You are on page 1of 13

BAB I

PENDAHULUAN
Tuberkulosis Intestinal (TB) meningkat karena pandemi HIV. Gejala klinisnya seperti kondisi
peradangan pada penyakit Crohn dan keganasan, sehingga diagnosis TB intestinal sering
menjadi masalah. Kesadaran yang lebih besar mengenai penyakit TB usus sangat diperlukan,
baik di negara-negara endemik TB dan negara maju dengan populasi imigran. Beberapa
strain Mycobacterium tuberkulosis berhubungan dengan penyakit paru serta penyebaran yang
lebih luas, sehingga dapat memperburuk keadaan pada penderita TB. Penelitian Retrospektif
terbaru dan Penelitian prospektif mengarah ke pengembangan algoritma diagnostik. Berbagai
macam teknik pencitraan yang tersedia untuk pengambilan sampel dan diagnosis seperti
biokimia, metode diagnostik imunologi dan molekuler sedang dikembangkan.
Lebih dari dua miliar orang terinfeksi tuberkulosis (TB), dan pada tahun 2006, 1,7 juta
orang meninggal akibat TB, termasuk 231.000 orang koinfeksi HIV. tuberkulosis extra paru
(TBEP) meningkat dan menyumbang satu dari lima pasien TB yang terdaftar. Bentuk yang
paling umum adalah TB kelenjar getah bening, pleura, pericardial dan TB meningeal.
tuberculosis abdomen (ATB) atau tuberkulosis usus (ITB) adalah urutan keenam yang paling
umum dari TBEP. Gejala ITB mirip dengan kondisi lain, terutama inflamasi penyakit usus,
seperti penyakit Crohn. Kebanyakan pasien dikelola tanpa konfirmasi laboratorium, pedoman
standar sehingga diperlukan pengamatan klinis yang cermat.
Berdasarkan uraian diatas sekiranya cukup penting bagi penulis untuk membahas
tentang TB peritoneal sehingga dapat memberikan informasi tentang penegakan diagnosis
dan dapat mengetahui penatalaksaan yang tepat.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Tb intestinal adalah tuberkulosis ekstra pulmonal yang disebabkan infeksi
Mycobacterium tuberculosis jenis bovin yang mencemari susu ternak yang menyerang
usus atau infeksi sekunder pada penderita tuberculosis paru yang menelan sputumnya
sendiri.
B. Epidemiologi
Insiden tuberculosis intestinal dipengaruhi oleh factor Kemiskinan, kekurangan
gizi, kepadatan penduduk. Pada pasien HIV, penyebaran tuberculosis ekstra pulmonal
lebih cepat, karena kekurangan respon imun seluler. Insiden dan keparahan Abdominal
Tuberculosis (ATB) meningkat pada pasien HIV-positif, oleh reaktivasi TB laten dan
infeksi baru.
Insidensi pasien dengan ATB berbeda di seluruh dunia. Di Pakistan, TBEP yang
paling banyak adalah ATB. Menurut penelitian di Pakistan, Afrika barat dan Turki
ditemukan ATB lebih banyak pada orang dewasa muda, terutama perempuan. Sebuah
studi Zambia dari 31 pasien HIV-positif dengan tanda-tanda klinis ATB ditemukan 22
(71%) kasus dengan usia kisaran 18-46 tahun dan dominasi perempuan.
Penelitian dari Cina, Singapura, India dan Inggris menemukan insiden ATB.
Inggris merupakan Negara dengan insiden rendah, tetapi proporsi TBEP meningkat dan
bervariasi sesuai dengan tempat lahir: 29% kasus kelahiran Inggris memiliki TBEP tetapi
51% kasus kelahiran non-Inggris juga memiliki TBEP. Ramesh et al menemukan bahwa
91% dari pasien Inggris dengan ATB yang berasal dari Asia Selatan. Selain pengaruh
umur, seks dan system imun, juga dipengaruhi oleh interaksi host-patogen.
C. Morfologi dan Struktur Bakteri
Mycobacterium tuberculosis berbentuk batang lurus atau sedikit melengkung,
tidak berspora dan tidak berkapsul. Bakteri ini berukuran lebar 0,3 0,6 mm dan panjang
1 4 mm. Dinding M. tuberculosis sangat kompleks, terdiri dari lapisan lemak cukup
tinggi (60%). Penyusun utama dinding sel M. tuberculosis ialah asam mikolat, lilin
kompleks (complex-waxes), trehalosa dimikolat yang disebut cord factor, dan
mycobacterial sulfolipids yang berperan dalam virulensi. Asam mikolat merupakan asam
lemak berantai panjang (C60 C90) yang dihubungkan dengan arabinogalaktan oleh
ikatan glikolipid dan dengan peptidoglikan oleh jembatan fosfodiester. Unsur lain yang
2

