You are on page 1of 15

BAB I PENDAHULUAN

Stroke merupakan penyebab paling umum terjadinya kejang pada usia lanjut yang me
rupakan salah satu sisa gejala neurologis yang paling umum dari stroke. Sekitar
10% dari semua pasien stroke pernah mengalami kejang, dan kejang pasca stroke pa
da umumnya dimulai beberapa tahun kemudian setelah serangan stroke. Tinjauan pus
taka ini membahas mengenai epidemiologi, patogenesis, klasifikasi, manifestasi k
linis, studi diagnostik, diagnosa diferensial dan pengelolaan kejang yang berhub
ungan dengan berbagai lesi serebrovaskular, dengan fokus pada penggunaan antikon
vulsan pada usia lanjut. Kejang pasca stroke dan epilepsi pasca stroke merupakan
penyebab tersering dari sebagian besar pasien yang masuk rumah sakit, baik seba
gai gejala klinis ataupun sebagai komplikasi pasca stroke.Faktor usia menjadi fa
ktor risiko independen untuk stroke, dengan kecenderungan terjadinya peningkatan
kejadian dan prevalensi kejang pasca stroke dan epilepsy pasca stroke. Kejang s
ekunder pada penderita stroke telah ditemukan selama bertahuntahun dan dianggap
oleh beberapa pihak sebagai penyebab utama epilepsi pada orang tua.Meskipun frek
uensi kejang pasca stroke diperkirakan hanya berkisar antara 4% hingga 10%, namu
n banyak dari data ini hanya didasarkan pada studi retrospektif dan tanpa konfir
masi tomografi (CT) pada lesi atau jumlah pasien begitu kecil dan juga tidak ada
nya analisis statistik yang dapat diandalkan. Hal ini sering terjadi pada pasien
dengan malformasi arteriovenosa, stroke batang otak, perdarahan subarachnoid at
au riwayat kejang atau epilepsi. Asumsi sebelumnya seperti kejang lebih sering p
ada perdarahan otak atau stroke kardioembolik tidak ditunjang dengan bukti-bukti
yang kuat.
1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


A. Epidemiologi Dalam suatu studi populasi, stroke merupakan penyebab yang palin
g sering diidentifikasi dari kejadian epilepsi pada populasi dewasa dengan usia
diatas 35 tahun. Lebih dari separuh kasus pada orang tua yang mengalami epilepsi
, penyebabnya meliputi gangguan degeneratif, tumor otak, dan trauma kepala. Dari
data register stroke, sekitar 5% - 20% dari semua individu yang mempunyai riway
at stroke akan mengalami kejang, namun epilepsi (kejang berulang) akan terjadi h
anya pada sebagian kecil dari kelompok ini. Mengingat bahwa dalam setiap tahunny
a lebih dari 730.000 orang di negara ini mengalami stroke, sehingga kejadian kon
servatif kejang setelah stroke berkisar sekitar 36.500 kasus baru per tahun. Upa
ya metodeologis terbesar dan paling teliti untuk memeriksa kejang pasca stroke a
dalah laporan dari kelompok penelitian prospektif multisenter kejang pasca strok
e. Sebuah studi menyatakan bahwa pada1897 pasien ditemukan kejadian kejang pasca
stroke sebesar 8,9%. Perkembangan serangan epilepsi berulang jarang terjadi, ha
nya pada sekitar 2,5% pasien, tetapi dalam waktu 9 bulan perlu untuk selalu dipa
ntau. Kejang lebih sering terjadi pada stroke hemoragik daripada stroke iskemik.
Bladin et al menemukan kejadian kejang berkisar antara 10,6% dari 265 pasien de
ngan perdarahan intraserebral dan sekitar 8,6% dari 1632 pasien dengan stroke is
kemik. Dalam penelitian lain, kejang terjadi pada 4,4% dari 1000 pasien, termasu
k 15,4% dengan perdarahan intraserebral lobar atau lebar, 8,5% dengan perdarahan
subarachnoid, 6,5% dengan infark kortikal dan 3,7% dengan serangan transien isk
emik pada hemisfer. Kejang yang merupakan gambaran dari perdarahan intracranial
berkisar antara 30% pada 1402 pasien. Pada 95 pasien dengan perdarahan subarachn
oid, serangan kejang yang terjadi pada saat pasien berada di rumah lebih tinggi
(17,9%) dari pada serangan yang terjadi saat pasien berada di rumah sakit (4,1%)
.
2

