Professional Documents
Culture Documents
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
DEFINISI
Kusta atau morbus Hansen adalah penyakit granulomatosa kronis yang
EPIDEMIOLOGI
Sampai saat ini epidemiologi penyakit kusta belum sepenuhnya diketahui
secara pasti. Penyakit kusta tersebar di seluruh dunia terutama di daerah tropis dan
subtropis. Dapat menyerang semua umur, frekuensi tertinggi pada kelompok umur
antara 15-35 tahun dan lebih sering mengenai laki-laki daripada wanita.
228.474 pada tahun 2010, dan 219.075 pada tahun 2011. Terjadi lebih dari 46%
penurunan kasus baru.
Tabel 2.1 Daftar Kasus Baru di Negara-negara Endemik.
2.3
ETIOLOGI
Kuman penyebab penyakit kusta adalah M. leprae yang ditemukan oleh GH
Armauer Hansen, seorang sarjana dari Norwegia pada tahun 1873. Kuman ini
bersifat tahan asam, berbentuk batang dengan ukuran 1-8 mikron dan lebar 0,2 0,5 mikron, biasanya berkelompok dan ada yang tersebar satu-satu, hidup dalam
sel terutama jaringan yang bersuhu dingin dan tidak dapat dikultur dalam media
buatan. Kuman ini juga dapat menyebabkan infeksi sistemik pada binatang
armadillo.
B. Dinding sel
Dinding sel terdiri dari dua lapis, yaitu:
a. Lapisan luar bersifat transparan elektron dan mengandung lipopolisakarida
yang terdiri dari rantai cabang arabinogalactan yang diesterifikasi dengan rantai
panjang asam mikolat , mirip dengan yang ditemukan pada Mycobacteria lainnya.
b. Dinding dalam terdiri dari peptidoglycan: karbohidrat yang dihubungkan
melalui peptida-peptida yang memiliki rangkaian asam-amino yang mungkin
spesifik untuk M. leprae walaupun peptida ini terlalu sedikit untuk digunakan
sebagai antigen diagnostik.
C. Membran
Tepat di bawah dinding sel, dan melekat padanya, adalah suatu membran yang
khusus untuk transport molekul-molekul kedalam dan keluar organisme.
Membran terdiri dari lipid dan protein. Protein sebagian besar berupa enzim dan
secara teori merupakan target yang baik untuk kemoterapi. Protein ini juga dapat
membentuk antigen protein permukaan yang diekstraksi dari dinding sel M.
leprae yang sudah terganggu dan dianalisa secara luas.
D. Sitoplasma
Bagian dalam sel mengandung granul-granul penyimpanan, material genetik
asam deoksiribonukleat (DNA), dan ribosom yang merupakan protein yang
penting dalam translasi dan multiplikasi. Analisis DNA berguna dalam
mengkonfirmasi identitas sebagai M. leprae dari mycobacteria yang diisolasi dari
armadillo liar, dan menunjukkan bahwa M. leprae, walaupun berbeda secara
genetik, terkait erat dengan M. tuberculosis dan M. scrofulaceum.
Pertumbuhan optimal kuman ini yaitu, 30C lebih rendah dari suhu tubuh
menyebabkan kuman tersebut sering tumbuh pada kulit dan saraf perifer. Kuman
ini memunyai afinitas terhadap makrofag dan sel Schwann, replikasi yang lambat
di sel Schwann menstimulasi cell-mediated immune respon, yang menyebabkan
reaksi inflamasi kronik. Pertumbuhannya sangat lambat dengan waktu membelah
diri (doubling time) selama 14 hari sehingga membutuhkan jangka waktu lama
dalam pemberian terapi antibiotik, biasanya dalam beberapa tahun.
2.4
KLASIFIKASI
Perbedaan Klasifikasi
Madrid
1953
Ti
BT
BB
BL
Li
MidRidley
Jopling
1966
Borderline
Tuberculoid
(TT)
WHO
Borderline
Tuberculoid
Borderline
Lepromatous
(BT)
(BB)
(BL)
PB
1982
Lepromatous
(LL)
MB
TT adalah tipe tuberkuloid polar, yakni tuberkuloid 100%, tipe yang stabil. Jadi
tidak mungkin berubah tipe. Begitu juga LL adalah tipe lepromatosa polar, yakni
lepromatosa 100%. Sedangkan tipe antara Ti dan Li disebut tipe borderline atau
campuran, berarti campuran antara tuberkuloid dan lepromatosa. BB adalah tipe
campuran 50% tuberkuloid dan 50% lepromatosa. BT dan Ti lebih banyak
tuberkuloidnya, sedangkan BL dan Li lebih banyak lepromatosanya. Tipe-tipe
campuran ini adalah tipe yang labil, berarti dapat beralih tipe, baik ke arah TT
maupun ke arah LL.
