Professional Documents
Culture Documents
Oleh :
dr.Ilham Mandala Putra
dr.Lintang Sekar Gumilar
dr.N.Andree Satrioutomo
dr.Desi Ekawati
dr.Lintang Jatu Prameswari
dr.S.E. Fiqnasyani
Pendamping :
dr. Tini Wijayanti
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN UNIT KESEHATAN MASYARAKAT
Laporan Mini Project
KEGIATAN PENYULUHAN CHIKUNGUYA
WILAYAH KERJA PUSKESMAS DELANGGU
KABUPATEN KLATEN
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN UNIT KESEHATAN MASYARAKAT
Laporan Mini Project
KEGIATAN PENYULUHAN CHIKUNGUYA
WILAYAH KERJA PUSKESMAS DELANGGU
KABUPATEN KLATEN
LEMBAR PENGESAHAN
3
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN UNIT KESEHATAN MASYARAKAT
Laporan Mini Project
KEGIATAN PENYULUHAN CHIKUNGUYA
WILAYAH KERJA PUSKESMAS DELANGGU
KBUPATEN KLATEN
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN UNIT KESEHATAN MASYARAKAT
Laporan Mini Project
KEGIATAN PENYULUHAN CHIKUNGUYA
WILAYAH KERJA PUSKESMAS DELANGGU
KABUPATEN KLATEN
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN UNIT KESEHATAN MASYARAKAT
Laporan Mini Project
KEGIATAN PENYULUHAN CHIKUNGUYA
WILAYAH KERJA PUSKESMAS DELANGGU
KABUPATEN KLATEN
dr. S.E.Fiqnasyani
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.....................................................................................................i
LEMBAR PENGESAHAN..........................................................................................ii
DAFTAR ISI...............................................................................................................vii
BAB I
PENDAHULUAN........................................................................................1
1.1. Latar Belakang .....................................................................................1
1.2. Rumusan Masalah ................................................................................2
1.3. Tujuan Pelaksanaan Kegiatan ...............................................................2
1.4 Manfaat Pelaksanaan Kegiatan ............................................................3
BAB II
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Untuk regio Jawa Tengah, Kabupaten Klaten khususnya, pada bulan Februari 2013
1
dilaporkan 40 warga desa Pasung dan Tanjungan, Kecamatan Wedi, Klaten terserang Chikunguya dan
pada bulan November 2014 dilaporkan kejadian chikunguya di desa Baturan dan Kerten, Kecamatan
Gantiwarno, Klaten.
Hingga saat ini pemberantasan nyamuk Aedes aegypty merupakan cara utama yang
dilakukan untuk menekan penyebaran virus Chikungunya dikarenakan vaksin untuk
mencegah dan obat untuk membasmi virusnya belum tersedia. Upaya pencegahan dititik
beratkan pada pemberantasan sarang nyamuk dengan membasmi jentik nyamuk penular di
tempat perindukannya.
Meskipun penyakit ini tidak menyebabkan kematian, akan tetapi sangat meresahkan
masyarakat karena penularan virus ini dapat menyebar dengan cepat pada masyarakat sekitar
dalam waktu yang singkat dan apabila terjadi wabah chikungunya maka produktivitas kerja
masyarakat menurun yang tentunya akan berdampak juga pada keadaan ekonomi. Oleh
karena itu, perlu diupayakan pengendalian penyebaran virus chikungunya secara baik.
1.2 Rumusan Masalah
a. Masih terdapatnya kejadian penyakit Chikunguya di Kabupaten Klaten meski telah
dilaksanakan program 3M dan fogging
b. Kurangnya pemahaman dan pengetahuan masyarakat dalam membedakan demam
chikunguya dan demam lain yang diakibatkan oleh virus
1.3 Tujuan Pelaksanaan Kegiatan
a. Meningkatkan peran serta masyarakat bekerjasama dengan petugas kesehatan dalam
pencegahan chikunguya
b. Meningkatkan pemahaman dan pengetahuan masyarakat dalam membedakan demam
chikunguya dan demam lain yang diakibatkan oleh virus
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Chikungunya
2.1.1
Definisi Chikungunya
3
Gejala Klinis
Masa inkubasi 3 5 hari. Permulaan penyakit biasanya; tiba-tiba timbul
panas tinggi, sakit kepala, nyeri otot, nyeri persendian dan timbul bercak
pendarahan (rash). Nyeri sendi pada penderita dewasa umumnya lebih berat
daripada anak-anak. Sendi bekas trauma lebih mudah diserang. Sendi yang
diserang Chikungunya, bengkak dan nyeri bila ditekan. Tanda-tanda peradangan
sendi lain biasanya tidak ditemukan. Rash kulit biasa ditemukan pada permulaan
sakit tetapi biasa juga timbul beberapa hari kemudian. Rash seringnya ditemukan
pada badan dan anggota Limpa dan Liver biasanya tidak teraba (Yatim, 2007).
