You are on page 1of 42

LAPORAN UKM

UPAYA PROMOSI KESEHATAN DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT


(F1)
TUBERKULOSIS PARU
Diajukan sebagai salah satu persyaratan dalam menempuh
Program Dokter Internship
Puskesmas Ungaran

OLEH :
dr. Pamela Tyas Milana

PUSKESMAS UNGARAN
2014

HALAMAN PENGESAHAN

Nama

: dr. Pamela Tyas Milana

Topik

: Upaya Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat


(F1)

Judul

: Tuberkulosis Paru

Tanggal Pengesahan :

Ungaran,

2014

Mengetahui

Kepala PKM Ungaran,

dr. Nugraha
NIP 19651108 2002121 1003

Pendamping,

dr. Astri Aninda Niagawati


NIP 19741005 200701 2 017

BAB I
PENDAHULUAN
Tuberkulosis paru (TB) adalah suatu penyakit infeksi kronik yang sudah
sangat lama dikenal pada manusia, misalnya dihubungkan dengan tempat tinggal di
daerah urban, lingkungan yang padat. Pada tahun 1882 Robert Koch menemukan
kuman penyebabnya semacam bakteri berbentuk batang dan dari sinilah diagnosis
secara mikrobiologis dimulai dan penatalaksanaannya lebih terarah. Robert Koch
mengidentifikasi basil tahan asam M tuberculosis untuk pertama kali sebagai bakteri
penyebab TB ini. Apalagi pada tahun 1896 Rontgen menemukan sinar X sebagai alat
bantu menegakkan diagnosis yang lebih tepat. Penyakit ini kemudian dinamakan
Tuberkulosis, dan hampir seluruh tubuh manusia dapat terserang olehnya tetapi yang
paling banyak adalah organ paru (Sudoyo et al, 2009).
Pada permulaan abad 19, insidensi penyakit tuberkulosis di Eropa dan
Amerika Serikat sangat besar. Angka kejadian cukup tinggi yakni 400 per 100.000
penduduk, dan angka kematian berkisar 15-30% dari semua kejadian. Sejarah
eradikasi TB dengan kemoterapi dimulai pada tahun 1944 ketika seorang perempuan
umur 21 tahun dengan Penyakit TB paru lanjut menerima injeksi pertama
Streptomisin. Segera disusul dengan penemuan asam para amino salisilik (PAS).
Kemudian dilanjutkan dengan penemuan Isoniazid pada 1952, kemudian dikuti
penemuan berturut-turut Pirazinamid tahun 1954 dan Ethambutol 1952, Rifampicin
1963 menjadi obat utama TB sampai saat ini (Sudoyo et al.,2009).
Perkiraan insidensi TB yang dilaporkan secara internasional pada tahun 2007
mencapai 9,27 juta kasus, peningkatan dari 9,24 juta kasus pada tahun 2006.
Meskipun demikian, perkiraan total jumlah kasus per capita berkurang dari 142 kasus
per 100.000 penduduk pada 2004 menjadi 139 kasus per 100.000 penduduk pada
tahun 2007(WHO, 2011).

Gambar I.1. Estimasi kematian terkait TB di dunia (Fauci et al., 2008)

Sekitar 75% pasien TB adalah kelompok usia yang paling produktif secara
ekonomis (15-50 tahun). Diperkirakan seorang pasien TB dewasa, akan kehilangan
rata-rata waktu kerjanya 3 sampai 4 bulan. Hal tersebut berakibat pada kehilangan
pendapatan tahunan rumah tangganya sekitar 20-30%. Jika ia meninggal akibat TB,
maka akan kehilangan pendapatannya sekitar 15 tahun. Selain merugikan secara
ekonomis, TB juga memberikan dampak buruk lainnya secara sosial stigma bahkan
dikucilkan oleh masyarakat (Depkes, 2007).

Gambar I.2. Insidensi TB di dunia (WHO, 2011)

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Permasalahan
Indonesia sekarang berada pada ranking kelima negara dengan beban TB
tertinggi di dunia setelah Russia, India, Bangladesh, Pakistan. Estimasi prevalensi TB
semua kasus adalah sebesar 660,000 (WHO, 2011) dan estimasi insidensi berjumlah
430,000 kasus baru per tahun. Jumlah kematian akibat TB diperkirakan 61,000
kematian per tahunnya. Indonesia merupakan negara dengan percepatan peningkatan
epidemi HIV yang tertinggi di antara negara-negara di Asia. HIV dinyatakan sebagai
epidemik terkonsentrasi (a concentrated epidemic), dengan perkecualian di provinsi
Papua yang prevalensi HIVnya sudah mencapai 2,5% (generalized epidemic). Secara
nasional, angka estimasi prevalensi HIV pada populasi dewasa adalah 0,2%.
Sejumlah 12 provinsi telah dinyatakan sebagai daerah prioritas untuk intervensi HIV
dan estimasi jumlah orang dengan HIV/AIDS di Indonesia sekitar 190.000-400.000.
Estimasi nasional prevalensi HIV pada pasien TB baru adalah 2.8% (Kemenkes,
2010).
Prevalensi nasional terakhir TB paru diperkirakan 0,24 %. Sampai sekarang
angka kejadian TB di Indonesia relatif terlepas dari angka pandemic infeksi HIV
karena masih relatif rendahnya infeksi HIV, tapi hal ini mungkin akan berubah di
masa datang melihat semakin meningkatnya laporan infeksi HIV dari tahun ke tahun
(Sudoyo et al.,2009).
a. Kejadian Tuberkulosis

Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman


TB (Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang
paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya (Depkes,2007).

Cara penularan

Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif.

Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam
bentuk percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan
sekitar 3000 percikan dahak.
Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada
dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan,
sementara sinar matahari langsung dapat membunuh kuman. Percikan dapat
bertahan selama beberapa jam dalam keadaan yang gelap dan lembab.
Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman yang
dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan
dahak, makin menular pasien tersebut.
Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB ditentukan oleh
konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut
(Depkes, 2007).
b.

