You are on page 1of 16

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori


2.1.1 Miopia
Miopia merupakan suatu gangguan tajam penglihatan, di mana sinar-sinar
sejajar dengan garis pandang tanpa akomodasi akan dibiaskan di depan retina.
Miopia merupakan salah satu gangguan refraksi yang memiliki prevalensi tinggi
di dunia. Kelainan refraksi jenis ini merupakan jenis kelainan mata yang
menyebabkan penderitanya tidak dapat melihat benda dari jarak jauh dengan baik
(Linda J. dan Vorvick, 2012).
Miopia terjadi karena panjang bola mata anteroposterior terlalu besar atau
kekuatan pembiasan media refraksi terlalu kuat (Ilyas, 2012). Selain itu miopia
terjadi karena kornea dan lensa yang terlalu melengkung dari panjang bola mata.
Miopia biasanya mulai terjadi pada masa kanak-kanak dan resiko terjadinya
miopia lebih tinggi pada anak yang kedua orang tuanya menderita miopia (Bailey,
2012).
2.1.1.1 Faktor risiko
Ada beberapa hal yang dapat menjadi faktor risiko terjadinya miopia,
diantaranya:
a. Keturunan (Herediter)
Didapatkan bukti yang signifikan bahwa miopia dapat terjadi karena
adanya faktor herediter, jika kedua orang tua menderita miopia maka
kecenderungan anaknya 40% akan menderita miopia, dan anak yang salah
satu orang tuanya menderita miopia memiliki risiko 20-25% menderita
miopia, sedangkan anak yang kedua orang tuanya tidak menderita miopia
hanya memiliki risiko 10% menderita miopia (Rebekah, 2005).
b. Stres penglihatan

Selain faktor herediter, miopia sangat dipengaruhi terhadap bagaimana


cara seseorang menggunakan matanya. Seseorang yang menghabiskan
terlalu banyak waktu untuk membaca, menonton Televisi dan melakukan
pekerjaan dengan menggunakan penglihatan dekat cenderung mengalami
miopia (American Optometric Assosiation, 2013).
c. Aktivitas melihat dekat yang terlalu lama.
Anak yang melakukan aktivitas melihat dekat seperti membaca yang
terlalu lama >30 menit cenderung mengalami miopia dari pada anak yang
membaca <30 menit. Anak yang membaca dengan jarak <30cm cenderung
mengalami miopia 2,5 kali dari anak yang membaca dengan jarak >30cm
(Pan, Ramhamurty, dan Saw, 2011).
Singapore Cohort Study of the risk factors for myopia (SCORM)
menemukan bahwa anak-anak yang membaca > 2 buku per minggu 3 kali
lebih mungkin menderita miopia dibandingkan dengan yang membaca
<2 buku per minggu. Anak-anak yang membaca selama > 2 jam 1,5 kali
lebih mungkin untuk menderita miopia dibandingkan dengan yang
membaca <2 jam, namun hal ini tidak signifikan. Setiap buku yang dibaca
per minggu, dikaitkan dengan pemanjangan aksial bola mata dari 0,04mm.
Anak-anak yang membaca lebih dari dua buku per minggu memiliki
Panjang aksial 0,17mm lebih panjang dibandingkan dengan anak-anak
yang membaca dua buku atau lebih sedikit per minggu (Pan, Ramhamurty,
dan Saw, 2011).
d. Pada beberapa penelitian yang dilakukan di Cina, tinggi badan memiliki
pengaruh terhadap kejadian miopia, khususnya pada orang dewasa.
Penelitian lain melaporkan bahwa terdapat hubungan tinggi badan dengan
kelainan refraksi diantara anak laki-laki Cina, namun tidak ditemukannya
hubungan yang bermakna pada anak perempuan Cina. Sedangkan pada
penelitian yang dilakukan pada anak laki-laki yang berusia 17-19 tahun di
Israel menyimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara
tinggi badan dengan kejadian miopia. Oleh sebab itu hubungan antara
tinggi badan dengan kejadian miopia belum dapat dipastikan.

