Professional Documents
Culture Documents
Stroke merupakan penyebab paling umum terjadinya kejang pada usia lanjut yang me
rupakan salah satu sisa gejala neurologis yang paling umum dari stroke. Sekitar
10% dari semua pasien stroke pernah mengalami kejang, dan kejang pasca stroke pa
da umumnya dimulai beberapa tahun kemudian setelah serangan stroke. Tinjauan pus
taka ini membahas mengenai epidemiologi, patogenesis, klasifikasi, manifestasi k
linis, studi diagnostik, diagnosa diferensial dan pengelolaan kejang yang berhub
ungan dengan berbagai lesi serebrovaskular, dengan fokus pada penggunaan antikon
vulsan pada usia lanjut. Kejang pasca stroke dan epilepsi pasca stroke merupakan
penyebab tersering dari sebagian besar pasien yang masuk rumah sakit, baik seba
gai gejala klinis ataupun sebagai komplikasi pasca stroke.Faktor usia menjadi fa
ktor risiko independen untuk stroke, dengan kecenderungan terjadinya peningkatan
kejadian dan prevalensi kejang pasca stroke dan epilepsy pasca stroke. Kejang s
ekunder pada penderita stroke telah ditemukan selama bertahuntahun dan dianggap
oleh beberapa pihak sebagai penyebab utama epilepsi pada orang tua.Meskipun frek
uensi kejang pasca stroke diperkirakan hanya berkisar antara 4% hingga 10%, namu
n banyak dari data ini hanya didasarkan pada studi retrospektif dan tanpa konfir
masi tomografi (CT) pada lesi atau jumlah pasien begitu kecil dan juga tidak ada
nya analisis statistik yang dapat diandalkan. Hal ini sering terjadi pada pasien
dengan malformasi arteriovenosa, stroke batang otak, perdarahan subarachnoid at
au riwayat kejang atau epilepsi. Asumsi sebelumnya seperti kejang lebih sering p
ada perdarahan otak atau stroke kardioembolik tidak ditunjang dengan bukti-bukti
yang kuat.
1
stroke iskemik mengandung jaringan elektrik yang dapat menjadi fokus untuk terja
dinya aktivitas kejang. Selain iskemia fokal, hipoperfusi global dapat menyebabk
an terjadinya kejang. Hipoksia iskemik ensefalopati merupakan salah satu penyeba
b tersering terjadinya status epileptikus dan memiliki prognosis yang buruk. Pad
a kejang onset lambat, terjadi perubahan terus-menerus dalam rangsangan saraf. T
erjadi pergantian parenkim yang sehat dengan sel-sel neuroglia dan sel imun. Seb
uah jaringan parut gliotik telah terlibat sebagai nidus untuk kejang onset lamba
t, sama seperti siktarik meningocerebral yang mungkin bertanggung jawab untuk ke
jadian onset lambat epilepsi pasca trauma. Sebuah lesi permanen muncul untuk men
jelaskan mengapa pada pasien epilepsi dengan onset lambat, frekuensi kejadian ke
jang lebih tinggi dibandingkan kejadian dengan onset cepat. Seperti dalam epilep
si pasca trauma, keterlambatan timbulnya serangan dari kejang pertama membawa ri
siko yang lebih tinggi untuk terjadi epilepsi. Pada pasien dengan stroke iskemik
didapatkan sekitar 35% pasien epilepsi muncul pada kejang onset cepat dan pada
90% pasien pada kejang onset lambat. Risiko epilepsi sebanding dengan pasien str
oke hemoragik, sekitar 29% pasien dengan epilepsi muncul pada kejang onset cepat
vs 93% dengan kejang onset lambat. Teori bahwa emboli kardiogenik ke otak memil
iki kemungkinan menyebabkan kejang akut masih menimbulkan kontroversi. Di antara
1640 pasien dengan iskemia serebral, kejadian yang terkait dengan penyakit jant
ung paling sering dikaitkan dengan kejang onset cepat (16,6%), bahkan jika diban
dingkan dengan hematoma supratentorial (16,2%). Namun, definisi mekanisme
kardiogenik dalam seri ini sering didasarkan pada kriteria tertentu.Beberapa pen
