antara volume waduk dengan volume kebutuhan air, atau bila dinyatakan
dalam persamaan adalah sebagai berikut:
Rv =

volume nyata yang di suplai dari waduk


permintaan kebutuhan air

(2.33)

2.7.2. Periode Kritis


Periode kritis (critical period), yaitu periode dimana sebuah waduk berubah dari
kondisi penuh ke kondisi kosong tanpa melimpah selama periode tersebut. Awal periode

34
kritis adalah waduk dalam keadaan penuh, akhir periode kritis adalah ketika waduk
pertama kali kosong. Jadi hanya satu kali kegagalan yang bisa terjadi selama periode
kritis. Definisi tersebut tidak diterima sepenuhnya, misalnya

U.S. Army Corps of

Engineer (1975) menetapkan periode kritis mulai dari kondisi penuh melewati
kekosongan dan kembali ke kondisi penuh serta memakai istilah periode muka air surut
kritis (Critical drawdown period) terhadap perubahan tingkat penuh ke tingkat kosong.
Selanjutnya yang dipakai dalam analisa adalah definisi dari U.S. Army Corps of
Engineer.
2.7.3. Probabilitas Keandalan Debit
Probabilitas kejadian suatu peristiwa ditentukan oleh perbandingan antara
banyaknya kejadian terhadap jumlah kejadian yang mungkin dan kejadian yang tidak
mungkin (berpeluang atau yang tidak berpeluang). Kejadian suatu peristiwa biasanya
dinamakan keberhasilan, sedangkan kejadian yang tidak mungkin dinamakan
kegagalan.
Probabilitas keandalan debit adalah suatu kemampuan debit yang tersedia guna
memenuhi suatu perencanaan tertentu sepanjang satu periode, dengan resiko kegagalan
yang telah diperhitungkan.
2.7.4. Probabilitas Keandalan Tampungan
Suatu waduk lazim dikatakan andal apabila waduk tersebut mampu menjamin
kebutuhan minimum yang diperlukan. Penentuan yang didasarkan pada analisa catatan
historis tak dapat memberikan bukti-bukti keandalan suatu waduk.
Adapun probabilitas keandalan tampungan adalah kemampuan suatu tampungan
untuk menyediakan kebutuhan air yang direncanakan guna memenuhi kebutuhan, untuk
lebih jelasnya dapat dipakai kurva-kurva probabilitas lapangan. Kurva tersebut
menunjukan probabilitas bahwa alirannya selama suatu periode dimasa yang akan
datang yang sama dengan panjang rangkaiannya ternyata akan mampu mempertahankan
jumlah kebutuhan yang diingini tanpa mengalami penurunan. Suatu reabilitas 0,99
menunjukan bahwa hanya 1 dari 100 rangkaian yang akan mengalami penurunan,
misalnya suatu waduk dengan kapasitas tertentu memberikan jaminan 99% kesuksesan
pengoperasian selama umur proyek.

You might also like