Demam Chikungunya atau flu tulang (break-bone fever) mempunyai
gejala dan keluhan penderita mirip demam dengue, namun lebih ringan dan
jarang menimbulkan pendarahan. Keluhan utama yang dialami penderita adalah
artralgia yang merasakan nyeri pada tulang-tulang. Selain itu pembuluh
konjungtiva mata penderita tampak nyata dan disertai demam mendadak selama
2 3 hari. Pemeriksaan serum penderita pada uji hemaglutinasi inhibisi atau uji
netralisasi menunjukkan tingginya titer antibodi terhadap virus Chikungunya
(Soedarto, 2009).
Menurut Widoyono (2008), masa inkubasi Chikungunya adalah 1 6 hari.
Gejala penyakit diawali dengan demam mendadak kemudian diikuti munculnya
ruam kulit dan limfadenopati, artralgia, mialgia atau arthritis yang merupakan
tanda dan gejala khas Chikungunya. Penderita dapat mengeluhkan nyeri atau
ngilu bila berjalan kaki karena serangan pada sendi-sendi kaki. Dibandingkan
dengan DBD, gejala Chikungunya muncul lebih dini. Perdarahan jarang terjadi,
diagnosis ditegakkan berdasarkan gambaran klinis dan laboratorium yaitu adanya
antibodi IgM dan IgG dalam darah.
2.1.4
Cara Penularan
Penularan Chikungunya dapat terjadi bila penderita yang mengandung
virus Chikungunya digigit nyamuk penular maka virus dalam darah akan ikut
terisap masuk dalam lambung nyamuk. Selanjutnya virus akan memperbanyak
diri dan tersebar diberbagai jaringan tubuh nyamuk didalam kelenjar liurnya.
5
yaitu
manusia,
vektor
perantara
dan
lingkungan.
Virus
2.1.5
Pengobatan
Chikungunya pada dasarnya bersifat self limiting disease artinya penyakit
yang dapat sembuh dengan sendirinya. Hingga saat ini, belum ada vaksin
maupun obat khusus untuk Chikungunya, oleh karenanya pengobatan ditujukan
untuk mengatasi gejala yang mengganggu (simtomatis). Obat-obatan yang dapat
digunakan adalah obat antipiretik, analgetik (non-aspirin analgetik; non steroid
anti inflamasi drug parasetamol, antalgin, natrium diklofenak, piroksikam,
7
ibuprofen,
obat
anti
mual
dan
muntah
adalah
dimenhidramin
atau
Klasifikasi Nyamuk
Nyamuk yang menjadi vektor penular Chikungunya adalah nyamuk Aedes
aegypti dan Aedes albopictus. Aedes aegypti yang paling berperan utama
(primary vector) dalam penularan Chikungunya karena nyamuk tersebut hidup
di dalam dan sekitar tempat tinggal manusia sehingga banyak kontak dengan
manusia. Aedes ae8gypti adalah spesies nyamuk yang hidup di dataran rendah
beriklim tropis sampai sub tropis (Anggraeni, 2010).
Menurut Richard dan Davis (1977) dalam Soegijanto (2006), kedudukan
nyamuk Aedes aegypti dalam klasifikasi hewan adalah sebagai berikut:
Filum : Arhropoda
Kelas : Insecta
Bangsa : Diptera
Suku : Culicidae
Marga : Aedes
Jenis : Aedes aegypti L
2.2.2
Morfologi Nyamuk
Nyamuk Aedes aegypti berukuran lebih kecil dibandingkan dengan ratarata nyamuk lain. Ukuran badan 3 4 mm, berwarna hitam dengan hiasan bintikbintik putih di badannya dan pada kakinya warna putih melingkar. Nyamuk dapat
hidup berbulan-bulan. Nyamuk jantan tidak menggigit manusia, ia makan buah.
8
Hanya nyamuk betina yang menggigit yang diperlukan untuk membuat telur.
Telur nyamuk Aedes aegypti diletakkan induknya menyebar berbeda dengan telur
nyamuk lain yang dikeluarkan berkelompok. Nyamuk bertelur di air bersih. Telur
menjadi pupa beberapa minggu. Nyamuk Aedes aegypti bila terbang hampir tidak
berbunyi sehingga manusia yang diserang tidak mengetahui kehadirannya,
menyerang dari bawah atau dari belakang dan terbang sangat cepat. Telur
nyamuk Aedes aegypti dapat bertahan lama dalam kekeringan. Nyamuk Aedes
aegypti dapat tahan dalam suhu panas dan kelembaban tinggi (Widoyono, 2008).
2.2.3
a. Telur
Menurut Anggraeni (2010), nyamuk Aedes aegypti meletakkan telur pada
permukaan air yang bersih atau menempel pada dinding tempat penampung air secara
individual. Telur berbentuk elips berwarna hitam dengan panjang 0,50 mm. Telur
Aedes aegypti tahan kekeringan dan dapat bertahan hingga 1 bulan dalam keadaan
kering. Jika terendam air, telur dapat menetas menjadi jentik. Telur menetas dalam 1
sampai 2 hari.
9
b. Jentik
Pada jentik sangat membutuhkan air yang cukup untuk perkembangannya.