terdapat pada dinding sel bakteri tersebut adalah polisakarida seperti arabinogalaktan dan
arabinomanan. Struktur dinding sel yang kompleks tersebut menyebabkan bakteri M.
tuberculosis bersifat tahan asam, yaitu apabila sekali diwarnai akan tetap tahan terhadap
upaya penghilangan zat warna tersebut dengan larutan asam alkohol.
Komponen antigen ditemukan di dinding sel dan sitoplasma yaitu komponen
lipid, polisakarida dan protein. Karakteristik antigen M. tuberculosis dapat diidentifikasi
dengan menggunakan antibodi monoklonal . Saat ini telah dikenal purified antigens
dengan berat molekul 14 kDa (kiloDalton), 19 kDa, 38 kDa, 65 kDa yang memberikan
sensitiviti dan spesifisiti yang bervariasi dalam mendiagnosis TB. Ada juga yang
menggolongkan antigen M. tuberculosis dalam kelompok antigen yang disekresi dan yang
tidak disekresi (somatik). Antigen yang disekresi hanya dihasilkan oleh basil yang hidup,
contohnya antigen 30.000 a, protein MTP 40 dan lain lain.
D. Biomolekuler
Genom M. tuberculosis mempunyai ukuran 4,4 Mb (mega base) dengan
kandungan guanin (G) dan sitosin (C) terbanyak. Dari hasil pemetaan gen, telah diketahui
lebih dari 165 gen dan penanda genetik yang dibagi dalam 3 kelompok. Kelompok 1 gen
yang merupakan sikuen DNA mikobakteria yang selalu ada (conserved) sebagai DNA
target, kelompok II merupakan sikuen DNA yang menyandi antigen protein, sedangkan
kelompok III adalah sikuen DNA ulangan seperti elemen sisipan.
Gen pab dan gen groEL masing masing menyandi protein berikatan posfat
misalnya protein 38 kDa dan protein kejut panas (heat shock protein) seperti protein 65
kDa, gen katG menyandi katalase-peroksidase dan gen 16SrRNA (rrs) menyandi protein
ribosomal S12 sedangkan gen rpoB menyandi RNA polimerase.
Sikuen sisipan DNA (IS) adalah elemen genetik yang mobile. Lebih dari 16 IS
ada dalam mikobakteria antara lain IS6110, IS1081 dan elemen seperti IS (IS-like
element). Deteksi gen tersebut dapat dilakukan dengan teknik PCR dan RFLP.
E. Patogenese
Penyebab utama ITB adalah Mycobacterium tuberculosis. ITB mungkin karena
infeksi primer, atau reaktivasi disertai infeksi sekunder, biasanya dari fokus paru primer.
Rute infeksi pada saluran pencernaan adalah dengan menelan dahak yang mengandung
basil M. tuberculosis dari fokus aktif dalam paru-paru, penyebaran hematogen dari paruparu, dari terinfeksi kelenjar getah bening dan menyebar langsung dari organ-organ yang
3

