You are on page 1of 11

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Infeksi adalah masuk dan berkembangnya mikroorganisme dalam tubuh yang
menyebabkan sakit yang disertai dengan gejala klinis baik lokal maupun sistemik (Potter &
Perry, 2005)
Pasien yang dirawat di unit pelayanan kesehatan sangat rentan terhadap infeksi yang
dapat terjadi karena tindakan perawatan selama pasien dirawat di bangsal rawat inap, kondisi
lingkungan di sekitar, dan daya tahan tubuh pasien itu sendiri. Penularan dapat terjadi dari
pasien ke petugas kesehatan, dari pasien ke pasien yang lain, dari pasien ke pengunjung atau
keluarga pasien maupun petugas kesehatan kepada pasien. Infeksi ini dikenal dengan infeksi
nosokomial atau di rumah sakit yang saat ini disebut dengan HAIS (Hospital Acquired
Infection) dimana dapat memperpanjang lama rawat, meningkatkan morbiditas dan
mortalitas, serta menambah biaya perawatan (Damadi, 2008).
Infeksi nosokomial juga didefinisikan sebagai infeksi yang terkena pada pasien semasa
dirawat di unit pelayanan kesehatan, dimana infeksi yang terjadi setelah 72 jam pasien
dirawat dan pasien tersebut tidak menunjukan gejala infeksi saat masuk rumah sakit (WHO,
2002). Suatu penelitian yang dilakukan oleh WHO menunjukan bahwa sekitar 8,7% dari 55
rumah sakit dari 14 negara yang berasal dari Eropa, Timur Tengah, Asia Tenggara dan Pasifik
menunjukan adanya infeksi nosokomial dan Asia Tenggara sebanyak 10% (WHO, 2002).
Penderita yang sedang dalam proses asuhan perawatan di rumah sakit atau di puskesmas
daya tahan tubuh sedang menurun. Hal ini akan mempermudah terjadinya infeksi silang
karena kuman kuman, virus dan sebagainya akan masuk ke dalam tubuh penderita dengan

mudah. Infeksi yang terjadi pada penderita yang sedang dalam proses asuhan keperawatan ini
disebut infeksi nosokomial (Arfiana, dkk.,2012). Beberapa kejadian infeksi nosokomial
mungkin tidak menyebabkan kematian pasien namun menyebabkan pasien dirawat lebih
lama yang berdampak pada bertambahnya biaya perawatan akibat lama perawatan akan
bertambah (Baker, et al., 2008).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Meilia Supeni didapatkan hubungan antara
kepatuhan pelaksanaan hand hygiene dengan pertumbuhan bakteri penyebab infeksi
nosokomial dengan nilai korelasi 0,327 (Supeni, 2010). Mikroorganisme memiliki beberapa
cara penularan untuk membantu memfasilitasi perpindahan suatu agen dari reservoir ke
penjamu yang rentan. Mekanisme penularan infeksi melalui penularan langsung, tidak
langsung dan melalui udara (Arias, 2010). Selama perawatan medis, Selama perawatan
medis, tangan tenaga layanan kesehatan sering berkontak dengan pasien.Dengan demikian,
tangan klinisi tersebut merupakan sarana yang paling lazim untuk penularan infeksi
nosokomial.Penularan melalui rute ini lebih sering terjadi dibandingkan penularan bawaan
vektor, bawaan udara ataupun bentuk kontak langsung dan tidak langsung (Pruss, et al.,
2005).
Upaya dalam pencegahan dan pengendalian infeksi nosokomial dengan menerapkan
prinsip asepsis dan menerapkan standar tinggi untuk menghilangkan sumber potensial
penyakit. Menghambat rute penularan bakteri dari sumber potensial dan reservoir bakteri ke
orang yang tidak mengalami infeksi dengan hand hygiene yang efektif terutama pada petugas
kesehatan juga merupakan salah satu pencegahan (Brooker, 2009). Hand hygiene termasuk
cuci tangan dan disinfeksi tangan merupakan tindakan pencegahan primer yang dapat
dilakukan oleh tenaga layanan kesehatan. Pencucian tangan menyeluruh dengan jumlah air
dan sabun yang memadai dapat menghilangkan lebih dari 90% flora sementara. Disinfeksi

