You are on page 1of 22

A.

Konsep Dasar Penyakit


1. Definisi Pengertian
Apendisitis adalah suatu radang yang timbul secara mendadak pada apendiks dan
merupakan salah satu kasus akut abdomen yang paling sering ditemui. Apendiks disebut
juga umbai cacing. Apendisitis sering disalahartikan dengan istilah usus buntu, karena
usus buntu sebenarnya adalah caecum. Apendisitis akut merupakan radang bakteri yang
dicetuskan berbagai faktor. Diantaranya hyperplasia jaringan limfe, fekalith, tumor
apendiks dan cacing ascaris dapat juga menimbulkan penyumbatan (Craig Sandy, 2010).
Insiden apendisitis akut lebih tinggi pada negara maju daripada Negara berkembang,
namun dalam tiga sampai empat dasawarsa terakhir menurun secara bermakna, yaitu 100
kasus tiap 100.000 populasi mejadi 52 tiap 100.000 populasi. Kejadian ini mungkin
disebabkan perubahan pola makan, yaitu negara berkembang berubah menjadi makanan
kurang serat. Menurut data epidemiologi apendisitis akut jarang terjadi pada balita,
meningkat pada pubertas, dan mencapai puncaknya pada saat remaja dan awal 20-an,
sedangkan angka ini menurun pada menjelang dewasa. Insiden apendisitis sama
banyaknya antara wanita dan laki-laki pada masa prapuber, sedangkan pada masa remaja
dan dewasa muda rationya menjadi 3:2, kemudian angka yan tinggi ini menurun pada pria
(Craig Sandy, 2010).
Dari berbagai penelitian yang telah dilakukan, obstruksi merupakan penyebab yang
dominan dan merupakan pencetus untuk terjadinya apendisitis. Kuman-kuman yang
merupakan flora normal pada usus dapat berubah menjadi patogen, menurut Schwartz
kuman terbanyak penyebab apendisitis akut adalah Bacteriodes Fragilis bersama E.coli
(Craig Sandy, 2010).
Beberapa gangguan lain pada sistem pencernaan antara lain sebagai berikut: Peritonitis;
merupakan peradangan pada selaput perut (peritonium). Gangguan lain adalah salah
cerna akibat makan makanan yang merangsang lambung, seperti alkohol dan cabe yang
mengakibatkan rasa nyeri yang disebut kolik. Sedangkan produksi HCl yang berlebihan
dapat menyebabkan terjadinya gesekan pada dinding lambung dan usus halus, sehingga
timbul rasa nyeri yang disebut tukak lambung. Gesekan akan lebih parah kalau lambung
dalam keadaan kosong akibat makan tidak teratur yang pada akhirnya akan
mengakibatkan pendarahan pada lambung. Gangguan lain pada lambung adalah gastritis
atau peradangan pada lambung. Dapat pula apendiks terinfeksi sehingga terjadi
peradangan yang disebut apendisitis (Craig Sandy, 2010).
2. Epidemiologi/Insiden Kasus
a. Distribusi Apendisitis
Distribusi Apendisitis Berdasarkan Orang (Person)
Penelitian Omran et al (2003) di Kanada pada 65.675 penderita appe ndicitis
didapat 38.143 orang (58%) laki-laki dan 27.532 orang (42%) perempuan.

Penelitian Khanal (2004) di Rumah Sakit Tribhuvan Nepal pada 99 penderita


appendicitis didapat 76 orang (76,8%) laki-laki dan 23 orang (23,2%) perempuan,
serta kelompok umur 15-24 tahun 41 orang (41,4%), 25-34 tahun 38 orang (38,4%),
35-44 tahun 15 orang (15,2%), 45-54 tahun 3 orang (3,0%), 55-64 tahun 1 orang
(1,0%), dan 65-74 tahun 1 orang (1,0%). Penelitian Nwomeh (2006) di Amerika
Serikat pada 788 penderita appendicitis didapat proporsi kulit putih 81%, kulit
hitam 12%, dan lainnya 7%. Penelitian Salari (2007) di Iran pada 400 penderita
appendicitis didapat 287 orang (71,7%) laki-laki dan 113 orang (28,3%)
perempuan, serta kelompok umur 5-14 tahun 58 orang (14,5%), 15-19 tahun 114
orang (28,5%), 20-24 tahun 99 orang (24,8%), 25-34 tahun 102 orang (25,5%), dan
35 tahun 27 orang (6,8%) (Tucker Jeffry, 2010).
Distribusi Appendicitis Berdasarkan Tempat (Place)
Penelitian Richardson et al (2004) di Afrika Selatan, IR appendicitis 5 per 1.000
penduduk di pedesaan, 9 per 1.000 penduduk di periurban, dan 18 per 1.000
penduduk di perkotaan. Penelitian Penfold et al (2008) di Amerika Serikat pada
anak umur 2-20 tahun didapat bahwa perforasi appendicitis lebih cenderung di
pedesaan (69,6%) daripada perkotaan (30,4%) (p=0,042) (Tucker Jeffry, 2010).
Distribusi Appendicitis Berdasarkan Waktu (Time)
Penelitian Dombal (1994) di Amerika Serikat terjadi penurunan kasus appendicitis
dari 100 menjadi 52 per 100.000 penduduk periode tahun 1975-1991. Penelitian
Walker (1995) di Afrika Selatan terjadi peningkatan kasus appendicitis dari 8,2
menjadi 9,5 per 100.000 penduduk periode tahun 1987-1994. Penelitian Bisset
(1997) di Skotlandia terjadi penurunan kasus appendicitis dari 19,7 menjadi 9,6 per
10.000 penduduk periode tahun 1973-1993. Penelitian Ballester et al (2003) di
Spanyol terjadi peningkatan kasus appendicitis dari 11,7 menjadi 13,2 per 10.000
penduduk periode tahun 1998-2003 (Tucker Jeffry, 2010).

