Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia masih menghadapi masalah gizi yaitu Kurang Energi Protein (KEP),
anemia gizi, GAKY dan KVA. Pada saat ini masalah KEP perlu mendapat perhatian yang
serius karena prevalensinya terus meningkat dan merupakan bentuk kekurangan gizi yang
terutama terjadi pada anak usia di bawah lima tahun. KEP adalah salah satu gizi kurang
akibat konsumsi makanan yang tidak cukup mengandung energi dan protein serta karena
gangguan kesehatan. Anak balita (1-5 tahun) merupakan kelompok umur yang paling sering
menderita akibat kekurangan gizi (KEP) atau termasuk salah satu kelompok masyarakat
yang rentan gizi. Kurang Energi Protein (KEP) adalah salah satu masalah gizi utama
disamping masalah
gizi
lainnya.
Berdasarkan
laporan
organisasi kesehatan
dunia
BB sangat kurang, 5784 orang (11,8%) yang menderita BB kurang, 40804 orang (83,5%)
yang memiliki BB normal, 728 orang (1,5%) yang menderita BB lebih. Menurut status
1
gizi (TB/U) ditemukan 5690 orang (11,6%) yang menderita sangat pendek, 8968 orang
(18,4%) yang menderita pendek, dan 33213 orang (68,0%) yang normal. Menurut status
gizi (BB/TB) ditemukan 1781 orang (3,6%) yang menderita sangat kurus, 3550 orang
(7,3%) yang menderita kurus, 39417 orang (80,7%) yang normal, 3720 orang (7,6%) yang
menderita gemuk. Dari data tersebut. Kabupaten Pasaman Barat merupakan urutan pertama
paling tinggi yang memiliki status gizi balita menurut (BB/TB) dengan jumlah balita yang
ditimbang 3335, yaitu 330 (9,9%) balita yang menderita sangat kurus,dan 365 (10,9%)
balita yang menderita kurus.
Daftar hasil Pemantauan Status Gizi (PSG) balita. Dinas Kesehatan Kabupaten
Pasaman Barat (Pasbar) tahun 2011, dengan jumlah balita yang ditimbang
3311 orang,
menurut status gizi (BB/TB) ditemukan 99 orang (3,00 %) yang menderita sangat kurus, 297
orang (9,0 %) yang menderita kurus, 2562 orang (77,4%) yang normal, dan 342 orang
(10,3%) yang menderita gemuk. Dari data tersebut wilayah kerja Puskesmas Sei Aur
Kabupaten Pasaman Barat ditemukan angka yang tinggi pada status gizi balita kurus dan
sangat kurus menurut (BB/TB). Berdasarkan daftar hasil Pemantauan Status Gizi (PSG)
balita di wilayah kerja puskesmas Sei Aur Kabupaten Pasaman Barat (Pasbar) tahun 2011
dengan jumlah balita yang ditimbang 300 orang, menurut (BB/TB) ditemukan 4 anak
balita (1,3 %) yang menderita yang sangat kurus, 19 anak balita (6,3 %) yang menderita kurus,
249 anak balita (83 %) yang normal, dan 26 anak balita (8,7 %) yang menderita gemuk.
Puskesmas Sei Aur merupakan salah satu dari 11 Puskesmas yang ada di Kabupaten
Pasaman Barat tahun 2012, terletak di Kecamatan Sei Aur. Puskesmas Sei Aur memiliki 35
posyandu dengan jumlah balita 3158. Mata pencaharian masyarakat pada umumnya adalah
petani (petani karet, sawit, sawah) buruh perkebunan, serta sebagian kecil sebagai
pedagang dan pegawai negri. Oleh sebab itu kebanyakan dari masyarakat ini memiliki
balita ditinggal di rumah bersama anggota keluarga yang lain sedangkan orang tua mereka
bekerja dikebun atau disawah.
B. Rumusan Masalah
1.
2.
3.
4.
5.
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
a. Untuk mengetahui apa saja masalah KEP yang ditimbulkan di Indonesia.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui cara mendiagnosa KEP pada balita.
b. Untuk mengetahui dampak KEP terhadap balita.
c. Untuk mengetahui program penanggulangan yang seharusnya dilakukan untuk
mengatasi KEP di Kecamatan Sukumanunggal Kabupaten Guyub Rukun.