Risiko menjadi sakit TB

Hanya sekitar 10% yang terinfeksi TB akan menjadi sakit TB.


Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi pasien TB
adalah daya tahan tubuh yang rendah, diantaranya infeksi HIV/AIDS dan
malnutrisi (gizi buruk).
HIV merupakan faktor risiko yang paling kuat bagi yang terinfeksi TB
menjadi sakit TB. Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas sistem daya
tahan tubuh seluler (Cellular immunity), sehingga jika terjadi infeksi
oportunistik, seperti tuberkulosis, maka yang bersangkutan akan menjadi sakit
parah bahkan bisa mengakibatkan kematian (Depkes, 2007, Sudoyo, et
al.,2009).

Gambar 2.3. Faktor Risiko Kejadian TB (Depkes, 2007)

c. Riwayat alamiah pasien TB yang tidak diobati.


Pasien yang tidak diobati, setelah 5 tahun, akan:
o 50% meninggal
o 25% akan sembuh sendiri dengan daya tahan tubuh yang tinggi
o 25% menjadi kasus kronis yang tetap menular (Depkes, 2007).
2. Patofisiologi
a. Tuberkulosis Primer
Kuman yang keluar melalui droplet nuclei berada dalam udara bebas selama
1-2 jam tergantung ada tidaknya sinar ultraviolet, ventilasi yang buruk dan
kelembababn. Dalam suasana lembab dan gelap kuman dapat tahan berhari-hari
sampai berbulan-bulan. Bila terisap oleh orang sehat, akan menempel pada saluran
napas atau jaringan paru. Partikel < 5mm dapat masuk ke alveolar. Kuman akan
dihadapi pertama kali oleh neutrofil, kemudian baru oleh makrofag. Kebanyakan

partikel ini akan mati atau dibersihkan oleh makrofag keluar dari percabangan
trakeobronkial bersama gerakan silia dengan sekretnya (Sudoyo et al.,2009).
Bila kuman menetap di jaringan paru, berkembang biak dalam sitoplasma
makrofag. Di sini ia dapat terbawa masuk ke organ tubuh lainnya. Kuman yang
bersarang di jaringan paru akan berbentuk sarang tuberculosis pneumonia kecil dan
disebut srang primer atau sarang (fokus) Ghon. Sarang primer ini dapat terjadi di
setiap bagian jaringan paru. Bila menjalar sampai ke pleura dapat terjadi efusi pleura
(Sudoyo et al., 2009).
Kuman dapat juga masuk melalui saluran gastrointestinal, jaringan limfe,
orofaring dan kulit, terjadi limfadenopati regional kemudian bakteri masuk ke dalam
vena dan menjalar ke seluruh organ seperti paru, otak, ginjal dan tulang. Bila masuk
ke arteri pulmonalis maka terjadi penjalarann ke sluruh bagian paru menjadi TB
milier (Sudoyo et al., 2009).
Dari sarang primer akan timbul peradangan saluran getah bening menuju hilus
(limfangitis local) disertai pembesaran kelenjar getah bening hilus (limfadenitis
regional). Sarang primer, limfangitis local dan limfadenitis regional akan membentuk
komplek primer Ranke (Sudoyo et al., 2009).
Kompleks primer dapat menjadi:

Sembuh tanpa meninggalkan cacat ( banyak terjadi)

Sembuh dengan garis fibrotic,garis kalsifikasi di hilus. Terjadi apabila lesi


pneumonia > 5mm dan 10 % diantaranya dapat terjadi reaktivasi lagi karena
kuman yang dormant

Menimbulkan komplikasi dan menyebar secara (1)kontinuitatum (sekitarnya)


maupun (2) bronkogen (pada paru yang bersangkutan maupun sebelahnya),
tertelan bersama sputum dan menyebar ke usus (3) limfogen (d) hematogen
(Sudoyo et al.,2009).

b.Tuberkulosis pasca primer

Kuman yang dormant pada tuberculosis primer akan muncul bertahun-tahun


kemudian sebagai infeksi endogen menjadi tuberculosis dewasa. Tuberculosis
pasca primer ini dimulai dengan sarang dini yang berlokasi di region atas paru.
Invasinya adalah ke daerah parenkim paru-paru. Sarang dini ini mula-mula juga
berbentuk sarang pneumonia kecil. Dalam 3-10 minggu sarang ini menjadi
tuberkel yang dikelilingi oleh sel-sel limfosit dan berbagai jaringan ikat. Sarang
dini dapat menjadi:

Direabsorbsi kembali dan sembuh tanpa meninggalkan cacat


Sarang yang mula-mula meluas tetapi segera menyembuh dengan
serbukan jaringan fibrosis. Sarang dini yang meluas sebagai granuloma
berkembang menghancurkan jaringan ikat sekitarnya dan bagian
tengahnya mengalami nekrosis menjadi jaringan keju. Bila jaringan keju
dibatukkan keluar akan terjadi kavitas. Kavitas ini mula-mula berdinding
tipis, lama-lama dindingnya menebal karena infiltrasi jaringan fibroblast
dalam jumlah besar sehingga menjadi kavitas sklerotik. Kavitas dapat :
o meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumonia baru, bila isi
kavitas ini masuk ke dalam peredaran darah arteri, maka akan
terjadi TB milier. Dapat juga masuk ke paru sebelahnnya atau
tertelan masuk lambung dan selanjutnya ke usus menjadi TB usus.
o memadat dan membungkus diri sehingga menjadi tuberkuloma.
Tuberkuloma ini dapat mengapur dan menyembuh atau dapat aktif
kembali menjadi cair dan jadi kavitas lagi (Sudoyo et al.,2009).