b. Determinan Appendicitis
Faktor Host
Umur
Appendicitis dapat terjadi pada semua usia dan paling sering pada dewasa muda.
Penelitian Addins (1996) di Amerika Serikat, appendicitis tertinggi pada usia 10-19
tahun dengan
Age Specific Morbidity Rate (ASMR)
23,3 per 10.000
penduduk.Hal ini berhubungan dengan hiperplasi jaringan limfoid karena jaringan
limfoid mencapai puncak pada usia pubertas (Tucker Jeffry, 2010).
Jenis Kelamin
Penelitian Omran et al (2003) di Kanada, Sex Specific Morbidity Rate (SSMR)
pria : wanita yaitu 8,8 : 6,2 per 10.000 penduduk dengan rasio 1,4 : 1. Penelitian
Gunerhan (2008) di Turki didapat SSMR pria : wanita yaitu 154,7 : 144,6 per
100.000 penduduk dengan rasio 1,07 : 1. Kesalahan diagnosa appendicitis 15-20%
terjadi pada perempuan karena munculnya gangguan yang sama dengan

appendicitis seperti pecahnya folikel ovarium, salpingitis akut, kehamilan ektopik,


kista ovarium, dan penyakit ginekologi lain (Tucker Jeffry, 2010).
Ras
Faktor ras berhubungan dengan pola makan terutama diet rendah serat dan
pencarian pengobatan. Penelitian Addins (1996) di Amerika Serikat, IR kulit putih :
kulit hitam yaitu 15,4 : 10,3 per 10.000 penduduk dengan rasio 1,5 : 1. Penelitian
Richardson et al (2004) di Afrika Selatan, IR kulit putih : kulit hitam yaitu 2,9 : 1,7
per 1.000 penduduk dengan rasio 1,7 : 1. Penelitian Ponsky (2004) di Children's
National Medical Center Amerika Serikat dengan desain Case Control pada anak
umur 5-17 tahun didapat penderita ruptur appendicitis 1,66 kali lebih besar pada
anak keturunan Asia (Odds Ratio [OR]: 1,66; 95% Confidence Interval [CI] : 1,242,23) dan 1,13 kali lebih besar pada anak kulit hitam (OR: 1,13; 95% CI: 1,01-1,30)
dibandingkan anak bukan penderita ruptur appendicitis. Penelitian Smink (2005) di
Boston dengan desain Case Control pada anak umur 0-18 tahun didapat penderita
ruptur appendicitis 1,24 kali lebih besar pada anak kulit hitam (OR: 1,24; 95% CI:
1,101,39) dan 1,19 kali lebih besar pada anak hispanik (OR: 1,19; 95% CI: 1,10
1,29) dibandingkan anak bukan penderita ruptur apendisitis (Tucker Jeffry, 2010).

Faktor Agent
Proses radang akut appendiks disebabkan invasi mikroorganisme yang ada di usus
besar. Pada kultur ditemukan kombinasi antara Bacteriodes fragililis dan Eschericia
coli, Splanchicus sp, Lactobacilus sp, Pseudomonas sp, dan Bacteriodes splanicus.
Bakteri penyebab perforasi yaitu bakteri anaerob 96% dan aerob 4% (Tucker Jeffry,
2010).

Faktor Environment
Urbanisasi mempengaruhi transisi demografi dan terjadi perubahan pola makan
dalam masyarakat seiring dengan peningkatan penghasilan yaitu konsumsi tinggi
lemak dan rendah serat. Penelitian epidemiologi menunjukkan peran konsumsi
rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya appendicitis. Kebiasaan
konsumsi rendah serat mempengaruhi defekasi dan fekalith menyebabkan obstruksi
lumen sehingga memiliki risiko appendicitis yang lebih tinggi (Tucker Jeffry,
2010).

3. Penyebab/Faktor Predisposisi
Apendisitis akut dapat disebabkan oleh beberapa sebab terjadinya proses radang bakteria
yang dicetuskan oleh beberapa faktor pencetus diantaranya Hiperplasia jaringan limfe,
fekalith, tumor apendiks, dan cacing askaris yang menyumbat. Ulserasi mukosa
merupakan tahap awal dari kebanyakan penyakit ini. namun ada beberapa faktor yang
mempermudah terjadinya radang apendiks, diantaranya :

a. Faktor sumbatan
Faktor obstruksi merupakan faktor terpenting terjadinya apendisitis (90%) yang diikuti
oleh infeksi. Sekitar 60% obstruksi disebabkan oleh hyperplasia jaringan lymphoid sub
mukosa, 35% karena stasis fekal, 4% karena benda asing dan sebab lainnya 1%
diantaranya sumbatan oleh parasit dan cacing. Obsrtruksi yang disebabkan oleh
fekalith dapat ditemui pada bermacam-macam apendisitis akut diantaranya ; fekalith
ditemukan 40% pada kasus apendisitis kasus sederhana, 65% pada kasus apendisitis
akut ganggrenosa tanpa ruptur dan 90% pada kasus apendisitis akut dengan rupture
(Syamsuhidajat, 2004).
b. Faktor Bakteri
Infeksi enterogen merupakan faktor pathogenesis primer pada apendisitis akut. Adanya
fekolith dalam lumen apendiks yang telah terinfeksi memperburuk dan memperberat
infeksi, karena terjadi peningkatan stagnasi feses dalam lumen apendiks, pada kultur
didapatkan terbanyak ditemukan adalah kombinasi antara Bacteriodes fragililis dan
E.coli, lalu Splanchicus, lacto-bacilus, Pseudomonas, Bacteriodes splanicus.
Sedangkan kuman yang menyebabkan perforasi adalah kuman anaerob sebesar 96%
dan aerob <10% (Syamsuhidajat, 2004).
c. Kecenderungan familiar
Hal ini dihubungkan dengan tedapatnya malformasi yang herediter dari organ,
apendiks yang terlalu panjang, vaskularisasi yang tidak baik dan letaknya yang mudah
terjadi apendisitis. Hal ini juga dihubungkan dengan kebiasaan makanan dalam
keluarga terutama dengan diet rendah serat dapat memudahkan terjadinya fekolith dan
mengakibatkan obstruksi lumen (Syamsuhidajat, 2004).
d. Faktor ras dan diet
Faktor ras berhubungan dengan kebiasaan dan pola makanan sehari-hari. Bangsa kulit
putih yang dulunya pola makan rendah serat mempunyai resiko lebih tinggi dari
Negara yang pola makannya banyak serat. Namun saat sekarang, kejadiannya terbalik.
Bangsa kulit putih telah merubah pola makan mereka ke pola makan tinggi serat.
Justru Negara berkembang yang dulunya memiliki tinggi serat kini beralih ke pola
makan rendah serat, memiliki resiko apendisitis yang lebih tinggi (Syamsuhidajat,
2004).
e. Faktor infeksi saluran pernapasan
Setelah mendapat penyakit saluran pernapasan akut terutama epidemi influenza dan
pneumonitis, jumlah kasus apendisitis ini meningkat. Namun, hati-hati karena
penyakit infeksi saluran pernapasan dapat menimbulkan seperti gejala permulaan
apendisitis (Syamsuhidajat, 2004).
4. Pathway & Patofisiologi
PATHWAY APENDISITIS

PATOFISIOLOGI APENDISITIS
Appendicitis merupakan peradangan appendiks yang mengenai semua lapisan dinding
organ tersebut. Tanda patogenetik primer diduga karena obstruksi lumen dan ulserasi
mukosa menjadi langkah awal terjadinya appendicitis. Obstruksi intraluminal appendiks
menghambat keluarnya sekresi mukosa dan menimbulkan distensi dinding appendiks.
Sirkulasi darah pada dinding appendiks akan terganggu. Adanya kongesti vena dan
iskemia arteri menimbulkan luka pada dinding appendiks. Kondisi ini mengundang invasi
mikroorganisme yang ada di usus besar memasuki luka dan menyebabkan proses radang
akut, kemudian terjadi proses irreversibel meskipun faktor obstruksi telah dihilangkan
(Syamsuhidajat, 2004).

Appendicitis dimulai dengan proses eksudasi pada mukosa, sub mukosa, dan muskularis
propia. Pembuluh darah pada serosa kongesti disertai dengan infiltrasi sel radang
neutrofil dan edema, warnanya menjadi kemerah-merahan dan ditutupi granular
membran. Pada perkembangan selanjutnya, lapisan serosa ditutupi oleh fibrinoid
supuratif disertai nekrosis lokal disebut appendicitis akut supuratif. Edema dinding
appendiks menimbulkan gangguan sirkulasi darah sehingga terjadi ganggren, warnanya
menjadi hitam kehijauan yang sangat potensial ruptur. Pada semua dinding appendiks
tampak infiltrasi radang neutrofil, dinding menebal karena edema dan pembuluh darah
kongesti.Appendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh dengan sempurna, tetapi
akan membentuk jaringan parut. Jaringan ini menyebabkan terjadinya perlengketan
dengan jaringan sekitarnya. Perlengketan tersebut dapat kembali menimbulkan keluhan
pada perut kanan bawah. Pada suatu saat organ ini dapat mengalami peradangan kembali
dan dinyatakan mengalami eksaserbasi (Syamsuhidajat, 2004).
5. Klasifikasi
Adapun klasifikasi appendicitis berdasarkan klinikopatologis adalah sebagai berikut :
a. Appendicitis Akut
Appendicitis Akut Sederhana (Cataral Appendicitis)
Proses peradangan baru terjadi di mukosa dan sub mukosa disebabkan obstruksi.
Sekresi mukosa menumpuk dalam lumen appendiks dan terjadi peningkatan
tekanan dalam lumen yang mengganggu aliran limfe, mukosa appendiks jadi
menebal, edema, dan kemerahan. Gejala diawali dengan rasa nyeri di daerah
umbilikus, mual, muntah, anoreksia, malaise, dan demam ringan. Pada appendicitis
kataral terjadi leukositosis dan appendiks terlihat normal, hiperemia, edema, dan
tidak ada eksudat serosa (Craig Sandy, 2010).
Appendicitis Akut Purulenta (Supurative Appendicitis)
Tekanan dalam lumen yang terus bertambah disertai edema menyebabkan
terbendungnya aliran vena pada dinding appendiks dan menimbulkan trombosis.
Keadaan ini memperberat iskemia dan edema pada apendiks. Mikroorganisme yang
ada di usus besar berinvasi ke dalam dinding appendiks menimbulkan infeksi serosa
sehingga serosa menjadi suram karena dilapisi eksudat dan fibrin. Pada appendiks
dan mesoappendiks terjadi edema, hiperemia, dan di dalam lumen terdapat eksudat
fibrinopurulen. Ditandai dengan rangsangan peritoneum lokal seperti nyeri tekan,
nyeri lepas di titik Mc Burney, defans muskuler, dan nyeri pada gerak aktif dan
pasif. Nyeri dan defans muskuler dapat terjadi pada seluruh perut disertai dengan
tanda-tanda peritonitis umum (Craig Sandy, 2010).