BAB II
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
A. Analisis
1. Skenario
Di Puskesmas Sukamaju Kecamatan Sukumanunggal Kabupaten Guyub Rukun,
ditemukan data penyakit dalam waktu 5 tahun terakhir seperti tabel 1. Puskesmas akan
menganalisa permasalahan kasus di puskesmas tersebut.
Sebagian besar penduduk di wilayah Puskesmas Sukamaju bekerja sebagai petani dengan
sebagian besar penduduk berpendidikan SD/SMP. Sumber air yang dipakai untuk kehidupan
sehari-hari berasal dari sungai yang ada di daerah tersebut. Kegiatan posyandu di wilayah
Puskesmas Sukamaju tidak berjalan dengan baik.
Tabel 1 : Data prevalensi KEP selama 5 tahun berturut-turut (th 2006-th 2010) di Puskesmas
Sukamaju.
KEP
2006
2007
2008
2009
2010
1%
2%
3%
3,5%
3,8%
(BALITA)
2. LEARNING OBJECTIVE
a) Mampu mengetahui masalah utama yang ada di Puskesmas Sukamaju
1. Menjelaskan definisi KEP
2. Menjelaskan penyebab kejadian KEP
3. Menjelaskan gejala klinis KEP
4
marasmus. Peran faktor menggunakan bahan makanan tertentu sosial, seperti pantangan untuk
yang sudah turun temurun dapat mempengaruhi terjadinya KEP. Ada pantangan yang
berdasarkan agama, tetapi ada juga pantangan yang berdasarkan tradisi yang sudah turun
temurun, tetapi kalau pantangan tersebut berdasarkan pada agama, maka akan sulit untuk diatasi.
Jika pantangan berdasarkan pada kebiasaan atau tradisi, maka dengan pendidikan gizi yang baik
dan dilakukan dengan terus-menerus hal ini akan dapat diatasi (Pudjiadi, 2000).
Jellife (1998), menyatakan bahwa keadaan gizi seseorang merupakan hasil interaksi dari
semua aspek lingkungan termasuk lingkungan fisik, biologik, dan faktor kebudayaan. Secara
garis besar, faktor-faktor yang menentukan keadaan gizi masyarakat, khususnya anak-anak
adalah tingkat pendidikan orang tua, keadaan ekonomi, tersedianya cukup makanan serta aspekaspek kesehatan. Tiap- tiap faktor tersebut dapat berpengaruh pada keadaan gizi masyarkat, baik
secara langsung maupun tidak langsung.
KEP pada dasarnya sangat ditentukan oleh 2 faktor. Faktor-faktor yang secara langsung
dapat mempengaruhi terjadinya KEP pada balita adalah makanan dan ada atau tidaknya penyakit
infeksi. Kedua faktor ini dipengaruhi oleh kualitas dan kuantitas makanan yang dimakan oleh
seseorang anak, antara lain ditentukan oleh beberapa faktor penyebab tidak langsung, yaitu: a)
Zat-zat gizi yang terkandung di dalam makanan, b) Daya beli keluarga, meliputi penghasilan,
harga bahan makanan dan pengeluaran keluarga unutk kebutuhan lain selain makanan; c)
Kepercayaan ibu tentang makanan serta kesehatan; d) Ada atau tidaknya pemeliharaan kesehatan
termasuk kebersihan; dan e) Fenomena sosial dan keadaan lingkungan (Levinson, 1979 dalam
Lismartina, 2000).
Menurut Departemen Kesehatan RI (1999) dalam tata buku pedoman Tata Laksana KEP
pada anak di puskesmas dan di rumah tangga, KEP berdasarkan gejala klinis ada 3 tipe yaitu
KEP ringan, sedang dan berat (gizi buruk). Untuk KEP ringan dan sedang, gejala klinis yang
ditemukan hanya anak tampak kurus. Gejala klinis KEP berat/gizi buruk secara garis besar dapat
dibedakan sebagai marasmus, kwashiorkor dan marasmus-kwashiorkor.
