Professional Documents
Culture Documents
OLEH
MUHAMMAD RIDUAN
SR072010054
A. Pendahuluan
Transplantasi jaringan mulai dipikirkan oleh dunia sejak 4000 tahun silam
menurut manuscrip yang ditemukan di Mesir yang memuat uraian mengenai
eksperimen transplantasi jaringan yang pertama kali dilakukan di Mesir sekitar 2000
tahun sebelum diutusnya Nabi Isa as. Sedang di India beberapa puluh tahun sebelum
lahirnya Nabi Isa as. seorang ahli bedah bangsa Hindu telah berhasil memperbaiki
hidung seorang tahanan yang cacat akibat siksaan, dengan cara mentransplantasikan
sebagian kulit dan jaringan lemak yang diambil dari lengannya. Pengalaman inilah
yang merangsang Gaspare Tagliacosi, seorang ahli bedah Itali, pada tahun 1597M
untuk mencoba memperbaiki cacat hidung seseorang dengan menggunakan kulit
milik kawannya.
Pada ujung abad ke-19 M para ahli bedah, baru berhasil mentransplantasikan
jaringan, namun sejak penemuan John Murphy pada tahun 1897 yang berhasil
menyambung pembuluh darah pada binatang percobaan, barulah terbuka pintu
percobaan mentransplantasikan organ dari manusia ke manusia lain. Percobaan yang
telah dilakukan terhadap binatang akhirnya berhasil, meskipun ia menghabiskan
waktu cukup lama yaitu satu setengah abad. Pada tahun 1954 M Dr. J.E. Murray
berhasil mentransplantasikan ginjal kepada seorang anak yang berasal dari saudara
kembarnya yang membawa perkembangan pesat dan lebih maju dalam bidang
transplantasi.
Meskipun pencangkokan organ tubuh belum dikenal oleh dunia saat itu,
namun operasi plastik yang menggunakan organ buatan atau palsu sudah dikenal di
masa Nabi saw., sebagaimana yang diriwayatkan Imam Abu Daud dan Tirmidzi dari
1
Abdurrahman bin Tharfah (Sunan Abu Dawud, hadits. no.4232) “bahwa kakeknya
‘Arfajah bin As’ad pernah terpotong hidungnya pada perang Kulab, lalu ia memasang
hidung (palsu) dari logam perak, namun hidung tersebut mulai membau (membusuk),
maka Nabi saw. menyuruhnya untuk memasang hidung (palsu) dari logam emas”.
Imam Ibnu Sa’ad dalam Thabaqatnya (III/58) juga telah meriwayatkan dari Waqid
bin Abi Yaser bahwa ‘Utsman (bin ‘Affan) pernah memasang mahkota gigi dari
emas, supaya giginya lebih kuat (tahan lama).
B. Pokok Bahasan
2
Dalam prakteknya, berhasil tidaknya jaringan atau organ yang
ditransplantasikan dari donor ke resipien tergantung pada terjadi atau tidak terjadinya
reaksi immunitas pada resipien. Penolakan jaringan atau organ oleh resipien
disebabkan adanya antigen yang dimiliki oleh sel donor tetapi tidak dimiliki oleh sel
resipien. Meskipun demikian, faktor tersebut tidak merupakan suatu hambatan besar
dalam dunia kedokteran. Para ahli medis di lapangan masih mampu mengatasinya
dengan berbagai macam cara yang dapat memperkecil kemungkinan terjadinya reaksi
penolakan, seperti dengan merusak sel-sel limfosit yang dimiliki oleh resipien atau
membuang organ yang memproduksi sel limfosit yaitu limpa dan thymus.
3
1417 H/Agustus 1996). Karena masalah ini menyangkut banyak dimensi hukum,
moral, etika kemanusiaan dan berbagai aspek kehidupan maka bermunculanlah
kontroversi pendapat pro-kontra mengenai kasus ini.
Pada hakekatnya, syari’ah Islam ketika berbicara tentang boleh dan tidaknya
suatu masalah, tidak terpasung pada batas ‘hukum sekedar untuk hukum’. Lebih jauh
dari itu, bahwa semua kaedah dan kebijakan hukum syariah Islam memiliki hikmah.