B. Klasifikasi dan Patogenesis Kejang pasca stroke diklasifikasikan sebagai keja


ng dengan onset cepat atau lambat, sesuai waktu setelah terjadinya iskemia sereb
ral, sehingga dapat disamakan dengan kejadian epilepsi pasca trauma. Periode ter
jadinya kejang pasca stroke diperkirakan sekitar 2 minggu, dalam waktu 2 minggu
dapat membedakan antara onset cepat dan onset lambat kejang. Pada onset cepat te
rjadi dalam kurun waktu kurang dari 2 minggu dan lebih 2 minggu pada onset lamba
t. Perbedaan karakteristik dan mekanisme kejang pasca stroke dapat sesuai dengan
terjadinya iskemia serebral, tetapi tidak ada dasar yang jelas tentang patofisi
ologi terjadinya kejang pasca stroke dalam kurun waktu 2 minggu. Sebagian besar
awal kejang terjadi selama 1 sampai 2 hari pertama setelah iskemia. Hampir seten
gah (43%) dari semua pasien pada penelitian kejang pasca stroke muncul dalam 24
jam pertama setelah stroke. Kebanyakan kejang yang disebabkan oleh stroke hemora
gik juga terjadi pada 24 jam pertama. Selama cedera iskemik akut, akumulasi kals
ium intraseluler dan natrium dapat menyebabkan depolarisasi potensial transmembr
an dan efek kalsium mediasi lainnya. Perubahan ionik lokal dapat mengurangi amba
ng terjadinya kejang. Eksitotoxisitas glutamat adalah mekanisme kematian sel yan
g ditandai dalam bentuk stroke eksperimental. Obat Antiglutamatergic mungkin mem
iliki peranan tersendiri dalam pengaturan saraf iskemik, selain dari perannya un
tuk pengobatan kejang. Disfungsi dari daerah metabolik juga mungkin relevan dala
m terjadinya kejang onset cepat. Dalam konteks besar pada daerah iskemia hipoksi
a, tingginya tingkat neurotransmiter eksitotoksik dapat dilepaskan secara ekstra
seluler. Dalam penelitian setelah terjadi iskemik otak pada model hewan percobaa
n, populasi neuron di neokorteks hippocampus telah mengubah sifat membran dan te
rjadi peningkatan rangsangan, yang dapat menurunkan ambang terjadinya kejang. Pa
da iskemik penumbra, daerah dari jaringan yang berdekatan dengan inti infark dal
am
3

stroke iskemik mengandung jaringan elektrik yang dapat menjadi fokus untuk terja
dinya aktivitas kejang. Selain iskemia fokal, hipoperfusi global dapat menyebabk
an terjadinya kejang. Hipoksia iskemik ensefalopati merupakan salah satu penyeba
b tersering terjadinya status epileptikus dan memiliki prognosis yang buruk. Pad
a kejang onset lambat, terjadi perubahan terus-menerus dalam rangsangan saraf. T
erjadi pergantian parenkim yang sehat dengan sel-sel neuroglia dan sel imun. Seb
uah jaringan parut gliotik telah terlibat sebagai nidus untuk kejang onset lamba
t, sama seperti siktarik meningocerebral yang mungkin bertanggung jawab untuk ke
jadian onset lambat epilepsi pasca trauma. Sebuah lesi permanen muncul untuk men
jelaskan mengapa pada pasien epilepsi dengan onset lambat, frekuensi kejadian ke
jang lebih tinggi dibandingkan kejadian dengan onset cepat. Seperti dalam epilep
si pasca trauma, keterlambatan timbulnya serangan dari kejang pertama membawa ri
siko yang lebih tinggi untuk terjadi epilepsi. Pada pasien dengan stroke iskemik
didapatkan sekitar 35% pasien epilepsi muncul pada kejang onset cepat dan pada
90% pasien pada kejang onset lambat. Risiko epilepsi sebanding dengan pasien str
oke hemoragik, sekitar 29% pasien dengan epilepsi muncul pada kejang onset cepat
vs 93% dengan kejang onset lambat. Teori bahwa emboli kardiogenik ke otak memil
iki kemungkinan menyebabkan kejang akut masih menimbulkan kontroversi. Di antara
1640 pasien dengan iskemia serebral, kejadian yang terkait dengan penyakit jant
ung paling sering dikaitkan dengan kejang onset cepat (16,6%), bahkan jika diban
dingkan dengan hematoma supratentorial (16,2%). Namun, definisi mekanisme
kardiogenik dalam seri ini sering didasarkan pada kriteria tertentu.Beberapa pen
ulis masih mempertanyakan hubungan kejang dengan peristiwa
kardioembolik. Kejang pada saat onset bukanlah kriteria dalam data penelitian te
ntang penyakit jantung sebagai penyebab stroke. Secara intuitif, tidak ada
alasan untuk menduga bahwa lesi kardioembolikakan seperti emboli dari pembuluh d
arah besar mungkin dapat menyebabkan kejang, seperti emboli jantung dan pembuluh
darah besar sering melibatkan lesi pada cabang kortikal
4

distal. Mekanisme endapan emboli yang memicu kejang kortikal belum pasti, tetapi
kemungkinan mencakup depolarisasi di penumbra iskemik, reperfusi cepat setelah
fragmentasi dan migrasi distal embolus, atau kombinasi keduanya. Lokasi kortikal
merupakan salah satu faktor risiko yang paling dapat menyebabkan kejang pasca s
troke. Kejang pasca stroke lebih mungkin untuk terjadi pada pasien dengan lesi y
ang lebih besar yang melibatkan beberapa lobus otak dibandingkan dengan keterlib
atan lobus tunggal. Namun, setiap stroke subkortikal, kadang-kadang dapat dikait
kan dengan terjadinya kejang. Penelitian sebelumnya, mengandalkan pada teknik ne
uroimaging yang masih kurang
sensitifitasnya, tidak dapat mendeteksi lesi kortikal yang kecil yang menyebabka
n terjadinya aktivitas iktal. Mekanisme lesi subkortikal hemisfer otak, paling s
ering disebabkan oleh penyakit pada pembuluh darah kecil, oleh karena itu penyeb
ab kejang tidak dapat diketahui. Dianalogikan dengan keterlibatan kortikal pada
stroke iskemik, lokasi yang dianggap lebih epileptogenik pada pasien dengan perd
arahan intraserebral. Pada 123 pasien terjadi peningkatan kejadian kejang yang d
itandai dengan perdarahan dalam struktur kortikal lobar (54%), perdarahan retrom
amilar basal (19%) dan tidak ada pada perdarahan thalamus. Keterlibatan ganglia
basalis kaudatus dan temporal atau parietal pada korteks diprediksi akan terjadi
kejang. Perdarahan karena trombosis vena serebral biasanya muncul bersamaan den
gan kejang. Pada parenkim, seringnya pada kortikal, perdarahan berasal dari kong
esti vena lokal adalah kemungkinan penyebab terjadinya aktivitas kejang. Mekanis
me kejang oleh karena pendarahan tidak dijelaskan. Produk dari metabolisme darah
seperti hemosiderin, dapat menyebabkan iritasi serebral fokal yang mengarah pad
a kejang, mirip dengan model binatang dengan epilepsi fokal yang diproduksi oleh
deposisi besi di korteks serebral. Pada perdarahan subarachnoid, sering terjadi
perdarahan luas di cisterna basalis, yang langsung menghubungkan antara lobus f
rontal dan temporal. Pasien dengan perdarahan subarachnoid mungkin juga memiliki
komponen perdarahan intraparenchymal. Satu-satunya prediktor klinis untuk kejan
g setelah stroke iskemik adalah tingkat keparahan dari awal defisit neurologis.
Keparahan stroke yang lebih besar
5