Salah satu sebab yang mengakibatkan terjadinya marasmus adalah kehamilan berturutturut dengan jarak kehamilan yang masih terlalu dini. Selain itu marasmus juga disebabkan
karena pemberian makanan tambahan yang tidak terpelihara kebersihannya serta susu buatan
yang terlalu encer dan jumlahnya tidak mencukupi karena keterbatasan biaya, sehingga
kandungan protein dan kalori pada makanan anak menjadi rendah. Keadaan perumahan dan
lingkungan yang kurang sehat juga dapat menyebabkan penyajian yang kurang sehat dan kurang
bersih. Demikian juga dengan penyakit infeksi terutama saluran pencernaan. Pada keadaan
lingkungan yang kurang sehat, dapat terjadi infeksi yang berulang sehingga menyebabkan anak
kehilangan cairan tubuh dan zat-zat gizi sehingga anak menjadi kurus serta turun berat badannya
(Depkes, 1999)
Kwashiorkor dapat ditemukan pada anak-anak yang setelah mendapatkan ASI dalam
jangka waktu lama, kemudian disapih dan langsung diberikan makan seperti anggota keluarga
yang lain. Makanan yang diberikan pada umumnya rendah protein. Kebiasaan makan yang
kurang baik dan diperkuat dengan adanya tabu seperti anak-anak dilarang makan ikan dan
memprioritaskan makanan sumber protein hewani bagi anggota keluarga laki-laki yang lebih tua
dapat menyebabkan terjadinya kwashiorkor. Selain itu tingkat pendidikan orang tua yang rendah
dapat juga mengakibatkan terjadinya kwashiorkor karena berhubungan dengan tingkat
pengetahuan ibu tentang gizi yang rendah. (Depkes, 1999)
Pola yang mempengaruhi gizi buruk menurut suatu studi, " positive deviance"
mempelajari mengapa dari sekian banyak bayi dan balita di suatu desa miskin hanya sebagian
kecil yang gizi buruk, padahal orang tua mereka semuanya petani miskin. Dari studi ini diketahui
pola pengasuhan anak berpengaruh pada timbulnya gizi buruk. Anak yang diasuh ibunya sendiri
dengan kasih sayang, apalagi ibunya berpendidikan, mengerti soal pentingnya ASI, manfaat
posyandu dan kebersihan, meskipun sama-sama miskin, ternyata anaknya lebih sehat. Unsur
pendidikan perempuan berpengaruh pada kualitas pengasuhan anak. Sebaliknya, sebagian anak
yang gizi buruk ternyata diasuh oleh nenek atau pengasuh yang juga miskin dan tidak
berpendidikan. Banyaknya perempuan yang meninggalkan desa untuk mencari kerja di kota
bahkan menjadi tenaga kerja Indonesia (TKI), kemungkinan juga dapat menyebabkan anak
menderita gizi buruk. (Seminar Hari Pangan Sedunia XXVII,2000)
Faktor yang berikutnya pelayanan kesehatan, imunisasi, penanganan diare dengan oralit,
tindakan cepat pada balita yang tidak naik berat badan, pendidikan, penyuluhan kesehatan dan
gizi, dukungan pelayanan di POSYANDU (Pos Pelayanan Terpadu), penyediaan air bersih,
kebersihan lingkungan dan sebagainya. Pelayanan kesehatan yang lemah dan tidak memuaskan
masyarakat baik karena tidak terjangkau maupun mutunya. (Seminar Hari Pangan Sedunia
XXVII,2000)
B. Kwashiokor
1. Edema, umumnya seluruh tubuh, terutama pada punggung kaki (dorsum pedis)
2. Wajah membulat dan sembab
3. Pandangan mata sayu
4. Rambut tipis, kemerahan seperti warna rambut jagung, mudah dicabut tanpa rasa sakit,
rontok
5. Perubahan status mental, apatis, dan rewel
6. Pembesaran hati (Hepatomegali)
7. Otot mengecil (hipotrofi), lebih nyata bila diperiksa pada posisi berdiri atau duduk
8. Kelainan kulit berupa bercak merah muda yang meluas dan berubah warna menjadi
coklat kehitaman dan terkelupas (crazy pavement dermatosis)
9. Sering disertai:
- Penyakit infeksi, umumnya akut
- Anemia
- Diare
C. Marasmic Kwashiorkor
- Gambaran klinik merupakan campuran dari beberapa gejala klinik Kwashiorkor
dan Marasmus, dengan BB/U < 60% baku median WHO-NCHS disertai edema
yang tidak mencolok
Klasifikasi
Gizi Buruk
Klinis
Antopometri (BB/TB-PB)
Gizi Kurang
Kurus
3 SD
Gizi Baik
Normal
-2 SD
Gizi Lebih
Gemuk
> + 2 SD
< -2 SD
+ 2 SD
1. Umur dihitung dalam bulan penuh. Contoh : umur 2 bulan 29 hari dihitung sebagai umur
2 bulan.