3. Gejala klinis pasien TB


Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu atau
lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah,
batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun,
malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu
bulan. Gejala-gejala tersebut diatas dapat dijumpai pula pada penyakit paru selain tb,

seperti bronkiektasis, bronkitis kronis, asma, kanker paru, dan lain-lain. (Sudoyo,et
al.,2009).Adapun keluhan yang sering muncul pada pasien TB adalah

Demam

Biasanya subfebris menyerupai demam influenza, tetapi kadang-kadang panas


badan dapat mencapai 40-41 derajat selsius.Serangan demam hilang timbul sehingga
pasien merasa tidak pernah terbebas dari demam. Keadaan ini dipengaruhi oleh
sistem imun(Sudoyo,et al.,2009).

Batuk/batuk darah

Gejala ini banyak ditemukan. Batuk ditemukan karena adanya iritasi pada
bronkus. Sifat batuk dimulai dari batuk kering (non produktif) kemudian setelah
timbul peradangan menjadi produktif. Keadaan yang lebih lanjut adalah berupa batuk
darah karena terdapat pembuluh darah yang pecah(Sudoyo,et al.,2009).

Sesak napas

Sesak napas akan ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut yang
infiltrasinya sudah meliputi setengah bagian paru-paru (Sudoyo,et al.,2009)

Nyeri dada

Gejala ini jarang ditemukan. Nyeri dada timbul bila ada infiltrasi radang
sudah sampai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis. Terjadi gesekan kedua
pleura sewaktu pasien menarik/melepaskan napasnya (Sudoyo,et al.,2009)

Malaise

Gejala ini sering ditemukan berupa tidak ada nafsu makan, badan makin kurus
(berat badan turun), sakit kepala, meriang, nyeri otot,keringat malam(Sudoyo,et
al.,2009).
4. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan keadaan umum pasien mungkin ditemukan konjungtiva mata
atau kulit yang pucat karena anemia, suhu demam (subfebris), badan kurus atau berat
badan menurun.

Pada pemeriksaan fisis pasien sering tidak menunjukkan suatu kelainan pun
terutama pada kasus-kasus dini. Demikian juga bila sarang penyakit terletak di dalam,
akan sulit menemukan kelainan pada pemeriksaan fisis, karena hantaran getaran/suara
yang lebih dari 4cm ke dalam paru sulit dinilai secara palpasi, perkusi dan auskultasi.
Secara anamnesis dan pemeriksaan fisis, TB paru sulit dibedakan dengan pneumonia
biasa (Sudoyo,et al,2009).
Bila dicurigai infiltrate yang agak luas, maka didapatkan perkusi yang redup
dan auskultasi suara napas bronchial. Didapatkan juga suara napas tambahan berupa
ronkhi basah, kasar, dan nyaring. Tetapi bila infiltrate ini diliputi oleh penebalan
pleura, suara napasnya menjadi vesicular melemah. Bila terdapat kavitas yang cukup
besar, perkusi memberikan suaraa hipersonor atau timpani dan auskultasi
memberikan suara amforik (Sudoyo,et al,2009).
Pada tuberculosis paru yang lanjut dengan fibrosis yang luas akan terjadi
pengecilan aliran darah paru dan selanjutnya meningkatkan tekanan arteri pulmonalis
diikuti terjadinya kor pulmonalis dan gagal jantung kanan. Di sini akan didapatkan
tanda-tanda kor pulmonal dengan gagal jantung kanan seperti takipnea, takikardia,
sianosis, right ventricular lift, right atrial gallop, murmur, bunyi P2 yang
mengeras,tekanan jugularis yang meningkat, hepatomegaly, ascites dan edema
(Sudoyo,et al,2009).
Bila tuberculosis mengenai pleura, sering terbentuk efusi pleura. Paru yang
sakit terlihat agak teritnggal dalam pernapasan. Perkusi memberikan suara pekak.
Auskultasi memberikan suara napas yang lemah sampai tidak terdengar sama sekali
(Sudoyo,et al,2009).
5. Pemeriksaan Dahak
a. Pemeriksaan dahak mikroskopis
Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai
keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan dahak
untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 3 spesimen dahak yang

dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan berupa Sewaktu-PagiSewaktu (SPS) (Sudoyo,et al, 2009)
S (sewaktu): dahak dikumpulkan pada saat suspek TB datang berkunjung
pertama kali.
P (Pagi) : dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah
bangun tidur.
S (sewaktu): dahak dikumpulkan pada hari kedua, saat menyerahkan dahak
pagi.

Gambar 2.3. Apusan BTA menunjukkan bacilli M. tuberculosis


(Fauci et a.l, 2008))

b. Pemeriksaan biakan
Pada pemeriksaan dengan biakan, setelah 4-6 minggu penanaman sputum
dalam medium biakan, koloni kuman tuberculosis mulai tampak. Bila setelah 8
minggu penanaman koloni tidak juga tampak, biakan dinyatakan negative. Medium
yang digunakan yaitu Lowenstein Jensen, Kudoh atau ogawa (Sudoyo,et al.,2009).
Selama fasilitas memungkinkan, biakan dan identifikasi kuman serta bila
dibutuhkan tes resistensi dapat dimanfaatkan dalam beberapa situasi:
- Pasien TB yang masuk dalam tipe pasien kronis
- Pasien TB ekstraparu dan pasien TB anak.
- Petugas kesehatan yang menangani pasien dengan kekebalan ganda (Depkes,
2007).
6. Pemeriksaan Radiologis
a. Tuberkulosis primer
Konsolidasi pada infeksi primer dapat melibatkan bagian manapun dari paru
dan penampakannya tidak spesifik kecuali bila ada limfadenopati. Daerah yang

terlibat bisa kecil atau mempengaruhi seluruh lobus, dan mungkin terlihat air
bronchogram (Sutton, 2003). Pada foto polos PA posisi erek tampak gambaran bercak
semiopak terletak di suprahiler (di atas hilus), perihiler (sepanjang limfangitis), dan
parakardial (di samping kor) dengan batas tak tegas. Tampak pembesaran limfonodi
di lnn. hilus, lnn. parabronkial, lnn. paratektal (Maleuka, 2008).
Pada fase lanjut tampak garis-garis fibrosis berupa garis-garis berjalan radier
dari hilus ke arah luar(superior), kalsifikasi di lnn. hilus, cairan di sinus
costophrenicus, pericardial effusion serta atelektasis di perihiler. Kadang konsolidasi
tampak sebagai nodul dengan batas tegas. Kesembuhan seringkali tanpa ada sequelae
pada radiologi thorax meskipun fibrosis dan kalsifikasi dapat terjadi (Maleuka, 2008,
Sutton, 2003).
Gambar 2.4. Gambaran foto thorax
pneumonia tuberculous (Sutton, 2003)