berdekatan. Produk susu dari Susu yang tidak dipasteurisasi dianggap sebagai rute utama
penularan TB zoonosis yang disebabkan oleh Mycobacterium bovis di negara-negara di
mana tidak ada program pemberantasan yang efektif. Namun di Inggris, M. bovis hanya
0,5 -1.5% dari semua kasus TB yang dikonfirmasi. Sebuah kasus langka ITB pada bayi
usia 90 hari adalah karena transmisi postnatal dari ibu.
F. Patologi
Regio ileocaecal adalah tempat yang paling sering terkena, meskipun ATB dapat
menyerang tempat-tempat lain di dalam saluran pencernaan , kelenjar getah bening yang
terkait dan atau peritoneum .
ITB biasanya memiliki satu dari tiga bentuk : ulseratif , hipertrofi atau
ulcerohypertrophic atau berserat. Granuloma tuberkulosis awalnya terbentuk di mukosa
atau plak Peyeri ,membentuk ulserasi sementara yang relatif dangkal, dengan gambaran
yang berbeda dari penyakit Crohn . ITB dan komplikasinya berlangsung lambat, terutama
jika terdapat obstruksi akibat massa ( tuberculoma ) yang akut atau sub akut.
pembentukan striktur di regio ileocaecal atau perforasi dapat menyebabkan terjadinya
peritonitis .
TB Peritoneal ( PTB ) merupakan penyakit yang jarang . PTB di peritoneum
terdapat tuberkel yang berwarna kuning putih dan gejala klinis ATB sulit didiagnosis
karena kurangnya gejala dan manifestasi yang spesifik. Sekitar 40 % kasus ATB berasal
dari saluran pencernaan. Diagnosis ITB sulit dibedakan dari penyakit Crohn, meskipun
gejala ITB seperti gejala penyakit lain misalnya: abdomen akut , karsinoma , malabsorpsi
atau perforasi . Pasien ITB sering mengalami demam, keringat malam dan penurunan
berat badan, kebiasaan buang air besar berubah, dan sakit perut. Jika rongga perut terlibat
kemungkinan ditemukan adanya ascites. Pada beberapa pasien dengan sirosis hati
berhubungan dengan Peritoneal TB.
Pada pasien ITB, semua regio dari kerongkongan sampai rektum mungkin
terlibat. TB esofagus sangat jarang dan gejalanya menyerupai karsinoma esofagus . TB
lambung menyerupai penyakit maag atau gejala obstruksi pilorus , sehingga sulit
dibedakan dengan adenokarsinoma . tanda TB ileocaecal adalah nyeri perut , terdapat
massa di fossa iliaka kanan dan / atau perubahan kebiasaan buang air besar dan
perdarahan, gejala ini menyerupai penyakit Crohn , karsinoma , amoebiasis ,demam
enterik atau Yersinia enterocolitica . TB kolon terjadi pada 10 % kasus , gejala
menyerupai karsinoma dan lebih jarang terjadinya kolitis ulserativa . pada TB dubur
4

gejala yang dominan adalah pendarahan. pada TB anal , terdapat fistula yang umum , baik
menyerupai karsinoma atau penyakit Crohn . Gejala utama yang muncul terdapat pada
Tabel 1 meskipun frekuensi sedikit Pada anak-anak gejala PTB mirip dengan sakit perut ,
demam dan ascites. Malnutrisi adalah gejala utama dari ATB pada anak-anak.

Tabel. 1 Perbedaan Gejala TB Abdominal


G. Gejala Klinis
Gejala klinis bervariasi, pada umumnya keluhan dan gejala timbul perlahan
lahan sampai berbulan-bulan, sering penderita tidak menyadari keadaan ini. Keluhan
terjadi secara perlahan-lahan sampai berbulan-bulan disertai nyeri perut, pembengkakan
perut, disusul tidak nafsu makan, batuk dan demam
Pada yang tipe plastik sakit perut lebih terasa dan muncul manisfestasi seperti
sub obstruksi.
Pada pemeriksaan Fisik gejala yang sering dijumpai adalah asites, demam,
pembengkakan perut, nyeri perut, pucat dan kelelahan, tergantung lamanya keluhan.
H. Diagnosis :
Kriteria untuk mendiagnosis ATB adalah bukti histologis granuloma kaseosa dengan basil
tahan asam pada Ziehl Neelsen dan kulture / PCR positif. Ketika pasien datang dengan
obstruksi

abdomen akut, diagnosis biasanya dibuat selama operasi, atau dengan

pemeriksaan dari hapus jaringan. Utilitas diagnostik utama adalah pencitraan, biopsi
5