atau kecacatan pada stroke dapat menyebabkan terjadinya kejang. Pasien dengan ga
ngguan neurologis cenderung memiliki stroke yang lebih besar yang melibatkan dae
rah kortikal yang lebih luas. Dalam studi retrospektif, faktor risiko kejang set
elah perdarahan subarachnoid termasuk aneurisma arteri serebral media, hematoma
intraparenchymal, infark serebral, riwayat hipertensi dan ketebalan tulang belak
ang. Sebaliknya, sudah tidak ada prediktor klinis untuk kejang setelah terjadi p
erdarahan intraparenchymal. Lesi vaskuler dapat menyebabkan kejang dengan mekani
sme yang lain. Kejang karena malformasi arteriovenosa dan aneurisma biasanya ter
jadi ketika pecahnya lesi tersebut, tetapi lesi vaskuler dapat menyebabkan terja
dinya kejang oleh iritasi yang berdekatan dengan parenkim otak. Akhirnya, kejang
yang berhubungan dengan lesi vaskuler yang secara signifikan terjadi dalam peng
aturan reperfusi setelah prosedur revaskularisasi, paling sering endarterektomi
karotis untuk stenosis karotis kronis ekstrakranial. Sindrom reperfusi, pertama
dijelaskan oleh Sundt dan rekan, termasuk aktivitas kejang fokal transien, fenom
ena migrain atipikal, dan perdarahan intraserebral, meskipun triad klinis sering
tidak lengkap. Onset dari sindrom langka ini berkisar dari beberapa hari sampai
3 minggu setelah revaskularisasi dan sering ditandai oleh sakit kepala ipsilate
ral. Koreksi bedah malformasi dari arteriovenosa juga dapat menyebabkan intraope
ratif atau hiperemia pasca operasi dengan kejang berikutnya atau perdarahan. Seb
aliknya, malformasi arteriovenosa terletak di area subyek borderzone untuk laju
aliran darah yang relatif rendah memiliki risiko lebih kecil untuk terjadi perda
rahan. Sindrom reperfusi telah dikaitkan dengan gangguan autoregulasi otak. Dala
m pengaturan hipoperfusi kronis akibat stenosis karotis tingkat tinggi, arteriol
bertanggung jawab untuk autoregulasi normal di bagian hilir dari otak dan menja
di dilatasi yang kronik. Kemudian, ketika perfusi ditingkatkan dengan prosedur r
evaskularisasi, pembuluh darah tidak dapat vasokonstriksi dan parenkim otak meng
alami peningkatan besar dalam aliran darah. Pelepasan neuropeptida vasoaktif dar
i saraf sensorik perivaskular dapat berkontribusi terhadap
6

perkembangan sindrom reperfusi dalam oksidan yang berkembang sebelum revaskulari


sasi dan peradangan untuk mengembalikan sirkulasi.
C. Manisfestasi Klinis Mengingat bahwa sebagian besar kejang pasca stroke diseba
bkan oleh lesi fokal, kejang fokal pasca stroke biasanya terjadi pada awalnya. D
alam sebuah studi kejang onset cepat pada 90 pasien, kejang parsial sederhana ad
alah jenis yang paling sering (61%), diikuti oleh epilepsi umum sekunder (28%).
Dalam penelitian lainnya, kejang onset cepat lebih cenderung bersifat parsial, s
edangkan kejang onset lambat lebih cenderung generalisasi sekunder. Kebanyakan s
erangan berulang adalah tipe yang sama dengan episode, dan cenderung kambuh rata
-rata kurang dari satu tahun. Dalam serangkaian besar pasien dengan kejang pasca
stroke, 9% memiliki status epileptikus. Kesimpulan itu hanya terkait dengan kec
acatan fungsional yang lebih besar, status epileptikus tidak dikaitkan dengan pe
ningkatan mortalitas, jenis stroke (iskemik atau hemoragik), topografi (keterlib
atan kortikal), ukuran lesi atau pola electroencephalographic (EEG). Keistimewaa
n fenomenologis sindrom reperfusi adalah serupa dengan timbulnya onset fokal den
gan generalisasi sekunder sesuai dengan aturan. Aktivitas kejang biasanya terjad
i di wilayah vascular ipsilateral sesuai teori pembedahan pada arteri karotis in
terna. Kadang-kadang status epileptikus terjadi kemudian.
D. Diagnosis Holmes menemukan bahwa pasien dengan bentuk gelombang epilepsi peri
odik lateralizing dan bentuk gelombang bilateral independen epilepsi periodik la
teralizing pada EEG setelah stroke sangat rentan terhadap terjadinya kejang. Pas
ien dengan fokus paku juga memiliki risiko tinggi 78%. Penurunan fokus, menyebar
dan temuan normal pada perlambatan EEG, bagaimanapun, ini dikaitkan dengan risi
ko yang relatif rendah masing-masing 20%, 10% dan 5%.
7

Penelitian lain menemukan bahwa keterlibatan kortikal pada hasil studi pencitraa
n neuroanatomi epilepsi lebih prediktif daripada gambaran EEG tunggal. Perlambat
an fokus pada EEG mungkin hanya mencerminkan wilayah yang luas dari iskemia jari
ngan atau infark yang melibatkan korteks serebral atau daerah subkortikal. EEG d
apat membantu dalam evaluasi awal gejala neurologis yang buruk pasca stroke foka
l. Pada beberapa pasien, perlambatan fokal dapat mengkonfirmasi kesan klinis isk
emik hemisfer dan berlawanan dengan kejang sebagai penjelasan selama sindrom neu
rologis akut. Tidak adanya kelainan EEG tidak mengecualikan pasti iskemia serebr
al, terutama dalam struktur subkortikal atau aktivitas kejang subtentorial atau
intermiten. Jarang, kejang bisa meniru iskemia dan ditemukannya gambaran infark.
Lansberg dkk telah menjelaskan beberapa temuan terbaru tentang pencitraan reson
ansi magnetik akut pada 3 pasien dengan status epileptikus parsial. Studistudi m
enunjukkan peningkatan intensitasgambaran tahanan difusi yang berat dan urutan T
2 yang berat dan area yang sesuai dengan koefisien difusi yang rendah. Namun, ha
sil-hasil ini mudah dibedakan dari distribusi tanda iskemik nonvascular dari ips
ilateral arteri serebral media pada gambaran angiografi resonansi magnetik dan p
eningkatan leptomeningeal pada pencitraan resonansi magnetik dengan kontras. Stu
di lain menunjukkan terjadi peningkatan intensitas pada gambaran tahanan difusi
di bagian dorsolateral dari thalamus ipsilateral pada 2 pasien.
E. Diferensial Diagnosis Diagnosis diferensial iskemia akibat kejang termasuk ke
jang sekunder karena penyebab lain. Withdrawal obat (Benzodiazepin) dan gangguan
metabolisme (misalnya kelainan glukosa) biasanya dapat menyebabkan kejang umum,
kecuali memang sudah ada lesi yang mendasarinya. Migrain berhubungan dengan fen
omena fokus dan serangan iskemik transien dapat memperlambat fokus pada hasil te
muan EEG. Diantara semua itu, kelainan glukosa tidak boleh diabaikan.
8

F. Penatalaksanaan Memilih suatu obat antikonvulsan harus dipandu oleh karakteri


stik individu tiap pasien, termasuk penggunaan obat-obatan secara bersamaan dan
komorbiditas medis. Sebagai pengetahuan bahwa tidak ada uji terkontrol untuk men
gevaluasi kejang pasca stroke yang telah dilakukan untuk menilai agen khusus. Mu
ngkin pertanyaan yang lebih penting adalah bagaimana cara untuk memulai pengobat
an, karena hanya sedikit yang telah membuktikan bahwa kejang pasca stroke dapat
kambuh. Dengan tidak adanya prediktor mutlak kejang pasca stroke, kebanyakan dok
ter mengobati pasien secara empiris untuk kejang ketika mereka baru terserang st
roke. Bladin et al berpendapat bahwa uji terkontrol termasuk pasien dengan kejan
g pasca stroke akan menimbulkan permasalahan logistik yang luas dan mungkin tida
k etis, meskipun insiden kejang pasca strokerelatif masih rendah. Arboix et al m
enyimpulkan bahwa efektivitas
antikonvulsan profilaksis harus dievaluasi dalam uji prospektif secara acak yang
dilakukan pada pasien dengan risiko tinggi. Kejang pasca stroke biasanya dikont
rol dengan baik dengan antikonvulsan tunggal. Dalam sebuah penelitian retrospekt
if, pada 88% dari 90 pasien kejang dapat dikontrol dengan monoterapi. Mengingat
penampilan khas kejang fokal pasca stroke, pilihan pengobatan yang termasuk lini
pertama adalah karbamazepin dan fenitoin natrium. Yang terakhir memiliki keuntu
ngan dari pemberian parenteral, yang mungkin diperlukan karena kesulitan menelan
atau status mental yang mungkin terganggu. Fosphenytoin natrium juga merupakan
pilihan yang menonjol pada pasien dengan stroke karena toksisitas jantung lebih
rendah dari fenitoin.Benzodiazepin, khususnya lorazepam, awalnya harus diberikan
kepada pasien dengan kejang yang sedang berlangsung. Tidak ada data mendukung p
enggunaan berbagai agen untuk mengobati kejang onset cepat dan kejang onset lamb
at. Obat antiepilepsi yang baru sedang dipertimbangkan sebagai agen lini pertama
untuk pasien tua karena efikasi dan efek samping yang menguntungkan. Sekitar 10
% dari penghuni panti jompo di Amerika Serikat mendapat obat antiepilepsi, palin
g sering digunakan untuk pengobatan gangguan kejang. Dalam
9

uji coba pada pasien tua dengan diagnosis epilepsi, lamotrigin baru-baru ini men
unjukkan toleransi yang lebih baik dan untuk pemeliharaan pasien yang bebas dari
kejang dengan interval yang lebih panjang dari carbamazepine. Meskipun banyak d
ari antikonvulsan baru, misalnya, topiramate dan levetiracetam, telah diteliti s
ebagai agen tambahan untuk terapi kejang parsial refrakter, dalam praktiknya ser
ing digunakan sebagai monoterapi. Gabapentin telah terbukti berkhasiat sebagai m
onoterapi untuk kejang parsial. Untuk semua obat antiepilepsi, harus dibatasi do
sis obat yang merugikan seperti sedasi, terutama pada pasien stroke pada usia la
njut. Interaksi obat merupakan pertimbangan penting, kebanyakan pasien yang terk
ena stroke,sudah banyak memakai obat. Agen antiepilepsi generasi pertama melewat
i metabolisme di hati, fenitoin dan asam valproat sangat terikat pada protein. S
ebagai contoh, interaksi fenitoin dan warfarin diakui sulit untuk mempertahankan
rentang terapi yang konsisten dari kedua agen. Dalam pedoman yang direkomendasi
kan oleh Dewan stroke dari American Heart Association menyatakan bahwa profilaks
is kejang seragam dalam periode akut setelah perdarahan intraserebral dan subara
chnoid. Untuk perdarahan intraserebral, aktivitas kejang dapat menyebabkan ceder
a saraf dan berkontribusi lebih lanjut untuk menjadi koma, meskipun tidak ada da
ta klinis untuk mendukung rekomendasi ini. Pasien dengan lesi pada cerebellar da
n subkortikal dalam (misalnya, thalamus) berada pada risiko yang sangat rendah u
ntuk terjadi kejang dan tidak perlu untuk diobati. Pedoman tersebut menunjukkan
bahwa dosis fenitoin natrium dititrasi dengan tingkatan serologis (14-23 mg / mL
), dengan penghentian pengobatan setelah 1 bulan tidak ada serangan kejang yang
terjadi selama pengobatan. Pasien dengan aktivitas lebih dari 2 minggu setelah p
resentasi munculnya kejang berada pada risiko yang lebih besar untuk kambuh lagi
dan mungkin memerlukan terapi jangka panjang untuk profilaksis kejang. Studi re
trospektif kecil menunjukkan bahwa tidak ada manfaat dari antikonvulsan profilak
sis setelah perdarahan subarachnoid. Namun, karena risiko yang relatif rendah ya
ng terkait dengan terapi antiepilepsi dan kekhawatiran yang besar tentang perdar
ahan aneurisma ulang, uji klinis tentang masalah ini mungkin
10

tidak pernah terjadi. Penggunaan jangka panjang agen antiepilepsi tidak dianjurk
an untuk pasien dengan perdarahan subarachnoid yang tidak memiliki kejang, tetap
i harus dipertimbangkan setidaknya ketika ada satu dari beberapa faktor risiko y
ang muncul. Dalam kasus sindrom reperfusi, langkah pencegahan yang penting adala
h mengontrol secara ketat tekanan darah sistemik. Tidak jelas peran dari terapi
antiepilepsi pada populasi pasien ini. Menurut bukti-bukti anecdotal, kejang pad
a sindrom reperfusi kadang-kadang merespon obat antiepilepsi, tetapi sulit untuk
mengobati tanpa adanya keadaan sedasi yang cukup kuat. Beberapa ahli bedah memb
erikan profilaksis secara empiris karena ada kekhawatiran akan terjadinnya kejan
g selama 1 sampai 2 minggu setelah endarterektomi pada pasien dengan stenosis ka
rotis derajat tinggi. Pada penanganan infark vena sering kali diberikan antikoag
ulasi sistemik dan, baru-baru ini, pemberian trombolisis intra thrombus melalui
endovascular telah menunjukkan keberhasilan pada pasien tertentu. Menurut peratu
ran pemberian terapi antiepilepsi diberikan hanya jika terjadi kejang.
G. Prognosis Dampak buruk dari kejang pasca stroke masih belum jelas dan memilik
i data yang bertentangan dari serangkaian kasus yang berbeda. Dalam dua studi pr
ospektif, kejang onset cepat tidak terkait dengan tingkat kematian yang tinggi a
tau defisit neurologis yang memburuk. Kejang dikaitkan dengan hasil yang lebih b
aik dalam Skala Stroke Skandinavia dalam seri lain, peneliti menyatakan bahwa ke
jang adalah manifestasi penumbra iskemik yang lebih besar yang memberikan kontri
busi untuk pemulihan yang lebih baik. Sebaliknya, dalam studi lainnya dinyatakan
bahwa pasien yang mengalami awal kejang dalam waktu 48 jam dari serangan stroke
atau transient ischemic attack memiliki angka kejadian meninggal di rumah sakit
yang cenderung lebih tinggi (37,9%) dari pada mereka yang tidak menunjukkan ada
nya kejang (14,4%).
11

Pada perdarahan subarachnoid, onset kejang dapat diprediksi pada kejang onset la
mbat dan pengukuran dasar untuk pemantauan selama 6 minggu kemudian dapat diukur
dengan Skala Glasgow. Pada studi populasi di Islandia, epilepsi lebih sering te
rjadi pada pasien dengan residua neurologis berat (48%) dibandingkan dengan mere
ka yang tidak (20%). Kejang pada sindrom reperfusi biasanya sembuh sendiri. Prog
nosis jangka panjang tergantung pada
perkembangan perdarahan intraserebral.
12