Kondisi jentik saat berkembang dapat memengaruhi kondisi nyamuk dewasa yang
dihasilkan. Sebagai contoh, populasi jentik yang meledak sehingga kurang
ketersediaan makanannya akan menghasilkan nyamuk dewasa yang cenderung lebih
rakus dalam menghisap darah. Ada 4 (empat) instar atau tahapan perkembangan jentik
tersebut yaitu: Instar I berukuran paling kecil yaitu 1 2 mm; 2) Instar II 2,5 3,8
mm; 3) Instar III berukuran besar sedikit dari larva instar II; 4) Instar IV berukuran
paling besar 5 mm. Setelah mencapai instar ke-4, jentik berubah menjadi pupa dalam
5 sampai 7 hari.
c. Pupa
Pupa berbentuk seperti koma. Bentuknya lebih besar namun lebih ramping
dibanding jentiknya. Pupa berukuran lebih kecil jika dibandingkan dengan rata-rata
pupa nyamuk lain. Pupa bertahan selama 2 hari sebelum akhirnya nyamuk dewasa
keluar dari pupa. perkembangan dari telur hingga nyamuk dewasa membutuhkan
waktu 7 hingga 8 hari, namun dapat lebih lama jika kondisi lingkungan tidak
mendukung.
d. Nyamuk dewasa
Nyamuk dewasa berukuran lebih kecil jika dibandingkan dengan rata-rata
nyamuk lain dan mempunyai warna dasar hitam dengan bintik-bintik putih pada
bagian badan dan kaki. Sesaat setelah menjadi dewasa, nyamuk akan segera kawin
dan nyamuk betina yang telah dibuahi akan mencari makan dalam waktu 24 sampai
36 jam. Darah merupakan sumber protein terpenting untuk pematangan telur (Depkes,
2005).
2.2.4
Bionomik Vektor
Bionomik vektor adalah kesenangan memilih tempat perindukan (breeding
place), kesenangan menggigit (feeding habit), kesenangan tempat hinggap
istirahat (resting place) dan jangkauan terbang (flight range) (Depkes, 2007).
a. Tempat Perindukan (Breeding Place)
Tempat perindukan nyamuk ini berupa genangan-genangan air
yang tertampung di suatu wadah yang biasa disebut kontainer dan
10
kebiasaan
bertelur
dari
kedua
vektor
nyamuk
Ekologi Vektor
Ekologi vektor adalah ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik
antara vektor dan lingkungannya. Lingkungan merupakan interaksi vektor
penular Chikungunya dengan manusia yang dapat mengakibatkan terjadinya
Chikungunya. Eksistensi nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus
dipengaruhi oleh lingkungan fisik maupun lingkungan biologik.
a. Lingkungan fisik
Lingkungan fisik adalah lingkungan sekeliling manusia yang
terdiri dari benda-benda yang tidak hidup (non living things) dan
kekuatan-kekuatan fisik lainnya. Dalam hal ini lingkungan fisik dapat
menjadi enviromental reservoir dan ikut berperan menentukan pola
populasi nyamuk. Lingkungan fisik sebagai berikut:
1. Jarak antara rumah
Jarak rumah memengaruhi penyebaran nyamuk dari satu
rumah ke rumah lain, semakin dekat jarak antara rumah semakin
mudah menyebar ke rumah sebelah. Bahan-bahan rumah, warna
dinding dan pengaturan barang-barang dalam rumah menyebabkan
rumah tersebut disenangi atau tidak disenangi oleh nyamuk.
Berbagai penelitian penyakit menular membuktikan bahwa kondisi
perumahan yang berdesak-desakan dan kumuh mempunyai
kemungkinan lebih besar terserang penyakit (Depkes, 1998).
Penelitian Roose (2008), di Kecamatan Bukit Raya Kota
Pekanbaru menunjukkan bahwa ada hubungan jarak antar rumah
5 m memberikan kontribusi dampak/risiko dengan kejadian DBD
sebesar 1,79 kali dibanding dengan jarak antar rumah > 5 m.
2. Macam kontainer
Macam kontainer disini antara lain: jenis/bahan kontainer,
letak kontainer, bentuk, warna, kedalaman air, tutup kontainer dan
asal air memengaruhi nyamuk dalam pemilihan tempat bertelur.
13
3. Ketinggian tempat
Keadaan
geografis
seperti
ketinggian
memengaruhi
4. Iklim
Iklim adalah salah satu komponen pokok lingkungan fisik
yang terdiri dari suhu udara, kelembaban udara, curah hujan,
pencahayaan dan kecepatan angin.
Suhu udara
Nyamuk termasuk binatang berdarah dingin karenanya
proses-proses metabolisme dan siklus kehidupannya tergantung
pada suhu lingkungannya. Nyamuk tidak dapat mengatur suhu
tubuhnya. Suhu rata-rata optimum untuk perkembangan
14
Kelembaban udara
Menurut Gobler dalam Depkes (1998), umur nyamuk
dipengaruhi oleh kelembaban
kelembaban nisbi 27% umur nyamuk betina 101 hari dan umur
nyamuk jantan 35 hari, kelembaban kurang dari 60% umur
nyamuk akan menjadi pendek, tidak bisa menjadi vektor karena
tidak cukup waktu untuk perpindahan virus dari lambung ke
kelenjar ludah.