2.5
PATOGENESIS
Meskipun cara masuk Mycobacterium leprae ke dalam tubuh masih belum
spesifik tidak mampu melawan infeksi, maka akan diekpresikan pada tingkat
kedua yaitu, tingkat imunitas seluler spesifik dan munculnya delayed
hipersensitivity yang dihasilkan oleh individu terinfeksi. Imunitas seluler spesifik
dimediasi terutama oleh sel limfosit T bekerja sama dengan APC (Antigen
Presenting Cells).
Bakteri yang ditangkap akan melalui beberapa proses yang bertujuan untuk
mengeliminasi bakteri, sehingga pada 95% individu yang terinfeksi oleh
Mycobacterium leprae tidak menimbulkan gejala klinis atau minimal hanya
subklinis saja. Setelah berbagai imunitas nonspesifik tersebut gagal, maka barulah
akan
bekerja
mekanisme
imunitas
spesifik,
melalui
aktivasi
sel-sel
Gambar 2.7 Interaksi 2LG dari G domain sel Schwann dengan PGL-1 dan MLLBP21 dinding sel M. leprae.
2.6
GAMBARAN KLINIK
2.6.1
Dasar diagnosis
Menurut WHO penyakit kusta dapat didiagnosa berdasarkan gejala klinik yang
timbul. Pada negara atau daerah yang endemik, seseorang dapat dinyatakan
terkena lepra apabila terdapat salah satu dari tiga gejala kardinal antara lain
(WHO, 2000) :
1. Bercak kulit yang mati rasa
Bercak hipopigmentasi atau eritematosa, mendatar (makula) atau meninggi
(plak). Mati rasa pada bercak bersifat total atau sebagian saja terhadap rangsang
panas, sentuhan maupun nyeri. Lesi tidak gatal ataupun nyeri yang dapat muncul
dimanapun pada anggota tubuh.
2. Penebalan saraf tepi
Dapat disertai rasa nyeri dan dapat juga disertai atau tanpa gangguan fungsi
saraf yang terkena, yaitu:
a. Gangguan fungsi sensoris: mati rasa
b. Ganguan fungsi motoris: tidak mampu mencubit, menggenggam, tidak
mampu dorsi-fleksi pergelangan tangan dan tidak mampu menutup mata
sepenuhnya.
Sifat
Lesi
Bentuk
Jumlah
Distribusi
Permukaan
Batas
Anestesia
BTA
Lesi kulit
Sekret hidung
Tes Lepromin
Lepromatosa (LL)
Borderline
Lepromatosa (BL)
Mid Borderline
(BB)
Makula
Infiltrat difus
Papul
Nodus
Tidak terhitung, praktis
tidak ada kulit sehat
Simetris
Halus berkilat
Makula
Plakat
Papul
Plakat
Dome-shape (kubah)
Punched-out
Tidak jelas
Biasanya tidak jelas
Agak jelas
Tak jelas
Banyak
Biasanya negatif
Negatif
Agak banyak
Negatif
Negatif
Gambar 2.12 Borderline Leprosy: Wajah Sedikit Berminyak dan Kehilangan Alis
Mata.
Karakteristik
Lesi
Tipe
Jumlah
Distribusi
Tuberkuloid (TT)
Borderline
Tuberculoid (BT)
Indeterminate
(I)
Makula ; makula
dibatasi infiltrat
Makula dibatasi
infiltrat saja; infiltrat
saja
Beberapa atau satu
dengan lesi satelit
Asimetris
Hanya Infiltrat
Satu atau
beberapa
Bervariasi
Permukaan
Kering, skuama
Kering, skuama
Batas
Jelas
Jelas
Anestesia
Jelas
Jelas
Hampir selalu
negatif
Positif kuat (3+)
Biasanya negatif
Positif lemah
Dapat positif
lemah atau
negatif
BTA
lesi kulit
Tes lepromin
N. ulnaris
o Anestesia pada ujung jari anterior kelingking dan jari manis
o Clawing kelingking dan jari manis
o Atrofi hipotenar dan otot introseus serta kedua otot lumbrikalis medial
N. medianus
o Anestesia pada ujung jari bagian anterior ibu jari, telunjuk dan jari tengah
o Tidak mampu aduksi ibu jari
o Clawing ibu jari, jari telunjuk dan jari tengah
o Ibu jari kontraktur
o Atrofi otot tenar dan kedua otot lumbrikalis lateral
N. radialis
o Anestesia ujung jari manus, serta ujung proksimal jari telunjuk
o Tangan gantung (wrist drop)
o Tak mampu ekstensi jari-jari atau pergelangan tangan
N. poplitea lateralis
o Anesthesia tungkai bawah, bagian lateral dan dorsum pedis
o Kaki gantung (foot drop)
o Kelemahan otot peroneus
N. tibialis posterior
o Anestesi telapak kaki
o Claw toes
o Paralisis otot intrinsik kaki dan kolaps arkus pedis
N. facialis
o Cabang temporal dan zigomatik menyebabkan lagoftalmus
o Cabang bukal, mandibular dan servical menyebabkan kehilangan ekspresi
wajah dan kegagalan mengatupkan bibir
N. trigeminus
o Anestesi kulit wajah, kornea dan konjungtiva mata
o Atrofi otot tenar dan kedua otot lumbrikalis lateral
Kerusakan mata pada kusta juga dapat terjadi secara primer dan sekunder.
