Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Sejak di temukan dan berkembangnya antibiotika maka penyakit infeksi pada ruang
leher, angka morbiditas dan mortalitasnya menjadi menurun. Namun infeksi pada ruang leher
atau infeksi pada leher dalam ini masih kerap terjadi. Hal ini didukung dengan penyalahgunaan
obat (drug abuser) yang sering menyuntikkan langsung ke pembuluh darah leher. Selain karena
penyalahgunaan obat , infeksi faringotonsilar dan odontogenik juga sering menjadi penyebabnya.
Namun, sekitar 22-50% pasien dengan infeksi leher dalam penyebabnya masih belum dapat
diketahui pasti.
Pengetahuan tentang infeksi leher dalam perlu diketahui dengan baik karena abses yang
terjadi akibat infeksi leher dalam ini dapat menimbulkan berbagai komplikasi yang bahkan
bersifat mengancam nyawa penderita. Komplikasi dari infeksi leher dalam tersebut antara lain
seperti perdarahan, asfiksia, disfagia, serta mediastinitis bahkan dapat sampai kanker leher.
Selain itu komplikasi yang paling berbahaya dari abses akibat infeksi leher dalam ini adalah
tersumbatnya saluran pernafasan akibat tertutup oleh massa abses tersebut, apabila pecah, abses
akibat infeksi leher dalam ini juga dapat menyebabkan aspirasi pus pada pasien. Bakteri
penyebab dari infeksi leher dalam paling sering masuk melalui infeksi di gigi atau odontogenik ,
infeksi tonsil dan melalui faring. Dalam angka insidensi yang lebih jarang, sumber infeksi lain
adalah infeksi pada kelenjar ludah dan infeksi saluran nafas atas lain.
Pemberian antibiotika yang sesuai dengan hasil kultur bakteri penyebab abses pada
rongga dalam leher merupakan terapi utama untuk pasien yang menderita abses leher bagian
dalam. Namun penggunaan antibiotika dalam jangka panjang atau lama dapat menyebabkan
pembentukan abses yang tersembunyi, dimana keadaan ini tidak ditemukan adanya gejala-gejala
sistemik serta pemeriksaan kultur darah maupun pus abses akan menjadi negatif.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1
Terletak diantara fascia prevertebra dan bagian visceral dari lapisan media fascia
leher profunda. Fascia alar merupakan pembentuk dinding posterior rongga
retrofaring dan dinding anterior danger space.
Ruang ini terletak diantara ruang retrofaringal dan ruang prevertebra dan dipisahkan oleh
lapisan dalam fasia profunda leher yaitu fascia alar dan fascia prevertebra. Abses pada
ruang ini berisiko menyebar ke bagian dasar tengkorak maupun mediastinum posterior.
3. Ruang prevertebra
Ruang ini merupakan ruang yang terdapat tepar pada bagian anterior vertebra dan
posterior dari lapisan prevertebra pada fascia profunda leher.
4. Ruang vaskular dalam
Ruang vaskular dalam terletak di dalam selubung karotis yang terdiri dari arteri karotis,
vena jugular interna,nervus vagus.
Ruang ini terletak diantara mukosa dasar mulut dan lapisan superfisialis dari fasia
profunda leher. Bagian inferior dari ruang submandibular dibatas oleh os hyoid dan os
mandibula sebagai batas anterior dan lateral. Bagian posteriornya terdiri atas otot lidah.
Ruang ini dipisahkan oleh m. Mylohyoid menjadi ruang sublingual di superior dan ruang
submaksilaris di inferior. Seluruh kompartemen terletak antara dasar mukosa mulut dan
fascia servikalis profunda lapis superfisial.
Ruang Submandibular dibagi 2 oleh m. Mylohyoid menjadi:
a. Ruang sublingual (superior) berisi kelenjar sublingual.
