Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Sistem pernapasan merupakan suatu kegiatan yang terdiri dari serangkaian proses yang
meliputi antara lain; oksigen lingkungan yang masuk ke paru-paru (ventilasi), oksigen yang
berdifusi dari udara ke dalam darah (pertukaran gas paru), serta darah yang memberikan oksigen
ke jaringan (transport gas).1 Sel-sel tubuh memanfaatkan oksigen untuk produksi energy.
Respirasi sel menghasilkan karbon dioksida yang dieliminasi dari tubuh melalui hembusan
napas. Pernapasan normal memerlukan jalan napas yang paten, kemampuan untuk memperluas
rongga dada melalui kontraksi otot interkostal dan diafragma fungsional. Kelainan yang
melibatkan salah satu proses di atas dapat mengakibatkan asfiksia.1
Asfiksia merupakan salah satu kasus penyebab kematian terbanyak yang ditemukan
dalam kasus kedokteran forensik. Asfiksia yang diakibatkan adanya suatu obstruksi pada saluran
nafas disebut asfiksia mekanik dan asfiksia jenis inilah yang paling sering dijumpai dalam kasus
tindak pidana yang menyangkut tubuh dan nyawa manusia.2 Korban kematian akibat asfiksia
termasuk yang sering diperiksa oleh dokter, umumnya urutan ke-3 sesudah kecelakaan lalu lintas
dan trauma mekanik.3 Secara mekanik asfiksia dapat disebabkan oleh proses penggantungan,
pencekikan dan penjeratan. Dalam rutinitas medikolegal perbedaan mekanisme ini sangat
penting karena kasus penggantungan dianggap bunuh diri sehingga dibuktikan sebaliknya
manakal kasus penjeratan dan pencekikan dianggap pembunuhan. 3 Mengetahui gambaran
asfiksia, khususnya pada postmortem serta keadaan apa saja yang dapat menyebabkan asfiksia,
khususnya mekanik mempunyai arti penting terutama dikaitkan dengan proses penyidikan.3
Di Inggris, terdapat lebih dari 2000 kasus bunuh diri dengan penggantungan dilaporkan
tiap tahunnya. Di Amerika Serikat, pada tahun 2001 dilaporkan sebanyak 279 kematian
diakibatkan oleh penggantungan yang tidak disengajakan, dan 131 kematian karena penjeratan. 4
di india dari total 2668 otopsi yang dilakukan dari tahun1997-2004 didapatkan kasus gantung
sebesar 3,4 % atau 91 kasus dan untuk kasus asfiksia akibat penjeratan sekitar 0.15% atau
sebanyak 4 kasus.5 Kasus bunuh diri di Indonesia dewasa ini dinilai cukup memprihatinkan.
Salah satu bentuk bunuh diri yang sering dilakukan adalah gantung diri. Berdasarkan penelitian
di Instalasi Forensik RSUP dr.Sardjito pada tahun 2007-2012 diperoleh 75 kasus kematian akibat
1
asfiksia mekanik dari total 904 kasus, dan 25 diantaranya disebabkan oleh bunuh diri.6 Sampai
saat ini belum ada data pasti yang memaparkan mengenai jenis asfiksia mekanik di Indonesia
khususnya di daerah Jawa Tengah.
Dalam penyidikan untuk kepentingan peradilan dalam kasus tindak pidana, seorang
penyidik berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman
atau dokter atau ahli lainnya. Berdasarkan pasal 179 KUHAP, seorang dokter wajib memberikan
keterangan yang sebaik-baiknya dan sebenarnya menurut pengetahuan dibidang keahliannya
demi peradilan.oleh karena itu seorang dokter perlu mengetahui mengenai ilmu forensik yang
salah satunya tentang asfiksia. Dalam referat ini akan membahas secara garis besar tentang
asfiksia khususnya asfiksia mekanik yang disebabkan adanya penekanan pada bagian leher.7
2. Rumusan Masalah
a. Apa definisi Asfiksia?
b. Apa saja yang termasuk jenis-jenis asfiksia beserta mekanisme terjadinya asfiksia akibat
penekanan pada leher?
c. Bagaimana gambaran post mortem pada Asfiksia akibat penekanan pada leher?
3. Tujuan
Tujuan penulisan referat ini adalah:
a. Sebagai persyaratan mengikuti ujian akhir stase Forensik dan medikolegal di RSUP
Dr. Kariadi Semarang.
b. Menjelaskan definisi asfiksia, jenis-jenis asfiksia, mekanisme asfiksia akibat
penekanan pada leher dan memahami gambaran post mortem pada berbagai kasus
asfiksia akibat penekanan pada leher.
4. Manfaat
Penulisan referat ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan dan wawasan kepada
mahasiswa/mahasiswi yang sedang menjalani stase forensik dan medikolegal mengenai
asfiksia yang meliputi: definisi asfiksia, jenis-jenis asfiksia, mekanisme asfiksia akibat
penekanan pada leher serta gambaran post mortem pada berbagai kasus asfiksia akibat
penekanan pada leher.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I. ASFIKSIA
A. Pengertian
Asfiksia berasal dari bahasa Yunani, yaitu terdiri dari a yang berarti tidak, dan sphinx
yang artinya nadi. Jadi secara harfiah, asfiksia diartikan sebagai tidak ada nadi atau tidak
berdenyut. Pengertian ini sering salah dalam penggunaannya.8,9
Asfiksia merupakan istilah yang sering digunakan untuk menyatakan berhentinya respirasi
yang efektif (cessation of effective respiration) atau ketiadaan kembang kempis (absence of
pulsation). Asfiksia ditandai dengan terjadinya gangguan pertukaran udara pernapasan,
mengakibatkan oksigen darah berkurang (hipoksia) disertai dengan peningkatan karbondioksida
(hiperkapneu). Dengan demikian organ tubuh mengalami kekurangan oksigen dan terjadi
kematian. Secara klinis keadaan asfiksia sering disebut anoksia atau hipoksia.10,11
B. Etiologi Asfiksia
Dari segi etiologi, asfiksia dapat disebabkan oleh hal berikut:12
a. Penyebab alamiah, misalnya penyakit yang menyumbat saluran pernapasan seperti laringitis
difteri atau menimbulkan gangguan pergerakan paru seperti fibrosis paru.
b. Trauma
mekanik
yang
menyebabkan
asfiksia
mekanik,
misalnya
trauma
yang
mengakibatkan emboli udara vena, emboli lemak, pneumotoraks bilateral; sumbatan atau
halangan pada saluran napas, penekanan leher atau dada, dan sebagainya.
c. Keracunan bahan kimiawi yang menimbulkan depresi pusat pernapasan, misalnya karbon
monoksida (CO) dan sianida (CN) yang bekerja pada tingkat molekuler dan seluler dengan
menghalangi penghantaran oksigen ke jaringan.
