You are on page 1of 26

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang
Sejak di temukan dan berkembangnya antibiotika maka penyakit infeksi pada ruang

leher, angka morbiditas dan mortalitasnya menjadi menurun. Namun infeksi pada ruang leher
atau infeksi pada leher dalam ini masih kerap terjadi. Hal ini didukung dengan penyalahgunaan
obat (drug abuser) yang sering menyuntikkan langsung ke pembuluh darah leher. Selain karena
penyalahgunaan obat , infeksi faringotonsilar dan odontogenik juga sering menjadi penyebabnya.
Namun, sekitar 22-50% pasien dengan infeksi leher dalam penyebabnya masih belum dapat
diketahui pasti.
Pengetahuan tentang infeksi leher dalam perlu diketahui dengan baik karena abses yang
terjadi akibat infeksi leher dalam ini dapat menimbulkan berbagai komplikasi yang bahkan
bersifat mengancam nyawa penderita. Komplikasi dari infeksi leher dalam tersebut antara lain
seperti perdarahan, asfiksia, disfagia, serta mediastinitis bahkan dapat sampai kanker leher.
Selain itu komplikasi yang paling berbahaya dari abses akibat infeksi leher dalam ini adalah
tersumbatnya saluran pernafasan akibat tertutup oleh massa abses tersebut, apabila pecah, abses
akibat infeksi leher dalam ini juga dapat menyebabkan aspirasi pus pada pasien. Bakteri
penyebab dari infeksi leher dalam paling sering masuk melalui infeksi di gigi atau odontogenik ,
infeksi tonsil dan melalui faring. Dalam angka insidensi yang lebih jarang, sumber infeksi lain
adalah infeksi pada kelenjar ludah dan infeksi saluran nafas atas lain.
Pemberian antibiotika yang sesuai dengan hasil kultur bakteri penyebab abses pada
rongga dalam leher merupakan terapi utama untuk pasien yang menderita abses leher bagian
dalam. Namun penggunaan antibiotika dalam jangka panjang atau lama dapat menyebabkan
pembentukan abses yang tersembunyi, dimana keadaan ini tidak ditemukan adanya gejala-gejala
sistemik serta pemeriksaan kultur darah maupun pus abses akan menjadi negatif.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1

2.1. Anatomi Leher


Leher dikelilingi oleh kulit yang melekat pada jaringan di bawahnya yaitu fascia
profunda melalui fibrofatty tissue atau fascia superfisialis. Selain jaringan lemak subkutan pada
fasia superfisialis juga terdapat pembuluh darah dan saraf superfisialis. Semua fascia yang
berada dibawah fascia superfisialis adalah fascia profunda. Sebagian fascia profunda tanpa
jaringan lemak. Hal ini menyebabkan tingkat ketebalan fascia dalam berbeda pada setiap area.
Dibawah fascia superfisial dan fascia profunda terdapat ruang potensial yang memisahkan fascia
servikalis superfisial dengan fascia servikalis profunda sehingga memungkinkan terjadinya
pergerakan bebas dari kulit dan fascia superfisial dan struktur dibawahnya
Fascia profunda dibagi menjadi 3 sub bagian :
1. Lapisan superfisialis fasia profunda leher
Lapisan superfisialis ini berbeda dengan fascia superfisialis yang telah dijelaskan
sebelumnya. Lapisan ini, yang merupakan bagian dari fascia leher dalam, adalah
berupa jaringan fibrosa pada leher yang meliputi 2 kelenjar yaitu kelenjar parotis dan
kelenjar submandibular, 2 otot yaitu m. Trapezius dan m. Strenocleidomastoideus.
2. Lapisan media fasia profunda leher
Lapisan media dibagi menjadi dua bagian :
a. Lapisan otot
Lapisan ini melekat pada bagian superior os hyoid dan tulang rawan tiroid serta
ke bagian inferior sternum, klavikula dan scapula.
b. Lapisan viseral
Bagian viseralnya mengelilingi trakea, esophagus dan kelenjar tiroid. Bagian ini
juga meluas sampai ke thorax di sekitar trakea dan esophagus dan menyatu
dengan pericardium. Oleh karena itu, infeksi antara bagian otot dan visera pada
fasia profunda dapat meluas sampai ke mediastinum.
3. Lapisan dalam fasia profunda leher
Terdiri atas:
a. Fascia prevertebra
Terletak di sebelah anterior dari vertebra dan meluas ke arah lateral sampai ke otot
prevertebra. Merupakan pembentuk dinding posterior danger space .
b. Fascia alar

Terletak diantara fascia prevertebra dan bagian visceral dari lapisan media fascia
leher profunda. Fascia alar merupakan pembentuk dinding posterior rongga
retrofaring dan dinding anterior danger space.

Gambar 2. Potongan melintang leher setinggi thiroid

Gambar 3. Potongan midsagital pada leher


Ruang Ruang Yang Meliputi Sepanjang Ruas Leher :
1. Ruang Retrofaringeal
Ruang retrofaringeal merupakan ruang yang terdapat tepat di sebelah posterior faring
yang dibatas oleh fascia otot dan facial alar. Ruang ini terbagi dua, kiri dan kanan yang
di pisahkan oleh garis tengah raphe tempat melekatnya otot konstriktor.
2. Danger space

Ruang ini terletak diantara ruang retrofaringal dan ruang prevertebra dan dipisahkan oleh
lapisan dalam fasia profunda leher yaitu fascia alar dan fascia prevertebra. Abses pada
ruang ini berisiko menyebar ke bagian dasar tengkorak maupun mediastinum posterior.
3. Ruang prevertebra
Ruang ini merupakan ruang yang terdapat tepar pada bagian anterior vertebra dan
posterior dari lapisan prevertebra pada fascia profunda leher.
4. Ruang vaskular dalam
Ruang vaskular dalam terletak di dalam selubung karotis yang terdiri dari arteri karotis,
vena jugular interna,nervus vagus.