Appendicitis Akut Gangrenosa


Bila tekanan dalam lumen terus bertambah, aliran darah arteri mulai terganggu
sehingga terjadi infrak dan ganggren. Selain didapatkan tanda-tanda supuratif,
appendiks mengalami gangren pada bagian tertentu. Dinding appendiks berwarna

ungu, hijau keabuan atau merah kehitaman. Pada appendicitis akut gangrenosa
terdapat mikroperforasi dan kenaikan cairan peritoneal yang purulen (Craig Sandy,
2010).
b. Appendicitis Infiltrat
Appendicitis infiltrat adalah proses radang appendiks yang penyebarannya dapat
dibatasi oleh omentum, usus halus, sekum, kolon dan peritoneum sehingga
membentuk gumpalan massa flegmon yang melekat erat satu dengan yang lainnya
(Craig Sandy, 2010).
c. Appendicitis Abses
Appendicitis abses terjadi bila massa lokal yang terbentuk berisi nanah (pus), biasanya
di fossa iliaka kanan, lateral dari sekum, retrocaecal, subcaecal, dan pelvic (Craig
Sandy, 2010).
d. Appendicitis Perforasi
Appendicitis perforasi adalah pecahnya appendiks yang sudah ganggren yang
menyebabkan pus masuk ke dalam rongga perut sehingga terjadi peritonitis umum.
Pada dinding appendiks tampak daerah perforasi dikelilingi oleh jaringan nekrotik
(Craig Sandy, 2010).
e. Appendicitis Kronis
Appendicitis kronis merupakan lanjutan appendicitis akut supuratif sebagai proses
radang yang persisten akibat infeksi mikroorganisme dengan virulensi rendah,
khususnya obstruksi parsial terhadap lumen. Diagnosa appendicitis kronis baru dapat
ditegakkan jika ada riwayat serangan nyeri berulang di perut kanan bawah lebih dari
dua minggu, radang kronik appendiks secara makroskopik dan mikroskopik. Secara
histologis, dinding appendiks menebal, sub mukosa dan muskularis propia mengalami
fibrosis. Terdapat infiltrasi sel radang limfosit dan eosinofil pada sub mukosa,
muskularis propia, dan serosa. Pembuluh darah serosa tampak dilatasi (Craig Sandy,
2010).
6. Gejala Klinis
Beberapa gejala yang sering terjadi yaitu :
Rasa sakit di daerah epigastrum, daerah periumbilikus, di seluruh abdomen atau di
kuadran kanan bawah merupakan gejala-gejala pertama. Rasa sakit ini samar-samar,
ringan sampai moderat, dan kadang-kadang berupa kejang. Sesudah empat jam
biasanya rasa nyeri itu sedikit demi sedikit menghilang kemudian beralih ke kuadran
bawah kanan. Rasa nyeri menetap dan secara progesif bertambah hebat apabila pasien
bergerak (Tucker Jeffry, 2010).
Anoreksia, mual, dan muntah yang timbul selang beberapa jam dan merupakan
kelanjutan dari rasa sakit yang timbul permulaan (Tucker Jeffry, 2010).

Demam tidak tinggi (kurang dari 380C), kekakuan otot, dan konstipasi (Tucker Jeffry,
2010).
Appendicitis pada bayi ditandai dengan rasa gelisah, mengantuk, dan terdapat nyeri
lokal. Pada usia lanjut, rasa nyeri tidak nyata. Pada wanita hamil rasa nyeri terasa
lebih tinggi di daerah abdomen dibandingkan dengan biasanya (Tucker Jeffry, 2010).
Nyeri tekan didaerah kuadran kanan bawah. Nyeri tekan mungkin ditemukan juga di
daerah panggul sebelah kanan jika appendiks terletak retrocaecal (Tucker Jeffry,
2010).
Rasa nyeri ditemukan di daerah rektum pada pemeriksaan rektum apabila posisi
appendiks di pelvic. Letak appendiks mempengaruhi letak rasa nyeri (Tucker Jeffry,
2010).

7. Pemeriksaan Fisik
Inspeksi pada appendicitis akut tidak ditemukan gambaran yang spesifik dan terlihat
distensi perut
Palpasi pada daerah perut kanan bawah, apabila ditekan akan terasa nyeri dan bila
tekanan dilepas juga akan terasa nyeri. Nyeri tekan perut kanan bawah merupakan
kunci diagnosa appendicitis. Pada penekanan perut kiri bawah akan dirasakan nyeri
pada perut kanan bawah yang disebut tanda Rovsing (Rovsing Sign). Apabila tekanan
di perut kiri bawah dilepaskan juga akan terasa nyeri pada perut kanan bawah yang
disebut tanda Blumberg (Blumberg Sign).
Pemeriksaan rektum, pemeriksaan ini dilakukan pada appendicitis untuk menentukan
letak appendiks apabila letaknya sulit diketahui. Jika saat dilakukan pemeriksaan ini
terasa nyeri, maka kemungkinan appendiks yang meradang terletak di daerah pelvic.
Pemeriksaan uji psoas dan uji obturator, pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui
letak appendiks yang meradang. Uji psoas dilakukan dengan rangsangan otot psoas
lewat hiperektensi sendi panggul kanan atau fleksi aktif sendi panggul kanan,
kemudian paha kanan ditahan. Bila appendiks yang meradang menempel di m. psoas
mayor, maka tindakan tersebut akan menimbulkan nyeri. Pada uji obturator dilakukan
gerakan fleksi dan endorotasi sendi panggul pada posisi terlentang. Bila appendiks
yang meradang kontak dengan obturator internus yang merupakan dinding panggul
kecil, maka tindakan ini akan menimbulkan nyeri.
8. Pemeriksaan Diagnostik/Penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium
Terdiri dari pemeriksaan darah lengkap dan C-reactive protein (CRP). Pada
pemeriksaan darah lengkap ditemukan jumlah leukosit antara 10.000-18.000/mm3
(leukositosis) dan neutrofil diatas 75%, sedangkan pada CRP ditemukan jumlah
serum yang meningkat. CRP adalah salah satu komponen protein fase akut yang akan
meningkat 4-6 jam setelah terjadinya proses inflamasi, dapat dilihat melalui proses

