You are on page 1of 30

MUKADIMAH

Studi-studi sosial di pulau Lombok tentang Tuan Guru


menunjukkan bahwa Tuan Guru sebagai pemimpin Islam
memegang peranan penting dalam menentukan dan
mencegah pudarnya jati diri dan kultural agama yang dianut
dan dipegang oleh masyarakat. Atmosfir budaya maupun
pengetahuan yang dianggap tidak sejalan dengan nilai-
nilai Islam yang dapat menerbitkan rasa tidak aman serta
mengancam jati diri masyarakat sebagai muslim yang taat,
menjadi alasan masyarakat memelihara hubungan dengan
Tuan Guru. (Budiwanti, 2000)
Tuan Guru adalah assigned status dimana predikat ini
oleh masyarakat Lombok diberikan kepada mereka yang
menguasai dan mengajarkan ilmu dan tata nilai agama.
Merujuk pada kata “Tuan” dan “Guru” adalah sebutan
kelas sosial yang berada pada lapis tertinggi dalam struktur
masyarakatnya. Hal ini menunjukkan terjadinya pelapisan
sosial yang bertumpuk dalam matra stigmatik yang
diciptakan oleh sistem sosial. (Badrun, 2006)
Tuan memiliki makna dasar, orang yang dianggap mulia,
lebih tinggi dan patut dihormati. Sebutan "tuan" dalam
masyarakat Sasak juga merujuk pada orang yang telah
melaksanakan ibadah haji. Sedangkan "guru" adalah sebutan
bagi orang yang telah mengajarkan ilmu dan pengetahuan.
Dua kata ini menyiratkan hubungan hirarkial dan dikotomis
antara tuan guru dan umat (masyarakat).
Walaupun hasil riset dan karya-karya yang utuh tentang
Tuan Guru belum banyak dilakukan—sebagaimana Kiai di
pulau Jawa1—namun menurut Badrun (2006) maksud dari
sebutan tersebut dapat kita tangkap pada tulisan Martin Van
Bruinessen (1994) tentang tarekat Naqsabandiyah di pulau
Lombok, John R. Bertholemew (2001), dan Erni Budiwanti
(2000) tentang proses beragama di Gumi Sasak.

1
Secara umum perbedaan cara perolehan status antara Kyai di
Jawa dan Tuan Guru di Lombok melalui alur yang berbeda. Di
Jawa perolehan status Kyai dapat melalui tiga cara yakni pertama
melalui ascribed status, dimana seseorang memperoleh status dari
keturunannya, kedua melalui achieved status yakni status diperoleh
melalui usaha yang disengaja, dan yang ketiga adalah campuran
dari kedua tersebut, yakni seseorang memperoleh status kyai selain
karena faktor keturunan juga disebabkan oleh faktor kemmapuannya.
Adapun status Tuan Guru di Lombok hanya dapat diperoleh melalui
achieved status.

2 | Pendahuluan
Secara jelas dari masing-masing karya tersebut
memberikan maksud yang tak jauh berbeda bahwa Tuan
Guru merupakan predikat yang diberikan bagi orang yang
memiliki ilmu agama (dan pernah menunaikan ibadah haji)
dengan dukungan kharisma2 yang tinggi, dan menempati
kelas sosial teratas, dan dihormati sebagai pewaris Nabi.
Masyarakat Sasak yang memandang penting penge-
tahuan agama, memandang Tuan Guru sebagai sumber
pengetahuan yang akan memenuhi kebutuhan-kebutuhan
sosial yang terkait dengan seluruh aktifitas kehidupan yang
akan membawa mereka kepada cita-cita ideal, akibatnya tuan
guru menjadi legitimator yang memberikan "pencerahan"
terhadap berbagai persoalan yang mereka hadapi.

2
Kharisma sangatlah determinatif dalam membuat predikat tersebut.
Orang yang memiliki pengetahuan agama yang tinggi, bila tidak
didukung oleh kharisma yang kua t maka tidak akan disebut sebagai
Tuan Guru, ia hanya berhak disebut guru atau ustad. Demikian
sebaliknya orang yang hanya memiliki kharisma namun tidak
memiliki pengetahuan agama akan disebut tuan, datu, ataupun
raden. Dalam perjalanannya predikat sosial keagamaan tersebut telah
mengalami pergeseran sensibilitas karena pengaruh perkembangan
sosial. Kharisma sangat ditentukan oleh kemampuan membangun
pengaruh dan mobilitas sosial. Kharisma inilah yang telah menyedot
pengaruh yang demikian kuat sehingga relasi kuasa yang terbangun
antara Tuan Guru dan masyarakat berada pada bingkai yang meta
rasional. Masyarakat dengan sukarela akan membela dan mengikuti
setiap pilihan dan langkah yang diambil oleh Tuan Guru. Lihat
Badrun AM. Membongkar Misteri Politik NTB. (Yogyakarta: Genta
Press, 2006), cet ke-1 h. 97

Pendahuluan | 3
Peranan penting Tuan Guru juga terkait dengan
kedudukan mereka sebagai elit terdidik yang mentransfer
pengetahuan agama ke tengah masyarakat. Mereka akan
memberikan penjelasan dan mengklarifikasi berbagai
permasalahan yang ada di tengah masyarakat, karena
umumnya masyarakat Sasak menyadari keterbatasan
pengetahuan mereka dalam mengakses doktrin agama
secara luas.
Posisi ini memperkuat nilai tawar Tuan Guru terhadap
masyarakatnya sehingga segala bentuk pendapatnya menjadi
pegangan masyarakat dalam memahami perubahan,
terutama perubahan dalam cara "memperlakukan" doktrin
agama secara literal (rigid) maupun liberal.
Sebagai contoh, ajaran wahabi3 yang dikenal sebagai—
meminjam istilah Rahmat (2006)—suatu ajaran yang

3
Hampir oleh kebanyakan masyarakat Lombok istilah wahabi tidak
dikenal, mereka menyebut kelompok ini dengan salafi, namun untuk
lebih memudahkan penyebutan dalam buku ini akan menggunakan
istilah wahabi. Paham wahabi diperkirakan masuk ke Lombok seiring
kepulangan jamaah haji dari Mekah, namun (sejauh penelusuran
penulis) tidak diketahi secara persis kapan paham ini muncul. Dan
yang hanya bisa dilacak adalah paham ini pernah dilekatkan kepada
Tuan Guru Zainuddin Abdul Madjid ketika ia mengganti sistem
pengajaran dari sistem sorogan menjadi sistem klasikal di Pondok
Pesantren Al-Mujahidin yang ia pimpin, dan di tahun 1980-an
hal serupa juga menimpa Tuan Guru Musthafa Umar Abdul ‘Aziz.
Namun yang akan dicermati dalam penelitian ini adalah kemajuan
penetrasi paham ini setelah tahun 1993.