Ruang Diatas Tulang Hyoid


Gambar 4. Potongan melintang leher setinggi orofaring.1. Ruang
faringomaksila;
1. Ruang parafaring2. Ruang vascular dalam; 3. Ruang retrofaringal; 4. Danger
space; 5. Ruang prevertebra; AD Alar Division PD Prevertebral Division
Ruang ini disebut juga ruang pharyngeal lateralis, parapharyngeal atau perypharyngeal.
Bentuk anatomis ruangan parafaring ini analog dengan bentuk pyramid terbalik yang
terletak di dinding lateral leher kiri dan kanan. Batas anatomis dari ruang parafaring ini
adalah dasar dari ruang ini terletak pada dasar tengkorak, bagian apeks atau puncak
piramid dari ruang ini terletak pada kornu mayor tulang hyoid. Sedangkan bagian medial
dari ruang ini dibatasi oleh fasia visceralis dari fasia profunda leher dan bagian lateralnya
dibatasi oleh fasia superfisial dari fasia profunda leher. Ruang parafaring dibagi dua :
ruang prestyloid dan poststyloid yang berbeda secara patologi. Bila terjadi infeksi pada
ruang ini maka gejala klinis yang sering kali ditimbulkan adalah trismus.
2. Ruang Submandibular
4

Ruang ini terletak diantara mukosa dasar mulut dan lapisan superfisialis dari fasia
profunda leher. Bagian inferior dari ruang submandibular dibatas oleh os hyoid dan os
mandibula sebagai batas anterior dan lateral. Bagian posteriornya terdiri atas otot lidah.
Ruang ini dipisahkan oleh m. Mylohyoid menjadi ruang sublingual di superior dan ruang
submaksilaris di inferior. Seluruh kompartemen terletak antara dasar mukosa mulut dan
fascia servikalis profunda lapis superfisial.
Ruang Submandibular dibagi 2 oleh m. Mylohyoid menjadi:
a. Ruang sublingual (superior) berisi kelenjar sublingual.
Pada ruang sublingual terdapat duktus Wharton yang terdiri dari kelenjar saliva
sublingual dan nervus hypoglosus. Hal ini menjelaskan gejala klinis pada Ludwig
angina menyebabkan naiknya dasar mulut dan pembengkakkan pada area
submandibula dan submental. Infeksi odontogenik juga meluas sampai ke ruang ini.
b. Ruang submaksila (inferior) berisi kelenjar submandibular dan kelenjar getah bening
3. Ruang mastikator
Ruang ini terletak di anterior dan lateral dari pharyngomaxillary space dan di inferior
dari ruang temporal. Lapis superfisial dari fascia servikalis dalam terpecah untuk
mengelilingi mandibula sehingga membentuk ruang potensial ini dan menutupi otot
mastikator. Ruang ini berisi : M. Masster, M. Pterygoid internal dan eksternal, Ramus dan
corpus mandibula, Tendo m. Temporalis, N. Alveolaris inferior, A.Alveolaris inferior

4. Ruang peritonsilar
Ruang ini terletak di lateral kapsul tonsil hingga bagian medial dari otot konstriktor
superior. Palatoglosus dan Palatopharingeus yang merupakan pilar faring anterior dan
posterior, merupakan batas anterior dan posterior ruang peritonsilar ini. Inflamasi dari
ruang ini disebut peritonsilitis dan dapat membentuk abses atau quinsy. Pus juga dapat
menyebar dari ruangan ini ke ruang parafaring yang akan menimbulkan gejala berupa
trismus.
5. Ruang Parotis
Fascia servikalis profunda lapis superficial terpecah untuk membungkus kelenjar parotis
dan kelenjar-kelenjar limfe di sekitarnya membentuk ruang parotis. Ruang ini berisi : A.
Carotis eksterna, V. Fasialis posterior, N. Fasialis, Limfonodus
5

6. Ruang temporal
Ruang ini terletak diantara fascia temporalis di lateral dan di medial dengan periosteum
os. Temporal. M. temporalis membagi ruang ini menjadi superficial, profunda dan arteri
maksilari interna terletak di dalamnya.
Ruang Ruang di bawah Os Hyoid
1. Anterior Visceral Space
Ruang viseral anterior ini juga disebut ruang pretrakea dan terletak di anterior leher dari
kartilago tiroid turun sampai ke mediastinum superior setinggi vertebra torakal 4, dekat
arkus aorta. Ruang ini mengelilingi trakea dan berisi kelenjar tiroid dan paratiroid.

2. Ruang suprastrenal
Ruang suprasternal terletak di atas sternal notch diantara klavikula dimana lapisan
superficial dari fascia leher profunda terpisah di lapisan ini.

Gambar 5. Potongan oblik daerah leher yang menunukkan rongga-rongga di leher di atas tulang
hyoid.

2.2. Abses Leher Dalam


2.2.1 Etiologi
Sumber infeksi dan gambaran klinis abses leher dalam berbeda pada anak dan dewasa.
Pada era pre-antibiotik, 70% infeksi berasal dari faring dan tonsil. Pada anak infeksi faring dan
tonsil masih sering terjadi. Intervensi dengan menggunakan antibiotik telah menurunkan angka
kejadian infeksi pada saluran napas atas yang merupakan sumber utama infeksi leher dalam pada
dewasa. Akibatnya, pada pasien dewasa, sumber infeksi lebih sering merupakan suatu
6

penyebaran infeksi secara langsung dari infeksi odontogenik ataupun infeksi kelenjar liur
daripada infeksi dari faring. Penyalahgunaan obat intravena dan injeksi vena jugular pada tempat
yang terkontaminasi, termasuk dalam risiko yang mungkin menyebabkan infeksi leher dalam.
Bakteri penyebab infeksi maupun abses leher dalam dapat merupakan bakteri aerobic
maupun bakteri anaerobic. Diantara organisme aerobic, Streptococcus viridians

dan

beta

hemolitik streptokokus dan stafilokokus sering ditemukan di abses dengan predisposisi


