Professional Documents
Culture Documents
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Antibiotika
Agen antibiotika adalah obat-obatan yang paling sering digunakan di
seluruh dunia. Penggunaan secara luas ini menyebabkan seringnya terjadi resistensi
antibiotika pada manusia, khususnya anak-anak. Pengurangan penggunaan
antibiotika yang tidak tepat dapat menjadi cara untuk mengontrol resistensi terhadap
antibiotika.1
Antibiotika adalah zat yang dihasilkan oleh suatu bakteri, terutama fungi,
yang dapat menghambat atau dapat membasmi bakteri jenis lain. Obat yang
digunakan untuk membasmi bakteri, penyebab infeksi pada manusia, ditentukan
harus memiliki sifat toksisitas selektif setinggi mungkin. Artinya, obat tersebut
haruslah bersifat sangat toksik untuk bakteri, tetapi relatif tidak toksik untuk host.
Agen antibiotika diklasifikasikan berdasarkan mekanisme kerja, yang terdiri
dari agen yang menghambat sintesis dinding sel bakteri, agen yang berperan untuk
meningkatkan permeabilitas membran sel dan menyebabkan kebocoran zat-zat
intraseluler, agen yang mengganggu fungsi dari subunit ribosomal dalam
menghambat sintesis protein secara reversible, agen yang mempengaruhi
metabolisme asam nukleat dari bakteri dengan cara menghambat polimerase RNA
atau topoisomerase, agen antimetabolit yang menghalangi kerja enzim penting dari
metabolisme folat.1
Keberhasilan terapi antibiotika bergantung pada konsentrasi dari antibiotika
terhadap bagian infeksi, dimana antibiotika ini harus berhasil menghambat
perkembangan mikroorganisme yang menyerang. Jika pertahanan host masih intak,
maka
agen
antibiotika
yang
menghambat
pertumbuhan
atau
replikasi
terhadap mikroorganisme tertentu. Namun jika sebaliknya, maka agen ini bersifat
resisten terhadap mikroorganisme itu. Faktor lokal, seperti pH rendah, konsentrasi
protein tinggi, dan kondisi anaerob, juga dapat mengganggu aktivitas kerja dari obat.1
Tingginya resistensi antibiotika dewasa ini adalah suatu perkembangan
masalah yang serius, yang mengancam akhir dari era antibiotika. Lebih dari 70%
bakteri yang berhubungan dengan hospital acquired infections di Amerika Serikat,
resisten terhadap satu atau beberapa antibiotika yang sebelumnya dipergunakan
untuk mengatasi bakteri tersebut. Untuk menjadi antibiotika yang efektif, sebuah
antibiotika harus dapat mencapai targetnya sebagai bentuk aktif, mengikat target, dan
mengganggu eksistensi bakteri tersebut sesuai dengan fungsi antibiotika tersebut.
Resistensi bakteri terhadap suatu agen antibiotika disebabkan karena tiga
mekanisme, yaitu : 1
1. antibiotika tidak mencapai target yang seharusnya ;
Membran terluar dari bakteri gram negatif adalah barrier yang tidak
dapat ditembus oleh molekul besar ketika molekul tersebut akan
masuk ke dalam sel. Molekul kecil, seperti antibiotika, dapat
memasuki sel melalui saluran protein, yang disebut juga porin.
Ketiadaan, perubahan sel, atau kehilangan porin tertentu dapat
menyebabkan keterlambatan masuknya antibiotika ke dalam sel atau
malah dapat mencegah masuknya antibiotika. Hal ini dapat
menurunkan efektivitas dan konsentrasi antibiotika pada area yang
aktif. Jika target adalah intraseluler dan antibiotika membutuhkan
transport aktif melewati membran sel, resistensi dapat terjadi akibat
mutasi yan menghambat mekanisme transport itu. Sebagai contoh,
gentamisin, yang menargetkan ribosom, secara aktif melakukan
transport melewati membran sel dengan menggunakan energi yang
disediakan oleh gradient elektrokimiawi membran. Mutasi yang
terjadi pada jalur ini atau kondisi anaerob dapat menyebabkan
masuknya gentamisin secara lambat ke dalam sel. Resistensi terhadap
sejumlah antibiotika, seperti tetrasiklin, kloramfenikol, flurokuinolon,
makrolid, dan -lactam, dimediasi oleh mekanisme pompa efflux.
Mekanisme ini terjadi karena bakteri mengaktifkan pompa efflux
untuk membuang keluar antibiotika yang ada di dalam sel.2
2. antibiotika tidak aktif ;
3
menjadi
cara
transfer
resistensi
terhadap
penicillin
pada
sebuah
antibiotika
yang
akan
menghambat
perkembangan
visible
mikroorganisme,
dan
meningkatkan
kerentanannya
terhadap
antibiotika lain. Jika 50% dari MIC dari setiap obat dibutuhkan untuk memproduksi
inhibisi, maka hasil ini disebut sebagai aditif. Hal ini berarti kedua obat bekerja
secara sendiri-sendiri, dan tidak bergantung satu sama lain. Jika lebih dari 50% dari
MIC dari setiap obat, maka akan dihasilkan efek inhibitori, dan hasil ini disebut
sebagai antagonis. Indikasi penggunaan kombinasi agen antibiotika adalah :1
1. Terapi empiris dari infeksi berat, yang penyebabnya belum diketahui
Terapi empiris dari sebuah infeksi adalah alasan paling utama untuk
penggunaan kombinasi antibiotika. Sakit berat dan masih belum
jelasnya penyebab suatu infeksi, menyebabkan dibutuhkannya agen
antibiotika yang dapat melingkupi berbagai patogen yang potensial.
Oleh karena itu, dibutuhkan lebih dari satu agen antibiotika yang
mencakup
berbagai
regimen
dalam
melawan
patogen.
Pada
campuran
dapat
disebabkan
karena
dua
atau
lebih
keberhasilan
dalam
pengobatan
endocarditis
yang
Deficiency
Syndrome
(AIDS)
dengan
meningitis
cryptococcal.
4. Pencegahan munculnya resistensi
Kombinasi terapi pada tuberculosis adalah untuk mencegah resistensi
mutasi yang dapat timbul jika pengobatan monoterapi.
Kerugian penggunaan kombinasi antibiotika adalah meningkatnya resiko toksisitas,
multiple-drug-resistant microorganism, eradikasi flora normal pada host dengan
superinfeksi, dan peningkatan biaya pengobatan. Semua inividu yang menerima
dosis terapeutik dari antibiotika akan mengalami perubahan populasi bakteri normal
pada traktus gastrointestinal, traktus respiratorius bagian atas, dan traktus urogenital.
Hal ini akan mengakibatkan perkembangan superinfeksi. Superinfeksi adalah adanya
bukti gejala klinis dan bakteriologikal dari infeksi baru, selama kemoterapi dengan
menggunakan antibiotika sebelumnya. Makin luas spektrum dan makin panjang
periode dalam pengobatan antibiotika, maka makin tinggi resiko untuk menjadi
superinfeksi. Antibiotik paling spesifik dan spektrum paling sempit seharusnya
dipilih untuk mengatasi infeksi secara tepat.1
Kesalahan dalam penggunaan antibiotika terdiri dari :1
1. Penatalaksanaan infeksi yang tidak responsif
9
Penicillin,
cephalosporine, carbapenem,
dan monobactam
termasuk
hambatan
sintesis
dinding
sel
bakteri
karena
proses
Cara
Antibiotika
Penicillin
Penicillin G
Penicillin VK
Penicillin anti
IV
PO
PO
IV
PO
Stpahylococcus
Cloxacillin,
Dicloxacillin
Oxacillin
Penicillin
Dosis Anak
Pemberian
yang
Diperluas
Amoxicillin
Amoxicillin / asam
PO
20 40 mg / kg / jam dalam 3 dosis
klavulanat
Piperacillin
IV
300 mg / kg / jam dalam 4-6 dosis
Tikarcillin
IV
200 300 mg / kg / jam dalam 4-6 dosis
Tabel 1.1. Panduan Penentuan Dosis Penicillin dan Derivatnya
Penggunakan terapeutika dari penicillin adalah :2
1. Infeksi bakteri Coccus-positif
12
Antibiotika
Cara
Pemberian
Dosis Anak
Cephalosporine
generasi pertama
Cefadroxil
Cefazoline
Cephalosporine
PO
IV
generasi kedua
Cefoxitin
Cefuroxim
Cephalosporine
IV
PO
generasi ketiga
Cefotaxim
Ceftriaxon
Ceftazidim
Cephalosporine
IV
IV
IV
genrasi keempat
Cefepime
IV
75 120 mg / kg / jam dalam 23-3 dosis
Tabel 1.2. Panduan Dosis Cephalosporine pada Anak-anak
2.4.1.3. Carbapenem
Carbapenem merupakan beta-laktam yang struktur kimanya berbeda dengan
penicillin dan cephalosporine. Golongan obat ini mempunyai spektrum aktivitias
yang lebih luas. Contoh dari obat ini adalah imipenem dan meropenem.2
Imipenem dipasarkan dalam kombinasi dengan silastatin agar imipenem
tidak didegradasi oleh enzim dipeptidase di tubulus ginjal. Silastatin, penghambat
dehidropeptidase-1, tidak beraktivitas antibiotika. Bila diberikan bersama imipenem
dalam perbandingan yang sama, silastatin akan meningkatkan kadar imipenem aktif
dalam urin dan mencegah efek toksiknya terhadap ginjal. Imipenem merupakan
carbapanem pertama yang digunakan dalam pengobatan. Imipenem mengikat PBP 2
dan menghambat sintesis dinding sel bakteri. In vitro obat ini berspektrum sangat
luas, termasuk bakteri Gram-positif dan bakteri Gram-negatif, baik aerobik maupun
non-aerobik. Imipenem merupakan bakterisida. Imipenem diguanakan untuk
pengobatan infeksi berat oleh bakteri yang sensitive, termasuk infesi nosocomial
yang resisten terhadap antibiotika lain, misalnya infeksi saluran nafas bagian bawah,
obstetri-ginekologi, osteomyelitis, dan endocarditis oleh S. aureus. Untuk infeksi
14
Antibiotika
Cara
Dosis Anak
Pemberian
Carbapenem
Imipenem
IV
Meropenem
IV
2 gram / 8 jam)
Tabel 2.3. Panduan Dosis Carbapenem pada Anak-Anak
2.4.1.4. Monobactam
Monobactam berbeda dengan struktur kimia golongan antibiotika betalaktam lainnya. Contoh dari golongan obat ini adalah aztreonam. Aztreonam bekerja
dengan menghambat sintesis dinding sel bakteri, seperti antibiotika beta-laktam yang
lain. Aztreonam tidak aktif terhadap bakteri Gram-positif dan bakteri anaerob, tetapi
efektif terhadap bakteri Gram-negatif aerobic, termasuk Pseudomonas aeruginosa,
dan Haemophilus influenzae. Aztreonam harus diberikan secara intramuskular atau
intravena, karena tidak dapat diabsorbsi melalui saluran cerna.2
Aztreonam diindikasikan untuk infeksi saluran kemih dengan komplikasi,
saluran nafas bagian bawah, kulit dan struktur kulit, alat kelamin, intraabdominal,
tulang,
dan
bakteremia
pada
anak.
Spektrum
aztreonam
mirip
dengan
adalah
antibiotika
yang
dihasilkan
oleh
Streptomyces
kadar 5-20 g/mL melalui penghambatan sintesis dinding sel. Jenis bakteri yang
sudah resisten dengan Streptomycin, isoniazid, pirazinamid, dan viomicin, biasanya
masih sensitif dengan cyloserine. Dosis pada anak adalah 20 mg / kgBB, yang
diberikan 2 kali sehari.2
2.4.2.2. Vancomycin
Vancomycin tidak dapat diserap melalui saluran cerna, dan untuk
mendapatkan efek sistemiknya, harus diberikan intravena, karena pemberian melalui
intramuskular dapat menimbulkan nekrosis setempat. Vancomycin hanya aktif
terhadap bakteri Gram-positif, khususnya golongan coccus. Indikasi utama
vancomycin
adalah
septicemia
dan
endocarditis,
yang
disebabkan
oleh
2.4.2.4. Teicoplanin
Teicoplanin diindikasikan untuk infeksi berat oleh bakteri Gram-positif,
yaitu Staphylococcus, Streptococcus, dan Enterococcus, jika antibiotika lain yang
kurang toksik tidak dapat lagi digunakan. Obat ini bekerja dengan menghambat
sintesis dinding sel. Pemberian teicoplanin bersama obat lain yang juga bersifat
nefrotoksik dan ototoksik (misalnya golongan aminoglikosida, amfoterisin B, dan
siklosporin) harus dilakukan dengan sangat hati-hati. Lama pengobatan adalah 2-4
minggu untuk bacteremia dan 3-6 minggu untuk osteomyelitis.2
2.5
Kegunaan klinis
Nistatin hanya berguna untuk kandidiasis dan tersedia dalam sediaan untuk
lesi kutaneus, vaginal, atau oral.1 Obat ini terutama hanya mengobati infeksi kandida
di kulit, selaput lendir dan saluran cerna. Paronikia, vaginitis dan kandidiasis oral
cukup diobati secara topikal. Kandidiasis di mulut, esofagus dan lambung biasanya
merupakan komplikasi yang terjadi pada pasien dengan imunosupresi.2
Dosis nistatin dinyatakan dalam satuan unit (U). Setiap 1 mg obat ini
mengandung tidak kurang dari 200 unit nistatin. Pada sediaan krim, bubuk, salep,
suspensi, dan obat tetes pada umumnya mengandung 100.000 U nistatin per gram/
per mL.4 Nistatin tersedia dalam sediaan tablet (500.000 U), kapsul (500.000/
1000.000U), suspensi oral (100.000 U/ml) dan topikal (100.000U/g). Pada
kandidiasis orofaring, dosis untuk bayi prematur adalah 4x0,5ml (50.000U) per 24
jam, dosis untuk bayi aterm adalah 4x1 ml (100.000U) per 24 jam, dan dosis pada
anak adalah 4x4-6ml suspensi oral (400.000-600.000 U) per 24 jam dengan edukasi
dikumur dan ditelan. Durasi penggunaan obat ini sekitar 48-72 jam setelah gejala
klinis menghilang.3
Efek samping
Efek samping nistatin adalah diare, gangguan saluran cerna, dermatitis
kontak, dan reaksi hipersensitivitas yaitu Stevens Johnson syndrome. 3
Amfoterisin B
Struktur kimia
Amfoterisin B merupakan hasil fermentasi Streptomyces nodosus.4Struktur
kimia Amfoterisin B mengandung 7 rantai ganda terkonjugasi dan terhubungkan
dengan rantai utama oleh ikatan glikosidik.1Obat ini merupakan antibiotik polien
yang bersifat basa amfoter lemah, tidak larut dalam air, tidak stabil, tidak tahan suhu
diatas 37oC tetapi dapat bertahan berminggu-minggu pada suhu 4 oC.2
18
Amfoterisin B tidak larut dalam air akan tetapi diformulasikan untuk infus
intravena
melalui
campuran
deoksikolat
garam
empedu.
Sediaan
yang
Blastomyces
dermatitidis,
Histoplasma
capsulatum,
Sporthrix
yang menetap di plasma sebagian besar (90%) akan berikatan dengan protein,
khususnya lipoprotein-b. Sebanyak kurang lebih 2-5% dari obat ini akan
diekskresikan melalui urin.1Waktu paruh obat kira-kira 24-48 jam pada fase awal
diikuti dengan fase kedua dengan waktu paruh 15 hari, sehingga kadar puncaknya
baru akan tercapai setelah beberapa bulan pemakaian.4 Hal ini diakibatnya oleh
luasnya ikatan terhadap jaringan di dalam tubuh.1Eleminasi dari obat ini tidak akan
berubah pada pasien dengan gangguan ginjal dan yang sedang menjalankan
hemodialisis. Hanya sedikit yang masuk ke dalam cairan serebrospinal, vitreous
humor, dan cairan amnion normal.1
Kegunaan Klinis
Amfoterisin b untuk injeksi tersedia dalam vial berisi 50 mg bubuk liofilik,
dilarutkan dengan 10 mL akuades steril yang kemudian diencerkan dengan larutan
dekstrosa 5% dalam air, sehingga didapatkan kadar 0,1 mg/ml. Sediaan ini dikenal
dengan amfoterisin deoksikolat (C-AMB).2
Amfoterisin B digunakan dalam pengobatan kandidiasis pada bayi. Dosis
yang dapat diberikan adalah 0,5-1 mg/kg secara parenteral per 24 jam.Pada awal
pemberian, boleh diberikan dosis percobaan terlebih dahulu yaitu 0,1 mg/kgyang
dilanjutkan dengan dosis inisial.Pemberian dosis inisial ini harus disertai dengan
pengawasan pada beberapa jam pertama terhadap elektrolit, hematologi, fungsi hati,
renal, dan keadaan klinis anak karena dapat terjadi hiperkalsiuria, hipokalemia,
hipomagnesemia, gangguan fungsi renal dan hati.2 Untuk irigasi kandung kemih pada
terapi sistitis oleh Candida, digunakan dosis 5-15mg dalam 100 ml larutan steril
dengan total 100-300 ml/ 24 jam. Larutan ini dibmasukan ke dalam kandung kemih
dengan menggunakan kateter kemudian di klem selama 1-2 jam.3
Administrasi intravena dari amfoterisin b merupakan terapi pilihan untuk
infeksi mukormikosis dan berguna untuk terapi inisial dari meningitis kriptokokus,
histoplasmosis, blastomikosis, kokidiodomikosis dan peniciliosis marneffei.Selain itu
juga berguna untuk pasien dengan aspergilosis, sporotrikosis ekstrakutan, fusariosis,
alternariosis, dan trikosporonosis yang tidak responsif terdapat obat golongan
azole.Amfoterisin topikal hanya berguna untuk kandidiasis kutaneus.1
Efek samping
20
ml/kg
sebelum
pemberian
obat
terbukti
menurunkan
kejadian
Ketokonazol
Ketokonazol merupakan turunan imidazole sintetik dengan struktur mirip
mikonazol dan klotrimazol. Obat ini bersifat lipofilik dan larut dalam air pada pH
asam.2
Ketoconazol diberikan secara oral dan penggunaannya telah digantikan oleh
itraconazol untuk menangani semua penyakit jamur dikarenakan keuntungan yang
lebih besar yaitu tidak mensupresi kortikosteroid seperti pada ketoconazol.
Ketoconazol seringkali digunakan untuk menghambat produksi yang berlebihan dari
glukokortikoid pada pasien dengan Cushings Syndrome. 1
Itrakonazol
Itrakonazol merupakan triazol sintetik yang terdiri dari campuran 4
diastereoisomer
(2
pasang
enantiomerik).Sruktur
kimia
itrakonazol
sangat
menyerupai ketokonazol.1 Obat ini dapat diberikan secara per oral dan parenteral.
Jika dibandingkan dengan ketokonazol, aktivitas antijamurnya lebih luas dan efek
samping yang ditimbulkan lebih kecil.2
Aktivitas antijamur
Ketokonazol dan Itrakonazol aktif sebagai antijamur baik sistemik maupun
nonsistemik yang efektif terhadap Candida, Coccidioides immitis, Cryptococcus
neoformans, H. capsulatum, B. dermatitidis, Aspergillus, Tinea vesikolor
dan
Sporothrix spp.2
Mekanisme kerja
Pada administrasi sistemik, efek utama dari imidazol dan triazol pada jamur
adalah menginhibisi 14-a-sterol demethylase, yang merupakan enzim sitokrom P450
22
mikrosomal (CYP). Kedua obat ini mengganggu biosintesis dari ergosterol dalam
pembentukan membran sitoplasmik dan mengganggu fungsi dari beberapa enzim
yang mengikat membran, seperti ATPase dan enzim sistem transport. Secara umum,
obat ini bersifat menghambat pertumbuhan fungi.Beberapa golongan azol (contoh:
clotrimazole) secara langsung meningkatkan permebilitas dari membran sitoplasmik
jamur.1Resistensi terhadap golongan azol dikarenakan penggunaan obat jangka
panjang.
Farmakokinetik dan farmakodinamik
Ketokonazol
Ketokonazol merupakan anti jamur per-oral yang penyerapannya bervariasi
antar individu. Penyerapan melalui saluran cerna akan berkurang pada pasien dengan
pH lambung yang tinggi, pemberian bersama antagonis H2 atau bersama antasida.
Pengaruh makanan tidak begitu berarti terhadap penyerapan ketokonazol.2
Obat ditemukan dalam urin, kelenjar lemak, liur, kulit yang mengalami
infeksi, tendon, caidan synovial, dan vaginal.Akan tetapi sangat sedikit ditemukan
pada cairan serebrospinal.Obat ini mengalami metabolism lintas pertama, dan
sebagian besar dieksresikan bersama empedu dan hanya sebagian kecil diekskresikan
pada urin. Gangguan ginjal dan hati yang ringan tidak mempengaruhi kadar obat
dalam plasma.2
Itrakonazol
Itrakonazol tersedia dalam sediaan oral danintravena.Sediaan kapsul sangat
baik diserap saat setelah makan, akan tetapi sediaan solusio oral lebih baik diserap
pada keadaan puasa. Waktu paruh itrakonazolsekitar 30-40 jam. Penyakit liver berat
akan meningkatkan konsentrasi plasma, akan tetapi azotemia dan hemodialysis tidak
memiliki efek apapun pada obat. Pemberian itrakonazol secara intravena merupakaan
kontraindikasi pada pasien dengan creatinine clearance kurang dari 30 ml/min
karena adanya potensial toksisitas dari hidroksipropil-b-siklodekstrin. Itrakonazol
tidak karsinogenik, tetapi terbukti teratogenik pada hewan tikus percobaan dan
merupakan kontraindikasi untuk terapi pada kehamilan.1
Itrakonazol, seperti golongan azol lainnya mengalami metabolisme lini
pertama dan berinteraksi dengan enzim mikrosom hati, akan tetapi tidak sebanyak
ketokonazol.2
23
Kegunaan klinis
Ketokonazol
Ketokonazol efektif untuk histoplasmosis paru, tulang, sendi dan jaringan
lemak. Obat ini tidak dianjurkan untuk meningitis kriptokokus karena penetrasinya
kurang baik, akan tetapi boleh untuk infeksi kriptokokus non meningeal lainnya.
Ketokonazol juga efektif untuk parakoksidiomikosis, dermatomikosis, dan
kandidiasis mukokutan, vaginal, dan oral.Dengan adanya itrakonazol yang lebih
aman, penggunaan ketokonazol kini sudah mulai tergeser. Namun penggunaan
ketokonazol masih banyak dijumpai karena harganya yang relatif lebih murah.2
Ketokonazol tersedia dalam sediaan tablet (200mg), suspensi oral
(100mg/5ml), kream dan gel topikal 2%, dan sampo 1% yang sering digunakan
untuk pengobatan Tinea vesikolor.2 Dosis untuk anak usia 2 tahun adalah 3,3-6,6
mg/kg/ 24 jam dalam dosis tunggal. Sedangkan dosis dewasa adalah 200-400 mg/24
jam dalam dosis tunggal. Dosis pemberian maksimal untuk dewasa maupun anak
adalah 800mg/24 jam. Untuk aplikasi topikal diberikan 2 kali sehari dan untuk
sediaan sampo diberikan 2 kali seminggu dengan interval pemakaian 3 hari, dengan
durasi pemakaian hingga 8 minggu sesuai dengan respon terapi. Pada pasien anak
dengan HIV dan kandidiasis mukokutan diberikan dosis 5-10 mg/kg/24 jam dalam
dosis tunggal. Kontraindikasi penggunaan ketokonazol adalah pada pasien dengan
gagal hati, wanita hamil dan menyusui.2,3
Itrakonazol
Itrakonazol tersedia dalam sediaan kapsul (100mg), tablet (200 mg) dan
24
Itrakonazol
Efek
samping
dari
penggunaan
itrakonazolhampir
serupa
dengan
ketokonazol. Obat ini juga berinteraksi dengan enzim mikrosom hati akan tetapi
tidak sebanyak ketokonazol. Efek hepatotoksik pada pemakaian obat ini jarang
menimbulkan gagal hati dan kematian. Gejala yang paling sering dijumpai adalah
gangguan fungsi saluran cerna, nyeri kepala, ruam, peningkatan enzim hati, hepatitis,
dan hipokalemia.2,4 Terdapat efek inotropik dari itrakonazolyang merupakan dose25
dependent, dan dapat mengakibatkan gagal jantung pada pasien dengan gangguan
fungsi ventrikel.1
Sediaan intravena memiliki memiliki efek samping yang sama dengan
sediaan kapsul, akan tetapi pada umumnya lebih dapat ditoleransi, kecuali efek
samping phlebitis.1 Adanya kecenderungan terjadi aritmia saat menggunakan
golongan obat quinidine / cisapride secara bersamaan dengan itrakonazol.1
2.6 Golongan inhibitor sintesis protein bakteri
2.6.1 Bakteriostatik
2.6.1.1 Tetrasiklin
Struktur kimia
Tetrasiklin merupakan produk yang berasal dari Streptomyces rimosus.Tetrasiklin
merupakan derivat semisintetik dari klortetrasiklin. Methasiklin, doksisiklin, dan
minoksiklin adalah derivat semisintetik dari tetrasiklin. Sifat dari obat ini adalah basa
yang sukar larut dan didalam larutan kebanyakan tetrasiklin sangat labil, sehingga
cepat berkurang potensinya.2
Aktivitas antimikroba
Tetrasiklin memiliki spektrum antibiotik yang luas meliputi gram positif,
gram negatif, aerobik, dan anaerobik.2 Akan tetapi sudah banyak mikroorganisme
yang resisten terhadap tetrasiklin. Tingkat resistensi bervariasi di berbagai daerah. Di
Amerika Serikat, sekitar 10% dari Streptococcus pneumoniae telah resisten
tetrasiklin dan sebanyak 40% resistensi ditemukan dibagian Asia Pasifik. Sensitivitas
dari staphylococcus, enterococci, and hemolytic streptococci sangat bervariasi:
Bacillus anthracis, Listeria monocytogenes dan H. influenzae cukup sensitif, akan
tetapi banyak bakteri Enterobacteriaceae telah resisten terhadap tetrasiklin.
Tetrasiklin cukup berguna mengobati infeksi yang disebabkan oleh Haemophilus
ducreyi (chancroid), Brucella, Vibrio cholera, V. vulnificus, dan menghambat
pertumbuhan Legionella pneumophila, Campylobacter jejuni, Helicobacter pylori,
Yersinia pestis, Yersinia enterocolitica, Francisella tularensis, and Pasteurella
multocida. Bakteri Neisseria gonorrhoeae kurang sensitif terhadap tetrasiklin. 1
Tetrasiklin cukup aktif terhadap kuman anaerobik dan fakultatif. Beberapa
kuman anaerobik seperti Bacteroides spp., Propionibacterium, Peptococcus cukup
sensitif terhadap doksisiklin, akan tetapi antibiotik lain seperti kloramfenikol,
klindamisin, metronidazol, dan antibiotik beta laktam lainnya memiliki aktivitas
26
27
Tetrasiklin terdistribusi secara luas didalam tubuh, termasuk urin dan prostat.
Obat ini terakumulasi di dalam sistem retikuloendothelial (liver, limpa, dan sumsum
tulang), tulang dan gigi.1
Penetrasi obat ini kedalam cairan dan jaringan tubuh sangat baik. Tetrasikin
dapat melalui plasenta dan masuk kedalam sirkulasi fetus dan cairan amnion.
Konsentrasi tetrasiklin pada tali pusat dan cairan aminon adalah 60% dan 20%.
Konsentrasi obat juga ditemukan cukup tinggi pada ASI.1
Selain doksisiklin, kebanyakan obat tetrasiklin di eleminasi di ginjal,
walaupun juga terakumulasi di dalam hati dan empedu. Tetrasiklin diekskresikan
melalui urin dalam 24 jam baik dalam penberian peroral maupun intravena.
Penurunaan fungsi hati atau adanya obstruksi pada duktus biliaris komunis
menurunkan ekskresi dari obat melalui empedu dan menyebabkan meningkatnya
waktu paruh. Hal ini dapat menyebabkan obat lebih lama berada di dalam tubuh
walaupun pasien sudah berhenti mengkonsumsi obat.1
Minoksiklin diekskresikan melalui urin dan feses dalam kadar yang rendah
dibandingkan dengan obat tetrasiklin lainnya. Obat ini berada di dalam tubuh untuk
waktu yang cukup lama walaupun obat sudah berhenti dikonsumsi. Hal ini
disebabkan oleh adanya retensi obat di dalam jaringan lemak.1
Dosis rekomendasi untuk Doksisiklin tidak terakumulasi secara signifikan
pada pasien dengan gagal ginjal. Hal ini menjadikan Doksisiklin merupakan salah
satu obat golongan tetrasiklin yang paling aman dikonsumsi bagi pasien dengan
gangguan ginjal. Obat ini diekskresikan melalui feses. Waktu paruh obat ini menjadi
lebih pendek jika bersamaan dengan penggunaan barbiturat, fenitoin, rifampin, dan
obat lain yang dapat menginduksi enzim hepatik mikrosomal.1
Kegunaan klinis
Tetrasiklin telah digunakan secara luas untuk penyakit infeksi. Hal ini
menyebabkan meningkatnya resistensi terhadap penggunaan obat ini. Akan tetapi
tetrasiklin masih sangat sensitif dan berguna untuk mengatasi infeksi yang
disebabkan oleh Riketsia (Rocky mountain spotted fever, Brills disease, Murine
typhus, Scrub typhus, rikettsial pox, dan Q fever), Mikoplasma (Pneumonia
mikoplasma), dan Klamidia (Lymphogranuloma venerum, Pneumonia klamidia)1
Tetrasiklin berguna sebagai terapi profilaksis untuk leptospirosis (Leptospira
spp), relapsing fever (Borrelia spp), Lyme disease (B. burgdorferi). Tetrasiklin
efektif menginhibisi propionilbacteria, dimana berada di dalam folikel sebacea dan
memetabolisme lemak menjadi asam lemak bebas yang menyebabkan iritasi. 1
28
30
Kloramfenikol
memiliki
campuran
yang
unik
dengan
kandungan
nitrobenzene dan derivat dari asam dikloroasetat. Sediaan berwarna putih yang sukar
larut dalam air dengan rasa yang sangat pahit.1,2
Mekanisme kerja
Kloramfenikol menghambat sintesis protein pada bakteri. Obat ini dapat
menembus sel bakteri dan memfasilitasi proses difusi. Secara primer, kloramfenikol
berikatan secara reversibel pada ribosom 50S dan menghambat enzim peptidil
transferase sehingga ikatan peptida tidak terbentuk pada proses sistesis protein
kuman.1,4 Kloramfenikol juga menginhibisi sintesis protein di mitokondria pada sel
mamalia. Hal ini disebabkan adanya kemiripan pada ribosom mitrokondria mamalia
dengan bakteri. Dengan demikian sel eritropoetik pada mamalia seinsitif terhadap
obat ini.1
Aktivitas antimikroba
Kloramfenikol merupakan antibiotik golongan broad spectrum dengan efek
utama bakteriostatik, dan bakterisidal untuk H. influenza, N.meningitidis, dan
S.pneumoniae.
Penggunaan klinis
Terapi dengan kloramfenikol harus dibatasi untuk penyakit infeksi yang
memiliki sensitifitas tinggi. Hal ini disebabkan tingginya potensial toksisitas obat.
Kloramfenikol tersedia dalam sediaan injeksi 1g. Pada neonatus, dosis loading
pertama kali adalah 20mg/kg. Setelah itu diberikan dosis maintenance (12 jam
setelah dosis loading) dengan kriteria sebagai berikut:3
dosis
Bayi/ anak-anak diberikan 50-75 mg/kg/24 jam terbagi dalam 4 dosis
Untuk pasien meningitis diberikan 75-100 mg/kg/24 jam terbagi
dalam 4 dosis
Dosis maksimal untuk semua usia adalah 4g/24 jam
Pada demam tifoid, banyak dari galur Salmonella Typhi yang telah resisten
terhadap kloramfenikol, dengan demikian obat pilihannya adalah sefalosporin
generasi ke-3 dan golongan kuinolon.1
31
Struktur Kimia
Antibiotik makrolid memiliki persamaan struktur kimia yaitu terdapat cincin
lakton yang besar dalam rumus molekulnya. Yang termasuk dalam contoh golongan
makrolid
adalah
Eritromisin,
Klaritromisin,
Azitromisin,
Spiramisin,
dan
Aktivitas antibakteri
Eritromisin
Pada umumnya bekerja sebagai bakteriostatik, akan tetapi dapat menjadi
bakterisidal pada konsentrasi yang tinggi terhadap bakteri yang sensitif. Antibiotik
ini efektif terhadap bakteri kokus dan basil gram positif. Bakteri kokus yang sensitif
terhadap eritromisin adalah S. pyogenes, S. pneumoniae, dan S. viridans.1 Resistensi
terhadap eritromisin sering terjadi pada bakteri Staphylococcus aureus yang dijumpai
pada rumah sakit.4 Hal ini juga terjadi pada semua jenis antibiotik makrolid lainnya.
Basil gram positif yang sensitif terhadap eritromisin (Clostridium perfringens,
Corynebacterium diphtheriae, dan Listeria monocytogenes)1
34
Walaupun eritromisin kurang aktif terhadap bakteri basil aerob gram negatif,
seperti H. influenza dan N. meningitides, akan tetapi memiliki aktivitas yang baik
terhadap bakteri N. gonorrhoeae, Campylobacter jejuni, M. pneumonia, Legionella
pneumophila, C. trachomatis, dan M. scrofulaceum. Eritromisin tidak memiliki efek
pada virus maupun jamur.1,2
Klaritromisin
Klaritromisin digunakan untuk indikasi yang sama dengan eritromisin, akan
tetapi sedikit lebih poten untuk bakteri streptokokus dan stafilokokus dibandingkan
dengan eritromisin.1 Klaritromisin merupakan makrolid yang sangat aktif terhadap
Chlamydia trachomatis.2 Obat ini juga memiliki aktivitas yang baik terhadap M.
catarrhalis, L. pneumophila, B. burgdorferi, Mycoplasma pneumoniae, and H.
pylori.1 Klaritromisin memiliki aktivitas yang baik terhadap Mycobacterium leprae.1
Azitromisin
Azitromisin secara umum memiliki indikasi yang serupa dengan klaritromisin
dan secara umum kurang aktif terhadap bakteri gram positif dibandingkan dengan
eritromisin dan lebih aktif terhadap H. influenzae and Campylobacter spp daripada
eritromisin dan klaritromisin.1 Azitromisin sangat aktif terhadap M. catarrhalis, P.
multocida, Chlamydia spp., M. pneumoniae, L. pneumophila, B. burgdorferi,
Fusobacterium spp., and N. gonorrhoeae.1
Azitromisin dan klaritromisin telah mengalami peningkatan aktivias terhadap
M. avium-intracellulare, dan beberapa jenis protozoa seperti Toxoplasma gondii,
Cryptosporidium, and Plasmodium spp.1
Mekanisme kerja
Antibiotik makrolid merupakan bakteriostatik yang menghambat sintesis dari
protein bakteri dengan berikatan secara reversibel terhadap ribosom subunit 50S.
Pada kuman yang sangat sensitif dapat bersifat bakterisidal. 1,2 Bakteri gram positif
terakumulasi sekitar 100 kali lebih besar daripada gram negatif pada penggunaan
eritromisin.1
Farmakokinetik
Eritromisin
Eritromisin secara tidak sempurna diabsorbsi pada usus halus bagian
proksimal. Obat ini diinaktivasi oleh asam lambung, sehingga sediaan tablet terdiri
35
dari lapisan tahan asam yang akan baru larut pada duodenum. Makanan dapat
memperpanjang absobsi dari obat. Campuran dari ester pada obat eritromisin
(stearate, estolate, and ethylsuccinate) dapat meningkatkan stabilitas asam dan
penyerapannya menjadi tidak terganggu oleh makanan. 1,2 Konsentrasi puncak serum
dicapai dalam waktu 4 jam setelah administrasi oral.1
Eritromisin dapat berdifusi ke cairan intrasel dan aktif pada hampir semua
jaringan dan cairan tubuh, kecuali otak dan cairan serebrospinal. Eritromisin dapat
menembus plasenta dan konsentrasi obat pada plasma fetus sekitar 5-20% dari
konsentrasi di sirkulasi maternal. Konsentrasi pada ASI sekitar 50% dari konsentrasi
pada serum.1
Pada pemberian oral, hanya 2-5% eritromisin yang diekskresikan melalui
urin, dan hanya 12-15% jika diberikan secara parenteral. Antibiotik disekresikan juga
bersamaan dengan empedu. Waktu paruh eliminasi serum dari eritromisin adalah
sekitar 1,6 jam. Waktu paruh dapat memanjang pada pasien dengan keadaan anuria.
Perlu adanya penyesuaian penurunan dosis pada pasien dengan gangguan renal.1
Klaritromisin
Klaritromisin diserap secara cepat dari saluran cerna setelah administrasi oral,
Azitromisin
Azitromisin yang diberikan secara oral dapat diserap secara cepat akan tetapi
terganggu jika diberikan bersama dengan makanan sehingga tidak dianjurkan untuk
dikonsumsi bersamaan dengan makanan.1,4 Konsumsi bersamaan dengan antasida
36
Azitromisin
37
Azitromisin harus diberikan 1 jam sebelum atau 2 jam setelah makan saat
penggunaan oral. Obat ini dapat diberikan untuk penyakit menular seksual khususnya
saat kehamilan saat terdapat kontraindikasi dengan penggunaan tetrasiklin. Pada
anak-anak, dosis rekomendasi azitromisin suspensi oral untuk otitis media akut dan
pneumonia adalah 10 mg/kg untuk hari pertama (maksimul 500 mg) dan 5 mg/kg
(maksimum 250 mg/hari) untuk hari ke 2-5. Dosis untuk tonsillitis atau faringitis
adalah 12 mg/kg per hari selama 5 hari.1,3
Efek samping dan interaksi obat
Efek samping serius jarang terjadi. Terdapat efek samping alergi seperti
demam, eosinophilia, erupsi kulit, yag dapat hilang setelah berhenti mengkonsumsi
obat. Hepatitis kolestsatik dapat terjadi akibat pemakaaian eritromisin. Pada
umumnya muncul setelah 10-20 hari terapi dan ditandai dengan mual, muntah, dan
nyeri perut.1
Administrasi oral dosis tinggi dari eritromisin dapat mengakibatkan nyeri
epigastrik. Penggunakan sediaan intravena juga dapat menyebabkan efek samping
serupa dengan pengguanan oral, seperti mual, muntah, dan diare. Eritromisin
menstimulasi motilitas saluran pencernaan dengan bekerja pada reseptor motilin.
Eritromisin dapat beruguna untuk membantu mengembalikan fungsi peristaltik pada
pasien post operasi, dengan mempercepat pengosongan lambung pada pasien dengan
gastroparesis. Efek samping saluran cerna lebih sering terjadi pada pasien anak dan
dewasa muda.1
Efek samping lain pada penggunaan eritromisin adalah aritmia kardiak
dengan pemanjangan segmen QT dan takikardi ventrikel. Gangguan auditorik
transien terjadi terutama pada psien dengan penggunaan dosis tinggi.1
Eritromisin dan klaritromisin menghambat CYP3A4 dan mempotensiasi efek
kerja obat karbamazempin, kortikosteroid, siklosporin, digoksin, alkaloid ergot,
teofilin, triazolam, valproate, dan warfarin.1 Sedangkan azitromisin tidak
menghambat sitokrom P450 sehingga tidak menimbulkan masalah interaksi obat.4
Resistensi
Prevalensi kejadian resisten makrolid pada streptokokus grup A dapat
mencapai 40% yang disebabkan oleh penggunaan yang sering antibiotik makrolid
pada suatu populasi. Resistensi makrolid terhadap S. pneumonia seringkali
bersamaan dengan resistensi penisilin. Hanya 5% bakteri yang sensitive terhadap
penicilin memiliki resistensi terhadap makrolid, dimana lebih dari 50% bakteri yang
38
resisten terhada penicillin juga resisten terhadap makrolid. S. aureus yang resisten
terhadap makrolid berpotensi memiliki resistensi terhadap klindamisin dan
streptogramin.1
Resistensi terhadap makrolid pada umumnya disebabkan oleh salah satu dari
keempat mekanisme ini: (1) adanya efluks obat oleh mekanisme pompa aktif (2)
proteksi ribosomal oleh produksi enzim merilase yang memodifikasi ribosom dan
menurunkan ikatan obat tersebut. (3) Makrolid dihidrolisis oleh esterase yang
diproduksi oleh Enterobacteriaceae dan (4) Mutasi kromosomal yang mengganggu
protein ribosom 50S.1
2.6.2 Bakterisidal
2.6.1.3 Aminoglikosida
Struktur kimia
Aminoglikosida merupakan senyawa yang terdiri dari 2 atau lebih gugus gula
amino yang terikat dengan ikatan glikosidik pada inti heksosa. Bentuk senyawa ini
bersifat basa kuat dan sangat polar, baik dalam bentuk basa maupun garam, bersifat
mudah larut dalam ait. Sediaan injeksi berupa garam sulfat dan menyebabkan kurang
nyeri ketika diberikan secara intramuskular. Stabilitas aminoglikosida cukup baik
pada suhu kamar.1,4 Obat yang termasuk amoniglikosida adalah gentamisin,
amikasin, kanamisin, streptomisin dan neomisin.1
Aktivitas antimikroba
Obat ini efektif terutama untuk bakteri basil aerob gram negatif. Akan tetapi
aksi terhadap gram negatif terbatas dan tidak seharunya digunakan sebagai
pengobatan tunggal untuk mengatasi infeksi gram negatif. Kombinasi dengan
menggunakan agen yang menyerang dinding sel yaitu penicillin atau vancomycin,
dapat menyebabkan efek bakterisidal sinergis terhadap enterokokkus, streptokokkus,
dan stafilokokkus.1
Aminoglikosida memiliki efek yang sangat kecil terhadap bakteri anaerob
atau fakultatif anaerob. Kanamisin dan streptomisin meiliki spektrum yang sedikit
lebih terbatas dibandingkan dengan aminoglikosida lainnya, dengan demikian tidak
dianjurkan untuk mengobati infeksi oleh Serratia atau P. aeruginosa.1
Mekanisme kerja
Kebanyakan antibakteri yang menghambat sintesis protein bekerja sebagai
bakteriostatik, akan tetapi aminoglikosida bekerja sebagai bakterisidal cepat. 1
39
bayi kurang dari 2 kg dan sekitar 5 jam pada pagi dengan berat badan kurang dari 2
kg.1
Kegunaan klinis
Streptomisin
Tersedia dalam sediaan bubuk untuk injeksi (1g). Streptomisin digunakan
sebagai terapi multidrug untuk infeksi tuberkulosis.2 Dosis harian untuk bayi, anakanak, dan dewasa adalah 20-40 mg/kg/24 jam diberikan intramuskular dosis tunggal
dengan dosis maksimum 1g/24 jam. Dosis harian harus diturunkan jika creatinine
clearance > 30ml/min. 1
Gentamisin
Tersedia dalam sediaan injeksi, dan topikal. Dosis terjadwal harus diberikan
kepada neonatus dan bayi yaitu 3 mg/kg per hari untuk naonatus kurang bulan (<35
minggu), 4mg/kg per hari untuk neonates > 35 minggu, 5 mg/kg per hari yang
terbagi dalam 2 dosis untuk neonates dengan infeksi berat. 2-2.5 mg/kg setiap 8 jam
untuk anak sampai usia 2 tahun.1
Efek samping
Seluruh aminoglikosida memiliki potensial untuk menyebabkan gangguan
vestibular, koklear, dan renal secara reversible maupun ireversibel.1
Ototoksik
Pada penggunaan aminoglikosida, akumulasi obat ditemukn pada pada cairan
perilymph dan endolymph. Waktu paruh obat di dalam cairan telinga lebih lama
dibandingkan dengan di plasma. Efek ini terjadi terutama pada pasien dengan
penggunaan dosis tinggi, akan tetapi juga ditemukan beberapa kejadian yang hanya
disebabkan oleh penggunaan dosis tunggal. Efek samping ini disebabkan oleh karena
adanya kerusakan pada sel rambut yang sensitif terhadap aminoglikosida. Lamanya
penggunaan obat, faktor usia, bakterimia, gangguan hati, dan ginjal belum terbukti
berhubungan dengan kejadian ini. Jika dilihat dari penggunaan jenis aminoglikosida,
streptomisin dan gentamisin menimbulkan efek samping pada fungsi vestibular,
sedangkan amikasin, kanamisin, dan neomisin lebih berpengaruh terhadap fungsi
auditorik, sedangkan tobramisin memepengaruhi keduanya.
41
Nefrotoksisitas
Sekitar 8 26% pasien dewasa yang mengkonsumsi aminoglikosida dalam
beberapa hari akan mengalami gangguan ginjal ringan yang reversibel. Efek ini
berasal dari akumulasi dan retensi dari aminoglikosida pada sel tubulus proksimal.
Manifestasi awal dari efek ini adalah adanya eksresi enzim pada tubulus renal,
kemudian terdeteksinya protein pada urin serta adanya sedimen hialin dan granular.
Kemudian disusul dengan penurunan laju filtrasi glomerulus. Gangguan dari fungsi
renal hampir selalu bersifat reversibel karena sel tubulus proksimal memiliki
kapasitas untuk beregenerasi.1 Akan tetapi risiko timbulnya efek samping ini pada
anak dan neonatus sangat jarang terjadi. Efek nefrotoksik tidak ditemukan pada 90
bayi dan anak-anak yang mendapat terapi vankomisin dengan durasi pemakaian obat
selama 9 hari.7
2.7.1
2.7.1.1 Rifamisin
Rifampisin adalah derivate semisintetik rifamisin B yaitu satu anggota
kelompok antibiotik makrosiklik yang disebut rifamisin. Kelompok obat ini
dihasilkan dari Streptomices mediterranel. Obat golongan ini merupakan iwon
zwitter, larut dalam pelarut organik dan air yang pH nya asam.2
Aktivitas antibakteri
Aktivitas antibakteri dari golongan rifamisin dihasilkan dari terhambatnya
pertumbuhan berbagai kuman gram-positif dan gram-negatif. Terhadap gramposisitif kerjanya tidak sekuat penisilin G, namun sedikit lebih kuat daripada
eritromisin, linkomisin, dan sefalotin. Terhadap kuman gram-negatif kerjanya lebih
lemah daripada tetrasiklin, kloramfenikol, kanamisin, dan kolistin. Antibiotic ini
sangat aktif terhadap N. meningitides; kadar hambat minimalnya berkisar antara 0,10,8 g/ml. obat ini dapat menghambat pertumbuhan beberapa jenis virus. In vitro,
rifampisin dalam kadar 0,005-0,2 g/ml dapat menghambat pertumbuhan M.
tuberculosis. Di antara mikrobakteria atipik, M. kansasii dihambat pertumbuhannya
dengan kadar 0,25-1 g/ml; sebagian besar turunan M. serofuloceum dan M.
Intracellulare dihambat dengan kadar 4 g/ml, tetapi beberapa galur baru dihambat
bila kadar melebihi 16 g/ml. M. fortuitum sangat resisten terhadap obat ini. In vivo,
43
aktivitas
antibakteri
penuh.
Rifampisin
menyebabkan
induksi
gangguan fungsi ginjal tidak memerlukan penyesuaian dosis. Obat ini juga dibuang
lewat ASI.2
Efek samping
Rifampisin jarang menimbulkan efek yang tidak diinginkan. Dengan dosis
biasa, kurang dari 4% penderita tuberculosis mengalami efek toksik. Yang paling
sering adalah ruam kulit, demam, mual, dan muntah. Pada pemberian berselang
dengan dosis lebih besar sering terjadi flu like syndrome, nefritis interstisial, nekrosis
tubular akut, dan trombositopenia. Yang menjadi masalah ialah icterus. Hepatitis
jarang terjadi pada penderita dengan fungsi hepar normal. Pada penderita penyakit
hati kronik, alkoholisme, dan usia lanjut, insidens icterus bertambah. Pemberian
rifampisin intermiten dihubungkan dengan timbulnya sindrom hepatorenal. SGOT
dan aktivitas fosfatase alkali yang meningkat akan menurun kembali bila pengobatan
dihentikan. Angka kejadian hepatotoksisitas rifampisin berbeda di tiap negara.
Ekskresi rifampisin melalui empedu berkompetisi dengan media kontras yang
digunakan untuk memeriksa fungsi kandung empedu dan dapat menyebabkan
retensi. Gangguan saluran cerna berupa rasa tidak enak di lambung, mual, muntah,
kolik, dan diare kadang-kadang memerlukan penghentian terapi. Berbagai keluhan
yang berhubungan dengan sistem saraf seperti rasa lelah, mengantuk, sakit kepala,
ataksia, bingung, sukar berkonsentrasi, sakit pada tangan dan kaki, dan melemahnya
otot dapat juga terjadi.2
Reaksi hipersensitivitas dapat berupa demam, pruritus, urtikaria, berbagai
macam kelainan kulit, eosinophilia, dan nyeri pada mulut dan lidah. Hemolysis,
hemoglobulinuria, hematuria, insufisiensi ginjal dan gagal ginkal akut juga
merupakan reaksi hipersensitivitas, tetapi jarang terjadi. Trombositopeni, leukopenia
sementara, anemia dapat terjadi selama terapi berlangsung. Efek teratogenik
rifampisin tidak diketahui, tetapi jarang terjadi.2
2.7.2
2.7.2.1 Fluorokuinolon
Merupakan antibiotik derivat dari asam nalidixic. Jika dibandingkan dengan
asam nalidixic, fluorokuinolon memiliki kelebihan sebagai berikut: (1) spektrum
yang lebih luas yang meliputi bakteri enterik gram negatif aerob (terutama golongan
45
Indikasi pemakaian
Golongan fluorokuinolon telah dipergunakan secara luas pada pasien dewasa
untuk tatalaksana penyakit infeksi kulit dan jaringan lunak, tulang, dan
intraabdomen,
saluran
kemih,
gastrointestinal,
dan
traktus
respiratorius.