C. Fisiologi Asfiksia
Secara klinis keadaan asfiksia sering disebut anoksia atau hipoksia. Hipoksia sendiri
adalah suatu keadaan di mana tubuh sangat kekurangan oksigen sehingga sel gagal melakukan
metabolisme secara efektif. Berdasarkan penyebabnya anoksia dibagi menjadi empat kelompok,
yakni:13,14
3
1. Anoksia anoksik
Yaitu keadaan anoksia yang disebabkan karena oksigen tidak dapat mencapai darah sebagai
akibat kurangnya oksigen yang masuk paru-paru. Pada tipe ini oksigen tidak dapat masuk ke
dalam paru-paru karena:
-
Tidak ada atau tidak cukup oksigen. Bernafas dalam ruangan tertutup, kepala di tutupi
kantong plastik, udara yang kotor atau busuk, udara lembab, bernafas dalam selokan
tetutup atau di pegunungan yang tinggi. Ini di kenal dengan asfiksia murni atau sufokasi.
Hambatan mekanik dari luar maupun dari dalam jalan nafas seperti pembekapan, gantung
diri, penjeratan, pencekikan, pemitingan atau korpus alienum dalam tenggorokan. Ini di
kenal dengan asfiksia mekanik.
2. Anoksia anemik
Yaitu keadaan anoksia yang disebabkan karena darah tidak dapat menyerap oksigen,
seperti pada keracunan karbonmonoksida yang disebabkan afinitas karbonmonoksida
terhadap hemoglobin jauh lebih tinggi dibandingkan afinitas oksigen dengan hemoglobin.
Di mana tidak cukup hemoglobin untuk membawa oksigen. Keadaan ini juda didapati pada
anemia berat dan perdarahan yang tiba-tiba. Keadaan ini diibaratkan dengan sedikitnya
kendaraan yang membawa bahan bakar ke pabrik.
3. Anoksia stagnan
Yaitu keadaan anoksia yang disebabkan karena darah tidak mampu membawa oksigen
ke jaringan, seperti pada heart failure atau embolis. Tidak lancarnya sirkulasi darah yang
membawa oksigen. Ini bisa karena gagal jantung, syok dan sebagainya. Dalam keadaan ini
tekanan oksigen cukup tinggi, tetapi sirkulasi darah tidak lancar. Keadaan ini diibaratkan
lalu lintas macet tersendat jalannya.
4. Anoksia histotoksik
Yaitu keadaan anoksia yang disebabkan karena jaringan tidak mampu menyerap
oksigen seperti pada keracunan sianida. Gangguan terjadi di dalam jaringan sendiri,
sehingga jaringan atau tubuh tidak dapat menggunakan oksigen secara efektif. Tipe ini
dibedakan atas:
Ekstraseluler
Anoksia yang terjadi karena gangguan di luar sel. Pada keracunan Sianida terjadi
perusakan pada enzim sitokrom oksidase, yang dapat menyebabkan kematian segera.
4
Pada keracunan Barbiturat dan hipnotik lainnya, sitokrom dihambat secara parsial
sehingga kematian berlangsung perlahan.
Intraselular
Di sini oksigen tidak dapat memasuki sel-sel tubuh karena penurunan permeabilitas
membran sel, misalnya pada keracunan zat anastetik yang larut dalam lemak seperti
kloform, eter dan sebagainya.
Metabolik
Di sini asfiksia terjadi karena hasil metabolik yang mengganggu pemakaian O 2 oleh
jaringan seperti pada keadaan uremia.
Ketiga jenis anoksia yang terakhir (yakni anoksia anemik, stagnan dan histotoksik)
disebabkan penyakit atau keracunan, sedangkan anoksia yang pertama (yakni anoksia anoksik)
disebabkan kurangnya oksigen atau obstruksi pada jalan nafas baik karena penyakit maupun
sebab kekerasan (yang bersifat mekanik). Asfiksia mekanik (mechanical asphixia) adalah jenis
yang paling sering dijumpai dalam kasus tindak pidana yang menyangkut nyawa manusia.
Dalam kedokteran forensik istilah asfiksia, sering disebut dengan mati lemas.13,14
Asfiksia mekanik terjadi bila udara pernapasan terhalang memasuki saluran pernapasan
yang bersifat mekanik, misalnya:12
a. Penekanan dinding saluran pernapasan, seperti penjeratan (strangulation), pencekikan
(manual strangulation, throttling) dan gantung (hanging).
b. Penutupan lubang saluran pernapasan bagian atas, seperti pembekapan (smothering) dan
penyumbatan (gagging & choking).
c. Penekanan dinding dada dari luar (asfiksia traumatik).
d. Tenggelam (drowning) yaitu saluran napas terisi air.
D. Jenis-jenis Asfiksia
Adapun beberapa jenis kejadian yang dapat digolongkan sebagai asfiksia, yaitu:14
1. Strangulasi
a. Gantung (Hanging)
b. Penjeratan (Strangulation by Ligature)
c. Pencekikan (Manual Strangulation)
2. Sufokasi
3. Pembengkapan (Smothering)
4. Penyumpalan (Choking/ Gagging)
5
5. Tenggelam (Drowning)
6. Crush Asphyxia
a. Tekanan pada dada oleh benda berat
b. Berdesakan
7. Keracunan CO dan SN
E. Patofisiologi Asfiksia
a.
b.
c.
d.
Dari pandangan patologi, kematian akibat asfiksia dapat dibagi dalam 2 golongan, yaitu:
1. Primer (akibat langsung dari asfiksia)
Kekurangan oksigen ditemukan di seluruh tubuh, tidak tergantung pada tipe dari
asfiksia. Sel-sel otak sangat sensitif terhadap kekurangan oksigen. Bagian-bagian otak
tertentu membutuhkan lebih banyak oksigen, dengan demikian bagian tersebut lebih
rentan terhadap kekurangan oksigen. Perubahan yang karakteristik terlihat pada sel-sel
serebrum, serebellum, dan basal ganglia.15,16
Di sini sel-sel otak yang mati akan digantikan oleh jaringan glial, sedangkan pada
organ tubuh yang lain yakni jantung, paru-paru, hati, ginjal dan yang lainnya perubahan
akibat kekurangan oksigen langsung atau primer tidak jelas.15,16
2. Sekunder (berhubungan dengan penyebab dan usaha kompensasi dari tubuh)
Jantung berusaha mengkompensasi keadaan tekanan oksigen yang rendah dengan
mempertinggi outputnya, akibatnya tekanan arteri dan vena meninggi. Karena oksigen
dalam darah berkurang terus dan tidak cukup untuk kerja jantung, maka terjadi gagal
jantung dan kematian berlangsung dengan cepat. Keadaan ini didapati pada:
Obstruksi jalan napas seperti pada mati gantung, penjeratan, pencekikan dan korpus
alienum dalam saluran napas atau pada tenggelam karena cairan menghalangi udara
masuk ke paru-paru.
Penghentian primer dari pernafasan akibat kegagalan pada pusat pernafasan, misalnya
pada luka listrik dan beberapa bentuk keracunan.15,16
F. Gejala Klinis
Pada orang yang mengalami asfiksia akan timbul 4 (empat) Fase gejala klinis, yaitu:
1. Fase Dispnea
Pada stadium ini terjadi karena kekurangan O2 disertai meningkatnya kadar CO2
dalam plasma akan merangsang pusat pernafasan di medulla oblongata, sehingga gerakan
pernafasan lebih cepat dan berat, denyut nadi lebih cepat, tekanan darah meningkat serta
sianosis.. Bila keadaan ini berlanjut, maka masuk ke fase konvulsi. Lama durasi pada fase
ini sekitar 4 menit.14,16
2. Fase Konvulsi
Pada stadium ini kadar CO2 yang naik menimbulkan rangsangan susunan saraf pusat
sehingga terjadi kejang (konvulsi), yang mula-mula berupa kejang klonik tetapi
kemudian menjadi kejang tonik dan akhirnya timbul spasme opistotonik. Pupil
mengalami dilatasi, denyut jantung menjadi lebih lambat, dan tekanan darah perlahan
akan ikut menurun. Hal ini disebabkan adanya paralisis pada pusat saraf yang letaknya
lebih tinggi. Lama durasi pada fase ini sekitar 2 menit.14,16
3. Fase Apnea
Pada stadium ini depresi pusat pernafasan menjadi lebih hebat. Otot pernapasan
menjadi lemah, kesadaran menurun, tekanan darah semakin menurun, pernafasan dangkal
dan semakin memanjang, akhirnya berhenti bersamaan dengan lumpuhnya pusat-pusat
kehidupan. Walaupun nafas telah berhenti dan denyut nadi hampir tidak teraba, pada fase
ini bisa dijumpai jantung masih berdenyut beberapa saat lagi. Dan terjadi relaksasi
sfingter yang dapat terjadi pengeluaran cairan sperma, urin dan tinja secara mendadak.
Lama durasi pada fase ini sekitar 1 menit.14,16
4. Fase Akhir
Pada stadium ini terjadi paralisis pusat pernapasan yang komplit, jantung masih
berdenyut saat postapneu. Pernafasan berhenti setelah kontraksi otomatis otot pernafasan
kecil pada leher.14,16
Masa dari saat asfiksia timbul sampai terjadinya kematian sangat bervariasi tergantung
tingkat pengahalangan oksigen, bila tidak 100% maka waktu kematian akan lebih lama dan
tanda-tanda asfiksia akan lebih jelas dan lengkap.
Gambar 1. Skema proses perjalanan asfiksia
4. Terdapat busa halus pada hidung dan mulut yang timbul akibat peningkatan aktivitas
pernapasan pada fase dispneu yang disertai sekresi selaput lendir saluran napas
bagian atas. Keluar masuknya udara yang cepat dalam saluran sempit akan
menimbulkan busa yang kadang-kadang bercampur darah akibat pecahnya kapiler.
5. Kapiler yang lebih mudah pecah adalah kapiler pada jaringan ikat longgar, misalnya
pada konjungtiva bulbi, palpebra dan subserosa lain. Kadang-kadang dijumpai pula di
kulit wajah.
6. Gambaran pembendungan pada mata berupa pelebaran pembuluh darah konjungtiva
bulbi dan palpebra yang terjadi pada fase kejang. Akibatnya tekanan hidrostatik
dalam pembuluh darah meningkat terutama dalam vena, venula dan kapiler. Selain
itu, hipoksia dapat merusak endotel kapiler sehingga dinding kapiler yang terdiri dari
selapis sel akan pecah dan timbul bintik-bintik perdarahan yang dinamakan sebagai
Tardieus spot.
b. Pemeriksaan Dalam
Pada pemeriksaan dalam (otopsi) jenazah didapatkan:14,18,19,20
1. Darah berwarna lebih gelap dan lebih encer, karena fibrinolisin darah yang meningkat
paska kematian.
2. Busa halus di dalam saluran pernapasan.
3. Pembendungan sirkulasi pada seluruh organ dalam tubuh sehingga menjadi lebih
berat, berwarna lebih gelap dan pada pengirisan banyak mengeluarkan darah.
4. Petekie dapat ditemukan pada mukosa usus halus, epikardium pada bagian belakang
jantung belakang daerah aurikuloventrikular, subpleura viseralis paru terutama di
11
lobus bawah pars diafragmatika dan fisura interlobaris, kulit kepala sebelah dalam
terutama daerah otot temporal, mukosa epiglotis dan daerah sub-glotis.
5. Edema paru sering terjadi pada kematian yang berhubungan dengan hipoksia.
6. Kelainan-kelainan yang berhubungan dengan kekerasan, seperti fraktur laring
langsung atau tidak langsung, perdarahan faring terutama bagian belakang rawan
krikoid (pleksus vena submukosa dengan dinding tipis).
II.
PENJERATAN
A. Definisi
Penjeratan adalah penekanan benda asing berupa tali, ikat pinggang, rantai, stagen, kawat,
kabel, kaos kaki dan sebagainya, melingkari atau mengikat leher yang makin lama makin kuat,
12
sehingga saluran nafas tertutup atau lilitan tali, ikat pinggang, rantai, stagen, kawat, kabel, kaos
kaki dan sebagainya, yang menjadi erat karena tarikan kedua ujungnya oleh orang lain.21 Berbeda
dengan gantung diri yang biasanya merupakan kasus bunuh diri, maka penjeratan biasanya
adalah kasus pembunuhan. Pada peristiwa gantung, kekuatan jeratnya berasal dari berat
tubuhnya, maka pada jeratan dengan tali kekuatan jeratnya berasal dari tarikan pada kedua
ujungnya. Dengan kekuatan tersebut, pembuluh darah balik atau jalan nafas dapat tersumbat. Tali
yang dipakai sering disilangkan dan sering dijumpai adanya simpul. Jeratan pada bagian depan
leher hampir selalu melewati membran yang menghubungkan tulang rawan hyoid dan tulang
rawan thyroid.22
Jika bahan yang digunakan dari bahan yang lembek dan halus maka jeratan tersebut sering
tidak meninggalkan jejas pada leher.22 Alat penjerat (tali, kawat dan lain-lain) biasanya berasal
dari pelaku; alat penjerat yang berasal dari korban sendiri biasanya dasi stocking, selendang, atau
kain yang dipakai. Jumlah lilitan umumnya satu, dengan simpul mati. 23 Terdapat 2 jenis simpul
jerat, yaitu simpul hidup (lingkar jerat dapat diperbesar atau diperkecil) dan simpul mati (lingkar
jerat tidak dapat diubah). Simpul harus diamankan dengan melakukan pengikatan dengan benang
agar tidak berubah pada waktu mengangkat jerat.21
Gambar 4. Tanda jeratan dari selendang berbahan nylon,.meskipun bentuk dari selendang nilon
ini lebar, tetapi karena diregangkan dengan kuat akan membentuk garis jerat sama seperti garis
jerat yang menggunakan alat jerat berbahan kawat atau kabel.24
Gambar 5.
13
B. Mekanisme Kematian
Ada 3 mekanisme kematian pada jerat , yaitu25 :
1. Obstruksi jalan nafas
Hal ini dapat terjadi akibat kompresi langsung laring atau trakea
atau akibat dari tertariknya laring kea rah atas sehingga pangkal lidah menutupi jalan
napas. Pangkal lidah menutupi palatum mole dan langit-langit mulut.
2. Oklusi pembuluh balik / vena di leher
Oklusi terhadap pembuluh darah vena lebih mudah terjadi dibandingkan oklusi pembuluh
darah arteri, dikarenakan lebih tipisnya lapisan pembuluh darah vena. Tetapi kematian
secara langsung akibat oklusi dari pembuluh darah vena jarang terjadi, kecuali ada faktor
lain yang menambahkan.
3. Kompresi atau oklusi dari pembuluh darah arteri carotis.
Oklusi pembuluh darah arteri karotis lebih susah dicapai karena tingginya tekanan aliran
darah dan tebalnya lapisan pembuluh darah. Tetapi apabila hal ini terjadi, dapat
menyebabkan kematian yang secara langsung. Menurut Saukko dan knight, dalam waktu
4 menit setelah terjadinya oklusi pembuluh darah arteri carotis , tubuh akan mengalamai
kerusakan otak/ brain damage.
4. Stimulasi Vagal reflex
Ketika terjadinya rangsang tekanan dari luar yang langsung mengenai nervus vagus akan
menyebabkan terjadinya bradicardi, yang akan berlanjut menjadi asistol, atau di beberapa
kasus langsung menjadi asistole.
C. Cara Kematian pada Kasus Jerat
Untuk menentukan cara kematian perlu diperiksa dengan teliti. Biasanya pada pembunuhan
ditemukan lecet-lecet atau memar-memar disekitar jejas karena korban berusaha melepas jeratan.
Pada bunuh diri biasanya terdapat simpul atau kalau tidak posisi tali disilangkan agar supaya
14
jeratan dapat terkunci dan berlangsung terus. Dalam hal tali disilangkan tanpa simpul hendaknya
diperhatikan apakah tali itu kasar atau halus sebab jika tali tidak kasar maka jeratan akan
mengendur jika orang yang melakukan bunuh diri sudah mulai tidak sadar. Jeratan tali juga dapat
terjadi karena kecelakaan, seperti misalnya pada bayi yang terlilit oleh pakaiaannya sendiri atau
pada buruh pabrik yang pakaiannya tersangkut mesin dan menjerat lehernya sendiri.21,22,24
Cara kematian pada kasus jerat diantaranya adalah:
1. Pembunuhan (paling sering) Pembunuhan pada kasus jeratan (strangulation by ligature)
dapat kita jumpai pada kejadian infanticide dengan menggunakan tali pusat, psikopat yang
saling menjerat, dan hukuman mati(zaman dahulu).21,24
2. Kecelakaan Kecelakaan pada kasus jeratan (strangulation by ligature) dapat kita temukan
pada bayi yang terjerat oleh tali pakaian, pekerja yang sering memakai selendang dan
tertarik masuk ke mesin.21,24
3. Bunuh diri Bunuh diri pada kasus jeratan (strangulation by ligature) mereka lakukan
dengan cara melilitkan tali secara berulang dimana satu ujung difiksasi dan ujung lainnya
ditarik. Antara jeratan dan leher mereka masukkan tongkat lalu mereka memutar tongkat
tersebut.25 Hal ini sangat jarang dan menyulitkan diagnosis. Pengikatan dilakukan sendiri
oleh korban dengan simpul hidup atau bahan yang dililitkan saja ,dengan jumlah lilitan lebih
dari satu.21
Gambar 6. Kasus penjeratan bunuh diri, dengan 3
lilitan tali yang mengelilingi leher dan simpul yang
kompleks, dengan menggunakan kabel telepon. Pada
penjeratan bunuh diri akan terjadi mekanisme reflex
vagal terlebuh dahulu sebelum terjadi mekanisme
obstruksi.24
D.
1.
16
Didapatkan darah lebih gelap dan encer akibat kadar CO2 yang meninggi.
laring
dengan
perdarahnya
dan
pada
gantung diri
Tanda jejas jeratan, bentuknya Tanda jejas jeratan, berupa lingkaran
17
No
samping leher
tersebut terikat kuat
Riwayat korban. Biasanya korban Sebelumnya korban tidak mempunyai
mempunyai
riwayat
lain
Cedera. Luka-luka pada tubuh Cedera berupa luka-luka pada tubuh
korban yang bisa menyebabkan korban
kematian
mendadak
biasanya
mengarah
kepada
tidak pembunuhan
dengan
diri. Rasa
nyeri
korban
biasanya
pada
dugaan
pada
pembunuhan,
kasus
mayat
untuk
mencapai
tempat
No
9
di
dalam
keadaan
dari
tertutup
dalam,
penggantungan
adalah
kasus
dan pembunuhan
maka
diri
Tanda-tanda
perlawanan,
III.
GANTUNG (HANGING)
A. Definisi
Penggantungan adalah metode penjeratan leher dengan ikatan, dimana memanfaatkan
gravitasi terhadap berat badan tubuh atau bagian dari tubuh. Seluruh atau sebagian tubuh
seseorang ditahan di bagian lehernya oleh sesuatu benda dengan permukaan yang relatif sempit
dan panjang (biasanya tali) sehingga daerah tersebut mengalami tekanan28. Alat penjerat biasanya
pasif, sedangkan berat badan sifatnya aktif sehingga terjadi konstriksi pada leher.29 Dengan
definisi seperti itu berarti pada peristiwa gantung tidak harus seluruh tubuh berada diatas lantai,
sebab dengan tekanan berkekuatan 10 pon pada leher sudah cukup untuk menghentikan aliran
darah di daerah itu. Oleh sebeb itu tindakan gantung diri dapat dilakukan dengan sebagian tubuh
tetap berada dilantai.28,29
TIPE-TIPE PENGGANTUNGAN
3.1 Berdasarkan cara kematian:29
19
a.
yaitu sekitar 90% dari seluruh kasus. Walaupun demikian, pemeriksaan yang teliti harus
dilakukan untuk mencegah kemungkinan lain terutamanya pembunuhan.
b.
Accidental Hanging
Kejadian penggantungan akibat kecelakaan lebih banyak ditemukan pada anak-anak
utamanya pada umur antara 6-12 tahun. Tidak ditemukan alasan untuk bunuh diri karena pada
usia itu belum ada tilikan dari anak untuk bunuh diri. Hal ini terjadi akibat kurangnya
pengawasan dari orang tua. Meskipun tidak menutup kemungkinan hal ini dapat terjadi pada
orang dewasa yaitu ketika melampiaskan nafsu seksual yang menyimpang (Autoerotic Hanging).
c.
bila korbannya anak-anak atau orang dewasa yang kondisinya lemah baik oleh karena penyakit
atau dibawah pengaruh obat, alcohol, atau korban sedang tidur. Sering ditemukan kejadian
penggantungan tetapi bukan kasus bunuh diri, namun kejadian diatur sedemikian rupa hingga
menyerupai kasus penggantungan bunuh diri. Banyak alasan yang menyebabkan pembunuhan
terjadi mulai dari masalah sosial, masalah ekonomi, hingga masalah hubungan sosial.
B. Klasifikasi Gantung 30
2.
20
3.
21
2.
3.
4.
5.