Primer mengakibatkan alopesia pada alis mata dan bulu mata, juga dapat
mendesak jaringan mata lainnya. Sekunder disebabkan oleh rusaknya N. Fasialis
yang dapat membuat paralisis N.Orbicularis palpebrarum sebagian atau
seluruhnya, mengakibatkan lagoftalmus yang selanjutnya menyebabkan kerusakan
Kusta histoid
Kusta histoid merupakan variasi lesi pada tipe lepromatous yang ditandai
dengan adanya nodus yang berbatas tegas, dapat juga berbentuk plak.
Bakterioskopik positif tinggi. Umumnya timbul sebagai kasus relapse sensitive
atau relapse resistent.
Relapse sensitive terjadi bila penyakit kambuh setelah menyelesaikan
pengobatan sesuai dengan waktu yang ditentukan. Dapat terjadi karena kuman
yang dorman aktif kembali atau pengobatan yang diselesaikan tidak adekuat, baik
dosis maupun pemberiannya,disebut juga resisten sekunder.
Relaps resistents terjadi, bila penyakit kambuh setelah menyelesaikan
pengobatan sesuai dengan waktu yang ditentukan, tetapi tidak dapat diobati
dengan obat yang sama karena kuman telah resisten terhadap obat MDT, disebut
juga resisten primer.
2.6.4 Pemeriksaan Saraf Tepi
a. N. Auricularis Magnus
Pasien menoleh ke kanan/kiri semaksimal mungkin, maka saraf yang terlibat
akan terdorong oleh otot-otot di bawahnya sehingga dapat terlihat pembesaran
saraf. Dua jari pemeriksa diletakkan di atas persilangan jalannya saraf dengan
arah otot. Bila ada penebalan, maka akan teraba jaringan seperti kabel atau kawat.
Bandingkan kanan dan kiri dalam hal besar, bentuk, serat, lunak, dan nyeri atau
tidaknya.
Gambar 2.17
b. N. Ulnaris
Tangan
sedikit
fleksi
Pembesaran Saraf
yang
dan
diperiksa
rileks,
diletakkan di atas
satu tangan pemeriksa. Tangan pemeriksa meraba sulcus nervi ulnaris dan
merasakan adanya penebalan atau tidak Bandingkan kanan dan kiri dalam hal
besar, bentuk, serat, lunak, dan nyeri atau tidaknya.
c. N. Peroneus Lateralis
Pasien duduk dengan kedua kaki menggantung, diraba di sebelah
lateral dari capitulum fibulae, dan merasakan ada penebalana atau tidak.
Bandingkan kanan dan kiri dalam hal besar, bentuk, serat, lunak, dan nyeri
atau tidaknya.
d. N. Tibialis Posterior
Meraba maleolus medialis kaki kanan dan kiri dengan kedua tangan,
meraba bagian posterior dan mengurutkan ke bawah ke arah tumit.
Bandingkan kanan dan kiri dalam hal besar, bentuk, serat, lunak, dan nyeri
atau tidaknya.
2.6.5 Pemeriksaan Fungsi Saraf
a. Tes sensorik
Gunakan kapas, jarum, serta tabung reaksi berisi air hangat dan dingin.
- Rasa raba
Sepotong kapas yang dilancipkan ujungnya, disinggungkan ke kulit pasien.
Kapas disinggungkan ke kulit yang lesi dan yang sehat, kemudian pasien
disuruh menunjuk kulit yang disinggung dengan mata terbuka. Jika hal ini
telah dimengerti, tes kembali dilakukan dengan mata pasien tertutup.
- Rasa tajam
Menggunakan jarum yang disentuhkan ke kulit pasien. Setelah disentuhkan
bagian tajamnya, lalu disentuhkan bagian tumpulnya, kemudia pasien diminta
menentukan tajam atau tumpul. Tes dilakukan seperti pemeriksaan rasa raba.
- Suhu
Menggunakan dua buah tabung reaksi yang berisi air panas dan air dingin.
Tabung reaksi disentuhkan ke kulit yang lesi dan sehat secara acak, dan pasien
diminta menentukan panas atau dingin.
b. Tes Otonom
Berdasarkan adanya gangguan berkeringat di makula anestesi pada penyakit
kusta, pemeriksaan lesi kulit dapat dilengkapi dengan tes anhidrosis, yaitu :
1. Tes keringat dengan tinta ( tes Gunawan)
2. Tes Pilokarpin
3. Tes Motoris (voluntary muscle test) pada n. ulnaris, n.medianus, n.radialis,
dan n. peroneus.