penggunaan obat-obatan terlarang.
Pada pasien anak dengan usia kurang dari 9 bulan, Staphylococcus aureus merupakan
organisme yang paling banyak ditemukan pada abses berada di segitiga leher anterior dan
posterior. Bakteri tersebut ditemukan pada 80% kasus ini.
2.2.2. Jenis Abses Leher Dalam
2.2.2.1 Abses Retrofaringeal
Definisi
Abses retrofaring merupakan abses leher dalam yang paling sering terjadi
pada anak-anak berumur dibawah 5 tahun. Abses retrofaring merupakan abses
yang terbentuk di rongga retrofaring yaitu rongga yang terletak persis di belakang
faring, mulai dari basis cranii hingga sepanjang faring. Rongga ini sebenarnya
terdiri dari dua sisi yaitu kanan dan kiri yang dipisahkan oleh raphe, tempat
melekatnya otot konstriktor superior faring. Abses pada rongga retrofaringeal
sering terjadi pada anak-anak karena adanya kelenjar limfe yang akan mengalami
atrofi pada saat anak berumur 5 tahun, sehingga setelah kelenjar limfe tersebut
mengalami atrofi, penyebaran infeksi ke ruang retrofaringeal ini akan berkurang
insidensinya.
Sebelah

anterior

dari

rongga

retrofaring

dibatasi

oleh

fasia

buccopharyngeal, yaitu fascia yang membungkus faring, trakea, esofagus, dan


tiroid. Sebelah posterior rongga ini dibatasi oleh fascia alaris yang membatasi
rongga ini dari danger space. Sebelah lateral dibatasi oleh rongga parafaring
dan selubung arteri carotis. Superior dibatasi oleh basis cranii, dan inferior
dibatasi oleh mediastinum pada tingkat bifurkasi trakea.
Etiologi
7

Infeksi saluran pernapasan atas yang menyebar hingga ke kelenjar limfe di


rongga retrofaring merupakan penyebab paling sering terjadinya abses retrofaring.
Infeksi ini dapat berasal dari infeksi di faring, tonsil, adenoid, sinus paranasal dan
kelenjar limfe servikal. Penyebab lain selain infeksi adalah terjadinya trauma,
benda asing pada daerah nasofaring maupun tindakan-tindakan medis yang
bersifat invasif seperti intubasi endotrakeal, operasi, laringoskopi, dan endoskopi.
Pada orang dewasa, abses disebabkan oleh adanya infeksi tuberkulosis.
Bakteri yang paling sering ditemukan adalah dari golongan gram positif
yaitu Streptococcus viridians, Stretococcus beta hemolitikus, dan Staphylococcus
aureus.
Manifestasi Klinis
Pasien yang menderita abses retrofaring, terutama pada pasien anak, akan
memberikan gambaran gejala-gejala yang tidak spesifik seperti demam, malaise,
berkurangnya nafsu makan dan menjadi lebih rewel. Pasien sering kali juga
mengeluhkan adanya nyeri tenggorokan, sulit menelan dan sakit, serta kaku pada
leher. Dapat juga terjadi sumbatan jalan nafas yang dapat membahayakan nyawa
pasien.
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan adanya febris, adanya disfonia
berupa hot potato voices, leher yang kaku, limfadenopati servikal. Pada
inspeksi cavum oral akan didapatkan adanya penonjolan di dinding posterior
faring. Penonjolan ini biasanya terletak agak ke lateral, tidak di garis tengah,
karena kelenjar limfe terletak di sebelah lateral.

Gambar 6. Penonjolan dari dinding posterior orofaring.

Tabel 1. Gejala dan Tanda Abses Retrofaring


Gejala dan tanda
Insiden (%)
Lebih sering pada anak <1 tahun
Menurunnya intek oral
92
Tidak
Nyeri

leher

(terutama

jika

89

Tidak

Odynophagia

59-86

Tidak

Pembengkakan

79-83

Ya

79-83

Ya

Dysphagia

81

Ya

Anorexia

81

Tidak

Ileran (drooling)

26

Tidak

Trismus

18-19

Tidak

Disfonia

Tidak

Dyspnea

Tidak

19-31

Ya

digerakkan)/toricollis

leher/massa/limfadenopati
Demam

Stridor
Sleep apnea syndromme

Tidak

Diagnosis
Diagnosis dari abses retrofaring didapatkan dari anamnesa dan
pemeriksaan fisik yang teliti perlu dilakukan untuk dapat menegakkan diagnosis
atau memberikan gambaran klinis abses retrofaring. Anak mungkin akan menjadi
lebih rewel, tampak kesakitan, atau menangis. Pada anamnesa perlu ditanyakan
riwayat infeksi saluran nafas atas, riwayat trauma baik benda asing maupun
tindakan medis.
Terdapat beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat digunakan untuk
membantu menegakkan diagnosis dari abses retrofaring diantaranya pemeriksaan
hematologi untuk membantu menentukan adanya suatu infeksi atau inflamasi
seperti pemeriksaan darah lengkap dan laju endap darah. Pemeriksaan kultur dan
uji resistensi juga perlu dilakukan untuk mengetahui secara pasti bakteri penyebab
dan antibiotik yang sensitif terhadap bakteri tersebut.
Foto polos leher anteroposterior dan lateral dapat membantu dalam
menentukan adanya suatu abses retrofaringeal. Adanya penebalan jaringan lunak
9

anterior dari vertebra servikal yaitu > 7mm pada vertebra servikal 2, dan pada
vertebra servikal 6 penebalannya >14mm pada anak dan >22mm pada dewasa,
dianggap sebagai suatu keadaan abnormal, yang menimbulkan kecurigaan adanya
abses. Gambaran lain yang dapat ditemukan ialah berkurangnya kelengkungan
lordosis fisiologis dari vertebra.
Pemeriksaan radiologi lainnya yaitu CT Scan dengan menggunakan
kontras merupakan modalitas pemeriksaan penunjang yang sensitif untuk
menemukan suatu infeksi maupun abses pada leher dalam. Abses pada CT Scan
akan memberikan gambaran area hipodens homogen, dengan daerah menyengat
kontras berupa cincin. Sedangkan selulitis akan memberikan gambaran
pembengkakan jaringan lunak dengan tepi rata tidak beraturan.