elektroforesis serum protein. Angka sensitivitas dan spesifisitas CRP yaitu 80% dan
90% (Sylvia, 2000).
b. Radiologi
Terdiri dari pemeriksaan ultrasonografi (USG) dan Computed Tomography
Scanning (CT-scan). Pada pemeriksaan USG ditemukan bagian memanjang pada
tempat yang terjadi inflamasi pada appendiks, sedangkan pada pemeriksaan CT-scan
ditemukan bagian yang menyilang dengan fekalith dan perluasan dari appendiks
yang mengalami inflamasi serta adanya pelebaran sekum. Tingkat akurasi USG 9094% dengan angka sensitivitas dan spesifisitas yaitu 85% dan 92%, sedangkan CTScan mempunyai tingkat akurasi 94-100% dengan sensitivitas dan spesifisitas yang
tinggi yaitu 90-100% dan 96-97% (Sylvia, 2000).
9. Diagnosis/Kriteria Diagnosis
Diagnosis banding dari Appendicitis dapat bervariasi tergantung dari usia dan jenis
kelamin
Pada anak-anak balita
Intususepsi, divertikulitis, dan gastroenteritis akut.
Intususepsi paling sering didapatkan pada anak-anak berusia dibawah 3 tahun.
Divertikulitis jarang terjadi jika dibandingkan Appendicitis. Nyeri divertikulitis
hampirsama dengan Appendicitis, tetapi lokasinya berbeda, yaitu pada daerah
periumbilikal.Pada pencitraan dapat diketahui adanya inflammatory mass di daerah
abdomentengah. Diagnosis banding yang agak sukar ditegakkan adalah gastroenteritis
akut,karena memiliki gejala-gejala yang mirip dengan appendicitis, yakni diare,
mual,muntah, dan ditemukan leukosit pada feses (Wilkinson, 2006).
Pada anak-anak usia sekolah
Gastroenteritis, konstipasi, infark omentum
Pada gastroenteritis, didapatkan gejala-gejala yang mirip dengan appendicitis,tetapi
tidak dijumpai adanya leukositosis. Konstipasi, merupakan salah satupenyebab nyeri
abdomen pada anak-anak, tetapi tidak ditemukan adanya demam. Infark omentum juga
dapat dijumpai pada anak-anak dan gejala-gejalanya dapatmenyerupai appendicitis.
Pada infark omentum, dapat teraba massa pada abdomendan nyerinya tidak berpindah
(Wilkinson, 2006).
Pada pria dewasa muda
Diagnosis banding yang sering pada pria dewasa muda adalah Crohn`s disease, klitis
ulserativa, dan epididimitis. Pemeriksaan fisik pada skrotum dapat
membantumenyingkirkan diagnosis epididimitis. Pada epididimitis, pasien merasa
sakit padaskrotumnya (Wilkinson, 2006).
Pada wanita usia muda
Diagnosis banding appendicitis pada wanita usia muda lebih banyak berhubungan
dengan kondisi-kondisi ginekologik, seperti pelvic inflammatory disease (PID), kista
ovarium, dan infeksi saluran kencing. Pada PID, nyerinya bilateral dandirasakan pada

abdomen bawah. Pada kista ovarium, nyeri dapat dirasakan bilaterjadi ruptur ataupun
torsi (Wilkinson, 2006).
Pada usia lanjut
Appendicitis pada usia lanjut sering sukar untuk didiagnosis. Diagnosis banding yang
sering terjadi pada kelompok usia ini adalah keganasan dari traktusgastrointestinal dan
saluran reproduksi, divertikulitis, perforasi ulkus, dankolesistitis. Keganasan dapat
terlihat pada CT Scan dan gejalanya muncul lebih lambat daripada appendicitis. Pada
orang tua, divertikulitis sering sukar untukdibedakan dengan appendicitis, karena
lokasinya yang berada pada abdomen kanan.Perforasi ulkus dapat diketahui dari
onsetnya yang akut dan nyerinya tidakberpindah. Pada orang tua, pemeriksaan dengan
CT Scan lebih berarti dibandingkandengan pemeriksaan laboratorium (Wilkinson,
2006).

