You are on page 1of 49

Laporan Mini Project

KEGIATAN PENYULUHAN CHIKUNGUYA


WILAYAH KERJA PUSKESMAS DELANGGU
KABUPATEN KLATEN

Oleh :
dr.Ilham Mandala Putra
dr.Lintang Sekar Gumilar
dr.N.Andree Satrioutomo
dr.Desi Ekawati
dr.Lintang Jatu Prameswari
dr.S.E. Fiqnasyani

Pendamping :
dr. Tini Wijayanti

PROGRAM DOKTER INTERNSHIP


PUSKESMAS DELANGGU
KABUPATEN KLATEN
2015

LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN UNIT KESEHATAN MASYARAKAT
Laporan Mini Project
KEGIATAN PENYULUHAN CHIKUNGUYA
WILAYAH KERJA PUSKESMAS DELANGGU
KABUPATEN KLATEN

Delanggu, 16 Maret 2015


Peserta Program Internship Dokter Indonesia

Pendamping Program Internship Dokter


Indonesia

dr. Ilham Mandala Putra

dr. Tini Wijayanti


NIP : 19710213 200801 2 006

LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN UNIT KESEHATAN MASYARAKAT
Laporan Mini Project
KEGIATAN PENYULUHAN CHIKUNGUYA
WILAYAH KERJA PUSKESMAS DELANGGU
KABUPATEN KLATEN

Delanggu, 16 Maret 2015


Peserta Program Internship Dokter Indonesia

Pendamping Program Internship Dokter


Indonesia

dr. Lintang Sekar Gumilar

dr. Tini Wijayanti


NIP : 19710213 200801 2 006

LEMBAR PENGESAHAN
3

LAPORAN UNIT KESEHATAN MASYARAKAT


Laporan Mini Project
KEGIATAN PENYULUHAN CHIKUNGUYA
WILAYAH KERJA PUSKESMAS DELANGGU
KABUPATEN KLATEN

Delanggu, 16 Maret 2015


Peserta Program Internship Dokter Indonesia

Pendamping Program Internship Dokter


Indonesia

dr. N.Andree Satrioutomo

dr. Tini Wijayanti


NIP : 19710213 200801 2 006

LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN UNIT KESEHATAN MASYARAKAT
Laporan Mini Project
KEGIATAN PENYULUHAN CHIKUNGUYA
WILAYAH KERJA PUSKESMAS DELANGGU
KBUPATEN KLATEN

Delanggu, 16 Maret 2015


Peserta Program Internship Dokter Indonesia

Pendamping Program Internship Dokter


Indonesia

dr. Desi Ekawati

dr. Tini Wijayanti


NIP : 19710213 200801 2 006

LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN UNIT KESEHATAN MASYARAKAT
Laporan Mini Project
KEGIATAN PENYULUHAN CHIKUNGUYA
WILAYAH KERJA PUSKESMAS DELANGGU
KABUPATEN KLATEN

Delanggu, 16 Maret 2015


Peserta Program Internship Dokter Indonesia

Pendamping Program Internship Dokter


Indonesia

dr. Lintang Jatu Prameswari

dr. Tini Wijayanti


NIP : 19710213 200801 2 006

LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN UNIT KESEHATAN MASYARAKAT
Laporan Mini Project
KEGIATAN PENYULUHAN CHIKUNGUYA
WILAYAH KERJA PUSKESMAS DELANGGU
KABUPATEN KLATEN

Delanggu, 16 Maret 2015


Peserta Program Internship Dokter Indonesia

Pendamping Program Internship Dokter


Indonesia

dr. S.E.Fiqnasyani

dr. Tini Wijayanti


NIP : 19710213 200801 2 006

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.....................................................................................................i
LEMBAR PENGESAHAN..........................................................................................ii
DAFTAR ISI...............................................................................................................vii
BAB I

PENDAHULUAN........................................................................................1
1.1. Latar Belakang .....................................................................................1
1.2. Rumusan Masalah ................................................................................2
1.3. Tujuan Pelaksanaan Kegiatan ...............................................................2
1.4 Manfaat Pelaksanaan Kegiatan ............................................................3

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA ..............................................................................4


2.1 Chikunguya............................................................................................4
2.1.1 Definisi.........................................................................................4
2.1.2 Etiologi dan Patogenesis..............................................................4
2.1.3 Gejala Klinis.................................................................................5
2.1.4 Cara Penularan.............................................................................6
2.1.5 Diagnosis Pasti dan Banding........................................................7
2.1.6 Pengobatan...................................................................................8
2.2 Nyamuk Penular Chikunguya...............................................................8
2.2.1 Klasifikasi Nyamuk......................................................................8
2.2.2 Morfologi Nyamuk.......................................................................9
2.2.3 Siklus Hidup Nyamuk..................................................................9
2.2.4 Bionomik Vektor........................................................................11
2.2.5 Ekologi Vektor............................................................................13
2.3 Lingkungan Rumah.............................................................................17
2.3.1 Rumah Sehat dan Persyaratannya..............................................17
2.4 Perilaku Kesehatan..............................................................................20
2.4.1 Pengetahuan...............................................................................20
2.4.2 Sikap...........................................................................................20
2.4.3 Tindakan.....................................................................................21
2.5 Pencegahan dan Pengendalian Vektor Chikungunya..........................22
2.5.1 Pengelolaan Lingkungan............................................................22
8

2.5.2 Perlindungan Diri.......................................................................23


2.5.3 Pengendalian Biologi.................................................................24
2.5.4 Pengendalian Kimia...................................................................24
2.5.5 Pendekatan Pemberantasan Terpadu..........................................25
2.6 Penanggulangan KLB Chikunguya.....................................................25
BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN..................................................................29
BAB IV PENUTUP...................................................................................................36
4.1 Kesimpulan...........................................................................................36
4.2 Saran.....................................................................................................36
DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Demam Chikungunya merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh virus


chikungunya yang dikenal dengan nama Alphavirus dari famili Togaviridae dan ditularkan
oleh nyamuk Aedes Aegypti atau Aedes Albopictus. Gejala klinis terkena demam
Chikungunya adalah demam mendadak, menggigil, muka kemerahan, mual, muntah, nyeri
kepala, fotofobia, dan timbul bintik-bintik kemerahan terutama di daerah badan. Gejala khas
dari demam Chikungunya yaitu nyeri sendi terutama di sendi siku, lutut, pergelangan kaki
dan sendi-sendi kecil di pergelangan tangan dan kaki yang berlangsung beberapa hari sampai
satu minggu.
Demam Chikungunya dapat menyerang semua usia, baik anak-anak maupun dewasa.
Penyakit ini termasuk Self Limiting Disease atau penyakit yang sembuh dengan sendirinya.
Belum ada vaksin maupun obat khusus untuk penyakit ini. Pengobatan yang diberikan hanya
dengan menghilangkan gejala penyakitnya yaitu menggunakan obat turun panas dan obat
penghilang rasa nyeri
Penyakit ini di regio Asia Tenggara, pernah dilaporkan terjadi di India, Indonesia,
Maldiva, Myanmar, Sri Lanka, dan Thailand. Terdapat banyak wabah yang besar dari demam
chikungunya dalam beberapa tahun di India, dan juga di negara kepulauan Samudera Hindia.
Maldiva melaporkan wabah Chikungunya pertama kali pada bulan Desember 2006. Di
Indonesia, pada tahun 2002 banyak daerah melaporkan terjadinya KLB Chikungunya seperti
Palembang, Semarang, Indramayu, Manado, DKI Jakarta, Banten, Jawa Timur dan lain-lain. Pada
tahun 2003 KLB Chikungunya terjadi di beberapa wilayah di pulau Jawa, NTB, Kalimantan Tengah.
Tahun 2006 dan 2007 terjadi KLB di Provinsi Jawa Barat dan Sumatera Selatan. Dari tahun 20002007 di Indonesia terjadi KLB Chikungunya pada hampir semua provinsi dengan 18.169 kasus tanpa
kematian.

Untuk regio Jawa Tengah, Kabupaten Klaten khususnya, pada bulan Februari 2013
1

dilaporkan 40 warga desa Pasung dan Tanjungan, Kecamatan Wedi, Klaten terserang Chikunguya dan
pada bulan November 2014 dilaporkan kejadian chikunguya di desa Baturan dan Kerten, Kecamatan
Gantiwarno, Klaten.

Hingga saat ini pemberantasan nyamuk Aedes aegypty merupakan cara utama yang
dilakukan untuk menekan penyebaran virus Chikungunya dikarenakan vaksin untuk
mencegah dan obat untuk membasmi virusnya belum tersedia. Upaya pencegahan dititik
beratkan pada pemberantasan sarang nyamuk dengan membasmi jentik nyamuk penular di
tempat perindukannya.
Meskipun penyakit ini tidak menyebabkan kematian, akan tetapi sangat meresahkan
masyarakat karena penularan virus ini dapat menyebar dengan cepat pada masyarakat sekitar
dalam waktu yang singkat dan apabila terjadi wabah chikungunya maka produktivitas kerja
masyarakat menurun yang tentunya akan berdampak juga pada keadaan ekonomi. Oleh
karena itu, perlu diupayakan pengendalian penyebaran virus chikungunya secara baik.
1.2 Rumusan Masalah
a. Masih terdapatnya kejadian penyakit Chikunguya di Kabupaten Klaten meski telah
dilaksanakan program 3M dan fogging
b. Kurangnya pemahaman dan pengetahuan masyarakat dalam membedakan demam
chikunguya dan demam lain yang diakibatkan oleh virus
1.3 Tujuan Pelaksanaan Kegiatan
a. Meningkatkan peran serta masyarakat bekerjasama dengan petugas kesehatan dalam
pencegahan chikunguya
b. Meningkatkan pemahaman dan pengetahuan masyarakat dalam membedakan demam
chikunguya dan demam lain yang diakibatkan oleh virus

1.4 Manfaat Pelaksanaan Kegiatan


a. Meningkatnya peran serta masyarakat bekerjasama dengan petugas kesehatan dalam
pencegahan chikunguya
b. Meningkatnya pemahaman dan pengetahuan masyarakat dalam membedakan demam
chikunguya dan demam lain yang diakibatkan oleh virus
2

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Chikungunya
2.1.1

Definisi Chikungunya
3

Chikungunya adalah sejenis demam virus yang disebabkan alphavirus


yang disebarkan oleh gigitan nyamuk dari spesies Aedes aegypti. Namanya
berasal dari sebuah kata dalam bahasa Swahili yang berarti yang melengkung
ke atas merujuk kepada tubuh yang membungkuk akibat gejala-gejala arthritis
(Anies, 2006).
Chikungunya adalah penyakit mirip demam dengue yang disebabkan oleh
virus Chikungunya dan ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti dan Aedes
africanus. Chikungunya dalam bahasa Swahili berarti kejang urat. Istilah lain
penyakit ini adalah dengue, dyenge, abu rokap dan demam tiga hari. Penyakit ini
ditandai dengan demam, mialgia atau artralgia, ruam kulit, leukopenia dan
imfadenopati karena vektornya nyamuk maka Chikungunya tergolong arthropodborne disease yaitu penyakit yang disebabkan oleh artropoda (Widoyono, 2008).
Menurut Soedarto (2009), Chikungunya adalah suatu penyakit yang
disebabkan oleh virus Chikungunya yang menimbulkan gejala mirip demam
dengue tetapi jarang menyebabkan pendarahan. Penderita mengeluh nyeri hebat
pada tulang-tulangnya (break-bone fever) sehingga penyakit ini di masyarakat
dikenal sebagai flu tulang. Chikungunya ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti
vektor utama dan Aedes albopictus vektor potensial.
Chikungunya adalah penyakit yang mirip dengan Dengue hemorrhagic
fever. Penyakit ini diidentifikasi dengan timbulnya panas yang disertai arthritis
(radang sendi) yang terjadi pertama pada pergelangan tangan, lutut, pergelangan
kaki dan sendi kecil pada ekstremitas yang berlangsung selama beberapa hari
sampai bulanan (Sarudji, 2010).
2.1.2