ulis masih mempertanyakan hubungan kejang dengan peristiwa
kardioembolik. Kejang pada saat onset bukanlah kriteria dalam data penelitian te
ntang penyakit jantung sebagai penyebab stroke. Secara intuitif, tidak ada
alasan untuk menduga bahwa lesi kardioembolikakan seperti emboli dari pembuluh d
arah besar mungkin dapat menyebabkan kejang, seperti emboli jantung dan pembuluh
darah besar sering melibatkan lesi pada cabang kortikal
4
distal. Mekanisme endapan emboli yang memicu kejang kortikal belum pasti, tetapi
kemungkinan mencakup depolarisasi di penumbra iskemik, reperfusi cepat setelah
fragmentasi dan migrasi distal embolus, atau kombinasi keduanya. Lokasi kortikal
merupakan salah satu faktor risiko yang paling dapat menyebabkan kejang pasca s
troke. Kejang pasca stroke lebih mungkin untuk terjadi pada pasien dengan lesi y
ang lebih besar yang melibatkan beberapa lobus otak dibandingkan dengan keterlib
atan lobus tunggal. Namun, setiap stroke subkortikal, kadang-kadang dapat dikait
kan dengan terjadinya kejang. Penelitian sebelumnya, mengandalkan pada teknik ne
uroimaging yang masih kurang
sensitifitasnya, tidak dapat mendeteksi lesi kortikal yang kecil yang menyebabka
n terjadinya aktivitas iktal. Mekanisme lesi subkortikal hemisfer otak, paling s
ering disebabkan oleh penyakit pada pembuluh darah kecil, oleh karena itu penyeb
ab kejang tidak dapat diketahui. Dianalogikan dengan keterlibatan kortikal pada
stroke iskemik, lokasi yang dianggap lebih epileptogenik pada pasien dengan perd
arahan intraserebral. Pada 123 pasien terjadi peningkatan kejadian kejang yang d
itandai dengan perdarahan dalam struktur kortikal lobar (54%), perdarahan retrom
amilar basal (19%) dan tidak ada pada perdarahan thalamus. Keterlibatan ganglia
basalis kaudatus dan temporal atau parietal pada korteks diprediksi akan terjadi
kejang. Perdarahan karena trombosis vena serebral biasanya muncul bersamaan den
gan kejang. Pada parenkim, seringnya pada kortikal, perdarahan berasal dari kong
esti vena lokal adalah kemungkinan penyebab terjadinya aktivitas kejang. Mekanis
me kejang oleh karena pendarahan tidak dijelaskan. Produk dari metabolisme darah
seperti hemosiderin, dapat menyebabkan iritasi serebral fokal yang mengarah pad
a kejang, mirip dengan model binatang dengan epilepsi fokal yang diproduksi oleh
deposisi besi di korteks serebral. Pada perdarahan subarachnoid, sering terjadi
perdarahan luas di cisterna basalis, yang langsung menghubungkan antara lobus f
rontal dan temporal. Pasien dengan perdarahan subarachnoid mungkin juga memiliki
komponen perdarahan intraparenchymal. Satu-satunya prediktor klinis untuk kejan
g setelah stroke iskemik adalah tingkat keparahan dari awal defisit neurologis.
Keparahan stroke yang lebih besar
5
atau kecacatan pada stroke dapat menyebabkan terjadinya kejang. Pasien dengan ga
ngguan neurologis cenderung memiliki stroke yang lebih besar yang melibatkan dae
rah kortikal yang lebih luas. Dalam studi retrospektif, faktor risiko kejang set
elah perdarahan subarachnoid termasuk aneurisma arteri serebral media, hematoma
intraparenchymal, infark serebral, riwayat hipertensi dan ketebalan tulang belak
ang. Sebaliknya, sudah tidak ada prediktor klinis untuk kejang setelah terjadi p
erdarahan intraparenchymal. Lesi vaskuler dapat menyebabkan kejang dengan mekani
sme yang lain. Kejang karena malformasi arteriovenosa dan aneurisma biasanya ter
jadi ketika pecahnya lesi tersebut, tetapi lesi vaskuler dapat menyebabkan terja