2.7
PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaaan Bakterioskopik
Digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis dan pengamatan obat.
Sediaan dibuat dari kerokan jaringan kulit atau usapan mukosa hidung yang
diwarnai dengan pewarnaan ZIEHL NEELSON. Bakterioskopik negative pada
seorang penderita, bukan berarti orang tersebut tidak mengandung basil
M.Leprae. Pertama tama harus ditentukan lesi di kulit yang diharapkan paling
padat oleh basil setelah terlebih dahulu menentukan jumlah tepat yang diambil.
Untuk riset dapat diperiksa 10 tempat dan untuk rutin sebaiknya minimal 4 6
tempat yaitu kedua cuping telinga bagian bawah dan 2 -4 lesi lain yang paling
aktif berarti yang paling eritematosa dan paling infiltratif. Pemilihan cuping
telinga tanpa menghiraukan ada atau tidaknya lesi di tempat tersebut karena pada
cuping telinga biasanya didapati banyak M. leprae.
Cara pengambilan bahan dengan menggunakan skalpel steril. Setelah lesi
tersebut di desinfeksi kemudian dijepit antara ibu jari dan jari telunjuk agar
menjadi iskemik, sehingga kerokan jaringan mengandung sedikit mungkin darah
yang akan mengganggu sediaan. Kerokan dioleskan di kaca objek, difiksasi di atas
api kemudian diwarnai dengan pewarnaan Ziehl-Neelsen :
1. Buatlah sediaan diatas kaca objek, keringkan pada suhu kamar
2. Tuangkan karbol fuchsin, panaskan di atas api kecil 3-4 menit hingga keluar
uap (semua bakteri akan berwarna merah).
3. Bilas dengan air mengalir.
4. Celupkan dalam larutan H2SO4 1% atau HCL pekat selama 2 detik (bakteri
tahan asam tetap berwarna merah).
5. Celupkan dalam alkohol 60% hingga tak ada lagi warna merah yang mengalir
pada sediaan.
6. Bilas dengan air
7. Tuangkan biru metilen,diamkan 1-2 menit (bakteri tahan asam tidak mengikat
warna biru).
8. Cuci dengan air keringkan, lalu amati dengan mikroskop.
Hasil positif jika didapatkan basil tahan asam tampak merah pada sediaan dan
dibedakan bentuk batang utuh (solid), batang terputus (fragmented), butiran
(granular). Secara teori penting dibedakan solid dan nonsolid, untuk membedakan
antara yang hidup dan yang mati, sebab bentuk hidup itulah yang berbahaya.
Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan nonsolid pada sebuah sediaan
dinyatakan dengan indeks bakteri ( I.B) dengan nilai 0 sampai 6+ menurut Ridley.
0 bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang (LP).
1 + Bila 1 10 BTA dalam 100 LP
2+ Bila 1 10 BTA dalam 10 LP
3+ Bila 1 10 BTA rata rata dalam 1 LP
4+ Bila 11 100 BTA rata rata dalam 1 LP
2. Tes Lepromin
Tes Lepromin adalah tes non spesifik untuk klasifikasi dan prognosis lepra tapi
tidak untuk diagnosis. Tes ini berguna untuk menunjukkan sistem imun penderita
terhadap M. leprae. 0,1 ml lepromin dipersiapkan dari ekstrak basil organisme,
disuntikkan intradermal. Kemudian dibaca setelah 48 jam/ 2hari (reaksi
Fernandez) atau 3 4 minggu (reaksi Mitsuda). Reaksi Fernandez positif bila
terdapat indurasi dan eritema yang menunjukkan kalau penderita bereaksi
terhadap M. Leprae, yaitu respon imun tipe lambat ini seperti mantoux test (PPD)
pada tuberkolosis.
o Tes Mitsuda (reaksi lambat) : menggunakan basil kusta yang mati, hasilnya
diperiksa setelah 3-4 minggu.
Interpretasi:
o - tidak ada reaksi/ kelainan
o +/- papel + eritema < 3 mm
o +1 papel + eritema 3 5 mm
o +2 papel + eritema > 5 mm
o +3 ulserasi
o Tes Fernandez (reaksi awal) : menggunakan fraksi proteim M. leprae, hasil
diperiksa setelah 48 jam.
Interpretasi:
o - tidak ada kelainan
o +/- indurasi + eritema < 5 mm
o + 1 indurasi + eritema 5 10 mm
o + 2 indurasi + eritema 10 15 mm
o + 3 indurasi + eritema 15 20 mm
3. Pemeriksaan Histopatologi
Makrofag dalam jaringan yang berasal dari monosit di dalam darah ada yang
mempunyai nama khusus, dan yang dari kulit disebut histiosit. Apabila SIS
(Sistem Imun Selular) tinggi, makrofag akan mampu memfagosit M.Leprae.