4 | Pendahuluan
berkarakter khusus4, yakni ajaran yang menggeneralisasi
bid’ah pada setiap doktrin agama yang tidak dijalankan
sesuai dengan maksud teks Al-Qur’an dan hadits secara
harfiah, bagi kebanyakan tuan guru dipandang dapat
memunculkan embrio individualisme di tengah masya-
rakat. Dengan kata lain penetrasi wahabisme di tengah
masyarakat Sasak dapat mengancam harmoni sosial dalam
masyarakat yang sebelumnya terpelihara dengan, serakalan,
tahlilan, maulidan (mulud) dan berbagai aturan adat yang
telah mengadaptasi.
Pun dalam konteks "memperlakukan" doktrin agama
secara liberal seperti yang diimajisasi oleh Ulil Abshar
Abdalla dengan Jaringan Islam Liberalnya (JIL), yang dalam
pandangan tuan guru mereka "didaulat" sebagai penyusup
yang berusaha meruntuhkan pilar-pilar agama secara
internal.
Pandangan-pandangan tuan guru tersebut oleh masya-
rakat Sasak dimaknai sebagai—meminjam istilah Budiwanti

4
Karakter ajaran yang khusus tersebut antara lain; pertama memerangi
segala bentuk syirik, khurafat dan bid’ah. Kedua menerapkan
literalisme yang ketat dan menjadikan teks sebagai satu-satunya
sumber otoritas yang sah. Ketiga menampilkan permusuhan yang
ekstrem terhadap intelektualisme, mistisisme, dan semua perbedaan
sekte dalam Islam. Lihat M. Imdadun Rahmat, Arus Baru Islam
Radikal: Transmisi Revivalisme Islam Timur Tengah Ke Indonesia,
(Jakarta: Erlangga, 2005), cet ke-1, h. 66

Pendahuluan | 5
(2000)—atmosfir yang mengancam jati diri mereka sebagai
muslim yang taat, sekaligus menerbitkan rasa tidak aman
dalam menjalankan agama.
Walau tidak tertutup kemungkinan adanya beberapa
kelompok kecil di tengah masyarakat Sasak yang mampu
mengakses informasi yang lebih luas dan mampu memper-
timbangkan perlakuan keliteralan maupun keliberalan
sebuah doktrin dengan bijaksana, namun karena mayo-
ritas masyarakat Sasak cenderung memandang dan
mengagungkan ketokohan, maka setiap dari mereka dapat
diidentifikasi mengikuti setiap pilihan dan langkah yang
diambil oleh Tuan Guru,5 karena walau bagaimanapun
legitimasinya adalah lokomotif dari gerak mereka.
Untuk itu, buku ini akan berusaha menelaah pemikiran
Tuan Guru terhadap kelompok wahabi dalam pergumulan
identitas sosial dilihat dari berbagai kategori pemikiran
yang berkembang, dan dasar-dasar pemikiran tersebut
dapat diterima oleh masyarakat Sasak.

5
Setiap pilihan dan langkah yang diambil Tuan Guru umumnya diikuti
tanpa reserve oleh masyarakat Sasak, apalagi mempertimbangkan
lebih jauh dimensi di luar keyakinan dan ketaatan mereka. Hal ini
kemungkinan beranjak dari hadis populer “ulama sebagai pewaris
Nabi” yang melahirkan keyakinan bahwa sifat-sifat Nabi melekat
dalam diri Tuan Guru. Namun tidak menutup kemungkinan juga
bagi sebagian masyarakat yang lain dimensi ketaatan ini lahir dari
pemahaman lingkungan sosialnya.

6 | Pendahuluan
Pemetaan Pemikiran Tuan Guru
Umumnya hasil pemikiran tidak lahir dari dunia hampa,
ia selalu dihadirkan dan dipengaruhi oleh sosio kultural
dimana pemikiran tersebut dikembangkan, sehingga dapat
diejawantah ke dalam tindakan yang berdasar (legitimate),
dan menjadi gambaran nyata dari keadaan sosiologis suatu
masyarakat.
Membincangkan pemikiran tuan guru meniscayakan
deskripsi mengenai apa yang dikatakan sebagai pemikiran.
Secara umum pemikiran dimaknai sebagai tanggapan
terhadap masalah-masalah individual, sosial, politik,
ekonomi, dan budaya yang terefleksi secara intelek dan
sistematis, dan dilandaskan pada kesadaran yang bersifat
terbuka dan dialogis, serta dilandaskan pada pendidikan6
yang akan menumbuhkembangkan atau memandekkannya.
Sedangkan pemikiran dalam konteks pemikiran Islam
berarti refleksi pemikiran tersebut ditinjau dari sumber
pokok ajaran Islam yakni Al-Qur’an dan hadis. (Fauzi, 2001:
237-238)
Namun demikian pemikiran tuan guru sebagaimana
pemikiran pada umumnya, tidak lepas dari arus perkem-

6
Pendidikan yang dimaksud di sini adalah pertumbuhan intelek-
tualisme secara orisinil sebagai penentu dari kemajuan atau stagnasi
suatu pendidikan.

Pendahuluan | 7
bangan pemikiran Islam kontemporer yang secara garis
besar terbagi menjadi empat tren besar yang dominan.7
Pertama, kelompok pemikiran yang memercayai
sepenuhnya bahwa doktrin Islam merupakan satu-satunya
alternatif bagi manusia, bagi mereka Islam telah mengatur
segala tatanan kehidupan secara detail sehingga segala
bentuk teori atau apapun yang datang dari luar adalah
ditolak.
Mereka juga sangat teguh dengan aspek religius budaya
Islam sehingga garapan utamanya adalah menghidupkan
Islam sebagai agama, budaya dan peradaban, dengan
menyerukan kembali pada sumber asli ajaran Islam yakni
Al-Qur’an dan sunnah dengan penerapan praktik Rasul dan
al-khulafa ar-rasyidin sebagai model. Bentuk pemikiran ini
dikenal sebagai bentuk pemikiran fundamentalistik.
Kelompok pemikiran tradisionalistik merupakan kelom-
pok pemikiran yang berusaha berpegang teguh pada tradisi-

7
Bandingkan dengan Amin Abdullah dan Akbar S. Ahmed. Amin
membagi tipologi pemikiran Islam menjadi dua tren besar, yakni
kaum salaf dan modern, adapun Akbar membaginya ke dalam tiga
tren besar yakni tradisionalis, radikal, dan modern. Lihat Amin
Abdullah, Falsafah Kalam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), h.
31; Akbar S. Ahmed, Posmodernisme Bahaya dan Harapan Bagi
Islam, terj. Sirazi (Bandung: Mizan, 1993), h. 167-176.

8 | Pendahuluan
tradisi yang telah mapan adalah kelompok kedua dalam
keempat tren besar ini.8
Kecenderungan kelompok ini adalah memercayai bahwa
seluruh persoalan umat telah tuntas dirumuskan dan
dibicarakan oleh ulama terdahulu, sehingga tugas umat
Islam sekarang hanyalah menyatakan kembali, menafsir
ulang atau menganalogi pada pendapat-pendapat mereka.9
Pada dasarnya kelompok kedua ini tidak jauh berbeda
dengan kelompok pertama namun dalam hal tertentu
seperti dalam menyikapi modernitas dan tradisi kelompok
kedua ini lebih fleksibel. Jika kelompok pertama menolak

8
Istilah tradisionalisme awalnya digerakkan oleh para pemikir
Katolik pada abad ke-18 yang menuntut pengendalian kembali oleh
gereja, menurut mereka masyarakat tidak bisa mengenal kebenaran
hakiki tanpa bimbingan wahyu Tuhan (gereja). Lorens Bagus, Kamus
Filsafat, (Jakarta: Gramedia, 1996), h. 1116
9
Dan di Indonesia kecenderungan tradisionalistik tersebut dapat
dilihat dalam masyarakat pesantren. Tradisi di kalangan pesantren
tidak hanya dinilai sebagai sesuatu yang harus diikuti dan ditampilkan
kembali dalam kehidupan modern, tetapi telah dianggap sebagai
sesuatu yang telah sempurna (final), fixed dan tidak bisa dikritik
(sakral). Hasil pemikiran tokoh-tokoh seperti As-Syafi’i dan Ghazali
yang hidup pada abad pertengahan dianggap telah menyelesaikan
berbagai persoalan umat Islam sampai akhir zaman, sehingga
pada gilirannya orang yang mendalami dan menguasai tradisi ikut
mendapat berkah dianggap sebagai tokoh yang patut dijadikan
panutan dan dianggap mampu menyelesaikan segala persoalan
duniawi maupun ukhrawi.

Pendahuluan | 9
modernitas karena menganggapnya sebagai capaian Barat,
maka kelompok kedua menerima modernitas karena bagi
mereka capaian-capaian modernitas tidak lebih dari apa yang
telah hasilkan oleh umat Islam pada masa kejayaannya.
Dan dalam hal tradisi, jika kelompok pertama membatasi
anutan tradisinya sebatas khulafa al-rasyidin, maka pada
kelompok kedua ini justeru melebarkan tradisinya sampai
pada seluruh salaf as-shalih.
Menurut Akbar10 jika kelompok pemikiran tradisionalis
dilihat dari kategorisasi sikap muslim11 terhadap Barat maka
pemikiran para tradisonalis terlihat lebih mementingkan
pesan-pesan universal Islam daripada perbedaan personal
atau sektarian yang sempit, dikarenakan kelompok
pemikiran ini mempunyai kecenderungan sufistik yang
memiliki pesan penting tentang universalisme dan toleransi.
(Akbar, 1996: 168-167)

10
Akbar membagi hubungan masyarakat Islam dan Barat dewasa
ini menjadi tiga kategori yakni sikap tradisionalis, radikalis, dan
modernis. Lihat Akbar S Ahmed, Posmodernisme Harapan dan
Bahaya bagi Islam, (Bandung: Mizan, 1996) h. 171-175
11
Sikap menghargai warisan intelektual dan tradisi sendiri, juga
keharusan adaptasi dari tradisi luar nampak pada pemikiran Al-
Attas dan Faruqi yang dikenal dengan proyek islamisasi ilmu. Bagi
keduanya ilmu dan peradaban Barat harus diislamkan terlebih
dahulu sebelum digunakan, karena dasar dan sumber pemikiran
Barat menurut mereka tidak Islami.

10 | Pendahuluan
Pemikiran tradisionalistik mensyaratkan islamisasi
terlebih dahulu, karena itu fokus mereka—khususnya
dikalangan sarjana—adalah islamisasi segala aspek
kehidupan seperti etika dan ilmu pengetahuan. Adapun
landasan epistemologi yang akan diserap harus diislamkan
agar seluruh gerak dan tindakan umat Islam adalah Islami.
Kecenderungan tradisionalisme seperti yang dikatakan
Hanafi (1992: 27-29) akan melahirkan tiga sikap yang dapat
merugikan umat Islam, yakni:
1. Ekslusifisme yang menggiring terbentuknya sikap
tertutup (eksklusif) yang hanya menghargai dan
mengakui kebenaran kelompoknya sendiri dan menolak
keberadaan pihak lain.
2. Subjektifisme sebagai akibat lanjut dari sikap eksklusifisme,
yakni kehilangan sikap objektif dalam menilai sebuah
persoalan. Benar dan salah bukan lagi didasarkan atas
persoalannya, akan tetapi lebih kepada asal persoalan,
oleh dan dari kelompok mana atau tokoh siapa.
3. Determinisme sebagai tindak lanjut dari dua konsekuensi
sebelumnya yakni masyarakat telah tersubordinasi
dan terkurung dalam satu warna, mereka jadi terbiasa
menerima kata-kata sang panutan dan menganggapnya
sebagai sebuah keniscayaan tanpa ada keinginan untuk
mengubah, apalagi menolak.