Menurut Depkes (2007), kelembaban udara adalah
banyak uap air yang terkandung dalam udara yang biasanya
dinyatakan dalam persen (%). Kelembaban udara yang terlalu
tinggi dapat mengakibatkan keadaan rumah menjadi basah dan
lembab yang memungkinkan berkembangbiaknya kuman atau
bakteri penyebab penyakit. Kelembaban yang baik berkisar
antara 40% 70%. Pada keadaan ini nyamuk tidak dapat
15
nyamuk
tersebut
tidak
cukup
untuk
siklus
Curah hujan
Hujan akan menambah genangan air sebagai tempat
perindukan dan menambah kelembaban udara. Temperatur dan
kelembaban selama musim hujan sangat kondusif untuk
kelangsungan hidup nyamuk yang terinfeksi (Suroso, 2000).
Hujan akan mempengaruhi naiknya kelembaban nisbi udara
dan menambah jumlah tempat perkembangbiakan. Curah hujan
yang lebat menyebabkan bersihnya tempat perkembangbiakan
vektor, oleh karena jentiknya hanyut dan mati. Kejadian
penyakit yang ditularkan nyamuk biasanya meninggi beberapa
waktu sebelum musim hujan lebat. Pengaruh hujan berbedabeda menurut banyaknya hujan dan keadaan fisik daerah.
Terlalu
banyak
hujan
akan
menyebabkan
kekeringan,
akan
memperbesar
kesempatan
nyamuk
untuk
Pencahayaan
Cahaya merupakan faktor utama yang memengaruhi
nyamuk beristirahat pada suatu tempat intensitas cahaya yang
rendah dan kelembaban yang tinggi merupakan kondisi yang
baik bagi nyamuk intensitas cahaya merupakan faktor terbesar
yang memengaruhi aktivitas terbang nyamuk. Intensitas
pencahayaan untuk kehidupan nyamuk adalah < 60 lux
(Depkes, 2007).
Kecepatan angin
16
Lingkungan biologik
Lingkungan biologik yang memengaruhi penularan
Chikungunya adalah banyaknya tanaman hias dan tanaman
pekarangan yang mempengaruhi pencahayaan dan kelembaban
di dalam rumah dan halaman. Bila banyak tanaman hias dan
tanaman pekarangan, berarti akan menambah tempat yang
disenangi oleh nyamuk untuk hinggap istirahat dan juga
menambah umur nyamuk (Soegijanto, 2003).
kebutuhan fisik dasar dari penghuninya diantaranya adalah rumah tersebut harus
terjamin penerangannya yang dibedakan atas cahaya matahari dan lampu, rumah
harus mempunyai ventilasi yang sempurna sehingga aliran udara segar dapat
terpelihara dan rumah tersebut dibangun sedemikian rupa sehingga dapat
dipertahankan suhu lingkungan. (2) Syarat psikologis, rumah yang dibangun
harus dapat terpenuhi kebutuhan kejiwaan dasar dari penghuninya diantaranya
adalah terjamin berlangsungnya hubungan yang serasi antara anggota keluarga
yang tinggal bersama, tersedianya sarana yang memungkinkan dalam
pelaksanaan pekerjaan rumah tangga tanpa menimbulkan kelelahan yang
berlebihan. (3) Mencegah penularan penyakit, rumah yang dibangun harus dapat
melindungi penghuni dari penularan penyakit atau berhubungan dengan zat-zat
yang membahayakan kesehatan diantaranya adalah rumah tersebut di dalamnya
tersedia air bersih yang cukup, ada tempat pembuangan sampah dan tinja yang
baik, terlindung dari pengotoran terhadap makanan, tidak menjadi tempat
bersarang binatang melata ataupun penyebab penyakit lainnya. (4) Mencegah
terjadinya kecelakaan, rumah yang dibangun harus dapat melindungi
penghuninya dari kemungkinan terjadinya bahaya kecelakaan, jadi rumah
tersebut harus kokoh, terhindar dari bahaya kebakaran, alat-alat listrik yang
terlindungi dan juga terlindung dari kecelakaan lalu lintas.
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan R.I. No. 929/Menkes/SK/VII/1999
persyaratan
kesehatan
perumahan
dan
lingkungan
meliputi
parameter
adalah respon seseorang terhadap sistem kesehatan pelayanan kesehatan baik yang
modern maupun yang tradisional; c) Perilaku terhadap makanan adalah respon seseorang
terhadap makanan sebagai kebutuhan vital bagi kehidupan; d) Perilaku terhadap
lingkungan adalah respon terhadap lingkungan sebagai determinan.
Perilaku dalam penelitian ini adalah perilaku yang berhubungan dengan kejadian
Chikungunya. Perilaku kesehatan tersebut didasarkan pada 3 (tiga) domain perilaku
yaitu pengetahuan, sikap dan tindakan.