dengan alkohol digunakan untuk membunuh mikroorganisme beserta kontaminan yang ada
(Pruss, et al.,2005). Meningkatkan resistensi pasien terhadap infeksi, termasuk status nutrisi
dan kerentanan terhadap infeksi dalam upaya menekan penularan infeksi (Brooker, 2009).
Teknik aseptik adalah metode yang digunakan untuk mencegah infeksi
nosokomial.Prosedur ini harus dilakasanakan untuk meminimalkan resiko infeksi,
diperkirakan 30% infeksi nosokomial dapat dicegah (Baker, et al., 2008).The Centers for
Disease Control and Prevension mengeluarkan rekomendasi untuk hand hygiene yang
merupakan salah satu tindakan aseptik. Hand hygiene adalah istilah yang diterapkan untuk
mencuci tangan, menggunakan antiseptik mencuci tangan, atau antiseptis tangan untuk
pembedahan. Data menunjukkan bahwa pembersihan tangan dengan antiseptik pencuci
tangan lebih efektif dalam mengurangi infeksi nosokomial dari pada mencuci tangan dengan
cara biasa (Garber, et al., 2010). Tangan dapat membawa sejumlah organisme secara
signifikan, baik patogen maupun flora normal.Mencuci tangan yang tepat dapat menurunkan
angka infeksi dan secara potensial mengurangi transmisi ke pasien.Sabun dan air
memberikan pengurangan mekanis bagi mikroorganisme dan menghilangkan kotoran.Sabun
antimikroba memberikan inhibisi tambahan terhadap mikroorganisme yang menetap (Dirckx,
2005). Penelitian membuktikan infeksi nosokomial di RS terjadi akibat kurangnya kepatuhan
petugas.Rata-rata kepatuhan petugas untuk mencuci tangan di Indonesia 20%-40% (Depkes,
2010).
Tangan merupakan sarana untuk hampir setiap penyebaran patogen potensial dari satu
pasien ke pasien lain, dari objek yang terkontaminasi ke pasien, atau dari staff member ke
pasien. Untuk dapat melindungi pasien dari infeksi, hand hygiene harus dilaksanakan secara
rutin dan sesuai dengan rekomendasi (Kowalak,2009). Hand hygiene adalah salah satu
tindakan prevensi untuk cross infection.Mencuci tangan yang tidak memadai dapat menjadi

wadah terjadinya infeksi (Friedman & Petersen, 2004).Hand hygiene adalah tindakan yang
biasa di lakukan oleh masyarakat setiap hari dan biaya yang dikeluarkan untuk menyediakan
fasilitas hand hygiene baik wastafel untuk melaksanakan hand washing atau pun alkohol
based hand rub tersebut tidak tinggi, tetapi memiliki manfaat yang cukup besar untuk
mencegah terjadinya HAIs yang dapat mengakibatkan pengeluaran biaya yang lebih besar
bahkan kematian
Puskesmas Jetis I merupakan salah satu pusat kesehatan masyarakat yang berada di
Kabupaten Bantul, yang memiliki layanan rawat jalan, IGD 24 jam, persalinan normal, dan
rawat inap. Selama ini belum ada penelitian mengenai kepatuhan pelaksanaan hand hygiene
di Puskesmas Jetis I, terutama di unit rawat inap sehingga dari keadaan tersebut peneliti
merasa tertarik untuk mengetahui hubungan tingkat pengetahuan hand hygiene dengan
kepatuhan pelaksanaan hand hygiene pada petugas kesehatan di Puskesmas Jetis I di unit
rawat inap dan IGD.
B. Pernyataan Masalah
Berdasarkan masalah yang dipaparkan diatas, yang menjadi rumusan masalah pada
penelitian ini adalah :
1. Adakah hubungan tingkat kepatuhan hand hygiene dengan kepatuhan pelaksanaan hand
hygiene pada petugas kesehatan di unit IGD dan rawat inap Puskesmas Jetis I Bantul ?
2. Bagaimana hubungan tingkat pengetahuan hand hygiene dengan kepatuhan pelaksanaan
hand hygiene pada petugas kesehatan di unit IGD dan rawat inap Puskesmas Jetis I
Bantul ?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mengetahui tingkat pengetahuan hand hygiene pada petugas kesehatan di unit IGD dan
rawat inap Puskesmas Jetis I Bantul dalam menceegah terjadinya infeksi nosokomial.
2. Tujuan Khusus

Mengetahui pelaksanaan hand hygiene pada petugas kesehatan di unit IGD dan rawat
inap Puskesmas Jetis I Bantul yang dihubungkan dengan pengetahuan terhadap hand
hygiene.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini antara lain :
1. Memberikan informasi mengenai pentingnya tingkat pengetahuan hand hygiene terhadap
pelaksanaan hand hygiene
2. Mengetahui tingkat kepatuhan hand hygiene petugas kesehatan di unit IGD dan rawat
inap Puskesmas Jetis I Bantul
3. Diharapkan dapat memberikan masukkan untuk mencari metode terbaik dalam
meningkatkan kepatuhan pelaksanaan hand hygiene pada petugas kesehatan di unit IGD
dan rawat inap Puskesmas Jetis I Bantul

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengetahuan
1. Definisi Tingkat Pengetahuan
Pengetahuan adalah merupakan hasil dari Tahu dan ini terjadi setelah orang
melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui
panca indra manusia, yaitu: indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba
(Notoatmodjo, 2005).
Pengetahuan atau kognitif yang merupakan domain yang sangat penting untuk
terbentuknya tindakan seseorang. Pengetahuan diperlukan sebagai dorongan fisik dalam
menumbuhkan rasa percaya diri maupun dengan dorongan sikap perilaku setiap orang
sehingga dapat dikatakan bahwa pengetahuan merupakan stimulasi terhadap tindakan
seseorang (Notoatmodjo, 2005).
2. Tingkatan Pengetahuan Dalam Domain Kognitif
Menurut Notoatmodjo (2005), tingkat pengetahuan terdiri dari 6 (enam)
tingkatan, yakni :
a. Tahu (Know)
Tahu diartikan mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Yang
termasuk mengingat kembali tahap suatu yang spesifik dari keseluruhan bahan yang
dipelajari atau rangsangan. Jadi tahu merupakan tingkat pengetahuan yang paling
rendah. Pengetahuan petugas kesehatan yang diteliti tentang hand hygiene pada
tingkat tahu bermaksud mereka dapat mengingat hal yang penting berkaitan dengan
hand hygiene seperti ingat apa tujuan pemeriksaan ini.
b. Memahami (Comprehension)
Memahami diartikan sebagai sutau kemampuan menjelaskan secara benar
tentang objek yang diketahui dan dapat menginterprestasikan materi tersebut secara
benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat menjelaskan,

menyebutkan contohnya wanita atau responden bisa menyimpulkan, meramalkan


tentang hal yang berkaitan dengan hand hygiene
c. Aplikasi (Aplication)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan suatu materi yang
telah dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya).
d. Analisa (Analysis)
Analisa adalah kemampuan untuk menjabarkan materi suatu objek didalam
struktur

organisasi

tersebut

dam

masih

ada

kaitannya

satu

sama

lain.

Kemampuankemampuan analisis dapat dikaitkan dari penggunaan-penggunaan kata


kerja seperti kata kerja seperti menggambarkan, memisahkan, mengelompokkan dan
sebagainya tentang hal-hal yang penting berkaitan hand hygiene
e. Sintesis (Synthesis)
Sintesis menunjukkan pada suatu kemampuan untuk meletakkan atau
menghubungkan bagian-bagian dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru, dengan
kata lain sintesis itu suatu kemampuan untuk menyusun suatu formulasi baru dari
formulasi yang ada.
f. Evaluasi (Evaluation)
Evaluasi berkaitan dengan pengetahuan untuk melakukan penelitian terhadap
suatu materi atau objek. Pengukuran pengetahuan petugas kesehatan tentang hand
hygiene dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan tentang
materi yang ingin diukur melalui kuesioner yang diberikan.
3. Faktor Faktor Yang Mempengaruhi Pengetahuan
a. Usia
Usia merupakan lamanya hidup dalam hitungan waktu (tahun). Seharusnya
orang dewasa tingkat pengetahuannya mengenai hand hygiene akan lebih tinggi dan
baik berbanding dengan mereka yang masih muda atau anak-anak. Hal ini adalah
karena diasumsi bahwa mereka lebih banyak dan lama terpapar dengan informasi
mengenai hand hygiene.

b. Pendidikan
Pendidikan merupakan proses belajar yang pernah ditempuh secara formal
didalam lembaga pendidikan. Tingkat pendidikan mempunyai hubungan terhadap
motivasi untuk melakukan hand hygiene, terutama para petugas kesehatan yang
dimana latar belakang pendidikanya sudah mempelajari dan paham mengenai
manfaat dari melakukan hand hygiene, karena semakin tinggi tingkat pendidikan,
maka semakin tinggi pula tingkat pengetahuan dan kesadaran pada orang tersebut
dalam menerima informasi.
c. Sumber Informasi
Sumber informasi adalah segala sesuatu yang menjadi perantara dalam
penyampaian informasi, merangsang pikiran dan kemampuan. Media informasi untuk
komunikasi massa terdiri dari media cetak yaitu surat kabar, majalah dan buku, dan
media elektronik seperti radio, tv dan internet. Sumber informasi dari buku-buku
ilmiah adalah lebih baik jika dibandingkan dengan sumber dari majalah dan surat
kabar karena informasinya lebih diyakini kebenarannya. Selain itu, sumber informasi
dari media elektronik seperti internet juga berbeda kebenarannya di mana terdapat
situs-situs yang menampilkan informasi yang berbeda.
B. Hand Hygiene dan Ketaatan Petugas Kesehatan
1. Definisi Ketaatan dan Hand Hygiene
Ketaatan adalah tingkat yang mana seseorang taat sesuai dengan yang telah
direkomendasikan (Kretzer, & Larson.,1998). Selain itu menurut kamus besar bahasa
Indonesia ketaatan adalah sikap patuh atau kepatuhan. Dengan demikian, ketaatan adalah
kepatuhan seseorang terhadap sesuatu yang teelah direkomendasikan. Hand hygiene
adalah sebuah istilah umum, salah satunya mencuci tangan dengan air dan menggunakan

sabun atau menggosok tangan dengan cairan antiseptic seperti alcohol hand rubs (ALC)
(Larson, 1995).
2. Manfaat Melakukan Hand Hygiene
Jumlah total bakteri yang terdapat du tangan sekitar 5 sampai 6 batang colony forming
unit (CFUs) sebelum mencuci tangan (Larson, Butz, Gullete, & Laughon, 1990). Bakteri
ini dikelompokkan dalam dua kategori : bakteri sementara dan tetap. Bakteri sementara
koloninya berada dilapisan permukaan kulit, mudah dibersihkan dengan mencuci tangan
secara rutin (Pittet, 2001), sedangkan bakteri tetap koloninya menempel ke lapisan dalam
kulit, mereka lebih tahan jika hanya dibersihkan dengan mencuci tangan (Sprunt,
Redman, &Leidy, 1973).
Area jari dan kuku juga dianggap sebagai tempat utama flora ditangan dan area
subungual (wilayah dibawah jari kuku) sering menjadi tempat masuknya mikroorganisme
paling banyak dan merupakan sumber perkembang biakkan selanjutnya, khususnya
dibawah sarung tangan. Flora yang terdapat ditangan meliputi gram negative dan
staphylococcus aureus. Kondisi ini dapat dicegah dengan melakukan hand hygiene sesuai
dengan standar, termasuk tekhnik menggunakan sabun dan agen antiseptic, waterless
hand scrubs, serta tekhnik mencuci tangan, patuh dengan standar mencuci tangan
menurut WHO. (WHO, 2012).
3. Lima Kesempatan Melakukan Hand Hygiene (WHO, 2009)
a. Sebelum Menyentuh Pasien
Sebelum memulai perawatan pasien dan melakukan perawatan kembali, kebersihan
tangan harus dilakukan sebelum dan sesudah melakukan perawatan karena banyak
penelitian mendokumentasikan bahwa petugas kesehatan dapat terkontaminasi
melalui tangan mereka sendiri (atau sarung tangan) dengan hanya menyentuh benda
yang ada di ruangan pasien dan area kulit yang ada mikroorganisme.
b. Setelah menyelesaikan perawatan pasien