untuk histologi dan kultur. patologi klinik, imunologi dan teknik amplifikasi asam nukleat
tidak digunakan secara rutin tapi memiliki potensi. Pencitraan BNO tidak menghasilkan
informasi spesifik mengidentifikasi ATB tetapi dapat mengungkapkan obstruksi atau
perforasi dan kalsifikasi kelenjar getah bening mesenterika. Pemakaian kontras barium
adalah sangat berguna dalam menunjukkan lesi mukosa. Teknik-teknik pencitraan utama
adalah ultrasonografi, computerized tomography aksial (CT), tomografi emisi positron
(PET) dan magnetic resonance imaging ( MRI).
Laboratorium :
Pemeriksaan darah tepi sering dijumpai adanya anemia penyakit kronis,
leukositosis ringan ataupun leukopenia , trombositosis, gangguan faal hati dan sering
dijumpai laju endap darah (LED) yang meningkat, sedangkan pada pemeriksaan tes
tuberculin hasilnya sering negative.
Pada pemeriksaan analisa cairan asites umumnya memperlihatkan exudat
dengan protein > 3 gr/dl jumlah sel diatas 100-3000sel/ml. Biasanya lebih dari 90%
adalah limfosit LDH biasanya meningkat.
Cairan asites yang perulen dapat ditemukan begitu juga cairan asites yang
bercampur darah (serosanguinous). Pemeriksaan basil tahan asam (BTA) didapati
hasilnya kurang dari 5 % yang positif dan dengan kultur cairan ditemukan kurang dari
20% hasilnya positif. Ada beberapa peneliti yang mendapatkan hampir 66% kultur
BTAnya yang positif dan akan lebih meningkat lagi sampai 83% bila menggunakan kultur
cairan asites yang telah disetrifuge dengan jumlah cairan lebih dari 1 liter. Dan hasil
kultur cairan asites ini dapat diperoleh dalam waktu 4-8 minggu.
Perbandingan serum asites albumin (SAAG) pada tuberculosis peritoneal
ditemukan rasionya < 1,1 gr/dl namun hal ini juga bisa dijumpai pada keadaan keganasan,
sindroma neprotik, penyakit pancreas , kandung empedu atau jaringan ikat sedangkan bila
ditemukan >1,1 gr/dl ini merupakan cairan asites akibat portal hipertensi.
Perbandingan glukosa cairan asites dengan darah pada tuberculosis peritoneal
<0,96 sedangkan pada asites dengan penyebab lain rationya >0,96. Penurunan PH cairan
asites dan peningkatan kadar laktat dapat dijumpai pada tuberculosis peritoneal dan
dijumpai signifikan berbeda dengan cairan asites pada sirosis hati yang steril, namun
pemeriksaan PH dan kadar laktat cairan asites ini kurang spesifik dan belum merupakan
suatu kepastian karena hal ini juga dijumpai pada kasus asites oleh karena keganasan atau
spontaneous bacterial peritonitis.