Gambaran foto thorax menunjukkan air bronchogram pada lobus superior


sinistra. Terlihat konsolidasi terjadi di lobus superior dextra.

Gambar 2.5. Gambaran foto thorax


tuberkulosis (Sutton, 2003)

Gambaran foto thorax menunjukkan pembesaran hilus sinistra dan konsolidasi


perihilar.
Gambar 2.6. Gambaran foto thorax
dengan infiltrat di lobus superior dextra (Fauci et a.l, 2008)

Gambaran foto thorax menunjukkan infiltrat pada lobus superior dextra dan
kavitas dengan air-fluid level pada pasien dengan tuberculosis aktif.

b. Tuberkulosis postprimer
Pada foto polos thoraks posisi erek tampak gambaran bercak semiopak bentuk
amorf seperti kapas batas tak tegas di infraklavikula (ini menunjukkan infiltrate),
tampak densitas inhomogen bentuk amorf di apeks dan basis paru (ini menunjukkan
fibroeksudatif) tampak garis-garis fibrosis, densitas sama dengan jantung yang
menarik organ sekitarnya kea rah ipsilateral (mediastinum, trakea, dan diafragma
(disebut tenting diaphragm), tampak kaverna (bulatan opak dengan lusen di
tengahnya) bentuk bulat atau oval, tampak bulatan opak, batas tegas, tepi ireguler,
inhomogen di dalamnya terdapat kalsifikasi amorf (ini merupakan gambaran
tuberkel/tuberkuloma) (Maleuka, 2008).
7. Tes Tuberkulin
Pemeriksaan ini masih banyak dipakai untuk membantu diagnosis tuberkuosis
pada anak-anak (balita). Biasanya dipakai tes Mantoux yakni dengan menyuntikkan
0,1cc tuberkulis PPD (Purified Protein Derivative) intrakutan berkekuatan 5 TU. Tes
tuberculin hanya menyatakan apakah seseorang individu sedang atau pernah
mengalami infeksi M. tuberculosae, M. bovis, vaksinasi BCG dan mycobacteria
pathogen lainnya. Dasar tes tuberculin ini adalah reaksi alergi tipe lambat. Setelah 4872 jam tuberculin disuntukkan, akan timbul reaksi berupa indurasi kemerahan
(Sudoyo et al., 2009).
Hasil tes Mantoux dibagi dalam
-

Indurasi 0-5mm (diameternya) : Mantoux negative = golongan no


sensitivity

Indurasi 6-9mm : hasil meragukan = golongan low grade sensitivity

Indurasi 10-15mm : Mantoux positif = golongan normal sensitivity

Indurasi >15mm : Mantoux positif kuat = golongan hypersensitivity

Biasanya hampir seluruh pasien tuberculosis memberikan reaksi Mantoux


yang positif (99,8%). Kelemahan tes ini juga terdapat positif palsu yakni pada

pemberian BCG atau terinfeksi dengan Mycobacterium lain. Negatif palsu


lebih banyak ditemukan daripada positif palsu (Sudoyo et al., 2009).

8. Diagnosis
Diagnosis TB paru
Semua suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari, yaitu
sewaktu - pagi - sewaktu (SPS).
Diagnosis TB Paru pada orang dewasa ditegakkan dengan ditemukannya
kuman TB (BTA). Pada program TB nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan
dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti foto toraks,
biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang
sesuai dengan indikasinya.
Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto
toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada TB paru,
sehingga sering terjadi overdiagnosis.
Gambaran kelainan radiologik Paru tidak selalu menunjukkan aktifitas
penyakit.
Untuk lebih jelasnya lihat alur prosedur diagnostik untuk suspek TB paru.
Diagnosis TB ekstra paru.
Gejala dan keluhan tergantung organ yang terkena, misalnya kaku kuduk
pada Meningitis TB, nyeri dada pada TB pleura (Pleuritis), pembesaran kelenjar limfe
superfisialis pada limfadenitis TB dan deformitas tulang belakang (gibbus) pada
spondilitis TB dan lain-lainnya.
Diagnosis pasti sering sulit ditegakkan sedangkan diagnosis kerja dapat
ditegakkan berdasarkan gejala klinis TB yang kuat (presumtif) dengan menyingkirkan
kemungkinan penyakit lain. Ketepatan diagnosis tergantung pada metode
pengambilan bahan pemeriksaan dan ketersediaan alat-alat diagnostik, misalnya uji
mikrobiologi, patologi anatomi, serologi, foto toraks dan lain-lain (Depkes, 2007).

Gambar 2.7. Alur diagnosis TB paru (Depkes, 2007)

Indikasi pemeriksaan foto toraks


Pada sebagian besar TB paru, diagnosis terutama ditegakkan dengan
pemeriksaan dahak secara mikroskopis dan tidak memerlukan foto toraks. Namun

pada kondisi tertentu pemeriksaan foto toraks perlu dilakukan sesuai dengan indikasi
sebagai berikut:
Hanya 1 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif. Pada kasus ini
pemeriksaan foto toraks dada diperlukan untuk mendukung diagnosis TB paru BTA
positif. (lihat bagan alur)
Ketiga spesimen dahak hasilnya tetap negatif setelah 3 spesimen dahak SPS
pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah
pemberian antibiotika non OAT. (lihat bagan alur)
Pasien tersebut diduga mengalami komplikasi sesak nafas berat yang
memerlukan penanganan khusus (seperti: pneumotorak, pleuritis eksudativa, efusi
perikarditis atau efusi pleural) dan pasien yang mengalami hemoptisis berat (untuk
menyingkirkan bronkiektasis atau aspergiloma) (Depkes, 2007).
9. Klasifikasi penyakit
a. Klasifikasi berdasarkan organ tubuh yang terkena:
1) Tuberkulosis paru. Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang
menyerang jaringan (parenkim) paru. tidak termasuk pleura (selaput paru) dan
kelenjar pada hilus.
2) Tuberkulosis ekstra paru. Tuberkulosis yang menyerang organ
tubuh lain selain paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung
(pericardium), kelenjar lymfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran
kencing, alat kelamin, dan lain-lain.
b. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis, yaitu pada
TB Paru:
1) Tuberkulosis paru BTA positif.
a) Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya
BTA positif.
b) 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks
dada menunjukkan gambaran tuberkulosis.

c) 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan


kuman TB positif.
d) 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3
spesimen dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya
BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah pemberian
antibiotika non OAT.
2) Tuberkulosis paru BTA negatif
Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru BTA positif.
Kriteria diagnostik TB paru BTA negatif harus meliputi:
a) Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negative
b) Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran tuberkulosis.
c) Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.
d) Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi
pengobatan.
c. Klasifikasi berdasarkan tingkat keparahan penyakit.
1) TB paru BTA negatif foto toraks positif dibagi berdasarkan tingkat
keparahan penyakitnya, yaitu bentuk berat dan ringan. Bentuk berat
bila gambaran foto toraks memperlihatkan gambaran kerusakan paru
yang luas (misalnya proses far advanced), dan atau keadaan umum
pasien buruk.
2) TB ekstra-paru dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan
penyakitnya, yaitu:
a) TB ekstra paru ringan, misalnya: TB kelenjar limfe, pleuritis
eksudativa unilateral, tulang (kecuali tulang belakang), sendi,
dan kelenjar adrenal.
b) TB ekstra-paru berat, misalnya: meningitis, milier,
perikarditis, peritonitis, pleuritis eksudativa bilateral, TB tulang

belakang, TB usus, TB saluran kemih dan alat kelamin


(Depkes, 2007).

d. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya


Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya dibagi menjadi
beberapa tipe pasien, yaitu:
a. Kasus baru
Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah
menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).
b. Kasus kambuh (Relaps)
Adalah

pasien

tuberkulosis

yang

sebelumnya

pernah

mendapat

pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan


lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur).
c. Kasus setelah putus berobat (Default )
Adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih
dengan BTA positif.
d. Kasus setelah gagal (Failure)
Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali
menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.
e. Kasus Pindahan (Transfer In)
Adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang memiliki register TB lain
untuk melanjutkan pengobatannya (Depkes, 2007).
10. Pengobatan TB
a. Tujuan Pengobatan
Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah
kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan
mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap OAT.

b. Jenis, sifat, dan dosis OAT

Tabel 2.1.Jenis, sifat, dan dosis OAT(Depkes, 2007)

c. Prinsip pengobatan
Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai
berikut:
OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat,
dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori
pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian
OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan dan
sangat dianjurkan.
Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan
pengawasan langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh
seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).
Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan
lanjutan (Depkes, 2007).

Tahap awal (intensif)


o Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu
diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat.
o Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat,
biasanya pasien menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2
minggu.
o Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif
(konversi) dalam 2 bulan.
Tahap Lanjutan
o Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun
dalam jangka waktu yang lebih lama
o Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister sehingga
mencegah terjadinya kekambuhan
d. Paduan OAT yang digunakan di Indonesia

Paduan

OAT

yang

digunakan

oleh

Program

Nasional

Penanggulangan Tuberkulosis di Indonesia:


- Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3.
- Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3.
Disamping kedua kategori ini, disediakan paduan obat sisipan (HRZE)
- Kategori Anak: 2HRZ/4HR
Paduan OAT kategori-1 dan kategori-2 disediakan dalam bentuk
paket berupa obat kombinasi dosis tetap (OAT-KDT), sedangkan
kategori anak sementara ini disediakan dalam bentuk OAT kombipak.
Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam
satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan
ini dikemas dalam satu paket untuk satu pasien.
Paket Kombipak.

Adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid, Rifampisin,


Pirazinamid dan Etambutol yang dikemas dalam bentuk blister.
Paduan OAT ini disediakan program untuk digunakan dalam
pengobatan pasien yang mengalami efek samping OAT KDT.

Paduan OAT dan peruntukannya (Depkes, 2007):


1. Kategori I (2HRZE/ 4H3R3)
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru
- Pasien baru TB paru BTA positif.
- Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif
- Pasien TB ekstra paru
Tabel 2.2.Dosis paduan OAT KDT untuk Kategori I (Depkes, 2007)

\
2. Kategori II (2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3)
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati
sebelumnya:
- Pasien kambuh
- Pasien gagal
- Pasien dengan pengobatan setelah default (terputus)

Tabel 2.3.Dosis paduan OAT KDT untuk Kategori II (Depkes, 2007)

Catatan:
Untuk pasien yang berumur 60 tahun ke atas dosis maksimal untuk
streptomisin adalah 500mg tanpa memperhatikan berat badan. Cara
melarutkan streptomisin vial 1 gram yaitu dengan menambahkan
aquabidest sebanyak 3,7ml sehingga menjadi 4ml. (1ml = 250mg)
(Depkes, 2007)
3. OAT Sisipan (HRZE)
Paket sisipan KDT adalah sama seperti paduan paket untuk tahap
intensif kategori 1 yang diberikan selama sebulan (28 hari).
Pengguanaan dosis sama dengan pada kategori I (Depkes, 2007).
Tabel 2.4 Dosis sisipan OAT KDT (Depkes, 2007)

e. Pengawasan menelan obat


Salah satu komponen DOTS adalah pengobatan paduan OAT jangka
pendek dengan pengawasan langsung. Untuk menjamin keteraturan
pengobatan diperlukan seorang PMO.
Tugas seorang PMO:
Mengawasi pasien TB agar menelan obat secara teratur
sampai selesai pengobatan.
Memberi dorongan kepada pasien agar mau berobat teratur.
Mengingatkan pasien untuk periksa ulang dahak pada waktu
yang telah ditentukan.
Memberi penyuluhan pada anggota keluarga pasien TB yang
mempunyai

gejala-gejala

mencurigakan

TB

untuk

segera

memeriksakan diri ke Unit Pelayanan Kesehatan (Depkes, 2007).


f. Pemantauan Pengobatan TB

Pemeriksaan dahak
Pemantauan kemajuan hasil pengobatan pada orang dewasa

dilaksanakan dengan pemeriksaan ulang dahak secara mikroskopis.


Untuk memantau kemajuan pengobatan dilakukan pemeriksaan
spesimen sebanyak dua kali (sewaktu dan pagi). Hasil pemeriksaan
dinyatakan negatif bila ke 2 spesimen tersebut negatif.Bila salah satu
positif atau keduanya positif, hasil pemeriksaan ulang dahak tersebut
dinyatakan positif. Pemeriksaan dahak secara mikroskopis lebih baik
dibandingkan pemeriksaan radiiologis (Sudoyo et al.,2009, Depkes,
2007).

Tabel 2.5 Tindak lanjut hasil pemeriksaan ulang dahak (Depkes,


2007)

Efek Samping
Efek

Penye

Penatalaksa

Samp

bab

naan

ing
Tidak ada nafsu

Rifampicin

makan, mual, sakit


perut
Nyeri sendi
Kesemutan s/d rasa

Semua OAT diminum


malam sebelum tidur

Pirasinamid
INH

Beri Aspirin
Beri vitamin B6 (piridoxin)

terbakar di kaki
Warna kemerahan

Rifampisin

100 mg per hari


Tidak perlu diberi apa-apa,

pada air seni


Gatal dan

Semua jenis OAT

penjelasankepada pasien
Liat petunjuk di bawah *

kemerahan kulit
Tuli

Streptomicin

Streptomicin dihentikan,

Streptomicin

ganti Ethambutol
Streptmicin dihentikan,

Hampir semua OAT

ganti ethambutol
Hentikan semua OAT

Gangguan
Keseimbangan
Ikterus tanpa

penyebab lain
Bingung dan muntah Hampir semua OAT

sampai ikterus menghilang


Hentikan semua OAT,

muntah

segera lakukan tes fungsi

Gangguan

Etambutol

hati
Hentikan Ethambutol

Penglihatan
Purpura dan Syok
Rifampicin
Hentikan Rifampicin
* Jika seorang pasien dalam pengobatan OAT mulai mengeluh gatalgatal singkirkan dulu kemungkinan penyebab lain. Berikan dulu antihistamin, sambil meneruskan OAT dengan pengawasan ketat. Gatalgatal tersebut pada sebagian pasien hilang, namun pada sebagian
pasien malahan terjadi suatu kemerahan kulit. Bila keadaan seperti
ini, hentikan semua OAT. Tunggu sampai kemerahan kulit tersebut
hilang. Jika gejala efek samping ini bertambah berat, pasien perlu
dirujuk
11. Hasil Pengobatan Pasien TB BTA positif

- Sembuh
Pasien telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap dan
pemeriksaan ulang dahak (follow-up) hasilnya negatif pada AP dan
pada satu pemeriksaan follow-up sebelumnya
- Pengobatan Lengkap
Adalah pasien yang telah menyelesaikan pengobatannya secara
lengkap tetapi tidak memenuhi persyaratan sembuh atau gagal.
- Meninggal
Adalah pasien yang meninggal dalam masa pengobatan karena sebab
apapun.
- Pindah
Adalah pasien yang pindah berobat ke unit dengan register TB 03 yang
lain dan hasil pengobatannya tidak diketahui.
- Default (Putus berobat)
Adalah pasien yang tidak berobat 2 bulan berturut-turut atau lebih
sebelum masa pengobatannya selesai.
- Gagal
Pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali
menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan
(Depkes, 2007)
12. Pengobatan TB pada keadaan khusus
a. Kehamilan
Pada prinsipnya pengobatan TB pada kehamilan tidak berbeda
dengan pengobatan
semua

OAT

TB pada umumnya. Menurut WHO, hampir

aman

untuk

kehamilan,

kecuali

streptomisin.

Streptomisin tidak dapat dipakai pada kehamilan karena bersifat


permanent ototoxic dan dapat menembus barier placenta.Keadaan ini
dapat

mengakibatkan

terjadinya

gangguan

pendengaran

dan

keseimbangan yang menetap pada bayi yang akan dilahirkan. Perlu


dijelaskan kepada ibu hamil bahwa keberhasilan pengobatannya
sangat penting artinya supaya proses kelahiran dapat berjalan lancar
dan bayi yang akan dilahirkan terhindar dari kemungkinan tertular
TB.
b. Ibu menyusui dan bayinya
Pada prinsipnya pengobatan

TB pada ibu menyusui tidak

berbeda dengan pengobatan pada umumnya. Semua jenis OAT aman


untuk ibu menyusui. Seorang ibu menyusui yang menderita TB harus
mendapat paduan OAT secara adekuat. Pemberian OAT yang tepat
merupakan cara terbaik untuk mencegah penularan kuman