Pendahuluan | 11
Ketiga, kelompok pemikiran yang berusaha merekon-
struksi12 ulang warisan-warisan budaya Islam dengan cara
memberi tafsiran baru. Bagi kelompok ini, umat Islam telah
mempunyai budaya dan tradisi (turats) yang mumpuni
dan mapan. Namun tradisi-tradisi tersebut harus dibangun
kembali dengan kerangka modern dan prasyarat rasional
agar bisa tetap survive dan diterima di dalam kehidupan
modern.
Karena itu, kelompok ini berbeda dengan kalangan
fundamentalistik yang tetap menjaga dan melanggengkan
serta menjalankan tradisi masa lalu seperti apa adanya,

12
Bagi Hanafi rekonstruksi adalah pembangunan kembali warisan-
warisan intelektual Islam berdasarkan spirit modern sebagai
kebutuahan umat Islam kontemporer. Teologi sebagai ilmu yang
paling fundamental harus dibangun kembali sesuai dengan perspektif
dan standar modernitas. Oleh karena itu ia menawarkan ide teologi
baru, ideologi revolusi ideologis yang dapat memotivasi umat Islam
modern untuk beraksi melawan despotisme dan penguasa otoriter,
tidak seperti teologi Asy’ari, Baqillani maupun Ghazali yang hanya
menekankan ideologi doktrinal. Dalam hal ini Hanafi mengubah
teologi Asy-‘Ariyah yang teosentris menjadi antroposentris, misalnya
term wahdaniyah (keesaan) tidak dirujukkan pada keesaan Tuhan,
penyucian Tuhan dari paham syirik, politeisme atau sejenisnya,
akan tetapi lebih mengarah pada eksperimentasi kemanusiaan.
Wahdaniyah merupakan pengalaman umum kemanusiaan tentang
kesatuan; kesatuan tujuan, kesatuan kelas, kesatuan nasib, kesatuan
tanah air, kesatuan kebudayaan, dan kesatuan kemanusiaan. Lihat
Hasan Hanafi Min al-Aqidah Ila as-Sunnah, Jilid 1 (Kairo: Maktabah
Matbuli, 1991), h. 46

12 | Pendahuluan
biasanya kelompok jenis ketiga ini disebut sebagai bentuk
pemikiran reformistik.
Keempat, kelompok pemikiran yang berusaha mendekon-
struksi warisan-warisan budaya Islam berdasarkan standar-
standar modernitas. Kelompok postradisionalistik ini pada
satu segi tidak berbeda dengan kelompok tradisionalistik
yang mengakui bahwa warisan tradisi Islam, tetap relevan
untuk era modern selama ia dibaca, diinterpretasi, dan
dipahami sesuai standar modernitas namun relevansi
tradisi tersebut tidak cukup dengan hanya interpretasi lewat
pendekatan rekonstruktif, akan tetapi harus juga dilakukan
dekonstruksi.
Dengan kata lain seluruh bangunan tradisi Islam harus
dirombak dan dibongkar setelah sebelumnya dilakukan
pengkajian dan analisa yang mendalam. Tujuannya adalah
agar segala yang dianggap absolut berubah menjadi relatif
dan yang ahistoris menjadi historis (Al-Jabiri, 1991: 48).
Dari keempat tren pemikiran dalam dunia Islam tersebut,
pemikiran tuan guru secara umum dapat dimasukkan ke
dalam kelompok tradisional, walaupun tidak dipungkiri
pula dari beberapa tuan guru beraliran fundamentalistik,
reformis, dan postradisionalistik (khusus bentuk keempat
ini dapat ditemukan dari kalangan tuan guru bajang
[muda]).
Hal tersebut berdasarkan pada; pertama, kalangan tuan
guru lahir dari rahim pesantren. Kedua tuan guru menerima

Pendahuluan | 13
modernitas yang terlihat dengan diterjemahkannya
ajaran-ajaran Islam—yang nanti akan dipaparkan pada
pembahasan berikutnya, dikaitkan dengan konteks kekinian
dan budaya yang berkembang di tengah masyarakatnya,
dan ketiga sebagai imbas dari pengawalan mereka terhadap
tradisi, mereka ikut mendapat berkah, yang dalam konteks
masyarakat Sasak, mereka dianggap sebagai tokoh yang
dijadikan panutan dan mampu menyelesaikan segala
persoalan duniawi maupun ukhrawi.
Berbeda dengan Hasan Hanafi, bentuk pemikiran
tradisionalistik tuan guru sedikit sekali menampakkan
tiga kecenderungan (ekslusifisme, subjektifisme, dan
determinisme) yang dilekatkan pada kelompok pemikiran
ini. Hal tersebut dimungkinkan terjadi karena pengaruh
ragam komponen masyarakat Sasak dan kesejarahannya
yang sering berganti-ganti penguasa. Selain itu pengaruh
sistem kepatronan (ketergantungan) antara tuan guru dan
masyarakat, keinginan, dan kepentingan, yang bergantung
pada norma, realitas berpikir, dan argumentasi rasional
maupun irasional turut mempengaruhi hal tersebut.

Tuan Guru vs Wahabi


Salah satu faktor penting dalam upaya mempertahankan
keberlangsungan sistem kepatronan tuan guru adalah
kemampuan masing-masing mereka dalam mengadap-
tasikan pemikirannya terhadap masyarakat Sasak.

