Professional Documents
Culture Documents
setelah
ketegangan
diistirahatkan.
Pada
masing-masing
postur,
Kesimpulan: Meja operasi yang lebih tinggi (setinggi processus xipoideus dan
puting susu dokter anestesi) dapat memberikan tampilan laring yang lebih baik
dengan sedikit ketidaknyamanan selama intubasi trakea.
Tinggi meja operasi dapat mempengaruhi kinerja tugas dan beban kerja
fisik/mental. Telah ada beberapa penelitian tentang hubungan antara tinggi meja
operasi dan kualitas tampilan laring selama intubasi laringoskopi. Dalam sebuah
editorial tentang tinggi dokter anestesi dan posisi pasien, Heath menyorot manfaat
penggunaan meja operasi yang dapat disesuaikan dan manfaat ergonomis dari
perbedaan
tinggi
badantinggi
selama
kanulasi
untuk
mencegah
METODE
Penelitian ini diterima oleh Institutional Review Board of Seoul National
University Bundang Hospital (IRB no. B-1003-096-012 dan terdaftar pada
clinicaltrials.gov (nomor registrasi NCT01649973
Populasi Penelitian
Total 160 pasien yang menjalani operasi elektif di bawah anestesi umum melalui
intubasi trakea dimasukkan dalam penelitian. Persetujuan tertulis diberikan oleh
masing-masing pasien setelah penjelasan yang lengkap dari surat perjanjian. Dua
puluh pasien (ASA I-III) dialokasikan kepada masing-masing dokter anestesi.
Masing-masing pasien dokter anestesi secara acak dibagi menjadi empat grup
menggunakan amplop yang disegelGrup U,R,X, dan N, dimana tinggi meja
operasinya diatur setinggi umbilicus, batas terbawah tulang iga, processus
xipoideus, dan puting susu, dari dokter anestesi. Empat penanda tubuh tersebut
dipilih karena itu merupakan rata-rata tinggi meja operasi yang paling sering
digunakan pada keadaan klinis dan mudah untuk dinilai. Pasien yang dieksklusi
dari penelitian: obesitas [Indeks Massa Tubuh (IMT) > 30], usia < 18 atau > 85
tahun, abnormalitas jalan napas kongenital atau didapat, gigi goyang atau rahang
edentulous, dan risiko aspirasi yang tinggi.
Prosedur Penelitian
Satu hari sebelum operasi, jalan napas dinilai oleh siswa anestesi yang tidak
mengetahui kelompok pasien. Penilaian jalan napas termasuk ukuran jarak interincisor, jarak thyromental, lingkar leher, klasifikasi Mallampati (Kelas 1, palatum
molle, tenggorokan, uvula, pilar faring terlihat; Kelas 2, palatum molle,
tenggorokan, dan uvula terlihat; Kelas 3, palatum molle dan dasar uvula terlihat;
Kelas 4, palatum molle tidak terlihat). Semua pasien dipuasakan selama > 8 jam
sebelum operasi.
Pasien dilakukan premedikasi dengan midazolam i.v (0,03 mg/kg) 10
menit sebelum anestesi dan diletakkan pada posisi telentang dengan bantal 6 cm
di bawah kepala mereka. Pengawasan rutin, termasuk ukuran tekanan arteri noninvasif, saturasi oksigen (Spo2) perifer, dan EKG. Tinggi meja operasi disesuaikan
untuk meletakkan dahi pasien setinggi salah satu dari empat penanda sebagaimana
yang ditentukan dengan penempatan kelompok pasien : tinggi umbilikus, batas
terbawah tulang iga, prosesus xipoideus dan puting susu dokter anestesi (Gambar.
1). Setelah pre-oksigenasi, anestesi diinduksi dengan propofol i.v (1,5 mg/kg) dan
alfentanil (0,01 mg/kg). Untuk relaksasi otot, diberikan rocuronium i.v (0,6
mg/kg), dan ventilasi manual dilakukan dengan peningkatan sevoflurance secara
bertahap sampai dengan 6-8 vol%. 2 menit setalah injeksi rocuronium, intubasi
trakea dilakukan dengan laringoskopi menggunakan blade Macintosh ukuran 3.
Hasil Pengukuran
Selama ventilasi sungkup, dokter anestesi langsung mengambil postur awal, yaitu
posisi berdiri biasa dengan pandangan pada sungkup atau pada pergerakan
dinding dada pasien.
Selama intubasi trakea, dokter anestesi memasukkan laringoskop ke dalam
mulut pasien dan menilai tingkatan tampilan laring pada postur awal. Pada postur
awal, tidak boleh ada perubahan dalam fleksi atau ekstensi leher, pinggang, lutut
dan siku dokter anestesi. Pergerakan lengan, tangan atau keduanya diperbolehkan
untuk membuka pintu laring. Tampilan laring dinilai kembali setelah dokter
anestesi diperbolehkan untuk menyesuaikan posturnya tanpa batasan dalam
pergerakan. Tampilan laring dinilai dengan menggunakan Kriteria Cormark dan
Lehane: Grade 1, visualisasi pita suara jelas; Grade 2, visualisasi bagian inferior
glotis; Grade 3, hanya visualisasi epiglotis; Grade 4, tidak ada visualisasi
epiglotis.
