You are on page 1of 39

BAB I

LAPORAN KASUS
2.1 IDENTITAS PASIEN
Nama

: Tn. M

Umur

: 41 tahun

Agama

: Islam

Pekerjaan

: Swasta

Status

: Menikah

Alamat

: Ds Branjang 04/01 Ungaran Barat

No.RM

: 079869

Tanggal masuk IGD : 14 Mei 2015


Bangsal

: Anyelir

2.2 ANAMNESIS
A. Keluhan Utama
Pasien datang dengan keluhan muntah
B. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mengeluh muntah kurang lebih 1 minggu muntah bisa 5 kali sehari,
muntah keluar cairan warna hijau tidak ada lendir, tidak ada buih, tidak disertai
darah, muntah bercampur dengan makanan, volumenya kurang lebih 1 gelas
blimbing. Pasien juga mengeluh nyeri perut diulu ati bertambah berat jika
melakukan aktivitas dan berkurang jika di seko botol air hangat yang
ditempelkan di perut. Nafsu makan dan minum menurun, mual (-), demam (-),
BAK dbn, BAB sebelum masuk ke klinik Graha Syifa berwarna hitam dan
kecil kecil.
Pasien sudah berobat ke RS Ken Saras dirawat inap selama 1 minggu dengan
diagnosa dispepsia dan membaik, 1 minggu kemudian pasien mengeluh nyeri
perut dan di rawat diGraha Syifa 1 minggu dengan gastritis berulang dan belum
membaik, akhirnya dirujuk ke RSUD Ambarawa, di klinik graha syifa diberi
obat Sucralfat syr, inj. Ranitidine, Inj. Ondaserton dan Inf RL. Waktu di rawat
inap di RS ken saras sudah dilakukan gastrocopy dengan kesan ulkus gaster dan
terdapat baketri H. Pylori.
C. Riwayat Penyakit Dahulu

Riwayat HT (-), DM (-), sakit jantung (-), Maag (+)


D. Riwayat Pengobatan
Pasien belum pernah memeriksakan keluhannya ini ke dokter. Saat ini, pasien
juga tidak sedang dalam pengobatan penyakit lain
E. Riwayat Kebiasaan
Merokok (-), alkohol (-), riwayat pemakaian narkoba dan jarum suntik
bergantian (-), pasien mengaku sering mengkonsumsi minuman berenergi seperti
extra joss dan kuku bima 3-4 kali sehari
F. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat keluhan yang sama di keluarga (-), riwayat hipertensi (-), riwayat DM
(-), riwayat sakit jantung (-), riwayat operasi (-)
2.3 PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : compos mentis
BB 49 kg, TB 160 cm, BMI 19,14 (normoweight)
Tanda Vital

TD : 110/80 mmHg
Nadi : 78 x/menit
RR: 23 x/menit

Suhu : 36 C
Saturasi : 99%

Status Generalis

Kepala : normocephal, distribusi rambut merata, hitam, tidak mudah dicabut


Mata : konjungtiva pucat -/-, sklera ikterik -/-, reflex cahaya +/+
Telinga : normotia, membran timpani utuh, sekret (-), serumen (+)
Hidung : normosepta, darah (-), sekret (-)
Tenggorokan : tonsil T1-T1 tenang, faring tidak hiperemis
Leher : pembesaran KGB (-), kelenjar tiroid tdk membesar
Thoraks

Jantung
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak. Palpasi : ictus cordis teraba.
Perkusi : batas atas kiri ICS II LPS sinistra, batas atas kanan ICS II LPS
dekstra, batas bawah kiri ICS V LMC sinistra, batas bawah kanan ICS IV
LPS dextra. Auskultasi : S1-S2 reguler, gallop (-), murmur (-)
Paru
Inspeksi : bentuk normal, pergerakan simetris saat statis dan dinamis.
Palpasi : vokal fremitus kanan sama dengan kiri. Perkusi : Sonor.
Auskultasi: vesikular breath sound (+), rhonkhi (-), wheezing (-)

Abdomen
Inspeksi : supel (+), Auskultasi : BU (+) normal. Palpasi : hepar dan lien
tidak teraba. Perkusi : timpani (+),
Ekstremitas
Superior : akral hangat, udema (-/-), capillary refill <2 detik
Inferior : akral hangat, udema (-/-), capillary refill < 2 detik

2.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG


1. Darah rutin

Pemeriksaan

H
a
s
i
l

Nil
ai
Ruj
uka
n

Satuan

DARAH LENGKAP
Hemoglobin

1
3
,
7

12,
5
15,
5

g/d
L

Leukosit

1
0

4
10

Rib
u

Eritrosit

Hematokrit

MCV

MCH

MCHC

RDW

MPV

Trombosit

Limfosit

Monosit

Eosinofil

,
4
4
,
3
7

4,5

5,4

3
8
,
7
9
0
,
8
3
1
,
4
3
4
,
5
1
2
,
4

35

47

82

98

27

pg

32

36

g/d
L

10

16

6
,
6
2
3
7
1
,
4
0
,
1

711

150

400
1,0

4,5
0,2

1,0

Juta

Mik
ro
m3

Mik
ro
m3
Rib
u

103 /
mik
ro
103 /
mik
ro

0,0

103 /

,
0

40,8

mik
ro

Basofil

Neutrofil

Limfosit %

Monosit %

Eosinofil %

Basofil %

Neutrofil %

0
,
0
9
,
0

00,2

1,87,5

25

40

2
8

2 4

0 1

50

70

103 /
mik
ro
103 /
mik
ro

1
3
,
1
L

0
,
5
L

0
,
2
0
,
1
8
6
,
1
H

PCT

0
,
1
5
5

0,2

0,5

KIMIA KLINIK
Total Protein

6
,
3
6

6 8

g/d
L

Albumin

Globulin

Cholesterol

Natrium

Kalium

3,4

4,8

g/d
L

2,0

4,0

g/d
L

<200
Dianjurk
an

200-239

Resiko
Sedang

240

Resiko
Tinggi

136-146

mg/
dL

mm
ol/L

3,5-5,1

mm
ol/L

89-106

mm
ol/L

3
,
8
6
2
,
5
0

1
2
9

1
0
9
,
2
L

2
,
1
4
L

Clorida

5
3
,
7
L

2. EKG : Iskemik Heart Disease


3. Foto BNO 3 posisi

Multiple lesi opak para vertebra kanan setinggi VL 1-2 curiga batu ginjal

dd/ cholelitiasis

Multiple lesi opak para vertebra kiri VL 2-3 curiga batu ginjal kanan

Tak tampak ileus

2.5 DIAGNOSIS

Sindrom dispepsia

organik : ulkus peptikum (ulkus gaster), gastritis, tumor gaster


IHD
Susp cholelitiasis
CKD

Usul dokter Sp.Rad USG

2.6 PENATALAKSANAAN
1. Infus RL 20 tpm
2. Inj. Ketorolac 3x30 mg
3. Inj. Ceftriaxone 2 x 1 gr
4. Inj. Ranitidine 2 x 1 amp
5. Inj. Ondanserton 3x4 mg
6. KSR tab 3x1
7. Sucarlfat syr 3x1 C

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 DEFINISI

Dispepsia merupakan sindrom atau kumpulan gejala atau keluhan

yang terdiri dari nyeri atau rasa tidak nyaman di ulu hati, kembung, mual,
muntah, sendawa, rasa cepat kenyang, perut rasa penuh atau begah.1

Dispepsia berasal dari bahasa Yunani (Dys-), berarti sulit, dan

(Pepse),berarti pencernaan (N.Talley, et al., 2005). Dispepsia merupakan


kumpulan keluhan/gejala klinis yang terdiri dari rasa tidak enak/sakit di perut
bagian atas yang menetap atau mengalami kekambuhan. Keluhan refluks
gastroesofagus klasik berupa rasa panas di dada (heartburn) dan regurgitasi asam
lambung, kini tidak lagi termasuk dispepsia.3

Ada berbagai macam definisi dispepsia. Salah satu definisi yang

dikemukakan oleh suatu kelompok kerja internasional adalah: Sindroma yang


terdiri dari keluhan - keluhan yang disebabkan karena kelainan traktus digestivus
bagian proksimal yang dapat berupa mual atau muntah, kembung, dysphagia,
rasa penuh, nyeri epigastrium atau nyeri retrosternal dan ruktus, yang
berlangsung lebih dari 3 bulan. Dengan demikian dispepsia merupakan suatu
sindrom klinik yang bersifat kronik.2