Daripada kondisi di atas, dapat disimpulkan kematian pada korban penggantungan yang terdiri
dari empat penyebab yaitu:
1.
Asfiksia
2.
Iskemi otak
3.
Refleks vagus
4.
mekanisme. Penekanan pada ganglion saraf arteri karotis oleh tali yang melingkar pada leher
korban dapat menyebabkan carotid body reflex (refleks vagus) sehingga memicu perlambatan
denyut jantung. Perlahan-perlahan terjadi aritmia jantung sehingga terakhir korban mati
dengan cardiac arrest. Namun mekanisme kematian ini jarang didapatkan karena untuk
menimbulkan refleks karotis, tekanan lansung yang kuat harus diberikan pada area khusus di
mana carotid body berada. Hal ini sukar dipastikan. Sebagai tambahan refleks karotis juga dapat
dimunculkan biar pun tanpa penggantungan.32,33
Tekanan pada vena jugularis juga bisa menyebabkan kematian korban penggantungan
dengan mekanisme asfiksia. Kebanyakan kasus penggantungan bunuh diri mempunyai
mekanisme kematian seperti ini. Seperti yang diketahui, vena jugularis membawa darah dari otak
ke jantung untuk sirkulasi. Pada penggantungan sering terjadi penekanan pada vena jugularis
oleh tali yang menggantung korban. Tekanan ini seolah-olah membuat jalan yang dilewati darah
untuk kembali ke jantung dari otak tersumbat. Obstruksi total maupun parsial secara perlahanlahan dapat menyebabkan kongesti pada pembuluh darah otak. Darah tetap mengalir dari jantung
ke otak tetapi darah dari otak tidak bisa mengalir keluar. Akhirnya, terjadilah penumpukan darah
di pembuluh darah otak. Keadaan ini menyebabkan suplai oksigen ke otak berkurang dan korban
22
seterusnya tidak sadarkan diri. Kemudian, terjadilah depresi pusat nafas dan korban mati akibat
asfiksia. Tekanan yang diperlukan untuk terjadinya mekanisme ini tidak penting tetapi durasi
lamanya tekanan diberikan pada leher oleh tali yang menggantung korban yang menyebabkan
mekanisme tersebut. Ketidaksadaran korban mengambil waktu yang lama sebelum terjadinya
depresi pusat nafas. Secara keseluruhan, mekanisme ini tidak menyakitkan sehingga
disalahgunakan oleh pria untuk memuaskan nafsu seksual mereka (autoerotic sexual asphyxia).
Pada mekanisme ini, korban akan menunjukkan gejala sianosis. Wajahnya membiru dan sedikit
membengkak. Muncul peteki di wajah dan mata akibat dari pecahnya kapiler darah karena
tekanan yang lama. Didapatkan lidah yang menjulur keluar pada pemeriksan luar.32,33
Obstruksi arteri karotis terjadi akibat dari penekanan yang lebih besar. Hal ini karena
secara anatomis, arteri karotis berada lebih dalam dari vena jugularis. Oleh hal yang demikian,
obstruksi arteri karotis jarang ditemukan pada kasus bunuh diri dengan penggantungan. Biasanya
korban mati karena tekanan yang lebih besar, misalnya dicekik atau pada penjeratan. Pada
pemeriksaan dalam turut ditemukan jejas pada jaringan lunak sekitar arteri karotis akibat tekanan
yang besar ini. Tekanan ini menyebabkan aliran darah ke otak tersumbat. Kurangnya suplai darah
ke otak menyebabkan korban tidak sadar diri dan depresi pusat nafas sehingga kematian terjadi.
Pada mekanisme ini, hanya ditemukan wajah yang sianosis tetapi tidak ada peteki.32,33
Fraktur vertebra servikal dapat menimbulkan kematian pada penggantungan dengan
mekanisme asfiksia atau dekapitasi. Kejadian ini biasa terjadi pada hukuman gantung atau
korban penggantungan yang dilepaskan dari tempat tinggi. Sering terjadi fraktur atau cedera
pada vertebra servikal 1 dan servikal 2 (aksis dan atlas) atau lebih dikenali sebagai hangman
fracture. Fraktur atau dislokasi vertebra servikal akan menekan medulla oblongata sehingga
terjadi depresi pusat nafas dan korban meninggal karena henti nafas.32
Asfiksia bisa juga terjadi akibat dari tertutupnya jalan nafas. Kondisi ini terjadi setelah
korban tidak sadar dan tidak ada usaha untuk bernafas. Akhirnya, korban mati. Gambaran klasik
asfiksia termasuk:34
1.
kulit tampak kemerahan pada wajah dan kepala akibat hambatan aliran kembali vena ke jantung
oleh kompresi leher
2.
23
pembengkakan jaringan akibat transudasi cairan dari vena akibat peningkatan vena hasil
obstruksi aliran kembali vena ke jantung
3.
warna biru pada kulit akibat adanya darah terdeoksigenasi dalam sistem vena yang terkongesti
serta kadang-kadang turut melibatkan sistem arteri.
4.
selain pada konjunktiva dan sklera akibat darah bocor dari vena kecil yang mengalami
peningkatan tekanan. Keadaan ini diduga akibat hipoksia dinding pembuluh darah namun belum
terbukti pasti. Peteki bukan tanda diagnostik asfiksia karena dapat ditemukan pada keadaan
batuk atau bersin yang terlampau keras. Hal yang terkait peteki wajah adalah peteki visceral
yang disebut Tardieu spots yang sebelumnya dianggap tanda khas asfiksia kini sudah terbukti
bukan tanda terjadinya obstruksi pernapasan.
E. Gambaran Post Mortem Kasus Gantung
1. Pemeriksaan pada kasus penekanan pada leher dan obstruksi saluran pernafasan: 35
a. Sianosis
Yang mudah dilihat pada pembuluh darah kapiler, seperti pada ujung-ujung jari dan bibir
dimana penilaiannya harus hati-hati oleh karena variabelnya cukup besar. Setelah 24 jam
post-mortal sianosis yang ada biasanya merupakan perubahan post-mortal, tidak adanya
sianosis tidak berarti bahwa korban tidak terjadi sianosis.
b. Kongesti
Kongesti sistemik dan kongesti pada paru-paru serta dilatasi jantung kanan adalah
merupakan tanda klasik pada kematian karena asfiksia.
c. Darah tetap cair
Merupakan salah satu indikasi adanya asfiksia, walaupun validitasnya masih diperdebatkan
dan sering diperdebatkan dengan aktifitas fibrinolisin.
d. Edema paru-paru
Paru-paru ditimbang untuk mengetahui beratnya, walaupun hanya mempunyai arti sedikit
didalam hal penentuan kematian karena obstruksi saluran pernafasan, dan sering dijumpai
pada kasus-kasus yang lain.
e. Perdarahan berbintik (ptechial haemorrhages)
Yang mudah dilihat pada kulit dan alat-alat dalam, seperti pada permukaan jantung,
permukaan paru-paru, daerah katup pangkal tenggorok (epiglotis), biji mata dan kelopak
24
1. Bekas jeratan (ligature mark) berparit, bentuk oblik seperti V terbalik, tidak bersambung,
terletak di bagian atas leher, berwarna kecoklatan, kering seperti kertas perkamen,
kadang-kadang disertai luka lecet dan vesikel kecil di pinggir jeratan. Bila lama
tergantung, di bagian atas jeratan warna kulit akan terlihat lebih gelap karena adanya
lebam mayat.