Gambar 7. CT scan leher potongan axial : abses retrofaring

Komplikasi
Komplikasi dari abses retrofaring ini jarang terjadi, namun biasanya cukup
serius dan memberikan morbiditas yang tinggi. Komplikasi dari abses ini dapat
terjadi karena efek massa, pecahnya abses, maupun penyebaran dari infeksi. Efek
massa dapat menyebabkan sumbatan saluran nafas yang terletak tepat di anterior
dari rongga ini. Obstruksi saluran nafas merupakan komplikasi paling darurat
sehingga harus diperhatikan. Adanya bunyi nafas stridor, air liur menggumpal di
rongga mulut, merupakan tanda-tanda awal terobstruksinya saluran. Pecahnya
abses dapat menyebabkan terjadinya asfiksia maupun pneumonia aspirasi. Abses
10

ini dapat pecah secara spontan ataupun akibat tindakan seperti pemeriksaan fisik,
atau intubasi.

2.2.2.2 Abses Peritonsil


Definisi
Abses peritonsil merupakan abses yang terbentuk di ruang peritonsil.
Ruang peritonsil ini terletak di lateral dari kapsul dari tonsila palatina dan medial
muskulus konstriktor superior dari faring. Ruangan ini dibatasi oleh muskulu.
Etiologi dan Patofisiologi
Mikroorganisme penyebab abses peritonsil biasanya lebih dari satu jenis.
Mikroorganisme ini mirip dengan mikroorganisme penyebab tonsillitis akut
maupun kronis. Mikroorganisme penyebab abses peritonsil ini paling sering
berasal dari golongan bakteri aerob gram positif. Bakteri gram negative dan
anaerob juga ditemukan sebagai penyebab abses peritonsil.
Bakteri gram positif yang paling sering ditemukan sebagai penyebab
tonsiliti maupun abses peritonsil adalah Group A beta-hemolytic streptococci.
Bakteri gram negatif yang sering ditemukan antara lain pseudomonas,
enterobacter, haemophilus, dan klebsiella. Mikroorganisme anaerob yang
ditemukan sebagai penyebab abses peritonsil antara lain dari gologan bacteroides
dan pepstosreptococcus.

Manifestasi klinis
Manifestasi klinis pasien dengan abses peritonsil yaitu demam, malaise,
nyeri tenggorokan, sulit atau sakit ketika menelan, nyeri telinga atau otalgia.
Nyeri tenggorokan terutama dirasakan pada sisi yang mengalami abses diikuti
dengan nyeri telinga pada sisi ipsilateral.
Pada pemeriksaan fisik akan sering ditemukan adanya trismus yakni
pasien mengalami kesulitan dalam membuka mulutnya. Trismus menandakan
adanya peradangan dan spasme dari otot masticator, serta adanya peradangan di
11

daerah dinding faring lateral dan muskulus pterygoid. Terdapatnya pembengkakan


unilateral di daerah peritonsil dan palatum molle disertai dengan edema uvula
yang menyebabkan tonsil terdorong ke arah medial dan inferior serta uvula
terdorong ke sisi kontralateral merupakan penemuan klasik pada abses
peritonsilar. Pasien juga biasanya akan berbicara seperti bergumam atau yang
disebut sebagai hot potato voices.

Gambar 8. Abses Peritonsilar kanan

Diagnosis
Diagnosis abses peritonsil biasanya dapat ditegakkan cukup dari anamnesa dan
pemeriksaan fisik dan konfirmasi dengan aspirasi pus.
Anamnesa dapat didapatkan keluhan yang sudah disebutkan di atas yaitu demam,
malaise, nyeri tenggorokan, nyeri telinga, kesulitan menelan, dan kesulitan membuka
mulut, riwayat infeksi faring dan atau tonsil berulang dan juga infeksi dari gigi, riwayat
pengobatan sebelumnya dan riwayat tindakan operasi di rongga mulut.
Pembengkakan unilateral daerah peritonsil dan daerah palatum molle disertai
terdorongnya tonsil ke arah medial inferior dan uvula ke sisi kontralateral merupakan
penemuan klasik yang dapat ditemukan pada pemeriksaan fisik pada pasien dengan
peritonsilar abses. Untuk memastikan diagnosa dapat dilakukan pemeriksaan pus melalui
aspirasi.
Pemeriksaan laboratorium yang perlu dilakukan antara lain pemeriksaan darah
lengkap, kultur darah atau pus, dan elektrolit, untuk mencari adanya tanda infeksi maupun
dehidrasi
Foto polos leher lateral dapat membantu dalam menyingkirkan kemungkinan
abses retrofaring, foro dari anteroposterior mungkin dapat memberikan gambaran
12

jaringan lunak yang berubah namun tidak bisa menentukan lokasi abses. USG dan CT
Scan merupakan pemeriksaan yang cukup sensitif dan spesifik dalam menegakkan
diagnosis abses peritonsil. USG dapat digunakan untuk membedakan antara selulitis atau
infiltrat peritonsil dengan abses peritonsil.

Gambar 9 . Ct Scan leher potongan axial : Abses peritonsil kanan.

Komplikasi
Komplikasi paling sering adalah ke daerah parafaring menyebabkan abses
parafaring. Dari parafaring infeksi dapat menyebar hampir ke seluruh bagian di daerah
leher dalam. Penyebaran ke mediastinum dapat menyebabkan terjadinya mediastinitis,
penjalaran infeksi ke daerah intrakranial dapat menyebabkan terjadinya abses otak dan
meningitis. Pecahnya abses dapat menyebabkan terjadinya perdarahan, dan pnemonitis
aspirasi.