Penelitian terakhir yang menunjukkan hubungan antara tinggi badan


dengan kejadian miopia dilakukan oleh Jung dkk dan menyimpulkan
bahwa tidak terdapat hubungan antara tinggi badan dengan kejadian
miopia (Jung, et al. 2012).

2.1.1.2 Klasifikasi
Menurut ciri anatomisnya miopia dibagi menjadi :
a. Miopia refraktif, dimana bertambahnya indeks bias media penglihatan
seperti yang terjadi pada katarak intumensen dimana lensa menjadi lebih
cembung sehingga pembiasan lebih kuat. Sama dengan miopia bias atau
miopia indeks, miopia yang terjadi akibat pembiasan media penglihatan
kornea dan lensa yang terlalu kuat.
b. Miopia aksial, miopia akibat panjangnya sumbu bola mata dengan
kelengkungan kornea dan lensa yang normal. (Ilyas, 2012)
Menurut derajat beratnya miopia dibagi dalam :
a. Miopia ringan, dimana miopia kecil dari pada 1-3 dioptri.
b. Miopia sedang, dimana miopia lebih antara 3-6 dioptri.
c. Miopia berat atau tinggi, dimana miopia lebih besar dari 6 dioptri.
Menurut perjalanan penyakitnya miopia dikenal dalam bentuk :
a. Miopia stasioner, miopia yang menetap setelah dewasa
b. Miopia progresif, miopia yang bertambah terus pada usia dewasa
akibat bertambah panjangnya bola mata
c. Miopia maligna, miopia berjalan progresif, yang dapat mengakibatkan
ablasi retina dan kebutaan atau sama dengan Miopia pernisiosa =
miopia maligna = miopia degeneratif. Miopia degeneratif atau miopia
maligna biasanya bila miopia lebih dari 6 dioptri disertai kelainan pada
fundus okuli dan pada panjangnya bola mata sampai terbentuk
stafiloma postikum yang terletak pada bagian temporal papil disertai
dengan atrofi korioretina. Atrofi retina berjalan kemudian setelah
terjadi atrofi sklera dan kadang-kadang terjadi ruptur membran Bruch

yang dapat menimbulkan rangsangan untuk terjadinya neovaskularisasi


subretina.
Secara klinis dan berdasarkan kelainan patologi yang terjadi pada
mata, miopia dapat dibagi menjadi:
1. Miopia Simpleks : Terjadinya kelainan fundus ringan. Kelainan
fundus yang ringan ini berupa kresen miopia yang ringan dan
berkembang sangat lambat. Biasanya tidak terjadi kelainan organik
dan dengan lensa koreksi yang sesuai bisa mencapai tajam
penglihatan normal. Berat kelainan refraksi yang terjadi biasanya
kurang dari -6D. Keadaan ini disebut juga dengan miopia fisiologi.
2. Miopia Patologis : Disebut juga sebagai miopia degeneratif, miopia
maligna atau miopia progresif. Keadaan ini dapat ditemukan pada
semua umur dan terjadi sejak lahir. Tanda-tanda miopia maligna
adalah adanya progresifitas kelainan fundus yang khas pada
pemeriksaan oftalmoskopik. Pada anak-anak diagnosis ini sudah
dapat dibuat jika terdapat peningkatan tingkat keparahan miopia
dengan waktu yang relatif pendek. Kelainan refrasi yang terdapat
pada miopia patologik biasanya melebihi -6 D (Ilyas, 2012).
Menurut David A.Goss miopia patologi adalah miopia tinggi yang
terkait dengan perubahan patologi terutama di segmen posterior
mata. Tingginya derajat miopia ini disebabkan peningkatan
panjang aksial bola mata.
Grosvenor mengklasifikasikan miopia berdasarkan umur menjadi :
1. Miopia kongenital, miopia yang terjadi sejak lahir dan menetap
pada masa kanak-kanak.
2. Miopia onset anak-anak, miopia yang terjadi saat usia 6 tahun
sampai 10 tahun.
3. Miopia onset dewasa muda, yaitu miopia yang terjadi antara usia
20 dan 40 tahun.
4. Miopia onset dewasa, yaitu miopia yang terjadi diatas usia 40
tahun.

Menurut American Optometric Association (2006), miopia secara


klinis dapat dibagi menjadi :
1. Miopia Simpleks : Miopia yang disebabkan oleh dimensi bola mata
yang terlalu panjang atau indeks bias kornea maupun lensa yang
terlalu kuat.
2. Miopia Nokturnal : Miopia yang hanya terjadi pada saat kondisi di
sekeliling kurang cahaya. Sebenarnya, fokus titik jauh mata
seseorang bervariasi terhadap tahap pencahayaan yang ada.
Penyebab miopia ini adalah pupil yang membuka terlalu lebar
untuk memasukkan lebih banyak cahaya, sehingga menimbulkan
aberasi dan menambah kondisi miopia.
3. Pseudomiopia : Diakibatkan oleh rangsangan yang berlebihan
terhadap mekanisme akomodasi sehingga terjadi kekejangan pada
otot-otot siliaris yang memegang lensa. Di Indonesia, disebut
dengan miopia palsu, karena memang sifat miopia ini hanya
sementara sampai kekejangan akomodasinya dapat direlaksasikan.
Untuk kasus ini, tidak boleh terburu-buru memberikan lensa
koreksi.
4. Miopia Degeneretif : Disebut juga sebagai miopia degeneratif,
miopia maligna atau miopia progresif. Biasanya merupakan miopia
derajat tinggi dan tajam penglihatannya di bawah normal meskipun
telah mendapat koreksi. Miopia jenis ini bertambah buruk dari
waktu ke waktu.
5. Miopia Induksi : Miopia yang diakibatkan oleh pemakaian obatobatan, naik turunnya kadar gula darah, terjadinya sklerosis pada
nukleus lensa dan sebagainya.

2.1.1.3 Patofisiologi
Struktur refraktif mata yang paling penting dalam kemampuan refraktif
mata adalah kornea dan lensa. Permukaan kornea yang melengkung, struktur
pertama yang dilewati oleh sinar sewaktu sinar tersebut memasuki mata

berperan paling besar dalam kemampuan refraktif total mata karena perbedaan
dalam densitas pada pertemuan udara-kornea jauh lebih besar daripada
perbedaan dalam densitas antara lensa dan cairan disekitarnya. Kemampuan
refraktif kornea seseorang tidak pernah berubah. Sebaliknya, kemampuan
refraktif lensa dapat diubah-ubah dengan mengubah kelengkungannya sesuai
dengan kebutuhan untuk melihat dekat atau jauh (Sherwood, 2007).
Kemampuan menyesuaikan kekuatan lensa dikenal sebagai akomodasi.
Kekuatan lensa bergantung pada bentuknya, yang selanjutnya dikendalikan
oleh otot siliaris. Otot siliaris adalah suatu cincin melingkar otot polos yang
melekat pada lensa melalui ligamentum suspensorium. Pada mata normal, otot
siliaris melemas dan lensa menjadi gepeng untuk melihat jauh, tetapi saat
melihat dekat otot ini berkontraksi agar lensa menjadi lebih konveks dan lebih
kuat (Sherwood, 2007).
Pada miopia, karena bola mata terlalu panjang atau lensa terlalu kuat,
maka sumber cahaya dekat dibawa ke fokus di retina tanpa akomodasi
(meskipun akomodasi dalam keadaan normal digunakan untuk melihat benda
dekat), sementara sumber cahaya jauh terfokus di depan retina dan tampak
kabur ( Sherwood, 2007).
Pada aktivitas melihat dekat seperti saat membaca, menonton TV, dan
bermain video game yang terlalu lama dapat menyebabkan miopia melalui efek
fisik langsung secara terus menerus, hal ini disebabkan oleh mata terlalu lama
berakomodasi pada saat melihat dekat sehingga otot siliaris akan terus
berkontraksi yang menyebabkan tonus otot siliaris menjadi tinggi dan lensa
menjadi cembung (Medicinesia, 2013). Namun berdasarkan teori terbaru
aktivitas melihat dekat yang lama menyebabkan terbentuknya bayangan buram
di retina (retinal blur) yang terjadi selama fokus dekat. Bayangan buram ini
memulai proses biokimia pada retina untuk menstimulasi perubahan biokimia
dan struktural pada sklera dan koroid yang menyebabkan pemanjangan axis
bola mata (Fredrick, 2002).

Hal yang menginisiasi pemanjangan axis bola mata merupakan peran


neuromodulator seperti dopamin, serotonin, dan neuropeptida. Pelepasan
neuromodulator akan menyebabkan perubahan struktur sklera yang dimodulasi
oleh

pembentukan

proteoglikan.

Meningkatnya

jumlah

proteoglikan

menyebabkan peningkatan pertumbuhan panjang axis bola mata. Akibat dari


spasme otot siliaris, maka tidak diperlukan lagi akomodasi sewaktu melihat
dekat sehingga akan menurunkan pelepasan dari neuromodulator. Hal inilah
yang mengakibatkan pemanjangan axis bola mata (Troilo, Nickla dan Wallman,
2000).
Penelitian yang dilakukan di Inggris oleh Sorbsy dkk, menemukan bahwa
selama masa kanak-kanak terjadi peningkatan panjang bola mata dan
penurunan kekuatan indeks bias mata (Benjamin, 2006).

Gambar 1. Mata normal, bayangan jatuh tepat di retina


Sumber : IVO (Institute of Vision and Optics) Myopia, 2012.

Gambar 2. Mata penderita miopia, bayangan jatuh di depan retina.


Sumber : IVO (Institute of Vision and Optics) Myopia, 2012

2.1.1.4 Prevalensi
Insiden miopia dalam populasi sering bervariasi sesuai dengan usia, ras,
jenis kelamin, etnis, pekerjaan, lingkungan, dan faktor lainnya. Di beberapa
daerah, seperti Cina, India dan Malaysia, memiliki prevalensi miopia sebesar
41% dari populasi orang dewasa. Sebuah penelitian terbaru di inggris yang
melibatkan mahasiswa tahun pertama menemukan bahwa 50% dari mahasiswa
inggris yang berkulit putih dan 53,4% mahasiswa British Asia menderita
miopia. Di Australia, prevalensi keseluruhan miopia telah diperkirakan 17%.
Dalam satu studi baru, kurang dari 8,4% anak-anak Australia antara usia 4 dan
12 ditemukan memiliki miopia lebih dari -0,5 dioptri. Prevalensi miopia telah
dilaporkan setinggi 70-90% di beberapa negara Asia, 30-40% di Eropa dan
Amerika Serikat, dan 10-20% di Afrika. Di Yunani, ditemukan 36,8% anak
yang berusia 15 sampai 18 tahun menderita miopia. (Medical News, 2012)

2.1.1.5 Tatalaksana
Pengobatan pasien dengan miopia adalah dengan memberikan kacamata
maupun lensa kontak sferis negatif terkecil yang memberikan ketajaman
penglihatan maksimal. Sebagai contoh bila pasien dikoreksi dengan -3.0
memberikan tajam penglihatan 6/6, dan demikian juga bila diberi S-3.25 maka
sebaiknya diberikan lensa koreksi -3.0 agar memberikan istirahat mata dengan
baik sesudah dikoreksi (Ilyas, 2012).
Pengobatan miopia dengan menggunakan lensa kontak dari kaca atau
plastik dapat diletakkan di permukaan kornea. Lensa ini dipertahankan di
tempatnya oleh lapisam tipis air mata yang mengisi ruang antara lensa kontak
dan permukaan depan mata.
Sifat khusus lensa kontak dapat menghilangkan hampir semua pembiasan
yang terjadi di permukaan anterior kornea. Karena air mata mempunyai indeks
bias yang hampir sama dengan kornea menyebabkan permukaan anterior
kornea tidak lagi berperan penting sebagai bagian dari sistem optik mata.
Dengan demikian permukaan luar lensa kontaklah yang lebih berperan penting.
Jadi, pembiasan oleh permukaan lensa kontak ini menggantikan pembiasan
yang biasanya dilakukan oleh kornea. Hal ini penting tetutama pada kelainan
refraksi mata yang disebabkan oleh abnormalitas bentuk kornea, misalnya
bentuk kornea yang aneh dan menonjol yang disebut keratokonus (Guyton,
2008).
Ilmuwan Universitas New South Wales, Australia, menemukan lensa
kontak khusus yang dapat digunakan untuk menyembuhkan miopia.
Lensa khusus tersebut diberi nama lensa kontak Orthokeratology dan hanya
dikenakan pada waktu malam hari. Desain lensa kontak Orthokeratologi
dikenal dengan nama reverse geometri / reverse zone dimana fitting lensanya
adalah flat pada bagian tengahnya. Fitting ini bertujuan untuk menghasilkan
tekanan pada sentral kornea sehingga dapat membentuk kembali atau
meredistribusi lapisan kornea. Lensa kontak tersebut akan menghasilkan