Etiologi dan Patogenesis


Virus Chikungunya adalah virus yang termasuk dalam genus virus alfa
dari family Togaviridae. Virus ini berbentuk sferis dengan ukuran diameter
sekitar 42 nm. Sebelum menyerang manusia 200 300 tahun yang lalu, virus ini
telah menyerang primata di hutan dan padang Savana di Afrika. Hewan primata
yang sering terjangkit adalah baboon (Papio sp) dan Cercopithecus sp. Siklus di
hutan diantara satwa primata dilakukan oleh Aedes sp (Widoyono, 2008).
Menurut Soedarto (2009), virus penyebab Chikungunya termasuk
kelompok virus RNA yang mempunyai selubung merupakan anggota grup A
arbovirus, yaitu alphavirus dari Togaviridae. Dengan mikroskop elektron virus
ini menunjukkan bentuk virion yang sferis dan kasar atau berbentuk polygonal
4

dengan garis tengah 40 45 nm dan inti yang berdiameter 25 30 nm.


Penyebaran virus Chikungunya tersebar luas di Afrika, Asia Selatan dan Asia
Tenggara. Vektor utama penular Chikungunya adalah nyamuk Aedes aegypti,
sedangkan sumber penularan adalah manusia dan primata.
2.1.3

Gejala Klinis
Masa inkubasi 3 5 hari. Permulaan penyakit biasanya; tiba-tiba timbul
panas tinggi, sakit kepala, nyeri otot, nyeri persendian dan timbul bercak
pendarahan (rash). Nyeri sendi pada penderita dewasa umumnya lebih berat
daripada anak-anak. Sendi bekas trauma lebih mudah diserang. Sendi yang
diserang Chikungunya, bengkak dan nyeri bila ditekan. Tanda-tanda peradangan
sendi lain biasanya tidak ditemukan. Rash kulit biasa ditemukan pada permulaan
sakit tetapi biasa juga timbul beberapa hari kemudian. Rash seringnya ditemukan
pada badan dan anggota Limpa dan Liver biasanya tidak teraba (Yatim, 2007).
Demam Chikungunya atau flu tulang (break-bone fever) mempunyai
gejala dan keluhan penderita mirip demam dengue, namun lebih ringan dan
jarang menimbulkan pendarahan. Keluhan utama yang dialami penderita adalah
artralgia yang merasakan nyeri pada tulang-tulang. Selain itu pembuluh
konjungtiva mata penderita tampak nyata dan disertai demam mendadak selama
2 3 hari. Pemeriksaan serum penderita pada uji hemaglutinasi inhibisi atau uji
netralisasi menunjukkan tingginya titer antibodi terhadap virus Chikungunya
(Soedarto, 2009).
Menurut Widoyono (2008), masa inkubasi Chikungunya adalah 1 6 hari.
Gejala penyakit diawali dengan demam mendadak kemudian diikuti munculnya
ruam kulit dan limfadenopati, artralgia, mialgia atau arthritis yang merupakan
tanda dan gejala khas Chikungunya. Penderita dapat mengeluhkan nyeri atau
ngilu bila berjalan kaki karena serangan pada sendi-sendi kaki. Dibandingkan
dengan DBD, gejala Chikungunya muncul lebih dini. Perdarahan jarang terjadi,
diagnosis ditegakkan berdasarkan gambaran klinis dan laboratorium yaitu adanya
antibodi IgM dan IgG dalam darah.

2.1.4

Cara Penularan
Penularan Chikungunya dapat terjadi bila penderita yang mengandung
virus Chikungunya digigit nyamuk penular maka virus dalam darah akan ikut
terisap masuk dalam lambung nyamuk. Selanjutnya virus akan memperbanyak
diri dan tersebar diberbagai jaringan tubuh nyamuk didalam kelenjar liurnya.
5

Kira-kira 1 minggu setelah menghisap darah penderita (extrinsic incubation


period), nyamuk tersebut siap untuk menularkan kepada orang lain. Virus ini
akan tetap berada dalam tubuh nyamuk sepanjang hidupnya sehingga selain
menjadi vektor juga menjadi reservoir dari virus Chikungunya (Depkes, 2001).
Penularan ini terjadi karena setiap kali nyamuk menggigit (menusuk),
sebelum nyamuk menghisap darah akan mengeluarkan air liur melalui saluran
alat tusuknya (proboscis) agar darah yang dihisap tidak membeku. Bersama air
liur inilah virus Chikungunya dipindahkan dari nyamuk ke orang lain. Seseorang
yang telah terinfeksi oleh virus Chikungunya melalui gigitan nyamuk akan
mengalami masa inkubasi selama 2 12 hari tetapi umumnya 3 7 hari, selama
masa inkubasi ini virus berada di dalam darah yang disebut dengan fase
akut/viremia (5 7 hari). Penderita yang dalam masa viremia inilah yang dapat
menularkan Chikungunya ke orang lain selama terdapat vektor penular penyakit
(Depkes, 2001).
Faktor-faktor yang memegang peranan dalam penularan infeksi virus
Chikungunya

yaitu

manusia,

vektor

perantara

dan

lingkungan.

Virus

Chikungunya ditularkan kepada manusia melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti


dan Aedes albopictus, nyamuk lain mungkin bisa berperan sebagai vektor namun
perlu penelitian lebih lanjut. Nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus
tersebut dapat mengandung virus Chikungunya pada saat menggigit manusia
yang sedang mengalami viremia yaitu 2 hari sebelum demam sampai 5 hari
setelah demam timbul kemudian virus yang berada di kelenjar liur
berkembangbiak dalam waktu 8 10 hari (extrinsic incubation period) sebelum
menimbulkan penyakit (Depkes, 2001).

2.1.5

Diagnosis Pasti dan Banding


Diagnosis Chikungunya ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan laboratorium. Dari anamnesis ditemukan keluhan demam,
nyeri sendi, nyeri otot, sakit kepala, rasa lemah, mual, muntah, fotofobia serta
daerah tempat tinggal penderita yang berisiko terkena Chikungunya. Pada
pemeriksaan fisik dapat ditemukan adanya ruam makulopapuler, limfadenopati
servikal dan injeksi konjungtiva. Pada pemeriksaan hitung lekosit, beberapa
6

penderita mengalami lekopenia dengan limfositosis relatif. Jumlah trombosit


dapat menurun sedang dan laju endap darah akan meningkat. C-reactive protein
positif pada kasus-kasus akut (Eppy, 2010).
Berbagai pemeriksaan laboratorium tersedia untuk membantu menegakkan
diagnosis seperti isolasi virus dari darah, tes serologi klasik seperti uji hambatan
aglutinasi/HI, complement fixation/CF dan serum netralisasi; tes serologi modern
dengan teknik IgM capture ELISA (enzyme-linked immunosorbent assay); teknik
super modern dengan pemeriksaan PCR serta teknik yang paling baru dengan
RT-PCR (2002). Dengan menggunakan tes serologi klasik diagnosis sangat
tergantung pada penemuan peningkatan titer antibodi sesudah sakit. Biasanya
pada serum yang diambil saat hari ke-5 demam tidak ditemukan antibodi HI, CF
ataupun netralisasi. Antibodi netralisasi dan HI baru ditemukan pada serum yang
diambil saat 2 minggu atau lebih sesudah serangan panas timbul. Diagnosis yang
akurat dapat diperoleh dari serum yang sudah diambil sesudah sakit dengan
metode IgM capture ELISA. Isolasi virus dapat dibuat dengan menyuntikkan
serum akut dari kasus tersangka pada mencit atau kultur jaringan. Diagnosis pasti
adanya infeksi virus Chikungunya ditegakkan bila didapatkan salah satu hal
antara lain: 1) Peningkatan titer antibodi 4 kali lipat pada uji hambatan aglutinasi
(HI); 2) Virus Chikungunya (CHIK) pada isolasi virus; 3) IgM capture ELISA.
Viral arthropaty dapat diketahui dan dijumpai pada beberapa infeksi virus
seperti dengue, Mayora (Mayora fever, Uruma fever), Ross River, Sindbiss
(Ockelbo), Baermah forest dan O`nyong-nyong serta penyakit virus lainnya
(penyakit pogosta, demam karelian). Infeksi virus tersebut merupakan diagnosis
banding dari penyakit Chikungunya. Diagnosis banding Chikungunya yang
paling mendekati adalah demam dengue atau demam berdarah dengue
(Soegijanto, 2004).
2.1.6

Pengobatan
Chikungunya pada dasarnya bersifat self limiting disease artinya penyakit
yang dapat sembuh dengan sendirinya. Hingga saat ini, belum ada vaksin
maupun obat khusus untuk Chikungunya, oleh karenanya pengobatan ditujukan
untuk mengatasi gejala yang mengganggu (simtomatis). Obat-obatan yang dapat
digunakan adalah obat antipiretik, analgetik (non-aspirin analgetik; non steroid
anti inflamasi drug parasetamol, antalgin, natrium diklofenak, piroksikam,
7

ibuprofen,

obat

anti

mual

dan

muntah

adalah

dimenhidramin

atau

metoklopramid). Aspirin dan steroid harus dihindari. Terapi lain disesuaikan


dengan gejala yang dirasakan (Soedarto, 2007).
Bagi penderita dianjurkan untuk makan makanan yang bergizi, cukup
karbohidrat terutama protein serta minum sebanyak mungkin. Memperbanyak
konsumsi buah-buahan segar, sebaiknya minum jus buah segar. Vitamin
peningkat daya tahan tubuh dapat bermanfaat untuk menghadapi penyakit ini.
Selain vitamin, makanan yang mengandung cukup banyak protein dan
karbohidrat juga meningkatkan daya tahan tubuh. Daya tahan tubuh yang baik
dan istirahat cukup bisa membuat rasa ngilu pada persendian cepat hilang.
Disarankan juga minum banyak air putih untuk menghilangkan gejala demam
(Anies, 2006).
2.2 Nyamuk Penular Chikungunya
2.2.1