Pada ruang sublingual terdapat duktus Wharton yang terdiri dari kelenjar saliva
sublingual dan nervus hypoglosus. Hal ini menjelaskan gejala klinis pada Ludwig
angina menyebabkan naiknya dasar mulut dan pembengkakkan pada area
submandibula dan submental. Infeksi odontogenik juga meluas sampai ke ruang ini.
b. Ruang submaksila (inferior) berisi kelenjar submandibular dan kelenjar getah bening
3. Ruang mastikator
Ruang ini terletak di anterior dan lateral dari pharyngomaxillary space dan di inferior
dari ruang temporal. Lapis superfisial dari fascia servikalis dalam terpecah untuk
mengelilingi mandibula sehingga membentuk ruang potensial ini dan menutupi otot
mastikator. Ruang ini berisi : M. Masster, M. Pterygoid internal dan eksternal, Ramus dan
corpus mandibula, Tendo m. Temporalis, N. Alveolaris inferior, A.Alveolaris inferior
4. Ruang peritonsilar
Ruang ini terletak di lateral kapsul tonsil hingga bagian medial dari otot konstriktor
superior. Palatoglosus dan Palatopharingeus yang merupakan pilar faring anterior dan
posterior, merupakan batas anterior dan posterior ruang peritonsilar ini. Inflamasi dari
ruang ini disebut peritonsilitis dan dapat membentuk abses atau quinsy. Pus juga dapat
menyebar dari ruangan ini ke ruang parafaring yang akan menimbulkan gejala berupa
trismus.
5. Ruang Parotis
Fascia servikalis profunda lapis superficial terpecah untuk membungkus kelenjar parotis
dan kelenjar-kelenjar limfe di sekitarnya membentuk ruang parotis. Ruang ini berisi : A.
Carotis eksterna, V. Fasialis posterior, N. Fasialis, Limfonodus
5
6. Ruang temporal
Ruang ini terletak diantara fascia temporalis di lateral dan di medial dengan periosteum
os. Temporal. M. temporalis membagi ruang ini menjadi superficial, profunda dan arteri
maksilari interna terletak di dalamnya.
Ruang Ruang di bawah Os Hyoid
1. Anterior Visceral Space
Ruang viseral anterior ini juga disebut ruang pretrakea dan terletak di anterior leher dari
kartilago tiroid turun sampai ke mediastinum superior setinggi vertebra torakal 4, dekat
arkus aorta. Ruang ini mengelilingi trakea dan berisi kelenjar tiroid dan paratiroid.
2. Ruang suprastrenal
Ruang suprasternal terletak di atas sternal notch diantara klavikula dimana lapisan
superficial dari fascia leher profunda terpisah di lapisan ini.
Gambar 5. Potongan oblik daerah leher yang menunukkan rongga-rongga di leher di atas tulang
hyoid.
penyebaran infeksi secara langsung dari infeksi odontogenik ataupun infeksi kelenjar liur
daripada infeksi dari faring. Penyalahgunaan obat intravena dan injeksi vena jugular pada tempat
yang terkontaminasi, termasuk dalam risiko yang mungkin menyebabkan infeksi leher dalam.
Bakteri penyebab infeksi maupun abses leher dalam dapat merupakan bakteri aerobic
maupun bakteri anaerobic. Diantara organisme aerobic, Streptococcus viridians
dan
beta
anterior
dari
rongga
retrofaring
dibatasi
oleh
fasia
leher
(terutama
jika
89
Tidak
Odynophagia
59-86
Tidak
Pembengkakan
79-83
Ya
79-83
Ya
Dysphagia
81
Ya
Anorexia
81
Tidak
Ileran (drooling)
26
Tidak
Trismus
18-19
Tidak
Disfonia
Tidak
Dyspnea
Tidak
19-31
Ya
digerakkan)/toricollis
leher/massa/limfadenopati
Demam
Stridor
Sleep apnea syndromme
Tidak
Diagnosis
Diagnosis dari abses retrofaring didapatkan dari anamnesa dan
pemeriksaan fisik yang teliti perlu dilakukan untuk dapat menegakkan diagnosis
atau memberikan gambaran klinis abses retrofaring. Anak mungkin akan menjadi
lebih rewel, tampak kesakitan, atau menangis. Pada anamnesa perlu ditanyakan
riwayat infeksi saluran nafas atas, riwayat trauma baik benda asing maupun
tindakan medis.
Terdapat beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat digunakan untuk
membantu menegakkan diagnosis dari abses retrofaring diantaranya pemeriksaan
hematologi untuk membantu menentukan adanya suatu infeksi atau inflamasi
seperti pemeriksaan darah lengkap dan laju endap darah. Pemeriksaan kultur dan
uji resistensi juga perlu dilakukan untuk mengetahui secara pasti bakteri penyebab
dan antibiotik yang sensitif terhadap bakteri tersebut.
Foto polos leher anteroposterior dan lateral dapat membantu dalam
menentukan adanya suatu abses retrofaringeal. Adanya penebalan jaringan lunak
9
anterior dari vertebra servikal yaitu > 7mm pada vertebra servikal 2, dan pada
vertebra servikal 6 penebalannya >14mm pada anak dan >22mm pada dewasa,
dianggap sebagai suatu keadaan abnormal, yang menimbulkan kecurigaan adanya
abses. Gambaran lain yang dapat ditemukan ialah berkurangnya kelengkungan
lordosis fisiologis dari vertebra.
Pemeriksaan radiologi lainnya yaitu CT Scan dengan menggunakan
kontras merupakan modalitas pemeriksaan penunjang yang sensitif untuk
menemukan suatu infeksi maupun abses pada leher dalam. Abses pada CT Scan
akan memberikan gambaran area hipodens homogen, dengan daerah menyengat
kontras berupa cincin. Sedangkan selulitis akan memberikan gambaran
pembengkakan jaringan lunak dengan tepi rata tidak beraturan.
Komplikasi
Komplikasi dari abses retrofaring ini jarang terjadi, namun biasanya cukup
serius dan memberikan morbiditas yang tinggi. Komplikasi dari abses ini dapat
terjadi karena efek massa, pecahnya abses, maupun penyebaran dari infeksi. Efek
massa dapat menyebabkan sumbatan saluran nafas yang terletak tepat di anterior
dari rongga ini. Obstruksi saluran nafas merupakan komplikasi paling darurat
sehingga harus diperhatikan. Adanya bunyi nafas stridor, air liur menggumpal di
rongga mulut, merupakan tanda-tanda awal terobstruksinya saluran. Pecahnya
abses dapat menyebabkan terjadinya asfiksia maupun pneumonia aspirasi. Abses
10
ini dapat pecah secara spontan ataupun akibat tindakan seperti pemeriksaan fisik,
atau intubasi.
Manifestasi klinis
Manifestasi klinis pasien dengan abses peritonsil yaitu demam, malaise,
nyeri tenggorokan, sulit atau sakit ketika menelan, nyeri telinga atau otalgia.
Nyeri tenggorokan terutama dirasakan pada sisi yang mengalami abses diikuti
dengan nyeri telinga pada sisi ipsilateral.
Pada pemeriksaan fisik akan sering ditemukan adanya trismus yakni
pasien mengalami kesulitan dalam membuka mulutnya. Trismus menandakan
adanya peradangan dan spasme dari otot masticator, serta adanya peradangan di
11
Diagnosis
Diagnosis abses peritonsil biasanya dapat ditegakkan cukup dari anamnesa dan
pemeriksaan fisik dan konfirmasi dengan aspirasi pus.
Anamnesa dapat didapatkan keluhan yang sudah disebutkan di atas yaitu demam,
malaise, nyeri tenggorokan, nyeri telinga, kesulitan menelan, dan kesulitan membuka
mulut, riwayat infeksi faring dan atau tonsil berulang dan juga infeksi dari gigi, riwayat
pengobatan sebelumnya dan riwayat tindakan operasi di rongga mulut.
Pembengkakan unilateral daerah peritonsil dan daerah palatum molle disertai
terdorongnya tonsil ke arah medial inferior dan uvula ke sisi kontralateral merupakan
penemuan klasik yang dapat ditemukan pada pemeriksaan fisik pada pasien dengan
peritonsilar abses. Untuk memastikan diagnosa dapat dilakukan pemeriksaan pus melalui
aspirasi.
Pemeriksaan laboratorium yang perlu dilakukan antara lain pemeriksaan darah
lengkap, kultur darah atau pus, dan elektrolit, untuk mencari adanya tanda infeksi maupun
dehidrasi
Foto polos leher lateral dapat membantu dalam menyingkirkan kemungkinan
abses retrofaring, foro dari anteroposterior mungkin dapat memberikan gambaran
12
jaringan lunak yang berubah namun tidak bisa menentukan lokasi abses. USG dan CT
Scan merupakan pemeriksaan yang cukup sensitif dan spesifik dalam menegakkan
diagnosis abses peritonsil. USG dapat digunakan untuk membedakan antara selulitis atau
infiltrat peritonsil dengan abses peritonsil.