perubahan pada kelengkungan kornea bagian anterior. Perubahan ini terjadi


karena adanya penipisan pada epitel sentral kornea dan penebalan pada storma
midpheriper. Ini akan menghasilkan pengurangan pada sagital kornea dan
terjadi pengurangan pada power miopia. Pada Orthokeratologi tidak terjadi
perubahan kelengkungan kornea posterior (Veronica, 2010).
Pengobatan miopia juga dapat menggunakan prosedur bedah yang
disebut dengan LASIK. LASIK merupakan prosedur bedah dengan
menggunakan sebuah laser untuk mengurangi ketebalan kornea, sehingga
cahaya jatuh tepat di retina (Vorvick et al, 2012).
2.1.1.6 Preventif
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam upaya pencegahan
terjadinya miopia seperti :
a. Saat membaca jarak buku minimal 30 sentimeter dari mata.
b. Hindari membaca atau menulis dalam kendaraan yang bergerak atau
sambil berbaring di tempat tidur.
c. Hindari bekerja terlalu lama di depan layar komputer dan gunakan
waktu 5 sampai 10 menit untuk beristirahat setelah 40 menit bekerja
di depan layar komputer.
d. Gunakan pencahayaan yang baik saat membaca jarak dekat.
Dianjurkan menggunakan lampu 40 sampai 60 watt lampu pijar di
sisi meja saat malam hari atau ketika berada diruangan yang gelap.
Lampu pijar mengeluarkan cahaya yang lembut dan memiliki
perkembangan warna yang baik untuk menjaga otot mata tetap rileks
dan mencegah kelelahan mata.
e. Nutrisi memiliki peranan penting untuk menjaga mata agar tetap
sehat. Rajinlah mengkonsumsi Vitamin A, C dan E dan perlu diingat
bahwa makanan seperti susu dan kuning telur, hati, sayuran berdaun
hijau dan wortel juga sehat untuk mata (Prmob, 2012).

2.1.2 Jarak melihat dekat.

2.1.2.1 Jarak sehat saat melihat dekat.


Saat menonton Televisi ada aturan-aturan yang harus ditaati agar tidak
menimbulkan efek yang tidak baik pada mata. Salah satunya adalah jarak
layar monitor Televisi ke mata harus mengikuti perhitungan standar yang
berlaku secara internasional. Rumus jarak layar Televisi ke mata penonton
adalah 5 kali diagonal layar.
Jika aturan jarak tersebut dilanggar maka kesehatan mata bisa terancam.
Terutama pada anak-anak, jarak menonton yang terlalu dekat dapat
menyebabkan terjadinya miopia.

Rumus menghitung jarak layar Televisi terhadap mata penonton :


Besar ukuran layar Televisi (inchi) x 5

berikut ini jarak aman menonton Televisi berdasarkan rumus tersebut dan
hanya terpaut dari ukuran layar televisi yang populer di Indonesia:
1. 14 inchi = 1,78 meter
2. 17 inchi = 2,16 meter
3. 20 inchi = 2,54 meter
4. 21 inchi = 2,67 meter
5. 29 inchi = 3,67 meter

6. 32 inchi = 4,07 meter


7. 50 inchi = 6,35 meter
Keterangan :
-

Diagonal layar adalah jarak ujung layar kiri atas ke ujung layar kanan
bawah.

Inchi (") adalah satuan jarak non standar internasional dimana 1 inch sama
dengan 0.0254 meter.

Untuk ukuran layar Televisi yang lain bisa dihitung dengan mengalikan
diagonal layar dengan 5 lalu dikali lagi 0,0254 (Godam, 2009).