2.2.2.3 Abses Parafaring


Disebut juga dengan faringomaksilaris atau peripharyngeal space.
Parafaring berbentuk pyramid terbalik, yang dapat terletak pada salah satu dari
sisi faring (kiri maupun kanan). Dasar dari parafaring terletak pada basis kranii
sedangkan puncak dari parafaring terletak pada kornu dari os hyoid. Batas medial
dari parafaring terletak pada lapisan viscera dari lapisan dalam yang merupakan
bagian dari fascia servikalis dalam, yang terletak pada lateral dari dinding faring,
sedangkan batas lateralnya adalah lapisan superfisial dari fascia servikalis dalam.
Bagian anterior dibatasi oleh pterygomandibular raphe dan bagian posterior
dibatasi oleh fascia prevertebralis. Rongga ini berhubungan dengan rongga
retrofaringeal.

13

Gambar 10. Abses parafaring

Etiologi
Ruang parafaring memiliki hubungan dengan ruang dalam daerah leher
serta ruang karotis. Hal ini memungkinkan infeksi dari ruang mastikator, parotid,
submandibular dan sublingual, serta retrofaring dan peritonsil berisiko menyebar
ke ruang parafaring. Kelainan pada salah satu ruang diatas harus menimbulkan
kecurigaan adanya penyebaran ke ruang parafaring. Keterlibatan kompartemen
prestyloid dapat menyebabkan gejala trismus, sedangkan keterlibatan ruang retroatau poststyloid, yaitu bagian neurovaskular, dapat menimbulkan komplikasi lebih
serius. Etiologi lain yang juga memberikan komplikasi berupa abses parafaring
adalah abses Bezold, yang merupakan komplikasi dari Otitis Media Supuratif
Kronis (OMSK).
Bakteri penyebab infeksi pada abses parafaring cukup beragam.
Ditemukan adanya bakteri anaerob seperti Prevotella, Porphyromonas dan
Fusobacterium. sedangkan bakteri aerob yang dapat ditemukan pada kasus abses
parafaring meliputi Streptococcus pyogenes, Staphylococcus aureus dan
Haemophilus influenza.
Manifestasi Klinis dan Diagnosis
Manifestasi klinis dari abses parafaring dapat berupa demam, rasa serak
pada tenggorokan, pembengkakan pada daerah faring, serta adanya rasa tidak
14

enak saat menelan (dysphagia), yang dapat menyebabkan adanya hipersalivasi


dan keluarnya saliva dari mulut (drooling), serta rasa nyeri pada menelan
(odynophagia). Dapat juga terjadi trismus sebagai akibat dari keterlibatan m.
pterygoid interna dalam proses inflamasi. Pasien juga cenderung untuk menahan
leher pada suatu posisi tetap dengan keadaan sedikit fleksi, serta memutar kepala
kearah berlawanan untuk mengurangi tekanan. Pasien juga dapat datang dengan
keluhan adanya massa pada leher yang terasa nyeri, serta adanya riwayat infeksi
sebelumnya.
Tabel 2. Gejala klinis yang sering ditemukan pada pasien dengan abses parafaring

Diagnosa dari abses parafaring ditegakkan dengan cara anamnesa,


pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang. Pada anamnesa, dapat ditanyakan
riwayat infeksi saluran nafas atas (ISPA), adanya riwayat tonsillitis serta adanya
gejala infeksi seperti faringitis. Dapat juga ditanyakan tentang kondisi-kondisi
yang dapat memperberat infeksi seperti adanya imunodefisiensi atau adanya
diabetes mellitus. Keluarnya cairan dari telinga tanpa rasa nyeri juga penting
untuk ditanyakan, dimana OMSK merupakan predileksi terjadinya abses
parafaring melalui penyebaran hematogen dari vena jugularis interna.
Pada anamnesa, pasien dapat mengeluhkan adanya gejala demam, rasa
serak pada tenggorokan, pembengkakan pada daerah faring, serta adanya rasa
tidak enak saat menelan (dysphagia), yang dapat menyebabkan adanya
hipersalivasi dan keluarnya saliva dari mulut (drooling), serta rasa nyeri pada
menelan (odynophagia). Dapat ditanyakan juga usia (8-30 tahun sering terjadi
abses)
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan asimetri pada orofaring, dimana
tonsil terdorong kearah medial namun terlihat normal. Dapat juga ditemukan

15

massa yang nyeri pada leher serta adanya pembesaran kelenjar getah bening.
Pasien juga dapat mengeluh kesulitan membuka mulut pada pemeriksaan, yang
diakibatkan oleh trismus, dimana gejala ini khas pada abses parafaring. Adanya
serak pada tenggorokan, asimetri dari orofaring serta massa dari leher disertai rasa
nyeri dapat menegakkan diagnosa abses parafaring, khususnya jika ditemukan
adanya riwayat infeksi seperti faringitis atau tonsilitis.
Dapat juga dilakukan pemeriksaan penunjang berupa CT-scan dengan
kontras apabila kecurigaan mengarah kepada abses parafaring. Dapat terlihat
gambaran hipodens, baik tunggal maupun multipel, dengan adanya air/fluid
center dengan enhancement kontras pada dinding abses. Dapat juga ditemukan
adanya edema pada jaringan, serta adanya trombosis pada vena jugularis interna.

Gambar 11. Gambaran abses parafaring pada CT-scan

Pemeriksaan laboratorium dapat digunakan untuk memastikan adanya


proses infeksi, dan menentukan bakteri penyebab infeksi.
Komplikasi
Komplikasi dari abses parafaring dapat terjadi karena efek massa,
penyebaran dari infeksi ke ruang di sekitarnya. Penyebaran ke daerah faring
melalui ekspansi abses dapat menyebabkan sumbatan pada jalan nafas yang dapat
membahayakan nyawa. Dapat juga terjadi mediastinitis sebagai akibat dari
perluasan infeksi melalui selubung karotis. Komplikasi lain yang dapat terjadi
adalah thrombophlebitis dari vena jugularis interna.
2.2.2.4 Infeksi ruang submandibula
Ruang submandibula terletak diantara mukosa dari dasar mulut dan
lapisan superfisial dari fascia servikal dalam. Bagian inferior dibatasi oleh os
hyoid dan bagian anterior dan latera dibatasi oleh mandibula. Pada bagian
posterior, ruang submandibula dibatasi oleh otot-otot dari lidah. Ruang
submandibula dibatasi oleh diafragma dari otot mylohyoid ke ruang sublingual
16