dinya kejang oleh iritasi yang berdekatan dengan parenkim otak. Akhirnya, kejang
yang berhubungan dengan lesi vaskuler yang secara signifikan terjadi dalam peng
aturan reperfusi setelah prosedur revaskularisasi, paling sering endarterektomi
karotis untuk stenosis karotis kronis ekstrakranial. Sindrom reperfusi, pertama
dijelaskan oleh Sundt dan rekan, termasuk aktivitas kejang fokal transien, fenom
ena migrain atipikal, dan perdarahan intraserebral, meskipun triad klinis sering
tidak lengkap. Onset dari sindrom langka ini berkisar dari beberapa hari sampai
3 minggu setelah revaskularisasi dan sering ditandai oleh sakit kepala ipsilate
ral. Koreksi bedah malformasi dari arteriovenosa juga dapat menyebabkan intraope
ratif atau hiperemia pasca operasi dengan kejang berikutnya atau perdarahan. Seb
aliknya, malformasi arteriovenosa terletak di area subyek borderzone untuk laju
aliran darah yang relatif rendah memiliki risiko lebih kecil untuk terjadi perda
rahan. Sindrom reperfusi telah dikaitkan dengan gangguan autoregulasi otak. Dala
m pengaturan hipoperfusi kronis akibat stenosis karotis tingkat tinggi, arteriol
bertanggung jawab untuk autoregulasi normal di bagian hilir dari otak dan menja
di dilatasi yang kronik. Kemudian, ketika perfusi ditingkatkan dengan prosedur r
evaskularisasi, pembuluh darah tidak dapat vasokonstriksi dan parenkim otak meng
alami peningkatan besar dalam aliran darah. Pelepasan neuropeptida vasoaktif dar
i saraf sensorik perivaskular dapat berkontribusi terhadap
6
Penelitian lain menemukan bahwa keterlibatan kortikal pada hasil studi pencitraa
n neuroanatomi epilepsi lebih prediktif daripada gambaran EEG tunggal. Perlambat
an fokus pada EEG mungkin hanya mencerminkan wilayah yang luas dari iskemia jari
ngan atau infark yang melibatkan korteks serebral atau daerah subkortikal. EEG d
apat membantu dalam evaluasi awal gejala neurologis yang buruk pasca stroke foka
l. Pada beberapa pasien, perlambatan fokal dapat mengkonfirmasi kesan klinis isk
emik hemisfer dan berlawanan dengan kejang sebagai penjelasan selama sindrom neu
rologis akut. Tidak adanya kelainan EEG tidak mengecualikan pasti iskemia serebr
al, terutama dalam struktur subkortikal atau aktivitas kejang subtentorial atau
intermiten. Jarang, kejang bisa meniru iskemia dan ditemukannya gambaran infark.
Lansberg dkk telah menjelaskan beberapa temuan terbaru tentang pencitraan reson
ansi magnetik akut pada 3 pasien dengan status epileptikus parsial. Studistudi m
enunjukkan peningkatan intensitasgambaran tahanan difusi yang berat dan urutan T
2 yang berat dan area yang sesuai dengan koefisien difusi yang rendah. Namun, ha
sil-hasil ini mudah dibedakan dari distribusi tanda iskemik nonvascular dari ips
ilateral arteri serebral media pada gambaran angiografi resonansi magnetik dan p
eningkatan leptomeningeal pada pencitraan resonansi magnetik dengan kontras. Stu
di lain menunjukkan terjadi peningkatan intensitas pada gambaran tahanan difusi
di bagian dorsolateral dari thalamus ipsilateral pada 2 pasien.
E. Diferensial Diagnosis Diagnosis diferensial iskemia akibat kejang termasuk ke
jang sekunder karena penyebab lain. Withdrawal obat (Benzodiazepin) dan gangguan
metabolisme (misalnya kelainan glukosa) biasanya dapat menyebabkan kejang umum,
kecuali memang sudah ada lesi yang mendasarinya. Migrain berhubungan dengan fen
omena fokus dan serangan iskemik transien dapat memperlambat fokus pada hasil te
muan EEG. Diantara semua itu, kelainan glukosa tidak boleh diabaikan.