2.4.1
Pengetahuan
Pengetahuan adalah hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan
pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengindraan terjadi melalui
pancaindra manusia yakni indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan
raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga
(Notoatmodjo, (2007). Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang
sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang. Pengetahuan seseorang
terhadap objek mempunyai tingkat yang berbeda-beda termasuk dalam hal ini
kemampuan masyarakat dalam menjaga kesehatan individu dalam pencegahan
terjadi keluhan penyakit maupun dalam pengobatan. Pengetahuan tentang usahausaha kesehatan perseorangan untuk memelihara kesehatan diri sendiri,
memperbaiki dan mempertinggi nilai kesehatan serta mencegah timbulnya
penyakit. Pengetahuan dalam penelitian ini adalah pengetahuan yang berkaitan
dengan Chikungunya.
2.4.2
Sikap
Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang
terhadap suatu stimulus atau objek. Manifestasi sikap tidak langsung dapat
dilihat tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup.
Menurut Newcomb yang dikutip oleh Notoatmodjo (2003), menyatakan bahwa
sikap itu merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak dan bukan
merupakan pelaksana motif tertentu. Sikap belum merupakan suatu tindakan
atau aktivitas, akan tetapi adalah predisposisi tindakan suatu perilaku. Sikap
secara nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus
tertentu yang ada dalam kehidupan sehari-hari merupakan reaksi bersifat
emosional terhadap stimulus sosial.
Menurut Wawan (2011), mengemukakan sikap dapat bersifat positif dan
dapat bersifat negatif. Pada sikap positif kecenderungan tindakan adalah sikap
20
Tindakan
Domain terakhir dari perilaku kesehatan adalah tindakan. Tindakan
tersebut didasari pada penilaian atau pendapat terhadap apa yang diketahuinya
kemudian disikapi dan akhirnya mengambil keputusan untuk melakukannya.
Tindakan dalam penelitian ini adalah segala bentuk nyata yang dilakukan dalam
mencegah dan menanggulangi terjadinya Chikungunya.
Tindakan yang tercakup dalam domain psikomotorik mempunyai 4
(empat) tingkatan (Notoatmodjo, 2003): 1) Persespsi (perception) yaitu
mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan
diambil adalah merupakan praktek tingkat pertama; 2) Respon terpimpin
(guided response) yaitu dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang
benar dan sesuai dengan contoh adalah merupakan indikator praktek tingkat
kedua; 3) Mekanisme (mecanism) yaitu apabila seseorang telah dapat
melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis atau sesuatu itu sudah
merupakan kebiasaan maka ia sudah mencapai praktek tingkat tiga; 4) Adaptasi
(adaptation) yaitu suatu praktek atau tindakan yang sudah berkembang dengan
baik. Seseorang sudah dapat memodifikasi tindakan tanpa mengurangi
kebenaran tindakan (Notoatmodjo, 2003).
Pengetahuan dan sikap masyarakat yang kurang mengetahui tentang
tentang tanda/gejala, cara penularan dan pencegahan Chikungunya mempunyai
risiko terkena Chikungunya. Dengan demikian upaya peningkatan pengetahuan
tanda/gejala, cara penularan dan pencegahan serta pemberantasan Chikungunya
perlu mendapatkan perhatian utama agar masyarakat lebih berperan dalam
pemberantasan sarang nyamuk (Depkes, 2007).
21
Pengelolaan Lingkungan
Pengelolaan lingkungan meliputi berbagai perubahan yang berkaitan
dengan upaya pencegahan, ditujukan untuk mengurangi perkembangbiakan
vektor sehingga mengurangi kontak vektor dengan manusia. Metode
pengelolaan lingkungan untuk mengendalikan Aedes aegypti dan Aedes
albopictus serta mengurangi kontak vektor dengan manusia dengan melakukan
kegiatan antara lain: Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN), pengelolaan
sampah padat, modifikasi tempat perkembangbiakan buatan manusia dan
perbaikan desain rumah (Sukamto, 2007).
Pemberantasan
Sarang
Nyamuk
(PSN)
pada
dasarnya
adalah
Perlindungan Diri
22
Upaya yang dapat dilakukan untuk melindungi diri dari gigitan nyamuk
antara lain seperti: 1) Membersihkan halaman atau kebun di sekitar rumah; 2)
Membersihkan saluran dan talang air yang tidak lancar atau rusak; 3) Membuka
pintu dan jendela rumah setiap pagi hari sampai sore agar udara segar dan sinar
matahari dapat masuk sehingga terjadi pertukaran udara dan pencahayaan yang
sehat. Dengan demikian, tercipta lingkungan yang tidak ideal bagi nyamuk; 4)
Memakai pakaian pelindung dari gigitan nyamuk Aedes aegypti dapat
merupakan alternatif penting dalam memutus kontak antara nyamuk dewasa
dengan manusia. Pakaian tersebut cukup tebal atau longgar berlengan panjang
dan celana panjang dengan kaos kaki dapat melindungi tangan dan kaki dari
tusukan nyamuk karena merupakan bagian tubuh yang rawan; 5) Memakai
repellent. Repellent atau penolak serangga merupakan sarana pelindung diri
terhadap nyamuk dan serangga yang umumnya digunakan. Bahan ini secara
garis besar dibagi menjadi 2 kategori yaitu penolak alami dan penolak kimiawi.
Minyak esensial dan ekstrak tanaman merupakan bahan pokok penolak alami
misalnya minyak neem (pada kayu mahoni). Penolak kimiawi misalnya DEET
(N,N-Diethyl-m-Taluamide) dapat memberikan perlindungan terhadap nyamuk
Aedes aegypti dan Aedes albopictus. Repellent dioleskan seperlunya pada bagian
tubuh yang terbuka; 6) Menghindari kebiasaan menggantung pakaian.
Kebiasaan meletakkan pakaian digantungkan yang terbuka misalnya di belakang
pintu kamar. Melipat pakaian atau kain yang bergantungan dalam kamar agar
nyamuk tidak hinggap pada pakaian tersebut; 7) Tidur siang dengan
menggunakan kelambu. Kebiasaan orang tidur pada siang hari akan
mempermudah penyebaran Chikungunya karena nyamuk betina mencari
umpannya pada siang hari (Anies, 2006).
2.5.3
Pengendalian Biologi
Menurut Soegijanto (2006), pengendalian biologi dilakukan dengan
menggunakan kelompok hidup baik dari golongan mikroorganisme, hewan
invertebrata atau hewan vertebrata. Pengendalian biologi dapat berperan sebagai
patogen dan parasit. Beberapa jenis ikan seperti ikan kepala timah
(Panchaxpanchax), ikan gabus (Gambusia) adalah pemangsa yang cocok untuk
larva
nyamuk.
Beberapa
jenis
golongan
cacing
Nematoda
seperti
Pengendalian Kimia
Pengendalian secara kimia terhadap vektor Chikungunya ditujukan pada
jentik dan nyamuk dewasa.
a. Pemberantasan Jentik
Pemberantasan terhadap jentik Aedes aegypti dilakukan dengan
menggunakan insektisida pembasmi jentik (larvasida) atau dikenal
dengan larvasidasi. Larvasida yang biasa digunakan antara lain adalah
temephos. Formulasi temephos yang digunakan adalah granula (sand
granula). Dosis yang digunakan adalah 1 ppm atau 10 gram ( 1 sendok
makan rata) untuk tiap 100 liter air. Larvasida dengan temephos ini
mempunyai efek residu 3 bulan. Selain itu dapat pula digunakan
golongan insect growth regulator (Depkes, 2005).
b. Pemberantasan Nyamuk Dewasa
Pemberantasan terhadap nyamuk dewasa dilakukan dengan cara
pengasapan (fogging) dengan insektisida, hal ini dilakukan mengingat
kebiasaan
nyamuk
senang
hinggap
pada
benda-benda
yang
yang
digunakan
adalah
insektisida
golongan
penderita,
pemberantasan
vektor
penular
Chikungunya,
penyuluhan.
Pelaksanaannya
dikoordinasikan
oleh
Bupati/Walikota
terhadap
jumlah
penderita
Chikungunya.
Penilaian
ini
dilakukan
dengan
meliputi pengetahuan, sikap dan tindakan; d) Simpul 4 yaitu kejadian penyakit atau gangguan
dari hasil hubungan interaktif manusia dengan lingkungan yang memiliki potensi bahaya
gangguan kesehatan manusia, yaitu sakit atau sehat (Achmadi, 2010).
28
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
29
Selatan
Timur
Utara
Barat
: Kecamatan Ceper
: Kecamatan Juwiring
: Kecamatan Wonosari
: Kecamatan Polanharjo
Luas Daerah :
No
1
2
3
4
Jenis
Sawah
Tanah Kering
Tanah Keperluan Fasilias Umum
Lain - lain
Jumlah
Luas ( Ha )
1.329,09
548,63
27
108
1.877,72
Jumlah Desa
Jumlah Dusun / Dukuh
Jumlah Rumah
Jumlah KK
Jumlah RT / RW
: 16
: 143
: 11.117
: 12.340
: 316 / 114
30
JumlahPenduduk
1449
3832
6403
7754
9246
9119
8222
2. Pendidikan
a. Sarana pendidikan
SD
SLTP
SLTA
Akademi / PT
b. Taraf Pendidikan
No
1
2
3
4
5
6
7
: 34
: 7
: 3
: -
Pendidikan
Butahuruf
Baca tulis / DO SD
Lulus SD
Lulus SLTP
Lulus SLTA
Lulus Akademi
Lulus PerguruanTinggi
Jumlah
Jumlah
52
568
13.848
13.382
12.589
2.938
1.275
44.652
Prosentase
0,001
0,012
0,301
0,291
0,274
0,064
0,028
1,031
3. Pekerjaan
a. Buruh tani
b. Tani pemilik tanah
c. Pedagang
d. Buruh industri
e. Buruh bangunan
f. PNS / ABRI
g. Pensiunan
4. Agama
No
1
2
3
4
5
Agama
Islam
Kristen
Katholik
Hindu
Budha
Jumlah
: 2.311
: 3.189
: 1.732
: 3.133
: 1.475
: 1.108 / 304
: 1.729
Jumlah
42.605
2.071
31 1.175
23
151
46.025
Prosentase
92,53
4,53
2,56
0,04
0,33
100
KetenagaanPuskesmas
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
k.
l.
m.
n.
o.
p.
q.
r.
Dokter Umum
Dokter Gigi
Dokter Spesialis
Bidan
Bidan Desa
Perawat
Perawat Gigi
Sanitarian / PKL
Juru Imunisasi
Asisten Apoteker
Analis Kesehatan
Gizi
Fisioterapi
TU / Staf
Pengemudi
Sarjana Keperawatan
Sarjana Kemasyarakatan
Tenaga Kontrak
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
3
1
1
3
14
13
2
1
1
2
2
2
1
14
1
1
1
4
+
Jumlah
2.
:67 Orang
SaranaKesehatan
a. a. Puskesmas Induk
b. b. Puskesmas Pembantu
c. c. Polindes
:1
:2
:7
32
dalam
kelompok
kerja
pemberantasan
sarang
nyamuk
yang
Konsultasikan terlebih dahulu ke dokter apakah gejala yang ada mengarah pada
penyakit chikungunya atau kemungkinan penyakit lain. Dokter akan memberikan
petunjuk apakah perlu pemeriksaan penunjang atau tidak. Dokter akan memberikan
penanganan, baik pemberian obat dan nasihat yang berupa motivasi untuk
mengkonsumsi makanan yang bergizi sebagai upaya meningkatkan imunitas tubuh,
serta istirahat yang cukup.
4
Ketika ada warga yang terdiagnosis menderita demam chikungunya, apakah lebih
baik segera dilakukan fogging (pengasapan)?
Pengasapan/penyemprotan racun serangga (fogging) juga dapat membunuh nyamuk,
tetapi jika jentik-jentiknya dibiarkan hidup, maka jentik itu akan menetas menjadi
menjadi nyamuk-nyamuk baru. Dengan demikian penyemprotan tidak dapat
memberantas nyamuk secara tuntas. Fogging merupakan salah satu cara
pemberantasan nyamuk, namun sebaiknya lebih ditekankan kepada seluruh
masyarakat untuk bersama-sama mengambil peran dalam pemberantasan nyamuk baik
memberantas nyamuk dewasa maupun telur dan jentik-jentiknya. Selain itu, fogging
juga memiliki beberapa efek samping seperti pencemaran air, tanah, udara,
terbunuhnya organisme non target, dan resiko bagi orang, hewan dan tumbuhan,
sehingga pelaksanaan fogging harus mempertimbangkan besar kecilnya antara
manfaat, keefektivan, efisian, dan efek samping maupun biaya yang dikeluarkan.
34
BAB IV
PENUTUP
4.1 KESIMPULAN
Chikunguya merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus dan ditularkan
melalui perantaraan nyamuk Aedes aegypti. Untuk memberantas penyakit
chikungunya, tenaga medis maupun seluruh aspek masyarakat ikut berperan.
Pemberantasan dilakukan secara tuntas dan serentak agar tidak ada sarang
perkembangbiakan
nyamuk
yang
tertinggal,
sehingga
setelah
dilakukan
4.2 SARAN
Penulis berharap kepada masyarakat dan petugas kesehatan, melalui kegiatan ini
semakin meningkatnya peran serta masyarakat bekerjasama dengan petugas kesehatan
dalam pencegahan chikunguya dan meningkatnya pemahaman dan pengetahuan
masyarakat dalam membedakan demam chikunguya dan demam lain yang
diakibatkan oleh virus
35
DAFTAR PUSTAKA
Achmadi, U.F., 2010. Manajemen Penyakit Berbasis Wilayah, Jakarta: Universitas Indonesia
(UI-Press).
Aditama, T. A., 2009. Profil Pengendalian Penyakit & Penyehatan Lingkungan tahun 2008,
Diakses 24 Februari 2015: http://www.pppl.depkes.go.id/images_data/PROFIL
%20%20PP&PL%202008.pdf.
Anggraeni, D.S., 2010. Stop Demam Berdarah Dengue, Bogor: Bogor Publishing House.
Anies, 2006. Manajemen Berbasis Lingkungan Solusi Mencegah dan Menanggulangi
Penyakit Menular, Jakarta: Elex Media Komputindo.
Azwar, A., 1996. Pengantar Ilmu Kesehatan Lingkungan, Jakarta: Mutiara Sumber Widya.
Balitbangkes Depkes R.I., 2005. Kecenderungan Kejadian Luar Biasa Chikungunya di
Indonesia Tahun 2001-2003, Cermin Dunia Kedokteran,Volume, No 148, hlm
37-39.
Chahaya, I., 2003. Pemberantasan Vektor Demam Berdarah di Indonesia, Digitizied by USU
Digital
Library,
diakses
24
Februari
2015;
http://library.usu.ac.id/download/fkm/fkm-indra%20c5.pdf.
Darmadi, 2002. Hubungan Kondisi Fisik Rumah dan Lingkungan Sekitar Rumah serta
Praktik Pencegahan dengan Kejadian Malaria di Desa Buaran Kecamatan
Mayong Kabupaten Jepara, Semarang: FKM UNDIP.
Depkes R.I., 1998. Petunjuk Teknis Pemberantasan Nyamuk Penular DBD, Jakarta:
Direktorat Jenderal P2M & PL.
__________, 2001. Tata Laksana Chikungunya di Indonesia, Jakarta: Direktorat Jenderal
PPM & PLP.