Klasifikasi Nyamuk
Nyamuk yang menjadi vektor penular Chikungunya adalah nyamuk Aedes
aegypti dan Aedes albopictus. Aedes aegypti yang paling berperan utama
(primary vector) dalam penularan Chikungunya karena nyamuk tersebut hidup
di dalam dan sekitar tempat tinggal manusia sehingga banyak kontak dengan
manusia. Aedes ae8gypti adalah spesies nyamuk yang hidup di dataran rendah
beriklim tropis sampai sub tropis (Anggraeni, 2010).
Menurut Richard dan Davis (1977) dalam Soegijanto (2006), kedudukan
nyamuk Aedes aegypti dalam klasifikasi hewan adalah sebagai berikut:
Filum : Arhropoda
Kelas : Insecta
Bangsa : Diptera
Suku : Culicidae
Marga : Aedes
Jenis : Aedes aegypti L

2.2.2

Morfologi Nyamuk
Nyamuk Aedes aegypti berukuran lebih kecil dibandingkan dengan ratarata nyamuk lain. Ukuran badan 3 4 mm, berwarna hitam dengan hiasan bintikbintik putih di badannya dan pada kakinya warna putih melingkar. Nyamuk dapat
hidup berbulan-bulan. Nyamuk jantan tidak menggigit manusia, ia makan buah.
8

Hanya nyamuk betina yang menggigit yang diperlukan untuk membuat telur.
Telur nyamuk Aedes aegypti diletakkan induknya menyebar berbeda dengan telur
nyamuk lain yang dikeluarkan berkelompok. Nyamuk bertelur di air bersih. Telur
menjadi pupa beberapa minggu. Nyamuk Aedes aegypti bila terbang hampir tidak
berbunyi sehingga manusia yang diserang tidak mengetahui kehadirannya,
menyerang dari bawah atau dari belakang dan terbang sangat cepat. Telur
nyamuk Aedes aegypti dapat bertahan lama dalam kekeringan. Nyamuk Aedes
aegypti dapat tahan dalam suhu panas dan kelembaban tinggi (Widoyono, 2008).
2.2.3

Siklus Hidup Nyamuk


Siklus hidup nyamuk adalah proses perkembangbiakan dan pertumbuhan
nyamuk mulai dari telur, jentik, kepompong sampai dengan dewasa. Siklus hidup
nyamuk dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 2.1 Siklus Hidup Nyamuk Aedes aegypti/Aedes albopictus


Sumber : Anggraeni, 2010

a. Telur
Menurut Anggraeni (2010), nyamuk Aedes aegypti meletakkan telur pada
permukaan air yang bersih atau menempel pada dinding tempat penampung air secara
individual. Telur berbentuk elips berwarna hitam dengan panjang 0,50 mm. Telur
Aedes aegypti tahan kekeringan dan dapat bertahan hingga 1 bulan dalam keadaan
kering. Jika terendam air, telur dapat menetas menjadi jentik. Telur menetas dalam 1
sampai 2 hari.
9

b. Jentik
Pada jentik sangat membutuhkan air yang cukup untuk perkembangannya.
Kondisi jentik saat berkembang dapat memengaruhi kondisi nyamuk dewasa yang
dihasilkan. Sebagai contoh, populasi jentik yang meledak sehingga kurang
ketersediaan makanannya akan menghasilkan nyamuk dewasa yang cenderung lebih
rakus dalam menghisap darah. Ada 4 (empat) instar atau tahapan perkembangan jentik
tersebut yaitu: Instar I berukuran paling kecil yaitu 1 2 mm; 2) Instar II 2,5 3,8
mm; 3) Instar III berukuran besar sedikit dari larva instar II; 4) Instar IV berukuran
paling besar 5 mm. Setelah mencapai instar ke-4, jentik berubah menjadi pupa dalam
5 sampai 7 hari.
c. Pupa
Pupa berbentuk seperti koma. Bentuknya lebih besar namun lebih ramping
dibanding jentiknya. Pupa berukuran lebih kecil jika dibandingkan dengan rata-rata
pupa nyamuk lain. Pupa bertahan selama 2 hari sebelum akhirnya nyamuk dewasa
keluar dari pupa. perkembangan dari telur hingga nyamuk dewasa membutuhkan
waktu 7 hingga 8 hari, namun dapat lebih lama jika kondisi lingkungan tidak
mendukung.
d. Nyamuk dewasa
Nyamuk dewasa berukuran lebih kecil jika dibandingkan dengan rata-rata
nyamuk lain dan mempunyai warna dasar hitam dengan bintik-bintik putih pada
bagian badan dan kaki. Sesaat setelah menjadi dewasa, nyamuk akan segera kawin
dan nyamuk betina yang telah dibuahi akan mencari makan dalam waktu 24 sampai
36 jam. Darah merupakan sumber protein terpenting untuk pematangan telur (Depkes,
2005).

2.2.4

Bionomik Vektor
Bionomik vektor adalah kesenangan memilih tempat perindukan (breeding
place), kesenangan menggigit (feeding habit), kesenangan tempat hinggap
istirahat (resting place) dan jangkauan terbang (flight range) (Depkes, 2007).
a. Tempat Perindukan (Breeding Place)
Tempat perindukan nyamuk ini berupa genangan-genangan air
yang tertampung di suatu wadah yang biasa disebut kontainer dan
10

bukan pada genangan-genangan air di tanah. Pada waktu survai


larva/jentik, kontainer dibedakan: 1) Tempat penampungan air (TPA)
yaitu tempat-tempat untuk menampung air guna keperluan sehari-hari
seperti: drum, tempayan, bak mandi, bak WC, ember dan lain-lain; 2)
Bukan tempat penampungan air (TPA) yaitu tempat-tempat yang biasa
menampung air tetapi bukan keperluan sehari-hari seperti: tempat
minum hewan piaraan (ayam, burung dan lain-lain), barang bekas
(kaleng, ban, botol, pecahan gelas dan lain-lain), vas kembang,
perangkap semut, penampungan air dispenser dan sebagainya; 3)
Tempat penampungan air buatan alam (alamiah/natural) seperti: lubang
pohon, lubang batu, pelepah daun, tempurung kelapa, kulit kerang,
pangkal pohon pisang, potongan bambu dan lain-lain (Depkes, 2007).
Tempat

kebiasaan

bertelur

dari

kedua

vektor

nyamuk

Chikungunya agak berbeda. Untuk Aedes aegypti, tempat yang


disenangi untuk bertelur adalah di Tempat Penampungan Air (TPA)
yang jernih dalam rumah dan yang terlindung dari sinar matahari
seperti bak di kamar kecil (WC), bak mandi, tandon air minum, ember,
tempayan, drum dan sejenisnya. Penampungan ini biasanya dipakai
untuk keperluan rumah tangga sehari-hari, sedangkan Aedes albopictus
lebih senang bertelur pada tempat penampungan air yang berada di luar
rumah seperti kaleng, botol, ban bekas yang di buang, lubang pohon,
lekukan tanaman, potongan batang bambu dan buah kelapa yang sudah
terbuka. Penampungan ini bukan dipakai untuk keperluan rumah
tangga sehari-hari, hal itu sesuai dengan sifat Aedes aegypti yang
mempunyai kecenderungan sebagai nyamuk rumah dan Aedes
albopictus yang merupakan nyamuk luar rumah (Sutaryo, 2004).
b. Kebiasaan Menggigit (Feeding Habit)
Nyamuk Aedes aegypti bersifat antropofilik yang berarti lebih
menyukai menghisap darah manusia dibandingkan dengan darah
hewan, sedangkan nyamuk Aedes albopictus merupakan penghisap
darah yang acak dan lebih zoofagik (WHO, 2005).
Untuk mendapatkan inangnya, nyamuk aktif terbang pada pagi
hari, yaitu sekitar pukul 08.00 10.00 dan sore hari 15.00 17.00.
Nyamuk yang aktif menghisap darah adalah yang betina untuk
11

mendapatkan protein. Protein tersebut digunakan untuk keperluan


produksi dan proses pematangan telur. Tiga hari setelah menghisap
darah, nyamuk betina menghasilkan telur sampai 100 butir telur
kemudian siap diletakkan pada media (Suroso, 2003).
Menurut Depkes (2007), kebiasaan menggigit dari Aedes
aegypti pada pagi hingga sore hari yaitu pada pukul 08.00 12.00 dan
15.00 17.00 lebih banyak menggigit di dalam rumah dari pada di luar
rumah. Nyamuk ini sangat menyukai darah manusia dan biasanya
menggigit berulang kali, hal ini disebabkan pada siang hari orang
sedang aktif sehingga nyamuk yang mengigit seseorang belum tentu
kenyang. Orang tersebut sudah bergerak, nyamuk terbang menggigit
orang lagi sampai cukup darah untuk pertumbuhan dan perkembangan
telurnya.
c. Tempat Istirahat (Resting Place)
Tempat yang disayangi nyamuk untuk beristirahat selama
menunggu bertelur adalah tempat yang gelap, lembab dan sedikit
angin. Aedes aegypti lebih menyukai tempat yang gelap, lembab dan
tersembunyi di dalam rumah atau bangunan sebagai tempat
peristirahatannya termasuk di kamar tidur, di kamar mandi maupun di
dapur. Nyamuk ini jarang ditemukan di luar rumah, di tanaman atau
tempat terlindung lainnya. Di dalam ruangan permukaan istirahat yang
disukai nyamuk adalah di bawah perabotan, benda-benda yang
bergantung seperti baju dan tirai serta dinding. Sementara nyamuk
Aedes albopictus lebih menyukai tempat di luar rumah yaitu hidup di
lubang-lubang pohon, lekukan tanaman dan kebun atau kawasan
pinggir hutan. Oleh karena itu, Aedes albopictus sering disebut
nyamuk kebun (forest mosquito) (WHO, 2005).
Kebiasaan hinggap istirahat lebih banyak di dalam rumah yaitu
pada benda-benda yang bergantungan, berwarna gelap dan tempattempat lain yang terlindung juga di dalam sepatu (Depkes, 2007).
d. Jarak Terbang (Flight Range)
Pergerakan nyamuk Aedes aegypti dari tempat perindukan ke
tempat mencari mangsa dan tempat istirahat ditentukan oleh
kemampuan terbang nyamuk. Jarak terbang (flight range) rata-rata
12

nyamuk Aedes aegypti adalah sekitar 100 m tetapi pada keadaan


tertentu nyamuk ini dapat terbang sampai beberapa kilometer dalam
usahanya untuk mencari tempat perindukan untuk meletakkan telurnya.
Nyamuk Aedes albopictus jarak terbang berkisar antara 400 600 m
(Soegijanto, 2006).
2.2.5

Ekologi Vektor
Ekologi vektor adalah ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik
antara vektor dan lingkungannya. Lingkungan merupakan interaksi vektor
penular Chikungunya dengan manusia yang dapat mengakibatkan terjadinya
Chikungunya. Eksistensi nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus
dipengaruhi oleh lingkungan fisik maupun lingkungan biologik.
a. Lingkungan fisik
Lingkungan fisik adalah lingkungan sekeliling manusia yang
terdiri dari benda-benda yang tidak hidup (non living things) dan
kekuatan-kekuatan fisik lainnya. Dalam hal ini lingkungan fisik dapat
menjadi enviromental reservoir dan ikut berperan menentukan pola
populasi nyamuk. Lingkungan fisik sebagai berikut:
1. Jarak antara rumah
Jarak rumah memengaruhi penyebaran nyamuk dari satu
rumah ke rumah lain, semakin dekat jarak antara rumah semakin
mudah menyebar ke rumah sebelah. Bahan-bahan rumah, warna
dinding dan pengaturan barang-barang dalam rumah menyebabkan
rumah tersebut disenangi atau tidak disenangi oleh nyamuk.
Berbagai penelitian penyakit menular membuktikan bahwa kondisi
perumahan yang berdesak-desakan dan kumuh mempunyai
kemungkinan lebih besar terserang penyakit (Depkes, 1998).
Penelitian Roose (2008), di Kecamatan Bukit Raya Kota
Pekanbaru menunjukkan bahwa ada hubungan jarak antar rumah
5 m memberikan kontribusi dampak/risiko dengan kejadian DBD
sebesar 1,79 kali dibanding dengan jarak antar rumah > 5 m.
2. Macam kontainer
Macam kontainer disini antara lain: jenis/bahan kontainer,
letak kontainer, bentuk, warna, kedalaman air, tutup kontainer dan
asal air memengaruhi nyamuk dalam pemilihan tempat bertelur.
13

3. Ketinggian tempat
Keadaan

geografis

seperti

ketinggian

memengaruhi

penularan penyakit. Nyamuk Aedes aegypti tidak menyukai


ketinggian lebih dari 1000 m di atas permukaan laut. Kadar
oksigen juga memengaruhi daya tahan tubuh seseorang, semakin
tinggi letak pemukiman maka akan semakin rendah kadar
oksigennya. Dataran tinggi juga berhubungan dengan temperatur
udara (Widoyono, 2008).
Nyamuk Aedes aegypti tersebar luas di daerah tropis dan sub
tropis. Di Indonesia nyamuk ini tersebar luas baik di rumah-rumah
maupun di tempat-tempat umum. Nyamuk ini dapat hidup dan
berkembangbiak sampai ketinggian daerah 1.000 m dari
permukaan air laut. Di atas ketinggian 1.000 m tidak dapat
berkembangbiak karena pada ketinggian tersebut suhu udara terlalu
rendah sehingga tidak memungkinkan bagi kehidupan nyamuk
tersebut (Depkes, 2005).
Tiap kenaikan 100 m maka selisih suhu udara tempat semula
adalah 0,5C. Bila perbedaan tempat cukup tinggi maka perbedaan
suhu udara juga cukup banyak dan akan memengaruhi faktor-faktor
lain seperti penyebaran nyamuk, siklus pertumbuhan parasit di
dalam tubuh nyamuk dan musim penularan (Depkes, 2007).

4. Iklim
Iklim adalah salah satu komponen pokok lingkungan fisik
yang terdiri dari suhu udara, kelembaban udara, curah hujan,
pencahayaan dan kecepatan angin.

Suhu udara
Nyamuk termasuk binatang berdarah dingin karenanya
proses-proses metabolisme dan siklus kehidupannya tergantung
pada suhu lingkungannya. Nyamuk tidak dapat mengatur suhu
tubuhnya. Suhu rata-rata optimum untuk perkembangan
14

nyamuk adalah 25C 27C. Nyamuk dapat bertahan hidup


dalam suhu rendah tetapi proses metabolismenya menurun atau
bahkan berhenti bila suhu turun sampai di bawah suhu kritis
pada suhu yang sangat tinggi akan mengalami perubahan
proses fisiologinya.
Pertumbuhan nyamuk akan berhenti sama sekali bila
suhu kurang dari 10C atau lebih dari 40C. Toleransinya
terhadap suhu tergantung pada spesies nyamuknya tetapi pada
umumnya suatu spesies tidak akan tahan lama bila suhu
lingkungan meninggi 5C 6C di atas, dimana spesies secara
normal dapat beradaptasi.
Kecepatan perkembangan nyamuk tergantung dari
kecepatan proses metabolisme sebagian diatur oleh suhu, oleh
karena kejadian-kejadian biologis tertentu seperti lamanya
masa pradewasa, kecepatan pencernaan darah yang dihisap,
pematangan idung telur, frekuensi mencari makanan atau
menggigit dan lamanya pertumbuhan parasit di dalam tubuh
nyamuk dipengaruhi oleh suhu (Depkes, 2007).

Kelembaban udara
Menurut Gobler dalam Depkes (1998), umur nyamuk
dipengaruhi oleh kelembaban

udara. Pada suhu 20C

kelembaban nisbi 27% umur nyamuk betina 101 hari dan umur
nyamuk jantan 35 hari, kelembaban kurang dari 60% umur
nyamuk akan menjadi pendek, tidak bisa menjadi vektor karena
tidak cukup waktu untuk perpindahan virus dari lambung ke
kelenjar ludah.
Menurut Depkes (2007), kelembaban udara adalah
banyak uap air yang terkandung dalam udara yang biasanya
dinyatakan dalam persen (%). Kelembaban udara yang terlalu
tinggi dapat mengakibatkan keadaan rumah menjadi basah dan
lembab yang memungkinkan berkembangbiaknya kuman atau
bakteri penyebab penyakit. Kelembaban yang baik berkisar
antara 40% 70%. Pada keadaan ini nyamuk tidak dapat
15

bertahan hidup akibatnya umur nyamuk menjadi lebih pendek


sehingga

nyamuk

tersebut

tidak

cukup

untuk

siklus

pertumbuhan parasit di dalam tubuh nyamuk.

Curah hujan
Hujan akan menambah genangan air sebagai tempat
perindukan dan menambah kelembaban udara. Temperatur dan
kelembaban selama musim hujan sangat kondusif untuk
kelangsungan hidup nyamuk yang terinfeksi (Suroso, 2000).
Hujan akan mempengaruhi naiknya kelembaban nisbi udara
dan menambah jumlah tempat perkembangbiakan. Curah hujan
yang lebat menyebabkan bersihnya tempat perkembangbiakan
vektor, oleh karena jentiknya hanyut dan mati. Kejadian
penyakit yang ditularkan nyamuk biasanya meninggi beberapa
waktu sebelum musim hujan lebat. Pengaruh hujan berbedabeda menurut banyaknya hujan dan keadaan fisik daerah.
Terlalu

banyak

hujan

akan

menyebabkan

kekeringan,

mengakibatkan berpindahnya tempat perkembangbiakan vektor


tetapi keadaan ini akan segera pulih cukup bila keadaan
kembali normal. Curah hujan yang cukup dengan jangka waktu
lama

akan

memperbesar

kesempatan

nyamuk

untuk

berkembangbiak secara optimal (Depkes, 2007).

Pencahayaan
Cahaya merupakan faktor utama yang memengaruhi
nyamuk beristirahat pada suatu tempat intensitas cahaya yang
rendah dan kelembaban yang tinggi merupakan kondisi yang
baik bagi nyamuk intensitas cahaya merupakan faktor terbesar
yang memengaruhi aktivitas terbang nyamuk. Intensitas
pencahayaan untuk kehidupan nyamuk adalah < 60 lux
(Depkes, 2007).

Kecepatan angin
16

Kecepatan angin secara langsung berpengaruh pada


penguapan (evaporasi) air dan suhu udara (konveksi),
disamping itu angin berpengaruh terhadap arah penerbangan
nyamuk. Bila kecepatan angin 11 14 meter perdetik atau 25
31 mil per jam akan menghambat penerbangan nyamuk. Dalam
keadaan udara tenang mungkin suhu nyamuk ada beberapa
fraksi atau derajat lebih tinggi dari suhu lingkungan, bila ada
angin evaporasi baik dan konveksi baik maka suhu nyamuk
akan turun beberapa fraksi atau derajat lebih rendah dari suhu
lingkungan (Depkes, 2007).

Lingkungan biologik
Lingkungan biologik yang memengaruhi penularan
Chikungunya adalah banyaknya tanaman hias dan tanaman
pekarangan yang mempengaruhi pencahayaan dan kelembaban
di dalam rumah dan halaman. Bila banyak tanaman hias dan
tanaman pekarangan, berarti akan menambah tempat yang
disenangi oleh nyamuk untuk hinggap istirahat dan juga
menambah umur nyamuk (Soegijanto, 2003).

2.3 Lingkungan Rumah


2.3.1

Rumah Sehat dan Persyaratannya


Dalam UU No. 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman terdapat
istilah rumah, perumahan dan pemukiman. Rumah adalah bangunan yang
berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian dan sarana pembinaaan keluarga,
sedangkan perumahan adalah kelompok rumah yang berfungsi sebagai
lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian yang dilengkapi dengan
sarana lingkungan. Pemukiman adalah bagian dari lingkungan hidup diluar
kawasan lindung, baik yang berupa kawasan perkotaan maupun pedesaan yang
berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat
kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan.
Menurut WHO dan American Public Health Association (APHA),
perumahan/pemukiman yang sehat harus memenuhi beberapa persyaratan antara
lain: (1) Syarat fisiologis, rumah yang dibangun harus dapat terpenuhi
17

kebutuhan fisik dasar dari penghuninya diantaranya adalah rumah tersebut harus
terjamin penerangannya yang dibedakan atas cahaya matahari dan lampu, rumah
harus mempunyai ventilasi yang sempurna sehingga aliran udara segar dapat
terpelihara dan rumah tersebut dibangun sedemikian rupa sehingga dapat
dipertahankan suhu lingkungan. (2) Syarat psikologis, rumah yang dibangun
harus dapat terpenuhi kebutuhan kejiwaan dasar dari penghuninya diantaranya
adalah terjamin berlangsungnya hubungan yang serasi antara anggota keluarga
yang tinggal bersama, tersedianya sarana yang memungkinkan dalam
pelaksanaan pekerjaan rumah tangga tanpa menimbulkan kelelahan yang
berlebihan. (3) Mencegah penularan penyakit, rumah yang dibangun harus dapat
melindungi penghuni dari penularan penyakit atau berhubungan dengan zat-zat
yang membahayakan kesehatan diantaranya adalah rumah tersebut di dalamnya
tersedia air bersih yang cukup, ada tempat pembuangan sampah dan tinja yang
baik, terlindung dari pengotoran terhadap makanan, tidak menjadi tempat
bersarang binatang melata ataupun penyebab penyakit lainnya. (4) Mencegah
terjadinya kecelakaan, rumah yang dibangun harus dapat melindungi
penghuninya dari kemungkinan terjadinya bahaya kecelakaan, jadi rumah
tersebut harus kokoh, terhindar dari bahaya kebakaran, alat-alat listrik yang
terlindungi dan juga terlindung dari kecelakaan lalu lintas.
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan R.I. No. 929/Menkes/SK/VII/1999
persyaratan