2. Ukuran Panjang Badan (PB) digunakan untuk anak umur 0 sampai 24 bulan yang diukur
telentang. Bila anak umur diatas 0 sampai 24 bulan diukur berdiri, maka hasil
pengukurannya dikoreksi dengan menambahkan 0,7 cm.
3. Ukuran Tinggi Badan (TB) digunakan untuk anak umur diatas 24 bulan yang diukur
berdiri. Bila anak umur diatas 24 bulan diukur telentang, maka hasil pengukurannya
dikoreksi dengan mengurangkan 0,7 cm.
4. Gizi Kurang dan Gizi Buruk adalah status gizi yang didasarkan pada indeks Berat Badan
menurut Umur (BB/U) yang merupakan padanan istilah underweight (gizi kurang) dan
severely underweight (gizi buruk)
5. Pendek dan Sangat Pendek adalah status gizi yang didasarkan pada indeks Panjang Badan
menurut Umur (PB/U) atau Tinggi Badan menurut Umur (TB/U) yang merupakan
padanan istilah stunted (pendek) dan severely stunted (sangat pendek)
6. Kurus dan Sangat Kurus adalah status gizi yang didasarkan pada indeks Berat Badan
menurut Panjang Badan (BB/PB) atau Berat Badan menurut Tinggi Badan (BB/TB) yang
merupakan padanan istilah wasted (kurus) dan severely wasted (sangat kurus)
10
(Kategori dan Ambang Batas Status Gizi Anak; Kementerian Kesehata RI 2011)
11
Bolus 50 ml larutan Glukosa 10% atau sukrosa 10% kemudian mulai pemberian F75
setiap 2 jam, untuk 2 jam pertama berikan dari dosis makanan setiap 30 menit
Antibiotik spectrum luas
Pemberian makan per 2 jam
Bila Anak tidak Sadar
Glukosa 10% intravena (5mg/ml), diikuti dengan 50 ml glukosa 10% atau sukrosa lewat
NGT kemudian pemberian F75 setiap 2 jam, untuk 2 jam pertama berikan dari dosis
makanan setiap 30 menit
Antibiotik spectrum luas
Pemberian makan per 2 jam
Monitor
Kadar gula darah
Suhu rektal
Tingkat kesadaran
Pencegahan
Berikan makanan F-75 setiap 2 jam, mulai secara langsung atau bila perlu lakukan
rehidrasi terlebih dahulu
Selalu berikan makanan pada malam hari (Rusli Sjarif, 2011)
2. Atasi / Cegah Hipotermia
Jika Suhu Aksila <35,0 C
Lakukan pemeriksaan suhu rectal dengan menggunakan termometer air raksa.