47
besar denagn dosis yang digunakan untuk disentri amuba, bahkan dengan dosis yang
lebih kecil telah dapat diperoleh respons yang baik. Meskipun metronidazole efektif
untuk abses hati, namun
2.8.1
Sulfonamid
Merupakan Kristal putih yang umumnya sukar larut dalam air namun garam
adanya darah, nanah, dan jaringan nekrotik, karena kebutuhan mikroba akan asam
folat berkurang dalam media yang mengandung basa purin dan timidin. Sel mamalia
tidak dipengaruhi oleh sulfonamide karena menggunakan folat jadi yang terdapat
dalam makanan. Dalam proses sintesis asam folat, bila PABA digantikan oleh
sulfonamide, maka akan terbentuk analog asam folat yang tidak fungsional.2
Resistensi bakteri
Bakteri yang semula sensitive terhadap sulfonamide dapat menjadi resisten
secara in vitro maupun in vivo. Resistensi ini biasanya bersifat ireversibel namun
tidak disertai dengan resistensi silang terhadap kemoterapeutik lain. Resistensi ini
mungkin disebabkan oleh mutasi yang meningkatkan produksi PABA atau mengubah
struktur molekul enzim yang berperan dalam sintesis folat sedemikian rupa sehingga
afinitasnya terhadap sulfonamide menurun. Timbulnya resistensi merupakan faktor
yang membatasi manfaat sulfonamide dalam pengobatan penyakit infeksi, terutama
infeksi yang disebabkan oleh gonokokus, stafilokokus, streptokokus, dan beberapa
galur Shigella.2
Farmakokinetik
Absorpsi terjadi pada saluran cerna kecuali pada beberapa macam
sulfonamide yang khusus digunakan untuk infeksi local pada usus. Sekitar 70-100%
dosis oral sulfonamide diserap melalui saluran cerna dan dapat ditemukan dalam urin
30 menit setelah pemberian. Absorpsi terutama terjadi pada usus halus namun
beberapa jenis sulfa diserap dalam lambung. Absorpsi tempat lain terjadi di vagina,
kulis terbuka, saluran napas namun umumnya kurang baik, tetapi cukup
menyebabkan efek toksik atau reaksi hipersensitivitas.2
Sulfonamide terikat pada protein plasma terutama albumin, obat ini tersebar
ke seluruh jaringan tubuh sehingga baik untuk infeksi sistemik. Dalam cairan tubuh,
kadar obat bentuk bebas mencapai 50-80% kadar dalam darah. Pemberian
sulfadiazine dan sulfisoksazol secara sistemik dengan dosis adekuat dan dapat
mencapai kadar efektif pada CSS, pada meningitis kadar ini meningkat. Metabolisme
terjadi dengan asetilasi dan oksidasi, yang kemudian seringkali menyebabkan toksik
sistemik berupa lesi kulit dan hipersensitivitas. Bentuk asetil pada N-4 merupakan
50
metabolit utama dan beberapa sulfonaimd yang terasetilasi lebih sukar larut dalam air
sehingga sering menyebabkan kristaluria atau komplikasi ginjal lainnya.2
Ekskresi sulfa terjadi melalui ginjal, baik dalam bentuk asetil maupun bentuk
bebas. Waktu paruh sulfonamide tergantung dari keadaan fungsi ginjal. Sebagian
kecil diekskresi melalui tinja, empedu, dan ASI.2
Efek Samping
Anemia hemolitik akut disebabkan reaksi alergi atau karena defisiensi
aktivitas G6PD. Sulfadiazine jarang menimbulkan reaksi ini. Agranulositosis terjadi
pada 0,1% pasien dengan sulfadiazine. Trombositopenia ringan seringkali terjadi
namun mekanismenya belum diketahui. Gangguan saluran kemih dapat terjadi
meskipun jarang. Hal ini disebabkan penumpukan dan pembentukan Kristal dalam
ginjal, kaliks, pelvis, ureter, ataupun kandung kemih. Reaksi hipersensitivitas berupa
reaksi kulit dan mukosa yang berupa kelainan morbiliform, skarlatiniform,
urtikariform, eripeloid, pemfigoid, purpura, petekia. Demam dapat terjadi pada
pemakaian sulfisoksazol, yang timbul tiba-tiba pada hari ketujuh sampai hari
kesepuluh pemakaian. Hepatitis dapat terjadi pada 0,1 % pasien yang merupakan
efek toksik atau akibat sensitisasi.2
2.8.2
Kotrimoksazol
Trimethoprim dan sulfametoksazol menghambat reaksi enzimatik obligat
pada dua tahap yang berurutan pada mikroba, sehingga kombinasi kedua obat
memberikan efek sinergi. Penemuan sediaan kombinasi ini merupakan kemajuan
penting dalam usaha meningkatkan efektivitas klinik antimikroba. Kombinasi ini
lebih dikenal dengan nama kotrimoksazol. Merupakan suatu diamino-pirimidin yang
bersifat basa lemah dengan pKa 7,3 dan sedikit larut dalam air.2
Mekanisme kerja
Aktivitas antibakteri kotrimoksazol berdasarkan pada dua tahan yang
berurutan dalam reaksi enzimatik untuk pembentukan asam tetrahidrifolat.
Sulfonamid menghambat masuknya molekul PABA ke dalam molekul asam folat dan
trimethoprim menghambat terjadinya reaksi reduksi dari dihidrofolat menjadi
tetrahidrofolat. Tetrahidrofolat penting untuk reaksi reaksi pemindahan satu atom c,
51
seperti pembentukan basa purin (adenine, guanine, dan timidin) dan beberapa asam
amino (metionin, glisin). Sel-sel mamalia menggunakan folat jadi yang terdapat
dalam makanan dan tidak mensintesis senyawa tersebut. Trimethoprim menghambat
enzim dihidrofolat reduktase mikroba secara sangat selektif. Hal ini penting, karena
enzim tersebut juga terdapat pada sel mamalia.2
Untuk mendapatkan efek sinergi diperlukan perbandingan kadar yang optimal
dari
kedua
obat.
Untuk
kebanyakan
kuman,
rasio
kadar
Trimethoprim
pada
umumnya
20-100
kali
lebih
poten
daripada
trimethoprim = 5:1) dapat diperoleh rasio kadar kedua obat tersebut dalam darah
kurang lebih 20:1.2
Trimethoprim cepat didistribusi ke dalam jaringan dan kira-kira 40% terikat
pada protein plasma dengan adanya sulfametoksazol. Volume distribusi trimethoprim
hampis 9 kali lebih besar daripada sulfametoksazol. Obat masuk ke CSS dan saliva
dengan mudah. Masing-masing komponen juga ditemukan dalam kadar tinggi di
dalam empedu. Kira-kira 65% sulfametoksazol terikat pada protein plasma. Sampai
60% trimethoprim dan 25-50% sulfametoksazol diekskresi melalui urin dalam 24
jam setelah pemberian. Dua-pertiga dari sulfonamide tidak mengalami konjugasi.
Metabolit trimethoprim ditemukan juga di urin. Pada penderita uremia, kecepatan
ekskresi dan kadar urin kedua obat jelas menurun.2
Efek samping
Pada dosis yang dianjurkan, obat ini terbukti tidak menimbulkan anemia
defisiensi folat, namun batas toksisitasnya sulit ditentukan. Efek samping lainnya
berupa reaksi pada kulit yang terbukti 3 kali lebih sering dibandingkan dengan
sulfisoksazol. Gejala kulit berupa dermatitis eksfoliatif, steven Johnson, dan toxic
epidermal necrolysis. Keluhan lain berupa gejala gastrointestinal terutama mual dan
muntah, diare jarang terjadi. Glosistis dan stomatitis relative sering terjadi. Ikterus
dapat muncul pada penderita yang memang sebelumnya menderita hepatitis
kolestatik alergik. Reaksi sistem saraf pusat berpua sakit kepala, depresi, dan
halusinasi yang disebabkan oleh sulfonamid. Gejala hematologis lainnya berupa
gangguan
koagulasi,
granulositopenia,
agranulositosis,
purpura.
Pemberian
53
Daftar Pustaka
1.
Goodman LS, Gilman A, Brunton LL, Lazo JS, Parker KL, editors. Goodman
& Gilmans the pharmacological basis of therapeutics. 11th ed. New York:
2.
McGraw-Hill; 2006.
Amir S, Arini S, Bahroelim B, et al. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Jakarta:
3.
4.
5.
candidiasis. Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed. 2001 Mar 1;84(2):131F133.
Shahid, M. and R. Cooke, Is a once daily dose of gentamicin safe and effective
in the treatment of uti in infants and children? Arch Dis Child, 2007. 92(9): p.
823-4.
54
6.
7.
8.
55