Datangnya histiosit ke tempat kuman disebabkan karena proses imunologik
dengan adanya faktor kemotaktik. Kalau datangnya berlebihan dan tidak ada lagi
yang harus difagosit, makrofag akan berubah bentuk menjadi sel epiteloid yang
tidak dapat bergerak dan kemudian akan dapat berubah menjadi sel datia
Langhans.
Adanya massa epiteloid yang berlebihan dikelilingi oleh limfosit yang disebut
tuberkel akan menjadi penyebab utama kerusakan jaringan dan cacat. Pada
penderita dengan SIS rendah atau lumpuh, histiosit tidak dapat menghancurkan
M.Leprae yang sudah ada didalamnya, bahkan dijadikan tempat berkembang biak
dan disebut sebagai sel Virchow atau sel lepra atau sel busa dan sebagai alat
pengangkut penyebarluasan.
Gambaran histopatologi tipe tuberkoloid adalah tuberkel dan kerusakan saraf
yang lebih nyata, tidak ada basil atau hanya sedikit dan non solid. Tipe
lepromatosa terdpat kelim sunyi subepidermal ( subepidermal clear zone ) yaitu
suatu daerah langsung di bawah epidermis yang jaringannya tidak patologik. Bisa
dijumpai sel virchow dengan banyak basil. Pada tipe borderline terdapat
campuran unsur unsur tersebut.
Gambar 2.21 Contoh Gambaran Histopatologi.
4. Pemeriksaan Serologik
Kegunaan pemeriksaan serologik adalah untuk membantu diagnosis kusta yang
meragukan, apabila tanda klinis dan bakteriologik tidak jelas.
A. Uji FLA-ABS (Fluorescent leprosy Antibodi-Absorption test)
Uji ini menggunakan antigen bakteri M. leprae secara utuh yang telah dilabel
dengan zat fluoresensi. Hasil uji ini memberikan sensitivitas yang tinggi namun
spesivisitasnya agak kurang karena adanya reaksi silang dengan antigen dari
mikrobakteri lain.
B. Radio Immunoassay (RIA)
Uji ini menggunakan antigen dari M. leprae yang dibiakkan dalam tubuh
Armadillo yang diberi label radio aktif.
C. Uji MLPA (Mycobacterium leprae particle agglutination)
Uji ini berdasarkan reaksi aglutinasi antara antigen sintetik PGL-1 dengan
antibodi dalam serum. Uji MLPA merupakan uji yang praktis untuk dilakukan di
lapangan, terutama untuk keperluan skrining kasus seropositif.
antibodi anti PGL-1 biasanya IgM lebih dominan dibandingkan IgG. Pemeriksaan
ELISA dikembangkan menggunakan reagen poliklonal atau monoklonal yang
telah terbukti sangat spesifisik terhadap residu gula dari PGL-1 dan
memungkinkan deteksi titer anti PGL-1 pada pasien kusta atau kontak serumah.
Untuk menentukan nilai ambang (cut off) dari hasil uji ELISA ini, biasanya
ditentukan setelah mengetahui nilai setara individu yang sakit kusta dan yang
tidak sakit kusta.
2.8
REAKSI KUSTA
Reaksi kusta adalah interupsi dengan episode akut pada perjalanan penyakit
yang sebenarnya sangat kronik. Penyakit kusta yang merupakan suatu reaksi
kekebalan (cellular response) atau reaksi antigen antibody (humoral response).
Reaksi ini dapat terjadi sebelum pengobatan, tetapi terutama terjadi selama atau
setelah pengobatan. Dari segi imunologis terdapat perbedaan prinsip antara reaksi
tipe 1 dan tipe 2, yaitu pada reaksi tipe 1 yang memegang peranan adalah imunitas
seluler (SIS), sedangkan pada reaksi tipe 2 yang memegang peranan adalah
imunitas humoral
a.
Reaksi tipe 1
Menurut Jopling, reaksi kusta tipe I merupakan delayed hypersensitivity
Meskipun secara teoritis reaksi tipe I ini dapat terjadi pada semua bentuk kusta
yang subpolar, tetapi pada bentuk BB jauh lebih sering terjadi daripada bentuk
yang lain sehingga disebut reaksi borderline.
Gejala klinis reaksi reversal ialah umumnya sebagian atau seluruh lesi yang
telah ada bertambah aktif dan atau timbul lesi baru dalam waktu yang relatif
singkat. Artinya lesi hipopigmentasi menjadi eritema, lesi eritema menjadi lebih
eritematosa, lesi makula menjadi infiltrat, lesi infiltrat makin infiltrat dan lesi
lama menjadi bertambah lesi luas. Tidak perlu seluruh gejala harus ada, satu saja
sudah cukup.
b.