10. Teraphy/Tindakan Penanganan


Tindakan penanganan yang dapat dilakukan pada penderita appendicitis meliputi
penanggulangan konservatif dan operasi.
a. Penanggulangan konservatif
Penanggulangan konservatif terutama diberikan pada penderita yang tidak mempunyai
akses ke pelayanan bedah berupa pemberian antibiotik. Pemberian antibiotik berguna
untuk mencegah infeksi. Pada penderita appendicitis perforasi, sebelum operasi
dilakukan penggantian cairan dan elektrolit, serta pemberian antibiotik sistemik (Craig
Sandy, 2010).
b. Operasi
Bila diagnosa sudah tepat dan jelas ditemukan appendicitis maka tindakan yang
dilakukan adalah operasi membuang appendiks (appendektomi).
Penundaan
appendektomi dengan pemberian antibiotik dapat mengakibatkan abses dan perforasi.
Pada abses appendiks dilakukan drainage (mengeluarkan nanah) (Craig Sandy, 2010).
11. Komplikasi
Komplikasi terjadi akibat keterlambatan penanganan appendicitis. Faktor keterlambatan
dapat berasal dari penderita dan tenaga medis. Faktor penderita meliputi pengetahuan
dan biaya, sedangkan tenaga medis meliputi kesalahan diagnosa, menunda diagnosa,
terlambat merujuk ke rumah sakit, dan terlambat melakukan penanggulangan. Kondisi
ini menyebabkan peningkatan angka morbiditas dan mortalitas. Proporsi komplikasi
appendicitis 10-32%, paling sering pada anak kecil dan orang tua. Komplikasi 93%
terjadi pada anak-anak di bawah 2 tahun dan 40-75% pada orang tua. CFR komplikasi
2-5%, 10-15% terjadi pada anak-anak dan orang tua. Anak-anak memiliki dinding
appendiks yang masih tipis, omentum lebih pendek dan belum berkembang sempur na
memudahkan terjadinya perforasi, sedangkan pada orang tua terjadi gangguan pembuluh
darah. Adapun jenis komplikasi diantaranya:
a. Abses

Abses merupakan peradangan appendiks yang berisi pus. Teraba massa lunak di
kuadran kanan bawah atau daerah pelvis. Massa ini mula-mula berupa flegmon dan
berkembang menjadi rongga yang mengandung pus. Hal ini terjadi bila appendicitis
gangren atau mikroperforasi ditutupi oleh omentum (Sylvia, 2000).
b. Perforasi
Perforasi adalah pecahnya appendiks yang berisi pus sehingga bakteri menyebar ke
rongga perut. Perforasi jarang terjadi dalam 12 jam pertama sejak awal sakit, tetapi
meningkat tajam sesudah 24 jam. Perforasi dapat diketahui praoperatif pada 70%
kasus dengan gambaran klinis yang timbul lebih dari 36 jam sejak sakit, panas lebih
dari 38,50C, tampak toksik, nyeri tekan seluruh perut, dan leukositosis terutama
polymorphonuclear (PMN). Perforasi, baik berupa perforasi bebas maupun
mikroperforasi dapat menyebabkan peritonitis. Peritonitis disertai rasa sakit perut yang
semakin hebat, muntah, nyeri abdomen, demam, dan leukositosis (Sylvia, 2000).
B. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Identitas
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, tanggal atau jam masuk rumah sakit,
nomor register, diagnosa, nama orang tua, alamat, umur pendidikan, pekerjaan,
pekerjaan orang tua, agama dan suku bangsa.
b. Riwayat penyakit sekarang
Klien dengan post appendiktomy mempunyai keluhan utama nyeri yang disebabkan
insisi abdomen.
c. Riwayat penyakit dahulu
Meliputi penyakit apa yang pernah diderita oleh klien seperti hipertensi, operasi
abdomen yang lalu, apakah klien pernah masuk rumah sakit, obat-abatan yang pernah
digunakan apakah mempunyai riwayat alergi dan imunisasi apa yang pernah diderita.
d. Riwayat penyakit keluarga
Adalah keluarga yang pernah menderita penyakit diabetes mellitus, hipertensi,
gangguan jiwa atau penyakit kronis lainnya uapaya yang dilakukan dan bagaimana
genogramnya .
e. Pola Fungsi Kesehatan
Pola persepsi dan tatalaksana hidup sehat
Adakah kebiasaan merokok, penggunaan obat-obatan, alkohol dan kebiasaan olah
raga (lama frekwensinya), bagaimana status ekonomi keluarga kebiasaan merokok
dalam mempengaruhi lamanya penyembuhan luka.

Pola Tidur dan Istirahat


Insisi pembedahan dapat menimbulkan nyeri yang sangat sehingga dapat
mengganggu kenyamanan pola tidur klien.

Pola aktifitas
Aktifitas dipengaruhi oleh keadaan dan malas bergerak karena rasa nyeri luka
operasi, aktifitas biasanya terbatas karena harus bedrest berapa waktu lamanya
setelah pembedahan.
Pola hubungan dan peran
Dengan keterbatasan gerak kemungkinan penderita tidak bisa melakukan peran baik
dalam keluarganya dan dalam masyarakat. Penderita mengalami emosi yang tidak
stabil.
Pola sensorik dan kognitif
Ada tidaknya gangguan sensorik nyeri, penglihatan, pearaan serta pendengaran,
kemampuan berfikir, mengingat masa lalu, orientasi terhadap orang tua, waktu dan
tempat.
Pola penanggulangan stress
Kebiasaan klien yang digunakan dalam mengatasi masalah.
Pola tata nilai dan kepercayaan
Bagaimana keyakinan klien pada agamanya dan bagaimana cara klien mendekatkan
diri dengan tuhan selama sakit

f. Data Subyektif
Sebelum operasi
Nyeri daerah pusar menjalar ke daerah perut kanan bawah
Mual, muntah, kembung
Tidak nafsu makan, demam
Tungkai kanan tidak dapat diluruskan
Diare atau konstipasi
Sesudah operasi
Nyeri daerah operasi
Lemas
Haus
Mual, kembung
Pusing
g. Data Obyektif
Sebelum operasi
Nyeri tekan di titik Mc. Berney
Spasme otot
Takhikardi, takipnea
Pucat, gelisah
Bising usus berkurang atau tidak ada
Demam 38 - 38,5

Sesudah operasi
Terdapat luka operasi di kuadran kanan bawah abdomen
Terpasang infuse
Terdapat drain/pipa lambung
Bising usus berkurang
Selaput mukosa mulut kering
2. Diagnosa Keperawatan
a. Sebelum operasi

Nyeri akut berhubungan dengan distensi jaringan usus oleh inflamasi.