Dalam klinik tidak jarang para dokter menyamakan dispepsia

dengan gastritis. Hal ini sebaiknya dihindari karena gastritis adalah suatu
diagnosa patologik, dan tidak semua dispepsia disebabkan oleh gastritis dan
tidak semua kasus gastritis yang terbukti secara patologi anatomik disertai gejala
dispepsia. Karena dispepsia dapat disebabkan oleh banyak keadaan maka dalam
menghadapi sindrom klinik ini penatalaksanaannya seharusnya tidak seragam.3

Pengertian dispepsia terbagi dua, yaitu :

1. Dispepsia organik, bila telah diketahui adanya kelainan organik sebagai


penyebabnya. Sindroma dispepsia organik terdapat kelainan yang nyata
terhadap organ tubuh misalnya tukak (luka) lambung, usus dua belas jari,
radang pankreas, radang empedu, dan lain-lain.1,6

2. Dispepsia non organik atau dispepsia fungsional, atau dispesia non ulkus,
bila tidak jelas penyebabnya. Dispepsi fungsional tanpa disertai kelainan
atau gangguan struktur organ berdasarkan pemeriksaan klinis, laboratorium,
radiologi, dan endoskopi setelah 3 bulan dengan gejala dispepsia.7

Manifestasi Klinis

Klasifikasi klinis praktis, didasarkan atas keluhan/gejala yang

dominan, membagi

dispepsia menjadi tiga tipe :

1. Dispepsia dengan keluhan seperti ulkus (ulkus-like dyspepsia), dengan


gejala:

a.
b.
c.
d.

Nyeri epigastrium terlokalisasi


Nyeri hilang setelah makan atau pemberian antasid
Nyeri saat lapar
Nyeri episodik

2. Dispepsia dengan gejala seperti dismotilitas (dysmotility-like dyspesia), dengan


gejala:
a.
b.
c.
d.
e.
f.

Mudah kenyang
Perut cepat terasa penuh saat makan
Mual
Muntah
e.Upper abdominal bloating (bengkak perut bagian atas)
Rasa tak nyaman bertambah saat makan

3. Dispepsia nonspesifik (tidak ada gejala seperti kedua tipe di atas).2

2.2 ETIOLOGI

Gangguan atau penyakit dalam lumen saluran cerna; tukak gaster

atau duodenum, gastritis, tumor, infeksi Helicobacter pylori.

Obat obatan seperti anti inflamasi non steroid (OAINS), aspirin,

beberapa antibiotic, digitalis, teofilin dan sebagainya.

Penyakit pada hati, pankreas, system bilier, hepatitis, pancreatitis,

kolesistetis kronik. Penyakit sistemik: diabetes mellitus, penyakit tiroid,


penyakit jantung koroner.

Bersifat fungsional, yaitu dispepsia yang terdapat pada kasus

yang tidak terbukti adanya kelainan atau gangguan organic atau structural
biokimia, yaitu dispepsia fungsional atau dispepsia non ulkus.1

Klasifikasi Dispepsia Berdasarkan Etiologi


A. Organik

1. Obat-obatan

Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS), Antibiotik (makrolides,

metronidazole),
Kortikosteroid,

Besi,

KCl,

Levodopa,

Digitalis,

Niacin,

Estrogen,

Gemfibrozil,

Etanol

(alkohol),

Narkotik,

Quinidine,

Theophiline.8-10
2. Idiosinkrasi makanan (intoleransi makanan)
a. Alergi susu sapi, putih telur, kacang, makanan laut, beberapa jenis produk
kedelai dan beberapa jenis buah-buahan
b. Non-alergi

Produk alam : laktosa, sucrosa, galactosa, gluten, kafein.

Bahan kimia : monosodium glutamate (vetsin), asam benzoat, nitrit,


nitrat.

Perlu diingat beberapa intoleransi makanan diakibatkan oleh

penyakit dasarnya, misalnya pada penyakit pankreas dan empedu tidak bisa
mentoleransi makanan berlemak, jeruk dengan pH yang relatif rendah sering
memprovokasi gejala pada pasien ulkus peptikum atau esophagitis.10
3. Kelainan struktural
a. Penyakit oesophagus

Refluks gastroesofageal dengan atau tanpa hernia

Akhalasia

Obstruksi esophagus

b. Penyakit gaster dan duodenum

Gastritis erosif dan hemorhagik; sering disebabkan oleh OAINS dan


sakit keras (stres fisik) seperti luka bakar, sepsis, pembedahan, trauma,
shock

Ulkus gaster dan duodenum

Karsinoma gaster

c. Penyakit saluran empedu

Kholelitiasis dan Kholedokolitiasis

Kholesistitis

d. Penyakit pankreas

Pankreatitis

Karsinoma pankreas

e. Penyakit usus

Malabsorbsi

Obstruksi intestinal intermiten

Sindrom kolon iritatif

Angina abdominal

Karsinoma kolon

4. Penyakit metabolik / sistemik


a. Tuberculosis
b. Gagal ginjal
c. Hepatitis, sirosis hepatis, tumor hepar
d. Diabetes melitius
e. Hipertiroid, hipotiroid, hiperparatiroid
f. Ketidakseimbangan elektrolit
g. Penyakit jantung kongestif

5. Lain-lain
a. Penyakit jantung iskemik
b. Penyakit kolagen5-11

B. Idiopatik atau Dispepsia Non Ulkus

Dispepsia fungsional

Keluhan terjadi kronis, tanpa ditemukan adanya gangguan struktural atau

organik

atau

metabolik

tetapi

merupakan

kelainan

fungsi

dari

saluran

makanan.Termasuk ini adalah dispepsia dismotilitas, yaitu adanya gangguan motilitas


diantaranya; waktu pengosongan lambung yang lambat, abnormalitas kontraktil,
abnormalitas mioelektrik lambung, refluks gastroduodenal. Penderita dengan dispepsia
fungsional biasanya sensitif terhadap produksi asam lambung yaitu kenaikan asam
lambung.

Kelainan psikis, stress dan faktor lingkungan juga dapat menimbulkan

dispepsia fungsional.12

Kelainan non organik saluran cerna:


o
o
o
o
o
o
o
o

Gastralgia
Dispepsia karena asam lambung
Dispepsia flatulen
Dispepsia alergik
Dispepsia essensial
Pseudoobstruksi intestinal kronik
Kelainan susunan saraf pusat (CVD, epilepsi).
Psikogen : Histeria, psikosomatik

2.3 ANATOMI DAN FISIOLOGI GASTER

Lambung atau ventrikulus berupa suatu kantong yang terletak di

bawah diafragma, berbentuk huruf J. Fungsi lambung secara umum adalah


tempat di mana makanan dicerna dan sejumlah kecil sari-sari makanan diserap.
Lambung dapat dibagi menjadi tiga daerah, yaitu daerah kardia, fundus dan
pilorus. Kardia adalah bagian atas, daerah pintu masuk makanan dari oesofagus .
Fundus adalah bagian tengah, bentuknya membulat. Pilorus adalah bagian
bawah, daerah yang berhubungan dengan usus 12 jari duodenum.13

Dinding lambung tersusun menjadi empat lapisan, yakni mukosa,

submukosa, muscularis, dan serosa. Mukosa ialah lapisan dimana sel-sel


mengeluarkan berbagai jenis cairan, seperti enzim, asam lambung, dan hormon.
Lapisan ini berbentuk seperti palung untuk memperbesar perbandingan antara
luas dan volume sehingga memperbanyak volume getah lambung yang dapat
dikeluarkan. Submukosa ialah lapisan dimana pembuluh darah arteri dan vena
dapat ditemukan untuk menyalurkan nutrisi dan oksigen ke sel-sel perut
sekaligus untuk membawa nutrisi yang diserap, urea, dan karbon dioksida dari
sel-sel tersebut. Muscularis adalah lapisan otot yang membantu perut dalam
pencernaan mekanis. Lapisan ini dibagi menjadi 3 lapisan otot, yakni otot
melingkar, memanjang, dan menyerong. Kontraksi dari ketiga macam lapisan
otot tersebut mengakibatkan gerak peristaltik (gerak menggelombang). Gerak
peristaltik menyebabkan makanan di dalam lambung diaduk-aduk. Lapisan
terluar yaitu serosa berfungsi sebagai lapisan pelindung perut. Sel-sel di lapisan
ini mengeluarkan sejenis cairan untuk mengurangi gaya gesekan yang terjadi
antara perut dengan anggota tubuh lainnya.13

Gambar 1. Anatomi Gaster: 1.Esofagus, 2.Kardia, 3.Fundus, 4.Selaput


Lendir, 5.Lapisan Otot, 6.Mukosa Lambung, 7.Korpus, 8.Antrum
Pilorik, 9.Pilorus, 10.Duodenum

Di lapisan mukosa terdapat 3 jenis sel yang berfungsi dalam pencernaan,


yaitu sel goblet [goblet cell], sel parietal [parietal cell], dan sel chief [chief
cell]. Sel goblet berfungsi untuk memproduksi mucus atau lendir untuk
menjaga lapisan terluar sel agar tidak rusak karena enzim pepsin dan asam
lambung. Sel parietal berfungsi untuk memproduksi asam lambung
[Hydrochloric acid] yang berguna dalam pengaktifan enzim pepsin.
Diperkirakan bahwa sel parietal memproduksi 1.5 mol dm -3 asam lambung
yang membuat tingkat keasaman dalam lambung mencapai pH 2 yang

bersifat sangat asam. Sel chief berfungsi untuk memproduksi pepsinogen,


yaitu enzim pepsin dalam bentuk tidak aktif. Sel chief memproduksi dalam
bentuk tidak aktif agar enzim tersebut tidak mencerna protein yang dimiliki
oleh sel tersebut yang dapat menyebabkan kematian pada sel tersebut.13

Di bagian dinding lambung sebelah dalam terdapat kelenjar-kelenjar


yang menghasilkan getah lambung. Aroma, bentuk, warna, dan selera
terhadap makanan secara refleks akan menimbulkan sekresi getah lambung.
Getah lambung mengandung asam lambung (HCI), pepsin, musin, dan renin.
Asam

lambung

berperan

sebagai

pembunuh

mikroorganisme

dan

mengaktifkan enzim pepsinogen menjadi pepsin. Pepsin merupakan enzim


yang dapat mengubah protein menjadi molekul yang lebih kecil. Musin
merupakan mukosa protein yang melicinkan makanan. Renin merupakan
enzim khusus yang hanya terdapat pada mamalia, berperan sebagai
kaseinogen menjadi kasein. Kasein digumpalkan oleh Ca2+ dari susu
sehingga dapat dicerna oleh pepsin. Tanpa adanya renim susu yang berwujud
cair akan lewat begitu saja di dalam lambuing dan usus tanpa sempat
dicerna.13

Kerja enzim dan pelumatan oleh otot lambung mengubah makanan


menjadi lembut seperti bubur, disebut chyme (kim) atau bubur makanan.
Otot lambung bagian pilorus mengatur pengeluaran kim sedikit demi sedikit
dalam duodenum. Caranya, otot pilorus yang mengarah ke lambung akan
relaksasi (mengendur) jika tersentuh kim yang bersifat asam. Sebaliknya,
otot pilorus yang mengarah ke duodenum akan berkontraksi (mengerut) jika
tersentuh kim. Jadi, misalnya kim yang bersifat asam tiba di pilorus depan,
maka pilorus akan membuka, sehingga makanan lewat. Oleh karena
makanan asam mengenai pilorus belakang, pilorus menutup. Makanan
tersebut dicerna sehingga keasamannya menurun. Makanan yang bersifat
basa di belakang pilorus akan merangsang pilorus untuk membuka.
Akibatnya, makanan yang asam dari lambung masuk ke duodenum.
Demikian seterusnya. Jadi, makanan melewati pilorus menuju duodenum

segumpal demi segumpal agar makanan tersebut dapat tercerna efektif.


Seteleah 2 sampai 5 jam, lambung kosong kembali.13

Pengaturan peristiwa ini terjadi baik melalui saraf maupun


hormon. Impuls parasimpatikus yang disampaikan melalui nervus vagus akan
meningkatkan motilitas, secara reflektoris melalui vagus juga akan terjadi
pengosongan lambung. Refleks pengosongan lambung ini akan dihambat oleh
isi yang penuh, kadar lemak yang tinggi dan reaksi asam pada awal duodenum.
Keasaman ini disebabkan oleh hormon saluran cerna terutama sekretin dan
kholesistokinin-pankreo-zimin, yang dibentuk dalam mukosa duodenum dan
dibawa bersama aliran darah ke lambung. Dengan demikian proses pengosongan
lambung merupakan proses umpan balik humoral.13

Kelenjar di lambung tiap hari membentuk sekitar 2-3 liter getah


lambung, yang merupakan larutan asam klorida yang hampir isotonis dengan pH
antara 0,8-1,5, yang mengandung pula enzim pencemaan, lendir dan faktor
intrinsik yang dibutuhkan untuk absorpsi vitamin B12. Asam klorida
menyebabkan denaturasi protein makanan dan menyebabkan penguraian
enzimatik lebih mudah. Asam klorida juga menyediakan pH yang cocok bagi
enzim lambung dan mengubah pepsinogen yang tak aktif menjadi pepsin. 13

Asam klorida juga akan membunuh bakteri yang terbawa


bersama makanan. Pengaturan sekresi getah lambung sangat kompleks. Seperti
pada pengaturan motilitas lambung serta pengosongannya, di sini pun terjadi
pengaturan oleh saraf maupun hormon. Berdasarkan saat terjadinya, maka
sekresi getah lambung dibagi atas fase sefalik, lambung (gastral) dan usus (intestinal).13

Fase

Sekresi

Sefalik

diatur

sepenuhnya

melalui

saraf.

Penginderaan penciuman dan rasa akan menimbulkan impuls saraf aferen, yang
di sistem saraf pusat akan merangsang serabut vagus. Stimulasi nervus vagus
akan menyebabkan dibebaskannya asetilkolin dari dinding lambung. Ini akan
menyebabkan stimulasi langsung pada sel parietal dan sel epitel serta akan
membebaskan gastrin dari sel G antrum. Melalui aliran darah, gastrin akan
sampai pada sel parietal dan akan menstimulasinya sehingga sel itu membebaskan asam klorida. Pada sekresi asam klorida ini, histamin juga ikut

berperan. Histamin ini dibebaskan oleh mastosit karena stimulasi vagus (gambar
3). Secara tak langsung dengan pembebasan histamin ini gastrin dapat bekerja.13

Fase Lambung. Sekresi getah lambung disebabkan oleh


makanan yang masuk ke dalam lambung. Relaksasi serta rangsang kimia seperti
hasil urai protein, kafein atau alkohol, akan menimbulkan refleks kolinergik
lokal dan pembebasan gastrin. Jika pH turun di bawah 3, pembebasan gastrin
akan dihambat.13

Fase Usus mula-mula akan terjadi peningkatan dan kemudian


akan diikuti dengan penurunan sekresi getah lambung. Jika kim yang asam
masuk ke usus duabelas jari akan dibebaskan sekretin. Ini akan menekan sekresi
asam klorida dan merangsang pengeluaran pepsinogen. Hambatan sekresi getah
lambung lainnya dilakukan oleh kholesistokinin-pankreozimin, terutama jika kim
yang banyak mengandung lemak sampai pada usus halus bagian atas.13

Di samping zat-zat yang sudah disebutkan ada hormon saluran


cerna lainnya yang berperan pada sekresi dan motilitas. GIP (gastric inhibitory
polypeptide) menghambat sekresi HC1 dari lambung dan kemungkinan juga
merangsang sekresi insulin dari kelenjar pankreas.13

Somatostatin, yang dibentuk tidak hanya di hipothalamus tetapi


juga di sejumlah organ lainnya antara lain sel D mukosa lambung dan usus halus
serta kelenjar pankreas, menghambat sekresi asam klorida, gastrin dan pepsin
lambung dan sekresi sekretin di usus halus. Fungsi endokrin dan eksokrin
pankreas akan turun (sekresi insulin dan glukagon serta asam karbonat dan
enzim pencernaan). Di samping itu, ada tekanan sistemik yang tak berubah,
pasokan darah di daerah n. Splanchnicus akan berkurang sekitar 20-30%.13

Rangsang
bau dan
rangsang

Degranulasi
mastosit

Pembebasan

Rangsang
n. Vagus

Rangsang
Lokal
(makanan

Rangsang
Ganglion

Stimulasi
sel G

Pembeb
asan
asethilk

Pembebasa
Pembebasan
Stimulasi
Sel

Bagan 1. Pengaruh Sekresi Sel Parietal

2.4 PATOFISIOLOGI

Patofisiologi dispepsia non ulkus masih sedikit diketahui, beberapa

faktor berikut mungkin berperan penting (multifaktorial):

Abnormalitas Motorik Gaster

Dengan studi Scintigraphic Nuklear dibuktikan lebih dari 50% pasien

dispepsia non ulkus mempunyai keterlambatan pengosongan makanan dalam


gaster. Demikian pula pada studi monometrik didapatkan gangguan motilitas
antrum postprandial, tetapi hubungan antara kelainan tersebut dengan gejalagejala dispepsia tidak jelas. Penelitian terakhir menunjukkan bahwa fundus
gaster yang "kaku" bertanggung jawab terhadap sindrom dispepsia. Pada
keadaan normal seharusnya fundus relaksasi, baik saat mencerna makanan
maupun bila terjadi distensi duodenum. Pengosongan makanan bertahap dari
corpus gaster menuju ke bagian fundus dan duodenum diatur oleh refleks vagal.
Pada beberapa pasien dyspepsia non ulkus, refleks ini tidak berfungsi dengan
baik sehingga pengisian bagian antrum terlalu cepat.2

Perubahan sensifitas gaster

Lebih 50% pasien dispepsia non ulkus menunjukkan sensifitas terhadap

distensi gaster atau intestinum, oleh karena itu mungkin akibat: makanan yang
sedikit mengiritasi seperti makanan pedas, distensi udara, gangguan kontraksi
gaster intestinum atau distensi dini bagian Antrum postprandial dapat
menginduksi nyeri pada bagian ini.10

Stres dan faktor psikososial

Penelitian menunjukkan bahwa didapatkan gangguan neurotik dan

morbiditas psikiatri lebih tinggi secara bermakna pada pasien dispepsia non
ulkus daripada subyek kontrol yang sehat.Banyak pasien mengatakan bahwa
stres mencetuskan keluhan dispepsia. Beberapa studi mengatakan stres yang
lama menyebabkan perubahan aktifitas vagal, berakibat gangguan akomodasi
dan motilitas gaster.Kepribadian dispepsia non ulkus menyerupai pasien
Sindrom Kolon Iritatif dan dispepsia organik, tetapi disertai dengan tanda
neurotik, ansietas dan depresi yang lebih nyata dan sering disertai dengan
keluhan non-gastrointestinal ( GI ) seperti nyeri muskuloskletal, sakit kepala dan
mudah letih. Mereka cenderung tiba-tiba menghentikan kegiatan sehari-harinya
akibat nyeri dan mempunyai fungsi sosial lebih buruk dibanding pasien
dispepsia organik. Demikian pula bila dibandingkan orang normal. Gambaran
psikologik dispepsia non ulkus ditemukan lebih banyak ansietas, depresi dan
neurotik.5

Gastritis Helicobacter pylori

Gambaran gastritis Helicobacter pylori secara histologik biasanya

gastritis non-erosif non-spesifik. Di sini ditambahkan non-spesifik karena


gambaran histologik yang ada tidak dapat meramalkan penyebabnya dan
keadaan klinik yang bersangkutan. Diagnosa endoskopik gastritis akibat infeksi
Helicobacter pylori sangat sulit karena sering kali gambarannya tidak khas.
Tidak jarang suatu gastritis secara histologik tampak berat tetapi gambaran
endoskopik yang tampak tidak jelas dan bahkan normal. Beberapa gambaran

endoskopik yang sering dihubungkan dengan adanya infeksi Helicobacter pylori


adalah:
a. Erosi kronik di daerah antrum.
b. Nodularitas pada mukosa antrum.
c. Bercak-bercak eritema di antrum.
d. Area gastrika yang menonjol dengan bintik-bintik eritema di daerah
korpus.13

Peranan infeksi Helicobacter pylori pada gastritis dan ulkus

peptikum sudah diakui, tetapi apakah Helicobacter pylori dapat menyebabkan


dispepsia non ulkus masih kontroversi. Di negara maju, hanya 50% pasien
dispepsia non ulkus menderita infeksi Helicobacter pylori, sehingga penyebab
dispepsia pada dispepsia non ulkus dengan Helicobacter pylori negatif dapat
juga menjadi penyebab dari beberapa dispepsia non ulkus dengan Helicobacter
pylori positif. Bukti terbaik peranan Helicobacter pylori pada dispepsia non
ulkus adalah gejala perbaikan yang nyata setelah eradikasi kuman Helicobacter
pylori tersebut, tetapi ini masih dalam taraf pembuktian studi ilmiah. Banyak
pasien mengalami perbaikan gejala dengan cepat walaupun dengan pengobatan
plasebo. Studi "follow up" jangka panjang sedang dikerjakan, hanya beberapa
saja yang tidak kambuh.2

Kelainan gastrointestinal fungsional

Dispepsia non ulkus cenderung dimasukkan sebagai bagian kelainan

fungsional GI, termasuk di sini Sindrom Kolon Iritatif, nyeri dada non-kardiak
dan nyeri ulu hati fungsional. Lebih dari 80% dengan Sindrom Kolon Iritatif
menderita dispepsia dan lebih dari sepertiga pasien dengan dispepsia kronis juga
mempunyai gejala Sindrom Kolon Iritatif. Pasien dengan kelainan seperti ini
sering ada gejala extra GI seperti migrain, myalgia dan disfungsi kencing dan
ginekologi. Pada anamnesis dispepsia jangan lupa menanyakan gejala Sindrom

Kolon Iritatif seperti nyeri abdomen mereda setelah defikasi, perubahan


frekuensi buang air besar atau bentuknya mengalami perubahan, perut tegang,
tidak dapat menahan buang air besar dan perut kembung. Beberapa pasien juga
mengalami aerophagia, lingkaran setan dari perut kembung diikuti oleh
masuknya udara untuk menginduksi sendawa, diikuti oleh kembung yang lebih
darah. Ini memerlukan perbaikan tingkah laku.Abnormalitas di atas belum
semua diidentifikasi oleh semua peneliti dan tidak selalu muncul pada semua
penderita. Hasil yang kurang konsisten dari bermacam terapi yang digunakan
untuk terapi dispepsia non ulkus mendukung keanekaragaman kelompok ini.
2,12,14.

Gastritis adalah suatu keadaan peradangan atau pendarahan

mukosa lambung. Gastritis karena bakteri H. pylori dapat mengalami adaptasi


pada linkungan dengan pH yang sangat rendah dengan menghasilkan enzim
urease yang sangat kuat. Enzim urease tersebut akan mengubah urea dalam
lambung menjadi ammonia sehingga bakteri Helicobacter pylori

yang

diselubungi awan amoniak yang dapat melindungi diri dari keasaman


lambung. Kemudian dengan flagella Helicobacter pylori menempel pada
dinding lambung dan mengalami multiplikasi. Bagian yang menempel pada
epitel mukosa lambung disebut adheren pedestal. Melalui zat yang disebut
adhesin , Helicobacter pylori dapat berikatan dengan satu jenis gliserolipid yang
terdapat di dalam epitel.13

Selain urease, bakteri juga mengeluarkan enzim lain misalnya

katalase, oksidase, alkaliposfatase, gamma glutamil transpeptidase, lipase,


protease, dan musinase. Enzim protease dan fosfolipase diduga merusak
glikoprotein dan fosfolipid yang menutup mukosa lambung. H. Pylori juga
mengeluarkan toksin yang beperan dalam peradangan dan reaksi imun local.13

Obat anti-inflamasi non-steroid merusak mukosa lambung

melalui beberapa mekanisme. Obat-obat ini menghambat siklooksigenase


mukosa lambung sebagai pembentuk prostaglandin dari asam arakidonat yang
merupakan salah satu faktor defensif mukosa lambung yang sangat penting.
Selain itu, obat ini juga dapat merusak secara topikal. Kerusakan topikal ini

terjadi karena kandungan asam dalam obat tersebut bersifat korosif, sehingga
merusak sel-sel epitel mukosa. Pemberian aspirin juga dapat menurunkan sekresi
bikarbonat dan mukus oleh lambung, sehingga kemampuan faktor defensif
terganggu.13

Ulkus peptikum merupakan keadaan di mana kontinuitas mukosa

esophagus, lambung ataupun duodenum terputus dan meluas sampai di bawah


epitel. Kerusakan mukosa yang tidak meluas sampai ke bawah epitel disebut
erosi, walaupun seringkali dianggap juga sebagai ulkus. Ulkus kronik berbeda
dengan ulkus akut, karena memiliki jaringan parut pada dasar ulkus. Menurut
definisi, ulkus peptik dapat ditemukan pada setiap bagian saluran cerna yang
terkena getah asam lambung, yaitu esofagus, lambung, duodenum, dan setelah
gastroduodenal, juga jejunum.13

Sawar mukosa lambung penting untuk perlindungan lambung dan

duodenum. Obat anti inflamasi non steroid termasuk aspirin menyebabkan


perubahan kualitatif mucus lambung yang dapat mempermudah terjadinya
degradasi mucus oleh pepsin. Prostaglandin yang terdapat dalam jumlah
berlebihan dalam mucus gastric dan tampaknya berperan penting dalam
pertahanan mukosa lambung.13

mukosa

Aspirin, alkohol, garam empedu dan zat zat lain yang merosak
lambung

mengubah

permeabilitas

sawar

epitel,

sehingga

memungkinkan difusi balik asam klorida yang mengakibatkan kerosakan


jaringan, terutama pembuluh darah. Histamin dikeluarkan, merangsang sekresi
asam dan pepsin lebih lanjut dan meningkatkan permeabilitas kapiler terhadap
protein. Mukosa menjadi edema dan sejumlah besar protein plasma dapat hilang.
Mukosa kapiler dapat rusak, mengakibatkan terjadinya hemoragi interstitial dan
perdarahan. Sawar mukosa tidak dipengaruhi oleh penghambatan vagus atau
atropine, tetapi difusi balik dihambat oleh gastrin.13

Destruksi sawar mukosa lambung diduga merupakan faktor

penting dalam patogenesis ulkus peptikum. Ulkus peptikum sering terletak di


antrum karena mukosa antrum lebih rentan terhadap difusi balik disbanding

fundus. Selain itu, kadar asam yang rendah dalam analisis lambung pada
penderita ulkus peptikum diduga disebabkan oleh meningkatnya difusi balik dan
bukan disebabkan oleh produksi yang berkurang. 13

Daya tahan duodenum yang kuat terhadap ulkus peptikum diduga

akibat fungsi kelenjar Brunner (kelenjar duodenum submukosa dalam dinding


usus) yang memproduksi sekret mukoid yang sangat alkali, pH 8 dan kental
untuk menetralkan kimus asam. Penderita ulkus peptikum sering mengalami
sekresi asam berlebihan. Faktor penurunan daya tahan jaringan juga terlibat
dalam ulkus peptikum. Daya tahan jaringan juga bergantung pada banyaknya
suplai darah dan cepatnya regenerasi sel epitel (dalam keadaan normal diganti
setiap 3 hari). kegagalan mekanisme ini juga berperan dalam patogenesis ulkus
peptikum. 13

2.5 GEJALA KLINIK

Sindroma dispepsia dapat bersifat ringan, sedang, dan berat, serta

dapat akut atau kronis sesuai dengan perjalanan penyakitnya. Pembagian akut
dan kronik berdasarkan atas jangka waktu tiga bulan.

Nyeri dan rasa tidak nyaman pada perut atas atau dada mungkin

disertai dengan sendawa dan suara usus yang keras (borborigmi). Pada beberapa
penderita, makan dapat memperburuk nyeri; pada penderita yang lain, makan
bisa mengurangi nyerinya. Gejala lain meliputi nafsu makan yang menurun,
mual, sembelit, diare dan flatulensi (perut kembung).6

Dispepsia Organik

a. Dispepsia Ulkus

Dispepsia ulkus merupakan bagian penting dari dispepsia organik. Di

negara negara barat prevalensi ulkus lambung lebih rendah dibandingkan dengan
ulkus duodeni. Sedang di negara berkembang termasuk Indonesia frekuensi ulkus
lambung lebih tinggi. Ulkus lambung biasanya diderita pada usia yang lebih tinggi
dibandingkan ulkus duodeni.4

Gejala utama dari ulkus peptikum adalah hunger pain food relief. Untuk

ulkus duodeni nyeri umumnya terjadi 1 sampai 3 jam setelah makan, dan penderita
sering terbangun di tengah malam karena nyeri. Tetapi banyak juga kasus kasus
yang gejalanya tidak jelas dan bahkan tanpa gejala. Pada ulkus lambung seringkali
gejala hunger pain food relief tidak jelas, bahkan kadang kadang penderita justru
merasa nyeri setelah makan.15

Penelitian menunjukkan bahwa penyebab utama ulkus duodenum adalah

infeksi H. pylori, dan ternyata sedikitnya 95% kasus ulkus duodeni adalah H. pylori
positif, sedang hanya 70% kasus ulkus lambung yang H. pylori positif.13

b.

GERD
Dahulu GERD dimasukkan dalam dispepsia fungsional tetapi setelah
ditemukan dasar-dasar organik maka GERD dimasukan kedalam dispepsia organik.
Penyakit

ini

disebabkan

Inkompetensi/relaksasi

sphincter

cardia

yang

menyebabkan regurgitasi asam lambung ke dalam esofagus.

Dulu sebelum penyebab GERD diketahui dengan jelas, GERD

dimasukkan ke dalam kelompok dispepsia fungsional. Setelah penyebabnya jelas


maka GERD dikeluarkan dari kelompok tersebut dan dimasukkan ke dalam
dispepsia organik.7
Gejala GERD :

o
o
o
o
o

Gejala khas, terdiri dari :

Heart Burn
Rasa panas di epigastrium
Rasa nyeri retrosternal
Regurgitasi asam
Pada kasus berat : ada gangguan menelan

Gejala tidak khas :

o Nafas pendek
o Wheezing
o Batuk-batuk

Gejala GERD lebih menonjol pada waktu penderita terbaring

terlentang dan berkurang bila penderita duduk.

Gambaran Endoskopi:

Didapatkan lesi berupa robekan pada daerah spinter esophagus yang dibagi
menjadi 4 derajat (Pembagian Los Angeles) :

Grade A :

Robekan mukosa tidak lebih dari 5 mm

Grade B :

Ada robekan mukosa yang lebih dari 5 mm dan kalau ada robekan mukosa di
tempat lain tidak berhubungan dengan robekan mukosa yang pertama.
Grade C :

Robekan mukosa pada 1 lipatan mukosa berhubungan dengan lipatan


mukosa yang lain tetapi tidak difus.

Grade D :

Robekan mukosa difus.15

Dispepsia Fungsional

Gejala dispepsia fungsional (menurut kriteria Roma) :

a. Gejala menetap selama 3 bulan dalam 1 tahun terakhir.


b. Nyeri epigastrium yang menetap atau sering kambuh (recurrent).
c. Tidak ada kelainan organik yang jelas (termasuk endoskopi)
d. Tidak ada tanda-tanda IBS (Irritable Bowel Syndrome)
2.6 ANAMNESIS

Jika pasien mengeluh mengenai dispepsia, dimulakan pertanyaan

atau anamnesis dengan lengkap. Berapa sering terjadi keluhan dispepsia, sejak
kapan terjadi keluhan, adakah berkaitan dengan konsumsi makanan? Adakah
pengambilan obat tertentu dan aktivitas tertentu dapat menghilangkan keluhan
atau memperberat keluhan? Adakah pasien mengalami nafsu makan menghilang,
muntah, muntah darah, BAB berdarah, batuk atau nyeri dada?11

Pasien juga ditanya, adakah ada konsumsi obat obat tertentu?


Atau adakah dalam masa terdekat pernah operasi? Adakah ada riwayat penyakit
ginjal, jantung atau paru? Adakah pasien menyadari akan kelainan jumlah dan
warna urin? 11

Riwayat minum obat termasuk minuman yang mengandung

alkohol dan jamu yang dijual bebas di masyarakat perlu ditanyakan dan kalau
mungkin harus dihentikan. Hubungan dengan jenis makanan tertentu

perlu

diperhatikan. Tanda dan gejala "alarm"(peringatan) seperti disfagia, berat badan


turun, nyeri menetap dan hebat, nyeri yang menjalar ke punggung, muntah yang
sangat sering, hematemesis, melena atau jaundice kemungkinan besar adalah
merupakan penyakit serius yang memerlukan pemeriksaan seperti endoskopi dan
/ atau "USG" atau "CT Scan" untuk mendeteksi struktur peptik, adenokarsinoma
gaster atau esophagus, penyakit ulkus, pankreatitis kronis atau keganasan
pankreas empedu.11

Perlu ditanyakan hal-hal yang berhubungan dengan stresor

psikososial misalnya: masalah anak (meninggal, nakal, sakit, tidak punya),


hubungan antar manusia (orang tua, mertua, tetangga, adik ipar, kakak),
hubungan suami-istri (istri sibuk, istri muda, dimadu, bertengkar, cerai),
pekerjaan dan pendidikan (kegiatan rutin, penggusuran, pindah jabatan, tidak
naik pangkat). Hal ini berakibat eksaserbasi gejala pada beberapa orang.5

Harus diingat gambaran khas dari beberapa penyebab dispepsia.

Pasien ulkus peptikum biasanya berumur lebih dari 45 tahun, merokok dan nyeri
berkurang dengan mencerna makanan tertentu atau antasid. Nyeri sering
membangunkan pasien pada malam hari banyak ditemukan pada ulkus
duodenum. Gejala esofagitis sering timbul pada saat berbaring dan
membungkuk setelah makan kenyang yaitu perasan terbakar pada dada, nyeri
dada yang tidak spesifik (bedakan dengan pasien jantung koroner), regurgitasi
dengan gejala perasaan asam pada mulut. Bila gejala dispepsia timbul segera
setelah makan biasanya didapatkan pada penyakit esofagus, gastritis erosif dan
karsinoma. Sebaliknya bila muncul setelah beberapa jam setelah makan sering
terjadi pada ulkus duodenum. Pasien dispepsia non ulkus

lebih sering

mengeluhkan gejala di luar GI, ada tanda kecemasan atau depresi, atau
mempunyai riwayat pemakaian psikotropik. 2, 6-11

2.7 PEMERIKSAAN FISIK

Pemeriksaan fisik untuk mengidentifikasi kelainan intra-abdomen

atau intra lumen yang padat misalnya tumor, organomegali, atau nyeri tekan
sesuai dengan adanya ransang peritoneal/peritonitis.1

Tumpukan pemeriksaan fisik pada bagian abdomen. Inspeksi


akan distensi, asites, parut, hernia yang jelas, ikterus, dan lebam. Auskultasi
akan bunyi usus dan karekteristik motilitasnya. Palpasi dan perkusi abdomen,
perhatikan akan tenderness, nyeri, pembesaran organ dan timpani.6 Pemeriksaan
tanda vital bisa ditemukan takikardi atau nadi yang tidak regular.10

Kemudian, lakukan pemeriksaan sistem tubuh badan lainnya.


Perlu ditanyakan perubahan tertentu yang dirasai pasien, keadaan umum dan
kesadaran pasien diperhatikan. Auskultasi bunyi gallop atau murmur di jantung.
Perkusi

paru

untuk

mengetahui

konsolidasi.

Perhatikan

dan

lakukan

pemeriksaan terhadap ektremitas, adakah terdapat perifer edema dan dirasakan


adakah akral hangat atau dingin. Lakukan juga perabaan terhadap kelenjar
limfa.6-11

2.8 PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan untuk penanganan dispepsia terbagi beberapa bagian, yaitu:

1. Pemeriksaan laboratorium untuk mengidentifikasi adanya faktor infeksi


(leukositosis), pakreatitis (amylase, lipase), keganasan saluran cerna (CEA, CA 199, AFP). Biasanya meliputi hitung jenis sel darah yang lengkap dan pemeriksaan
darah dalam tinja, dan urine. Dari hasil pemeriksaan darah bila ditemukan
lekositosis berarti ada tanda-tanda infeksi. Pada pemeriksaan tinja, jika tampak cair
berlendir atau banyak mengandung lemak berarti kemungkinan menderita
malabsorpsi. Seseorang yang diduga menderita dispepsia tukak, sebaiknya diperiksa
asam lambung. Pada karsinoma saluran pencernaan perlu diperiksa petanda tumor,
misalnya dugaan karsinoma kolon perlu diperiksa CEA, dugaan karsinoma pankreas
perlu diperiksa CA 19-9. 1

2. Barium enema untuk memeriksa esophagus, Lambung atau usus halus dapat
dilakukan pada orang yang mengalami kesulitan menelan atau muntah, penurunan
berat badan atau mengalami nyeri yang membaik atau memburuk bila penderita

makan. Pemeriksaan ini dapat mengidentifikasi kelainan struktural dinding/mukosa


saluran cerna bagian atas seperti adanya tukak atau gambaran ke arah tumor.1,3,15

3. Endoskopi bisa digunakan untuk memeriksa esofagus, lambung atau usus


halus dan untuk mendapatkan contoh jaringan untuk biopsi dari lapisan lambung.
Contoh tersebut kemudian diperiksa dibawah mikroskop untuk mengetahui apakah
lambung terinfeksi oleh Helicobacter pylori. Endoskopi merupakan pemeriksaan
baku emas, selain sebagai diagnostik sekaligus terapeutik. 2,3,7 Pemeriksaan ini sangat
dianjurkan untuk dikerjakan bila dispepsia tersebut disertai oleh keadaan yang
disebut alarm symptoms, yaitu adanya penurunan berat badan, anemia, muntah
hebat dengan dugaan adanya obstruksi, muntah darah, melena, atau keluhan sudah
berlangsung lama, dan terjadi pada usia lebih dari 45tahun.1

Pemeriksaan yang dapat dilakukan dengan endoskopi adalah:

a. CLO (rapid urea test)

b. Patologi anatomi (PA)

c. Kultur mikroorgsanisme (MO) jaringan

d. PCR (polymerase chain reaction), hanya dalam rangka penelitian15

4. Pemeriksaan penunjang meliputi pemeriksaan radiologi, yaitu OMD dengan


kontras ganda, serologi Helicobacter pylori, dan urea breath test (belum tersedia di
Indonesia). Pemeriksaan radiologis dilakukan terhadap saluran makan bagian atas
dan sebaiknya dengan kontras ganda. Pada refluks gastroesofageal akan tampak
peristaltik di esofagus yang menurun terutama di bagian distal, tampak antiperistaltik di antrum yang meninggi serta sering menutupnya pilorus, sehingga
sedikit barium yang masuk ke intestin. Pada tukak baik di lambung, maupun di
duodenum akan terlihat gambar yang disebut niche, yaitu suatu kawah dari tukak
yang terisi kontras media. Bentuk niche dari tukak yang jinak umumnya reguler,
semisirkuler, dengan dasar licin). Kanker di lambung secara radiologis, akan tampak
massa yang ireguler tidak terlihat peristaltik di daerah kanker, bentuk dari lambung
berubah. Pankreatitis akut perlu dibuat foto polos abdomen, yang akan terlihat tanda

seperti terpotongnya usus besar (colon cut off sign), atau tampak dilatasi dari
intestin terutama di jejunum yang disebut sentina loops.1

5. Kadang dilakukan pemeriksaan lain, seperti pengukuran kontraksi esofagus atau


respon esofagus terhadap asam.

.10

Management of dyspepsia based on age and alarm features. EGD,


esophagogastroduodenoscopy.

2.9 DIAGNOSIS

Dispepsia melalui simptom-simptomnya sahaja tidak dapat

membedakan antara dispepsia fungsional dan dispepsia organik. Diagnosis


dispepsia fungsional adalah diagnosis yang telah ditetapkan, dimana pertama
sekali penyebab kelainan organik atau struktural harus disingkirkan melalui
pemeriksaan. Pemeriksaan yang pertama dan banyak membantu adalah
pemeriksaan endoskopi. Oleh karena dengan pemeriksaan ini dapat terlihat
kelainan di oesophagus, lambung dan duodenum. Diikuti dengan USG
(Ultrasonography) dapat mengungkapkan kelainan pada saluran bilier, hepar,
pankreas, dan penyebab lain yang dapat memberikan perubahan anatomis.
Pemeriksaan hematologi dan kimia darah akan dapat mengungkapkan penyebab
dispepsia seperti diabetes, penyakit tyroid dan gangguan saluran bilier. Pada
karsinoma saluran pencernaan perlu diperiksa pertanda tumor.1,5

Kriteria Diagnostik Dispepsia Fungsional berdasarkan Kriteria

Rome III yaitu:


1. berasa terganggu setelah makan
2. cepat kenyang
3. nyeri epigastrik
4. panas/ rasa terbakar di epigastrik

Terbukti tidak ada penyakit struktural termasuk endoskopi

proksimal yang dapat menjelaskan penyebab terjadinya gejala klinis tersebut.

Kriteria haruslah terjadi dalam masa 3 bulan terakhir dengan

onset gejala klinis sekurang-kurangnya 6 bulan sebelum diagnosis.3

2.10 DIFERENSIAL DIAGNOSIS

Dispepsia adalah merupakan suatu simptom atau kelompok

keluhan atau gejala dan bukan merupakan suatu diagnosis. Diferensial diagnosis
dyspepsia adalah seperti box 1. Sangat penting mencari clue atau penanda akan

gejala dan keluhan yang merupakan etiologi yang bisa ditemukan berdasarkan
anamnesis dan pemeriksaan fisik. 50%60% kasus, didapati tidak ada penyebab
yang terdeteksi di mana pasien dikatakan merupakan dispepsia fungsional.
Prevalensi ulkus peptikum adalah 15%- 25% dan prevalensi esofagitis adalah
5%-15%. Kanker digestif bagian atas < 2%. Disebabkan kanker digestif bagian
atas jarang pada umur <50 tahun, pemeriksaan endoskopi direkomendasi pada
pasien yang berusia > 50 tahun. Juga direkomendasi pada pasien yang
mangalami penurunan berat badan yang signifikan, terjadi pendarahan, dan

muntah yang terlalu teruk.2


Box 1: Diagnosis banding dispepsia
Dispepsia non ulkus
Gastro-oesophageal reflux disease.
Ulkus peptikum.
Obat-obatan: obat anti inflamasi non-steroid, antibiotik, besi, suplemen kalium,

digoxin.
Malabsorbsi Karbohidrat (lactose, fructose, sorbitol).
Cholelithiasis or choledocholithiasis.
Pankreatitis Kronik.
Penyakit sistemik (diabetes, thyroid, parathyroid, hypoadrenalism, connective

tissue disease).
Parasit intestinal.
Keganasan abdomen (terutama kanser pancreas dan gastrik).

2.11 PENATALAKSANAAN

Berdasarkan Konsensus Nasional Penanggulangan Helicobacter

pylori 1996, ditetapkan skema penatalaksanaan dispepsia, yang dibedakan bagi


sentra kesehatan dengan tenaga ahli (gastroenterolog atau internis) yang disertai
fasilitas endoskopi dengan penatalaksanaan dispepsia di masyarakat.

Pengobatan dispepsia mengenal beberapa golongan obat, yaitu:

1. Antasid

Golongan obat ini mudah didapat dan murah. Antasid akan

menetralisir sekresi asam lambung. Antasid biasanya mengandungi Na


bikarbonat, Al(OH)3, Mg(OH)2, dan Mg triksilat. Pemberian antasid jangan

terus- menerus, sifatnya hanya simtomatis, untuk mengurangi rasa nyeri. Mg


triksilat dapat dipakai dalam waktu lebih lama, juga berkhasiat sebagai adsorben
sehingga bersifat nontoksik, namun dalam dosis besar akan menyebabkan diare
karena terbentuk senyawa MgCl2. Sering digunakan adalah gabungan
Aluminium hidroksida dan magnesium hidroksida.Aluminum hidroksida boleh
menyebabkan konstipasi dan penurunan fosfat; magnesium hidroksida bisa
menyebabkan BAB encer. Antacid yang sering digunakan adalah seperti
Mylanta, Maalox, merupakan kombinasi Aluminium hidroksida dan magnesium
hidroksida. Magnesium kontraindikasi kepada pasien gagal ginjal kronik karena
bisa menyebabkan hipermagnesemia, dan aluminium bisa menyebabkan kronik
neurotoksik pada pasien tersebut.15

2. Antikolinergik

Perlu diperhatikan, karena kerja obat ini tidak spesifik. Obat yang

agak selektif yaitu pirenzepin bekerja sebagai anti reseptor muskarinik yang
dapat menekan seksresi asam lambung sekitar 28-43%. Pirenzepin juga
memiliki efek sitoprotektif.10

3. Antagonis reseptor H2

Golongan obat ini banyak digunakan untuk mengobati dispepsia

organik atau esensial seperti tukak peptik. Obat yang termasuk golongan
antagonis reseptor H2 antara lain simetidin, roksatidin, ranitidin, dan
famotidin.10,15

4. Penghambat pompa asam (proton pump inhibitor = PPI).

Golongan obat ini mengatur sekresi asam lambung pada stadium

akhir dari proses sekresi asam lambung. Obat-obat yang termasuk golongan PPI
adalah omeperazol, lansoprazol, dan pantoprazol. Waktu paruh PPI adalah
~18jam ; jadi, bisa dimakan antara 2 dan 5 hari supaya sekresi asid gastrik
kembali kepada ukuran normal. Supaya terjadi penghasilan maksimal,
digunakan sebelum makan yaitu sebelum sarapan pagi kecuali omeprazol.15

5. Sitoprotektif

Prostoglandin sintetik seperti misoprostol (PGE1) dan enprostil

(PGE2). Selain bersifat sitoprotektif, juga menekan sekresi asam lambung oleh
sel parietal. Sukralfat berfungsi meningkatkan sekresi prostoglandin endogen,
yang selanjutnya memperbaiki mikrosirkulasi, meningkatkan produksi mukus
dan meningkatkan sekresi bikarbonat mukosa, serta membentuk lapisan protektif
(site

protective),

yang

bersenyawa

dengan

protein

sekitar

lesi mukosa saluran cerna bagian atas. Toksik daripada obat ini jarang, bisa
menyebabkan konstipasi (23%). Kontraindikasi pada pasien gagal ginjal
kronik. Dosis standard adalah 1 g per hari.15

6. Golongan prokinetik

Obat yang termasuk golongan ini, yaitu sisaprid, domperidon,

dan metoklopramid. Golongan ini cukup efektif untuk mengobati dispepsia


fungsional dan refluks esofagitis dengan mencegah refluks dan memperbaiki
bersihan asam lambung (acid clearance).10

7. Antibiotik untuk infeksi Helicobacter pylori

Eradikasi bakteri Helicobacter pylori membantu mengurangi simptom pada


sebagian pasien dan biasanya digunakan kombinasi

antibiotik seperti

amoxicillin (Amoxil), clarithromycin (Biaxin), metronidazole (Flagyl) dan


tetracycline (Sumycin).6

Kadang kala juga dibutuhkan psikoterapi dan psikofarmakoterapi (obat antidepresi dan cemas) pada pasien dengan dispepsia fungsional, karena tidak
jarang keluhan yang muncul berhubungan dengan faktor kejiwaan seperti
cemas dan depresi.2,6-12

Terapi Dispepsia Fungsional :

1. Farmakologis

Pengobatan jangka lama jarang diperlukan kecuali pada kasus-kasus berat.


(regular medication) mungkin perlu pengobatan jangka pendek waktu ada
keluhan. (on demand medication)

Reassurance
Edukasi mengenai penyakitnya

2. Psikoterapi

3. Perubahan diit dan gaya hidup

Dianjurkan makan dalam porsi yang lebih kecil tetapi lebih sering.
Makanan tinggi lemak dihindarkan

Pengobatan terhadap dispepsia fungsional adalah bersifat terapi

simptomatik. Pasien dengan dispepsia fungsional lebih dominan gejala dan


keluhan seperti nyeri pada abdomen bagian atas (ulcer - like) bisa diobati dengan
PPI (Proton Pump Inhibitors). Pasien dengan keluhan yang tidak jelas di bagian
abdomen atas di mana yang gagal dengan pengobatan PPI, bisa diobati dengan
tricyclic antidepressants, walaupun data yang menyokong masih kurang.16

Pasien dengan keluhan dismotility like symptom bisa diobati

dengan sama ada dengan acid suppressive therapy, prokinetic agents, atau 5-HT 1
agonists. Metoclopramide dan domperidone menunjukkan antara obat placebo
dalam pengobatan dispepsia fungsional.16

2.12 PENCEGAHAN

Makan secara benar. Hindari makanan yang dapat mengiritasi terutama makanan
yang pedas, asam, gorengan atau berlemak. Yang sama pentingnya dengan
pemilihan jenis makanan yang tepat bagi kesehatan adalah bagaimana cara
memakannya. Makanlah dengan jumlah yang cukup, pada waktunya dan

lakukan dengan santai.


