Professional Documents
Culture Documents
Definisi
Sistemik Lupus Eritematosus(SLE) merupakan penyakit radang atau inflamasi
multisistem yang disebabkan oleh banyak faktor (Isenberg and Horsfall,1998) dan
dikarakterisasi oleh adanya gangguan disregulasi sistem imun berupa peningkatan
sistem imun dan produksi autoantibodi yang berlebihan (Albar, 2003).
SLE termasuk penyakit collagen-vascular yaitu suatu kelompok penyakit yang
melibatkan sistem muskuloskeletal, kulit, dan pembuluh darah yang mempunyai
banyak manifestasi klinik sehingga diperlukan pengobatan yang kompleks.Etiologi dari
beberapa penyakit collagen-vascular sering tidak diketahui tetapi sistem imun terlibat
sebagai mediator terjadinya penyakit tersebut (Delafuente, 2002).
SLE merupakan suatu penyakit kelainan autoimun yang ditandai dengan
adanya autoantibodi terhadap auto antigen, pembentukan komplek imun, disregulasi
sistem imun, yang menyebabkan kerusakan pada organ tubuh.Perjalanan penyakitnya
bersifat episodik (berulang yang diselingi periode sembuh. Pada setiap penderita,
peradangan akan mengenai jaringan dan organ yang berbeda. Beratnya penyakit
bervariasi mulai dari penyakit yang ringan sampai penyakit yang menimbulkan
kecacatan, tergantung dari jumlah dan jenis antibodi yang muncul dan organ yang
terkena.Perjalanan
penyakit
SLE
sulit
diduga
dan
sering
berakhir
dengan
kematian.Sampai saat ini penyebab penyakit lupus ini masih belum diketahui.
Klasifikasi Lupus Eritematosus
Penyakit Lupus dapat diklasifikasikan menjadi 3 macam yaitu discoid lupus,
systemic lupus erythematosus, dan lupus yang diinduksi oleh obat.
1. Discoid Lupus
Lesi berbentuk lingkaran atau cakram dan ditandai oleh batas eritema yang
meninggi, skuama, sumbatan folikuler, dan telangiektasia.Lesi ini timbul di kulit
kepala, telinga, wajah, lengan, punggung, dan dada.Penyakit ini dapat
menimbulkan kecacatan karena lesi ini memperlihatkan atrofi dan jaringan
parut di bagian tengahnya serta hilangnya apendiks kulit secara menetap
(Hahn, 2005).
2. Systemic Lupus Erythematosus
SLE merupakan penyakit radang atau inflamasi multisistem yang disebabkan
oleh banyak faktor (Isenberg and Horsfall,1998) dan dikarakterisasi oleh
adanya gangguan disregulasi sistem imun berupa peningkatan sistem imun dan
produksi autoantibodi yang berlebihan (Albar, 2003). Terbentuknya autoantibodi
terhadap dsDNA, berbagai macam ribonukleoprotein intraseluler, sel-sel darah,
dan fosfolipid dapat menyebabkan kerusakan jaringan (Albar, 2003) melalui
mekanime pengaktivan komplemen (Epstein, 1998).
3. Lupus yang diinduksi oleh obat
Lupus yang disebabkan oleh induksi obat tertentu khususnya pada asetilator
lambat yang mempunyai gen HLA DR-4 menyebabkan asetilasi obat menjadi
lambat, obat banyak terakumulasi di tubuh sehingga memberikan kesempatan
obat untuk berikatan dengan protein tubuh. Hal ini direspon sebagai benda
asing oleh tubuh sehingga tubuh membentuk kompleks antibodi antinuklear
(ANA) untuk menyerang benda asing tersebut (Herfindal et al., 2000).
Faktor Resiko
1. Faktor Genetik
Jenis kelamin, frekuensi pada wanita dewasa 8 kali lebih sering daripada
pria dewasa
Umur, biasanya lebih sering terjadi pada usia 20-40 tahun
Faktor keturunan, dengan Frekuensi 20 kali lebih sering dalam keluarga
yang terdapat anggota dengan penyakit tersebut
2. Faktor Resiko Hormon: Hormon estrogen menambah resiko SLE, sedangkan
androgen mengurangi resiko ini.
3. Sinar UV: Sinar Ultra violet mengurangi supresi imun sehingga terapi menjadi
kurang efektif, sehingga SLE kambuh atau bertambah berat. Ini disebabkan sel
kulit mengeluarkan sitokin dan prostaglandin sehingga terjadi inflamasi di
tempat tersebut maupun secara sistemik melalui peredaran pebuluh darah.
4. Imunitas: Pada pasien SLE, terdapat hiperaktivitas sel B atau intoleransi
terhadap sel T
5. Obat
Obat tertentu dalam presentase kecil sekali pada pasien tertentu dan diminum
dalam jangka waktu tertentu dapat mencetuskan lupus obat (Drug Induced
Lupus Erythematosus atau DILE). Jenis obat yang dapat menyebabkan Lupus
Obat adalah :
Obat yang pasti menyebabkan Lupus obat :
dapat
timbul
ruam
kulit
yang
terjadi
karena
hipersensitivitas
d. Sistem pernafasan
Pleuritis atau efusi pleura.Pneumonitis lupus menyebabkan demam, sesak napas,
dan batuk.Gejala pada paru ini jarang terjadi namun mempunyai angka mortalitas
yang tinggi.Nyeri abdomen terjadi pada 25% kasus SLE.Gejala saluran
pencernaan (gastrointestinal) lain yang sering timbul adalah mual, diare, dan
dispepsia. Selain itu dapat pula terjadi vaskulitis, perforasi usus, pankreatitis, dan
hepatosplenomegali (Delafuente, 2002).
e. Sistem vaskuler
Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi papuler, eritematous dan
purpura di ujung jari kaki, tangan, siku serta permukaan ekstensor lengan bawah
atau sisi lateral tangan dan berlanjut nekrosis.
f.
Sistem Hematologik
Anemia yang terjadi akibat inflamasi kronik pada sebagian besar pasien saat
lupusnya aktif. Pada pasien dengan uji Coombs-nya positif dapat mengalami
anemia hemolitik.Leukopenia (biasanya limfopenia) sering ditemukan tetapi tidak
memerlukan terapi dan jarang kambuh. Trombositopenia ringan sering terjadi,
sedangkan trombositopenia berat disertai perdarahan dan purpura terjadi pada
5% pasien dan harus diterapi dengan glukokortikoid dosis tinggi. Perbaikan jangka
pendek dapat dicapai dengan pemberian gamaglobulin intravena. Bila hitung
trombosit tidak dapat mencapai kadar yang memuaskan dalam 2 minggu, harus
dipertimbangkan tindakan splenektomi (Delafuente, 2002)
g. Sistem perkemihan
Glomerulus renal yang biasanya terkena.
h. Sistem saraf
Spektrum gangguan sistem saraf pusat sangat luas dan mencakup seluruh bentuk
penyakit neurologik, sering terjadi depresi dan psikosis.Gejala SLE pada susunan
saraf yaitu terjadinya neuropati perifer berupa gangguan sensorik dan motorik
yang umumnya bersifat sementara (Albar,2003). Gejala lain yang juga timbul
adalah disfungsi kognitif, psikosis, depresi, kejang, dan stroke (Delafuente, 2002).
Pemeriksaan Diagnostik
1. Pemeriksaan laboratorium
Kelainan yang tampak pada pemeriksaan laboratorium adalah anemia hemolitik
dan normositer, leukopenia, trombositopenia, peninggian laju endap darah,
hiperglobulinemia dan bila terdapat sindrom nefrotik maka albumin akan
rendah. Krioglobin merupakan kelainan faal hepar dan penurunan komplemen
serum biasanya juga ada. Proteinuria yang biasanya bersifat gross proteinemia
merupakan gejala penting.
2. Tes Sel LE
Sel LE merupakan sel fagosit yang mengandung hemogenous cosinophilils
inclusion. Sel ini terbentuk apabila sel leukosit diinkubasikan dengan serum
penderita LE. Sel LE terdiri atas granulosit neutrofilik yang mengandung bahan
nuklear basofilik yang telah difafositosis dan segmen nuklearnya berpindah ke
perifer. Fenomena ini desebabkan oleh faktor antinuklear yang menyerang
bahan nuklear di dalam sel yang rusak. Benda yang difagosit dianggap nukleus
yang telah rusak. Bahan nuklear yang berubah dikelilingi neutrofil (bentuk
rosette) yang memfagositosis bahan tersebut. Tes sel LE spesifik tapi sangat
tidak sensitif jadi tes ini kini tidak lagi digunakan karena pemeriksaan antibodi
nuklear lebih sensitif.
3. Antibodi Antinuklear (ANA)
Pemeriksaan antibodi antinuklear termasuk pemeriksaan pembantu balam
mengevaluasi hasil laboratorium. Antibodi antinuklear positif pada lebih dari
95% penderita SLE. Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui adanya
antibodi yang mampu menghancurkan inti dari sel-sel tubuh sendiri. Selain
mendeteksi adanya ANA juga berguna untuk mengevaluasi pola dari ANA dan
antibodi spesifik. Pola ANA dapat diketahui dari pemeriksaan preparat yang
diperiksa dibawah lampu ultraviolet. Walaupun pada gangguan neumatologik
lain dapat juga menyebabkan hasil ANA positif, tetapi antibodi anti-DNA jarang
ditemukan kecuali pada SLE.
4. Lupus Band Tes
Pada pemeriksaan imunoflorensens langsung dapat dilihat pita terdiri atas
deposit glanular immunoglobulin G, M atau A dan komplemen C3 pada taut
epidermal-dermal yang disebut lupus band. Caranya disebut Lupus Band Tes,
spesimen diambil dari kulit yang normal. Tes tersebut positif pada 90-100%
kasus SLE dan 90-95% kasus LED.
5. Antibodi anti-DNA
Antibodi yang bereaksi dengan native DNA dapat dideteksi dengan aktivasi
komplemen, difusi gen dan teknik lain. DNA komersial mengandung double
strand dan single strand. Antibodi terhadap DNA double strand spesifik
terhadap SLE. Sedangkan antibodi terhadap DNA single strand selain positif
terhadap SLE juga positif terhadap skleroderma, arthritis rheumatoid,
dermatomiositis dan hepatitis kronik aktif.
6. Anti-sm
Selain anti-ds-RNA masih ada antibodi lain yang spesifik yaitu anti-sm tetapi
hanya terjadi pada sekitar 20-30% penderita dan tidak ditemukan pada penyakit
lain.
7. Faktor Rheumatoid
Faktor rheumatoid merupakan antibodi (kelas IgM) terhadap FelgG.Antibodi ini
sering kali juga berada dalam bentuk kompleks imun dalam serum. Untuk
mendeteksi faktor rheumatoid sebagai antigen biasanya digunakan lateks yang
dilapisi dengan IgG. Pada 75% penderita arthiritis rheumatoid titer melebihi
1/80. Titer tinggi biasanya berkaitan dengan penyakit yang lanjut dan progresif.
Faktor rheumatoid tidak spesifik pada arthiritis rheumatoid saja karena pada
beberapa penyakit seperti dermatomiositis, SLE, sub akut bakterial endokarditis
(SEE) dan hepatitis kronik aktif dimana faktor rheumatoid dapat positif.
Penatalaksanaan Medis
1. Pengobatan Nonfarmakologis
Gejala yang sering muncul pada penderita SLE adalah lemah sehingga
diperlukan keseimbangan antara istirahat dan kerja, dan hindari kerja yang
terlalu berlebihan.
Penderita SLE sebaiknya menghindari merokok karena hidrasin dalam
tembakau diduga juga merupakan faktor lingkungan yang dapat memicu
terjadinya SLE.
Tidak ada diet yang spesifik untuk penderita SLE (Delafuente, 2002). Tetapi
penggunaan minyak ikan pada pasien SLE yang mengandung vitamin E 75 IU
and 500 IU/kg diet dapat menurunkan produksi sitokin proinflamasi seperti IL-4,
IL-6, TNF-a, IL-10, dan menurunkan kadar antibodi anti-DNA (Venkatraman et
al., 1999).
Penggunaan sunblock (SPF 15) dan menggunakan pakaian tertutup untuk
penderita SLE sangat disarankan untuk mengurangi paparan sinar UV yang
terdapat pada sinar matahari ketika akan beraktivitas di luar rumah (Delafuente,
2002).
2. Pengobatan farmakologis untuk SLE,
a. Steroid sistemik
Yang paling penting pada pengobatan SLE adalah pertimbangan untuk memilih
regimen pengobatan karena pengobatan akan berlangsung lama, dengan
berbagai efek samping yang akan terjadi. SLE dibagi dua kelompok besar
(Dubois), yaitu :
1) Kelompok ringan
Termasuk pada kelompok ini ialah: demam, artritis, perikarditis ringan, efusi
pleura/perikard ringan, kelelahan dan sakit kepala.
Aspirin dan obat antiinflamasi nonsteroid merupakan pilihan utama.
Dosis disesuaikan dengan derajat penyakitnya.
Penambahan obat anti malaria hanya dikhususkan bila ada skin rash dan
lesi di mukosa membran.
Bila pengobatan tersebut gagal, dapat ditambah prednison 2,5 mg - 5
mg/hari, dapat dinaikkan secara bertahap 20% tiap 1-2 minggu, sesuai
kebutuhan.