kesehatan

perumahan

dan

lingkungan

meliputi

parameter

diantaranya (Sarudji, 2010): (1) Lokasi, lokasi perumahan/pemukiman tersebut


tidak terletak pada daerah rawan bencana alam, tidak terletak pada daerah bekas
tempat pembuangan akhir (TPA) sampah atau bekas tambang dan tidak terletak
pada daerah rawan kecelakaan dan daerah kebakaran seperti jalur pendaratan
penerbangan. (2) Prasarana dan sarana lingkungan, meliputi adanya taman
bermain untuk anak, sarana rekreasi keluarga dengan konstruksi yang aman dari
kecelakaan, memiliki sarana drainase yang tidak menjadi tempat perindukan
vektor penyakit, memiliki sarana jalan lingkungan dengan ketentuan konstruksi
jalan tidak menganggu kesehatan, lampu penerangan jalan tidak menyilaukan,
tersedia cukup air bersih sepanjang waktu dengan kualitas air yang memenuhi
persyaratan kesehatan, pengelolaan pembuangan tinja dan air limbah rumah
tangga harus memenuhi persyaratan kesehatan, pengelolaan pembuangan
sampah rumah tangga harus memenuhi persyaratan kesehatan, memiliki akses
18

terhadap sarana pelayanan kesehatan, komunikasi, tempat kerja, tempat hiburan,


tempat pendidikan, kesenian dan lain sebagainya, pengaturan instalasi listrik
harus menjamin keamanan penghuninya dan tempat pengelolaan makanan
(TPM) harus menjamin tidak terjadi kontaminasi makanan yang dapat
menimbulkan keracunan. (3) Vektor penyakit, meliputi indeks lalat harus
memenuhi syarat dan indeks nyamuk di bawah 5%. (4) Kualitas udara,
diantaranya suhu udara nyaman antara 18 300C dan kelembaban udara 40
70%.
Menurut Azwar (1996), rumah harus dibangun sedemikian rupa sehingga
melindungi penghuni dari kemungkinan terjadinya bahaya kecelakaan. Hal ini
perlu diperhatikan juga kondisi fisik rumah berkaitan dengan kejadian
Chikungunya terutama berkaitan dengan mudah atau tidaknya nyamuk masuk ke
dalam rumah adalah ventilasi yang tidak dipasang kawat kasa dapat
mempermudah nyamuk masuk ke dalam rumah.
Langit-langit atau pembatas ruangan dinding atas dengan atap yang terbuat
dari kayu, internit maupun anyaman bambu halus sebagai penghalang masuknya
nyamuk dilihat dari ada tidaknya langit-langit pada semua atau sebagian
ruangan rumah. Kualitas dinding yang tidak rapat bila terbuat dari anyaman
bambu kasar ataupun kayu/papan yang terdapat lubang lebih dari 1,5 mm2 akan
mempermudah nyamuk masuk ke dalam rumah (Darmadi, 2002).
Menurut Machfoed (2008), rumah berdasarkan bahan bangunannya terdiri
dari: 1) Rumah Non Permanen yaitu rumah yang terbuat dari bahan bangunan
kayu, bambu; 2) Rumah Semi Permanen yaitu rumah yang terbuat dari bahan
bangunan kayu dan campuran batu, pasir dan semen; 3) Rumah Permanen yaitu
rumah yang keseluruhan bahan bangunan terbuat dari campuran batu, pasir dan
semen.
2.4 Perilaku Kesehatan
Menurut Skinner (1938) dalam Notoatmodjo (2012), perilaku kesehatan pada
dasarnya adalah suatu respons seseorang terhadap stimulus yang berkaitan dengan sakit
atau penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan serta lingkungan yang diuraikan
antara lain: a) Perilaku seseorang terhadap sakit dan penyakit yaitu bagaimana manusia
merespon baik secara pasif maupun secara aktif (tindakan) yang dilakukan sehubungan
dengan penyakit dan sakit tersebut; b) Perilaku terhadap sistem pelayanan kesehatan
19

adalah respon seseorang terhadap sistem kesehatan pelayanan kesehatan baik yang
modern maupun yang tradisional; c) Perilaku terhadap makanan adalah respon seseorang
terhadap makanan sebagai kebutuhan vital bagi kehidupan; d) Perilaku terhadap
lingkungan adalah respon terhadap lingkungan sebagai determinan.
Perilaku dalam penelitian ini adalah perilaku yang berhubungan dengan kejadian
Chikungunya. Perilaku kesehatan tersebut didasarkan pada 3 (tiga) domain perilaku
yaitu pengetahuan, sikap dan tindakan.
2.4.1

Pengetahuan
Pengetahuan adalah hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan
pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengindraan terjadi melalui
pancaindra manusia yakni indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan
raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga
(Notoatmodjo, (2007). Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang
sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang. Pengetahuan seseorang
terhadap objek mempunyai tingkat yang berbeda-beda termasuk dalam hal ini
kemampuan masyarakat dalam menjaga kesehatan individu dalam pencegahan
terjadi keluhan penyakit maupun dalam pengobatan. Pengetahuan tentang usahausaha kesehatan perseorangan untuk memelihara kesehatan diri sendiri,
memperbaiki dan mempertinggi nilai kesehatan serta mencegah timbulnya
penyakit. Pengetahuan dalam penelitian ini adalah pengetahuan yang berkaitan
dengan Chikungunya.

2.4.2

Sikap
Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang
terhadap suatu stimulus atau objek. Manifestasi sikap tidak langsung dapat
dilihat tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup.
Menurut Newcomb yang dikutip oleh Notoatmodjo (2003), menyatakan bahwa
sikap itu merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak dan bukan
merupakan pelaksana motif tertentu. Sikap belum merupakan suatu tindakan
atau aktivitas, akan tetapi adalah predisposisi tindakan suatu perilaku. Sikap
secara nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus
tertentu yang ada dalam kehidupan sehari-hari merupakan reaksi bersifat
emosional terhadap stimulus sosial.
Menurut Wawan (2011), mengemukakan sikap dapat bersifat positif dan
dapat bersifat negatif. Pada sikap positif kecenderungan tindakan adalah sikap
20

yang menunjukkan atau memperlihatkan menerima, menyetujui terhadap


norma-norma yang berlaku dimana individu itu berbeda, sedangkan pada sikap
negatif terdapat kecenderungan untuk menjauhi, menghindari, membenci, tidak
menyukai objek tertentu.
Pengukuran sikap dapat dilakukan secara langsung atau tidak langsung.
Secara langsung dapat ditanyakan bagaimana pendapat/pernyataan responden
terhadap sesuatu objek. Secara tidak langsung dapat dilakukan dengan
pernyataan-pernyataan hipotesis kemudian ditanyakan pendapat responden
melalui kuesioner (Notoatmodjo (2007). Sikap dalam penelitian ini adalah
pencegahan yang berkaitan dengan Chikungunya.
2.4.3

Tindakan
Domain terakhir dari perilaku kesehatan adalah tindakan. Tindakan
tersebut didasari pada penilaian atau pendapat terhadap apa yang diketahuinya
kemudian disikapi dan akhirnya mengambil keputusan untuk melakukannya.
Tindakan dalam penelitian ini adalah segala bentuk nyata yang dilakukan dalam
mencegah dan menanggulangi terjadinya Chikungunya.
Tindakan yang tercakup dalam domain psikomotorik mempunyai 4
(empat) tingkatan (Notoatmodjo, 2003): 1) Persespsi (perception) yaitu
mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan
diambil adalah merupakan praktek tingkat pertama; 2) Respon terpimpin
(guided response) yaitu dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang
benar dan sesuai dengan contoh adalah merupakan indikator praktek tingkat
kedua; 3) Mekanisme (mecanism) yaitu apabila seseorang telah dapat
melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis atau sesuatu itu sudah
merupakan kebiasaan maka ia sudah mencapai praktek tingkat tiga; 4) Adaptasi
(adaptation) yaitu suatu praktek atau tindakan yang sudah berkembang dengan
baik. Seseorang sudah dapat memodifikasi tindakan tanpa mengurangi
kebenaran tindakan (Notoatmodjo, 2003).
Pengetahuan dan sikap masyarakat yang kurang mengetahui tentang
tentang tanda/gejala, cara penularan dan pencegahan Chikungunya mempunyai
risiko terkena Chikungunya. Dengan demikian upaya peningkatan pengetahuan
tanda/gejala, cara penularan dan pencegahan serta pemberantasan Chikungunya
perlu mendapatkan perhatian utama agar masyarakat lebih berperan dalam
pemberantasan sarang nyamuk (Depkes, 2007).
21

2.5 Pencegahan dan Pengendalian Vektor Chikungunya


Mengingat vektor penular virus Chikungunya dan virus dengue (DBD) sama, yaitu
nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus maka upaya pencegahan Chikungunya
hampir sama dengan pencegahan untuk penyakit DBD. Upaya pencegahan
dititikberatkan pada pengendalian nyamuk penular dapat dilakukan terhadap jentiknya
dan nyamuk dewasa. Upaya terpadu perlu diterapkan untuk pengendalian nyamuk
penular vektor Chikungunya dengan menggunakan metode yang tepat, antara lain
dengan pengelolaan lingkungan, perlindungan diri, pengendalian biologi, pengendalian
kimiawi dan pendekatan pemberantasan terpadu.
2.5.1

Pengelolaan Lingkungan
Pengelolaan lingkungan meliputi berbagai perubahan yang berkaitan
dengan upaya pencegahan, ditujukan untuk mengurangi perkembangbiakan
vektor sehingga mengurangi kontak vektor dengan manusia. Metode
pengelolaan lingkungan untuk mengendalikan Aedes aegypti dan Aedes
albopictus serta mengurangi kontak vektor dengan manusia dengan melakukan
kegiatan antara lain: Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN), pengelolaan
sampah padat, modifikasi tempat perkembangbiakan buatan manusia dan
perbaikan desain rumah (Sukamto, 2007).
Pemberantasan

Sarang

Nyamuk

(PSN)

pada

dasarnya

adalah

pemberantasan jentik atau mencegah agar nyamuk tidak dapat berkembangbiak.