Dimensi vertikalnya, sebagai media ujian iman yang menumbuhkan motivasi internal
terlaksananya suatu etika dan peraturan hidup. Adapun dimensi horisontalnya adalah
ia berdampak positif dan membawa kebaikan bagi kehidupan umat masunisa secara
universal. Meskipun demikian, ketika para pakar hukum, pakar syariah Islam dan
tokoh atau pemuka agama mengatakan bahwa praktek transplantasi pada kenyataanya
adalah perlu dan sangat bermanfaat bagi kemanusiaan untuk menyelamatkan
kehidupan dan dapat mengfungsikan kembali tempat organ atau jaringan tubuh
manusia yang telah rusak yang oleh karenanya dibolehkan dan perlu dikembangkan,
namun bagaimanapun juga perlu kajian mendalam lebih lanjut agar dalam prakteknya
tetap dalam koridor kaedah syari’ah, tidak melenceng dari tujuan kemanusiaan serta
menghindari kasus penyalahgunaan, distorsi pelacuran medis dan eksploitasi rendah
yang menjadikannya komoditi dan ajang bisnis sehingga justri menampilkan perilaku
tidak manusiawi.
4
oleh DR. Quraisy Syihab bahwa; “Prinsipnya, maslahat orang yang hidup lebih
didahulukan.” selain itu KH. Ali Yafie juga menguatkan bahwa ada kaedah ushul fiqh
yang dapat dijadikan penguat pembolehan transplantasi yaitu “hurmatul hayyi
a’dhamu min hurmatil mayyiti” (kehormatan orang hidup lebih besar keharusan
pemeliharaannya daripada yang mati.)
Masalah pertama yaitu seperti praktek transplantasi kulit dari suatu bagian
tubuh ke bagian lain dari tubuhnya yang terbakar atau dalam kasus transplantasi
penyumbatan dan penyempitan pembuluh darah jantung dengan mengambil
pembuluh darah pada bagian kaki. Masalah ini hukumnya adalah boleh berdasarkan
analogi (qiyas) diperbolehkannya seseorang untuk memotong bagian tubuhnya yang
membahayakan keselamatan jiwanya karena suatu sebab. (Dr. Al-Ghossal dalam
Naql wa Zar’ul A’dha (Transplantasi Organ) : 16-20, Dr. As-Shofi, Gharsul A’dha :
126 ).
Kasus kedua : Penanaman jaringan/organ yang diambil dari orang lain yang masih
hidup yang tidak mengakibatkan kematiannya seperti, organ tubuh ganda diantaranya
ginjal atau kulit atau dapat juga dikategorikan disini praktek donor darah. Pada
dasarnya masalah ini diperbolehkan selama memenuhi persyaratannya yaitu:
6
Adapun masalah penanaman jaringan/organ tubuh yang diambil dari orang
mati yang kondisinya benar-benar telah mati secara devinif dan medis.
Organ/jaringan yang akan ditransfer tersebut dirawat dan disimpan dengan cara
khusus agar dapat difungsikan. Maka hal ini secara prinsip syariah membolehkannya
berdasarkan firman Allah dalam al-Qur’an surat Al-Kahfi:9-12 dan berdasarkan
kaedah fiqih diantaranya: ” Suatu hal yang telah yakin tidak dapat dihilangkan
dengan suatu keraguan/tidak yakin “, ” Dasar pengambilan hukum adalah tetap
berlangsungnya suatu kondisi yang lama sampai ada indikasi pasti perubahannya.”
7
Al-Azhar vol. 7 edisi Romadhon 1403), DR. Yusuf Qordhowi (Fatawa Mu’ashiroh
II/530 ), DR. Ahmad Syarofuddin ( hal. 128 ), DR. Rouf Syalabi ( harian Syarq
Ausath, edisi 3725, Rabu 8/2/1989 ), DR. Abd. Jalil Syalabi (harian Syarq Ausath
edisi 3725, 8/2/1989M.), DR. Mahmud As-Sarthowi (Zar’ul A’dho, Yordania), DR.
Hasyim Jamil (majalah Risalah Islamiyah, edisi 212 hal. 69).
Masalah penanaman jaringan/organ yang diambil dari tubuh binatang , maka dapat
kita lihat dua kasus yaitu;
Kasus Pertama: Binatang tersebut tidak najis/halal, seperti binatang ternak (sapi,
kerbau, kambing ). Dalam hal ini tidak ada larangan bahkan diperbolehkan dan
termasuk dalam kategori obat yang mana kita diperintahkan Nabi untuk mencarinya
bagi yang sakit.