Hindari alkohol. Penggunaan alkohol dapat mengiritasi dan mengikis lapisan
mukosa dalam lambung dan dapat mengakibatkan peradangan dan pendarahan.

Jangan merokok. Merokok mengganggu kerja lapisan pelindung lambung,


membuat lambung lebih rentan terhadap gastritis dan borok. Merokok juga
meningkatkan asam lambung, sehingga menunda penyembuhan lambung dan
merupakan penyebab utama terjadinya kanker lambung. Tetapi, untuk dapat
berhenti merokok tidaklah mudah, terutama bagi perokok berat. Konsultasikan

dengan dokter mengenai metode yang dapat membantu untuk berhenti merokok.
Lakukan olah raga secara teratur. Aerobik dapat meningkatkan kecepatan
pernapasan dan jantung, juga dapat menstimulasi aktifitas otot usus sehingga

membantu mengeluarkan limbah makanan dari usus secara lebih cepat.


Kendalikan stress. Stress meningkatkan resiko serangan jantung dan stroke,
menurunkan sistem kekebalan tubuh dan dapat memicu terjadinya permasalahan
kulit. Stress juga meningkatkan produksi asam lambung dan melambatkan
kecepatan pencernaan. Karena stress bagi sebagian orang tidak dapat dihindari,
maka kuncinya adalah mengendalikannya secara effektif dengan cara diet yang

bernutrisi, istirahat yang cukup, olah raga teratur dan relaksasi yang cukup.
Ganti obat penghilang nyeri. Jika dimungkinkan, hindari penggunaan OAINS,
obat-obat golongan ini akan menyebabkan terjadinya peradangan dan akan
membuat peradangan yang sudah ada menjadi lebih parah. Ganti dengan

penghilang nyeri yang mengandung acetaminophen.


Ikuti rekomendasi dokter.6-11

2.13 PROGNOSIS

Statistik

menunjukkan

sebanyak

20%

pasien

dispepsia

mempunyai ulkus peptikum, 20% mengidap Irritable Bowel Syndrome, kurang


daripada 1% pasien terkena kanker, dan dispepsia fungsional dan dyspepsia non
ulkus adalah 5-40%.17

Terkadang dispepsia dapat menjadi tanda dari masalah serius,

contohnya penyakit ulkus lambung yang parah. Tak jarang, dispepsia disebabkan
karena kanker lambung, sehingga harus diatasi dengan serius. Ada beberapa hal
penting yang harus diperhatikan bila terdapat salah satu dari tanda ini, yaitu:
Usia 50 tahun ke atas, kehilangan berat badan tanpa disengaja, kesulitan

menelan, terkadang mual-muntah, buang air besar tidak lancar dan merasa penuh
di daerah perut.

BAB III

KESIMPULAN

Dispepsia merupakan keluhan yang sangat umum, terjadi pada

lebih dari seperempat populasi, tetapi hanya kurang lebih seperempatnya


berkonsultasi ke dokter. Terdapat banyak penyebab dispepsia, antaranya adalah
gangguan atau penyakit dalam lumen saluran cerna; tukak gaster atau
duodenum, gastritis, tumor, infeksi Helicobacter pylori. Obat obatan seperti
anti inflamasi non steroid (OAINS), aspirin, beberapa antibiotik, digitalis,
teofilin dan sebagainya. Penyakit pada hati, pankreas, sistem bilier, hepatitis,
pankreatitis, kolesistetis kronik. Penyakit sistemik: diabetes mellitus, penyakit
tiroid, penyakit jantung koroner. Bersifat fungsional, yaitu dispepsia yang
terdapat pada kasus yang tidak terbukti adanya kelainan atau gangguan organik
atau struktural biokimia, yaitu dispepsia fungsional atau dispepsia non ulkus.
Dispepsia adalah merupakan suatu simptom atau kelompok keluhan atau gejala
dan bukan merupakan suatu diagnosis. Sangat penting mencari clue atau
penanda akan gejala dan keluhan yang merupakan etiologi yang bisa ditemukan
berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Disebabkan kanker digestif

bagian atas jarang pada umur <50 tahun, pemeriksaan endoskopi direkomendasi
pada pasien yang berusia > 50 tahun. Juga direkomendasi pada pasien yang
mangalami penurunan berat badan yang signifikan, terjadi pendarahan, dan
muntah yang terlalu teruk. Penatalaksanaan dispepsia adalah meliputi pola hidup
sehat, berpikiran positif dan pemakanan yang sehat dan seimbang, selain
daripada pengobatan. Pengobatan dispepsia adalah antaranya seperti antasid,
antikolinergik, antagonis reseptor histamin2, Proton Pump Inhibitor, sitoprotektif,
golongan prokinetik, antibiotik untuk infeksi Helicobacter pylori dan kadang
kadang diperlukan psikoterapi.

DAFTAR PUSTAKA

1. Djojoningrat D. Pendekatan klinis penyakit gastrointestinal. Sudoyo AW,


Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editor. Buku ajar ilmu penyakit
dalam, Ed. IV, 2007. Indonesia; Balai Penerbit FKUI. H. 285
2. Jones MP. Evaluation and treatment of dyspepsia. Post Graduate Medical
Journal. 2003;79:25-29.
3. Tack J, Nicholas J, Talley, Camilleri M, Holtmann G, Hu P, et al. Functional
Gastroduadenal. Gastroenterology. 2006;130:1466-1479.
4. Karakteristik Penderita Dispepsia Rawat Inap Di RS Martha Friska Medan
Tahun

2007.

Edisi

2010.

Diunduh

dari,

http://library.usu.ac.id/index.php/index.php?option=com_journal_review&id.
5. Citra JT. Perbedaan depresi pada pasien dispepsia organik dan fungsional.
Bagian Psikiatri FK USU 2003.
6. Dyspepsia. Edition 2010. Available from: http://www.mayoclinic.org/dyspepsia/.

7. Talley N, Vakil NB, Moayyedi P. American Gastroenterological Association


technical review: evaluation of dyspepsia. Gastroenterology. 2005;129:1754
8. Indigestion (Dyspepsia, Upset Stomach). Edition 2010. Available from:
http://www.medicinenet.com/dyspepsia/article.htm, 5 Juni 2010.
9. Dyspepsia, What It Is and What to Do About It? Edition 2009. Available from:
http://familydoctor.org/online/famdocen/home/common/digestive/disorders/474.
html.
10. Greenburger NJ. Dyspepsia. The Merck Manuals Online Medical Library. 2008
March. Available from: http://www.merck.com/mmpe/sec02/ch007/ch007c.html.
11. Delaney BC. 10 Minutes consultation dyspepsia. BMJ. 2001. Available from:
http://www.bmj.com/cgi/content/full/322/7289/776.
12. Ringerl Y. Functional dyspepsia. UNC Division of Gastroenterology and
Hepatology. 2005;1:1-3.
13. Glenda NL. Gangguan lambung dan duodenum. Patofisiologi. Edisi ke-6. EGC;
2006.h.417-19.
14. Riza TC, Bushra S. Dyspepsia. Prim Care Clinical Office Pract 34 2007;1:99
108.
15. Fauci AS, Braunwald, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson LJ et al.
Peptic ulcer disease in Harrisons Principle of Internal Medicine, 17 th ed,
Vol.II.2008. USA: Mc Graw Hill Medical, p.287
16. David JB. Test and Treat or PPI Therapy for Dyspepsia? Journal Watch
Gastroenterology. 2008 april;
17. Dyspepsia.

Edition

2001.

Available

http://mercyweb.org/MICROMEDEX/health_information.

from:

You might also like