Pencegahan yang dilaksanakan oleh masyarakat di rumah dan di tempat-tempat
umum dengan melaksanakan PSN meliputi: 1) Menguras bak mandi dan tempattempat penampungan air sekurang-kurangnya seminggu sekali. Ini dilakukan
dengan pertimbangan bahwa perkembangan telur menjadi nyamuk selama 7
10 hari; 2) Menutup rapat tempat penampungan air seperti tempayan, drum dan
tempat air lain; 3) Mengganti air pada vas bunga dan tempat minum burung
sekurang-kurangnya seminggu sekali; 4) Membersihkan pekarangan dan
halaman rumah dari barang-barang bekas seperti kaleng bekas dan botol pecah
sehingga tidak menjadi sarang nyamuk; 5) Menutup lubang-lubang pada bambu
pagar dan lubang pohon dengan tanah; 6) Membersihkan air yang tergenang di
atap rumah; 7) Memelihara ikan (Chahaya, 2003).
2.5.2

Perlindungan Diri

22

Upaya yang dapat dilakukan untuk melindungi diri dari gigitan nyamuk
antara lain seperti: 1) Membersihkan halaman atau kebun di sekitar rumah; 2)
Membersihkan saluran dan talang air yang tidak lancar atau rusak; 3) Membuka
pintu dan jendela rumah setiap pagi hari sampai sore agar udara segar dan sinar
matahari dapat masuk sehingga terjadi pertukaran udara dan pencahayaan yang
sehat. Dengan demikian, tercipta lingkungan yang tidak ideal bagi nyamuk; 4)
Memakai pakaian pelindung dari gigitan nyamuk Aedes aegypti dapat
merupakan alternatif penting dalam memutus kontak antara nyamuk dewasa
dengan manusia. Pakaian tersebut cukup tebal atau longgar berlengan panjang
dan celana panjang dengan kaos kaki dapat melindungi tangan dan kaki dari
tusukan nyamuk karena merupakan bagian tubuh yang rawan; 5) Memakai
repellent. Repellent atau penolak serangga merupakan sarana pelindung diri
terhadap nyamuk dan serangga yang umumnya digunakan. Bahan ini secara
garis besar dibagi menjadi 2 kategori yaitu penolak alami dan penolak kimiawi.
Minyak esensial dan ekstrak tanaman merupakan bahan pokok penolak alami
misalnya minyak neem (pada kayu mahoni). Penolak kimiawi misalnya DEET
(N,N-Diethyl-m-Taluamide) dapat memberikan perlindungan terhadap nyamuk
Aedes aegypti dan Aedes albopictus. Repellent dioleskan seperlunya pada bagian
tubuh yang terbuka; 6) Menghindari kebiasaan menggantung pakaian.
Kebiasaan meletakkan pakaian digantungkan yang terbuka misalnya di belakang
pintu kamar. Melipat pakaian atau kain yang bergantungan dalam kamar agar
nyamuk tidak hinggap pada pakaian tersebut; 7) Tidur siang dengan
menggunakan kelambu. Kebiasaan orang tidur pada siang hari akan
mempermudah penyebaran Chikungunya karena nyamuk betina mencari
umpannya pada siang hari (Anies, 2006).
2.5.3

Pengendalian Biologi
Menurut Soegijanto (2006), pengendalian biologi dilakukan dengan
menggunakan kelompok hidup baik dari golongan mikroorganisme, hewan
invertebrata atau hewan vertebrata. Pengendalian biologi dapat berperan sebagai
patogen dan parasit. Beberapa jenis ikan seperti ikan kepala timah
(Panchaxpanchax), ikan gabus (Gambusia) adalah pemangsa yang cocok untuk
larva

nyamuk.

Beberapa

jenis

golongan

cacing

Nematoda

seperti

Romanomarmis iyengari dan R.culiciforax merupakan parasit pada larva


nyamuk. Sebagai patogen seperti dari golongan virus, bakteri, fungi atau
23

protozoa dapat dikembangkan sebagai pengendalian hayati larva nyamuk di


tempat perindukannya. (3) Cara Fisik, pemberantasan secara fisik ini dikenal
dengan kegiatan 3M (Menguras, Menutup, Mengubur) yaitu: 1) Menguras dan
menyikat tempat-tempat penampungan air seperti bak mandi/wc, drum dan lainlain seminggu sekali; 2) Menutup rapat-rapat tempat penampungan air seperti
gentong air/tempayan dan lain-lain; 3) Mengubur atau menyingkirkan barangbarang bekas yang dapat menampung air hujan.
2.5.4

Pengendalian Kimia
Pengendalian secara kimia terhadap vektor Chikungunya ditujukan pada
jentik dan nyamuk dewasa.
a. Pemberantasan Jentik
Pemberantasan terhadap jentik Aedes aegypti dilakukan dengan
menggunakan insektisida pembasmi jentik (larvasida) atau dikenal
dengan larvasidasi. Larvasida yang biasa digunakan antara lain adalah
temephos. Formulasi temephos yang digunakan adalah granula (sand
granula). Dosis yang digunakan adalah 1 ppm atau 10 gram ( 1 sendok
makan rata) untuk tiap 100 liter air. Larvasida dengan temephos ini
mempunyai efek residu 3 bulan. Selain itu dapat pula digunakan
golongan insect growth regulator (Depkes, 2005).
b. Pemberantasan Nyamuk Dewasa
Pemberantasan terhadap nyamuk dewasa dilakukan dengan cara
pengasapan (fogging) dengan insektisida, hal ini dilakukan mengingat
kebiasaan

nyamuk

senang

hinggap

pada

benda-benda

yang

bergantungan maka penyemprotan tidak dilakukan di dinding rumah


seperti pada pemberantasan nyamuk penular malaria (Depkes, 2005).
Insektisida

yang

digunakan

adalah

insektisida

golongan

organophospat misalnya malathion dan feritrothion. Golongan pyrectic


syntetic misalnya lamda sihalotrin dan parmietrin. Golongan karbamat.
Alat yang digunakan untuk menyemprot ialah mesin fog atau mesin
ultra low volume (ULV) karena penyemprotan dilakukan dengan cara
pengasapan maka tidak mempunyai efek residu (Suroso, 2003).
Penyemprotan insektisida dilakukan interval 1 minggu untuk
membatasi penularan virus Chikungunya. Penyemprotan siklus pertama
semua nyamuk mengandung virus Chikungunya (nyamuk inaktif) dan
24

nyamuk-nyamuk lainnya akan mati. Penyemprotan insektisida ini dalam


waktu singkat dapat membatasi penularan akan tetapi tindakan ini perlu
diikuti dengan pemberantasan jentik agar populasi nyamuk dapat
ditekan serendah-rendahnya (Suroso, 2003).
2.5.5

Pendekatan Pemberantasan Terpadu


Penggunaan insektisida sebagai upaya pencegahan dan pemberantasan
vektor Chikungunya sedapat mungkin harus dipadukan dengan metode
pengelolaan lingkungan. Selama periode tidak ada atau sedikit aktifitas virus
Chikungunya. Langkah rutin dari pemberantasan sarang nyamuk dapat
dipadukan dengan penggunaan larvasida untuk wadah yang tidak dapat dikuras
isinya, tak dapat ditutup. Sebagai upaya pengendalian darurat dalam menekan
KLB/wabah, dilakukan program pemberantasan populasi Aedes aegypti dengan
cepat, menyeluruh dengan menggunakan insektisida dan menerapkan teknikteknik secara terpadu (Sukamto, 2007).

2.6 Penanggulangan KLB Chikungunya


Penanggulangan kejadian luar biasa (KLB) adalah upaya yang meliputi:
pengobatan/perawatan

penderita,

pemberantasan

vektor

penular

Chikungunya,

penyuluhan kepada masyarakat dan evaluasi/penilaian penanggulangan yang dilakukan


di seluruh wilayah yang terjadi KLB (Depkes, 2005).
Tujuan penanggulangan KLB adalah untuk membatasi penularan Chikungunya
sehingga KLB yang terjadi di suatu wilayah tidak meluas ke wilayah lainnya. Kegiatan
yang dilakukan bila terjadi KLB/wabah, dilakukan penyemprotan insektisida (2 siklus
dengan interval 1 minggu), PSN Chikungunya, larvasida, penyuluhan di seluruh wilayah
terjangkit dan kegiatan penanggulangan, penyelidikan KLB, pengumpulan dan
pemeriksaan spesimen serta kegiatan surveilans kasus dan vektor.
1. Pengobatan/perawatan penderita
Penderita Chikungunya yang berat dirawat di rumah sakit atau puskesmas yang
mempunyai fasilitas perawatan.
2. Pemberantasan vektor
a. Pengasapan (fogging/ULV) meliputi: 1) Pelaksana, dilakukan oleh petugas dinas
kesehatan kabupaten/kota, puskesmas dan tenaga lain yang telah dilatih; 2) Lokasi
meliputi seluruh daerah yang terjangkit; 3) Sasarannya adalah rumah dan tempattempat umum; 4) Insektisida, sesuai dengan dosis; 5) Menggunakan alat yaitu
25

mesin fog atau ULV; 6) Cara pengasapan/ULV dilaksanakan 2 siklus dengan


interval 1 minggu.
b. Pemberantasan sarang nyamuk Chikungunya meliputi: 1) Pelaksana, dilakukan
oleh masyarakat di lingkungan masing-masing; 2) Lokasi meliputi seluruh daerah
yang terjangkit dan wilayah sekitarnya dan merupakan satu kesatuan
epidemiologis; 3) Sasarannya adalah semua tempat potensial bagi perindukan
nyamuk; tempat penampungan air, barang bekas, lubang pohon/tiang pagar,
tempat minum burung dan sebagainya, di rumah/bangunan dan tempat umum; 4)
Dengan cara melakukan kegiatan 3M plus.
c. Larvasidasi meliputi: 1) Pelaksana, Tenaga dari masyarakat dengan bimbingan
petugas puskesmas/dinas kesehatan kabupaten/kota; 2) Lokasi meliputi seluruh
wilayah yang terjangkit; 3) Sasarannya adalah tempat penampungan air di rumah
dan tempat-tempat umum; 4) Larvasida sesuai dengan dosis; 5) Cara, larvasida
dilaksanakan di seluruh wilayah KLB.
3. Penyuluhan kesehatan masyarakat
Dinas kesehatan kabupaten/kota bersama puskesmas menyusun rencana
kegiatan

penyuluhan.

Pelaksanaannya

dikoordinasikan

oleh

Bupati/Walikota

setempat. Kegiatan penyuluhan kesehatan masyarakat (PKM) meliputi: 1) Pertemuan


dengan lintas sektor terkait (Departemen Pendididikan Nasional, Departemen Agama,
Pemerintah Daerah Propinsi, Kabupaten/Kota, Kecamatan, Keluarahan/Desa dan lainlain; 2) Penyuluhan melalui media elektronik (televisi, radio Pemda/swasta lokal,
bioskop, media cetak (surat kabar, pemasangan spanduk, poster, stiker); 3)
Penyuluhan dilaksanakan di sekolah (melalui guru UKS), tempat ibadah, tempat
pemukiman (melalui organisasi wanita PKK dan organisasi lainnya), pasar, tempattempat umum lainnya; 4) Penyuluhan melalui Ketua RT/RW misalnya dengan
membagikan leaflet kepada warga.
4. Penilaian penanggulangan KLB
Penilaian penanggulangan KLB meliputi: (a) Penilaian Operasional ditujukan
untuk mengetahui presentase (coverage) pemberantasan vektor dari jumlah yang
direncanakan. Penilaian ini dilakukan dengan melakukan kunjungan rumah secara
acak dan wilayah-wilayah yang direncanakan untuk pengasapan, larvasidasi dan
penyuluhan. Pada kunjungan tersebut dilakukan wawancara apakah rumah sudah
dilakukan pengasapan larvasidasi dan pemeriksaan jentik serta penyuluhan (b)
Penilaian Epidemiologi ditujukan untuk mengetahui dampak upaya penanggulangan
26

terhadap

jumlah

penderita

Chikungunya.

Penilaian

ini

dilakukan

dengan

membandingkan data kasus Chikungunya sebelum dan sesudah penanggulangan


Chikungunya. Data-data tersebut digambarkan dalam grafik per mingguan, 4
mingguan atau bulanan dan dibandingkan pula dengan keadaan tahun sebelumnya
pada periode yang sama.

Gambar 2.2 Faktor Risiko Kejadian Chikungunya


Sumber : Achmadi, 2010

Adapun Teori Simpul dari timbulnya kejadian Chikungunya sebagai berikut:


Gambar 2.3 Kerangka Teori
Sumber : Achmadi, 2010
Simpul-simpul dalam penelitian ini yang berhubungan dengan kejadian
Chikungunya adalah: a) Simpul 1 yaitu sumber penularan penyakit adalah orang yang
menderita Chikungunya; b) Simpul 2 yaitu media transmisi penyakit adalah lingkungan
rumah meliputi kerapatan dinding, kawat kasa pada ventilasi, langit-langit rumah, tempat
penampungan air, kelembaban dan nyamuk Aedes aegypti; c) Simpul 3 yaitu perilaku
27

meliputi pengetahuan, sikap dan tindakan; d) Simpul 4 yaitu kejadian penyakit atau gangguan
dari hasil hubungan interaktif manusia dengan lingkungan yang memiliki potensi bahaya
gangguan kesehatan manusia, yaitu sakit atau sehat (Achmadi, 2010).

28

BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Profil Komunitas Umum


Puskesmas Delanggu merupakan puskesmas terbesar di Kabupaten Klaten yang
bangunanya sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda. Adapun jenis pelayanan yang
ada di Puskesmas Delanggu meliputi balai pengobatan umum, balai pengobatan mata,
balai pengobatan gigi, pelayanan kesehatan ibu dan anak, pelayanan rawat inap,
pelayanan laboratorium, fisioterapi, juga tersedia fasilitas EKG, USG, dan pelayanan
dokter spesialis. Puskesmas Delanggu juga melakukan pelayanan luar gedung berupa
puskesmas pembantu (Pustu Segaran dan Dukuh), polindes di tiap desa, puskesmas
keliling, dan penyuluhan.
3.1.1 Data Geografis
Kecamatan Delanggu terletak di sebelah utara dari wilayah Kabupaten Klaten,
dipinggir jalan Raya Yogya Solo.

Gambar 1. Peta Kabupaten Klaten

29

Gambar 2. Peta Kecamatan Delanggu


Batas wilayah Kecamatan Delanggu :

Selatan
Timur
Utara
Barat

: Kecamatan Ceper
: Kecamatan Juwiring
: Kecamatan Wonosari
: Kecamatan Polanharjo

Luas Daerah :
No
1
2
3
4

Jenis
Sawah
Tanah Kering
Tanah Keperluan Fasilias Umum
Lain - lain
Jumlah

Luas ( Ha )
1.329,09
548,63
27
108
1.877,72

Jumlah Desa, Dusun, Rumah, KK, dan RT / RW sebagai berikut :

Jumlah Desa
Jumlah Dusun / Dukuh
Jumlah Rumah
Jumlah KK
Jumlah RT / RW

: 16
: 143
: 11.117
: 12.340
: 316 / 114
30

3.1.2 Data Demografik


1. Kependudukan
GolonganUmur per tahun
0 6 tahun
7-12 tahun
13-18 tahun
19-24 tahun
25-55 tahun
56-79 tahun
80 tahunkeatas

JumlahPenduduk
1449
3832
6403
7754
9246
9119
8222

Sumber : Data Sekunder Kecamatan Delanggu, Tahun 2012

2. Pendidikan
a. Sarana pendidikan
SD
SLTP
SLTA
Akademi / PT
b. Taraf Pendidikan
No
1
2
3
4
5
6
7

: 34
: 7
: 3
: -

Pendidikan
Butahuruf
Baca tulis / DO SD
Lulus SD
Lulus SLTP
Lulus SLTA
Lulus Akademi
Lulus PerguruanTinggi
Jumlah

Jumlah
52
568
13.848
13.382
12.589
2.938
1.275
44.652

Prosentase
0,001
0,012
0,301
0,291
0,274
0,064
0,028
1,031

Sumber : Data Sekunder Kecamatan Delanggu 2010

3. Pekerjaan
a. Buruh tani
b. Tani pemilik tanah
c. Pedagang
d. Buruh industri
e. Buruh bangunan
f. PNS / ABRI
g. Pensiunan
4. Agama
No
1
2
3
4
5

Agama
Islam
Kristen
Katholik
Hindu
Budha
Jumlah

: 2.311
: 3.189
: 1.732
: 3.133
: 1.475
: 1.108 / 304
: 1.729
Jumlah
42.605
2.071
31 1.175
23
151
46.025

Prosentase
92,53
4,53
2,56
0,04
0,33
100

Sumber : Data Sekunder Kecamatan Delanggu, Tahun 2012

3.1.3 Upaya Pelayanan Kesehatan


1.

KetenagaanPuskesmas
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
k.
l.
m.
n.
o.
p.
q.
r.

Dokter Umum
Dokter Gigi
Dokter Spesialis
Bidan
Bidan Desa
Perawat
Perawat Gigi
Sanitarian / PKL
Juru Imunisasi
Asisten Apoteker
Analis Kesehatan
Gizi
Fisioterapi
TU / Staf
Pengemudi
Sarjana Keperawatan
Sarjana Kemasyarakatan
Tenaga Kontrak

:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:

3
1
1
3
14
13
2
1
1
2
2
2
1
14
1
1
1
4
+

Jumlah
2.

:67 Orang

SaranaKesehatan
a. a. Puskesmas Induk
b. b. Puskesmas Pembantu
c. c. Polindes

:1
:2
:7

3.2 Hasil Pelaksanaan Kegiatan


Pada hari Rabu tanggal 7 Januari 2015, Puskesmas mendapatkan laporan dari
kader Desa Butuhan mengenai warganya yang terkena demam disertai gejala lemah
anggota gerak. Pada hari Kamis 8 Januari 2015 pukul 10.00-12.00 WIB diadakan
penyuluhan mengenai chikungunya di salah satu rumah kader di Desa Butuhan,
Kecamatan Delanggu yang dihadiri ibu lurah, ketua RT, kader Desa Butuhan, dan sekitar
30 warga. Dari penyuluhan tersebut didapatkan beberapa poin permasalahan serta
bagaimana pnyelesaian masalah tersebut, antara lain:
1 Bagaimana upaya untuk mendorong masyarakat agar dapat rutin dan bersama-sama
dapat melakukan penyegahan terhadap penyakit chikungunya?

32

Untuk memberantas penyakit chikungunya, tenaga medis maupun seluruh aspek


masyarakat ikut berperan. Semua keluarga harus diberi informasi tentang penyakit
chikungunya dan dimotivasi untuk melaksanakan pemberantasan nyamuk yang
membawa virus penyebab demam chikungunya, sehingga pemberantasan sarang
nyamuk dan pemeliharaan kebersihan lingkungan menjadi kebiasaan sehari hari bagi
tiap keluarga.
Kegiatan pokok yang dapat dilakukan untuk menggerakan peran serta masyarakat
dalam pemberantasan sarang nyamuk adalah:
a Kunjungan rumah secara berkala untuk memberikan penyuluhan secara langsung
kepada keluarga dan melakukan pemeriksaan jentik.
Informasi yang diberikan berkaitan tentang upaya pemberantasan nyamuk yang
meliputi:
1 Menguras tempat-tempat penampungan air sekurang kurangnya seminggu sekali
2 Menutupnya rapat-rapat atau menaburkan racun pembasmi jentik (abate) yang
3

disebut dengan istilah abatisasi


Mengubur atau menyingkirkan barang barang bekas dan sampah-sampah linya
yang dapat menampung air hujan sehingga dapat menjadi tempat berkembang

biaknya nyamuk. (Depkes. RI 1999)


Memberikan penyuluhan di pertemuan-pertemuan kelompok masyarakat seperti

arisan, pertemuan PKK, pengajian, dan penyuluhan di Posyandu.


Kerjabakti secara berkala untuk membersihkan lingkungan dan melaksanakan

pemberantasan sarang nyamuk. (Depkes. RI 1998)


Agar kegiatan penggerakan peran serta masyarakat dapat terlaksana secara
berkesinambungan, diperlukan penggerak dari tokoh masyarakat di desa yang
tergabung

dalam

kelompok

kerja

pemberantasan

sarang

nyamuk

yang

mengkordinasikan kegiatan-kegiatan tersebut diatas. (Depkes. RI 1995)


Banyak warga yang sudah membersihkan rumah, tapi mengapa masih ada yang
terserang chikungunya?
Karena penyakit chikungunya ditularkan oleh nyamuk yaitu Aedes aegypti maka
perlu pemberantasan secara tuntas dan serentak. Apabila masih ada yang terserang,
berarti tempat perkembangbiakan nyamuk masih ada, bisa jadi masih terdapat kaleng
bekas atau tempat genangan lain di kebun dan tempat di sekitar rumah yang belum
dibersihkan. Nyamuk Aedes aegypti selain suka berkembangbiak di bak mandi, juga
dapat berkembangbiak di drum dan barang barang yang memungkinkan air tergenang
seperti tempat minum burung, pot tanaman air, vas bunga, ban bekas, kaleng-kaleng
bekas, plastik bekas, tempurung kelapa dan selainnya yang dibuang sembarangan.

Apa yang harus dilakukan apabila merasa terkena penyakit chikungunya?


33

Konsultasikan terlebih dahulu ke dokter apakah gejala yang ada mengarah pada
penyakit chikungunya atau kemungkinan penyakit lain. Dokter akan memberikan
petunjuk apakah perlu pemeriksaan penunjang atau tidak. Dokter akan memberikan
penanganan, baik pemberian obat dan nasihat yang berupa motivasi untuk
mengkonsumsi makanan yang bergizi sebagai upaya meningkatkan imunitas tubuh,
serta istirahat yang cukup.
4

Ketika ada warga yang terdiagnosis menderita demam chikungunya, apakah lebih
baik segera dilakukan fogging (pengasapan)?
Pengasapan/penyemprotan racun serangga (fogging) juga dapat membunuh nyamuk,
tetapi jika jentik-jentiknya dibiarkan hidup, maka jentik itu akan menetas menjadi
menjadi nyamuk-nyamuk baru. Dengan demikian penyemprotan tidak dapat
memberantas nyamuk secara tuntas. Fogging merupakan salah satu cara
pemberantasan nyamuk, namun sebaiknya lebih ditekankan kepada seluruh
masyarakat untuk bersama-sama mengambil peran dalam pemberantasan nyamuk baik
memberantas nyamuk dewasa maupun telur dan jentik-jentiknya. Selain itu, fogging
juga memiliki beberapa efek samping seperti pencemaran air, tanah, udara,
terbunuhnya organisme non target, dan resiko bagi orang, hewan dan tumbuhan,
sehingga pelaksanaan fogging harus mempertimbangkan besar kecilnya antara
manfaat, keefektivan, efisian, dan efek samping maupun biaya yang dikeluarkan.

34

BAB IV
PENUTUP

4.1 KESIMPULAN
Chikunguya merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus dan ditularkan
melalui perantaraan nyamuk Aedes aegypti. Untuk memberantas penyakit
chikungunya, tenaga medis maupun seluruh aspek masyarakat ikut berperan.
Pemberantasan dilakukan secara tuntas dan serentak agar tidak ada sarang
perkembangbiakan

nyamuk

yang

tertinggal,

sehingga

setelah

dilakukan

pemberantasan diharapkan tidak ada lagi warga yang terkena chikunguya.


Apabila ada warga yang dicurigai terkena chikunguya konsultasikan terlebih
dahulu ke dokter apakah gejala yang ada mengarah pada penyakit chikungunya atau
kemungkinan penyakit lain. Dokter akan memberikan petunjuk apakah perlu
pemeriksaan penunjang atau tidak. Dokter akan memberikan penanganan, baik
pemberian obat dan nasihat yang berupa motivasi untuk mengkonsumsi makanan
yang bergizi sebagai upaya meningkatkan imunitas tubuh, serta istirahat yang cukup.
Hal-hal di atas telah dibahas dalam penyuluhan dan diharapkan meningkatnya
pengetahuan dan pemahaman masyarakat mengenai chikunguya

4.2 SARAN
Penulis berharap kepada masyarakat dan petugas kesehatan, melalui kegiatan ini
semakin meningkatnya peran serta masyarakat bekerjasama dengan petugas kesehatan
dalam pencegahan chikunguya dan meningkatnya pemahaman dan pengetahuan
masyarakat dalam membedakan demam chikunguya dan demam lain yang
diakibatkan oleh virus

35

DAFTAR PUSTAKA
Achmadi, U.F., 2010. Manajemen Penyakit Berbasis Wilayah, Jakarta: Universitas Indonesia
(UI-Press).
Aditama, T. A., 2009. Profil Pengendalian Penyakit & Penyehatan Lingkungan tahun 2008,
Diakses 24 Februari 2015: http://www.pppl.depkes.go.id/images_data/PROFIL
%20%20PP&PL%202008.pdf.
Anggraeni, D.S., 2010. Stop Demam Berdarah Dengue, Bogor: Bogor Publishing House.
Anies, 2006. Manajemen Berbasis Lingkungan Solusi Mencegah dan Menanggulangi
Penyakit Menular, Jakarta: Elex Media Komputindo.
Azwar, A., 1996. Pengantar Ilmu Kesehatan Lingkungan, Jakarta: Mutiara Sumber Widya.
Balitbangkes Depkes R.I., 2005. Kecenderungan Kejadian Luar Biasa Chikungunya di
Indonesia Tahun 2001-2003, Cermin Dunia Kedokteran,Volume, No 148, hlm
37-39.
Chahaya, I., 2003. Pemberantasan Vektor Demam Berdarah di Indonesia, Digitizied by USU
Digital
Library,
diakses
24
Februari
2015;
http://library.usu.ac.id/download/fkm/fkm-indra%20c5.pdf.
Darmadi, 2002. Hubungan Kondisi Fisik Rumah dan Lingkungan Sekitar Rumah serta
Praktik Pencegahan dengan Kejadian Malaria di Desa Buaran Kecamatan
Mayong Kabupaten Jepara, Semarang: FKM UNDIP.
Depkes R.I., 1998. Petunjuk Teknis Pemberantasan Nyamuk Penular DBD, Jakarta:
Direktorat Jenderal P2M & PL.
__________, 2001. Tata Laksana Chikungunya di Indonesia, Jakarta: Direktorat Jenderal
PPM & PLP.
__________, 2005. Pencegahan dan Pemberantasan Demam Berdarah Dengue di Indonesia,
Jakarta: Direktorat Jenderal PP & PL.
__________, 2007. Survai Entomologi Demam Berdarah Dengue, Jakarta: Direktorat
Jenderal PP & PL.
__________, 2007. Ekologi dan Aspek Perilaku Vektor, Jakarta: Direktorat Jenderal PP &
PL.

36

__________, 2007. Pedoman Pengendalian Penyakit Chikungunya, Jakarta: Direktorat


Jenderal PPM & PLP.
__________, 2007. Laporan Kasus Chikungunya, Subdit Arbovirosis, Jakarta: Direktorat
Jenderal PPM & PLP.
__________, 2008. Chikungunya Tidak Menyebabkan Kematian atau Kelumpuhan. Monday
28 April 2008, diakses 3 Maret 2015; http://www.depkes.go.id.
__________, 2009. Keputusan Menteri Kesehatan R.I. No. 929/Menkes/SK/VII/1999 tentang
Persyaratan Kesehatan Perumahan dan Lingkungan, Jakarta: Depkes R.I.
Dinkes Kesehatan Kabupaten Aceh Utara, 2011. Laporan Kasus Chikungunya Kabupaten
Aceh Utara Tahun 2011, Lhoksukon.
Dinkes Propinsi Aceh, 2010. Profil Kesehatan Propinsi Aceh Tahun 2009, Banda Aceh.
Dwimulya, D., 2009. Hubungan Pengetahuan, Sikap dan Tindakan Masyarakat terhadap
Kejadian Filariasis di Desa Pardamean Kecamatan Muara Batang Toru
Kabupaten Tapanuli Selatan, Skripsi, Medan: Universitas Sumatera Utara.
Eppy,

2010.
Demam
Chikungunya,
http://artikeldokteranfree.blogspot.com.

diakses

Maret

2015;

Harahap, L., 2012. Hubungan Pengetahuan, Sikap, Sarana dan Prasarana serta Dukungan
Petugas Kesehatan dengan Pencegahan Penyakit Chikungunya Menggunakan
Metode Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) oleh Kepala Keluarga di
Wilayah Kerja Puskesmas Nurussalam Kabupaten Aceh Timur, Tesis S2,
Medan: Universitas Sumatera Utara.
Junita, S., 2010. Hubungan Faktor Lingkungan Fisik Rumah Dengan Kejadian Penyakit
Malaria Di Desa Suka Karya Kecamatan Simeulue Timur Kabupaten Simeulue
Provinsi Aceh, Skripsi, Medan: Universitas Sumatera Utara.
Lestari, E.W., Sukowati S., Soekidjo dan Wigati, 2007. Vektor Malaria di Daerah Bukit
Menoreh, Purworejo, Jawa Tengah. Media Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan.
Machfoed, I., 2008. Menjaga Kesehatan Rumah dari Berbagai Penyakit Kesehatan
Lingkungan-Kesehatan Masyarakat Sanitasi Pedesaan dan Perkotaan, Jakarta:
Fitramaya.
Murti, B., 2003. Prinsip dan Metode Riset Epidemiologi, Edisi Kedua, Jilid Pertama,
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
37

Notoatmodjo, S., 2003. Ilmu Kesehatan Masyarakat, Cetakan Pertama, Jakarta: Rineka Cipta.
_____________., 2007. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku, Edisi Ketiga, Jakarta: Rineka
Cipta.
_____________., 2010. Ilmu Perilaku Kesehatan, Jakarta: Rineka Cipta.
_____________., 2012. Promosi Kesehatan dan Perilaku Kesehatan, Cetakan Pertama,
Jakarta: Rineka Cipta.
Nursalam, 2003. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan, Jakarta:
Salemba Medika.
Pulungan, E.S., 2012. Hubungan Sanitasi Lingkungan Perumahan dan Perilaku Masyarakat
dengan Kejadian Filariasis di Kampung Rakyat Kecamatan Labuhan Batu
Selatan, Skripsi, Medan: Universitas Sumatera Utara.
Puskesmas Nisam, 2012. Laporan Kasus Chikungunya Tahun 2012, Nisam.
Puskesmas Nisam, 2012. Profil Puskesmas Nisam Tahun 2012.
Riduwan, M., 2010. Skala Pengukuran Variabel-variabel Penelitian, Cetakan Ketujuh,
Bandung: Alfabeta.
Riyanto, A., 2009. Pengolahan dan Analisis Data Kesehatan (Dilengkapi Uji Validitas dan
Reliabilitas serta Aplikasi Program SPSS), Yogjakarta: Nuha Medika.
Roose, A., 2008. Hubungan Sosiodemografi dan Lingkungan dengan Kejadian Demam
Berdarah Dengue (DBD) di Kecamatan Bukit Raya Kota Pekanbaru, Tesis S2,
Medan: Universitas Sumatera Utara.
Rumatora, M., 2011. Faktor-Faktor yang berhubungan dengan Kasus Chikungunya pada
Kejadian Luar Biasa (KLB) di Dusun Mentubang Desa Harapan Mulia
Kabupaten Kayong Utara, Tesis S2, Depok: Universitas Indonesia.
Santoso, F., 2011. Analisis Faktor yang berhubungan dengan Kejadian Chikungunya Di
Wilayah Kerja Puskesmas Gunungpati Kota Semarang, Jurusan Ilmu Kesehatan
Masyarakat Fakultas Ilmu Keolahragaan, Semarang.
Sarudji, D., 2010. Kesehatan Lingkungan, Cetakan Pertama, Bandung: Karya Putra Darwati.
Sastroasmoro, S.; Ismael, S., 2011. Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis, Edisi IV,
Jakarta: Sagung Seto.
38

Soedarto, 2007. Kedokteran Tropis, Cetakan I, Surabaya: Airlangga University Press.


_______, 2009. Penyakit Menular di Indonesia, Cetakan I, Surabaya: Sagung Seto.
Soegijanto, S., 2004. Kumpulan Makalah Penyakit Tropis dan Infeksi di Indonesia, Jilid 1,
Surabaya: Airlangga University Press.
____________, 2006. Demam Berdarah Dengue, Surabaya: Airlangga University Press.
Sukamto, 2007. Studi Karakteristik Wilayah dengan Kejadian DBD di Kecamatan Cilacap
Selatan Kabupaten Cilacap, Tesis S2, Semarang: UNDIP.
Suroso, T., 2000. Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit Demam Dengue dan Demam
Berdarah Dengue, Jakarta.
________, 2003. Dasar-dasar Pemikiran dalam Pemberantasan DBD di Indonesia, Jakarta.
Sutanto, I., 2009. Parasitologi Kedokteran, Edisi Keempat, Jakarta: Universitas Indonesia.
Tarigan, Y.G., 2010. Hubungan Faktor Lingkungan Fisik dengan Kejadian Penyakit
Chikungunya di Desa Tanah Raja Kecamatan Sei Rampah Kabupaten Serdang
Bedagai, Skripsi, Medan: Universitas Sumatera Utara.
Undang-undang R.I. Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman, Jakarta:
Sekretariat Negara.
Wartubi, 2007. Hubungan Kondisi Fisik Lingkungan Rumah dengan Kejadian Cikungunya di
Puskesmas Jatibarang Kabupaten Indramayu, Skripsi: Universitas Diponegoro.
Wawan, A.,; Dewi M., 2011. Teori & Pengukuran Pengetahuan, Sikap dan Perilaku Manusia,
Cetakan II, Yogyakarta: Nuha Medika.
Widoyono,

2008. Penyakit Tropis Epidemiologi,


Pemberantasannya, Jakarta: Erlangga.

Penularan,

Pencegahan

dan

World Health Organization, 2005. Pencegahan, Pengendalian Dengue dan Demam Berdarah,
Terjemahan oleh Palupi Widyastuti, Jakarta: EGC.
Yatim, F., 2007. Macam-macam Penyakit Menular dan Cara Pencegahannya, Jilid 2, Edisi
Pertama, Jakarta: Pustaka Obor Populer.
Yuniati, 2012. Pengaruh Sanitasi Lingkungan Pemukiman terhadap Kejadian Demam
Berdarah Dengue (DBD) di Daerah Aliran Sungai Deli Kota Medan, Tesis S2,
Medan: Universitas Sumatera Utara.
39

40

You might also like