Komplikasi
Komplikasi paling sering adalah ke daerah parafaring menyebabkan abses
parafaring. Dari parafaring infeksi dapat menyebar hampir ke seluruh bagian di daerah
leher dalam. Penyebaran ke mediastinum dapat menyebabkan terjadinya mediastinitis,
penjalaran infeksi ke daerah intrakranial dapat menyebabkan terjadinya abses otak dan
meningitis. Pecahnya abses dapat menyebabkan terjadinya perdarahan, dan pnemonitis
aspirasi.
13
Etiologi
Ruang parafaring memiliki hubungan dengan ruang dalam daerah leher
serta ruang karotis. Hal ini memungkinkan infeksi dari ruang mastikator, parotid,
submandibular dan sublingual, serta retrofaring dan peritonsil berisiko menyebar
ke ruang parafaring. Kelainan pada salah satu ruang diatas harus menimbulkan
kecurigaan adanya penyebaran ke ruang parafaring. Keterlibatan kompartemen
prestyloid dapat menyebabkan gejala trismus, sedangkan keterlibatan ruang retroatau poststyloid, yaitu bagian neurovaskular, dapat menimbulkan komplikasi lebih
serius. Etiologi lain yang juga memberikan komplikasi berupa abses parafaring
adalah abses Bezold, yang merupakan komplikasi dari Otitis Media Supuratif
Kronis (OMSK).
Bakteri penyebab infeksi pada abses parafaring cukup beragam.
Ditemukan adanya bakteri anaerob seperti Prevotella, Porphyromonas dan
Fusobacterium. sedangkan bakteri aerob yang dapat ditemukan pada kasus abses
parafaring meliputi Streptococcus pyogenes, Staphylococcus aureus dan
Haemophilus influenza.
Manifestasi Klinis dan Diagnosis
Manifestasi klinis dari abses parafaring dapat berupa demam, rasa serak
pada tenggorokan, pembengkakan pada daerah faring, serta adanya rasa tidak
14
15
massa yang nyeri pada leher serta adanya pembesaran kelenjar getah bening.
Pasien juga dapat mengeluh kesulitan membuka mulut pada pemeriksaan, yang
diakibatkan oleh trismus, dimana gejala ini khas pada abses parafaring. Adanya
serak pada tenggorokan, asimetri dari orofaring serta massa dari leher disertai rasa
nyeri dapat menegakkan diagnosa abses parafaring, khususnya jika ditemukan
adanya riwayat infeksi seperti faringitis atau tonsilitis.
Dapat juga dilakukan pemeriksaan penunjang berupa CT-scan dengan
kontras apabila kecurigaan mengarah kepada abses parafaring. Dapat terlihat
gambaran hipodens, baik tunggal maupun multipel, dengan adanya air/fluid
center dengan enhancement kontras pada dinding abses. Dapat juga ditemukan
adanya edema pada jaringan, serta adanya trombosis pada vena jugularis interna.
antara
lain
Prevotella,
Porphyromonas,
Fusobacterium
dan
17
Manifestasi klinis
Gejala klinis yang umum dirasakan oleh pasien adalah adanya massa pada
daerah leher disertai dengan rasa sulit menelan. Pasien juga dapat merasakan
adanya demam sebagai akibat dari proses infeksi, serta elevasi lidah yang dapat
menyebabkan blokade dari saluran nafas. Dapat juga terjadi trismus, dan nyeri
gigi.
Diagnosa
dari
infeksi
submandibula
dibuat
dengan
anamnesa,
18
Pemeriksaan
penunjang
meliputi
pemeriksaan
laboratorium
serta
Gambar 13. Gambaran lesi pada CT-scan pasien dengan infeksi submandibula
Komplikasi
Komplikasi pada infeksi ruang submandibula yang tersering adalah sumbatan
jalan nafas, yang dapat berujung pada asfiksia. Dapat juga terjadi sepsis, adanya
perluasan infeksi ke mediastinum berupa mediastinitis, yang dapat berlanjut menjadi
pneumothoraks. Komplikasi lain yang dapat terjadi adalah adanya pneumonia.