TB

kepada bayinya. Ibu dan bayi tidak perlu dipisahkan dan bayi tersebut
dapat terus disusui. Pengobatan pencegahan dengan INH diberikan
kepada bayi tersebut sesuai dengan berat badannya.
c. Pasien TB pengguna kontrasepsi
Rifampisin berinteraksi dengan kontrasepsi hormonal (pil KB,
suntikan KB, susuk KB), sehingga dapat menurunkan

efektifitas

kontrasepsi tersebut. Seorang pasien TB sebaiknya mengggunakan


kontrasepsi non-hormonal, atau kontrasepsi yang mengandung
estrogen dosis tinggi (50 mcg).
d. Pasien TB dengan infeksi HIV/AIDS
Tatalaksanan pengobatan

TB pada pasien dengan infeksi

HIV/AIDS adalah sama seperti pasien TB lainnya. Obat TB pada


pasien HIV/AIDS sama efektifnya dengan pasien TB yang tidak
disertai HIV/AIDS. Prinsip pengobatan pasien TB-HIV adalah
dengan

mendahulukan

pengobatan

TB.

Pengobatan

ARV(antiretroviral) dimulai berdasarkan stadium klinis HIV sesuai


dengan standar WHO. Penggunaan suntikan Streptomisin harus

memperhatikan Prinsip-prinsip Universal Precaution (Kewaspadaan


Keamanan

Universal)

Pengobatan

pasien TB-HIV sebaiknya

diberikan secara terintegrasi dalam satu UPK untuk menjaga


kepatuhan pengobatan secara teratur. Pasien TB yang berisiko tinggi
terhadap infeksi HIV perlu dirujuk ke pelayanan VCT (Voluntary
Counceling and Testing = Konsul sukarela dengan test HIV).
e. Pasien TB dengan hepatitis akut
Pemberian OAT pada pasien TB dengan hepatitis akut dan
atau klinis ikterik, ditunda sampai hepatitis akutnya mengalami
penyembuhan. Pada keadaan dimana pengobatan

Tb sangat

diperlukan dapat diberikan streptomisin (S) dan Etambutol (E)


maksimal 3 bulan sampai hepatitisnya menyembuh dan dilanjutkan
dengan Rifampisin (R) dan Isoniasid (H) selama 6 bulan.
f. Pasien TB dengan kelainan hati kronik
Bila

ada

kecurigaan

gangguan

faal

hati,

dianjurkan

pemeriksaan faal hati sebelum pengobatan Tb. Kalau SGOT dan


SGPT meningkat lebih dari 3 kali OAT tidak diberikan dan bila telah
dalam pengobatan, harus dihentikan. Kalau peningkatannya kurang
dari 3 kali, pengobatan dapat dilaksanakan atau diteruskan dengan
pengawasan ketat. Pasien dengan kelainan hati, Pirasinamid (Z) tidak
boleh digunakan. Paduan OAT yang dapat dianjurkan adalah
2RHES/6RH atau 2HES/10HE.
g. Pasien TB dengan gagal ginjal
Isoniasid (H), Rifampisin (R) dan Pirasinamid (Z) dapat di
ekskresi melalui empedu dan dapat dicerna menjadi senyawasenyawa yang tidak toksik. OAT jenis ini dapat diberikan dengan
dosis

standar

pada

pasien-pasien

dengan

gangguan

ginjal.

Streptomisin dan Etambutol diekskresi melalui ginjal, oleh karena itu


hindari penggunaannya pada pasien dengan gangguan ginjal. Apabila

fasilitas pemantauan faal ginjal tersedia, Etambutol dan Streptomisin


tetap dapat diberikan dengan dosis yang sesuai faal ginjal. Paduan
OAT yang paling aman untuk pasien dengan gagal ginjal adalah
2HRZ/4HR.
h. Pasien TB dengan Diabetes Melitus
Diabetes harus dikontrol. Penggunaan Rifampisin

dapat

mengurangi efektifitas obat oral anti diabetes (sulfonil urea) sehingga


dosis obat anti diabetes perlu ditingkatkan. Insulin dapat digunakan
untuk mengontrol gula darah, setelah selesai pengobatan TB,
dilanjutkan dengan anti diabetes oral. Pada pasien Diabetes Mellitus
sering terjadi komplikasi retinopathy diabetika, oleh karena itu hatihati dengan pemberian etambutol, karena dapat memperberat
kelainan tersebut.
i. Pasien TB yang perlu mendapat tambahan kortikosteroid
Kortikosteroid hanya digunakan pada keadaan khusus yang
membahayakan jiwa pasien seperti:
Meningitis TB
TB milier dengan atau tanpa meningitis
TB dengan Pleuritis eksudativa
TB dengan Perikarditis konstriktiva.
Selama fase akut prednison diberikan dengan dosis 30-40 mg
per hari, kemudian diturunkan secara bertahap. Lama pemberian
disesuaikan dengan jenis penyakit dan kemajuan pengobatan.
j. Indikasi operasi
Pasien-pasien yang perlu mendapat tindakan operasi (reseksi
paru), adalah:
1) Untuk TB paru:
Pasien batuk darah berat yang tidak dapat diatasi dengan
cara konservatif.

Pasien dengan fistula bronkopleura dan empiema yang tidak


dapat diatasi secara konservatif.
Pasien MDR TB dengan kelainan paru yang terlokalisir.
2) Untuk TB ekstra paru:
Pasien TB ekstra paru dengan komplikasi, misalnya pasien TB
tulang yang disertai kelainan neurologik.