Kasus Kedua : Binatang tersebut najis/ haram seperti, babi atau bangkai binatang
dikarenakan mati tanpa disembelih secara islami terlebih dahulu. Dalam hal ini tidak
dibolehkan kecuali dalam kondisi yang benar-benar gawat darurat. dan tidak ada
pilihan lain. Dalam sebuah riwayat atsar disebutkan: “Berobatlah wahai hamba-
hamba Allah, namun janganlah berobat dengan barang haram.” Dalam kaedah fiqh
8
disebutkan “Adh Dharurat Tubihul Mahdhuraat” (darurat membolehkan pemanfaatan
hal yang haram) atau kaedah “Adh Dhararu Yuzaal” (Bahaya harus dihilangkan) yang
mengacu surat Al Maidah: 3. “Adh Dharurat Tuqaddar Biqadarihaa” (Peertimbangan
kondisi darurat harus dibatasi sekedarnya) Al Baqarah: 173 (Majma’ Annahr : II/535,
An-Nawawi dalam Al-Majmu’ : III/138 ).
C. Komentar
Penulis setuju jika transplantasi organ tubuh dilakukan ketika pendonor sudah
dalam keadaan benar-benar telah meninggal/mati secara medis. Kemudian organ atau
jaringan tubuh yang akan ditransfer tersebut dirawat dan disimpan dengan cara
khusus agar dapat difungsikan. Namun dengan syarat sebagai berikut: Harus dengan
persetujuan orang tua mayit / walinya atau wasiat mayit itu sendiri; Hanya bila dirasa
si penerima benar-benar memerlukan dan darurat; dan Bila tidak darurat dan
keperluannya tidak urgen atau mendesak, maka harus memberikan imbalan pantas
kepada ahli waris donatur ( tanpa transaksi dan kontrak jual-beli ).
Kemudian penulis tidak setuju jika transplantasi itu dilakukan ketika pendonor
masih dalam keadaan hidup sehat. Hal ini dapat berakibat fatal bagi pendonor yaitu
beresiko sewaktu-waktu mengalami tidak normalnya atau tidak berfungsinya organ
yang didonorkan tersebut misalnya mata atau ginjalnya yang tinggal sebuah itu.
Firman Allah dalam Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 195 :
9
mengorbankan dirinya sendiri yang bisa berakibat fatal bagi dirinya, tidak dibolehkan
dalam Islam. “bahaya tidak boleh dihilangkan dengan bahaya lainnya”.
D. Penutup
1. Kesimpulan
10
Penanaman jaringan/organ yang diambil dari orang lain yang
masih hidup yang tidak mengakibatkan kematiannya seperti, organ tubuh
ganda diantaranya ginjal atau kulit atau dapat juga dikategorikan disini
praktek donor darah. Pada dasarnya masalah ini diperbolehkan selama
memenuhi persyaratannya yaitu: 1). Tidak membahayakan kelangsungan
hidup yang wajar bagi donatur jaringan/organ. Karena kaidah hukum
islam menyatakan bahwa suatu bahaya tidak boleh dihilangkan dengan
resiko mendatangkan bahaya serupa/sebanding. 2). Hal itu harus
dilakukan oleh donatur dengan sukarela tanpa paksaan dan tidak boleh
diperjual belikan. 3). Boleh dilakukan bila memang benar-benar
transplantasi sebagai alternatif peluang satu-satunya bagi penyembuhan
penyakit pasien dan benar-benar darurat. 4.Boleh dilakukan bila peluang
keberhasilan transplantasi tersebut sangat besar. (Lihat: Mudzakarah
Lembaga Fiqh Islam Rabithah Alam Islami, edisi Januari 1985 M.)
2. Saran
11
Adapun dari segi Donor juga harus diperhatikan berbagai pertimbangan
skala prioritas yaitu: 1). menanam jaringan/organ imitasi buatan bila
memungkinkan secara medis. 2). Mengambil jaringan/organ dari tubuh
orang yang sama selama memungkinkan karena dapat tumbuh kembali
seperti, kulit dan lainnya. 3). Mengambil dari organ/jaringan binatang
yang halal, adapun binatang lainnya dalam kondisi gawat darurat dan
tidak ditemukan yang halal. 4). Mengambil dari tubuh orang yang mati
dengan ketentuan seperti penjelasan di atas. 5). Mengambil dari tubuh
orang yang masih hidup dengan ketentuan seperti diatas disamping orang
tersebut adalah mukallaf ( baligh dan berakal ) harus berdasarkan
kesadaran, pengertian, suka rela dan tanpa paksaan.
Disamping itu donor harus sehat mental dan jasmani yang tidak mengidap
penyakit menular serta tidak boleh dijadikan komoditas.
DAFTAR PUSTAKA
12