Hipertermia berhubungan dengan respon inflamasi.

Risiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan mual dan muntah.

Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan.

b. Setelah operasi

Nyeri akut berhubungan dengan adanya insisi bedah

Risiko perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan


penurunan intake per oral

Risiko infeksi berhubungan dengan tempat masuknya organism sekunder akibat


pembedahan dan masukan parenteral.

3. Rencana Asuhan Keperawatan


Sebelum Operasi
Dx
Nyeri

Tujuan
diberikan

akut Setelah

berhubungan

asuhan

dengan
distensi

Intervensi

keperawatan

dan

Kaji

Rasional
Berguna

catat

pengawasan

selama x 24 jam

kualitas,

keefektifan

diharapkan

lokasi

jaringan usus subjektif


oleh

tentang

inflamasi

menurun,
kriteria hasil :

persepsi
pasien
nyeri
dengan

dalam
obat,

dan

dan membedakan

durasi nyeri.

karakteristik nyeri.

Gunakan

Perubahan

skala

karakteristik nyeri

dengan

nyeri

menunjukan

pada

Pasien tidak meringis

pasien dari 0

terjadinya

Skala nyeri 5

(tidak

atau peritonitis

ada

abses

nyeri) 10
(nyeri paling
buruk).

Observasi

Dengan

tanda-tanda

mengobservasi

vital

TTV

dapat

diketahui

tingkat

perkembangan
pasien

Ajarkan dan

Meningkatkan

bantu pasien

relaksasi

teknik

meningkatkan

relaksasi dan

kemampuan

distraksi
Bantu posisi

koping pasien

pasien untuk

dan

Mengurangi

rasa

nyeri

kenyamanan

optimal
Pertahankan
pasien puasa

Menurunkan
ketidaknyamanan

sebelum

pada

pembedahan

usus

analgetik

Hipertermia

Setelah

diberikan

berhubungan

asuhan

keperawatan

dini

dan

iritasi

Kolaborasi :
pemberian

peristaltic

gaster/muntah

Mengurangi

rasa

nyeri
Pantau suhu
tubuh pasien

Untuk mengetahui

dengan

selama x 24 jam

Berikan

perubahan

respon

diharapkan

kompres

pasien

inflamasi

akan mempertahankan
suhu

pasien
yang

tubuh

hangat
Kolaborasi:

normal, dapat dilihat

pemberian

tanda sebagai berikut:

anti piretik

Suhu

tubuh

demam

dalam

Untuk
mengurangi
demam

-37,5 C

aksi

Bebas dari kedinginan

Risiko

asuhan

keperawatan

kekurangan

selama x 24 jam

peningkatan

volume

diharapkan

suhu,

cairan

akan mempertahankan

peningkatan

berhubungan

keseimbangan cairan

frekwensi

terhadap

pasien

Tanda

yang

membantu
mengindentifikasi
volume
intravascular

hipotensi tiap

4 jam
Auskultasi
bising usus,

membran

catat

lembab

kelancaran
kulit

nadi,

dengan mual yang normal, dapat


dan muntah.
dilihat tanda sebagai
Bibir tidak kering

sentralnya

Kontrol TTV

diberikan

berikut :

dengan

pada hipotalamus

Setelah

Turgor

membantu

mengurangi

batas normal 36,50C

Mukosa

Dapat

suhu

baik,

flastus

tidak kering

kembalinya

dan

peristaltic,kesiapan

gerakan usus
Pasang infus
dan

Indikator

untuk pemasukan
peroral

pipa

lambung
sesuai

Mempertahankan

dengan

volume

program

dan

sirkulasi

memperbaiki

medik
Kontrol

ketidakseimbangan

cairan keluar
dan masuk

informasi tentang

Berikan

status

sejumlah

cairan/volume

kecil

sirkulasi

minuman
dan lanjutkan
dengan

Memberikan

diet

dan

kebutuhan

Menurunkan iritasi
gaster/muntah

sesuai

untuk

toleransi

meminimalkan

Kaji

kehilangan cairan

pemahaman
pasien
Setelah diberi asuhan

tentang

keperawatan x 24

diagnosis,

Ansietas

jam,

prosedur

berhubungan

pasien

dengan

meningkatkan

ritunitas

perubahan

pengetahuannya

preoperasi

status

dengan

dan program

kesehatan

diharapkan

bedah,

akan

kriteria

evaluasi:
Pasien
mengungkapkan
pengetahuan tentang
prosedur
pembedahan
termasuk persiapan

Mengetahui dasar
pengetahuan
pasien

yang

memungkinkan
membuat

pascaoperasi
Jelaskan

untuk

pilihan
informasi

yang

tentang

diberikan

diagnosa dan
prosedu
pembedahan
sesuai

Menurunkan

akan

preoperasi

dan

sensasi

dan

peristiwa

Mendemonstrasikan

preoperasi

latihan pascaoperasi
menggunakan

alat

sebelum

pada

Jelaskan

aktivitas,

prosedur

latihan

pembedahan

kecemasan

tentang

perawatan operasi

dan

kebutuhan
Jelaskan

Dengan
mengetahui,

dan

atau

kewaspadaan

diharapkan

kedaruratan

pascaoperasi.