Jika Suhu Rektal <35,5 C
Beri makanan secara langsung
Hangatkan anak : selain memakaikan pakaian tutupi dengan selimut hangat hingga
kepala kecuali wajah, atau tempatkan didekat penghadap atau lampu, atau letakkan
anak pada ibu
Berikan antibiotic spectrum luas
Monitor
Cek suhu rektal tiap 30 menit sampai suhu > 36,5 C
Yakinkan anak tertutupi seluruh permukaan tubuhnya terutama malam hari
Cek kadar gula
Pencegahan
Berikan makanan setiap 2 jam, langsung dimulai pemberian makanan
Selalu berikan makanan (F75 atau F100) baik siang maupun malam
Tetap tutupi anak dan hindari paparan langsung dengan udara
Jaga agar anak tetap kering, segera ganti popok, pakaian dan alas tempat tidur anak
bila basah
Biarkan anak tidur dengan ibu atau pengasuh pada malam hari agar kehangatan terjaga
3. Atasi / Cegah Dehidrasi
Terapi
Larutan gula-garam standar untuk rehidrasi oral mengandung terlalu banyak natrium
dan sedikit K bagi anak malnutrisi berat. Oleh karena itu diberikan larutan rehidrasi
khusus yaitu Rehydration Solution for malnutrition
12
ReSoMal 5ml/kg/jam selama 4-10 jam, berikutnya: jumlah yang seharusnya diberikan
ditentukan oleh berapa banyak anak mau minum dan jumlah diare dan muntah
Selanjutnya bila sudah rehidrasi, hentikan pemberian resomal dan lanjutkan F75 setiap
2 jam
Bila masih diare, beri resomal setiap anak diare (<2 tahun: 50-100 ml dan anak> 2
atau F100
4. Koreksi Ketidakseimbangan Elektrolit
Terapi
Ekstra Kalium 3-4mmol/kg/hari
Ekstra magnesium 0,4-0,6 mmol/kg/hari
Saat rehidrasi, berikan cairan rendah natrium
Berikan makanan tanpa garam
5. Atasi / Cegah Infeksi
Antibiotik Spektrum Luas
Anak dengan kondisi tidak terdapat komplikasi atau infeksi tidak nyata, beri
Kotrimoksasol 5 ml larutan pediatrik per oral dua kali sehari selama 5 hari (2,5ml jika
berat <6 kg)
Anak dengan kondisi sakit berat (apatis,letargi) atau terdapat komplikasi, beri
Ampicilin 50mg/kg IM atau IV per 6 jam untuk 2 hari, kemudian dilanjutkan amoksisilin
per oral 15mg/kg per 8 jam untuk 5 hari, atau jika amoksisilin tidak tersedia, lanjutkan
dengan ampisilin oral 50mg/kg per 6 jam (Rusli Sjarif, 2011)
Zinc 2mg/kgbb/hari
Copper 0,3mg/kgbb/hari
Preparat besi 3mg/kg/hari
7. Memulai Pemberian Makanan
Fase Stabilisasi
Pemberian makanan dengan porsi kecil dan sering dengan osmolaritas rendah dan
pemberian laktosa (F75)
Pemberian makanan secara oral atau lewat NGT
Energi 80-100 kcal/kgbb/hari
Protein 1-1,5 g/kgbb/hari
Cairan 130 ml/kgbb/hari cairan
Apabila anak minum ASI, lanjutkan pemberian ASI setelah formula dihabiskan
Monitor
Jumlah yang diberikan dan dikeluarkan (muntah) atau tersisa
Frekuensi muntah
Frekuensi BAB cair
Berat badan harian
8. Mengupayakan Tumbuh-Kejar
Fase rehabilitasi perlu pendekatan yang baik untuk pemberian makan dalam pencapaian asupan
yang tinggi dan kenaikan berat badan yang cepat (>10g /kg/hari). Formula yang dianjurkan pada
fase ini adalah F100 yang mengandung 100 kkal/100 ml dan 2,9 g protein /100 ml.