14 | Pendahuluan
Oleh karenanya setiap pemikiran yang tercetus dalam diri
mereka selalu melibatkan pelbagai kendala normatif maupun
situasional. Karena umumnya seseorang akan menghadapi
kepentingan pribadinya untuk mencapai tujuannya dan
alternatif-alternatif yang akan dilakukannya untuk mencapai
tujuan tersebut. Seseorang akan menghadapi faktor
situasioanal yang memengaruhi pemilihan keputusannya
tersebut.
Timbulnya penafsiran yang berbeda di antara mereka,
disebabkan oleh pemikiran masing-masing tuan guru
yang bergantung kepada pandangan maupun pemikiran
masyarakatnya, yang sudah kadung memandang bahwa
penganut wahabisme sebagai “orang luar”, atau kelompok
menyempal, karena mereka (penganut wahabisme)
menggunakan simbol-simbol yang tidak umum.
Selain itu adanya kesadaran para tuan guru bahwa
setiap pemikiran maupun pandangan masyarakat harus
dicermati secara integratif, karena perilaku sosial mereka
sangat dipengaruhi oleh nilai dan kebudayaannya. Nilai
dan kebudayaan itulah kemudian yang menjiwai pola-pola
lainnya, memengaruhi struktur kebutuhan, dan menentukan
kehendak mereka dalam menerapkan peran sosialnya.
Demikian juga sebaliknya, karena dipengaruhi oleh
sistem kepatronan masyarakat terhadap tuan gurunya, maka
pemikiran atau pandangan tuan guru juga memengaruhi
masyarakatnya. Jadi, terjadi semacam timbal balik pemikiran

Pendahuluan | 15
atau pandangan antara tuan guru dengan masyarakat dalam
melihat dan merespon segala sesuatu yang terjadi di tengah
mereka.
Oleh karenanya diperlukan interaksi dan komunikasi
pemikiran antara tuan guru dan masyarakat dengan kelompok
wahabi dalam mengantisipasi kemungkinan konflik yang
bakal terjadi di antara mereka. Dan penyelesaiannya pun
harus didasarkan pada pengelolaan pemikiran mereka.
Konsep pengelolaan pemikiran seperti ini harus memper-
hitungkan efektivitas interaksi sosial yang membangkitkan
untuk membangun suatu pola hubungan yang terbuka dan
akan mengurangi label-label negatif diantara kelompok yang
berinteraksi. Sebaliknya, ketertutupan interaksi diantara
kelompok-kelompok sosial akan menimbulkan hubungan
yang didasarkan saling curiga sebagai wujud nyata dari
perseteruan yang sewaktu-waktu bisa meledak menjadi
konflik terbuka.
Pemikiran Tuan Guru, pengaruh sosio kultural
masyarakatnya Sasak sangatlah kental, sehingga apa yang
terlihat di tengah masyarakat saat ini merupakan hasil
akulturasi dari proses pergumulan pemikiran keagamaan
tuan guru dengan sosio kultural masyarakat Sasak pra
Islam.
Bentuk pengejawantahan pemikiran ini dapat dikatakan
sebagai embrio dari Islam Sasak, yakni perpaduan antara
Islam yang mengakomodasi beberapa ritual dari Hindu

16 | Pendahuluan
dalam bentuk yang berbeda, seperti pada ritual kelahiran,
hidup, dan kematian. Dengan kata lain tuan guru melebur-
kan simbol-simbol, ritus-ritus agama Hindu ke dalam
adat istiadat Islam yang baru ditumbuhkan, sehingga
terciptalah—meminjam istilah Yudi Haryono—agama
hybrid.13 Upaya pemikiran ini menjadikan pembentukan
masyarakat Islam awal berjalan lancar dan Islam mudah
diterima oleh segenap lapisan masyarakat.
Hasil pergumulan pemikiran tersebut—Islam Sasak,
kemudian menjadi nilai sosial sebagai konsepsi abstrak
masyarakat Sasak dalam memberi landasan, alasan, moti-
vasi, dan alat kontrol yang mengarahkan mereka dalam
berpikir dan bertingkah laku, serta sebagai alat dalam
menentukan “harga” sosial dari suatu kelompok.14

13
Hybrid atau hibrida merupakan istilah dalam ilmu biologi yang
bermakna perkembangan secara bersama dua spesies atau lebih
yang akan menghasilkan spesies baru. Lihat M. Yudhie Haryono,
“Menggagas Islam Hybrid”, Republika, Jumat 13 September 2002.
14
Nilai sosial terkadang menjadi harga mati bagi suatu kelompok,
sehingga jika terjadi benturan terhadap nilai ini maka masyarakat
berusaha melakukan pembelaan dengan berbagai cara, sehingga
tidak heran jika para penganjur wahabisme yang mencoba
meruntuhkan nilai sosial ini mendapatkan perlawanan yang gigih
dari masyarakat.

Pendahuluan | 17
Dampak dari sebuah pemikiran jika dikaitkan dengan
nilai sosial maka setidaknya akan bermuara pada dua hal.
Pertama pemikiran sebagai dampak positif yakni sebagai
daya penyatu atau sentrifugal yang menyatukan unsur
masyarakat yang beragam pemahaman, pengamalan
dan pengalaman. Meskipun pokok suatu pemikiran bisa
bersifat universal, namun awalnya selalu ditujukan kepada
sekelompok orang yang sedikit banyak homogen, dan
akhirnya berkembang menjadi dasar solidaritas kelompok
tertentu.
Kedua dampak negatif sebagai daya pemecah atau
sentripetal yang memecah unsur masyarakat menjadi
kelompok-kelompok tertentu berdasarkan hasil pemikiran
tokoh mereka—yang karena pengaruh sosio kultural
tertentu—pada akhirnya membawa mereka pada perbedaan
dalam menyikapi persoalan-persoalan agama.
Pun dengan pemikiran Tuan Guru dalam memandang
kelompok wahabi, dapat dipetakan menjadi tiga kelompok.
Tuan Guru kelompok pertama memandang wahabi sebagai
kelompok yang pemurni, dan pelurus ajaran Islam yakni
menerapkan perintah Nabi dengan berpraktik ritual secara
harfiah. Kelompok Tuan Guru ini mendukung sepenuhnya
gerakan wahabi, bahkan mereka bergabung sebagai
penganjurnya.
Kelompok Tuan Guru yang mengasumsikan wahabi
sebagai kelompok yang sama benarnya dengan mereka, dan

18 | Pendahuluan
menerima penganjur wahabisme sebagai pesaing yang sehat
dalam memajukan umat merupakan sebagai kelompok
kedua.
Kelompok kedua ini cenderung akomodatif terhadap
penganjur wahabi, akan tetapi mereka tetap menjaga
dan menjalankan tradisi Islam-Sasak selama hal tersebut
meningkatkan kualitas hidup masyarakatnya. Karena fokus
mereka adalah komitmen untuk meningkatkan kualitas
hidup masyarakat selain dengan peningkatan di bidang
pengamalan agama, juga dengan perbaikan kesejahteraan
ekonomi serta pembekalan dan penanaman pendidikan
sekuler, menjadi kewajiban utama tanpa meninggalkan
tradisi Islam yang sudah ada.
Kelompok ketiga adalah Tuan Guru yang menolak wahabi
dengan pandangan bahwa gerakan tersebut15 tidak cocok
dikembangkan di tengah masyarakat Sasak, mengingat
antara masyarakat Sasak dengan masyarakat Arab secara
kultural jauh berbeda, dan secara metodologis mengucilkan
proses sejarah dalam pembentukan sumber-sumber ajaran
Islam.

15
Menurut Rahmat, gerakan wahabi telah mengubah salafisme dari
teologi berorientasi modernis liberal menjadi teologi literalis,
puritan, dan konsevatif. Lihat Imdadun Rahmat, Lihat h. 68

Pendahuluan | 19
Menurut para Tuan Guru dalam kelompok ini, cara
pandang wahabi yang menunjukkan ajaran agama meng-
atasi sejarah dan terbebas dari campur tangan manusia
dalam pembentukannya tidak benar, sehingga ketaatan
penuh terhadap praktik-praktik sahabat 14 abad yang silam
tidak bisa harus direalisasikan pada setiap zaman. Jika hal
tersebut dipaksakan maka masyarakat akan bingung dalam
menghadapi zaman mereka masing-masing.
Demikian juga dengan wahyu, ia tidak bisa dialpakan dari
kenyataan sejarah bahwa wahyu diturunkan dengan bahasa
manusia yang menyejarah, dengan jarak yang demikian
jauh antara dirinya dengan apa yang dibacanya. Mereka
juga tidak menyadari bahwa bahasa tidak bisa lepas dari
proses berpikir, sebagaimana juga kegiatan berpikir dibatasi
oleh bahasa. Artinya ide-ide yang terkandung dalam Al-
Qur’an disampaikan dengan wadah bahasa Arab pada saat
ia diturunkan yang berkait erat dengan cara pandang dan
khazanah pemikiran bangsa Arab yang hidup pada waktu
itu.
Dengan cara pandang wahabi tersebut, kemanusiaan
wacana menjadi hilang, yang tinggal hanyalah keabadian-
nya atau lebih tepat dikatakan dengan terjadinya pencabutan
dari proses sejarah.
Dengan demikian pada tataran nilai sosial mengharus-
kan mereka berpijak pada teks secara ketat sebagai
sarana mediasi antara mereka dengan Tuhan, hal inilah

20 | Pendahuluan
kemudian melahirkan pemahaman bahwa perilaku yang
tidak bersandar pada teks—secara ketat—merupakan
perilaku bid’ah, dan membelah masyarakat menjadi yang
berprilaku agamis (islami) dan yang sesat yakni mereka
yang dianggapnya sebagai pelaku bid’ah.
Penolakan mereka terhadap pandangan hidup lama
(tradisi) masyarakat Sasak menjadi penyebab utama
timbulnya keretakan sosial yang berujung pada perpecahan
antar anggota masyarakat, dengan adanya klaim akan
kemutlakan prilaku yang bersandar secara tekstual dan hasil
pemikirannya, sehingga dari kalangan masyarakat yang
tidak mampu berargumen cenderung mengekspresikan
kegusaran mereka melalui tindakan anarkis. Ekspresi yang
diwujudkan dengan berbagai tindakan, terutama kepada
kelompok lain yang berbeda dengan mereka secara umum.
Walaupun secara moral para Tuan Guru mengakui tidak
pernah mengajarkan atau menganjurkan kekerasan terhadap
pemahaman yang berbeda, namun—khususnya Tuan Guru
pada kelompok ketiga—cenderung menyetujui cara-cara
kekerasan ketika identitas sosialnya merasa terancam.16

16
Persetujuan tersebut dapat dilihat dengan diamnya para Tuan
Guru ketika terjadi tindak kekerasan oleh jamaahnya terhadap
pemahaman yang berbeda, seperti beberapa kasus pengusiran di
beberapa tempat terhadap penganut Ahmadiyah atau wahabi.

Pendahuluan | 21
Dalam hal ini identitas sosial Tuan Guru telah mem-
bentuk citra diri dan masyarakatnya yang melahirkan
keyakinan kelompok sebagai yang terbaik dibandingkan
dengan kelompok diluarnya. Kesuksesan atau kegagalan
kelompok akan menaikkan atau mengurangi self esteem para
anggotanya. Motif penting dari sikap dan perilaku kelompok
adalah motif untuk membentuk dan mempertahan-kan
identitas positifnya.
Namun demikian, apabila intensitas ancaman tersebut
dirasakan cukup kuat, maka diferensiasi itu akan muncul
dalam bentuk pengekspresian bias ringan yakni penghadap-
hadapan masing-masing kelompok dan dievaluasi secara
positif, sampai kepada sikap dan perilaku antar kelompok
yang memandang rendah secara terbuka (prasangka). Efek
identitas yang terancam ini juga akan mengancam self esteem
para anggotanya sehingga tidak jarang terjadi disintegrasi
atau konflik antar kelompok.
Perbedaan kepentingan antar kelompok menyebabkan
benturan antar idealisme yang terkait langsung dengan
kelangsungan hidup karena kepentingan merupakan dasar
atau motif yang timbul dari tingkah laku. Artinya munculnya
pemikiran karena ada dorongan untuk memenuhi
kepentingan, sehingga kepentingan ini bersifat esensial bagi
kelangsungan hidup baik individu maupun kelompok.
Jika individu atau kelompok tersebut berhasil dalam
memenuhi kepentingannya, maka akan merasa puas dan

22 | Pendahuluan
sebaliknya kegagalan dalam memenuhi kepentingan akan
menyebabkan konflik kepentingan antar individu atau antar
kelompok.
Sejalan dengan itu, Campbell dengan teorinya realistic
group conflict mengungkapkan bahwa sikap dan perilaku
antar kelompok cenderung merefleksikan kepentingan
kelompok. Ketika kepentingan-kepentingan tersebut tidak
kompatibel atau ketika salah satu kelompok memperoleh
sesuatu dengan mengorbankan kelompok lainnya, maka
respon psikologis sosialnya cenderung negatif seperti sikap
berprasangka, penilaian terbias, dan perilaku bermusuhan.
Akan tetapi ketika kepentingan-kepentingan tersebut
kompatibel atau lebih baik sehingga salah satu kelompok
hanya dapat memperoleh sesuatu dengan bantuan kelompok
lainnya, maka reaksinya akan lebih positif, misalnya
toleransi, adil dan ramah. (Campbell dalam Rupert Brown,
2005: 75)
Dilihat dari implikasinya dikenal dua bentuk kepentingan
yaitu kepentingan pribadi dan kepentingan sosial atau
kelompok. Akan tetapi biasanya kepentingan pribadi
akan sejalan dengan kepentingan kelompok jika individu-
individu tersebut berada dalam satu ideologi, visi dan misi
yang merupakan identitas sosial mereka.
Identitas sosial ini cenderung akan mengarahkan perilaku
sosial individu agar sesuai dengan harapan kelompoknya.
Hal ini menurut Tajfel dan Turner karena individu tersebut

Pendahuluan | 23
akan mengidentifikasi dirinya sebagai bagian dari sebuah
kelompok dan menilai orang lain sebagai bagian dari
kelompok itu atau bukan (Tajfel dan Turner dalam Matt
Jarvis, 2006).
Oleh karena itu reaksi pemikiran Tuan Guru terhadap
wahabisme dapat dilihat sebagai kepentingan kelompok
yang sedang mempertahankan identitas sosialnya di tengah
gencarnya gelombang penetrasi wahabisme sebagai identitas
baru dalam memperebutkan pengaruh, dan melahirkan
konfigurasi pemikiran yang beraneka ragam sehingga
menjadi menarik untuk dikaji lebih lanjut.

Literatur
Dominasi pengaruh tuan guru dapat dicermati sebagai
gambaran aktual dari respon pemikiran mereka. Hal ini
dapat dibuktikan dengan beberapa literatur berikut.
Buku Nahdlatul Wathan; Organisasi Pendidikan, Sosial,
dan Dakwah Islamiyah yang ditulis oleh Abdul Hayyi
Nu’man dan Sahafari Asy’ari pada tahun 1988 ini merupakan
buku standar yang dijadikan sebagai buku pegangan
bagi Perguruan Tinggi Nahdlatul Wathan. Buku ini tidak
membahas tentang pemikiran Tuan Guru Haji Zainuddin
Abdul Madjid secara spesifik, akan tetapi dari pengantar
kedua buku ini dikemukakan bahwa data-data dan sumber
kedua buku ini disusun berdasarkan materi-materi
pengajian dan kumpulan naskah pidato yang diberikan oleh

24 | Pendahuluan
Tuan Guru Haji Zainuddin Abdul Madjid (Pendiri NWDI,
NBDI, dan NW).
Organisasi Nahdlatul Wathan sebagai organisasi
pendidikan melalui lembaga abiturennya (NWDI dan
NBDI), banyak melahirkan tuan guru dan telah menyebar di
seantero Nusa Tenggara Barat (pulau Sumbawa dan Lombok)
dan Bali. Kemudian para alumni ini di tempat asal mereka
mendirikan lembaga-lembaga pendidikan (pesantren) yang
mengajarkan ajaran-ajaran Nahdlatul Wathan. Dan pada
akhirnya secara primordial dan tidak langsung membentuk
bangunan jejaring tuan guru yang membawa, memakai,
dan mengamalkan, sekaligus mengajarkan ajaran-ajaran
Nahdlatul Wathan (NW) sebagai garis ketentuan dari
organisasi.
Melalui lembaga-lembaga inilah organisasi menyebarkan
paham sebagai landasan organisasi, sehingga dapat dikatakan
bahwa paham ahlussunnah wal jamaah dengan mazhab
Syafi’i dalam perkembangannya di Lombok didukung oleh
organisasi Nahdlatul Wathan (NW). Hal ini juga menjadi
penting mengingat organisasi ini turut berperan dalam
kancah pemikiran tuan guru selanjutnya.
Organisasi Nahdlatul Wathan yang didirikan oleh Tuan
Guru Haji Zainuddin Abdul Madjid pada awalnya merupakan
lembaga pendidikan biasa (pondok pesantren) yang
mengajarkan kitab-kitab klasik (kuning), dengan metode
sorogan, hingga atas tuntutan masyarakat ia kemudian

Pendahuluan | 25
merubah metode pengajaran dengan menggunakan sistem
klasikal (kelas). Melalui metode ini Pondok Pesantren Al-
Mujahidin—nama pesantren sebelum diganti menjadi
Nahdlatul Wathan (NW)—antusiasme masyarakat demikian
besar hingga pada tahun pertama dibuka dengan sistem ini
santri yang terdaftar hampir mencapai 200-an orang. Santri-
santri inilah kemudian yang menyebar dan mengajarkan
ajaran-ajaran Nahdlatul Wathan.
Sebagaimana ditegaskan dalam anggaran dasarnya,
Nahdlatul Wathan menganut paham ahlussunnah wal
jamaah dan bermazhab Syafi’i17 (Nu’man dan Sahafari,
1998: 86). Hal ini dinyatakan juga dalam Hizib Nahdlatul
Wathan—wirid para nadliyyin, yang disusun oleh Tuan
Guru Haji Zainuddin Abdul Madjid sebagai pendiri
organisasi ini.

17
Pengertian Ahlussunnah, dalam pandangan organisasi—sebagai-
mana yang disebutkan dalam buku ini—adalah penganut sunnah
Nabi Muhammad saw dan wal jama’ah berarti akidah jama’ah sahabat
Nabi. Ahlussunnah wal jama’ah berarti orang yang mengikuti akidah
Nabi Muhammad saw dan para sahabatnya sebagaiman termaktub
dalam Al-Quran dan sunnah dan kemudian dirumuskan oleh
Abu Hasan Ali Al Asy’ari dan Abu Manshur Al-Maturidi. Karena
Akidah Ahlussunah wal jama’ah ini dihimpun dan dirumuskan oleh
Imam Abul Hasan Ali Al-Asy’ari maka ada yang menyambut kaum
Ahlussunnah wal jama’ah dengan Al Asya’irah, jama’ dari Asy’ari,
yaitu pengikut-pengikut Imam Abul Hasan Ali Asy’ari. Dan ada juga
yang menyebutnya dengan istilah sunni sebagai kependekan dari kata
ahlussunnah wal jama’ah tersebut, dan orang-orang sunni disebut

26 | Pendahuluan
“Ya Allah, ya hayyu ya qayyûmu, dengan rahasia kun fayakun
makmurkanlah Nahdlatul Wathan Diniyah Islamiyah berdasarkan
Mazahab ahlussunnah wal jamaa’ah sampai Hari Kiamat.”

Dilihat dari sisi tersebut buku ini menjadi penting untuk


digali karena merupakan hasil ijtihad tuan guru dalam
merumuskan landasan organisasinya, di samping menjadi
landasan pemikiran tuan guru selanjutnya di tengah
masyarakat Sasak.
Beberapa alasan pokok yang dikemukakan dalam
membangun argumen yang melandaskan pada akidah
Ahlussunnah wal jamaah dan Mazhab Syafi’i, antara lain,
pertama, alasan kontekstual, dimana masyarakat Lombok
khususnya dan Indonesia pada umumnya menganut akidah
ahlussunnah wal jamaah dan bermazhab syaf ’i. Kedua,
Alasan mayoritas, fakta menunjukkan bahwa umat Islam
sedunia berafiliasi pada akidah Ahlussunnah wal jamaah
dan mazhab syaf ’i.
Ketiga, penandasan jumhur ulama ushul yang menyata-
kan bahwa orang yang belum sampai ilmunya ke tingkat

sunniyun. Adapun tokoh kedua dari I’tiqad ahlussunnah wal jama’ah


ialah Abu Manshur Al-Maturidi. Faham dan I’tiqad nya sama atau
hampir sama dengan paham dan I’tiqad Imam Abul Hasan Ali Al
Asy’ari. Ia lahir di desa Maturid, Samarkan pada pertengahan abad
ke-3 H dan meninggal di tempat yang sama pada tahun 332 H/994
M, 9 tahun sesudah wafatnya Imam Abul Hasan Ali Al Asy’ari

Pendahuluan | 27
mujtahid muthlaq wajib bertaklid pada salah satu mazhab
yang empat dalam masalah furu’ syar’iyyah. Dan keempat,
mengikuti imam-imam huffazhul hadits seperti Bukhari,
Muslim, Abu Dawud, Ibnu Majah dan lain-lain sebagai
penganut akidah ahlussunnah dan bermazhab syafi’i.
Pemikiran penting lainnya yang tertuang dalam buku ini
adalah respon pemikiran tuan guru yang menolak gerakan
anti mazhab (wahabi). Menurut mereka, gerakan anti
mazhab merupakan gerakan yang berusaha melepaskan
diri dari ikatan mazhab sebagaimana yang dipopulerkan
oleh Muhammad bin Abdul Wahhab (Nu’man dan Sahafari,
1998: 45), dan memasukkan kelompok ini sebagai kelompok
musyabbihah (Nu’man dan Sahafari, 1998).
Buku Meniti Tapak Sejarah 66 Tahun Pondok Pesantren
Nahdlatul Wathan Pancor ini ditulis oleh Muhammad
Nasihuddin Badri pada tahun 2001, merupakan hasil
wawancaranya dengan beberapa nara sumber (tuan
guru) tersebut antara lain: Tuan Guru Haji Dahmur Udin
Mursyid, Tuan Guru Haji Zainal Abidin Ali, Tuan Guru
Haji Mohammad Sam’an Hafs, Tuan Guru Haji Muhammad
Marjan Umar, Tuan Guru Haji Yusuf Makmun, Tuan Guru
Haji Muhammad Rajab Yahya, Tuan Guru Haji Afifuddin
Adnan, Tuan Guru Haji Naharuddin Ali, dan Tuan Guru
Haji Mahdin.
Buku ini selain membincangkan berbagai persoalan
Nahdlatul Wathan (NW) dalam konteks kekinian dengan

28 | Pendahuluan
menggunakan pespektif pemikiran tuan guru, juga berisikan
penegasan kembali khittah organisasi sebagai wadah
pendidikan umat, sekaligus analisis Nasihudin terhadap
organisasi maupun kelompok yang berkembang di luar
Nahdlatul Wathan.
Seperti yang ditandaskan oleh penulisnya, organisasi-
organisasi atau kelompok-kelompok yang tengah ”meng-
geliat” di tengah masyarakat Sasak sejatinya memahami
kondisi sosial masyarakat Sasak yang masih mengedepankan
budaya merang,18 oleh karena itu organisasi atau kelompok
yang ingin eksis haruslah menghormati budaya dan adat
istiadat Sasak, berikut perangkat-perangkat lainnya.
Dalam buku ini dikemukakan juga beberapa pokok
pemikiran tuan guru dalam mencermati perkembangan
keagamaan masyarakat Sasak, terutama reaksi masyarakat
terhadap paham-paham baru seperti Ahmadiyah, Wahabi,

10
Merang, merupakan sistem nilai yang digunakan untuk memo-
tivasi solidaritas sosial, meningkatkan tampilan dan kinerja
serta meningkatkan kualitas diri dalam rangka dan atau upaya
mempertahankan diri menumbuhkan jati diri sebagai orang Sasak.
Dengan motivasi diri ini rumbuh rasa persaingan yang positif
(positive competitive mind) dalam meraih dan mengejar kemajuan.
Tumbuh kemampuan berkompetensi yang sehat, dengan tidak
berburuk sangka dan saling mencurigai satu dengan yang lain.
Merang dapat pula diartikan sebagai semangat terhadap sesuatu
masalah secara kolektif.

Pendahuluan | 29
dan lain-lain. Para tuan guru melihat bahwa datangnya
paham-paham baru tersebut dapat membimbing masyarakat
ke arah yang lebih positif yakni masyarakat semakin terbuka
dan mengetahui ajaran-ajaran Islam dan adanya perbedaan
selain perbedaan mazhab. Namun juga berdampak negatif
seperti yang terjadi pada kasus Ahmadiyah yang dapat
memecah masyarakat dengan pahamnya. (Badri, 2001: 48)

30 | Pendahuluan

You might also like