Pemeriksaan cairan asites lain yang sangat membantu, cepat dan non invasive
adalah pemeriksaan ADA (adenosin deminase actifity), interferon gama (IFN) dan PCR.
Dengan kadar ADA > 33 u/l mempunyai Sensitifitas 100%. Spesifitas 95%, dan dengan
Cutt off > 33 u/l mengurangi false positif dari sirosis hati atau malignancy.
Pada sirosis hati konsentrasi ADA signifikan lebih rendah dari tuberculosis
peritoneal (14 10,6 u/l) Hafta A dkk dalam suatu penelitian yang membandingkan
konsentrasi ADA terhadap pasien tuberculosis peritoneal , tuberculosis peritoneal
bersamaan dengan sirosis hati dan passien-pasien yang hanya sirosis hati. Mereka
mendapatkan nilai ADA 131,1 38,1, u/l pada pasien tuberculosis peritoneal, 29 18,6
u/l pada pasien tuberculosis dengan sirosis hati dan 12,9 7 u/l pada pasien yang hanya
mempunyai sirosis hati, sedangkan pada pasien dengan konsentrasi protein yang rendah
dijumpai Nilai ADA yang sangat rendah sehingga mereka menyimpulkan pada
konsentrasi asietas dengan protein yang rendah nilai ADA dapat menjadi falsenegatif.
Untuk ini pemeriksaan Gama interferon (INF) adalah lebih baik walaupun nilainya
dalah sama dengan pemeriksaan ADA, sedangkan pada pemeriksaan PCR hasilnya lebih
rendah lagi disbanding kedua pemeriksaan tersebut.
Fathy ME melaporkan angka sensitifitas untuk pemeriksaan tuberculosis
peritoneal terhadap Gama interferon adalah 90,9 % , ADA : 18,8% dan PCR 36,3%
dengan masing-masing spesifitas 100%. Peneliti lain yang meneliti kadar ADA adalah
Bargava. Bargava dkk melakukan penelitian terhadap kadar ADA pada cairan esites dan
serum penderita peritoneal tuberculosis. Kadar ADA >36 u/l pada cairan esites dan > 54
u/l pada serum mendukung suatu diagnosis tuberculosis peritoneal. Perbandingan cairan
asites dan serum (asscitic / serum ADA ratio) lebih tingggi pada tuberculosis peritoneal
dari pada kasus lain seperti sirosis, sirosisdengan spontaneous bacterial peritonitis,Budd
chiary dan Ratio > 0,984 menyokong suatu tuberculosis.
Pemeriksaan lain adalah pemeriksaan CA-125.CA-125 (Canker antigen 125)
termasuk tumor associated glycoprotein dan terdapat pada permukaan sel. CA-125
merupakan antigen yang terkait karsinoma ovarium, antigen ini tidak ditemukan pada
ovarium orang dewasa normal, namun CA-125 ini dilaporkan, juga meningkat pada
keadaan benigna dan maligna, dimana kira-kira 80% meningkat pada wanita dengan
keganasan ovarium, 26% pada trimester pertama kehamilan, menstruasi, endometriosis,
myoma uteri daan salpingitis, juga kanker primer ginekologi yang lain seperti
endometrium, tuba falopi, endocervix, pancreas, ginjal, colon juga pada kondisi yang
bukan keganasan seperti gagal ginjal kronik, penyakit autoimum, pancreas, sirosis hati,
7

peradangan peritoneum seperti tuberculosis, pericardium dan pleura, namun beberapa


laporan yang menemukan peningkatan kadar CA-25 pada penderita tuberkulossis
peritoneal.
Zain LH di Medan pada tahun 1996 menemukan dari 8 kasus tuberculosis
peritoneal dijumpai kadar CA-125 meninggi dengan kadar rata-rata 370,7 u/ml (66,2
907 u/ml) dan menyimpulkan bila dijumpai peninggian serum CA-125 disertai dengan
cairan asites yang eksudat, jumlah sel > 350/m3, limfosit yang dominan maka
tuberculosis peritoneal dapat dipertimbangkan sebagai diagnose.
I. Pemeriksaan Penunjang :
1. Pemeriksaan Rontgen :
Pemeriksaan sinar tembus pada system pencernaan mungkin dapat membantu
jika didapat kelainan usus kecil atau usus besar
2. Ultrasonografi :
Pada pemeriksaan ultrasonografi (USG) dapat dilihat adanya cairan dalam
rongga peritoneum yang bebas atau terfiksasi (dalam bentuk kantong-kantong)
menurut Rama & Walter B, gambaran sonografi tuberculosis yang sering dijumpai
antara lain cairan yang bebas atau terlokalisasi dalam rongga abdomen, abses dalam
rongga abdomen, masa didaerah ileosaecal dan pembesaran kelenjar limfe
retroperitoneal, adanya penebalan mesenterium, perlengketan lumen usus dan
penebalan omentum, mungkin bisa dilihat dan harus diperiksa dengan seksama
Mizzunoe dkk berhasil menggunakan USG sebagai alat Bantu biopsy secara tertutup
dalam menegakkan diagnosa peritonitis tuberkulosa.
3. CT Scan :
Pemeriksaan CT Scan untuk peritoneal tuberculosis tidak ada ditemui suatu
gambaran yang khas, namun secara umum ditemui adanya gambaran peritoneum yang
berpasir dan untuk pembuktiannya perlu dijumpai bersamaan dengan adanya gejala
klinik dari tuberculosis peritoneal.
Rodriguez E dkk yang melakukan suatu penelitian yang membandingkan
tuberculosis peritoneal dengan karsinoma peritoneal dan karsinoma peritoneal dengan
melihat gambaran CT Scan terhadap peritoneum parietalis. Adanya peritoneum yang
licin dengan penebalan yang minimal dan pembesaran yang jelas menunjukkan suatu
peritoneum tuberculosis sedangkan adanya nodul yang tertanam dan penebalan
peritoneum yang teratur menunjukkan suatu perintoneal karsinoma.
8