2.2.3. Tata Laksana
Langkah pertama dan terpenting dalam tatalaksana infeksi leher dalam ialah menjaga
jalan nafas tetap terbuka. Intubasi dengan pipa endotrakeal dapat dilakukan namun harus
diwaspadai resiko spasme laringeal dan ruptur abses yang dapat berakibat terjadi aspirasi pus
dan kontaminasi pada jalan nafas bagian atas dan bawah. Bila intubasi tidak dapat dilakukan
maka tindakan krikotirotomi atau trakeostomi dapat dipertimbangkan. Jika tindakan
krikotirotomi dilakukan, maka sebaiknya dalam 24 jam diganti dengan trakeostomi untuk
mencegah komplikasi laringeal.1
19
Setelah jalan nafas dijaga, langkah selanjutnya adalah melakukan kultur darah (dilakukan
ketika pasien febris) dan kultur dari abses. Sambil menunggu hasil kultur dapat diberikan
antibiotik yang efektif untuk streptococcus, bakteri anaerob dan bakteri penghasil beta
laktamase. Jika hasil kultur telah didapatkan, maka direkomendasikan penggunaan antibiotik
sesuai bakteri penyebab.
Jenis antibiotik yang dapat digunakan:
1. Ampisilin-sulbaktam 1,5-3 g IV setiap 6 jam
Ampisilin merupakan antibiotik spektrum luas yang efektif terutama terhadap bakteri
gram positif namun juga efektif terhadap bakteri gram negatif dan bakteri anaerob.
Bakteri gram positif yang sensitif terhadap ampisilin adalah Streptococcus pneumoniae,
jenis Streptococci lain,dan L monocytogenes. Bakteri gram negatif yang sensitif terhadap
ampisilin ialah M. catarrhalis, N. gonorrhoea, N. meningitidis, E. coli, P. mirabilis,
Salmonella, Shigella, dan H. influenzae.
2. Klindamisin 600-900 mg IV setiap 8 jam
Merupakan pengobatan alternatif pada pasien yang alergi terhadap penisilin. Klindamisin
terutama berguna untuk infeksi bakteri anaerob terutama B. fragilis dan bermanfaat juga
untuk beberapa bakteri gram positif.
3. Sefoksitin 1-2 g IV setiap 6 jam
Merupakan sefalosporin generasi kedua dimana lebih aktif pada bakteri gram negatif
dibandingkan gram positif. Sefoksitin lebih aktif dari sefalosporin generasi pertama dan
generasi kedua yang lain terhadap bakteri anaerob, seperti B. fragilis.
4. Seftriakson 1-2 g IV setiap 12 jam
Obat ini termasuk golongan sefalosporin generasi ketiga yang lebih aktif terhadap bakteri
gram positif. Efek samping obat ini berupa superinfeksi, reaksi anafilaksis, diare, reaksi
lokal, diskrasia darah, rash, pruritus, demam, peningkatan kadar transaminase dan alkali
fosfatase, leukopenia, neutropenia, kolitis pseudomembran, nefrotoksisitas.
Pada infeksi yang disebabkan oleh Pseudomonas aeruginosa dapat digunakan:
1. Tikarsilin-klavulanat 3-0,1 g IV setiap 4-6 jam
Tikarsilin merupakan kelompok penisilin anti-pseudomonas, termasuk golongan
karboksi penisilin. Tikarsilin berspektrum lebih luas dibanding ampisilin, termasuk P.
aeruginosa dan kokus gram negatif. Aktif terhadap bakteri gram positif kecuali
enterokokus dan stafilokokus. Tambahan klavulanat memperluas spektrum tikarsilin.
20
21
dibersihkan serta dipasang kasa yang mengandung iodoform kedalam luka operasi, dan
dipasang drain.
1. Abses peritonsil
Prosedur operatif yang dapat dilakukan untuk mengatasi abses peritonsil terdiri
dari aspirasi, insisi dan drainase, dan tonsilektomi. Pada aspirasi abses sering dibutuhkan
tindakan aspirasi berulang sehingga insisi dan drainase lebih efektif dibandingkan
aspirasi (tingkat keberhasilannya sebesar 90%).
Pada insisi dan drainase abses diberikan anestesi topikal dan infiltratif dengan
pasien dalam kondisi sadar. Insisi dan drainase dilakukan pada daerah abses yang paling
menonjol yang biasanya berada pada palatum molle, superior dari pole atas tonsil. Bila
area yang paling menonjol tidak terlihat maka dibuat garis imajiner dari dasar uvula
sampai geraham atas terakhir pada sisi yang sakit. Setelah dilakukan drainase, diberikan
penisilin atau klindamisin. Drainase juga dapat dilakukan dengan tambahan tonsilektomi.
22
2. Abses retrofaring
Pembedahan pada abses retrofaring dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu insisi
transoral dan insisi eksternal. Insisi transoral lebih banyak digunakan, dimana pasien
diposisikan dalam rose position yaitu leher diekstensikan bersama dengan ekstensi
sendi atlanto-occipital sehingga membuat nasofaring menjadi bagian yang paling
menonjol.