Jarak dan posisi saat membaca sangat erat kaitannya dengan kesehatan
mata. Apabila terbiasa melihat dari jarak dekat (kurang dari 30 cm) secara terus
menerus, maka otot mata akan terus berkontraksi dan bekerja terus menerus,
sehingga akan menyebabkan lensa mata semakin cembung, dan akan
menyebabkan terjadinya miopia, atau mata tidak dapat melihat objek yang
jauh. Menurut Julie, jarak aman (dihitung dari mata ke objek yang dilihat)
untuk membaca minimum 30 cm atau lebih.
Ketajaman penglihatan yang menurun, selain disebabkan karena posisi
membaca atau menonton Televisi yang terlalu dekat, dapat diakibatkan karena
pencahayaan yang kurang. Hal ini bisa saja karena memang lampu yang redup
atau karena posisi pada saat membaca, misalnya sambil berbaring. Kebiasaan
membaca sambil berbaring, akan mengakibatkan mata bekerja lebih keras,
karena cahaya akan terhalang oleh buku atau kepala, sehingga mata kurang
mendapat pencahayaan yang cukup. Maka, posisi yang baik pada saat
membaca adalah duduk (Nestle, 2012).

2.1.2.2 Kelebihan dan Kekurangan Monitor CRT dan LCD


a) Chatode-ray tube (CRT)
Chatode-ray tube atau disingkat CRT merupakan perangkat yang
mengubah signal listrik menjadi signal optical melalui proses
penembakan electron (electron beam). CRT banyak dipakai sebagai
peralatan televisi, osiloskop, radar sistem dan lain sebagainya.
Pada monitor CRT radiasinya cukup besar dibanding dengan
monitor LCD sehingga cepat menimbulkan kelelahan mata.
b) Liquid Crystal Display (LCD)
Liquid

Crystal

Display

adalah

teknologi

display

yang

menggunakan sifat isotropic dari suatu bahan material organic


yang berbentuk liquid-crystal karena pengaruh medan listrik.
Setiap pixel dari suatu LCD terdiri dari lapisan liquid-crystal
yang diapit oleh 2 elektrode transparan (transparent electrodes)
yang terbuat dari Indium Tin Oxide (ITO) dan 2 filter polarisasi
(polarizing filter). Tanpa adanya liquid-crystal di lapisan tengah
makan 2 filter polarisasi akan saling menghalangi masuknya
cahaya

sehingga

tampak

sebagai

warna

hitam.

Dengan

mengalirkan listrik melalui kedua elektrode transparan akan


memberikan medan listrik pada liquid-crystal sehingga partikel
didalamnya akan mempolarisasi (memutar) gelombang cahaya
yang masuk dan dapat melalui filter polarisasi pada kedua lapisan
sehingga cahaya dapat menembus filter dan tampak warna yang
ada dilapisan akhir LCD. Pada monitor LCD radiasinya lebih kecil
dibanding dengan CRT sehingga tidak menyebabkan mata mudah
lelah dan lebih nyaman di mata (Bambang, 2011).
2.1.3 Durasi melihat jarak dekat