2. Kita dapat memastikan letak simpul dengan menelusuri jejas jeratan. Simpul terletak di
bagian yang tidak ada jejas jeratan, kadang di dapati juga jejas tekanan simpul di kulit.
Bila bahan penggantung kecil dan keras (seperti kawat), maka jejas jeratan tampak
dalam, sebaliknya bila bahan lembut dan lebar (seperti selendang), maka jejas jeratan
tidak begitu jelas. Jejas jeratan juga dapat dipengaruhi oleh lamanya korban tergantung,
berat badan korban dan ketatnya jeratan. Pada keadaan lain bisa didapati leher dibeliti
beberapa kali secara horizontal baru kemudian digantung, dalam kasus ini didapati
beberapa jejas jeratan yang lengkap, tetapi pada satu bagian tetap ada bagian yang tidak
tersambung yang menunjukkan letak simpul.
3. Leher bisa didapati sedikit memanjang karena lama tergantung, bila segera diturunkan
tanda memanjang ini tidak ada. Muka pucat atau bisa sembab, bintik perdarahan
Tardieus spot tidak begitu jelas, lidah terjulur dan kadang tergigit, tetesan saliva
25
dipinggir salah satu sudut mulut,sianosis, kadang-kadang ada tetesan urin, feses dan
sperma.
4. Bila korban lama diturunkan dari gantungan, lebam mayat didapati di kaki dan tangan
bagian bawah. Bila segera diturunkan, lebam mayat bisa di dapati di bagian depan atau
belakng tubuh sesuai dengan letak tubuh sesudah diturunkan. Kadang penis tampak
ereksi akibat terkumpulnya darah.
Gambar 10 : bekas gantung yang dalam dengan posisi gantung ikatan menarik dagu
sampai ke belakang leher. 28
Tanda-tanda Asfiksia
Tanda-tanda umum asfiksia diantaranya adalah sianosis, kongesti vena dan edema. Sering
ditemukan adanya buih halus pada jalan nafas. Pada kasus penggantungan tanda-tanda asfiksia
berupa mata menonjol keluar, perdarahan berupa petekia pada bagian wajah dan subkonjungtiva.
Jika didapatkan lidah terjulur maka menunjukan adanya penekanan pada bagian bawah leher
yaitu bagian bawah kartilago thyroida.
3. Pemeriksaan Dalam Pada Jenazah 30
1. Jaringan otot setentang jeratan didapati hematom, saluran pernafasancongested, demikian
juga paru-paru dan organ dalam lainnya. Terdapat Tardieus spot di permukaan paru-paru,
jantung dan otak. Darah berwarna gelap dan encer
2. Patah tulang lidah (os hyoid) sering didapati, sedangkan tulang rawan yang lain jarang
3. Didapati adanya robekan melintang berupa garis berwarna merah ( Red line ) pada tunika
intima dari arteri karotis interna.
Tabel 2. Perbedaan pembunuhan dengan bunuh diri
26
TKP
FAKTOR
Lokasi
PEMBUNUHAN
Variabel
BUNUH DIRI
Tersembunyi
Kondisi
Tidak teratur
Teratur
Pakaian
Variabel
Alat
Berasal
dari
alat
yang
tersedia di tempat
Ada (seringkali)
Variabel,
bila
ALAT
Simpul
Hidup
PENJERA
Lilitan
Hanya Sekali
Arah
Mendatar
kali
Serong keatas
Lebih dekat
Jejas berjalan mendatar
Jauh
Jejas, merah coklat seperti
Perlawanan
Ada (biasanya)
perkamen; serong
Tidak ada
Luka-luka lain
Ada
T
Jarak
Korban
simpul
dengan tumpuan
Jejas jerat
leher)
Jarak
lantai
dengan Jauh
(sering
seringkali
masih
menempel
27
IV.
PENCEKIKAN
A. Definisi
Pencekikan atau manual strangulation merupakan jenis strangulasi yang selalu
dikaitkan dengan pembunuhan adalah penekanan pada leher dengan tangan atau lengan
bawah, yang menyebabkan dinding saluran nafas bagian atas tertekan dan terjadi
penyempitan saluran nafas sehingga udara pernafasan tidak dapat lewat. 37
Pencekikan dengan menggunakan tangan sendiri adalah tidak mungkin , karena
adanya tekanan pada leher menyebabkan terjadinya kehilangan kesadaran dan dengan
sendirinya tekanan pada leher tersebut akan terhenti. Dengan demikian penjeratan dengan
tangan atau pencekikan selalu merupakan kasus pembunuhan.38
Pencekikan atau manual strangulation merupakan cara membunuh yang dipakai bila
korbannya itu lebih lemah dari si pelaku, anak- anak atau orang tua dan wanita yang
bertubuh gemuk ; juga sering dilakukan pada kasus pembunuhan anak.39
B. Angka Kejadian
Pencekikan sering terjadi pada perkelahian, sebab leher merupakan salah satu sasaran
yang dapat melumpuhkan dan mematikan. Pencekikan dihasilkan oleh tekanan tangan,
28
lengan, atau anggota tubuh lain terhadap leher, yang menekan struktur bagian dalam leher.
Dari letak cengkraman jari- jari, bisa diperkirakan penyerang memakai satu atau kedua
tangan, pakai tangan kanan atau kiri, menyerang dari depan atau belakang. Hampir seluruh
kasus pencekikan adalah pembunuhan. Menurut DiMaio, pencekikan merupakan penyebab
kematian terbanyak kedua pada kasus pembunuhan.40
Dalam suatu penelitian yang dilakukan DiMaio terhadap 41 kasus pencekikan, wanita
mendominasi, dengan perbandingan wanita terhadap pria 1,9 berbanding 1 (27 : 14). Dari
27 kasus pencekikan pada wanita, 14 kasus merupakan motif perkosaan, dan 10 kasus
kekerasan dalam rumah tangga.40
C.
Mekanisme Kematian
Tekanan di dan di sekitar leher terkenal sebagai tindakan yang berpotensi mematikan .
Kematian dapat disebabkan setelah kompresi leher oleh salah satu dari empat mekanisme
atau dengan kombinasi dari dua atau lebih hal berikut:41
1.
2.
3.
Ini lebih sulit dicapai daripada oklusi vena karena tekanan tinggi dalam sistem
arteri dan ketebalan dinding arteri. Namun, efek oklusi akan menjadi jelas dan
lebih cepat. Jika oklusi bilateral dari karotis tercapai, tidak sadarkan diri hampir
segera akan terjadi, oklusi karotis selama 4 menit atau lebih dapat menyebabkan
kerusakan otak.41
4.
Refleks vagal terjadi sebagai akibat rangsangan pada nervus vagus pada
corpus caroticus (carotid body) di percabangan arteri karotis interna dan eksterna
yang akan menimbulkan bradikardi dan hipotensi. Refleks vagal ini jarang terjadi.41
D. Cara Kematian
Penyebab dari mekanik asfiksia. (A). Carotid sinus refleks menyebabkan kardiak arrest,
(B). Jugular vein compression menyebabkan sianosis dan ptekie, (C.) Carotid artery
compression menyebabkan kehilangan kesadaran, (D). Airway obstruction menyebabkan
hipoksia (Sumber : Knights Forensic Pathology)
30
43
45
2.
3.
Apabila pelaku berdiri di belakang korban dan menarik korban ke arah pelaku
maka ini disebut mugging.
E.
kompresi manual (pencekikan) leher. Petechiae mungkin di kedua bola mata, atau kelopak,
atau keduanya. Petechiae juga dapat ditemukan pada wajah, terutama dahi, dan sekitar
mata. Munculnya Petechiae disebabkan oleh peningkatan tekanan pembuluh darah yang
31
Pendarahan scleral pada pencekikan , tampak petechiae pada mata dan kelopak mata ( Sumber: Color Atlas Of Forensi
menyebabkan pembuluh kapiler pecah. Petechiae tidak spesifik untuk asfiksia dan dapat
terjadi kematian mendadak natural. 8
Gambar 13. Petechiae Pada Sklera dan Kelopak mata42,45
4.
Leher
a.
Bagian Luar
- memar yang bentuknya bulat atau lonjong akibat tekanan jari-jari
karena
32
pada leher akibat tekanan dari kuku pelaku tampak jelas pada korban yang sudah tua karena jaringan di bawah
b.
Bagian Dalam
- Resapan darah nampak lebih jelas dari pada strangulasi jenis lain, yaitu
terjadi
mulut
dan
secara
lubang
34
b.
c.
pemberian keterangan ahli pada masa sebelum persidangan dan pemberian keterangan
e.
f.
isinya menyatakan berlakunya UU No. 1 Tahun 1945 untuk seluruh Indonesia, maka suatu
perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan
pidana yang telah ada, sesuai dengan ketentuan Pasal 1 KUHP.
35
Penggantungan lebih sering terjadi pada kasus bunuh diri. Tetapi tidak menolak
kemungkinan korban penggantungan mati akibat penganiayaan. Di sini lah dapat dilihat
fungsinya dari satu perundangan yang ditetapkan. Pada buku kedua KUHP Bab XIX tentang
kejahatan terhadap nyawa. Berikut merupakan pasal-pasal yang terkandung dalam bab XIX
KUHP.47
1.
Pasal 338
Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan
pidana penjara paling lama lima belas tahun.
2.
Pasal 339
Pembunuhan yang diikuti, disertai atau didahului oleh suatu perbuatan pidana, yang dilakukan
dengan maksud untuk mempersiapkan atau mempermudah pelaksanaannya, atau untuk
melepaskan diri sendiri maupun peserta lainnya dari pidana dalam hal tertangkap tangan,
ataupun untuk memastikan penguasaan barang yang diperolehnya secara melawan hukum,
diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh
tahun.
3.
Pasal 340
Barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain,
diancam karena pembunuhan dengan rencana, dengan pidana rnati atau pidana penjara seumur
hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun.
4.
Pasal 345
Barang siapa sengaja mendorong orang lain untuk bunuh diri, menolongnya dalam perbuatan itu
atau memberi sarana kepadanya untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat
tahun kalau orang itu jadi bunuh diri.12
Pada kasus penggantungan, dokter forensik dipanggil untuk membuat pemeriksaan
lengkap sesuai dengan Pasal 133 KUHAP yang menyatakan dalam hal penyidik untuk
kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang
diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan
keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya. Pada pasal
133 KUHAP (ayat 2 dan 3) menyatakan permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dilakukan secara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk
pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat; dan mayat yang
36
dikirim kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter pada rumah sakit harus diperlakukan
secara baik dengan penuh penghormatan terhadap mayat tersebut dan diberi label yang memuat
identitas mayat, dilak dengan diberi cap jabatan yang dilekatkan pada ibu jari kaki atau bagian
lain badan mayat. Pernyataan ini menjadi dasar pembuatan visum et repertum (laporan bertulis)
pada kasus tindak pidana.11
Salah satu pemeriksaan yang dilakukan pada korban mati akibat penggantungan adalah
otopsi. Hal ini dapat membantu dokter forensic untuk mengetahui mekanisme kematian sehingga
dapat membantu penyidik mengetahui cara kematian korban. Sesuai dengan Pasal KUHP 222
yang menyatakan barang siapa dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi atau
menggagalkan pemeriksaan mayat forensik, diancam dengan pidana penjara paling lama
sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
Pada persidangan kasus pidana, dokter forensic akan dipanggil sebagai saksi ahli. Sesaui
dengan Pasal 179 ayat 1 KUHAP yang menyatakan setiap orang yang diminta pendapatnya
sebagai ahli kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli lainnya wajib memberikan
keterangan ahli demi keadilan.2
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Asfiksia adalah suatu keadaan yang ditandai dengan terjadinya gangguan pertukaran udara
pernapasan, mengakibatkan oksigen darah berkurang disertai dengan peningkatan karbon
dioksida. Dengan demikian organ tubuh mengalami kekurangan oksigen dan terjadi kematian.
37
Asfiksia mekanik adalah mati lemas yang terjadi bila udara pernapasan terhalang memasuki
saluran pernapasan oleh berbagai kekerasan yang bersifat mekanik, misalnya pembekapan,
penyumbatan, penjeratan, pencekikan, gantung diri, dan tenggelam (drowning).
Pada orang yang mengalami asfiksia akan timbul gejala yang dibedakan menjadi 4 fase,
yaitu: fase dispneu, fase konvulsi, fase apneu dan fase akhir. Masa dari saat asfiksia timbul
sampai terjadinya kematian sangat bervariasi. Umumnya berkisar antara 4-5 menit. Fase dispneu
dan fase konvulsi berlangsung kurang lebih 3-4 menit, tergantung dari tingkat penghalanhan
oksigen, bila tidak 100% maka waktu kematian akan lebih lama dan tanda=tanda asfiksia akan
lbih jelas.
Pada pemeriksaan luar jenazah dapat ditemukan sianosis pada bibir, ujung-ujung jari dan
kuku. Perbendungan sistemik maupun pulmoner dan dilatasi jantung kanan, merupakan tanda
klasik pada kematian akibat asfiksia. Warna lebam mayat kebiruan gelap dan terbentuk lebih
cepat, terdapat busa halus pada hidung dan mulut, dan tampak pembendungan pada mata berupa
pelebaran pembuluh darah, konjungtiva bulbi dan palpebra yang terjadi pada fase konvulsi.
Pada pemeriksaan dalam jenazah, kelainan yang mungkin ditemukan adalah darah berwarna
lebih gelap dan lebih encer, busa halus dalam saluran pernapasan, pembendungan sirkulasi pada
seluruh organ dalam tubuh sehingga menjadi lebih berat dan berwarna lebih gelap, ptekie dapat
ditemukan pada mukosa usus halus, epicardium, subpleura viseralis, kulit kepala bagian dalam,
serta mukosa epiglottis, edema paru terurtama yang berhubungan dengan hipoksia, adanya
fraktur laring langsung dan tidak langsung, perdarahan faring terutama yang berhubungan
dengan kekerasan.