Reaksi tipe II
Reaksi tipe II disebabkan oleh hipersensitivitas humoral, yaitu reaksi
No
Gejala/tanda
Tipe I (reversal)
Tipe II (ENL)
Kondisi umum
Peradangan di
dan febris
Timbul nodul
kulit
bercak baru
.
1
2
Waktu terjadi
Setelah pengobatan
yang lama, umumnya
4
5
Tipe kusta
Saraf
PB atau MB
Sering terjadi
Umumnya berupa nyeri
tekan saraf dan atau
Keterkaitan
organ lain
Faktor pencetus
testis, dll
Emosi
Kelelahan dan stress
Melahirkan
Obat-obat yang
meningkatkan kekebalan
tubuh
fisik lainnya
kehamilan
Gejala/
tanda
Kulit
Tipe I
Tipe II
Ringan
Bercak :
Berat
Bercak :
Ringan
Nodul :
Berat
Nodul : merah, panas,
merah,
merah, tebal,
merah,panas,
tebal,
panas, nyeri
nyeri
panas,
yang
nyeri
bertambah
parah sampai
Saraf
Nyeri pada
pecah
Nyeri pada
Nyeri pada
tepi
Keadaan
perbaan (-)
Demam (-)
perabaan (+)
Demam (+)
perabaan (-)
Demam (+)
(+)
Demam (+)
umum
Keterlib
+
Terjadi peradangan
atan
organ
lain
pada :
mata : iridocyclitis
testis :
epididimoorchitis
ginjal : nefritis
kelenjar limpa :
limfadenitis
gangguan pada
tulang, hidung,
dan tenggorokan
*bila ada reaksi pada lesi kulit yang dekat dengan saraf, dikategorikan sebagai reaksi
berat
2.8.1
Fenomena Lucio
Fenomena lucio merupakan reaksi kusta yang sangat berat yang terjadi pada
kusta tipe lepromatosa non nodular difus. Gambaran klinis berupa plak atau
infiltrat difus, bewarna merah muda, bentuk tidak teratur dan terasa nyeri. Lesi
terutama di ekstremitas, kemudian meluas ke seluruh tubuh. Lesi yang berat
tampak lebih eritematous disertai purpura dan bula kemudian dengan cepat terjadi
nekrosis serta ulserasi yang nyeri. Lesi lambat menyembuh dan akhirnya
terbentuk jaringan parut.
Gambaran histopatologi menunjukkan nekrosis epidermal iskemik dengan
nekrosis pembuluh darah superfisial, edema, dan proliferasi endhotelial pembuluh
darah lebih dalam. Didapatkan banyak basil M.Leprae di endotel kapiler.
Walaupun tidak ditemukan infiltrat PMN seperti pada ENL namun dengan
imunofluoresensi tampak deposit imunoglobulin dan komplemen di dalam
dinding pembuluh darah.
Gambar 2.22 Fenomena Lucio (Ulcerasi Rekuren Berat karena Vaskulitis Cutaneus
yang Dalam).
2.9
Diagnosis Banding
cabangnya.
1. Tipe I (makula hipopigmentasi) : tinea versikolor, vitiligo, pitiriasis rosea,
atau dermatitis seboroika atau dengan liken simpleks kronik.
2. Tipe TT (makula eritematosa dengan pinggir meninggi) : tinea korporis,
psoriasis,lupus eritematosus tipe diskoid atau pitiriasis rosea
3. Tipe BT,BB,BL (infiltrat merah tak berbatas tegas) : selulitis, erysipelas atau
psoriasis.
4. Tipe LL (bentuk nodula): lupus eritematous sistemik, dermatomiositis, atau
erupsi obat.
Kelainan kulit pada penyakit kusta tanpa komplikasi dapat hanya berbentuk
makula saja, infiltrat saja atau keduanya. Penyakit kusta hampir serupa dengan
penyakit kulit lainya leh karena itu mendapat julukan the greatest imitator dalam
ilmu penyakit kulit. Secara inpeksi mirip dengan penyakit lainnya.