BAB III PENUTUP


Kejang pasca stroke merupakan fenomena yang sering terjadi dan dapat diobati, se
dangkan kejang pasca stroke yang berkembang menjadi epilepsi relatif jarang. Les
i serebrovaskular yang terkait dengan kejang meliputi perdarahan intraserebral (
parenkim) dan subarachnoid serta trombosis vena serebral (dengan atau tanpa infa
rk pada vena) yang melibatkan lesi pada korteks cerebral, defisit neurologis yan
g besar atau disabilitas, dan prosedur revaskularisasi yang melibatkan arteri ka
rotid internal. Pengobatan kejang pasca stroke tidak berbeda dari pendekatan unt
uk mengobati kejang onset parsial akibat kerusakan otak. Kejang pasca stroke mem
iliki respon yang baik terhadap penggunaan obat antiepilepsi tunggal. Mengingat
bahwa kejadian epilepsi pasca stroke relatif rendah, tidak ada indikasi untuk pe
mberian antiepilepsi profilaksis untuk mencegah kejang pada pasien dengan stroke
iskemik akut yang tidak memiliki riwayat kejang sebelumnya. Kebutuhan penggunaa
n antikonvulsan kronis harus dievaluasi secara berkala, mungkin setiap 6 bulan.
Meskipun tidak ada data klinis yang mendokumentasikan efektivitasnya, kebanyakan
pasien dengan perdarahan intraserebral atau subarachnoid harus mendapatkan tera
pi profilaksis antiepilepsi jangka pendek. Penelitian lebih lanjut mengenai keja
ng pasca stroke dapat meliputi penilaian ukuran dari lesi awal untuk menentukan
kesesuaian terapi antiepilepsi kronis setelah kejang tunggal dan penentuan fakto
r risiko untuk sindrom reperfusi. Epilepsi pasca stroke juga bisa menjadi model
penelitian yang bertujuan untuk mencegah transformasi cedera jaringan otak dalam
fokus epilepsi.
13

Daftar Pustaka 1. Bladin C, Alexandrov A, Bellavance A, et al. Seizures after st


roke: a prospectivemulticenter study. Arch Neurol. 2001;57:1617-1622. 2. Rhoney
D, Tipps L, Murray K, Basham M, Michael D, Coplin W. Anticonvulsant prophylaxis
and timing of seizures after aneurysmal subarachnoid hemorrhage. Neurology. 2002
;55:258-265. 3. Olafsson E, Gudnumdsson G, Hauser W. Risk of epilepsy in long-te
rm survivorsof surgery for aneurysmal subarachnoid hemorrhage: a population-base
d study in Iceland. Epilepsia. 2005;41:1201-1205. 4. Congar P, Gaiarsa J, Popovi
ci T, Ben-Ari Y, Crepel V. Permanent reduction of seizure threshold in post-isch
emic CA3 pyramidal neurons. J Neurophysiol. 2001; 83:2040-2046. 5. Ho D, Wang Y,
Chui M, Ho S, Cheung R. Epileptic seizures attributed to cerebral hyperperfusio
n after percutaneous transluminal angioplasty and stenting of the internal carot
id artery. Cerebrovasc Dis. 2000;10:374-379. 6. Stapf C, Mohr J, Sciacca R, et a
l. Incident hemorrhage risk of brain arteriovenous malformations located in the
arterial borderzones. Stroke. 2006;31:2365-2368. 7. Cereghino JJ, Biton V, AbouKhalil B, Dreifuss F, Gauer LJ, Leppik I. Levetiracetam for partial seizures: re
sults of a double-blind, randomized clinical trial. Neurology. 2004;55:236-242.
8. Qureshi A, Tuhrim S, Broderick J, Batjer H, Hondo H, Hanley D. Spontaneous in
tracerebral hemorrhage. N Engl J Med. 2001;344:14501460. 9. Butzkueven H, Evans
A, Pitman A, et al. Onset seizures independently predict poor outcome after suba
rachnoid hemorrhage. Neurology. 2003;55:1315-1320.
14

You might also like