RINGKASAN
Tuberkulosis paru (TB) adalah suatu penyakit infeksi kronik yang sudah
sangat lama dikenal pada manusia . Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung
yang disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium tuberculosis). Indonesia sekarang
berada pada ranking kelima negara dengan beban TB tertinggi di dunia. Sekitar 75%
pasien TB adalah kelompok usia yang paling produktif secara ekonomis (15-50
tahun).
Kuman yang keluar melalui droplet nuclei berada dalam udara bebas selama
1-2 jam. Pada TB primer kuman yang bersarang di jaringan paru akan berbentuk
sarang tuberculosis pneumonia kecil dan disebut srang primer atau sarang (fokus)
Ghon. Sarang primer ini dapat terjadi di setiap bagian jaringan paru. Bila menjalar
sampai ke pleura dapat terjadi efusi pleura. Bila masuk ke arteri pulmonalis maka
terjadi penjalarann ke sluruh bagian paru menjadi TB milier. Dari sarang primer akan
timbul peradangan saluran getah bening menuju hilus (limfangitis local) disertai
pembesaran kelenjar getah bening hilus (limfadenitis regional). Sarang primer,
limfangitis local dan limfadenitis regional akan membentuk komplek primer Ranke.
Pada TB pasca primer kuman yang dormant pada tuberculosis primer akan muncul
bertahun-tahun kemudian sebagai infeksi endogen menjadi tuberculosis dewasa.
Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu atau
lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah,
batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun,
malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu
bulan. Pemeriksaan keadaan umum pasien mungkin ditemukan konjungtiva mata atau
kulit yang pucat karena anemia, suhu demam (subfebris), badan kurus atau berat
badan menurun. Secara anamnesis dan pemeriksaan fisis, TB paru sulit dibedakan
dengan pneumonia biasa. Bila dicurigai infiltrate yang agak luas, maka didapatkan
perkusi yang redup dan auskultasi suara napas bronchial. Didapatkan juga suara
napas tambahan berupa ronkhi basah, kasar, dan nyaring. Tetapi bila infiltrate ini

diliputi oleh penebalan pleura, suara napasnya menjadi vesicular melemah. Bila
terdapat kavitas yang cukup besar, perkusi memberikan suaraa hipersonor atau
timpani dan auskultasi memberikan suara amforik.
Pemeriksaan penunjang pada TB antara lain:
a.
b.
c.
d.

Pemeriksaan dahak
Pemeriksaan dengan biakan
Pemeriksaan rontgen dada
Tes tuberculin

Diagnosis TB paru pada orang dewasa ditegakkan dengan ditemukannya


kuman TB (BTA). Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan dan uji kepekaan
dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya.
Beberapa klasifikasi TB antara lain:
Klasifikasi berdasarkan organ tubuh yang terkena:
1) Tuberkulosis paru
2) Tuberkulosis ekstra paru
Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis, yaitu pada TB
Paru:
1) Tuberkulosis paru BTA positif
2) Tuberkulosis paru BTA negative
Klasifikasi berdasarkan tingkat keparahan penyakit.
1) TB paru BTA negatif foto toraks positif
2) TB ekstra-paru
Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya
a. Kasus baru
b. Kasus kambuh (Relaps)
c. Kasus setelah putus berobat (Default )
d. Kasus setelah gagal (Failure)
e. Kasus Pindahan (Transfer In)

Pengobatan TB. dilakukan dengan prinsip OAT harus diberikan dalam bentuk
kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan
kategori pengobatan, dilakukan pengawasan langsung, serta pengobatan TB diberikan
dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.

Paduan OAT yang digunakan di

Indonesia terbagi menjadi 2 kategori yaitu:


- Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3 untuk:
- Pasien baru TB paru BTA positif.
- Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif
- Pasien TB ekstra paru
- Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3
- Pasien kambuh
- Pasien gagal
- Pasien dengan pengobatan setelah default (terputus)
Pemantauan kemajuan hasil pengobatan pada orang dewasa dilaksanakan
dengan pemeriksaan ulang dahak secara mikroskopis. Pengobatan TB mempunyai
banyak efek samping antara lain tidak ada nafsu makan, mual, sakit perut, nyeri
sendi, kesemutan s/d rasa terbakar di kaki, warna kemerahan pada air seni, gatal dan
kemerahan kulit, tuli, gangguan keseimbangan, ikterus tanpa penyebab lain, bingung,
dan muntah-muntah, gangguan penglihatan, purpura, dan syok. Hasil pengobatan
pasien TB BTA positif antara lain
- Sembuh
- Pengobatan Lengkap
- Meninggal
- Pindah
- Default (Putus berobat)
- Gagal
Pada keadaan berikut diperlukan pengobatan TB yang khusus :
a. Kehamilan
b. Ibu menyusui dan bayinya

c. Pasien TB pengguna kontrasepsi


d. Pasien TB dengan infeksi HIV/AIDS
e. Pasien TB dengan hepatitis akut
f. Pasien TB dengan kelainan hati kronik
g. Pasien TB dengan gagal ginjal
h. Pasien TB dengan Diabetes Melitus
i. Pasien TB yang perlu mendapat tambahan kortikosteroid

DAFTAR PUSTAKA
Depkes RI,Pedoman Nasional Penanggulan Tuberkulosis Edisi Kedua. 2007.Jakarta :
Departemen Kesehatan RI
Fauci, AS, Kasper, DL, Longo, DL. Harrisons Principle of Internal Medicine 17 th
Edition. 2008. United States of America: McGraw-Hill.
Kemenkes RI, Strategi Nasional Pengendalian TB di Indonesia 2010-2014. 2011.
Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
Maleuka, Rusdy G. Radiologi Diagnostik. 2008. Yogyakarta: Pustaka Cendekia Press.
Sudoyo,A.W., Setiyohadi B., Alvi I., Simadibrata,M., Setiati.,S. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Edisi Kelima. 2009.Jakarta: Interna Publishing
Sutton, David. Textbook of Radiology Imaging Volume 1 Seventh Edition.2003.
Elsevier Science.
WHO. Global Tuberculosis Control: WHO report 2011. 2011. Geneva: World Health
Organization.

LAMPIRAN

You might also like