Tabel 2.10 Diagnosis Banding
Morbus Hansen
Pitiriasis
Pitiriasis alba
vesikolor
Definisi
superfisial
dermatitis yang
Mycobacterium leprae
yang kronik
tidak
spesifik
dan
belum
diketahui
penyebabnya
Etiologi
Mycobacterium leprae
Malassezia
Didiuga
Gejala Klinis
furfur
Streptococcus
Bercak
berskuama
halus
yang teratur
berwarna
putih,
kekuning-
Warna
merah
muda
dengan
skuama halus
kuningan,
kemerahan
Setelah eritema
hitam
depigmentasi
Gatal
dengan skuama
halus
Pemeriksaan
Mikroskopis
tahan asam
hifa
pendek
dan
spora-
spora
bulat
yang
dapat
berkelompok
(meatball and
spaghetti
appeareance)
Lampu wood
Kuning
keemasan
Gambar
2.25
2.10
PENATALAKSANAAN
Tujuan utama dari pengobatan yaitu untuk memutuskan mata rantai penularan
untuk menurunkan insiden terjadinya penyakit, mengobati dan menyembuhkan
penderita, mencegah timbulnya penyakit, dan untuk mencapai tujuan tersebut,
strategi pokok yang dilakukan didasarkan atas deteksi dini dan pengobatan
penderita.
Program Multi Drug Therapy (MDT) dengan kombinasi rifampisin, klofazimin,
dan DDS dimulai tahun 1981. Program ini bertujuan untuk mengatasi resistensi
dapson yang semakin meningkat, mengurangi ketidaktaatan pasien, menurunkan
angka putus obat, dan untuk mengeliminasi persistensi kuman kusta dalam
jaringan.
Obat antikusta yang paling banyak dipakai pada saat ini adalah DDS
(Diaminodifenil sulfon) kemudoan klofazimin dan rifampicin. Pada tahun 1998
WHO menambahkan 3 obat antibiotic lain untuk pengobatan alternative yaitu
ofloksasin, minosiklin, dan klaritomisin. Sejak tahun 1951 pengobatan
tuberculosis dengan obat kombinasi ditujukan untuk mencegah kemungkinan
resistensi obaat sedangkan MDT untuk kusta baru dimulai tahun 1971.
2.10.1 Terapi Obat
a. Obat Utama :
1. DDS
dapat digunakan adalah 1x50 mg setiap hari, atau 100 mg selang sehari, atau 3 x
100 mg selama seminggu. Efek sampingnya adalah warna kecokelatan pada kulit
dan warna kekuningan pada sclera sehingga mirip ikterus. Hal tersebut disebabkan
oleh klofazimin yang merupakan zat warna dan dideposit terutama pada sel
system retikuloendotelial, mukosa, dan kulit. Obat ini menyebabkan pigmentasi
kulit yang sering merupakan masalah dalam ketaatan berobat penderita. Efek
samping hanya terjadi dalam dosis tinggi, berupa gangguan gastrointestinal yakni
nyeri abdomen, nausea, diare, anoreksia, dan vomitus. Selain itu dapat terjadi
penurunan berat badan.Perubahan warna tersebut akan mulai menghilang setelah
3 bulan obat diberikan.
4. Protionamid.
Dosis diberikan 5-10 mg/kg BB. Obat ini jarang dipakai. Distribusi dalam
jaringan tidak merata, sehingga kadar hambat minimal sukar ditentukan.
b. Obat alternatif:
1. Ofloksasin
Berdasarkan in vitro merupakan kuinolon yang paling efektif terhadap M.
leprae. Dosis tunggal dalam 22 dosis akan membunuh hingga 99,99%. Efek
samping adalah mual, diare, gangguan saluran cerna, gangguan saraf pusat
(insomnia, nyeri kepala, dizziness, nervousness dan halusinasi). Penggunaan pada
anak dan ibu hamil dapat menyebabkan artropati.
2. Minosiklin
Termasuk dalam kelompok tetrasiklin. Efek bakterisidal lebih tinggi daripada
klaritromisin tapi lebih rendah daripada rifampisin. Dosis 100 mg. Efek samping
antara lain hiperpigmentasi, simtom saluran cerna dan SSP.
3. Klaritromisin
Kelompok antibiotik makrolid dan mempunyai aktivitas bakterisidal M.
leprae. Dosis harian selama 28 hari dapat membunuh 99% dan selama 56 hari
sebesar 99,99%. Efek sampingnya adalah nausea, vomitus, dan diare.
Tabel 2.11 PB dgn lesi tunggal diberikan ROM (Rifampicin Ofloxacin Minocyclin)
dosis tunggal.
Rifampicin
Ofloxacin
Minocyclin
Dewasa
(50-70 kg)
600 mg
400 mg
100 mg
Anak-anak
*(5-14 tahun)
300 mg
200 mg
50 50g
Tidak dianjurkan untuk wanita hamil atau anak-anak kurang dari 5 tahun
Dewasa
Dapson
Rifampisin
100 mg
600 mg
50-70 kg
Setiap hari
Anak
50 mg
450 mg
10-14 tahun *
Setiap hari
Menyesuaikan dosis tepat untuk anak kurang dari 10 tahun. Misalnya, dapson 25 mg
setiap hari dan rifampisin 300 mg diberikan sebulan sekali di bawah pengawasan.
Rifampisin
Dewasa
100 mg
600 mg
50 mg
50-70 kg
Setiap Hari
Sebulan sekali di
Setiap
Sebulan
bawah
hari
sekali di
pengawasan
Clofazimin
DAN
300 mg
bawah
pengawasan
Anak
50 mg
450 mg
50 mg
DAN
10-14 tahun *
Setiap hari
Sebulan sekali di
Setiap
Sebulan
bawah
hari
sekali di
pengawasan
150 mg
bawah
pengawasan
Menyesuaikan dosis tepat untuk anak kurang dari 10 tahun. Misalnya, dapson 25 mg
sehari, rifampisin 300 mg diberikan sebulan sekali di bawah pengawasan, klofazimin, 50
mg diberikan dua kali seminggu, dan klofazimin 100 mg diberikan sebulan sekali di
bawah pengawasan.
Pasien akan dibagikan 12 strip obat, dimana setiap strip dihabiskan dalam 28
hari. Walaupun begitu, 12 strip tersebut dapat dihabiskan minimal selama 18
bulan.
Pengobatan hari pertama dilakukan dengan pengawasan oleh petugas :
kombinasi Klofazimin, Rifampisin, dan Dapson/DDS. Pengobatan hari ke-2
sampai hari ke-28 dilakukan tanpa pengawasan. Obat yang dikonsumsi pada
periode ini adalah Klofazimin dan Dapson. Pengonsumsian Klofazimin dapat
dilakukan dengan 3 cara : (1) 50 mg/ hari, (2) 100 mg/2 hari, (3) 3x100 mg per 1
minggu.
Selama pengobatan dilakukan pemeriksaan secara klinis setiap bulan dan secara
bakterioskopis setiap 3 bulan. Setelah pengobatan selesai, maka disebut RFT
(Release from treatment). Setelah RFT dilakukan tindak lanjut secara klinis dan
bakterioskopis minimal setiap tahun selama 5 tahun. Apabila negatif, maka
dinyatakan bebas dari pengamatan atau RFC (Release from control).
Namun, yang dilakukan sekarang, apabila secara klinis sudah tidak ada
keluhan, maka dapat dihentikan pemberian obat, tanpa memperhatikan
bakterioskopis.
12
bulan,
dengan
mempertimbangkan
kontrol
gejala
klinis
dan
1-2
40 mg
3-4
30 mg
5-6
20 mg
7-8
15 mg
9-10
10 mg
11-12
5 mg
Kalau tanpa neuritis, maka tidak perlu diberi pengobatan tambahan. Anggota
gerak yang terkena neuritis akut harus diistirahatkan. Analgetik dan sedatif juga
dapat diberikan.
2. Reaksi tipe 2 (ENL)
Prednison merupakan obat yang paling sering dipakai. Dosis dan lama
pengobatan bergantung kepada derajat keparahan reaksi, namun tidak melebihi 1
mg/kg BB dan 12 minggu. Dapat ditambahkan analgetik-antipiretik dan sedatif.
Apabila tidak membaik dengan kortikosteroid, dapat digunakan klofazimin
dengan dosis 3x100 mg per hari dengan lama maksimum 12 minggu, dengan
tappering menjadi 2 x 100 mg selama 12 minggu dan 1 x 100 mg selama 12-24
minggu. Perlu diperhatian bahwa untuk membaik diperlukan 4-6 minggu untuk
klofazimin mengontrol ENL.
2.10.5 Kecacatan
Tingkat 1
Tingkat 2
Tingkat 1
Tingkat 2
menekankan
kepentingan
pelayanan
kesehatan
yang
aksesibel,
PROGNOSIS
DAFTAR PUSTAKA
Ramos, J. M., Martin, M. M., Reyes, F., Lemma, D., Belinchon, I., & Gutierrez, F.
(2012). Gender Differential on Characteristics and Outcome of Leprosy patients
Admitted to a Long-term Care Rural Hospital in South-Eastern Ethiopia.
International Journal For Equity in Health, 1-5.
Hiswani. (2001). Kusta Salah Satu Penyakit Menular yang Masih di Indonesia.
Kesehatan, 1-5.
Wolff, K., Johnson, R. A., & Suurmond, D. (2007). The Color Atlas and Synopsis
of Clinical Dermatology. USA: Mc Graw Hill.
WHO. Global leprosy situation, 2012. Weekly Epidemiological Record, 317-328.
Buku pedoman nasional pengendalian penyakit kusta. Departemen Kesehatan
Republik Indonesia. Jakarta, 2012
A.Kosasih, I Made Wisnu, Emmy Sjamsoe Dili, Sri Linuwih Menaldi. Kusta.
Dalam : Djuanda,Adhi dkk.(ed). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi Kelima
Cetakan Kelima. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.2010;73-88
Wolff, K, Modlin RL. 2008. Leprosy : Fitzpatricks Dermatology in General
Medicine. 5th ed. New York : McGraw-Hill. p. 2306-18.