Seorang siswa anestesi yang tidak mengetahui rincian penelitian
mengambil gambar proses intubasi trakea baik dari bagian kiri maupun kanan
dokter anestesi. Perubahan postur dokter anestesi, seperti deviasi pergelangan
tangan, elevasi lengan, dan fleksi leher/pinggang selama ventilasi sungkup, dan
derajat elevasi lengan dan fleksi leher/pinggang/lutut selama intubasi trakea
Gambar. 1 Ilustrasi dari batas puting susu (A dan B) dan batas umbilicus (C dan D) tinggi meja
operasi selama ventilasi sungkup (A dan C) dan intubasi trakea (B dan D). Sudut yang dinilai dari
pengangkatan lengan, leher, pinggang, flexi lutut, dan deviasi pergelangan tangan ditandai dengan
garis putus-putus. Batas-batas dari penanda ditandai dengan garis titik-titik. N, puting susu; X,
processus xipoideus; R, batas terbawah tulang iga; U, umbilicus.
direkam dengan gambar oleh seorang asisten penelitian yang juga tidak
mengetahui rincian penelitian. Derajat fleksi sendi (sudut) diukur dengan
menggunakan sebuah busur derajat dari garis tegak terhadap aksis panjang lengan,
(jenis kelamin dan ukuran subjektif pengerahan tenaga dan fleksi sendi) atau uji
Kruskal-Wollis
(ASA,
kelas
Mallampati,
tampilan
laring,
dan
nilai
ketidaknyamanan).
Suatu nilai P < 0,05 dianggap signifikan secara statistik. Perbandingan
multipel nilai P dikoreksi dengan metode Bonferroni. Semua analisis statistik
ditampilkan menggunakan SPSS 18.0 untuk Windows.
HASIL
Delapan dokter anestesi bersertifikat (6 perempuan dan 2 laki-laki) dengan mean
umur 37 (5,6) tahun, BB 53,6 (8,5) kg, TB 161 (5,5) cm dan tidak ada penyakit
muskuloskeletal akut atau kronik atau nyeri yang berpartisipasi dalam penelitian
ini.
Kami pada awalnya mendaftarkan 208 pasien, 32 yang tidak setuju untuk
berpartisipasi dalam penelitian kami dan 16 yang tidak memenuhi syarat. Seratus
enam puluh pasien yang tersisa dimasukkan dan diacak selama penelitian. Seluruh
pasien melengkapi penelitian dan data mereka dianalisis secara statistik. Intubasi
trakea berhasil pada percobaan laringoskopi yang kedua pada 2, 1, dan 2 pasien
dalam grup R, X, dan N, dan mereka dimasukkan dalam analisis (Gambar. 2).
Karakteristik pasien dan status preanestesi jalan napas pasien sama
diantara 4 grup (Tabel 1 dan 2).
Selama ventilasi sungkup, derajat elevasi pergelangan tangan dan elevasi
lengan lebih tinggi tetapi sudut fleksi leher lebih rendah pada grup N
dibandingkan 3 grup lainnya (P<0,01, Tabel 3). Tidak ada satupun dokter anestesi
membungkukkan punggung mereka selama ventilasi sungkup. Frekuensi
penggunaan pergelangan tangan lebih tinggi pada grup N dibandingkan pada grup
U dan R (p< 0,001, Tabel 3).
Selama intubasi trakea, kualitas tampilan laring sebelum perubahan posisi
lebih baik pada grup N daripada grup U (p=0,003, Tabel 4).
Dialokasikan untuk
dokter anestesi #1,
Grup N (n=5)
- Menerima intervensi
(n=5)
- Tidak dilakukan
intervensi (n=5)
Dialokasikan untuk
dokter anestesi #1,
Grup X (n=5)
- Menerima intervensi
(n=5)
- Tidak dilakukan
intervensi (n=5)
...
Dianalisa (n=5)
- Eksklusi dari analisis
(n=0)
Dianalisa (n=5)
- Eksklusi dari analisis
(n=0)
...
Dianalisa (n=5)
- Eksklusi dari analisis
(n=0)
...
Dialokasikan untuk
dokter anestesi #8,
Grup U (n=5)
- Menerima intervensi
(n=5)
- Tidak dilakukan
intervensi (n=5)
Gambar. 2 CONSORT flowchart untuk efek dari 4 tinggi meja pada tampilan laring dan skor
ketidaknyamanan selama laringoskopi
Tabel 3. Skor ketidaknyamanan, dan nilai objektif sudut deviasi sendi atau fleksi
selama ventilasi sungkup. Data disajikan sebagai jumlah pasien atau mean (SD).
*P< 0,05 vs Grup U. P<0,05 vs grup R. P<0,05 vs grup X.
Grup
U (n=40) R (n=40) X (n=40)
N (n=40)
Pvalue
15 (6,2)
13 (8,9)
14 (7,0)
15 (5,4)
0,239
Gambaran laring setelah perubahan posisi tidak berbeda secara signifikan diantara
keempat grup (P=0,907, