You are on page 1of 54

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Antibiotika
Agen antibiotika adalah obat-obatan yang paling sering digunakan di
seluruh dunia. Penggunaan secara luas ini menyebabkan seringnya terjadi resistensi
antibiotika pada manusia, khususnya anak-anak. Pengurangan penggunaan
antibiotika yang tidak tepat dapat menjadi cara untuk mengontrol resistensi terhadap
antibiotika.1
Antibiotika adalah zat yang dihasilkan oleh suatu bakteri, terutama fungi,
yang dapat menghambat atau dapat membasmi bakteri jenis lain. Obat yang
digunakan untuk membasmi bakteri, penyebab infeksi pada manusia, ditentukan
harus memiliki sifat toksisitas selektif setinggi mungkin. Artinya, obat tersebut
haruslah bersifat sangat toksik untuk bakteri, tetapi relatif tidak toksik untuk host.
Agen antibiotika diklasifikasikan berdasarkan mekanisme kerja, yang terdiri
dari agen yang menghambat sintesis dinding sel bakteri, agen yang berperan untuk
meningkatkan permeabilitas membran sel dan menyebabkan kebocoran zat-zat
intraseluler, agen yang mengganggu fungsi dari subunit ribosomal dalam
menghambat sintesis protein secara reversible, agen yang mempengaruhi
metabolisme asam nukleat dari bakteri dengan cara menghambat polimerase RNA
atau topoisomerase, agen antimetabolit yang menghalangi kerja enzim penting dari
metabolisme folat.1
Keberhasilan terapi antibiotika bergantung pada konsentrasi dari antibiotika
terhadap bagian infeksi, dimana antibiotika ini harus berhasil menghambat
perkembangan mikroorganisme yang menyerang. Jika pertahanan host masih intak,
maka

agen

antibiotika

yang

menghambat

pertumbuhan

atau

replikasi

mikroorganisme, tetapi tidak membunuhnya (agen bakteriostatik), sudah mencukupi


bagi host ini. Jika pertahanan host telah rusak, maka antibiotic-mediated killing
dibutuhan (agen bakterisidal) pada host ini. Konsentrasi obat pada bagian infeksi
harus dapat menghambat organisme, tetapi juga harus berada nilai toksisitas yang
rendah terhadap sel manusia. Jika konsentrasi obat ini berhasil menghambat
organisme, maka obat ini dipertimbangakan sebagai agen antibiotika yang sensitif
2

terhadap mikroorganisme tertentu. Namun jika sebaliknya, maka agen ini bersifat
resisten terhadap mikroorganisme itu. Faktor lokal, seperti pH rendah, konsentrasi
protein tinggi, dan kondisi anaerob, juga dapat mengganggu aktivitas kerja dari obat.1
Tingginya resistensi antibiotika dewasa ini adalah suatu perkembangan
masalah yang serius, yang mengancam akhir dari era antibiotika. Lebih dari 70%
bakteri yang berhubungan dengan hospital acquired infections di Amerika Serikat,
resisten terhadap satu atau beberapa antibiotika yang sebelumnya dipergunakan
untuk mengatasi bakteri tersebut. Untuk menjadi antibiotika yang efektif, sebuah
antibiotika harus dapat mencapai targetnya sebagai bentuk aktif, mengikat target, dan
mengganggu eksistensi bakteri tersebut sesuai dengan fungsi antibiotika tersebut.
Resistensi bakteri terhadap suatu agen antibiotika disebabkan karena tiga
mekanisme, yaitu : 1
1. antibiotika tidak mencapai target yang seharusnya ;

Membran terluar dari bakteri gram negatif adalah barrier yang tidak
dapat ditembus oleh molekul besar ketika molekul tersebut akan
masuk ke dalam sel. Molekul kecil, seperti antibiotika, dapat
memasuki sel melalui saluran protein, yang disebut juga porin.
Ketiadaan, perubahan sel, atau kehilangan porin tertentu dapat
menyebabkan keterlambatan masuknya antibiotika ke dalam sel atau
malah dapat mencegah masuknya antibiotika. Hal ini dapat
menurunkan efektivitas dan konsentrasi antibiotika pada area yang
aktif. Jika target adalah intraseluler dan antibiotika membutuhkan
transport aktif melewati membran sel, resistensi dapat terjadi akibat
mutasi yan menghambat mekanisme transport itu. Sebagai contoh,
gentamisin, yang menargetkan ribosom, secara aktif melakukan
transport melewati membran sel dengan menggunakan energi yang
disediakan oleh gradient elektrokimiawi membran. Mutasi yang
terjadi pada jalur ini atau kondisi anaerob dapat menyebabkan
masuknya gentamisin secara lambat ke dalam sel. Resistensi terhadap
sejumlah antibiotika, seperti tetrasiklin, kloramfenikol, flurokuinolon,
makrolid, dan -lactam, dimediasi oleh mekanisme pompa efflux.
Mekanisme ini terjadi karena bakteri mengaktifkan pompa efflux
untuk membuang keluar antibiotika yang ada di dalam sel.2
2. antibiotika tidak aktif ;
3

Resistensi bakteri terhadap aminoglikosida dan -lactam biasanya


terjadi akibat produksi enzim yang memodifikasi atau merusak
antibiotika, secara berurutan. Variasi dari mekanisme ini, misalnya
kegagalan bakteri untuk mengaktivasi prodrug, biasanya mendasari
terjadinya resistensi Mycobacterium tuberculosis terhadap isoniazid.
3. target telah berubah
Perubahan ini termasuk mutasi dari target alami (contohnya adalah
resistensi fluorokuinolon), target modifikasi (contohnya adalah
proteksi ribosom dari makrolid dan tetrasiklin), atau bentuk resisten
dari target yang rentan (contohnya adalah resistensi Staphylococcal
aureus terhadap methicillin, yang disebabkan karena produksi variasi
penicillin-binding protein (PBP) yang memiliki afinitas rendah). Pada
keadaan ini, bakteri mengubah tempat ikatan (binding site) dari PBP,
sehingga afinitasnya menurun terhadap methicillin dan antibiotika lactam lainnya.2
Penyebaran resistensi pada bakteri dapat terjadi secara vertical (diturunkan ke
generasi berikutnya) atau horizontal dari suatu sel donor (lebih sering terjadi).
Berdasarkan bagaimana resistensi dipindahkan, maka penyebarannya dapat
dibedakan menjadi empat macam, yaitu :2
1. Mutasi
Proses ini terjadi secara spontan, acak, dan tidak tergantung dari ada
atau tidaknya paparan terhadap antibiotika. Mutasi terjadi akibat
perubahan pada gen bakteri, yang mengubah binding site dari
antibiotika, protein yang mengaktifkan obat, dan sebagainya.
2. Transduksi
Proses ini terjadi ketika bakteri menjadi resisten karena mendapatkan
DNA dari bakteriofag (virus yang menyerang bakteri) yang membawa
DNA dari kuman lain, yang memiliki gen resisten terhadap antibiotik
tertentu. Bakteri yang sering mentransfer resisten dengan cara ini
adalah S. aureus.
3. Transformasi
Transfer resistensi ini terjadi karena bakteri mengambil DNA bebas
yang membawa sifat resisten dari sekitarnya. Transformasi sering
4

menjadi

cara

transfer

resistensi

terhadap

penicillin

pada

Pneumococcus atau Neisseria.


4. Konjugasi
Transfer resisten ini terjadi secara langsung antara dua bakteri dengan
suatu jembatan, yang disebut pilus seks. Konjugasi adalah mekanisme
transfer resistensi yang sangat penting, dan dapat terjadi antara kuman
yang spesiesnya berbeda. Transfer resistensi dengan cara konjugasi
lazim terjadi antar bakteri Gram negatif. Sifat resistensi dibawa oleh
plasmid (DNA yang bukan kromosom).
Faktor-faktor yang memudahkan berkembangnya resistensi adalah penggunaan
antibiotika yang sering, penggunaan antibiotika yang irasional, penggunaan
antibiotika baru yang berlebihan, dan penggunaan antibiotika untuk jangka waktu
lama.
Antibiotika memiliki tiga kegunaan utama, yaitu terapi empiris, terapi
definitif, dan terapi profilaksis. Ketika menggunakan terapi empiris, antibiotika
sebaiknya meliputi seluruh jenis patogen. Hal ini disebabkan karena organisme yang
menginfeksi belum dapat diidentifikasi. Terapi kombinasi atau terapi dengan single
broad-spectrum dapat diberikan. Jika mikroorganisme yang menginfeksi telah
teridentifikasi, maka pengobatan dapat diberikan antibiotika dengan spectrum sempit
dan low-toxicity drug. Kegagalan untuk mengidentifikasi mikroorganisme yang
menginfeksi dan kegagalan untuk mempersempit spektrum antibiotik adalah
kesalahan dalam penggunaan antibiotika.1
Pertimbangan pertama dalam pemilihan antibiotika adalah apakah
antibiotika tersebut diindikasikan. Adanya kecenderungan untuk menghubungkan
demam dengan penatalaksanaan infeksi dan pemberian terapi antibiotika tanpa
evaluasi lebih lanjut merupakan suatu hal yang irasional dan berbahaya. Diagnosis
dapat menjadi kabur jika terapi diberikan sebelum kultur bakteri dilakukan.
Antibiotika berpotensi menjadi toksik, dan dapat menyebabkan sejumlah resistensi
dari mikroorganisme. Untuk alasan penyakit yang berat dan kejadian yang
mengancam nyawa jika antibiotika tidak diberikan, maka pemberian antibiotika
dapat segera dimulai sebelum diagnosis ditegakkan.1
2.2. Efek Samping Antibiotika
5

Efek samping penggunaan antibiotika dapat dikelompokkan menjadi reaksi


alergi, reaksi idiosinkrasi, reaksi toksik, serta peruahan biologik dan metabolik pada
host. Reaksi alergi dapat ditimbulkan oleh semua antibiotic dengan melibatkan
sistem imun tubuh host, dan terjadinya tidak bergantung pada besarnya dosis obat.
Manifestasi gejala dan derajat beratnya reaksi dapat bervariasi. Prognosis reaksi
seringkali sukar diramalkan, walaupun didasarkan atas riwayat reaksi alergi pasien.
Orang yang pernah mengalami reaksi alergi, misalnya penisilin, tidak selalu
mengalami reaksi itu kembali ketika diberikan obat yang sama. Sebaliknya, orang
tanpa riwayat alergi dapat mengalami reaksi alergi pada penggunaan ulang penisilin.
Reaksi alergi pada kulit akibat penggunaan penisilin dapat menghilang sendiri,
walaupun terapi dilanjutkan. Peristiwa ini mungkin berdasarkan pada desensitisasi.
Tetapi pada kejadian reaksi alergi yang lebih berat daripada eksantem kulit, tidaklah
bijaksana untuk meneruskan terapi, karena makin berat reaksi pertama, maka makin
besar kemungkinan timbulnya reaksi yang lebih berat pada pemberian ulang, berupa
anafilaksis, dermatitis eksfoliativa, angioedema, dan lain-lain.2
Reaksi idiosinkrasi merupakan reaksi abnormal yang diturunkan secara
genetik terhadap pemberian antibiotika tertentu. Sebagai contoh, 10% pria berkulit
hitam mengalami anemia hemolitik berat bila mendapatkan primakuin. Hal ini
disebabkan karena mereka kekurangan enzim G6PD.2
Antibiotika pada umumnya bersifat toksik-selektif, tetapi sifat ini relatif.
Efek toksik pada hospes ditimbulkan oleh semua jenis antibiotika. Yang mungkin
dapat dianggap relatif tidak toksik sampai kini adalah golongan penicillin. Dalam
menimbulkan efek toksik, masing-masing antibiotika dapat memiliki predileksi
terhadap organ atau sistem tertentu pada tubuh hospes.2
Golongan aminoglikosida pada umumnya bersifat toksik, terutama terhadap
N. VIII. Golongan tetrasiklin dapat mengganggu pertumbuhan jaringan tulang,
termasuk gigi, akibat deposisi kompleks tetrasiklin kalsium-ortofosfat. Dalam dosis
besar, obat ini bersifat hepatotoksik, terutama pada pasien pyelonefritis dan wanita
hamil.2
Pada tubuh host, baik yang sehat maupun yang menderita infeksi, terdapat
populasi mikroflora yang normal. Dengan keseimbangan ekologik, populasi
mikroflora tersebut biasanya tidak menunjukkan sifat patogen. Penggunaan
antibiotika, terutama yang berspektrum luas, dapat mengganggu keseimbangan
ekologik mikroflora, sehingga jenis bakteri yang meningkat jumlah populasinya
6

dapat menjadi patogen. Gangguan keseimbangan ekologik mikroflora normal tubuh


dapat terjadi pada traktus gastrointestinal, traktus respiratorius, traktus urogenital,
dan kulit. Pada beberapa keadaan perubahan ini, dapat menimbulkan superinfeksi,
yaitu suatu infeksi baru yang terjadi akibat terapi infeksi primer dengan suatu
antibiotika. Bakteri penyebab superinfeksi biasanya adalah jenis bakteri yang
menjadi dominan pertumbuhannya akibat penggunaan antibiotika, misalnya
Candidiasis, yang sering timbul akibat penggunaan antibiotika berspektrum luas,
khususnya tetrasiklin.2
Pada pasien yang lemah, superinfeksi potensial dapat sangat berbahaya,
sebab kebanyakan bakteri penyebab superinfeksi biasanya adalah bakteri Gramnegatif dan Staphylococcus yang multi-resisten terhadap obat, Candida, serta fungi.
Faktor yang memudahkan terjadinya superinfeksi adalah adanya faktor atau penyakit
yang mengurangi daya tahan tubuh pasien, penggunaan antibiotika terlalu lama,
luasnya spektrum aktivitas antibiotika, baik tunggal maupun dalam kombinasi.
Makin luas spektrum antibiotika, makin besar kemungkinan suatu jenis mikroflora
tertentu menjadi dominan. Frekuensi kejadian superinfeksi paling rendah adalah
dengan penicillin G. Jika terjadi superinfeksi, tindakan yang perlu dilakukan untuk
mengatasinya adalah menghentikan terapi dengan antibiotika yang sedang
digunakan, melakukan biakan bakteri penyebab superinfeksi, dan memberikan suatu
antibiotika yang efektif terhadap bakteri tersebut. Selain menimbulkan perubahan
biologik tersebut, penggunaan antibiotika tertentu dapat pula menimbulkan gangguan
nutrisi atau metabolik, misalnya gangguan absorbsi zat makanan oleh neomisin.2
2.3. Terapi Kombinasi Agen Antibiotika
Terapi kombinasi direkomendasikan untuk keadaan tertentu dan dibutuhkan
suatu pemahaman yang tepat terkait interaksi antara kedua agen tersebut. Sebagai
contoh, vancomycin yang diberikan sendiri, biasanya memiliki efek nefrotoksik yang
minimal, tetapi dapat memiliki efek nefrotoksik jika dikombinasikan dengan
aminoglikosida.1
Untuk menentukan aktivitas kombinasi agen antibiotika, bakteri diinkubasi
di dalam kaldu ayam dengan sejumlah dilusi antibiotika, baik tunggal maupun
kombinasi. Minimum Inhibitory Concentration (MIC) adalah konsentrasi terendah
dari

sebuah

antibiotika

yang

akan

menghambat

perkembangan

visible

mikroorganisme setelah inkubasi dalam semalam. MIC penting untuk diagnosis


7

laboratorium dalam mengkonfirmasi resistensi mikroorganisme terhadap agen


antibiotika, dan juga mengawasi aktivitas agen antibiotika yang baru.1
Sinergisme dari antibiotika merupakan inhibisi pada perkembangan
kombinasi antibiotika pada konsentrasi kurang dari atau sama dengan 25% MIC dari
setiap obat yang bekerja sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa satu antibiotika
mempengaruhi

mikroorganisme,

dan

meningkatkan

kerentanannya

terhadap

antibiotika lain. Jika 50% dari MIC dari setiap obat dibutuhkan untuk memproduksi
inhibisi, maka hasil ini disebut sebagai aditif. Hal ini berarti kedua obat bekerja
secara sendiri-sendiri, dan tidak bergantung satu sama lain. Jika lebih dari 50% dari
MIC dari setiap obat, maka akan dihasilkan efek inhibitori, dan hasil ini disebut
sebagai antagonis. Indikasi penggunaan kombinasi agen antibiotika adalah :1
1. Terapi empiris dari infeksi berat, yang penyebabnya belum diketahui
Terapi empiris dari sebuah infeksi adalah alasan paling utama untuk
penggunaan kombinasi antibiotika. Sakit berat dan masih belum
jelasnya penyebab suatu infeksi, menyebabkan dibutuhkannya agen
antibiotika yang dapat melingkupi berbagai patogen yang potensial.
Oleh karena itu, dibutuhkan lebih dari satu agen antibiotika yang
mencakup

berbagai

regimen

dalam

melawan

patogen.

Pada

tatalaksana community-acquired pneumonia (CAP), makrolid dapat


digunakan untuk organisme atipikal, seperti Mycoplasma dan
dikombinasikan dengan cefuroxime untuk Pneumococci dan bakteri
gram negatif lainnya. Pemberian antibiotika empiris broad-spectrum
yang berkepanjangan, seharusnya dihindari karena kebanyakan tidak
terlalu diperlukan, harganya mahal, menyebabkan resistensi pada
beberapa mikroorganisme, dan dapat menyebabkan berbagai efek
samping dari antibiotika tersebut. Tujuan dari terapi empiris ini adalah
menggunakan antibiotika selektif yang menghasilkan efek samping
paling sedikit, termasuk efek samping pada flora normal host.
2. Tata laksana dari infeksi polibakteri
Tata laksana dari abses intraabdomen, hepar, dan otak, serta beberapa
infeksi traktus genitalis membutuhkan penggunaan kombinasi
antibiotika, untuk membasmi infeksi campuran bakteri aerob-anaerob.
Infeksi

campuran

dapat

disebabkan

karena

dua

atau

lebih

mikroorganisme yang berbeda, yang tingkat sensitivitasnya juga


8

berbeda dan satu agen tunggal tidak mampu untuk mengatasi


keseluruhan patogen ini.
3. Peningkatan aktivitas antibiotika untuk infeksi yang spesifik
Adanya efek sinergisme dari kombinasi antibiotika tentu memberikan
dampak yang lebih baik daripada terapi agen tunggal. Sebagai contoh
adalah penatalaksanaan pada pasien dengan endocarditis enterococcal.
Penggunaan kombinasi antara penicillin dan streptomycin atau
gentamicin, memiliki hasil pengobatan yang lebih baik daripada
penggunaan penicillin sendirian. Kombinasi yang sama ini juga
memiliki

keberhasilan

dalam

pengobatan

endocarditis

yang

disebabkan oleh strains dari viridans Streptoocci, dengan eradikasi


bakteri yang lebih cepat. Kombinasi -lactam dan aminoglikosida
juga direkomendasikan untuk pengobatan infeksi berat akibat bakteri
gram negative, seperti Pseudomonas aeruginosa. Kombinasi antara
flucytosine dan amphotericin B juga sinergis dalam melawan
Cryptococcus neoformans dan dipergunakan pada pasien Acquired
Immune

Deficiency

Syndrome

(AIDS)

dengan

meningitis

cryptococcal.
4. Pencegahan munculnya resistensi
Kombinasi terapi pada tuberculosis adalah untuk mencegah resistensi
mutasi yang dapat timbul jika pengobatan monoterapi.
Kerugian penggunaan kombinasi antibiotika adalah meningkatnya resiko toksisitas,
multiple-drug-resistant microorganism, eradikasi flora normal pada host dengan
superinfeksi, dan peningkatan biaya pengobatan. Semua inividu yang menerima
dosis terapeutik dari antibiotika akan mengalami perubahan populasi bakteri normal
pada traktus gastrointestinal, traktus respiratorius bagian atas, dan traktus urogenital.
Hal ini akan mengakibatkan perkembangan superinfeksi. Superinfeksi adalah adanya
bukti gejala klinis dan bakteriologikal dari infeksi baru, selama kemoterapi dengan
menggunakan antibiotika sebelumnya. Makin luas spektrum dan makin panjang
periode dalam pengobatan antibiotika, maka makin tinggi resiko untuk menjadi
superinfeksi. Antibiotik paling spesifik dan spektrum paling sempit seharusnya
dipilih untuk mengatasi infeksi secara tepat.1
Kesalahan dalam penggunaan antibiotika terdiri dari :1
1. Penatalaksanaan infeksi yang tidak responsif
9

Sebagian besar penyakit virus merupakan self-limited disease, dan


tidak merespon pada komponen anti-infektif apapun yang tersedia.
Dengan demikian, terapi antibiotika pada sekitar 90% infeksi saluran
pernafasan atas dan infeksi traktus gastrointestinal adalah hal yang
tidak efektif.
2. Penatalaksanaan demam yang tidak diketahui penyebabnya
Demam durasi pendek yang tidak diketahui fokal infeksinya, maka
dapat dikaitkan dengan infeksi virus yang tak terdefinisi. Terapi
antibiotika tidak dibutuhkan pada keadaan ini, karena kesembuhan
demam akan terjadi secara spontan dalam kurun waktu satu minggu.
Demam yang menetap selama dua minggu atau lebih, biasanya
disebut juga demam yang tidak diketahui penyebabnya (fever of
unknown origin). Dari sekian demam tersebut, hanya 25% yang
terjadi akibat adanya infeksi. Biasanya penyebab infeksinya adalah
tuberculosis dan infeksi jamur, dimana antibiotika biasa tidak mampu
untuk mengatasi penyakit ini. Penggunaan antibiotika yang tidak
tepat, malah akan menyebabkan perselubungan infeksi, terlambatnya
diagnosa penyakit, dan pencegahan identifikasi penyebab infeksi
melalui kultur.
3. Dosis yang tidak tepat
Kesalahan dosis antibiotika sangat sering terjadi. Dosis yang
berlebihan dapat menyebabkan toksisitas, sedangkan dosis yang
terlalu rendah dapat menyebabkan kegagalan pengobatan dan
resistensi antibiotika.
4. Penggunaan hanya bergantung pada satu jenis agen
Komplikasi infeksi yang disebabkan oleh bentuk abses pada jaringan
nekrotik atau benda asing seringnya tidak mampu diobati oleh terapi
antibiotika tunggal. Drainage, debridement, dan pengangkatan benda
asing adalah hal-hal yang penting dilakukan, selain pemilihan agen
antibiotika yang tepat.2
2.4. Golongan Inhibitor Sintesis Dinding Sel Bakteri
2.4.1. Golongan Beta-Laktam
10

Penicillin,

cephalosporine, carbapenem,

dan monobactam

termasuk

golongan antibiotika beta-laktam, karena pada struktur kimianya terdapat cincin


beta-laktam. Semua antibiotika tersebut mempunyai mekanisme kerja yang mirip,
yaitu dengan cara menghambat sintesis mukopeptida yang diperlukan untuk
pembentukan dinding sel bakteri. Mekanisme tersebut dapat diringkas sebagai
berikut:2
1. Obat bergabung dengan penicillin-binding protein (PBPs) dari bakteri.
2. Terjadi

hambatan

sintesis

dinding

sel

bakteri

karena

proses

transpeptidasi antar rantai peptidoglikan terganggu.


3. Terjadi aktivasi enzim proteolitik pada dinding sel.
2.4.1.1. Penicillin
Pada tahun 1928, di London, Fleming menemukan antibiotika pertama,
yaitu penicillin, yang satu dekade kemudian, dikembangkan oleh Florey dari biakan
Penicillium notatum untuk penggunaan sistemik. Selanjutnya, digunakan Penicillium
chrysogenum yang menghasilkan lebih banyak penicillin.2
Penicillin yang digunakan dalam pengobatan, terbagi dalam penicillin alam
dan penicillin semisintetik. Penicillin semisintetik diperoleh dengan cara mengubah
struktur kimia penicillin alam atau dengan cara sintesis dari inti penicillin, yaitu asam
6-aminopenisilanat (6-APA). Sebagai bahan dasar untuk penicillin semisintetik, 6APA dapat pula disintesis dengan cara memecah rantai samping.2
Penicillin menghambat pembentukan mukopeptida yang diperlukan untuk
sintesis dinding sel bakteri. Terhadap bakteri yang sensitif, penicillin akan
menghasilkan efek bakterisida. Di antara semua penicillin, penicillin G mempunyai
aktivitas terbaik terhadap bakteri Gram-positif yang sensitive (C. diphteriae dan B.
anthracis). Kelompok ampicillin efektif terhadap beberapa bakteri Gram-negatif dan
tahan asam, sehingga dapat diberikan per oral. Hampir semua infeksi oleh
Staphylococcus disebabkan oleh bakteri penghasil penicillinase, dan oleh karena itu,
harus diobati dengan penicillin yang tahan penicillinase (penicillin ioksazolil).2
Ampicillin memiliki aktivitas terhadap bakteri Gram-positif yang lebih
rendah daripada penicillin G. Ampicillin ini dirusak oleh beta-laktamase yang
diproduksi oleh bakteri Gram-positif maupun bakteri Gram-negatif. Bakteri
meningokokus, pneumokokus, gonokokus, dan L. monocytogenes sensitif terhadap
obat ini. Selain itu, H. influenzae, E. coli, dan P. mirabilis merupakan bakteri Gram11

negatif yang juga sensitive terhadap ampicillin. Mekanisme resistensi terhadap


penicillin adalah sebagai berikut :2

Pembentukan enzim beta-laktamase, misalnya pada bakteri S. aureus, H.


influenza, gonococcus, dan berbagai bakteri Gram-negatif. Pada
umumnya, bakteri Gram-positif mensekresi beta-laktamase ekstraseluler
dalam jumlah relatif besar. Bakteri Gram-negatif hanya sedikit yang
dapat mensekresi keluar beta-laktamase, tetapi tempatnya strategis, yaitu
di rongga periplasmik di antara membrane sitoplasma dan dinding sel
bakteri. Kebanyakan jenis beta-laktamase dihasilkan oleh bakteri
melalui kendali genetic oleh plasmid.

Enzim autolisis bakteri tidak bekerja, sehingga timbul sifat toleran


bakteri terhadap obat.

Bakteri tidak mempunyai dinding sel, misalnya mikoplasma.

Perubahan PBP atau obat tidak dapat mencapai BPB.

Cara

Antibiotika
Penicillin
Penicillin G
Penicillin VK
Penicillin anti

IV
PO

25.000 400.000 unit / kg/ jam dalam 4-6 dosis


25 50 mg / kg / jam dalam 4 dosis

PO

25 50 mg / kg / jam dalam 4 dosis

IV

50 100 mg / kg / jam dalam 4-6 dosis

PO

20 40 mg / kg / jam dalam 3 dosis

Stpahylococcus
Cloxacillin,
Dicloxacillin
Oxacillin
Penicillin

Dosis Anak

Pemberian

yang

Diperluas
Amoxicillin
Amoxicillin / asam

PO
20 40 mg / kg / jam dalam 3 dosis
klavulanat
Piperacillin
IV
300 mg / kg / jam dalam 4-6 dosis
Tikarcillin
IV
200 300 mg / kg / jam dalam 4-6 dosis
Tabel 1.1. Panduan Penentuan Dosis Penicillin dan Derivatnya
Penggunakan terapeutika dari penicillin adalah :2
1. Infeksi bakteri Coccus-positif
12

a. Infeksi Pneumococcus : pneumonia, meningitis, endocarditis


b. Infeksi Streptococcus : faringitis, demam rematik, meningitis,
pneumonia, otitis media akut dan mastoiditis, endocarditis.
c. Infeksi Staphylococcus :
2. Infeksi bakteri Coccus-negatif
a. Infeksi Meningococcus
b. Infeksi Gonococcus
c. Sifilis
3. Infeksi bakteri batang-positif : difteria, clostridia, anthrax, listeria.
4. Infeksi bakteri batang-negatif : salmonella, shigella, H. influenzae
2.4.1.2. Cephalosporine
Seperti halnya antibiotika betalaktam yang lain, mekanisme kerja
cephalosporine adalah menghambat sintesis dinding sel bakteri. Sintesis yang
dihambat adalah reaksi transpeptidase tahap ketiga dalam rangkaian reaksi
pembentukan dinding sel.2
Cephalosporine generasi pertama menunjukkan spektrum antibiotika yang
aktif pada bakteri Gram-positif. Keunggulannya dibandingkan penicillin adalah
aktivitasnya terhadap bakteri penghasil penicillinase. Golongan ini efektif terhaap
sebagian besar S. aureus dan Streptococcus, termasuk S. pyogenes, S. viridans, dan
S. pneumoniae. Cephalosporine generasi kedua kurang aktif terhadap bakteri Grampositif dibandingkan dengan cephalosporine generasi pertama, tetapi lebih aktif
terhadap bakteri Gram-negatif, seperti H. influenza, P. mirabilis, E. coli, dan
Klebsiella. Golongan ini tidak efektif terhadap P. aeruginosa dan Enterococcus.
Golongan ini tidak dianjurkan untuk infeksi saluran empedu, karena Enterococcus
diduga sebagai salah satu penyebab infeksinya.2
Cephalosporine generasi ketiga umumnya kurang aktif dibandingkan
dengan cephalosporine generasi pertama terhadap bakteri Gram-positif, tetapi jauh
lebih aktif terhadap Enterobacteriaceae, termasuk strain penghasil penicillinase.
Cephalosporine generasi keempat mempunyai spektrum aktivitas yang lebih luas
daripada cephalosporine generasi ketiga, dan lebih stabil terhadap hidrolisis oleh
beta-laktamase. Cephalosporine generasi keempat data berguna untuk tata laksana
infeksi bakteri yang resisten terhadap cephalosporine generasi ketiga.2
13

Antibiotika

Cara
Pemberian

Dosis Anak

Cephalosporine
generasi pertama
Cefadroxil
Cefazoline
Cephalosporine

PO
IV

30 mg / kg / jam dalam 2 dosis


25 100 mg / kg / jam dalam 3-4 dosis

generasi kedua
Cefoxitin
Cefuroxim
Cephalosporine

IV
PO

75 150 mg / kg / jam dalam 3-4 dosis


0,125 0,25 gram bid

generasi ketiga
Cefotaxim
Ceftriaxon
Ceftazidim
Cephalosporine

IV
IV
IV

50 200 mg / kg / jam dalam 4-6 dosis


50 100 mg / kg / jam dalam 2 dosis
75 150 mg / kg / jam dalam 3 dosis

genrasi keempat
Cefepime
IV
75 120 mg / kg / jam dalam 23-3 dosis
Tabel 1.2. Panduan Dosis Cephalosporine pada Anak-anak
2.4.1.3. Carbapenem
Carbapenem merupakan beta-laktam yang struktur kimanya berbeda dengan
penicillin dan cephalosporine. Golongan obat ini mempunyai spektrum aktivitias
yang lebih luas. Contoh dari obat ini adalah imipenem dan meropenem.2
Imipenem dipasarkan dalam kombinasi dengan silastatin agar imipenem
tidak didegradasi oleh enzim dipeptidase di tubulus ginjal. Silastatin, penghambat
dehidropeptidase-1, tidak beraktivitas antibiotika. Bila diberikan bersama imipenem
dalam perbandingan yang sama, silastatin akan meningkatkan kadar imipenem aktif
dalam urin dan mencegah efek toksiknya terhadap ginjal. Imipenem merupakan
carbapanem pertama yang digunakan dalam pengobatan. Imipenem mengikat PBP 2
dan menghambat sintesis dinding sel bakteri. In vitro obat ini berspektrum sangat
luas, termasuk bakteri Gram-positif dan bakteri Gram-negatif, baik aerobik maupun
non-aerobik. Imipenem merupakan bakterisida. Imipenem diguanakan untuk
pengobatan infeksi berat oleh bakteri yang sensitive, termasuk infesi nosocomial
yang resisten terhadap antibiotika lain, misalnya infeksi saluran nafas bagian bawah,
obstetri-ginekologi, osteomyelitis, dan endocarditis oleh S. aureus. Untuk infeksi

14

berat oleh P. aeruginosa, imipenem dianjurkan agar dikombinasikan dengan


aminoglikosida, karena berefek sinergistik.2
Meropenem tidak dirusak oleh enzim peptidase di tubulus ginjal, sehingga
tidak perlu dikombinasikan dengan silastatin. Secara umum, efek toksiknya sama
dengan imipenem, tetapi meropenem memiliki efek samping kejang yang lebih
jarang daripada imipenem.2

Antibiotika

Cara

Dosis Anak

Pemberian

Carbapenem
Imipenem

IV

Meropenem

IV

60 120 mg / kg / jam dalam 3 dosis (maksimal

2 gram / 8 jam)
Tabel 2.3. Panduan Dosis Carbapenem pada Anak-Anak
2.4.1.4. Monobactam
Monobactam berbeda dengan struktur kimia golongan antibiotika betalaktam lainnya. Contoh dari golongan obat ini adalah aztreonam. Aztreonam bekerja
dengan menghambat sintesis dinding sel bakteri, seperti antibiotika beta-laktam yang
lain. Aztreonam tidak aktif terhadap bakteri Gram-positif dan bakteri anaerob, tetapi
efektif terhadap bakteri Gram-negatif aerobic, termasuk Pseudomonas aeruginosa,
dan Haemophilus influenzae. Aztreonam harus diberikan secara intramuskular atau
intravena, karena tidak dapat diabsorbsi melalui saluran cerna.2
Aztreonam diindikasikan untuk infeksi saluran kemih dengan komplikasi,
saluran nafas bagian bawah, kulit dan struktur kulit, alat kelamin, intraabdominal,
tulang,

dan

bakteremia

pada

anak.

Spektrum

aztreonam

mirip

dengan

aminoglikosida, sehingga aztreonam dapat menjadi alternative aminoglikosida,


khususnya untuk infeksi bakteri Gram-negatif. Untuk dosis anak, aztreonam
dianjurkan diberikan sebanyak 90 120 mg / kgBB / hari dibagi dalam 3-4 dosis.2
2.4.2. Golongan Non Beta-Laktam
2.4.2.1. Cyloserine
Cyloserine

adalah

antibiotika

yang

dihasilkan

oleh

Streptomyces

orchidaceus. In vitro, cyloserine menghambat pertumbuhan M. tuberculosis pada


15

kadar 5-20 g/mL melalui penghambatan sintesis dinding sel. Jenis bakteri yang
sudah resisten dengan Streptomycin, isoniazid, pirazinamid, dan viomicin, biasanya
masih sensitif dengan cyloserine. Dosis pada anak adalah 20 mg / kgBB, yang
diberikan 2 kali sehari.2
2.4.2.2. Vancomycin
Vancomycin tidak dapat diserap melalui saluran cerna, dan untuk
mendapatkan efek sistemiknya, harus diberikan intravena, karena pemberian melalui
intramuskular dapat menimbulkan nekrosis setempat. Vancomycin hanya aktif
terhadap bakteri Gram-positif, khususnya golongan coccus. Indikasi utama
vancomycin

adalah

septicemia

dan

endocarditis,

yang

disebabkan

oleh

Staphylococcus, Streptococcus, atau Enterococcus jika pasien alergi terhadap


penicillin dan cephalosporine. Penggunaannya dapat dikombinasikan dengan
gentamicin atau aminoglikosida lainnya. Vancomycin merupakan drug of choice dari
infeksi oleh kuman methicillin-resistant S. aureus (MRSA) dan colitis oleh
Clostridium difficile akibat penggunaan antibiotika.2
Karena toksik, maka obat ini hanya digunakan pada pasien alergi terhadap
obat lain yang lebih aman. Ketulian permanen dan uremia yang fatal dapat terjadi
pada pemberian dosis besar, terapi yang lama, atau bila diberikan kepada pasien
dengan insufisiensi ginjal. Efek samping yang sering terjadi adalah the red man
syndrome berupa kemerahan pada kulit akibat lepasnya histamin. Dosis untuk anak
adalah 20-40 mg / kgBB / hari. Dosis ini dilarutkan dalam 100-200 ml garam faal
atau dekstrosa 5%, dan diberikan intravena secara perlahan untuk mencegah
tromboflebitis.2
2.4.2.3. Bacitracin
Bacitracin bersifat bakterisida terhadap bakteri Gram-positif. Obat ini sering
digunakan secara topical untuk berbagai infeksi kulit dan mata, karena pemberian
sistemik bersifat nefrotoksik. Salep mata yang mengandung bacitracin efektif untuk
mencegah opthalmia neonatorum karena Gonorrhea.2
Bacitracin tersedia dalam bentuk salep kulit dan mata yang mengandung
500 unit / gram. Bentuk ini stabil dalam bentuk salep, tetapi tidak stabil dalam
bentuk krim. Garam seng bacitracin juga sering dicampur dengan neomisin sulfat,
polimiksin B sulfat, dan lain-lain untuk penggunaan topical.2
16

2.4.2.4. Teicoplanin
Teicoplanin diindikasikan untuk infeksi berat oleh bakteri Gram-positif,
yaitu Staphylococcus, Streptococcus, dan Enterococcus, jika antibiotika lain yang
kurang toksik tidak dapat lagi digunakan. Obat ini bekerja dengan menghambat
sintesis dinding sel. Pemberian teicoplanin bersama obat lain yang juga bersifat
nefrotoksik dan ototoksik (misalnya golongan aminoglikosida, amfoterisin B, dan
siklosporin) harus dilakukan dengan sangat hati-hati. Lama pengobatan adalah 2-4
minggu untuk bacteremia dan 3-6 minggu untuk osteomyelitis.2
2.5

Golongan yang bekerja langsung pada sel membrane bakteri

2.5.1 Polyene antifungal antibiotik


Nistatin
Struktur kimia
Nistatin merupakan suatu antibiotik polien yang dihasilkan oleh Streptomyces
noursei. Obat ini berupa bubuk berwarna kuning kemerahan yang bersifat
higroskopis, berbau khas, sukar larut dalam kloroform dan eter akan tetapi larutannya
mudah terurai dalam air atau plasma. Nistatin mempunyai struktur kimia dan
mekanisme kerja yang mirip dengan amfoterisin b, namun nistatin memiliki efek
toksik yang lebih tinggi sehingga tidak digunakan sebagai obat sistemik.1,2
Aktivitas anti jamur
Nistatin menghambat pertumbuhan berbagai jamur dan ragi akan tetapi tidak aktif
terhadap bakteri, protozoa, dan virus.2 Jenis jamur yang masih sensitif terhadap
Nistatin adalah Candida albicans.
Mekanisme kerja
Nistatin hanya akan berikatan dengan jenis jamur yang sensitif. Aktivitas anti jamur
tergantung dari ikatan dengan sterol pada membran sel jamur, terutama ergosterol.
Ikatan tersebut akan menyebabkan perubahan permebilitas pada membran sel jamur
dan menjadikan molekul kecil intrasel jamur keluar dan membunuh jamur tersebut.2
Farmakokinetik
Penyerapan nistatin pada saluran cerna sangat buruk. Pada pemberian dosis
sistemik akan mengakibatkan efek toksik apda tubuh. Dengan demikian penyerapan
obat ini efektif terjadi pada mukosa oral, vagina, dan kulit.2
17

Kegunaan klinis
Nistatin hanya berguna untuk kandidiasis dan tersedia dalam sediaan untuk
lesi kutaneus, vaginal, atau oral.1 Obat ini terutama hanya mengobati infeksi kandida
di kulit, selaput lendir dan saluran cerna. Paronikia, vaginitis dan kandidiasis oral
cukup diobati secara topikal. Kandidiasis di mulut, esofagus dan lambung biasanya
merupakan komplikasi yang terjadi pada pasien dengan imunosupresi.2
Dosis nistatin dinyatakan dalam satuan unit (U). Setiap 1 mg obat ini
mengandung tidak kurang dari 200 unit nistatin. Pada sediaan krim, bubuk, salep,
suspensi, dan obat tetes pada umumnya mengandung 100.000 U nistatin per gram/
per mL.4 Nistatin tersedia dalam sediaan tablet (500.000 U), kapsul (500.000/
1000.000U), suspensi oral (100.000 U/ml) dan topikal (100.000U/g). Pada
kandidiasis orofaring, dosis untuk bayi prematur adalah 4x0,5ml (50.000U) per 24
jam, dosis untuk bayi aterm adalah 4x1 ml (100.000U) per 24 jam, dan dosis pada
anak adalah 4x4-6ml suspensi oral (400.000-600.000 U) per 24 jam dengan edukasi
dikumur dan ditelan. Durasi penggunaan obat ini sekitar 48-72 jam setelah gejala
klinis menghilang.3
Efek samping
Efek samping nistatin adalah diare, gangguan saluran cerna, dermatitis
kontak, dan reaksi hipersensitivitas yaitu Stevens Johnson syndrome. 3
Amfoterisin B
Struktur kimia
Amfoterisin B merupakan hasil fermentasi Streptomyces nodosus.4Struktur
kimia Amfoterisin B mengandung 7 rantai ganda terkonjugasi dan terhubungkan
dengan rantai utama oleh ikatan glikosidik.1Obat ini merupakan antibiotik polien
yang bersifat basa amfoter lemah, tidak larut dalam air, tidak stabil, tidak tahan suhu
diatas 37oC tetapi dapat bertahan berminggu-minggu pada suhu 4 oC.2

18

Amfoterisin B tidak larut dalam air akan tetapi diformulasikan untuk infus
intravena

melalui

campuran

deoksikolat

garam

empedu.

Sediaan

yang

banyaktersedia mengandung 50 mg amfoterisin B, 41 mg deoksikolat dan sedikit


kandungan dari buffer natrium fosfat. Kompleks dari amfoterisin B dan deoksikolat
(C-AMB) membentuk koloid di dalam air, dengan partikel berukuran diameter < 0.4
mm. Penambahan elektrolit pada cairan infus menyebabkan agregasi dari koloid
tersebut.1
Aktifitas Antifungal
Amfoterisin B merupakan antibiotika berspektrum luas yang bersifat
fungisidal dan dapat digunakan untuk hampir semua infeksi jamur yang mengancam
kehidupan.4 Obat ini digunakan untuk infeksi jamur Candida spp., Cryptococcus
neoformans,

Blastomyces

dermatitidis,

Histoplasma

capsulatum,

Sporthrix

schenckii, Coccidioides immitis, Paracoccidioides braziliensis, Aspergillus spp.,


Penicilium marneffer, dan golongan mukormikosis.1 Amfotericin B memiliki fungsi
yang terbatas untuk kelompok protozoa Leishmania braziliensis dan Naegleria
fowleri.1Obat ini tidak memiliki efek antibakterial.1
Mekanisme kerja
Aktivitas antifungal dari amfotericin B terutama tergantung dari ikatannya
terhadap ergosterol yang terdapat pada lapisan membran dari fungi.Interaksi dengan
sterol ini, menyebabkan membran sel jamur bocor sehingga terjadi kehilangan
beberapa bahan intrasel dan mengakibatkan kerusakan yang tetap pada sel jamur.1,2
Farmakokinetik
Penyerapan amfoterisin B pada saluran cerna tidak begitu berarti. Obat ini
akan dilepaskan dari kompleks deoksikolat di dalam aliran darah, dan amfoterisin B
19

yang menetap di plasma sebagian besar (90%) akan berikatan dengan protein,
khususnya lipoprotein-b. Sebanyak kurang lebih 2-5% dari obat ini akan
diekskresikan melalui urin.1Waktu paruh obat kira-kira 24-48 jam pada fase awal
diikuti dengan fase kedua dengan waktu paruh 15 hari, sehingga kadar puncaknya
baru akan tercapai setelah beberapa bulan pemakaian.4 Hal ini diakibatnya oleh
luasnya ikatan terhadap jaringan di dalam tubuh.1Eleminasi dari obat ini tidak akan
berubah pada pasien dengan gangguan ginjal dan yang sedang menjalankan
hemodialisis. Hanya sedikit yang masuk ke dalam cairan serebrospinal, vitreous
humor, dan cairan amnion normal.1

Kegunaan Klinis
Amfoterisin b untuk injeksi tersedia dalam vial berisi 50 mg bubuk liofilik,
dilarutkan dengan 10 mL akuades steril yang kemudian diencerkan dengan larutan
dekstrosa 5% dalam air, sehingga didapatkan kadar 0,1 mg/ml. Sediaan ini dikenal
dengan amfoterisin deoksikolat (C-AMB).2
Amfoterisin B digunakan dalam pengobatan kandidiasis pada bayi. Dosis
yang dapat diberikan adalah 0,5-1 mg/kg secara parenteral per 24 jam.Pada awal
pemberian, boleh diberikan dosis percobaan terlebih dahulu yaitu 0,1 mg/kgyang
dilanjutkan dengan dosis inisial.Pemberian dosis inisial ini harus disertai dengan
pengawasan pada beberapa jam pertama terhadap elektrolit, hematologi, fungsi hati,
renal, dan keadaan klinis anak karena dapat terjadi hiperkalsiuria, hipokalemia,
hipomagnesemia, gangguan fungsi renal dan hati.2 Untuk irigasi kandung kemih pada
terapi sistitis oleh Candida, digunakan dosis 5-15mg dalam 100 ml larutan steril
dengan total 100-300 ml/ 24 jam. Larutan ini dibmasukan ke dalam kandung kemih
dengan menggunakan kateter kemudian di klem selama 1-2 jam.3
Administrasi intravena dari amfoterisin b merupakan terapi pilihan untuk
infeksi mukormikosis dan berguna untuk terapi inisial dari meningitis kriptokokus,
histoplasmosis, blastomikosis, kokidiodomikosis dan peniciliosis marneffei.Selain itu
juga berguna untuk pasien dengan aspergilosis, sporotrikosis ekstrakutan, fusariosis,
alternariosis, dan trikosporonosis yang tidak responsif terdapat obat golongan
azole.Amfoterisin topikal hanya berguna untuk kandidiasis kutaneus.1
Efek samping
20

Reaksi akut terhadap terapi amfoterisin badalah demam, menggigil, hipotensi,


mual dan muntah. Preterapi dengan menggunakan asetaminophen dan difenhidramin
30 menit sebelum dan 4 jam setelah pemberian secara intravena pada anak dapat
menurunkan kejadian reaksi tersebut.2 Reaksi febris tersebut berkurang setelah
administrasi berikutnya. Pada bayi, anak dan pasien yang mendapat dosis terapi
glukokortikoid menjadi tidak rentan terhadap reaksi tersebut.1
Azotemia terjadi pada 80% pasien yang mendapat terapi C-AMB.Toksisitas
dari obat ini sebanding dengan dosis yang diberikan dan bersifat sementara.Efek
tersebut meningkat pada interaksi dengan obat nefrotoksik lainnya, seperti
aminoglikosida atau siklosporin.1Penggunaan obat selama beberapa minggu dapat
mengakibatkan asidosis tubular ginjal dan penurunan konsentrasi K + dan
Mg2+.Suplementasi K+ dibutuhkan oleh sepertiga pasien dengan terapi jangka
panjang. Peningkatan resistensi vaskular intrarenal merupakan penyebab utama dari
nefrotoksisitas pada amfoterisin B. Pemberian cairan saline intravena (NaCl 0.9%)
10-15

ml/kg

sebelum

pemberian

obat

terbukti

menurunkan

kejadian

nefrotoksisitas.2Pada bayi prematur, intake natrium sebanyak >4mg/kg/24 jam dapat


menurunkan risiko ini.2Pengobatan C-AMB pada bayi bersifat nefrotoksik. Resiko
nefrotoksisitas ini dapat diturunkan dengan mengganti C-AMB dengan Amphotericin
B lipid complex (ABLC) yang dengan cepat dieliminasi dari darah dan terakumulasi
di jaringan RES yatu hati, limpa, dan paru. ABLC dapat digunakan secara efektif
untuk pasien yang tidak responsif terhadap C-AMB dan yang memiliki gangguan
ginjal sebelumnya atau karena pengobatan C-AMB.4
Anemia normokromik hipokromik juga sering dijumpai pada penggunaan CAMB.Penurunan jumlah hematokrit sebanyak 27% terjadi diakibatkan oleh adanya
penurunan produksi dari eritropoietin. Trombositopenia dan leukopenia ringan jarang
dijumpai. Efek hepatotoksisitas belum dapat dipastikan.1
Resistensi
Beberapa spesies seperti Candida lusitanie telah terbukti resisten terhadap
amfoterisin B. Selain itu, Aspergillus terreus juga telah terbukti lebih reisten terhadap
amfoterisin dibandingkan dengan spesies aspergilus lainnya, walaupun tingkat imun
respon dari tubuh penderita lebih menentukan kesembuhan dari infeksi dengan
spesies ini.
2.5.2 Imidazole dan triazole
21

Klasifikasi dan struktur kimia


Golongan antifungal azole terdiri dari dua kelas, yaitu imidazol dan triazol.
Kedua kelompok ini memiliki spektrum dan mekanisme antifungal yang sama. 1
Triazol dimetabolisme lebih lambat dan memiliki efek sintesis sterol pada
manusia yang lebih rendah dibandingkan dengan imidazole. 1 Golongan triazol lebih
banyak diproduksi dan digunakan dalam tatalaksana medis.Contoh obat imidazol
adalah ketokonazol, mikonazol, dan klotrimazol. Sedangkan contoh obat triazole
adalah itrakonazol, flukonazol, dan vorikonazol.1,2

Ketokonazol
Ketokonazol merupakan turunan imidazole sintetik dengan struktur mirip

mikonazol dan klotrimazol. Obat ini bersifat lipofilik dan larut dalam air pada pH
asam.2
Ketoconazol diberikan secara oral dan penggunaannya telah digantikan oleh
itraconazol untuk menangani semua penyakit jamur dikarenakan keuntungan yang
lebih besar yaitu tidak mensupresi kortikosteroid seperti pada ketoconazol.
Ketoconazol seringkali digunakan untuk menghambat produksi yang berlebihan dari
glukokortikoid pada pasien dengan Cushings Syndrome. 1

Itrakonazol
Itrakonazol merupakan triazol sintetik yang terdiri dari campuran 4

diastereoisomer

(2

pasang

enantiomerik).Sruktur

kimia

itrakonazol

sangat

menyerupai ketokonazol.1 Obat ini dapat diberikan secara per oral dan parenteral.
Jika dibandingkan dengan ketokonazol, aktivitas antijamurnya lebih luas dan efek
samping yang ditimbulkan lebih kecil.2
Aktivitas antijamur
Ketokonazol dan Itrakonazol aktif sebagai antijamur baik sistemik maupun
nonsistemik yang efektif terhadap Candida, Coccidioides immitis, Cryptococcus
neoformans, H. capsulatum, B. dermatitidis, Aspergillus, Tinea vesikolor

dan

Sporothrix spp.2
Mekanisme kerja
Pada administrasi sistemik, efek utama dari imidazol dan triazol pada jamur
adalah menginhibisi 14-a-sterol demethylase, yang merupakan enzim sitokrom P450
22

mikrosomal (CYP). Kedua obat ini mengganggu biosintesis dari ergosterol dalam
pembentukan membran sitoplasmik dan mengganggu fungsi dari beberapa enzim
yang mengikat membran, seperti ATPase dan enzim sistem transport. Secara umum,
obat ini bersifat menghambat pertumbuhan fungi.Beberapa golongan azol (contoh:
clotrimazole) secara langsung meningkatkan permebilitas dari membran sitoplasmik
jamur.1Resistensi terhadap golongan azol dikarenakan penggunaan obat jangka
panjang.
Farmakokinetik dan farmakodinamik
Ketokonazol
Ketokonazol merupakan anti jamur per-oral yang penyerapannya bervariasi
antar individu. Penyerapan melalui saluran cerna akan berkurang pada pasien dengan
pH lambung yang tinggi, pemberian bersama antagonis H2 atau bersama antasida.
Pengaruh makanan tidak begitu berarti terhadap penyerapan ketokonazol.2
Obat ditemukan dalam urin, kelenjar lemak, liur, kulit yang mengalami
infeksi, tendon, caidan synovial, dan vaginal.Akan tetapi sangat sedikit ditemukan
pada cairan serebrospinal.Obat ini mengalami metabolism lintas pertama, dan
sebagian besar dieksresikan bersama empedu dan hanya sebagian kecil diekskresikan
pada urin. Gangguan ginjal dan hati yang ringan tidak mempengaruhi kadar obat
dalam plasma.2

Itrakonazol
Itrakonazol tersedia dalam sediaan oral danintravena.Sediaan kapsul sangat

baik diserap saat setelah makan, akan tetapi sediaan solusio oral lebih baik diserap
pada keadaan puasa. Waktu paruh itrakonazolsekitar 30-40 jam. Penyakit liver berat
akan meningkatkan konsentrasi plasma, akan tetapi azotemia dan hemodialysis tidak
memiliki efek apapun pada obat. Pemberian itrakonazol secara intravena merupakaan
kontraindikasi pada pasien dengan creatinine clearance kurang dari 30 ml/min
karena adanya potensial toksisitas dari hidroksipropil-b-siklodekstrin. Itrakonazol
tidak karsinogenik, tetapi terbukti teratogenik pada hewan tikus percobaan dan
merupakan kontraindikasi untuk terapi pada kehamilan.1
Itrakonazol, seperti golongan azol lainnya mengalami metabolisme lini
pertama dan berinteraksi dengan enzim mikrosom hati, akan tetapi tidak sebanyak
ketokonazol.2
23

Kegunaan klinis
Ketokonazol
Ketokonazol efektif untuk histoplasmosis paru, tulang, sendi dan jaringan
lemak. Obat ini tidak dianjurkan untuk meningitis kriptokokus karena penetrasinya
kurang baik, akan tetapi boleh untuk infeksi kriptokokus non meningeal lainnya.
Ketokonazol juga efektif untuk parakoksidiomikosis, dermatomikosis, dan
kandidiasis mukokutan, vaginal, dan oral.Dengan adanya itrakonazol yang lebih
aman, penggunaan ketokonazol kini sudah mulai tergeser. Namun penggunaan
ketokonazol masih banyak dijumpai karena harganya yang relatif lebih murah.2
Ketokonazol tersedia dalam sediaan tablet (200mg), suspensi oral
(100mg/5ml), kream dan gel topikal 2%, dan sampo 1% yang sering digunakan
untuk pengobatan Tinea vesikolor.2 Dosis untuk anak usia 2 tahun adalah 3,3-6,6
mg/kg/ 24 jam dalam dosis tunggal. Sedangkan dosis dewasa adalah 200-400 mg/24
jam dalam dosis tunggal. Dosis pemberian maksimal untuk dewasa maupun anak
adalah 800mg/24 jam. Untuk aplikasi topikal diberikan 2 kali sehari dan untuk
sediaan sampo diberikan 2 kali seminggu dengan interval pemakaian 3 hari, dengan
durasi pemakaian hingga 8 minggu sesuai dengan respon terapi. Pada pasien anak
dengan HIV dan kandidiasis mukokutan diberikan dosis 5-10 mg/kg/24 jam dalam
dosis tunggal. Kontraindikasi penggunaan ketokonazol adalah pada pasien dengan
gagal hati, wanita hamil dan menyusui.2,3

Itrakonazol
Itrakonazol tersedia dalam sediaan kapsul (100mg), tablet (200 mg) dan

solusio oral (10mg/ml).2Pemberian terapi inisial selama 2 minggu merupakan obat


terpilih untuk mengobati blastomikosis, histoplasmosis, aspergillosis dan merupakan
terapi empiris untuk demam neutropenik yang tidak responsif terhadap pemberian
obat antibakteri.1
Dosis terapi untuk neonatus cukup bulan adalah 5mg/kg/24 jam per-oral
dalam dosis tunggal selama 6 minggu. Itrakonazol pada neonatus efektif digunakan
untuk mengobati tinea kapitis. Pada anak dapat diberikan 3-5 mg/kg/24 jam per oral
dalam dosis tunggal atau terbagi dalam 2 dosis. Dosis tinggi (5-10mg/kg/24 jam)
diberikan untuk terapi profilaksis terhadap Aspergilosis pada penyakit granulomatosa
kronik.3

24

Itrakonazol dalam sediaan solusio efektif mengobati kandidiasis esophageal


dan orofaringeal.1,2 Sediaan solusio oral memiliki bioavailabilitas yang lebih tinggi
dan akan lebih baik dikonsumsi pada keadaan lambung yang kosong. Pada sediaan
kapsul akan lebih baik dikonsumsi bersamaan dengan makanan. Kontraindikasi
penggunaan itrakonazol adalah pada pasien dengan gagal ginjal, hati, kongesti
jantung, gangguan irama jantung, dan hipersensitif terhadap golongan azol.3
Efek samping dan interaksi obat
Ketokonazol
Efek toksik ketokonazol lebih ringan dibandingkan dengan amfoterisin b.
Gejala yang paling sering dijumpai adalah mual dan muntah. Keadaan ini akan lebih
ringan jika obat diberikan bersamaan dengan makanan.2
Ketokonazol meningkatkan aktivitas enzim hati untuk sementara waktu dan
dalam beberapa kasus dapat mengakibatkan kerusakan hati (1:10.000-15.000).Salah
satu faktor resiko timbulnya kerusakan fungsi hati ini adalah pengobatan jangka
panjang.4Selain itu juga dapat terjadi penurunan fungsi adrenokortikal dan serum
testosterone pada penggunaan dosis tinggi.Hal ini disebabkan oleh adanya
penghambatan biosintesis steroid melalui inhibisi enzim yang terkait dengan
sitokrom P450 oleh ketokonazol. Salah satu manifestasi klinisnya adalah
ginekomasti pada pasien laki-laki.3
Penggunaan bersamaan dengan cisapride, mefloquine, terfinadine, pimozide
dapat memperpanjang interval QT (risiko aritmia).Ketokonazole dapat meningkatkan
efek dari obat fenitoin, digoksin, siklosporin, kortikosteroid, nevirapine, dan
warfarin.Sedangkan penggunaan fenobarbital, rifampin, isoniazid, H2-blocker,
omeprazole dan antasida dapat menurunkan konsentrasi ketoconazole.3

Itrakonazol
Efek

samping

dari

penggunaan

itrakonazolhampir

serupa

dengan

ketokonazol. Obat ini juga berinteraksi dengan enzim mikrosom hati akan tetapi
tidak sebanyak ketokonazol. Efek hepatotoksik pada pemakaian obat ini jarang
menimbulkan gagal hati dan kematian. Gejala yang paling sering dijumpai adalah
gangguan fungsi saluran cerna, nyeri kepala, ruam, peningkatan enzim hati, hepatitis,
dan hipokalemia.2,4 Terdapat efek inotropik dari itrakonazolyang merupakan dose25

dependent, dan dapat mengakibatkan gagal jantung pada pasien dengan gangguan
fungsi ventrikel.1
Sediaan intravena memiliki memiliki efek samping yang sama dengan
sediaan kapsul, akan tetapi pada umumnya lebih dapat ditoleransi, kecuali efek
samping phlebitis.1 Adanya kecenderungan terjadi aritmia saat menggunakan
golongan obat quinidine / cisapride secara bersamaan dengan itrakonazol.1
2.6 Golongan inhibitor sintesis protein bakteri
2.6.1 Bakteriostatik
2.6.1.1 Tetrasiklin
Struktur kimia
Tetrasiklin merupakan produk yang berasal dari Streptomyces rimosus.Tetrasiklin
merupakan derivat semisintetik dari klortetrasiklin. Methasiklin, doksisiklin, dan
minoksiklin adalah derivat semisintetik dari tetrasiklin. Sifat dari obat ini adalah basa
yang sukar larut dan didalam larutan kebanyakan tetrasiklin sangat labil, sehingga
cepat berkurang potensinya.2
Aktivitas antimikroba
Tetrasiklin memiliki spektrum antibiotik yang luas meliputi gram positif,
gram negatif, aerobik, dan anaerobik.2 Akan tetapi sudah banyak mikroorganisme
yang resisten terhadap tetrasiklin. Tingkat resistensi bervariasi di berbagai daerah. Di
Amerika Serikat, sekitar 10% dari Streptococcus pneumoniae telah resisten
tetrasiklin dan sebanyak 40% resistensi ditemukan dibagian Asia Pasifik. Sensitivitas
dari staphylococcus, enterococci, and hemolytic streptococci sangat bervariasi:
Bacillus anthracis, Listeria monocytogenes dan H. influenzae cukup sensitif, akan
tetapi banyak bakteri Enterobacteriaceae telah resisten terhadap tetrasiklin.
Tetrasiklin cukup berguna mengobati infeksi yang disebabkan oleh Haemophilus
ducreyi (chancroid), Brucella, Vibrio cholera, V. vulnificus, dan menghambat
pertumbuhan Legionella pneumophila, Campylobacter jejuni, Helicobacter pylori,
Yersinia pestis, Yersinia enterocolitica, Francisella tularensis, and Pasteurella
multocida. Bakteri Neisseria gonorrhoeae kurang sensitif terhadap tetrasiklin. 1
Tetrasiklin cukup aktif terhadap kuman anaerobik dan fakultatif. Beberapa
kuman anaerobik seperti Bacteroides spp., Propionibacterium, Peptococcus cukup
sensitif terhadap doksisiklin, akan tetapi antibiotik lain seperti kloramfenikol,
klindamisin, metronidazol, dan antibiotik beta laktam lainnya memiliki aktivitas
26

yang lebih superior terhadap bakteri tersebut dibandingkan dengan tetrasiklin.


Tetracycline aktif terhadap Actinomyces dan obat ini merupakan obat pilihan untuk
mengobati actinomikosis. 1
Semua jenis tetrasiklin efektif terhadap Rickettsia, Spirochaeta, termasuk
Borrelia recurrentis, Borrelia burgdorferi (Lyme disease), Treponema pallidum
(syphilis), Treponema pertenue, Chlamydia dan Mycoplasma1.
Mekanisme kerja
Tetrasiklin menghambat sintesis protein bakteri pada ribosomnya. Terdapat 2
proses dalam masuknya obat kedalam bakteri gram negatif: (1) secara difusi pasif
melalui kanal hidrofilik dan (2) melalui sistem transport aktif. Setelah masuk,
antibiotik berikatan secara reversibel dengan ribosom 30S bakteri dan mencegah
ikatan tRNA aminoasil terhadap lokasi aseptor di kompleks ribosom mRNA. Hal ini
mencegah perpanjangan rantai peptida yang sedang tumbuh dan berakibat
terhentinya sintesis protein dari bakteri. 1,2
Farmakokinetik
Absorbsi obat oral hampir sepenuhnya tidak sempurna. Presentase dosis oral
yang diserap dalam keadaan lambung yang kosong cukup rendah (30%). Absorbsi
terutama terjadi di lambung dan usus halus bagian proksimal dan meningkat pada
keadaan puasa. Penyerapan dari tetrasiklin diganggu oleh konsumsi dairy products,
alumunium hidroksida, kalsium, magnesium, garam besi, zink dan bismuth
subsalicylate.1,4 Oleh karena itu tetrasiklin akan lebih baik dikonsumsi sebelum
makan atau 2 jam setelah makan.
Penyerapan dari pemberian tetrasikin per oral menimbulkan variasi
konsentrasi plasma tergantung individu masing-masing.. Setelah dosis tunggal oral,
konsentrasi puncak pada plasma dicapai dalam 2-4 jam. Obat ini memiliki waktu
paruh yang bervariasi dengan kisaran waktu 6-12 jam.1
Oxisiklin dan minoksiklin dapat diserap secara sempurna (90-100%) dan
memiliki waktu paruh 16-18 jam. Dengan demikian dapat dikonsumsi dengan
frekuensi dan dosis yang lebih rendah dibanding dengan tetrasiklin, oksitetrasiklin,
atau emeklosiklin. Konsentrasi plasma dosisiklin yang diberikan secara oral setara
dengan pemberian secara perenteral. Makanan yang mengandung dairy product,
tidak mengganggu penyerapan dari doksisiklin atau minoksiklin.1

27

Tetrasiklin terdistribusi secara luas didalam tubuh, termasuk urin dan prostat.
Obat ini terakumulasi di dalam sistem retikuloendothelial (liver, limpa, dan sumsum
tulang), tulang dan gigi.1
Penetrasi obat ini kedalam cairan dan jaringan tubuh sangat baik. Tetrasikin
dapat melalui plasenta dan masuk kedalam sirkulasi fetus dan cairan amnion.
Konsentrasi tetrasiklin pada tali pusat dan cairan aminon adalah 60% dan 20%.
Konsentrasi obat juga ditemukan cukup tinggi pada ASI.1
Selain doksisiklin, kebanyakan obat tetrasiklin di eleminasi di ginjal,
walaupun juga terakumulasi di dalam hati dan empedu. Tetrasiklin diekskresikan
melalui urin dalam 24 jam baik dalam penberian peroral maupun intravena.
Penurunaan fungsi hati atau adanya obstruksi pada duktus biliaris komunis
menurunkan ekskresi dari obat melalui empedu dan menyebabkan meningkatnya
waktu paruh. Hal ini dapat menyebabkan obat lebih lama berada di dalam tubuh
walaupun pasien sudah berhenti mengkonsumsi obat.1
Minoksiklin diekskresikan melalui urin dan feses dalam kadar yang rendah
dibandingkan dengan obat tetrasiklin lainnya. Obat ini berada di dalam tubuh untuk
waktu yang cukup lama walaupun obat sudah berhenti dikonsumsi. Hal ini
disebabkan oleh adanya retensi obat di dalam jaringan lemak.1
Dosis rekomendasi untuk Doksisiklin tidak terakumulasi secara signifikan
pada pasien dengan gagal ginjal. Hal ini menjadikan Doksisiklin merupakan salah
satu obat golongan tetrasiklin yang paling aman dikonsumsi bagi pasien dengan
gangguan ginjal. Obat ini diekskresikan melalui feses. Waktu paruh obat ini menjadi
lebih pendek jika bersamaan dengan penggunaan barbiturat, fenitoin, rifampin, dan
obat lain yang dapat menginduksi enzim hepatik mikrosomal.1
Kegunaan klinis
Tetrasiklin telah digunakan secara luas untuk penyakit infeksi. Hal ini
menyebabkan meningkatnya resistensi terhadap penggunaan obat ini. Akan tetapi
tetrasiklin masih sangat sensitif dan berguna untuk mengatasi infeksi yang
disebabkan oleh Riketsia (Rocky mountain spotted fever, Brills disease, Murine
typhus, Scrub typhus, rikettsial pox, dan Q fever), Mikoplasma (Pneumonia
mikoplasma), dan Klamidia (Lymphogranuloma venerum, Pneumonia klamidia)1
Tetrasiklin berguna sebagai terapi profilaksis untuk leptospirosis (Leptospira
spp), relapsing fever (Borrelia spp), Lyme disease (B. burgdorferi). Tetrasiklin
efektif menginhibisi propionilbacteria, dimana berada di dalam folikel sebacea dan
memetabolisme lemak menjadi asam lemak bebas yang menyebabkan iritasi. 1
28

Tetrasiklin kurang efektif untuk mengatasi infeksi yang disebabkan oleh


Shigella, Salmonella atau enterobakteria lainnya karena prevalensi resisten yang
tinggi. Dengan demikian tetrasiklin tidak dianjurkan untuk mengobati travellers
diarrhea. 1
Infeksi yang disebabkan oleh Stafilokokus, Streptokokus, atau Meningokokus
telah resisten terhadap tetrasiklin. Akan tetapi galur dari Methicillin-resistant S.
aureus dapat responsif terhadap pengobatan tetrasiklin, doksisiklin atau minoksiklin.1
Tetrasiklin tersedia dalam sediaan kapsul (250 mg, 500 mg) dan suspensi oral
(25 mg/ml). Tetrasiklin tidak boleh digunakan untuk anak berusia dibawah 8 tahun
karena berhubungan dengan perubahan warna pada gigi dan gangguan pertumbuhan
tulang.2 Dosis untuk anak usia 8 tahun adalah 25-50 mg/kg/24 jam per oral terbagi
dalam 4 dosis dengan dosis maksimal 3g/ 24 jam.3
Efek samping
Semua regimen tetrasiklin dapat mengakibatkan iritasi gastrointestinal,
terutama setelah pemberian secara per oral. Gejala seperti nyeri epigastrik, mual,
muntah, dan diare dapat terjadi. Efek samping ini dapat diminimalkan dengan
pemberian makanan bersamaan dengan obat, akan tetapi pemberian tetrasiklin tidak
boleh diberikan bersamaan dengan makanan dairy products dan obat antasida.1
Efek jangka pendek maupun jangka panjang penggunaan tetrasiklin dapat
menyebabkan perubahan warna dari gigi. Semakin tinggi dosis yang diberikan
menyebabkan perubahan warna yang menonjol. Risiko ini meningkat terutama pada
neonatus dan bayi yang belum memiliki gigi. Akan tetapi pigmentasi permanen dari
gigi dapat terjadi apabila obat diberikan pada usia 2 bulan hingga 5 tahun dimana
sedang terjadi proses kalsifikasi gigi. Deposisi dari obat pada tulang dan gigi
disebabkan oleh pembentukan kompleks tetrasiklin-kalsium orthophosphate. 1
Penggunaan tetrasiklin pada wanita hamil juga dapat menyebabkan
perubahan warna pada gigi bayi yang dilahirkannya. Periode yang paling berbahaya
untuk efek ini adalah dari usia kehamilan pertengahan hinggal 4-6 bulan postnatal
untuk gigi decidua anterior, dan usia hingga 8 tahun untuk gigi anterior permanen,
dimana telah terbentuk mahkota gigi. Untuk beberapa kasus, anak berusia diatas 8
tahun juga dapat mengalami komplikasi ini. Selain itu, tetrasiklin terdiposisi pada
tulang saat masa kehamilan dan masa kanak-kanak. Hal ini dapat menekan
pertumbuhan tulang pada bayi prematur.1
Efek samping lain yang dapat timbul dari penggunaan tetrasiklin jangka
panjang adalah efek fotosensitifitas, hepatotoksik,

renaltoksik, dan hematologik


29

(leukositosis, trombositopenik purpura). Pada bayi dapat terjadi peningkatan tekanan


intrakranial (pseudotumor cerebri), walaupun dosis yang diberikan sudah sesuai
dengan dosis anjuran. Dalam hal ini, kualitas cairan serebrospinal dalam batas
normal. Tekanan intrakranial dapat turun ketika pemberian obat diberhentikan. Efek
samping ini jarang dijumpai pada pasien dewasa.1
Tetrasiklin tidak diserap secara sempurna melalui saluran cerna.Tingginya
konsentrasi obat di dalam usus dapat mengganggu flora normal usus. Pada
penggunaan tetrasiklin jangka panjang, mikroorganisme anaerobik dan aerobik nonpatogen yang memproduksi spora menurun jumlahnya di dalam usus. Tetrasiklin
dapat menimbulkan kolitis pseudomembran yang disebabkan oleh Clostridium
difficile dengan manifestasi klinis seperti diare berat, demam, buang air besar
berlendir dengan kandungan netrofil yang tinggi. Penghentian konsumsi obat dan
pemberian metronidazol oral dapat meredakan gejala tersebut.1
Pada penggunaan tetrasiklin yang sudah kadaluarsa dapat menyebabkan
Fanconi-like syndrome yaitu gangguan pada tubulus proksimal ginjal, dimana terjadi
kegagalan reabsorbi glukosa, asam amino, asam urat, bikarbonat dan fosfat. Gejala
klinis yang terlihat dapat berupa poliuria, polidipsia, dehidrasi, kegagalan
pertumbuhan pada anak-anak, asidosis, hipokalemi, dan hiperkloremia. Efek
samping hipersensitifitas seperti timbulnya lesi morbiliform, utrikaria, erupsi obat
dan dermatitis eksfoliatif jarang terjadi pada penggunaan tetrasiklin. 1,3
Resistensi tetrasiklin
Tiga mekanisme penyebab resistensi pada tetrasiklin adalah: (1) penurunan
akumulasi tetrasiklin sebagai hasil dari penurunan influks antibiotik atau penurunan
perolehan energy-dependent efflux pathway; (2) Adanya protein yang memproteksi
ribosom pada bakteri karena faktor mutasi, dan (3) inaktivasi enzimatik terhadap
tetrasiklin.1
2.6.1.2 Kloramfenikol
Struktur Kimia
Merupakan antibiotik yang diproduksi oleh Streptomyces venezuelae yang
memiliki struktur kimia sebagai berikut:

30

Kloramfenikol

memiliki

campuran

yang

unik

dengan

kandungan

nitrobenzene dan derivat dari asam dikloroasetat. Sediaan berwarna putih yang sukar
larut dalam air dengan rasa yang sangat pahit.1,2
Mekanisme kerja
Kloramfenikol menghambat sintesis protein pada bakteri. Obat ini dapat
menembus sel bakteri dan memfasilitasi proses difusi. Secara primer, kloramfenikol
berikatan secara reversibel pada ribosom 50S dan menghambat enzim peptidil
transferase sehingga ikatan peptida tidak terbentuk pada proses sistesis protein
kuman.1,4 Kloramfenikol juga menginhibisi sintesis protein di mitokondria pada sel
mamalia. Hal ini disebabkan adanya kemiripan pada ribosom mitrokondria mamalia
dengan bakteri. Dengan demikian sel eritropoetik pada mamalia seinsitif terhadap
obat ini.1
Aktivitas antimikroba
Kloramfenikol merupakan antibiotik golongan broad spectrum dengan efek
utama bakteriostatik, dan bakterisidal untuk H. influenza, N.meningitidis, dan
S.pneumoniae.
Penggunaan klinis
Terapi dengan kloramfenikol harus dibatasi untuk penyakit infeksi yang
memiliki sensitifitas tinggi. Hal ini disebabkan tingginya potensial toksisitas obat.
Kloramfenikol tersedia dalam sediaan injeksi 1g. Pada neonatus, dosis loading
pertama kali adalah 20mg/kg. Setelah itu diberikan dosis maintenance (12 jam
setelah dosis loading) dengan kriteria sebagai berikut:3

Neonatus usia 7 hari diberikan 25mg/kg/24 jam dosis tunggal


Neonatus >7 hari :
o Berat badan 2 kg diberikan 25 mg/kg/24 jam dosis tunggal
o Beart badan >2 kg diberikan 50 mg/kg/24 jam terbagi dalam 2

dosis
Bayi/ anak-anak diberikan 50-75 mg/kg/24 jam terbagi dalam 4 dosis
Untuk pasien meningitis diberikan 75-100 mg/kg/24 jam terbagi

dalam 4 dosis
Dosis maksimal untuk semua usia adalah 4g/24 jam

Pada demam tifoid, banyak dari galur Salmonella Typhi yang telah resisten
terhadap kloramfenikol, dengan demikian obat pilihannya adalah sefalosporin
generasi ke-3 dan golongan kuinolon.1
31

Sefalosporin generasi 3 telah menggantikan kloramfenikol untuk terapi terhadap


meningitis bakterialis. Kloramfenikol dapat menjadi terapi alternatif untuk
meningitis yang disebabkan oleh H. influenza, N. meningitides dan S. pneumonia
pada pasien dengan alergi terhadap obat golongan beta laktam.1
Kloramfenikol cukup efektif untuk mengatasi bakteri anaerobik, seperti
Bacteroides spp., dan cukup efektif untuk mengatasi infeksi intraabdominal atau
abses otak. Akan tetapi penggunaan alternatif antibiotik lain lebih banyak digunakan
karena kurangnya efek toksik dibandingkan dengan kloramfenikol.
Farmakokinetik
Kloramfenikol diabsorbsi secara cepat dari saluran pencernaan, dengan
konsentrasi puncak 10-13 mg/ml terjadi dalam 2-3 jam. Pemberian intravena maupun
intramuskular menunjukan konsentrasi yang sama pada plasma. Obat ini secara cepat
dibersihkan dari plasma oleh ginjal. Keadaan fungsi ginjal yang buruk pada neonatus
menyebabkan peningkatan konsentrasi dari kloramfenikol. Penurunan aktivitas
esterase pada bayi dan neonatus dapat memperpanjang konsentrasi puncak dari
kloramfenikol didalam plasma (lebih dari 4 jam) dan memperpanjang pula periode
renal clearance.1
Kloramfenikol terdistribusi secara luas pada cairan tubuh dan dapat mencapai
dosis terapeutik di cairan serebrospinal. Obat ini dapat terakumulasi pada otak.
Kloramfenikol dapat masuk ke cairan empedu, ASI, plasenta dan aqueous humor
setelah injeksi konjungtiva.1
Metabolisme hepar merupakan jalur utama dari eliminasi obat ini. Metabolit
dari kloramfenikol dieksresikan melalui urin. Pasien dengan sirosis dan gangguan
fungsi hati dapat menyebabkan penurunan metabolism obat dan dosis harus
disesuaikan untuk individi ini.Sekitar 50% dari kloramfenikol terikat ke protein
plasma. Dengan demikian ikatan protein ini menurun pada pasien neonatus dan
dengan sirosis hati.1
Efek samping dan interaksi obat
Efek samping yang paling sering dijumpai pada penggunaan kloramfenikol
adalah efek depresi pada sumsum tulang. Obat ini mempengaruhi sistem
hematopoietik dengan 2 mekanisme: (1) toksisitas yang bergantung terhadap dosis
pemberian terlihat dengan manifestasi anemia, leukopenia, trombositopenia, atau (2)
respon idiosinkratik yaitu anemia aplastik (70%) yang dapat mnyebabkan
pansitopeni. Pansitopeni sering terjadi pada pasien dengan pengobatan jangka
32

panjang. Supresi terhadap erithroid secara reversible merupakan efek pemakaian


dosis yang tinggi dan jangka waktu yang panjang dari kloramfenikol. Hal ini
diakibatkan adanya inhibisi dari sintesis protein pada prekusor erithroid dimana akan
menyebabkan gangguan penggunaan besi dalam pembentukan heme. Selain itu juga
dapat terjadi leukopenia dan trombositopenia.1
Neonatus, khususnya bayi prematur dapat mengalami gray baby syndrome
jika mendapatkan terapi kloramfenikol dengan dosis berlebihan. Sindrom ini pada
umumnya mulai pada hari ke-2 hingga 9 (rata-rata hari ke 4) setelah inisial terapi.
Dalam 24 jam pertama, dapat terjadi muntah, mual, kelemahan untuk menghisap,
respirasi irregular dan cepat, distensi abdominal, sianosis, dan keluarnya feses
berwarna hijau. Anak akan terlihat sakit berat pada akhir dari hari pertama
pengobatan, dan dalam 24 jam berikutnya dapat mengalami perubahan warna kulit
menjadi abu-abu dengan otot yang flasid dan hipotermi. Sindrom ini juga dapat
terjadi pada pasien dewasa dengan overdosis kloramfenikol. Kematian dapat terjadi
dalam 2 hari pengobatan. Dua mekanisme yang berhubungan dengan terjadinya
toksisitas kloramfenikol pada neonatus: (1) defisiensi glukoronil transferase, dimana
merupakan enzim hepar yang berfungsi dalam metabolisme kloramfenikol pada 3-4
minggu kehidupan dan (2) ekskresi obat melalui renal yang tidak adekuat. Dosis
Kloramfenikol pada anak-anak usia kurang dari 2 minggu tidak boleh lebih dari 25
mg/kg. Setelah usia 2 minggu, bayi dengan masa gestasi cukup bulan dapat diberikan
dosis hingga 50 mg/kg.
Kloramfenikol dapat menginhibisi sitokrom P450 didalam hati. Hal ini
menyebabkan pemanjangan waktu paruh dari obat-obatan yang dimetabolisme oleh
sistem ini, yaitu warfarin, dicumarol, phenytoin, chlorpropamide, antiretroviral
protease inhibitors, rifabutin, and tolbutamide. Sebaliknya, beberapa obat yang dapat
mengganggu eliminasi kloramfenikol adalah fenobarbital dan rifampin, dimana dapat
menginduksi CYP, dan mempersingkat waktu paruh antibiotik kloramfenikol1
Resistensi kloramfenikol
Resistensi kloramfenikol pada umumnya disebabkan oleh plasmid-encoded
acetyltransferase yang dapat menginaktifasi obat. Selain itu juga dapat disebabkan
oleh adanya menurunan permebilitas dan mutasi dari ribosom bakteri.1
2.6.1.3 Makrolid (Eritromisin, Klaritromisin, dan Azitromisin)
33

Struktur Kimia
Antibiotik makrolid memiliki persamaan struktur kimia yaitu terdapat cincin
lakton yang besar dalam rumus molekulnya. Yang termasuk dalam contoh golongan
makrolid

adalah

Eritromisin,

Klaritromisin,

Azitromisin,

Spiramisin,

dan

Roksitromisin. Eritromisin merupakan produk metabolik dari bakteri Streptomyces


erythreus. Klarithromisin dan Azithromisin merupakan produk semisintetik dari
derivat eritromisin.1,2
Eritromisin merupakan kristal berwarna kekuningan, larut dalam air akan
tetapi larut lebih baik dalam ethanol atau pelarut organik. Antibiotik ini tidak stabil
dalam suasana asam, kurang stabil dalam suhu kamar tetapi cukup stabil dalam suhu
rendah. Aktivitas cukup besar dalam suasana alkali.2
Klaritromisin dibedakan dengan eritromisin pada matilasi dari kelompk
hidroksil pada posisi 6, dan azithromisin dibedakan dengan adanya tambahan
pengganti metil atom nitrogen pada cincin lakton. Modifikasi dari struktur ini
memperbaiki stabilitas basa, penetrasi ke jaringan dan meluasnya aktivitas spektrum
antibakteri.1

Aktivitas antibakteri
Eritromisin
Pada umumnya bekerja sebagai bakteriostatik, akan tetapi dapat menjadi
bakterisidal pada konsentrasi yang tinggi terhadap bakteri yang sensitif. Antibiotik
ini efektif terhadap bakteri kokus dan basil gram positif. Bakteri kokus yang sensitif
terhadap eritromisin adalah S. pyogenes, S. pneumoniae, dan S. viridans.1 Resistensi
terhadap eritromisin sering terjadi pada bakteri Staphylococcus aureus yang dijumpai
pada rumah sakit.4 Hal ini juga terjadi pada semua jenis antibiotik makrolid lainnya.
Basil gram positif yang sensitif terhadap eritromisin (Clostridium perfringens,
Corynebacterium diphtheriae, dan Listeria monocytogenes)1
34

Walaupun eritromisin kurang aktif terhadap bakteri basil aerob gram negatif,
seperti H. influenza dan N. meningitides, akan tetapi memiliki aktivitas yang baik
terhadap bakteri N. gonorrhoeae, Campylobacter jejuni, M. pneumonia, Legionella
pneumophila, C. trachomatis, dan M. scrofulaceum. Eritromisin tidak memiliki efek
pada virus maupun jamur.1,2

Klaritromisin
Klaritromisin digunakan untuk indikasi yang sama dengan eritromisin, akan

tetapi sedikit lebih poten untuk bakteri streptokokus dan stafilokokus dibandingkan
dengan eritromisin.1 Klaritromisin merupakan makrolid yang sangat aktif terhadap
Chlamydia trachomatis.2 Obat ini juga memiliki aktivitas yang baik terhadap M.
catarrhalis, L. pneumophila, B. burgdorferi, Mycoplasma pneumoniae, and H.
pylori.1 Klaritromisin memiliki aktivitas yang baik terhadap Mycobacterium leprae.1

Azitromisin
Azitromisin secara umum memiliki indikasi yang serupa dengan klaritromisin

dan secara umum kurang aktif terhadap bakteri gram positif dibandingkan dengan
eritromisin dan lebih aktif terhadap H. influenzae and Campylobacter spp daripada
eritromisin dan klaritromisin.1 Azitromisin sangat aktif terhadap M. catarrhalis, P.
multocida, Chlamydia spp., M. pneumoniae, L. pneumophila, B. burgdorferi,
Fusobacterium spp., and N. gonorrhoeae.1
Azitromisin dan klaritromisin telah mengalami peningkatan aktivias terhadap
M. avium-intracellulare, dan beberapa jenis protozoa seperti Toxoplasma gondii,
Cryptosporidium, and Plasmodium spp.1
Mekanisme kerja
Antibiotik makrolid merupakan bakteriostatik yang menghambat sintesis dari
protein bakteri dengan berikatan secara reversibel terhadap ribosom subunit 50S.
Pada kuman yang sangat sensitif dapat bersifat bakterisidal. 1,2 Bakteri gram positif
terakumulasi sekitar 100 kali lebih besar daripada gram negatif pada penggunaan
eritromisin.1
Farmakokinetik
Eritromisin
Eritromisin secara tidak sempurna diabsorbsi pada usus halus bagian
proksimal. Obat ini diinaktivasi oleh asam lambung, sehingga sediaan tablet terdiri
35

dari lapisan tahan asam yang akan baru larut pada duodenum. Makanan dapat
memperpanjang absobsi dari obat. Campuran dari ester pada obat eritromisin
(stearate, estolate, and ethylsuccinate) dapat meningkatkan stabilitas asam dan
penyerapannya menjadi tidak terganggu oleh makanan. 1,2 Konsentrasi puncak serum
dicapai dalam waktu 4 jam setelah administrasi oral.1
Eritromisin dapat berdifusi ke cairan intrasel dan aktif pada hampir semua
jaringan dan cairan tubuh, kecuali otak dan cairan serebrospinal. Eritromisin dapat
menembus plasenta dan konsentrasi obat pada plasma fetus sekitar 5-20% dari
konsentrasi di sirkulasi maternal. Konsentrasi pada ASI sekitar 50% dari konsentrasi
pada serum.1
Pada pemberian oral, hanya 2-5% eritromisin yang diekskresikan melalui
urin, dan hanya 12-15% jika diberikan secara parenteral. Antibiotik disekresikan juga
bersamaan dengan empedu. Waktu paruh eliminasi serum dari eritromisin adalah
sekitar 1,6 jam. Waktu paruh dapat memanjang pada pasien dengan keadaan anuria.
Perlu adanya penyesuaian penurunan dosis pada pasien dengan gangguan renal.1

Klaritromisin
Klaritromisin diserap secara cepat dari saluran cerna setelah administrasi oral,

akan tetapi metabolisme lini pertama pada hati menyebabkan penurunan


bioavailabilitas hingga 50-55%. Konsentrasi puncak dicapai sekitar 2 jam setelah
pemberian obat. Penyerapan klaritromisin tidak banyak dipengaruhi oleh makanan
dalam lambung sehingga dapat diberikan bersamaan dengan makanan.1,2
Klaritromisin dan metabolit aktifnya yaitu hidroksiklaritromisin, terdistribusi
secara luas dan dapat mencapai konsentrasi intraselular yang cukup tinggi pada
tubuh.1
Klaritromisin dieleminasi oleh mekanisme renal dan non-renal. Obat ini
dimetabolisme di hati menjadi berapa metabolit aktif. Waktu paruh eliminasi adalah
3-7 jam untuk klaritromisin dan 5-9 jam untuk metabolit aktifnya. Dieksresikan 2040% melalui urin. Farmakokinetik klaritromisin terganggu pada pasien dengan
gangguan hati, dan renal, akan tetapi dosis tidak perlu disesuaikan kecuali creatinine
clearence kurang dari 30 mL.1

Azitromisin
Azitromisin yang diberikan secara oral dapat diserap secara cepat akan tetapi

terganggu jika diberikan bersama dengan makanan sehingga tidak dianjurkan untuk
dikonsumsi bersamaan dengan makanan.1,4 Konsumsi bersamaan dengan antasida
36

(aluminium dan magnesium hidroksida) menurunkan konsentrasi puncak pada


serum.
Azitromisin terdistribusi secara luas diseluruh tubuh, kecuali otak dan cairan
serebrospinal.1 Obat ini memiliki farmakokinetik yang unik yaitu memliki distribusi
ke jaringan tubuh yang luas dan tingginya konsentrasi obat pada sel dan
menyebabkan konsentrasi obat di jaringan lebih tinggi daripada konsentrasi obat di
dalam serum. Kadar obat di dalam serum relatif rendah tetapi kadar di jaringan dan
sel fagosit sangat tinggi. Obat yang berada di jaringan dilepaskan secra perlahanlahan sehingga dapat diperoleh masa paruh eliminasi sekitar 3 hari. Dengan demikian
obat cukup diberikan sekali sehari dan lama pengobatannya dapat dikurangi.1,2
Azitromisin melalui metabolisme lini pertama di hepar menjadi metabolit
aktif. Rute utama dari eliminasi obat ini terjadi melalui sekresi empedu. Hanya 12%
dari obat diekskresikan melalui urin, Waktu paruh eliminasi adalah 40-68 jam.1
Kegunaan klinis
Eritromisin tersedia dalam preparat suspensi oral (200mg/5ml), drops
(100mg/2,5ml) dan tablet (400mg). Sediaan yang banyak dipakai mengandung
campuran dengan etil suksunat. Dosis untuk neonatus dengan berat badan <1,2 kg
adalah 20 mg/kg/24 jam per oral yang terbagi dalam 2 dosis. Dosis untuk neonatus
dengan berat badan 1.2 kg yang berusia 0-7 hari diberikan 20mg/kg/24 jam terbagi
dalam 2 dosis dan yang berusia >7 hari dengan berat badan 1,2-2 kg diberikan
30mg/kg/24 jam yang terbagi dalam 3 dosis, sedangkan berat badan 2 kg diberikan
30-40 mg/kg/24 jam yang terbagi dalam 3-4 dosis. 2 Pemberian secara IM tidak
dianjurkan karena nyeri.1
Tersedia dalam sediaan tablet (250,500mg) dan suspense oral (125mg/ 5ml,
250mg /5ml). Dosis untuk bayi dan anak dengan otitis media akut, faringitis/
tonsillitis, pneumonia, sinusitis maksilaris akut atau infeksi kulit tanpa komplikasi
diberikan 15mg/kg/24 jam yang terbagi dalam 2 dosis dengan dosis maksimal 1g/24
jam. Untuk diagnosis pertussis diberikan dosis 15mg/kg/24 jam yang terbagi dalam 2
dosis selama 7 hari. Klaritromisin (500 mg) tersedia dalam campuran dengan
lansoprazole (30 mg) dan amoxicillin (1g) yang diberikan unutk mengeradikai
infeksi H.pylori dan mnurunkan resiko rekurensi ulkus duodenum.2

Azitromisin
37

Azitromisin harus diberikan 1 jam sebelum atau 2 jam setelah makan saat
penggunaan oral. Obat ini dapat diberikan untuk penyakit menular seksual khususnya
saat kehamilan saat terdapat kontraindikasi dengan penggunaan tetrasiklin. Pada
anak-anak, dosis rekomendasi azitromisin suspensi oral untuk otitis media akut dan
pneumonia adalah 10 mg/kg untuk hari pertama (maksimul 500 mg) dan 5 mg/kg
(maksimum 250 mg/hari) untuk hari ke 2-5. Dosis untuk tonsillitis atau faringitis
adalah 12 mg/kg per hari selama 5 hari.1,3
Efek samping dan interaksi obat
Efek samping serius jarang terjadi. Terdapat efek samping alergi seperti
demam, eosinophilia, erupsi kulit, yag dapat hilang setelah berhenti mengkonsumsi
obat. Hepatitis kolestsatik dapat terjadi akibat pemakaaian eritromisin. Pada
umumnya muncul setelah 10-20 hari terapi dan ditandai dengan mual, muntah, dan
nyeri perut.1
Administrasi oral dosis tinggi dari eritromisin dapat mengakibatkan nyeri
epigastrik. Penggunakan sediaan intravena juga dapat menyebabkan efek samping
serupa dengan pengguanan oral, seperti mual, muntah, dan diare. Eritromisin
menstimulasi motilitas saluran pencernaan dengan bekerja pada reseptor motilin.
Eritromisin dapat beruguna untuk membantu mengembalikan fungsi peristaltik pada
pasien post operasi, dengan mempercepat pengosongan lambung pada pasien dengan
gastroparesis. Efek samping saluran cerna lebih sering terjadi pada pasien anak dan
dewasa muda.1
Efek samping lain pada penggunaan eritromisin adalah aritmia kardiak
dengan pemanjangan segmen QT dan takikardi ventrikel. Gangguan auditorik
transien terjadi terutama pada psien dengan penggunaan dosis tinggi.1
Eritromisin dan klaritromisin menghambat CYP3A4 dan mempotensiasi efek
kerja obat karbamazempin, kortikosteroid, siklosporin, digoksin, alkaloid ergot,
teofilin, triazolam, valproate, dan warfarin.1 Sedangkan azitromisin tidak
menghambat sitokrom P450 sehingga tidak menimbulkan masalah interaksi obat.4
Resistensi
Prevalensi kejadian resisten makrolid pada streptokokus grup A dapat
mencapai 40% yang disebabkan oleh penggunaan yang sering antibiotik makrolid
pada suatu populasi. Resistensi makrolid terhadap S. pneumonia seringkali
bersamaan dengan resistensi penisilin. Hanya 5% bakteri yang sensitive terhadap
penicilin memiliki resistensi terhadap makrolid, dimana lebih dari 50% bakteri yang
38

resisten terhada penicillin juga resisten terhadap makrolid. S. aureus yang resisten
terhadap makrolid berpotensi memiliki resistensi terhadap klindamisin dan
streptogramin.1
Resistensi terhadap makrolid pada umumnya disebabkan oleh salah satu dari
keempat mekanisme ini: (1) adanya efluks obat oleh mekanisme pompa aktif (2)
proteksi ribosomal oleh produksi enzim merilase yang memodifikasi ribosom dan
menurunkan ikatan obat tersebut. (3) Makrolid dihidrolisis oleh esterase yang
diproduksi oleh Enterobacteriaceae dan (4) Mutasi kromosomal yang mengganggu
protein ribosom 50S.1
2.6.2 Bakterisidal
2.6.1.3 Aminoglikosida
Struktur kimia
Aminoglikosida merupakan senyawa yang terdiri dari 2 atau lebih gugus gula
amino yang terikat dengan ikatan glikosidik pada inti heksosa. Bentuk senyawa ini
bersifat basa kuat dan sangat polar, baik dalam bentuk basa maupun garam, bersifat
mudah larut dalam ait. Sediaan injeksi berupa garam sulfat dan menyebabkan kurang
nyeri ketika diberikan secara intramuskular. Stabilitas aminoglikosida cukup baik
pada suhu kamar.1,4 Obat yang termasuk amoniglikosida adalah gentamisin,
amikasin, kanamisin, streptomisin dan neomisin.1
Aktivitas antimikroba
Obat ini efektif terutama untuk bakteri basil aerob gram negatif. Akan tetapi
aksi terhadap gram negatif terbatas dan tidak seharunya digunakan sebagai
pengobatan tunggal untuk mengatasi infeksi gram negatif. Kombinasi dengan
menggunakan agen yang menyerang dinding sel yaitu penicillin atau vancomycin,
dapat menyebabkan efek bakterisidal sinergis terhadap enterokokkus, streptokokkus,
dan stafilokokkus.1
Aminoglikosida memiliki efek yang sangat kecil terhadap bakteri anaerob
atau fakultatif anaerob. Kanamisin dan streptomisin meiliki spektrum yang sedikit
lebih terbatas dibandingkan dengan aminoglikosida lainnya, dengan demikian tidak
dianjurkan untuk mengobati infeksi oleh Serratia atau P. aeruginosa.1
Mekanisme kerja
Kebanyakan antibakteri yang menghambat sintesis protein bekerja sebagai
bakteriostatik, akan tetapi aminoglikosida bekerja sebagai bakterisidal cepat. 1
39

Aminoglikosida membunuh bakteri sesuai dengan tingkat dosis yang diberikan


(concentration-dependent bacterial killing). Obat golongan ini berdifusi melalui
kanal air yang terbentuk dari protein porin di membran luar dari bakteri gram negatif
untuk masuk kedalam ruangan periplasmik. Selanjutnya akan menyebabkan
keluarnya ion dan molekul dari bakteri tersebut yang disusul oleh kematian sel.
Aminoglikosida juga mengganggu siklus normal dari fungsi ribosom subunit 30S
dan menghambat sintesis protein bakteri dengan mekanisme misreading kode genetik
pada inti sel bakteri. 1,2
Kondisi pH yang rendah dan suasana anaerobik mengganggu kemampuan
antibakteri dalam transport obat pada membran sel bakteri. Dengan demikian
aktivitas antimikroba dari aminoglikosida menurun dengan kedaan anaerobik
contohnya pada abses, dan urin yang asam.1,2
Farmakokinetik
Aminoglikosida sangat buruk diabsorbsi melalui saluran cerna (<1%). Obat
ini tidak diinaktivasi di dalam usus dan dieliminasi melalui feces. Akan tetapi
aminoglikosida diserap secara cepat dengan penggunaan injeksi intramuskular.
Konsentrasi puncak dapat tercapai pada menit ke 30-90.1
Distribusi aminogikosdia tidak merata pada seluruh jaringan tubuh. Sebanyak
< 10% konsentrasi obat dijumpai pada cairan serebrospinal, dan meningkat (25%)
jika terjadi meningitis. Konsentrasi obat ini di dalam jaringan rendah, dan
konsentrasi tinggi hanya ditemukan pada korteks renal, endolymph dan perilymph
dari telinga bagian dalam. Hal ini berhubungan dengan efek samping nefrotoksik dan
ototoksik pada penggunaan obat ini. Inflamasi dapat meningkatkan penetrasi dari
obat ke jaringan. Penggunaan obat pada wanita hamil menyebabkan akumulasi obat
pada plasma fetus dan cairan amnion. Streptomisin dan tobramycin dapat
menyebabkan kehilangan pendengaran pada anak yang dilahirkan dengan ibu yang
mengkonsumsi obat-obatan tersebut.1
Aminoglikosida diekskresikan hampir seluruhnya melalui urin. Waktu paruh
aminoglikosida berkisar antar 2-3 jam pada pasien dengan fungsi ginjal yang normal.
Pada pasien dengan gangguann ginjal, sebaiknya dosis obat harus diturunkan untuk
mencegah efek samping. Walaupun ekskresi dari aminoglikosida serupa pada pasien
dewasa maupun anak usia kurang dari 6 bulan, akan tetapi waktu paruh obat ini dapat
memnajang pada neonatus, yaitu 8-11jam pada 1 minggu kehidupan pertama pada
40

bayi kurang dari 2 kg dan sekitar 5 jam pada pagi dengan berat badan kurang dari 2
kg.1
Kegunaan klinis
Streptomisin
Tersedia dalam sediaan bubuk untuk injeksi (1g). Streptomisin digunakan
sebagai terapi multidrug untuk infeksi tuberkulosis.2 Dosis harian untuk bayi, anakanak, dan dewasa adalah 20-40 mg/kg/24 jam diberikan intramuskular dosis tunggal
dengan dosis maksimum 1g/24 jam. Dosis harian harus diturunkan jika creatinine
clearance > 30ml/min. 1

Gentamisin
Tersedia dalam sediaan injeksi, dan topikal. Dosis terjadwal harus diberikan

kepada neonatus dan bayi yaitu 3 mg/kg per hari untuk naonatus kurang bulan (<35
minggu), 4mg/kg per hari untuk neonates > 35 minggu, 5 mg/kg per hari yang
terbagi dalam 2 dosis untuk neonates dengan infeksi berat. 2-2.5 mg/kg setiap 8 jam
untuk anak sampai usia 2 tahun.1

Efek samping
Seluruh aminoglikosida memiliki potensial untuk menyebabkan gangguan
vestibular, koklear, dan renal secara reversible maupun ireversibel.1

Ototoksik
Pada penggunaan aminoglikosida, akumulasi obat ditemukn pada pada cairan

perilymph dan endolymph. Waktu paruh obat di dalam cairan telinga lebih lama
dibandingkan dengan di plasma. Efek ini terjadi terutama pada pasien dengan
penggunaan dosis tinggi, akan tetapi juga ditemukan beberapa kejadian yang hanya
disebabkan oleh penggunaan dosis tunggal. Efek samping ini disebabkan oleh karena
adanya kerusakan pada sel rambut yang sensitif terhadap aminoglikosida. Lamanya
penggunaan obat, faktor usia, bakterimia, gangguan hati, dan ginjal belum terbukti
berhubungan dengan kejadian ini. Jika dilihat dari penggunaan jenis aminoglikosida,
streptomisin dan gentamisin menimbulkan efek samping pada fungsi vestibular,
sedangkan amikasin, kanamisin, dan neomisin lebih berpengaruh terhadap fungsi
auditorik, sedangkan tobramisin memepengaruhi keduanya.
41

Insidensi toksisitas vestibular ireversibel pada penggunaan streptomisin


cukup tinggi pada orang dewasa yaitu sebanyak hampir 20% untuk pasien yang
mendapat streptomisin dengan dosis 2x500 mg selama 4 minggu. 1 Akan tetapi pada
bayi, efek samping ototoksik seperti hilangnya fungsi pendengaran jarang ditemukan.
Pada penelitian Randomized controlled trial terhadap penggunaan gentamisin
sebagai terapi infeksi saluran kemih yang terjadi pada anak-anak, didapatkan
prevalensi sebesar 0% anak-anak dengan gangguan pendengaran. 5 Sedangkan pada
neonatus terdapat 2,3% dari bayi dengan berat badan lahir rendah dan sangat rendah
yang mengalami gangguan pendengaran setelah mendapat terapi aminoglikosida (uji
pendengaran dilakukan dengan brainstem auditory response signals).6

Nefrotoksisitas
Sekitar 8 26% pasien dewasa yang mengkonsumsi aminoglikosida dalam

beberapa hari akan mengalami gangguan ginjal ringan yang reversibel. Efek ini
berasal dari akumulasi dan retensi dari aminoglikosida pada sel tubulus proksimal.
Manifestasi awal dari efek ini adalah adanya eksresi enzim pada tubulus renal,
kemudian terdeteksinya protein pada urin serta adanya sedimen hialin dan granular.
Kemudian disusul dengan penurunan laju filtrasi glomerulus. Gangguan dari fungsi
renal hampir selalu bersifat reversibel karena sel tubulus proksimal memiliki
kapasitas untuk beregenerasi.1 Akan tetapi risiko timbulnya efek samping ini pada
anak dan neonatus sangat jarang terjadi. Efek nefrotoksik tidak ditemukan pada 90
bayi dan anak-anak yang mendapat terapi vankomisin dengan durasi pemakaian obat
selama 9 hari.7

Efek samping lainnya


Blok neuromuskular dapat menyebabkan gangguan pernafasan hingga apnea.

Aminoglikosida mempunyai efek menghambat pelepasan asetilkolin pada presinaps


neuromuscular junction. Kalsium terbukti dapat mengatasi efek samping ini. Efek
samping lainnya Efek samping lain yang jarang terjadi adalah gangguan pada nervus
optikus (skotoma), neuritis perifer, parestesia.1
Resistensi
Resistensi terjadi karena adanya kegagalan dari antibiotik untuk menembus
intrasel, afinitas yang endah dari obat untuk ribosom bakteri, atau adanya inaktivasi
dari enzim mikroba terhadap obat tersebut. Secara klinis, inaktivasi obat oleh enzim42

enzim tertentu merupakan mekanisme tersering untuk menyebabkan resistensi


terhadap aminoglikosida. Contoh enzimnya dalah enzim fosforilat, adenylat, atau
spesifik asetilat hidroksil. Amikasin dapat bekerja mengatasi beberapa enzim
tersebut, dengan demikian beberapa bakteri yang resisten terhadap amoniglikosida
masih dapat mungkin sensitif terhadap amikasin.1
Bakteri dengan prevalensi resistensi tertinggi terhadap aminoglikosida
adalah Enterococcus faecalis dan E. faecium. Bakteri ini juga mengalami resisten
silang terhadap vankomisin dan penisilin. Transport amoniglikosida melalui
membran sitoplasma merupakan proses oxygen-dependent. Bakteri anaerobik
resisten terhadap aminoglikosida karena tidak dapat menjalani proses ini.1
2.7

Golongan inhibitor fungi dan sintesis asam nukleat

2.7.1

Inhibitor polymerase RNA

2.7.1.1 Rifamisin
Rifampisin adalah derivate semisintetik rifamisin B yaitu satu anggota
kelompok antibiotik makrosiklik yang disebut rifamisin. Kelompok obat ini
dihasilkan dari Streptomices mediterranel. Obat golongan ini merupakan iwon
zwitter, larut dalam pelarut organik dan air yang pH nya asam.2
Aktivitas antibakteri
Aktivitas antibakteri dari golongan rifamisin dihasilkan dari terhambatnya
pertumbuhan berbagai kuman gram-positif dan gram-negatif. Terhadap gramposisitif kerjanya tidak sekuat penisilin G, namun sedikit lebih kuat daripada
eritromisin, linkomisin, dan sefalotin. Terhadap kuman gram-negatif kerjanya lebih
lemah daripada tetrasiklin, kloramfenikol, kanamisin, dan kolistin. Antibiotic ini
sangat aktif terhadap N. meningitides; kadar hambat minimalnya berkisar antara 0,10,8 g/ml. obat ini dapat menghambat pertumbuhan beberapa jenis virus. In vitro,
rifampisin dalam kadar 0,005-0,2 g/ml dapat menghambat pertumbuhan M.
tuberculosis. Di antara mikrobakteria atipik, M. kansasii dihambat pertumbuhannya
dengan kadar 0,25-1 g/ml; sebagian besar turunan M. serofuloceum dan M.
Intracellulare dihambat dengan kadar 4 g/ml, tetapi beberapa galur baru dihambat
bila kadar melebihi 16 g/ml. M. fortuitum sangat resisten terhadap obat ini. In vivo,
43

rifampisin meningkatkan aktivitas streptomisin dan isoniazid terhadap M.


tuberculosis, tetapi tidak bersifat aditif terhadap etambutol.2
Mekanisme kerja
Terutama aktif terhadap sel yang sedang tumbuh. Kerjanya menghambat
DNA-dependent RNA polymerase dari mikrobakteria dan mikroorganisme lain
dengan menekan mula terbentuknya (bukan pemanjangan) rantai dalam sintesis
RNA. Inti RNA Polymerase dari berbagai sel eukoariotik tidak mengikat rifampisin
dan sintesis RNA mitokondria mamalia tetapi diperlukan kadar yang lebih tinggi
daripada kadar yang lebih tinggi untuk penghambatan kuman.2
Farmakokinetik
Pemberian rifampisin oral menghasilkan kadar puncak dalam plasma setelah
2-4 jam; dosis tunggal sebesar 600 mg menghasilkan kadar sekitar 7 g/ml. Asam
paraamino salisilat dapat memperlambat absorpsi rifampisin, sehingga kadar terapi
rifampisin dalam plasma tidak tercapai. Bila rifampisin harus diberikan bersama
asam paraamino salisilat maka pemberian kedua sediaan harus berjarak waktu 8-12
jam.2
Setelah diserap dari saluran cerna, obat ini capat diekskresi melalui empedu
dan kemudian mengalami sirkulasi enterohepatik. Penyerapannya dihambat oleh
adanya makanan. Obat ini cepat mengalami deasetilasi sehingga dalam waktu 6 jam
hampir semua obat yang berada dalam empedu berbentuk deasetil rifampisin, yang
mempunyai

aktivitas

antibakteri

penuh.

Rifampisin

menyebabkan

induksi

metabolism, sehingga walaupun bioavailabilitasnya tinggi, eliminasinya meningkat


pada pemberian berulang. Masa paruh eliminasi rifampisin bervariasi antara 1,5
sampai 5 jam dan akan memanjang bila ada kelainan fungsi hepar. Pada pemberian
berulang masa paruh ini memendek sampai kira-kira 40% dalam 14 hari. Pada
penderita asetilator lambat masa paruh memendek bila rifampisin diberikan bersama
isoniazid. Sekitar 75% rifampisin diberikan bersama isoniazid. Sekitar 75%
rifampisin terikat pada protein plasma. Obat ini berdifusi baik ke berbagai jaringan
termasuk ek cairan otak. Luasnya distribusi ini tercermin dari warna merah pada
urin, tinja, sputum, air mata, dan keringat penderita. Ekskresi melalui urin mencapai
30%, setengah dari jumlah tersebut merupakan rifampisin utuh sehingga penderita
44

gangguan fungsi ginjal tidak memerlukan penyesuaian dosis. Obat ini juga dibuang
lewat ASI.2
Efek samping
Rifampisin jarang menimbulkan efek yang tidak diinginkan. Dengan dosis
biasa, kurang dari 4% penderita tuberculosis mengalami efek toksik. Yang paling
sering adalah ruam kulit, demam, mual, dan muntah. Pada pemberian berselang
dengan dosis lebih besar sering terjadi flu like syndrome, nefritis interstisial, nekrosis
tubular akut, dan trombositopenia. Yang menjadi masalah ialah icterus. Hepatitis
jarang terjadi pada penderita dengan fungsi hepar normal. Pada penderita penyakit
hati kronik, alkoholisme, dan usia lanjut, insidens icterus bertambah. Pemberian
rifampisin intermiten dihubungkan dengan timbulnya sindrom hepatorenal. SGOT
dan aktivitas fosfatase alkali yang meningkat akan menurun kembali bila pengobatan
dihentikan. Angka kejadian hepatotoksisitas rifampisin berbeda di tiap negara.
Ekskresi rifampisin melalui empedu berkompetisi dengan media kontras yang
digunakan untuk memeriksa fungsi kandung empedu dan dapat menyebabkan
retensi. Gangguan saluran cerna berupa rasa tidak enak di lambung, mual, muntah,
kolik, dan diare kadang-kadang memerlukan penghentian terapi. Berbagai keluhan
yang berhubungan dengan sistem saraf seperti rasa lelah, mengantuk, sakit kepala,
ataksia, bingung, sukar berkonsentrasi, sakit pada tangan dan kaki, dan melemahnya
otot dapat juga terjadi.2
Reaksi hipersensitivitas dapat berupa demam, pruritus, urtikaria, berbagai
macam kelainan kulit, eosinophilia, dan nyeri pada mulut dan lidah. Hemolysis,
hemoglobulinuria, hematuria, insufisiensi ginjal dan gagal ginkal akut juga
merupakan reaksi hipersensitivitas, tetapi jarang terjadi. Trombositopeni, leukopenia
sementara, anemia dapat terjadi selama terapi berlangsung. Efek teratogenik
rifampisin tidak diketahui, tetapi jarang terjadi.2
2.7.2

Inhibitor replikasi DNA

2.7.2.1 Fluorokuinolon
Merupakan antibiotik derivat dari asam nalidixic. Jika dibandingkan dengan
asam nalidixic, fluorokuinolon memiliki kelebihan sebagai berikut: (1) spektrum
yang lebih luas yang meliputi bakteri enterik gram negatif aerob (terutama golongan
45

enterobakter, Haemophilus spp., Neisseria spp., M. catarrhalis, bakteri basil non


enterik seperti P. aeruginosa, kuman streptokokus, bakteri yang terkait pneumonia
atipikal, patogen genital tertentu, dan mikobakterium tertentu); (2) penetrasi pada
jaringan yang lebih baik; (3) penetrasi intraseluler yang baik; dan (4) aktivitas
bakterisidal yang cepat.8
Mekanisme kerja
Florokuinolon merupakan satu-satunya kelompok agen antibakteri yang
secara langsung mencegah sintesis DNA. Agen ini berikatan dengan DNA girase dan
topoisomerase IV dari bakteri. Inhibisi girase menyebabkan relaksasi dari DNA yang
menyebabkan gagalnya replikasi kromosom dan mengganggu ekspresi gen dan sel.
Inhibisi dari aktivitas topoisomerase IV memicu separasi molekul DNA dan
kemudian menganggu replikasi sel.8
Resistensi
Tumbuhnya resistensi terhadap florokuinolon pada dewasa dihubungkan
dengan meningkatnya resistensi khususnya oleh enterobakter. Mekanisme resistensi
salah satunya berupa mutasi kromosom dari gen yang membentuk enzim target dari
florokuinolon (DNA girase dan topoisomerase IV), pompa refluks. Terdapat juga
resistensi dari plasmid yang melindungi DNA girase dari kerja kuinolon dari K.
pneumonie, E. coli, dan enterobakter. Ciprofloxacin masih merupakan agen kuinolon
yang paling poten terhadap bakteri gram negatif terutama terhadap P. aeruginosa,
Providencia spp., Proteus spp., dan S. marcescens.8
Farmakokinetik
Golongan fluorokuinolon secara umum memiliki bioavailabilitas yang sangat
baik, tidak dipengaruhi dengan makanan. Obat-obat golongan ini memiliki volume
distribusi besar dan terkonsentrasi pada ginjal dan urin (kecuali moxifloxacin, yang
melewati metabolism hepar dan ekskresi bilier). Fluorokuinolon dapat berinteraksi
dengan berbagai variasi obat yaitu, kafein, siklosporin, dideoksinosin, NSAID,
teofilin, dan agen lain yang memperpanjang interval QT. pemberian bersamaan
dengan antasid, sulfas ferosus, dan multivitamin yang mengandung zink dapat
mengurangi bioavailabilitas.8
46

Indikasi pemakaian
Golongan fluorokuinolon telah dipergunakan secara luas pada pasien dewasa
untuk tatalaksana penyakit infeksi kulit dan jaringan lunak, tulang, dan
intraabdomen,

saluran

kemih,

gastrointestinal,

dan

traktus

respiratorius.

Fluorokuinolon yang seringkali digunakan berupa generasi kedua, ciprofloxacin dan


levofloxacin, dan generasi keempat, moxifloxacin. Agen lain digunakan pada
indikasi terbatas berupa enoxacin, ofloxacin, lomefloxacin, norfloxacin (generasi
kedua), dan gemifloxacin (generasi ketiga).8
Penggunaan fluorokuinolon tidak dianjurkan pada pasien anak dan remaja
kecuali pada keadaan berikut: (1) infeksi saluran kemih dengan komplikasi dan
pyelonephritis oleh E. coli pada anak usia 1 tahun; (2) paparan pada B. anthracis
yang teraerosol , sebagai pencegahan berlanjutnya progress penyakit. Agen ini
digunakan juga pada keadaan klinis khusus, seperti fibrosis kistik, karena kuinolon
merupakan satu-satunya antibiotik oral yang efektif terhadap P. aeruginosa.
Ciprofloxacin merupakan satu-satunya fluorokuinolon yang tersedia dalam bentuk
suspensi (250 mg dan 500 mg / 5cc).8
Ciprofloxacin telah digunakan untuk: eksaserbasi dari infeksi paru oleh
pseudomonas pada pasien dengan fibrosis kistik, infeksi saluran kemih dengan
komplikasi, otitis media supurativa kronis yang terkait P. aeruginosa, osteokondritis
oleh P. aeruginosa, infeksi C. jejuni, demam tifoid yang resisten obat multiple.8
Efek samping
Penggunaan pada pasien pediatri masih terbatas karena potensi terjadinya
kerusakan pada kartilago. Atralgia dan tendinopati yang reversibel juga terkait
dengan penggunaan kuinolon. Efek samping terkait fluorokuinolon terjadi pada 3-17
persen pasien dewasa dan anak. Reaksi yang paling sering berupa reaksi
gastrointestinal, gejala ringan sistem saraf pusat, dan ruam alergi. Efek yang jarang
terjadi berupa fotosensitivitas, gangguan hemostasis glukosa, pemanjangan interval
QT, leukopenia, dan anfilaktoid.8
2.7.2.2 Metronidazol

47

Metronidazole merupakan 1-(-hidroksil-etil)-2-metil-5-nitroimidazol yang


berbentuk kristal kuning muda dan sedikit larut dalam air atau alkohol. Selain
memiliki efek trikomoniasid, juga berefek amubisid dan efektif terhadap Giardia
lamblia. Obat lain yang memiliki struktur dan aktivitas mirip dengan metronidazole
dan telah digunakan banyak adalah tinidazol, nimorazol, ornidazol dan secondazol.2
Farmakologi
Metronidazole memiliki efek amubisid langsung. Pada biakan E. histolytica
dengan kadar 1-2 mcg/cc, semua parasite musnah dalam 24 jam. Sampai saat ini
belum ditemukan amuba yang resisten terhadap metronidazole. Metronidazole juga
memperlihatkan daya trikomoniasid langsung. Pada biakan Trichomonas vaginalis,
kadar metronidazole 2,5 mcg/cc dapat menghancurkan 99% parasite dalam waktu 24
jam. Trofozoid Giardia lamblia juga dipengaruhi langsung pada kadar antara 1-50
mcg/cc.2
Farmakokinetik
Absorpsi berlangsung dengan baik sesudah pemberian oral. Satu jam setelah
pemberian dosis tunggal 500 mg per oral diperoleh kadar plasma kira-kira 10
mcg/cc. Umumnya untuk kebanyakan protozoa dan bakteri yang sensitive, rata-rata
diperlukan kadar tidak lebih dari 8 mcg/cc. Waktu paruh berkisar antara 8-10 jam.
Pada beberapa kasus terjadi kegagalan karena rendahnya kadar sistemik. Ini mungkin
disebabkan oleh absorpsi yang buruk atau metabolism yang terlalu cepat. Obat ini
diekskresi melalui urin dalam bentuk asal dan bentuk metabolit hasil dari oksidasi
dan glukoronidasi. Urin mungkin berwarna coklat kemerahan karena mengandung
pigmen tak dikenal yang berasal dari obat. Metronidazole juga dieksresi melalui air
liur, air susu, cairan vagina, dan cairan seminal dalam kadar yang rendah.2
Indikasi
Agen metronidazole digunakan terutama untuk amubiasis, trikonomiasis dan
infeksi bakteri anaerob. Metronidazole efektif untuk amubiasis intestinal maupun
ekstraintestinal. Namun efeknya lebih jelas pada jaringan, sebab sebagian besar
metronidazole mengalami penyerapan di usus halus. Untuk amubiasis intestinal
dianjurkan pemberian amubisid intestinal lain setelah pemberain metronidazole. Pada
abses hepar, dosis uang digunakan sama besar dengan dosis yang digunakan sama
48

besar denagn dosis yang digunakan untuk disentri amuba, bahkan dengan dosis yang
lebih kecil telah dapat diperoleh respons yang baik. Meskipun metronidazole efektif
untuk abses hati, namun

aspirasi abses tetap diperlukan. Metronidazole juga

digunakan untuk profilaksis pascabedah daerah abdomen, infeksi pelvik, dan


pengobatan endocarditis yang disebabkan oleh B. falgilis. Agen ini juga dapat
diberikan pada pasien dengan Clostridium difficile dan Helicobacter pylori.2
Efek samping
Efek samping yang paling sering dikeluhkan berupa sakit kepala, mual, mulut
kering dan rasa kecap logam. Efek yang jarang dikeluhkan berupa muntah, diare, dan
juga spasme usus. Lidah berselaput, glositis dan stomatitis dapat terjadi selama
pengobatan dan ini mungkin berkaitan dengan moniliasis. Efek samping lain dapat
berupa pusing, vertigo, ataksia, parestesia pada ekstremitas, urtikaria, flushing,
pruritus, dysuria, sistitis, rasa tekan pada pelvik, juga kering pada mulut, vagina, dan
vulva.2
2.8

Golongan inhibitor metabolism

2.8.1

Sulfonamid
Merupakan Kristal putih yang umumnya sukar larut dalam air namun garam

natriumnya mudah larut. Rumus dasarnya adalah sulfanilamide. Berbagai variasi


radikal R pada gugus amida (-SO2NHR) dan substitusi gugus amino (NH2)
menyebabkan perubahan sifat fisik, kimia dan daya antibakteri sulfonamide.2
Aktivitas antimikroba
Spektrum luas antibakteri, meskipun kurang kuat dibandingkan dengan
antibiotic dan strain mikroba yang resisten makin meningkat. Golongan obat ini
umumnya hanya bersifat bakteriostatik, namun pada kadar yang tinggi dalam urin
dapat bersifat sebagai bakterisid.2
Mekanisme kerja
Kuman memerlukan PABA 9p-aminobenzoic acid) untuk pembentukan asam
folat yang digunakan untuk sintesis purin dan asam-asam nukleat. Sulfonamide
merupakan penghambat bersaing PABA. Efek antibakteri sulfonamide dihambat oleh
49

adanya darah, nanah, dan jaringan nekrotik, karena kebutuhan mikroba akan asam
folat berkurang dalam media yang mengandung basa purin dan timidin. Sel mamalia
tidak dipengaruhi oleh sulfonamide karena menggunakan folat jadi yang terdapat
dalam makanan. Dalam proses sintesis asam folat, bila PABA digantikan oleh
sulfonamide, maka akan terbentuk analog asam folat yang tidak fungsional.2
Resistensi bakteri
Bakteri yang semula sensitive terhadap sulfonamide dapat menjadi resisten
secara in vitro maupun in vivo. Resistensi ini biasanya bersifat ireversibel namun
tidak disertai dengan resistensi silang terhadap kemoterapeutik lain. Resistensi ini
mungkin disebabkan oleh mutasi yang meningkatkan produksi PABA atau mengubah
struktur molekul enzim yang berperan dalam sintesis folat sedemikian rupa sehingga
afinitasnya terhadap sulfonamide menurun. Timbulnya resistensi merupakan faktor
yang membatasi manfaat sulfonamide dalam pengobatan penyakit infeksi, terutama
infeksi yang disebabkan oleh gonokokus, stafilokokus, streptokokus, dan beberapa
galur Shigella.2
Farmakokinetik
Absorpsi terjadi pada saluran cerna kecuali pada beberapa macam
sulfonamide yang khusus digunakan untuk infeksi local pada usus. Sekitar 70-100%
dosis oral sulfonamide diserap melalui saluran cerna dan dapat ditemukan dalam urin
30 menit setelah pemberian. Absorpsi terutama terjadi pada usus halus namun
beberapa jenis sulfa diserap dalam lambung. Absorpsi tempat lain terjadi di vagina,
kulis terbuka, saluran napas namun umumnya kurang baik, tetapi cukup
menyebabkan efek toksik atau reaksi hipersensitivitas.2
Sulfonamide terikat pada protein plasma terutama albumin, obat ini tersebar
ke seluruh jaringan tubuh sehingga baik untuk infeksi sistemik. Dalam cairan tubuh,
kadar obat bentuk bebas mencapai 50-80% kadar dalam darah. Pemberian
sulfadiazine dan sulfisoksazol secara sistemik dengan dosis adekuat dan dapat
mencapai kadar efektif pada CSS, pada meningitis kadar ini meningkat. Metabolisme
terjadi dengan asetilasi dan oksidasi, yang kemudian seringkali menyebabkan toksik
sistemik berupa lesi kulit dan hipersensitivitas. Bentuk asetil pada N-4 merupakan

50

metabolit utama dan beberapa sulfonaimd yang terasetilasi lebih sukar larut dalam air
sehingga sering menyebabkan kristaluria atau komplikasi ginjal lainnya.2
Ekskresi sulfa terjadi melalui ginjal, baik dalam bentuk asetil maupun bentuk
bebas. Waktu paruh sulfonamide tergantung dari keadaan fungsi ginjal. Sebagian
kecil diekskresi melalui tinja, empedu, dan ASI.2
Efek Samping
Anemia hemolitik akut disebabkan reaksi alergi atau karena defisiensi
aktivitas G6PD. Sulfadiazine jarang menimbulkan reaksi ini. Agranulositosis terjadi
pada 0,1% pasien dengan sulfadiazine. Trombositopenia ringan seringkali terjadi
namun mekanismenya belum diketahui. Gangguan saluran kemih dapat terjadi
meskipun jarang. Hal ini disebabkan penumpukan dan pembentukan Kristal dalam
ginjal, kaliks, pelvis, ureter, ataupun kandung kemih. Reaksi hipersensitivitas berupa
reaksi kulit dan mukosa yang berupa kelainan morbiliform, skarlatiniform,
urtikariform, eripeloid, pemfigoid, purpura, petekia. Demam dapat terjadi pada
pemakaian sulfisoksazol, yang timbul tiba-tiba pada hari ketujuh sampai hari
kesepuluh pemakaian. Hepatitis dapat terjadi pada 0,1 % pasien yang merupakan
efek toksik atau akibat sensitisasi.2
2.8.2

Kotrimoksazol
Trimethoprim dan sulfametoksazol menghambat reaksi enzimatik obligat

pada dua tahap yang berurutan pada mikroba, sehingga kombinasi kedua obat
memberikan efek sinergi. Penemuan sediaan kombinasi ini merupakan kemajuan
penting dalam usaha meningkatkan efektivitas klinik antimikroba. Kombinasi ini
lebih dikenal dengan nama kotrimoksazol. Merupakan suatu diamino-pirimidin yang
bersifat basa lemah dengan pKa 7,3 dan sedikit larut dalam air.2
Mekanisme kerja
Aktivitas antibakteri kotrimoksazol berdasarkan pada dua tahan yang
berurutan dalam reaksi enzimatik untuk pembentukan asam tetrahidrifolat.
Sulfonamid menghambat masuknya molekul PABA ke dalam molekul asam folat dan
trimethoprim menghambat terjadinya reaksi reduksi dari dihidrofolat menjadi
tetrahidrofolat. Tetrahidrofolat penting untuk reaksi reaksi pemindahan satu atom c,
51

seperti pembentukan basa purin (adenine, guanine, dan timidin) dan beberapa asam
amino (metionin, glisin). Sel-sel mamalia menggunakan folat jadi yang terdapat
dalam makanan dan tidak mensintesis senyawa tersebut. Trimethoprim menghambat
enzim dihidrofolat reduktase mikroba secara sangat selektif. Hal ini penting, karena
enzim tersebut juga terdapat pada sel mamalia.2
Untuk mendapatkan efek sinergi diperlukan perbandingan kadar yang optimal
dari

kedua

obat.

Untuk

kebanyakan

kuman,

rasio

kadar

sulfametoksazol:trimethoprim yang optimal adalah 20:1. Sifat farmakokinetik


sulfonamide yang dipilih untuk kombinasi dengan trimethoprim sangat penting
mengingat diperlukannya kadar yang relative tetap dari kedua obat tersebut dalam
tubuh.

Trimethoprim

pada

umumnya

20-100

kali

lebih

poten

daripada

sulfametoksazol sehingga sediaan kombinasi diformulasikan untuk mendapatkan


kadar sulfametoksazol in vivo 20 kali lebih besar daripada trimethoprim.2
Resistensi bakteri
Frekuensi terjadinya resistensi terhadap kotrimoksazol lebih rendah daripada
resistensi terhadap masing-masing obat, karena mikroba yang resisten terhadap salah
satu komponen masih peka tergadap komponen lainnya. Resistensi mikroba terhadap
trimethoprim dapat terjadi karena mutasi. Resistensi yang terjadi pada bakteri gram
negatif disebabkan oleh adanya plasmid yang membawa sifat menghambat kerja obat
terhadap enzim dihidrofolat reduktase. Resistensi S.aureus terhadap trimetropim
ditentukan oleh gen kromosom, bukan oleh plasmid. Resistensi terhadap bentuk
kombinasi juga terjadi in vivo. Prevalensi resistensi E.coli dan S.aureus terhadap
kotrimoksazol meningkat pada penderita yang diberi pengobatan dengan sediaan
kombinasi tersebut. Selama lima tahun penggunaan resistensi S.aureus meningkat
dari 0,4% menjadi 12,6 %. Dilaporkan pula terjadinya resistensi pada beberapa jenis
mikroba Gram negatif.2
Farmakokinetik
Rasio kadar sulfametoksazol dan trimethoprim yang ingin dicapai dalam
darah ialah sekitar 20:1. Karena sifatnya yang lipofilik, trimethoprim mempunyai
volume distribusi yang lebih besar daripada sulfametoksazol. Dengan memberikan
sulfametoksazol 800 mg dan trimethoprim 160 mg per oral (rasio sulfametoksazol :
52

trimethoprim = 5:1) dapat diperoleh rasio kadar kedua obat tersebut dalam darah
kurang lebih 20:1.2
Trimethoprim cepat didistribusi ke dalam jaringan dan kira-kira 40% terikat
pada protein plasma dengan adanya sulfametoksazol. Volume distribusi trimethoprim
hampis 9 kali lebih besar daripada sulfametoksazol. Obat masuk ke CSS dan saliva
dengan mudah. Masing-masing komponen juga ditemukan dalam kadar tinggi di
dalam empedu. Kira-kira 65% sulfametoksazol terikat pada protein plasma. Sampai
60% trimethoprim dan 25-50% sulfametoksazol diekskresi melalui urin dalam 24
jam setelah pemberian. Dua-pertiga dari sulfonamide tidak mengalami konjugasi.
Metabolit trimethoprim ditemukan juga di urin. Pada penderita uremia, kecepatan
ekskresi dan kadar urin kedua obat jelas menurun.2
Efek samping
Pada dosis yang dianjurkan, obat ini terbukti tidak menimbulkan anemia
defisiensi folat, namun batas toksisitasnya sulit ditentukan. Efek samping lainnya
berupa reaksi pada kulit yang terbukti 3 kali lebih sering dibandingkan dengan
sulfisoksazol. Gejala kulit berupa dermatitis eksfoliatif, steven Johnson, dan toxic
epidermal necrolysis. Keluhan lain berupa gejala gastrointestinal terutama mual dan
muntah, diare jarang terjadi. Glosistis dan stomatitis relative sering terjadi. Ikterus
dapat muncul pada penderita yang memang sebelumnya menderita hepatitis
kolestatik alergik. Reaksi sistem saraf pusat berpua sakit kepala, depresi, dan
halusinasi yang disebabkan oleh sulfonamid. Gejala hematologis lainnya berupa
gangguan

koagulasi,

granulositopenia,

agranulositosis,

purpura.

Pemberian

bersamaan atau berdekatan dengan diuretik dapat mempermudah timbulnya


trombositopenia.2

53

Daftar Pustaka

1.

Goodman LS, Gilman A, Brunton LL, Lazo JS, Parker KL, editors. Goodman
& Gilmans the pharmacological basis of therapeutics. 11th ed. New York:

2.

McGraw-Hill; 2006.
Amir S, Arini S, Bahroelim B, et al. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Jakarta:

3.

Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesi;2007


Harriet Lane Service (Johns Hopkins Hospital), Flerlage J, Engorn B, Johns
Hopkins Hospital, Childrens Medical and Surgical Center. The Harriet Lane

4.

handbook: a manual for pediatric house officers. 2015


Adler-Shohet F. Amphotericin B lipid complex for neonatal invasive

5.

candidiasis. Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed. 2001 Mar 1;84(2):131F133.
Shahid, M. and R. Cooke, Is a once daily dose of gentamicin safe and effective
in the treatment of uti in infants and children? Arch Dis Child, 2007. 92(9): p.
823-4.
54

6.

Lundergan, Faye S et al. Once-daily Gentamicin Dosing in Newborn Infants.

7.

Pediatrics and Pharmacy Service. 1999 June 6;103:12281234


Bhatt-Mehta, Varsha. Lack of Vancomycin-associated Nephrotoxicity in
Newborn Infants: A Case-Control Study. Department of Pediatrics and

8.

Communicable Diseases. 1999 Nov 4;103(4)


Ralph DF, Jeanne C, Neil H et al. Feigin & Cherrys Textbook of Pediatric
Infectious Diseases. 6th ed. Philadelphia: Saunders Elsevier;2009

55

You might also like