Untuk merubah dari pemberian makanan awal ke makanan kejar-tumbuh. (Transisi)
Ganti formula F75 dengan F100 dalam jumlah yang sama selama 48 jam
Kemudian volume ditambah bertahap sebanyak, 10-15 ml per kali hingga mencapai 150
kkal/kgbb/hari
Energi 100-150kkal/kgbb/hari
Protein 2-3g/kgbb/hari
Bila anak masih mendapatASI, tetap berikan diantara pemberian formula
Monitor
Frekuensi napas
Frekuensi nadi
Fase Rehabilitasi
Lanjutkan menambah volume pemberian F100 hingga ada makanan sisa yang tidak bias
kejar
Energi 150-220kcal/kg/hari
Protein 4-6gram protein/kg/hari
Bila anak masih mendapat ASI tetap berikan diantara pemberian formula
Monitor
14
Timbang berat badan tiap pagi sebelum makan, plot pada formulir pemantauan berat
badan
Tiap minggu hitung dan catat pertambahan berat badan dalam satuan gram/kgbb/hari
infeksi
Sedang (5-10 gram/kgbb/hari) lanjutkan tatalaksana
Baik (>10 gram/kgbb/hari) lanjutkan tatalaksana (Rusli Sjarif, 2011)
Rusli Sjarif et al. 2011. Buku Ajar Nutrisi Pediatrik dan Penyakit Metabolik, Jilid I. Jakarta : IDAI.
1. Revitalisasi Posyandu
Pelatihan & pembinaan kader beserta petugas
Penyediaan sarana terutama dacin, KMS atau buku KIA, panduan posyandu, media KIE
& sarana pencatatan
2. Revitalisasi Puskesmas
Pelatihan manajemen program gizi di puskesmas
15
keluarga miskin
Pemberian makanan tambahan (PMT) berupa MP-ASI bagi bayi usia 6-23 bulan dan
PMT pemulihan pada anak 24-59 bulan kepada balita gizi kurang dari keluarga miskin
Pemberian suplementasi (vitamin A, sirup Fe)
4. Promosi Keluarga Sadar Gizi
Menyusun strategi promosi keluarga sadar gizi
Mengembangkan, menyediakan dan menyebarluaskan materi promosi kesehatan pada
masyarakat
Melakukan kampanye secara bertahap dan tematik (Depkes RI, 2005)
5. Pemberdayaan Keluarga
6. Revitalisasi Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi
Memfungsikan system pelaporan, diseminasi informasi dan pemanfaatannya
Penyediaan data gizi secara reguler (pemantauan status gizi, untuk semua kelompok
umur, pemantauan konsumsi gizi, analisis data Susenas).
16
A. Men
1. Pendidikan rendah
2. Mayoritas pekerjaan petani
3. Balita
B. Money
4. Sosial ekonomi penduduk rendah
C. Material
5. Kurangnya konsumsi protein
6. Kurangnya sumber daya air yang memadai
D. Method
7. Kurangnya promosi kesehatan
8. Kurang berjalan dengan baik kegiatan posyandu
E. Management
9. Meningkatnya kebutuhan protein
BAB III
17
RENCANA PROGRAM
No
Kegiatan
Sasaran
Target
Penyuluhan
tentang
pentingnya
kesehatan
Masyarakat
Bertambahnya
pemahaman
masyarakat
tentang gizi
dan dampak
yang
ditimbulkan.
Penyuluhan
tentang
pentingnya
zat besi
Masyarakat
Penyuluhan
tentang
makanan
sehat dan
bergizi
Masyarakat
(Terutama
Orang Tua)
Pengenalan
program
BPJS
Kesehatan
Masyarakat
Bertambahnya
pemahaman
masyarakat
mengenai
pentingnya zat
besi dalam
tubuh dan
komplikasi
yang
ditimbulkan
jika
kekurangan zat
besi.
Bertambahnya
pemahaman
orang tua
mengenai
pentingnya
makanan yang
sehat dan
bergizi.
Bertambahnya
peserta
pemakai kartu
BPJS.
Tenaga
Pelaksanaan
Dokter
Jadwal
Tujuan
Indikator
3
Bulan
satu
kali
Penurunan
angka
prevalensi
anemia
Dokter
3
Bulan
satu
kali
Meningkatkan
pengetahuan
kepada
masyarakat
tentang gizi
dan dampak
yang
ditimbulkan.
Meningkatkan
kesehatan serta
asupan zat besi
dalam tubuh
Dokter
1
Bulan
satu
kali
Meningkatkan
asupan gizi
Penurunan
angka
prevalensi
anemia
Tenaga
Medis
Setiap
ditemu
kannya
pasien
baru
Meminimalkan
pengeluaran
untuk
pengobatan.