menurunkan

Izinkan

kecemasan

selama

periode

pascaoperasi

pasien
-

kembali

kecemasan

mendemonst
rasikan
dan

alat

latihan

berikut
dengan
cepat:
Napas
dalam dan
latihan
batuk
Gerakkan
naik turun
dari
tempat
tidur

Berikan
waktu

Menurunkan

pada

pasien untuk

dapat

mengajukan
pertanyaan
dan
mengekspres

Meningkatkan

ikan

proses belajar dan

perasaan

mengambil
keputusan

dan

menurunkan
kecemasan

Setelah Operasi
Dx
Nyeri

Tujuan

Intervensi

diberikan

akut Setelah

berhubungan

asuhan

keperawatan

dengan

selama x 24 jam

adanya insisi diharapkan


bedah

pasien

nyeri

Tentukan

Rasional

karakteristik

membedakan

dan

karakteristik

lokasi

nyeri

khusus dari nyeri,

terkontrol

dengan

membantu

kriteria

membedakan nyeri

evaluasi:

Pasien

pasca operasi dan


tidak

terjadinya

meringis

Skala

komplikasi
nyeri

menjadi 2

Pasien

Observasi

TTV

TTV stabil

Dapat

diketahui

tingkat
perkembangan

tampak

pasien

rileks

Untuk

Motivasi

Mempertahankan

pasien untuk

peredaran

darah

mobilisasi

sehingga

dapat

secara

mempercepat

bertahap

penyembuhan

Beri

posisi

yang nyaman

Ajarkan

Mengurangi

rasa

nyeri

Mengurangi

teknik

ketegangan

relaksasi dan

sehingga

distraksi

berkurang

Kolaborasi :

Mengurangi

pemberian

nyeri

nyeri
rasa

analgetik
Risiko
perubahan

Setelah

diberikan

nutrisi

asuhan

keperawatan

kurang

dari

24

jam

kebutuhan

diharapkan kebutuhan

tubuh

nutrisi pasien adekuat

berhubungan

dengan

dengan

evaluasi:

penurunan

intake

per

oral

Masukan

peroral

Mengurangi

kebersihan

sensasi yang tidak

mulut pasien

sedap pada mulut

Delegatif

Meningkatkan

dalam

nafsu

pemberian

pasien

obat

adekuat

dengan baik

kriteria

Pasien tidak puasa

Pertahankan

Untuk

makan
membantu

Kolaborasi

memenuhi

dalam

kebutuhan pasien

pemberian

Kadar

albumin

dalam

batas

cairan
parenteral

normal
Risiko
infeksi
berhubungan
dengan
tempat
masuknya
organism

Setelah

diberikan

asuhan

keperawatan

2x24 jam, diharapkan


tanda-tanda

infeksi

tidak

dengan

ada

kriteria evaluasi :

Anjurkan

Mencegah

keluarga

berkembangnya

untuk

kuman penyakit

menjaga
kebersihan
luka

bekas

sekunder

Suhu tubuh pasien

operasi

akibat

dalam

batas

pasien

pembedahan

normal

(36,50-

dan masukan

37,50)

cuci

Push (-)

yang baik

parenteral

Tingkatkan

tangan

Kaji

Melindungi pasien
dari infeksi

tanda-

tanda infeksi

Untuk mengetahui
secara dini adanya
infeksi

Batasi

Mencegah

prosedur

kontaminasi

invasive atau

kuman pada luka

gunakan

operasi

teknik septik
aseptik
dalam
melakukan
tindakan

Pantau TTV

Peningkatan
dan

suhu

nadi
tubuh

mengindikasikan
terjadinya infeksi

Kolaborasi :

Menghambat

pemberian

tumbuh

antibiotic

kembangnya
kuman

4. Evaluasi
Sebelum operasi
Dx
Nyeri

Evaluasi
akut S

: Pasien mengatakan nyerinya berkurang, skala menjadi 5

berhubungan

O : Skala nyeri 1-10 telah diberikan

dengan distensi A : Tujuan tercapai


jaringan

usus P : Lanjutkan intervensi

oleh inflamasi
Hipertermia

berhubungan

O : Suhu tubuh normal, 370C

dengan

: Pasien tidak mengeluh demam lagi

respon A : Tujuan tercapai, masalah teratasi

inflamasi

P : Pertahankan kondisi pasien

Risiko

kekurangan

O : Sudah terpasang infuse

volume

:-

cairan A : Tujuan tercapai, masalah teratasi

berhubungan
dengan

P : Perhatikan kondisi infuse

mual

dan muntah

Ansietas

berhubungan

O : Pasien dapat menjelaskan prosedur pascaoperasi yang

dengan

: Pasien mengatakan tidak cemas lagi


diberikan

perubahan status A : Tujuan tercapai, masalah teratasi


kesehatan

P : Pertahankan kondisi pasien

Setelah operasi
Dx

Evaluasi

Nyeri

akut S

berhubungan
dengan

: Pasien tidak mengeluhkan nyeri lagi

O : Skala nyeri 1-10 telah diberikan

adanya A : Tujuan tercapai, masalah teratasi

insisi bedah

P : Pertahankan kondisi pasien

Risiko

perubahan

O : Pasien mampu menghabiskan makanan porsi dari

nutrisi
dari

:-

kurang

makanan yang diberikan

kebutuhan A : Tujuan tercapai, masalah teratasi

tubuh

P : Pertahankan kondisi pasien

berhubungan
dengan
penurunan
intake per oral
Risiko

infeksi S

berhubungan
dengan
organism
sekunder akibat
pembedahan dan
parenteral

O : Tidak terdapat tanda-tanda infeksi

tempat A : Tujuan tercapai, masalah teratasi

masuknya

masukan

:-

P : pertahankan kondisi pasien

You might also like