diatasnya, dan ke ruang submandibula serta submental dibawah dari diafragma


tersebut. Ruang submandibula dan submental dibatasi oleh otot digastrik, namun
masih terdapat hubungan antara keduanya.
Dapat juga ditemukan duktus Wharton pada ruang sublingual, kelenjar
saliva serta nervus hipoglossus. Garis oblikus dari mandibula juga berperan
sebagai pembatas pada infeksi gigi. Infeksi yang dimulai superior dari garis ini,
yaitu dari incisivus sampai dengan molar pertama akan bermanifestasi ke ruang
sublingual, sedangkan infeksi yang dimulai dari molar akan menjalar ke ruang
submandibula terlebih dahulu.
Etiologi
Sebagian besar infeksi pada ruang submandibula berasal dari infeksi
odontogen. Namun, infeksi ruang submandibula juga dapat berasal dari adanya
trauma, riwayat tindakan pembedahan pada daerah mandibula sebelumnya,
maupun adanya limfadenitis. Infeksi ruang submandibula juga dapat berasal dari
infeksi ruang leher lainnya.

Gambar 12. Infeksi ruang submandibula

Secara mikrobiologi, infeksi pada leher dalam bersifat polimikrobial, dan


tidak ada predileksi antara anatomi dengan bakteri penyebab. Bakteri yang dapat
ditemui

antara

lain

Prevotella,

Porphyromonas,

Fusobacterium

dan

Peptostreptococcus spp untuk bakteri anaerob, dan group A streptococcus,


viridians streptococcus, serta Staphylococcus aureus dan Haemophilus influenzae
untuk bakteri aerob.

17

Manifestasi klinis
Gejala klinis yang umum dirasakan oleh pasien adalah adanya massa pada
daerah leher disertai dengan rasa sulit menelan. Pasien juga dapat merasakan
adanya demam sebagai akibat dari proses infeksi, serta elevasi lidah yang dapat
menyebabkan blokade dari saluran nafas. Dapat juga terjadi trismus, dan nyeri
gigi.
Diagnosa

dari

infeksi

submandibula

dibuat

dengan

anamnesa,

pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Dari anamnesa, dapat ditanyakan


gejala-gejala penyakit gigi ataupun faktor-faktor yang memperberat penyakit,
seperti adanya kondisi-kondisi imunosupresi maupun penyakit diabetes mellitus.
Dapat juga ditanyakan gejala-gejala dari infeksi itu sendiri, yaitu adanya benjolan
pada leher, biasa berkonsistensi keras, lalu adanya kekakuan pada rahang
(trismus), adanya nyeri menelan, perubahan pada suara.
Tabel 3. Gambaran klinis pada infeksi submandibula

Anamnesa juga dapat diarahkan kepada faktor predisposisi. dapat


ditanyakan riwayat sakit gigi maupun adanya riwayat gigi berlubang dan tidak
terawat.
Pada pemeriksaan fisik, dapat ditemukan benjolan pada daerah mandibula
yang bersifat nyeri. Pada gigi geligi juga dapat ditemukan karang gigi maupun
gigi berlubang.

18

Pemeriksaan

penunjang

meliputi

pemeriksaan

laboratorium

serta

pemeriksaan radiologis. Pada laboratorium dapat dilakukan pemeriksaan darah


rutin, yang dapat menunjukkan adanya leukositosis, meskipun tidak selalu ada.
Penunjang lain yang dapat dilakukan adalah CT-scan dengan kontras,
dimana pemeriksaan ini memiliki sensitivas dan spesifisitas yang tinggi. CT-scan
dengan kontras berfungsi untuk mendeteksi adanya lesi pada ruang submandibula,
serta membedakan selulitis dengan adanya abses.
Selain pada ruang submandibula, CT-scan juga dapat dilakukan pada
bagian rahang dan sekitarnya dengan potongan aksial, guna mendeteksi adanya
fokus infeksi yang merupakan etiologi utama.

Gambar 13. Gambaran lesi pada CT-scan pasien dengan infeksi submandibula

Komplikasi
Komplikasi pada infeksi ruang submandibula yang tersering adalah sumbatan
jalan nafas, yang dapat berujung pada asfiksia. Dapat juga terjadi sepsis, adanya
perluasan infeksi ke mediastinum berupa mediastinitis, yang dapat berlanjut menjadi
pneumothoraks. Komplikasi lain yang dapat terjadi adalah adanya pneumonia.
2.2.3. Tata Laksana
Langkah pertama dan terpenting dalam tatalaksana infeksi leher dalam ialah menjaga
jalan nafas tetap terbuka. Intubasi dengan pipa endotrakeal dapat dilakukan namun harus
diwaspadai resiko spasme laringeal dan ruptur abses yang dapat berakibat terjadi aspirasi pus
dan kontaminasi pada jalan nafas bagian atas dan bawah. Bila intubasi tidak dapat dilakukan
maka tindakan krikotirotomi atau trakeostomi dapat dipertimbangkan. Jika tindakan
krikotirotomi dilakukan, maka sebaiknya dalam 24 jam diganti dengan trakeostomi untuk
mencegah komplikasi laringeal.1