Waktu yang dihabiskan untuk menonton Televisi, membaca dan kegiatan


yang membutuhkan penglihatan jarak dekat sangat mempengaruhi kesehatan
mata. Saat membaca waktu yang dihabiskan sebaiknya tidak lebih dari satu
jam. Bila ingin lebih, harus diselingi istirahat minimal 15 menit sebelum
membaca kembali. Namun, waktu yang dihabiskan anak saat membaca sangat
bervariasi, bergantung 'jenis' matanya. Anak yang kemampuan otot-otot
fokusnya sangat kuat bisa membaca lebih dari 2 jam tanpa istirahat. Mereka
biasanya mampu membaca lebih lama tanpa ada tanda-tanda kelelahan mata
seperti pedih, atau mengedip-kedip mata. Disarankan setelah selesai membaca
pandangan dialihkan pada benda-benda berwarna hijau. Pengalihan ini
membantu lapisan dalam bola mata yang bertugas menangkap warna dan
cahaya hingga terbentuk zona rodopsin. Adanya zona ini akan mengaktifkan
pengikatan rodopsin (salah satu senyawa vitamin A) sekaligus membantu
metabolisme di retina (Melawai Optik, 2012).
2.1.4 Pencahayaan ruangan
Pencahayaan di ruangan adalah salah satu sumber cahaya yang menerangi
benda-benda diruangan. Pencahayaan dapat berasal dari cahaya alami dan
cahaya buatan. Selain itu pencahayaan yang memadai memberikan kesan
pemandangan yang lebih baik dan keadaan lingkungan yang menyegarkan.
Permasalahan pencahayaan meliputi kemampuan manusia untuk melihat
sesuatu. Pada aktivitas membaca, menulis, dan pekerjaan yang menggunakan
penglihatan dekat akan menyebabkan semakin tinggi kerja mata, oleh sebab itu
cahaya yang dibutuhkan lebih besar. Kualitas cahaya yang baik apabila cahaya
mampu menampilkan warna asli objek. Pada saat menonton TV atau melihat
layar komputer tingkat cahaya layar sangat berbeda dari tingkat cahaya di
lingkungan sekitarnya. Oleh sebab itu perlu disesuaikan tingkat cahaya layar
TV atau komputer yang berguna untuk menjaga kesehatan mata.
Menurut Prabu (2009), Untuk mendapatkan pencahayaan yang sesuai
dalam suatu ruang, maka diperlukan sistem pencahayaan yang tepat sesuai

dengan kebutuhannya. Sistem pencahayaan di ruangan dapat dibedakan


menjadi 5 macam yaitu:
A. Sistem Pencahayaan Langsung (direct lighting)
Pada sistem ini 90-100% cahaya diarahkan secara langsung ke benda
yang perlu diterangi. Sistem ini dinilai paling efektif dalam mengatur
pencahayaan, tetapi ada kelemahannya karena dapat menimbulkan bahaya serta
kesilauan yang mengganggu, baik karena penyinaran langsung maupun karena
pantulan cahaya. Untuk efek yang optimal, disarankan langi-langit, dinding
serta benda yang ada didalam ruangan perlu diberi warna cerah agar tampak
menyegarkan.
B. Pencahayaan Semi Langsung (semi direct lighting)
Pada sistem ini 60-90% cahaya diarahkan langsung pada benda yang
perlu diterangi, sedangkan sisanya dipantulkan ke langit-langit dan dinding.
Dengan sistem ini kelemahan sistem pencahayaan langsung dapat dikurangi.
Diketahui bahwa langit-langit dan dinding yang diplester putih memiliki
effiesien pemantulan 90%, sedangkan apabila dicat putih effisien pemantulan
antara 5-90%
C. Sistem Pencahayaan Difus (general diffus lighting)
Pada sistem ini setengah cahaya 40-60% diarahkan pada benda yang
perlu disinari, sedangkan sisanya dipantulkan ke langit-langit dan dindng.
Dalam

pencahayaan

sistem

ini

termasuk

sistem direct-indirect yakni

memancarkan setengah cahaya ke bawah dan sisanya keatas. Pada sistem ini
masalah bayangan dan kesilauan masih ditemui.
D. Sistem Pencahayaan Semi Tidak Langsung (semi indirect lighting)
Pada sistem ini 60-90% cahaya diarahkan ke langit-langit dan dinding
bagian atas, sedangkan sisanya diarahkan ke bagian bawah. Untuk hasil yang
optimal disarankan langit-langit perlu diberikan perhatian serta dirawat dengan

baik. Pada sistem ini masalah bayangan praktis tidak ada serta kesilauan dapat
dikurangi.
E. Sistem Pencahayaan Tidak Langsung (indirect lighting)
Pada sistem ini 90-100% cahaya diarahkan ke langit-langit dan dinding
bagian atas kemudian dipantulkan untuk menerangi seluruh ruangan. Agar
seluruh langit-langit dapat menjadi sumber cahaya, perlu diberikan perhatian
dan pemeliharaan yang baik. Keuntungan sistem ini adalah tidak menimbulkan
bayangan dan kesilauan sedangkan kerugiannya mengurangi effisien cahaya
total yang jatuh pada permukaan kerja.

You might also like