2) Kelompok berat
Termasuk pada kelompok ini ialah: efusi pleura dan perikard masif, penyakit
ginjal, anemia hemolitik, trombositopenia, lupus serebral, vaskulitis akut,
miokarditis,
lupus
pneumonitis
dan
perdarahan
paru.
Keuntungan
pembagian ini ialah untuk menentukan dosis steroid atau obat lainnya.
Pemberian steroid sistemik merupakan pilihan pertama.
Obat anti inflamasi nonsteroid dan anti malaria tidak diberikan.
Pemberian prednison dan lama pemberian disesuaikan dengan kelainan
organ sasaran yang terkena
b. Golongan Obat-obatan
1) NSAID
Nonsteroidal antiinflammatory drugs (NSAIDs)
membantu dalam
terdapat
adenopathy
hilus
serta
kelainan
paru
ringan
dan
4) Obat imunosupresif
Obat imunosupresif sebenarnya masih menjadi perdebatan oleh para
ahli.Umumnya hanya dianjurkan pada kasus gawat atau lesi difus dan
membranosa pada ginjal yang tidak memeberikan respon baik terhadap
kortikosteroid dosis tinggi.Yang paling sering digunakan adalah azatioprin
dan siklofosfamid.Dosis awal azatioprin adalah 3-4 mg/kg BB/hari
(maksimal 200 mg/hari), kemudian diturunkan menjadi 1-2 mg/kg BB/hari
jika
timbul
toksik.Siklorofosfamid
diberikan
dengan
dosis
100-150
mg/hari.Diduga efek kedua obat ini pada SLE lebih bertindak sebagai
antivirus daripada imunosupresif.
ASUHAN KEPERAWATAN
Pengkajian
1. Anamnesis riwayat kesehatan sekarang dan pemeriksaan fisik difokuskan pada
gejala sekarang dan gejala yang pernah dialami seperti keluhan mudah lelah,
lemah, nyeri, kaku, demam/panas, anoreksia dan efek gejala tersebut terhadap
gaya hidup serta citra diri pasien.
2.
Kulit Ruam eritematous, plak eritematous pada kulit kepala, muka atau leher.
3. KardiovaskulerFriction
rub
perikardium
yang
menyertai
miokarditis
dan
Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri b/d kerusakan jaringan
2. Kerusakan integritas kulit b/d kelainan autoimun
3. Resiko infeksi
Intervensi Keperawatan
1. Nyeri b/d kerusakan jaringan
Tujuan :Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 x 24 jam nyeri yang
dialami pasien berkurang atau hilang.
NOC :
Pain Level,
Pain control,
Comfort level
Kriteria Hasil :
Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, mampu menggunakan tehnik
nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri, mencari bantuan)
Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan manajemen nyeri
Mampu mengenali nyeri (skala, intensitas, frekuensi dan tanda nyeri)
Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang
Tanda vital dalam rentang normal
Intervensi
NIC :
Pain Management
Pilih dan lakukan penanganan nyeri (farmakologi, non farmakologi dan inter
personal)
Tingkatkan istirahat
Kolaborasikan dengan dokter jika ada keluhan dan tindakan nyeri tidak berhasil
Analgesic Administration
Pilih analgesik yang diperlukan atau kombinasi dari analgesik ketika pemberian
lebih dari satu
Pilih rute pemberian secara IV, IM untuk pengobatan nyeri secara teratur
Monitor vital sign sebelum dan sesudah pemberian analgesik pertama kali
3. Resiko Infeksi
Tujuan : Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3 x 24 jam resiko infeksi
klien tidak ada
NOC :
Immune Status
Risk control
Kriteria Hasil :
Klien bebas dari tanda dan gejala infeksi
Menunjukkan kemampuan untuk mencegah timbulnya infeksi
Jumlah leukosit dalam batas normal
Menunjukkan perilaku hidup sehat
NIC :
Infection Control (Kontrol infeksi)
Batasi pengunjung
Dorong istirahat
Daftar Pustaka
Albar, S. 2003. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 1, edisi Ke-3. Jakarta : Balai
Penerbit FK UI.
Bulecheck, Gloria M., Howard K. Buther, and Joanne McCloskey Dochterman.2008. Ed
Nursing Intervention Classification (NIC). St. Louis : Mosby Elsevier.
Delafuente, J.C.Burlingme MB.
2002. Treatment
of
systemic
lupus
Smeltzer. Suzanne C. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &
Suddarth.Edisi 8.Volume 3.Jakarta : EGC
Sukmana, Nanang.2004. Penatalaksanaan SLE pada Berbagai Target Organ. Cermin
Dunia Kedokteran;142:27-30