Dianjurkan untuk mencuci tangan setelah kontak dengan pasien, seperti berjabat
tangan, melakukan pemeriksaan fisik, mengukur vital sign. Diharapkan penularan
antara pasien melalui tangan kita menjadi minimal.
c. Sebelum melakukan prosedur aseptic
Situasi yang harus melakukan cuci tangan sebelum melakukan tindakan aseptic, pada
pemeriksaan fisik dalam ataupun untuk melakukan tindakan invansif. Dimaksudkan
untuk meminimalisir resiko penularan ke pasien dari tangan tenaga medis.
d. Setelah kontak dengan cairan tubuh yang beresiko
Situasi yang dimaksudkan adalah seperti setelah memasang selang kateter, melakukan
medikasi luka, mengganti perban, pemeriksaan gigi, melakukan perkutaneus injeksi.
Pada keadaan ini kolonisasi bakteri pada cairan tubuh pasien sangat beresiko banyak.
e. Setelah menyentuh lingkungan sekitar pasien
Hal seperti mengganti linen, menyentuh tempat tidur pasien, monitoring, dan benda
benda lainnya yang secara kontak pernah disentuh oleh pasien.

Gambar 1.
Lima
Momen

Kesempatan Mencuci Tangan

4. Kendala (barrier) Dalam Melakukan Hand Hygiene


Merujuk pada literature, buruknya ketaatan dalam melakukan hand hygiene dihubungkan
dengan berbagai macam kendala. Beberapa kemungkinan misalnya agen hand wash
(sabun) dapat menyebabkan iritasi atau kering pada kulit, petugas kesehatan kesulitan
dalam mengakses bak cuci tangan atau persediaan alat Hand Hygiene, kurangnya role
model dari kolega atau atasan, beban kerja yang tinggi, kekurangan tenaga kerja da
nindikasi yang banyak menuntut untuk melakukan hand hygiene per jam per perawatan
pasien. Beberapa kendala dalam melakukan hand hygiene :
a. Kondisi kulit dan frekuensi hand hygiene
Pada saat membahas tentang penggunaan produk yang digunakan untuk melakukan
hand hygiene, terutama sabun dan deterjen lainnya, ternyata merupakan faktor utama
yang menyebabkan dermatitis kronis pada pertugas kesehatan. Penggunaan sabun dan
deterjen secara dapat merusak kulit, sehingga petugas kesehatan harus diberi
informasi dengan baik mengenai kemungkinan efek yang merugikan dari agen
pencuci tangan. Kurangnya pengetahuan dan pendidikan mengenai standar mencuci
tangan juga merupakan kendala dalam melakukan kebersihan tangan.
b. Efek kekurangan tenaga
Pittet (2001) menemukan hubungan antara ketaatan mencuci tangan yang sesuai
dengan standard dan kekurangan tenaga. Dia melaporkan bahwa kekurangan tenaga
merupakan salah satu kendala dalam ketaatan melaksanakan hand hygiene sesuai
dengan standar. Hal ini dapat terjadi pada keadaan jumlah pasien yang membutuhkan
perawatan tinggi.

You might also like