4. Peritonoskopi (Laparoskopi)
Peritonoskopi / laparoskopi merupakan cara yang relatif aman, mudah dan
terbaik untuk mendiagnosa tuberculosis peritoneal terutama bila ada cairan asites dan
sangat berguna untuk mendapat diagnosa pasien-pasien muda dengan simtom sakit
perut yang tak jelas penyebabnya dan cara ini dapat mendiagnosa tuberculosis
peritoneal 85% sampai 95% dan dengan biopsy yang terarah dapat dilakukukan
pemeriksaan histology dan bisa menemukan adanya gambaran granuloma sebesar
85% hingga 90% dari seluruh kasus dan bila dilakukan kultur bisa ditemui BTA
hampir 75%. Hasil histology yang lebih penting lagi adalah bila didapat granuloma
yang lebih spesifik yaitu jika didapati granuloma dengan pengkejutan.
Gambaran yang dapat dilihat pada tuberculosis peritoneal :
1. Tuberkel kecil ataupun besar dengan ukuran yang bervariasi yang dijumpai
tersebar luas pada dinding peritoneum dan usus dan dapat pula dijumpai
permukaan hati atau alat lain tuberkel dapat bergabung dan merupakan sebagai
nodul.
2. Perlengketan yang dapat berpariasi dari ahanya sederhana sampai hebat(luas)
diantara alat-alat didalam rongga peritoneum. Sering keadaan ini merubah
letak anatomi yang normal. Permukaan hati dapat melengket pada dinding
peritoneum dan sulit untuk dikenali. Perlengketan diantara usus mesenterium
dan peritoneum dapat sangat ekstensif.
3. Peritoneum sering mengalami perubahan dengan permukaan yang sangat kasar
yang kadang-kadang berubah gambarannya menyerupai nodul.
4. Cairan esites sering dujumpai berwarna kuning jernih, kadang-kadang cairan
tidak jernih lagi tetapi menjadi keruh, cairan yang hemoragis juga dapat
dijumpai.
Biopsi dapat ditujukan pada tuberkel-tuberkel secara terarah atau pada
jaringan lain yang tersangka mengalami kelainan dengan menggunakanalat biopsy
khusus sekaligus cairan dapat dikeluarkan. Walupun pada umumnya gambaran
peritonoskopi peritonitis tuberculosis dapat dikenal dengan mudah, namun gambaran
gambarannya bisa menyerupai penyakit lain seperti peritonitis karsinomatosis, karena
itu biopsy harus selalu diusahakan dan pengobatan sebaiknya diberikan jika hasil
pemeriksaan

patologi

anatomi

menyokong

suatu

peritonitis

tuberkulosa.

Peritonoskopi tidak selalu mudah dikerjakan dan dari 30 kasus, 4 kasus tidak
dilakukan peritonoskopi karena secara tehnis dianggap mengandung bahaya dan sukar
dikerjakan.
9

Adanya jaringan perlengketan yang luas akan merupakan hambatan dan


kesulitan dalam memasukkan trokar dan lebih lanjut ruangan yang sempit di dalam
rongga abdomen juga menyulitkan pemeriksaan dan tidak jarang alat peritonoskopi
terperangkap didalam suatu rongga yang penuh dengan perlengketan, sehingga sulit
untuk mengenal gambaran anatomi alat-alat yang normal dan dalam keadaan
demikian maka sebaiknya dilakukan laparotomi diagnostic.
5. Laparatomi
Dahulu laparotomi eksplorasi merupakan tindakan diagnosa yang sering
dilakukan, namunsaat ini banyak penulis menganggap pembedahan hanya dilakukan
jika dengan cara yang lebih sederhana tidak meberikan kepastian diagnosa atau jika
dijumpai indikasi yang mendesak seperti obstruksi usus, perforasi, adanya cairan
asites yang bernanah.
J. Pengobatan :
Pada dasarnya pebngobatan sama dengan pengobatan tuberculosis paru, obatobat seperti streptomisin,INH,Etambutol,Ripamficin dan pirazinamid memberikan hasil
yang baik, dan perbaikan akan terlihat setelah 2 bulan pengobatan dan lamanya
pengobatan biasanya mencapai sembilan bulan sampai 18 bulan atau lebih.
Beberapa penulis berpendapat bahwa kortikosteroid dapat mengurangi
perlengketan peradangan dan mengurangi terjadinya asites. Dan juga terbukti bahwa
kortikosteroid dapat mengurangi angka kesakitan dan kematian,namun pemberian
kortikosteroid ini harus dicegah pada daerah endemis dimana terjadi resistensi terhadap
Mikobakterium tuberculosis.
Alrajhi dkk yang mengadakan penelitian secara retrospektif terhadap 35 pasien
dengan tuberculosis peritoneal mendapatkan bahwa pemberian kortikosteroid sebagai
obat tambahan terbukti dapat mengurangi insidensi sdakit perut dan sumbatan pada usus.
Pada kasus-kasus yang dilakukan peritonoskopi sesudah pengobatan terlihat
bahwa partikel menghilang namun di beberapa tempat masih dilihat adanya perlengketan.
Bedah merupakan manajemen konservatif , Perforasi dikelola dengan reseksi
dan anastomosis dan obstruksi dikelola oleh strictureplasty , atau pada kasus berat dengan
reseksi. Obstruksi dan fistula mungkin merespon dengan manajemen murni medis.
Karena tantangan diagnostik sulit ATB , indeks kecurigaan yang tinggi diperlukan ,
khususnya di daerah nonendemic , sebagai pengobatan medis dapat bersifat kuratif dan
dan mencegah operasi yang tidak perlu .

10

K. Prognosis :
Intestinal tuberkulosa jika dapat segera ditegakkan dan mendapat pengobatan
umumnya akan menyembuh dengan pengobatan yang adequate.

11

BAB III
KESIMPULAN
1. Tuberkulosis intestinal biasanya merupakan proses kelanjutan tuberkulosa ditempat
lain
2. Oleh karena itu gejala klinis yang bervariasi dan timbulnya perlahan-lahan sering
diagnosa terlambat baru diketahui.
3. Dengan pemeriksaan diagnostik, laboratorium dan pemeriksaan penunjang lainnya
dapat membantu menegakkan diagnose
4. Dengan pemberian obat anti tuberkulosa yang adekuat biasanya pasien akan sembuh.
5. Pembedahan dilakukan jika terdapat komplikasi

12

DAFTAR PUSTAKA
Sjamsuhidayat R, Wim de jong. Buku Ajar ilmu Bedah, edisi 2. Jakarta : EGC, 2004. Pp.747748.
Sulaiman A. Peritonitis tuberkulosa. Dalam : Sulaiman A, Daldiyono, Akbar N, Rani A Buku
ajar gartroenterologi hepatologi Jakarta : Infomedika 2000: 456-61
Ahmad M. Tuberkulosis Intestinal : fatality associated with delayed diagnosis. South Med J
1999:92:406-408.
Zain LH.Peran analisa cairan asites dan serum Ca 125 dalam mendiagnosa TBC peritoneum
Dalam : Acang N, Nelwan RHH,Syamsuru W ed.Padang : KOPAPDI X,1996:95
Sulaiman A. Peritonisis tuberculosa dalam : Hadi S, Thahir G, Daldiyono,Rani
A,Akbar N. Endoskopi dalam bidang Gastroentero Hepatologi Jakarta : PEGI 1980:265-70
Small Pm,Seller UM. Abdominal tuberculosis in : Strickland GT ed Hunters tropical
medicine and emerging infection disease. 8th Philadelpia : WB Sounders Company 2000 :
503-4

13

You might also like