__________, 2005. Pencegahan dan Pemberantasan Demam Berdarah Dengue di Indonesia,
Jakarta: Direktorat Jenderal PP & PL.
__________, 2007. Survai Entomologi Demam Berdarah Dengue, Jakarta: Direktorat
Jenderal PP & PL.
__________, 2007. Ekologi dan Aspek Perilaku Vektor, Jakarta: Direktorat Jenderal PP &
PL.
36
2010.
Demam
Chikungunya,
http://artikeldokteranfree.blogspot.com.
diakses
Maret
2015;
Harahap, L., 2012. Hubungan Pengetahuan, Sikap, Sarana dan Prasarana serta Dukungan
Petugas Kesehatan dengan Pencegahan Penyakit Chikungunya Menggunakan
Metode Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) oleh Kepala Keluarga di
Wilayah Kerja Puskesmas Nurussalam Kabupaten Aceh Timur, Tesis S2,
Medan: Universitas Sumatera Utara.
Junita, S., 2010. Hubungan Faktor Lingkungan Fisik Rumah Dengan Kejadian Penyakit
Malaria Di Desa Suka Karya Kecamatan Simeulue Timur Kabupaten Simeulue
Provinsi Aceh, Skripsi, Medan: Universitas Sumatera Utara.
Lestari, E.W., Sukowati S., Soekidjo dan Wigati, 2007. Vektor Malaria di Daerah Bukit
Menoreh, Purworejo, Jawa Tengah. Media Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan.
Machfoed, I., 2008. Menjaga Kesehatan Rumah dari Berbagai Penyakit Kesehatan
Lingkungan-Kesehatan Masyarakat Sanitasi Pedesaan dan Perkotaan, Jakarta:
Fitramaya.
Murti, B., 2003. Prinsip dan Metode Riset Epidemiologi, Edisi Kedua, Jilid Pertama,
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
37
Notoatmodjo, S., 2003. Ilmu Kesehatan Masyarakat, Cetakan Pertama, Jakarta: Rineka Cipta.
_____________., 2007. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku, Edisi Ketiga, Jakarta: Rineka
Cipta.
_____________., 2010. Ilmu Perilaku Kesehatan, Jakarta: Rineka Cipta.
_____________., 2012. Promosi Kesehatan dan Perilaku Kesehatan, Cetakan Pertama,
Jakarta: Rineka Cipta.
Nursalam, 2003. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan, Jakarta:
Salemba Medika.
Pulungan, E.S., 2012. Hubungan Sanitasi Lingkungan Perumahan dan Perilaku Masyarakat
dengan Kejadian Filariasis di Kampung Rakyat Kecamatan Labuhan Batu
Selatan, Skripsi, Medan: Universitas Sumatera Utara.
Puskesmas Nisam, 2012. Laporan Kasus Chikungunya Tahun 2012, Nisam.
Puskesmas Nisam, 2012. Profil Puskesmas Nisam Tahun 2012.
Riduwan, M., 2010. Skala Pengukuran Variabel-variabel Penelitian, Cetakan Ketujuh,
Bandung: Alfabeta.
Riyanto, A., 2009. Pengolahan dan Analisis Data Kesehatan (Dilengkapi Uji Validitas dan
Reliabilitas serta Aplikasi Program SPSS), Yogjakarta: Nuha Medika.
Roose, A., 2008. Hubungan Sosiodemografi dan Lingkungan dengan Kejadian Demam
Berdarah Dengue (DBD) di Kecamatan Bukit Raya Kota Pekanbaru, Tesis S2,
Medan: Universitas Sumatera Utara.
Rumatora, M., 2011. Faktor-Faktor yang berhubungan dengan Kasus Chikungunya pada
Kejadian Luar Biasa (KLB) di Dusun Mentubang Desa Harapan Mulia
Kabupaten Kayong Utara, Tesis S2, Depok: Universitas Indonesia.
Santoso, F., 2011. Analisis Faktor yang berhubungan dengan Kejadian Chikungunya Di
Wilayah Kerja Puskesmas Gunungpati Kota Semarang, Jurusan Ilmu Kesehatan
Masyarakat Fakultas Ilmu Keolahragaan, Semarang.
Sarudji, D., 2010. Kesehatan Lingkungan, Cetakan Pertama, Bandung: Karya Putra Darwati.
Sastroasmoro, S.; Ismael, S., 2011. Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis, Edisi IV,
Jakarta: Sagung Seto.
38
Penularan,
Pencegahan
dan
World Health Organization, 2005. Pencegahan, Pengendalian Dengue dan Demam Berdarah,
Terjemahan oleh Palupi Widyastuti, Jakarta: EGC.
Yatim, F., 2007. Macam-macam Penyakit Menular dan Cara Pencegahannya, Jilid 2, Edisi
Pertama, Jakarta: Pustaka Obor Populer.
Yuniati, 2012. Pengaruh Sanitasi Lingkungan Pemukiman terhadap Kejadian Demam
Berdarah Dengue (DBD) di Daerah Aliran Sungai Deli Kota Medan, Tesis S2,
Medan: Universitas Sumatera Utara.
39
40