Insisi eskternal dilakukan bila abses tidak dapat dijangkau peroral atau ada
keterlibatan rongga leher lain. Insisi dibuat di sepanjang tepi anterior m.
abses
parafaring,
23
4. Abses submandibula
Pada pasien dengan infeksi submandibula, dapat dilakukan tindakan pembedahan
untuk insisi dan drainase abses. Indikasi dari pembedahan meliputi abses berukuran besar,
Ludwigs Angina, serta pasien tidak merespon kepada terapi antibiotik, serta keterlibatan lebih
dari satu ruang leher.13 Pada pasien dengan sumbatan jalan nafas, gold standard tindakan yang
dilakukan adalah trakeostomi dengan anestesi lokal.
BAB III
KESIMPULAN
Abses leher dalam terbentuk didalam ruang potensial diantara fascia leher yang terdiri
dari fascia superfisialis dan profunda. Ruang potensial ini terdiri dari ruang peritonsilar,
retrofaring, parafaring, parotis, prevertebra, vaskular dalam, danger space, submandibularis,
karotis, mastikator, temporal, suprasternal, dan anterior visceral space.
Penyebab abses leher dalam adalah penjalaran infeksi dari berbagai sumber. Pada anak
sering disebabkan oleh infeksi tonsil dan faring sedangkan pada orang dewasa disebabkan oleh
infeksi odontogenik dan kelenjar air liur. Bakteri penyebab abses leher dalam biasanya
polimikroba yang terdiri dari bakteri aerob (Streptococcus viridians, hemolitik stretokokus,
stafilokokus, diphteroids, Neisseria, Klebsiella
Manifestasi abses leher dalam antara lain adalah nyeri tenggorokan, kesulitan dalam
menelan (dysphagia), rasa sakit ketika menelan (odynophagia), trismus, demam, dan malaese.
Penegakan diagnosis dapat dilakukan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penujang. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan terdiri dari pemeriksaan labolatorium,
kultur dan uji resistensi, dan pemeriksaan radiologis. Pemeriksaan radiologis yang dapat
dilakukan berupa foto polos, USG, CT scan dan MRI.
Tatalaksana abses leher dalam terdiri dari pembebasan jalan nafas yang dapat dilakukan
dengan intubasi, krikotirotomi atau trakeostomi, pemberian antibiotik dan operasi. Pemberian
antibiotik dipilih yang berspektrum luas yang efektif baik untuk bakteri aerob, anaerob, gram
positif dan negatif. Antibiotik yang sering digunakan ialah ampilisin-sulbaktam, klindamisin,
sefoksitin dan seftriakson. Operasi dilakukan bila terlah terbentuk abses, bila absesnya kecil
dapat dilakukan monitoring selama 48 jam dan bila kondisi memburuk maka dilakukan operasi.
Pada abses besar, abses yang telah menekan jalan napas dan yang tidak efektif dengan pemberian
antibiotik maka segera dilakukan operasi.
Abses leher dalam ini jika tidak ditangani dengan adekuat akan menimbulkan berbagai
macam komplikasi yang tidak jarang merupakan komplikasi yang mengancam nyawa.
Komplikasi yang dapat muncul berupa penyebaran abses ke ruang leher lain, obstruksi jalan
nafas, mediastinitis, pneumonitis aspirasi dan abses otak.
DAFTAR PUSTAKA
1. Soepardi, Efiaty Arsyad dkk, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok
Kepala Leher edisi tujuh, FK UI, 2012.
2. Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Farmakologi dan Terapi edisi 5. 2007. Jakarta:Gaya Baru.
3. Bailey BJ, Johnson JT, Newlands SD. Head & Neck Surgery Otolaryngology 4thed.
2006. Luppincot Williams & Wilkins.
4. Nicholas JG. Peritonsillar Abscess. Broadlawns Medical Center, Des Moines, Iowa.
2008. American Academy of Family Physicians.
5. Lalwani AK. Current Diagnosis & Treatment Otolaryngology Head and Neck
Surgery 2nd edition, McGraw-Hills AccessMedicine, 2007.
6. Jason LA. Pediatric Retropharyngeal Abscess. 2011. Diakses dari
http://emedicine.medscape.com/article/995851-overview [1 Oktober 2015]
25
26