3.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA
1. Graham MA. Pathology of Asphyxia Death: Mechanism of morbidity and mortality. Cina
SJ,
editor.
Available
on
http://www.emedicine.medscape.com/article/1988699-
4. Ernoehazy W. Hanging Injuries and strangulation. Cited February 14, 2006. Available at:
http://www.emedicine.com/emerg/topic227.htm
5. Ligature mark on neck
6. Gambaran kasus asfiksia mekanik yang ditangani di instalasi kedokteran forensic rsup dr
sardjito tahun 2007-2012. Charisma nur prabowo
7. Suharto G. Peraturan perundangan yang berkaitan dengan bidang kedokteran. Semarang:
Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro.2014.p.17
8. Knight B. Asphyxia and pressure on the neck and chest. In: Simpsons forensic medicine,
eleventh ed. London, Oxford University Press,Inc. 2001. p:87-90
9. Apuranto H, Asphyxia. In: Buku Ajar Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal.
Surabaya: Bagian Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran
Universitas Airlangga.2007.p:71-99
10. Idries, Abdul Munim, 1997, Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik, Binarupa Aksara,
Jakarta, Hal 170-190.
11. Knight, B., 1996, Forensic Pathology, 2 nd Edition, Oxford University Press Inc, New
York, Page 345-360.
12. Budiyanto. Kematian Akibat Asfiksia Mekanik. Ilmu Kedokteran Forensik. Edisi 1.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 1997. h55-70.
13. Amir A. Sebab Kematian. Rangkaian Ilmu Kedokteran Forensik. Edisi 2. Medan:
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara; 2007. h120-125.
14. Sofwan D.Ilmu Kedokteran Forensik. Pedoman Bagi Dokter dan Penegak Hukum.
Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro. 2000
15. Martland HS. Traumatic Aphyxia: Strangulation. Legal Medicine Pathology And
Toxicology.
16. Diakses di http://emedicine.medscape.com/article/1988699-overview pada tanggal 1
April 2015
17. Geserick G.,2010, Tardieu's spots and asphyxia--a literature study, Pubmed, Germany
18. Apuranto H, Asphyxia. In: Buku Ajar Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal.
Surabaya: Bagian Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran
Universitas Airlangga.2007.p:71-99
19. Chadha PV. Catatan Kuliah Ilmu Forensik dan Toksikologi. Jakarta: Widya Medika.
1995.p: 47-8
39
20. Porth CM. Alterations in Respiratory Function: Disorders of Gas Exchange. In: :
Essential of Pathophysiology, Concepts of Altered Health States. Philadelphia: Lippincott
Williams and Wilkins. 2004.p:397
21. 1.Budiyanto A,et al . Ilmu kedokteran Forensik. Ed:2 . Bagian Kedokteran Forensik
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: 1992 hal: 60-1.
22. 2. Dahlan S. Ilmu Kedokteran Forensik: Pedoman Bagi Dokter dan Penegak Hukum. Ed:
5. Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Semarang: 2007. Hal 107-24.
23. . Idries AM. Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik. Ed:1. Binarupa Aksara. Jakarta:
1997.Hal 193-4.
24. Saukko P, Knight B. Knights Forensic Pathology.Edward Arnold Ltd.Great Britain:
2004.page 379-82.
25. Stark MM,et al.Clinical Forensic Medicine: A Physician's Guide. Ed:2.Humana
Press.Totowa,New Jersey:2005.page 339-42
26. Sharma BR,Harish D, Singh VP, Singh P. Ligature Mark on Neck: How informative.
JIAFM.India:2005: 27(1). Available at: http://medind.nic.in/jal/t05/i1/jalt05i1p10.pdf.
Accessed on: March 2015
27. Chadha PV. Kematian Akibat Asfiksia. Dalam Ilmu Forensik dan Toksikologi. Edisi
kelima. Penerbit:Widya Medika
28. Knight, Bernard. Pekka Sauko et al. Knights Forensic Pathology. A macmillan Company
printed and bound in India: 2004
29. idris AM. Penggantungan. IN : Idries AM, Editor : Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik.
Edisi 1. Jakarta: Binarupa aksara; 1997. P202-207).
30. Amir, A. Rangkaian Ilmu Kedokteran Forensik. Edisi Ketiga. Medan: Bagian Forensik
FK USU. 2008
31. Dahlan Sofwan. Ilmu Kedokteran Forensik Pedoman Bagi Dokter dan Penegak Hukum.
Badan Penerbit Universitas Diponegoro Semarang, 2012.
32. Anonym; Hanging, Available at: http://en.wikipedia.org/wiki/Hanging Accessed on:
Februari 12nd, 2008
33. Hawley D. Death By Strangulation. Accessed on June 23rd 2008. P 1-9
34. Shephered R. Simpsons forensic medicine. 12th ed. London: Blackwell
Publishing; 2003. Page 99- 100
35. Modi, J. P., 1988. Death from Asphyxia. In: Modi, J. P., 21st ed. Medical Jurispudence
and Toxicology. Bombay: Tripathi, 188-195.
36. Munin Abdul, dkk. Penerapan Ilmu Kedokteran Forensik dalam Proses Penyidikan.
Sagung Seto, Jakarta, 2010.
37. Dahlan S, Asfiksia, Ilmu Kedokteran Forensik, Badan Penerbit Universitas
Diponegoro, Semarang: 2000.
40
38. Iedris M, dr., Tjiptomartono A.L, dr., Asfiksia., Penerapan Ilmu Kedokteran
Forensik dalam Proses Penyidikan., Sagung Seto., Jakarta: 2008.
39. Idries AM. Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik. Edisi Perama.. Binarupa Aksara,
Jakarta ; 1997 ; Hal.194- 95.
40. Erianto, Guntur Bumi Nasution, Rita Mawarni. MATI LEMAS OLEH KARENA
PENCEKIKAN. Diakses dari [http://www.heartindo.com/asphixia] Diunduh pada
tanggal 1 April 2015.
41. Margaret M. Clinical Forensic Medicine (2nd ed). Deaths in Custody. 2005. 339340. Ney Jersey: Humana Press Inc
42. Knight, B. & Saukko, P. J. Knight's Forensic Pathology (3rd ed.). Suffocation and
Asphyxia. 2004. 352-355. London: Arnold.
43. Knight, B. & Saukko, P. J. Knight's Forensic Pathology (3rd ed.).Fatal Pressure On
The Neck .2004. 367-378. London: Arnold.
44. Vij Krishan. Text Book Of Forensic Medicine and Toxicology. Asphyxial text.
2011. 132-134. Elsivier
45. Dix Jay. Color Atlas of Forensic Pathology. Asphyxia (Suffocation) and Drowning.
2000. USA: LLC
46. Suharto G. Peraturan perundangan yang berkaitan dengan bidang kedokteran. Semarang:
Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro.2014.p.52
41