19

Setelah jalan nafas dijaga, langkah selanjutnya adalah melakukan kultur darah (dilakukan
ketika pasien febris) dan kultur dari abses. Sambil menunggu hasil kultur dapat diberikan
antibiotik yang efektif untuk streptococcus, bakteri anaerob dan bakteri penghasil beta
laktamase. Jika hasil kultur telah didapatkan, maka direkomendasikan penggunaan antibiotik
sesuai bakteri penyebab.
Jenis antibiotik yang dapat digunakan:
1. Ampisilin-sulbaktam 1,5-3 g IV setiap 6 jam
Ampisilin merupakan antibiotik spektrum luas yang efektif terutama terhadap bakteri
gram positif namun juga efektif terhadap bakteri gram negatif dan bakteri anaerob.
Bakteri gram positif yang sensitif terhadap ampisilin adalah Streptococcus pneumoniae,
jenis Streptococci lain,dan L monocytogenes. Bakteri gram negatif yang sensitif terhadap
ampisilin ialah M. catarrhalis, N. gonorrhoea, N. meningitidis, E. coli, P. mirabilis,
Salmonella, Shigella, dan H. influenzae.
2. Klindamisin 600-900 mg IV setiap 8 jam
Merupakan pengobatan alternatif pada pasien yang alergi terhadap penisilin. Klindamisin
terutama berguna untuk infeksi bakteri anaerob terutama B. fragilis dan bermanfaat juga
untuk beberapa bakteri gram positif.
3. Sefoksitin 1-2 g IV setiap 6 jam
Merupakan sefalosporin generasi kedua dimana lebih aktif pada bakteri gram negatif
dibandingkan gram positif. Sefoksitin lebih aktif dari sefalosporin generasi pertama dan
generasi kedua yang lain terhadap bakteri anaerob, seperti B. fragilis.
4. Seftriakson 1-2 g IV setiap 12 jam
Obat ini termasuk golongan sefalosporin generasi ketiga yang lebih aktif terhadap bakteri
gram positif. Efek samping obat ini berupa superinfeksi, reaksi anafilaksis, diare, reaksi
lokal, diskrasia darah, rash, pruritus, demam, peningkatan kadar transaminase dan alkali
fosfatase, leukopenia, neutropenia, kolitis pseudomembran, nefrotoksisitas.
Pada infeksi yang disebabkan oleh Pseudomonas aeruginosa dapat digunakan:
1. Tikarsilin-klavulanat 3-0,1 g IV setiap 4-6 jam
Tikarsilin merupakan kelompok penisilin anti-pseudomonas, termasuk golongan
karboksi penisilin. Tikarsilin berspektrum lebih luas dibanding ampisilin, termasuk P.
aeruginosa dan kokus gram negatif. Aktif terhadap bakteri gram positif kecuali
enterokokus dan stafilokokus. Tambahan klavulanat memperluas spektrum tikarsilin.
20

2. Piperasilin-tazobaktam 3-0,375 g IV setiap 4-6 jam


Piperasilin merupakan kelompok penisilin anti-pseudomonas dan termasuk golongan
ureidopenisilin. Obat ini berspektrum luas yang mencakup aerob gram positif,
enterobacteriae, gram negatif, dan bakteri anaerob. Tazobaktam melindungi
piperasilin dari hidrolisis oleh betalaktamase.
3. Imipenem-silastatin 250-250 sampai 500-500 mg IV setiap 6 jam
Imipenem merupakan suatu turunan tienamisin yang merupakan karbapenem
(betalaktam) pertama yang digunakan dalam pengobatan. Diberikan bersama
silastatin yang bekerja sebagai penghambat enzim dehidropeptidase yang dapat
meningkatkan kadar imipenem aktif dalam urin dan mencegah efek toksik terhadap
ginjal. Obat ini berspektrum sangat luas (gram positif, negatif, aerob dan anaerob.
Terhadap P. aeruginosa aktivitasnya sebanding dengan seftazidim.
4. Klidamisin 600-900 mg IV setiap 8 jam ditambah siprofloksasin 400 mg IV setiap 12
jam atau ditambah seftazidim 1-2 g IV setiap 8 jam
Sifrofloksasin termasuk kedalam golongan fluorokuinolon yang aktif terhadap P.
aeruginosa. Seftazidim merupakan golongan sefalosporin generasi ketiga yang
aktifitas paling menonjolnya kepada P. aeruginosa.
Infeksi yang disebabkan oleh Staphylococcus Aureus dapat ditangani dengan
menggunakan antibiotik vankomisin 1 g IV setiap 12 jam. Obat ini hanya aktif
terhadap bakteri gram positif khususnya golongan kokus, merupakan obat terpilih
untuk kuman MRSA (methicilin-resistant S. aureus).
Ketika abses telah terbentuk maka tindakan operasi drainase sebaiknya dilakukan.
Intervensi operasi diindikasikan pada semua abses dalam terutama bila muncul keluhan
obstruksi jalan nafas, sindrom sepsis, dan tidak ada respon terhadap antibiotik yang
diberikan dalam 48 jam.
Pada pasien yang tidak memiliki tanda-tanda abses maka dapat dilakukan
monitoring sambil diberikan antibiotik sistemik. Bila tidak terdapat tanda-tanda perbaikan
selama 48 jam dengan pemberian antibiotik adekuat dan hidrasi, maka dilakukan operasi.
Tanda-tanda progresi berupa demam, nyeri yang bertambah, pembengkakan, eritema,
fluktuasi, dan leukositosis dengan pergeseran ke kiri.
Operasi dilakukan dengan menginsisi dan mendrainase abses pada lokasi primer
maupun lokasi penyebaran abses. Semua tempat lokulasi dihancurkan dan rongga abses

21

dibersihkan serta dipasang kasa yang mengandung iodoform kedalam luka operasi, dan
dipasang drain.

Gambar14. Algoritma penatalaksanaan infeksi leher dalam1

1. Abses peritonsil
Prosedur operatif yang dapat dilakukan untuk mengatasi abses peritonsil terdiri
dari aspirasi, insisi dan drainase, dan tonsilektomi. Pada aspirasi abses sering dibutuhkan
tindakan aspirasi berulang sehingga insisi dan drainase lebih efektif dibandingkan
aspirasi (tingkat keberhasilannya sebesar 90%).
Pada insisi dan drainase abses diberikan anestesi topikal dan infiltratif dengan
pasien dalam kondisi sadar. Insisi dan drainase dilakukan pada daerah abses yang paling
menonjol yang biasanya berada pada palatum molle, superior dari pole atas tonsil. Bila
area yang paling menonjol tidak terlihat maka dibuat garis imajiner dari dasar uvula
sampai geraham atas terakhir pada sisi yang sakit. Setelah dilakukan drainase, diberikan
penisilin atau klindamisin. Drainase juga dapat dilakukan dengan tambahan tonsilektomi.