Penurunan
angka
prevalensi
anemia
Penurunan
angka
prevalensi
anemia
BAB IV
18
REKOMENDASI
Penanganan anemia15
Tindakan penting yang dilakukan untuk mencegah kekurangan besi antara lain
(Lubis,2008) :
a. Konseling untuk membantu memilih bahan makanan dengan kadar besi yang secara rutin
pada usia remaja
b. Meningkatkan konsumsi besi dari sumber hewani seperti daging, ikan, unggas, makanan
laut disertai minum sari buah yang mengandung vitamin C (asam askorbat) untuk
meningkatkan absorbsi besi dan menghindari atau mengurangi minum kopi, teh,
minuman ringan yang mengandung karbonat dan minum susu pada saat makan.
c. Suplementasi besi, merupakan cara untuk menanggulangi anemia defisiensi besi di
daerah dengan prevalensi tinggi. Pemberian suplementasi besi pada remaja dosis 1
mg/kgBB/hari.
d. Untuk meningkatkan absorbsi besi, sebaiknya suplementasi besi tidak diberi bersama
susu, kopi, teh, minuman ringan yang mengandung karbonat, multivitamin yang
mengandung phosphate dan kalsium.
e. Skrining anemia, pemeriksaan hemoglobin dan hematokrit masih merupakan pilihan
untuk skrining anemia defisiensi besi
Menurut IDAI, suplementasi besi pada remaja lelaki dan perempuan diberikan dengan dosis
60 mg/hari selama 3 bulan. Pemberian suplementasi besi dengan dosis 60 mg/hari, secara
intermiten (2 kali/minggu), selama 17 minggu, pada remaja perempuan ternyata terbukti dapat
meningkatkan feritin serum dan free erythrocyte protoporphyrin (FEP). Penambahan asam folat
pada remaja perempuan dengan pertimbangan pencegahan terjadinya neural tube defect pada
bayi yang akan dilahirkan dikemudian hari16.
Lama pemberian
19
3 mg/kgBB/hari
Cukup bulan
2 mg/kgBB/hari
2 - 5 (balita)
1 mg/kgBB/hari
1 mg/kgBB/hari
12 - 18 (remaja)
60 mg/hari#
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
20
DAFTAR PUSTAKA
21
1. Delmi Sulastri. 2012. Faktor Resiko Kejadian Kurang Energi Protein (KEP) pada Balita
(>2-5 tahun) di wilayah kerja Puskesmas Sei Aur Kabupaten Pasaman Barat Tahun 2012.
FK UNAND. Sumatera Barat.
2. Depkes RI, Gizi dalam angka. Jakarta; 2005
3. Khumaedi, M. 1989. Gizi Masyarakat, Bahan Pengajaran. Depdikbud, Dirjen
Pendidikan Tinggi Pusat antar Universitas dan Gizi IPB.
4. Pudjiadi,S. 2000. Ilmu Gizi Klinik Pada Anak. FKM UI, Jakarta
5. Jellife, 1998. The Assesment Of Nutritional Status Of Community WHO. Monograph
Series, no: 53, WHO, Geneva
6. Lismartina, 2000. Faktor-faktor Yang Berhubungan Dengan Terjadinya KEP Pada Anak
Balita Di Kecamatan Tebet Walikotamadya Jakarta Selatan Tahun 2000. Skripsi,
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Depok.
7. Depkes, RI. 2000. Rencana Aksi Pangan Dan Gizi Nasional. Depkes RI, Jakarta.
8. Hernawati Ina, 2000. Pencegahan Dan Penanggulangan Gizi Buruk. Seminar Nasional
Hari Pangan Sedunia XXVII.
9. Depkes, RI. 1999. Pedoman Tatalaksana Kurang Energi Protein Pada Anak Di
Puskesmas Dan Di Rumah Tangga. Jakarta.
10. Kementerian Kesehatan RI. 2011. Standar Antropometri Penilaian Status Gizi Anak.
Jakarta.
11. Rencana Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Gizi Buruk 2005-2009. 2005. Jakarta
: Depkes RI.
22