8
uji coba pada pasien tua dengan diagnosis epilepsi, lamotrigin baru-baru ini men
unjukkan toleransi yang lebih baik dan untuk pemeliharaan pasien yang bebas dari
kejang dengan interval yang lebih panjang dari carbamazepine. Meskipun banyak d
ari antikonvulsan baru, misalnya, topiramate dan levetiracetam, telah diteliti s
ebagai agen tambahan untuk terapi kejang parsial refrakter, dalam praktiknya ser
ing digunakan sebagai monoterapi. Gabapentin telah terbukti berkhasiat sebagai m
onoterapi untuk kejang parsial. Untuk semua obat antiepilepsi, harus dibatasi do
sis obat yang merugikan seperti sedasi, terutama pada pasien stroke pada usia la
njut. Interaksi obat merupakan pertimbangan penting, kebanyakan pasien yang terk
ena stroke,sudah banyak memakai obat. Agen antiepilepsi generasi pertama melewat
i metabolisme di hati, fenitoin dan asam valproat sangat terikat pada protein. S
ebagai contoh, interaksi fenitoin dan warfarin diakui sulit untuk mempertahankan
rentang terapi yang konsisten dari kedua agen. Dalam pedoman yang direkomendasi
kan oleh Dewan stroke dari American Heart Association menyatakan bahwa profilaks
is kejang seragam dalam periode akut setelah perdarahan intraserebral dan subara
chnoid. Untuk perdarahan intraserebral, aktivitas kejang dapat menyebabkan ceder
a saraf dan berkontribusi lebih lanjut untuk menjadi koma, meskipun tidak ada da
ta klinis untuk mendukung rekomendasi ini. Pasien dengan lesi pada cerebellar da
n subkortikal dalam (misalnya, thalamus) berada pada risiko yang sangat rendah u
ntuk terjadi kejang dan tidak perlu untuk diobati. Pedoman tersebut menunjukkan
bahwa dosis fenitoin natrium dititrasi dengan tingkatan serologis (14-23 mg / mL
), dengan penghentian pengobatan setelah 1 bulan tidak ada serangan kejang yang
terjadi selama pengobatan. Pasien dengan aktivitas lebih dari 2 minggu setelah p
resentasi munculnya kejang berada pada risiko yang lebih besar untuk kambuh lagi
dan mungkin memerlukan terapi jangka panjang untuk profilaksis kejang. Studi re
trospektif kecil menunjukkan bahwa tidak ada manfaat dari antikonvulsan profilak
sis setelah perdarahan subarachnoid. Namun, karena risiko yang relatif rendah ya
ng terkait dengan terapi antiepilepsi dan kekhawatiran yang besar tentang perdar
ahan aneurisma ulang, uji klinis tentang masalah ini mungkin
10
tidak pernah terjadi. Penggunaan jangka panjang agen antiepilepsi tidak dianjurk
an untuk pasien dengan perdarahan subarachnoid yang tidak memiliki kejang, tetap
i harus dipertimbangkan setidaknya ketika ada satu dari beberapa faktor risiko y
ang muncul. Dalam kasus sindrom reperfusi, langkah pencegahan yang penting adala
h mengontrol secara ketat tekanan darah sistemik. Tidak jelas peran dari terapi
antiepilepsi pada populasi pasien ini. Menurut bukti-bukti anecdotal, kejang pad
a sindrom reperfusi kadang-kadang merespon obat antiepilepsi, tetapi sulit untuk
mengobati tanpa adanya keadaan sedasi yang cukup kuat. Beberapa ahli bedah memb
erikan profilaksis secara empiris karena ada kekhawatiran akan terjadinnya kejan
g selama 1 sampai 2 minggu setelah endarterektomi pada pasien dengan stenosis ka
rotis derajat tinggi. Pada penanganan infark vena sering kali diberikan antikoag
ulasi sistemik dan, baru-baru ini, pemberian trombolisis intra thrombus melalui
endovascular telah menunjukkan keberhasilan pada pasien tertentu. Menurut peratu
ran pemberian terapi antiepilepsi diberikan hanya jika terjadi kejang.
G. Prognosis Dampak buruk dari kejang pasca stroke masih belum jelas dan memilik
i data yang bertentangan dari serangkaian kasus yang berbeda. Dalam dua studi pr
ospektif, kejang onset cepat tidak terkait dengan tingkat kematian yang tinggi a
tau defisit neurologis yang memburuk. Kejang dikaitkan dengan hasil yang lebih b
aik dalam Skala Stroke Skandinavia dalam seri lain, peneliti menyatakan bahwa ke
jang adalah manifestasi penumbra iskemik yang lebih besar yang memberikan kontri
busi untuk pemulihan yang lebih baik. Sebaliknya, dalam studi lainnya dinyatakan
bahwa pasien yang mengalami awal kejang dalam waktu 48 jam dari serangan stroke
atau transient ischemic attack memiliki angka kejadian meninggal di rumah sakit
yang cenderung lebih tinggi (37,9%) dari pada mereka yang tidak menunjukkan ada
nya kejang (14,4%).
11
Pada perdarahan subarachnoid, onset kejang dapat diprediksi pada kejang onset la
mbat dan pengukuran dasar untuk pemantauan selama 6 minggu kemudian dapat diukur
dengan Skala Glasgow. Pada studi populasi di Islandia, epilepsi lebih sering te
rjadi pada pasien dengan residua neurologis berat (48%) dibandingkan dengan mere
ka yang tidak (20%). Kejang pada sindrom reperfusi biasanya sembuh sendiri. Prog
nosis jangka panjang tergantung pada
perkembangan perdarahan intraserebral.
12