Gambar 15. Daerah untuk melakukan insisi pada abses peritonsiler.

22

2. Abses retrofaring
Pembedahan pada abses retrofaring dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu insisi
transoral dan insisi eksternal. Insisi transoral lebih banyak digunakan, dimana pasien
diposisikan dalam rose position yaitu leher diekstensikan bersama dengan ekstensi
sendi atlanto-occipital sehingga membuat nasofaring menjadi bagian yang paling
menonjol.
Insisi eskternal dilakukan bila abses tidak dapat dijangkau peroral atau ada
keterlibatan rongga leher lain. Insisi dibuat di sepanjang tepi anterior m.

stenocleidomasoideus antara level os. hyoid dan clavikula.


3. Abses parafaring
Pada kasus

Gambar16. Pembedahan pada abses retrofaringeal

abses

parafaring,

(external approach). Tarikan pada bagian


dapat
dilakukan pendekatan eksternal
posterior m. stemocleidomastoideus dan carotid

(submaksilaris) yaitu dengan teknik Mosher.sheath


Teknik
mosher dilakukan dengen teknis
memperlihatkan daerah antara faring dan
insisi bentuk huruf T, dimana insisi horizontalvertebra.
dibuat sepanjang kira-kira dua jari diukur
dari batas bawah mandibula dan insisi vertikal dibuat pada bagian anterior dari m.
Sternocleidomastoideus.

Gambar17. Insisi pada abses parafaring

23

4. Abses submandibula
Pada pasien dengan infeksi submandibula, dapat dilakukan tindakan pembedahan
untuk insisi dan drainase abses. Indikasi dari pembedahan meliputi abses berukuran besar,
Ludwigs Angina, serta pasien tidak merespon kepada terapi antibiotik, serta keterlibatan lebih
dari satu ruang leher.13 Pada pasien dengan sumbatan jalan nafas, gold standard tindakan yang
dilakukan adalah trakeostomi dengan anestesi lokal.

BAB III
KESIMPULAN
Abses leher dalam terbentuk didalam ruang potensial diantara fascia leher yang terdiri
dari fascia superfisialis dan profunda. Ruang potensial ini terdiri dari ruang peritonsilar,
retrofaring, parafaring, parotis, prevertebra, vaskular dalam, danger space, submandibularis,
karotis, mastikator, temporal, suprasternal, dan anterior visceral space.
Penyebab abses leher dalam adalah penjalaran infeksi dari berbagai sumber. Pada anak
sering disebabkan oleh infeksi tonsil dan faring sedangkan pada orang dewasa disebabkan oleh
infeksi odontogenik dan kelenjar air liur. Bakteri penyebab abses leher dalam biasanya
polimikroba yang terdiri dari bakteri aerob (Streptococcus viridians, hemolitik stretokokus,
stafilokokus, diphteroids, Neisseria, Klebsiella

dan Haemophilus sp.) dan bakteri anaerob

(Bacteroides melaninogenicus, Peptostreptococcus, Bacteroides fragilis).


24

Manifestasi abses leher dalam antara lain adalah nyeri tenggorokan, kesulitan dalam
menelan (dysphagia), rasa sakit ketika menelan (odynophagia), trismus, demam, dan malaese.
Penegakan diagnosis dapat dilakukan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penujang. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan terdiri dari pemeriksaan labolatorium,
kultur dan uji resistensi, dan pemeriksaan radiologis. Pemeriksaan radiologis yang dapat
dilakukan berupa foto polos, USG, CT scan dan MRI.
Tatalaksana abses leher dalam terdiri dari pembebasan jalan nafas yang dapat dilakukan
dengan intubasi, krikotirotomi atau trakeostomi, pemberian antibiotik dan operasi. Pemberian
antibiotik dipilih yang berspektrum luas yang efektif baik untuk bakteri aerob, anaerob, gram
positif dan negatif. Antibiotik yang sering digunakan ialah ampilisin-sulbaktam, klindamisin,
sefoksitin dan seftriakson. Operasi dilakukan bila terlah terbentuk abses, bila absesnya kecil
dapat dilakukan monitoring selama 48 jam dan bila kondisi memburuk maka dilakukan operasi.
Pada abses besar, abses yang telah menekan jalan napas dan yang tidak efektif dengan pemberian
antibiotik maka segera dilakukan operasi.
Abses leher dalam ini jika tidak ditangani dengan adekuat akan menimbulkan berbagai
macam komplikasi yang tidak jarang merupakan komplikasi yang mengancam nyawa.
Komplikasi yang dapat muncul berupa penyebaran abses ke ruang leher lain, obstruksi jalan
nafas, mediastinitis, pneumonitis aspirasi dan abses otak.

DAFTAR PUSTAKA

1. Soepardi, Efiaty Arsyad dkk, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok
Kepala Leher edisi tujuh, FK UI, 2012.
2. Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Farmakologi dan Terapi edisi 5. 2007. Jakarta:Gaya Baru.
3. Bailey BJ, Johnson JT, Newlands SD. Head & Neck Surgery Otolaryngology 4thed.
2006. Luppincot Williams & Wilkins.
4. Nicholas JG. Peritonsillar Abscess. Broadlawns Medical Center, Des Moines, Iowa.
2008. American Academy of Family Physicians.
5. Lalwani AK. Current Diagnosis & Treatment Otolaryngology Head and Neck
Surgery 2nd edition, McGraw-Hills AccessMedicine, 2007.
6. Jason LA. Pediatric Retropharyngeal Abscess. 2011. Diakses dari
http://emedicine.medscape.com/article/995851-overview [1 Oktober 2015]

25

7. Mutunayagam et al. Parapharyngeal and Retropharyngeal Abscess: Anatomical


Complexity and Etiology. Med J Malaysia. 2007; 62(5). Diunduh dari: http://www.emjm.org/2007/v62n5/Abscess.pdf [1 Oktober 2015]

26

You might also like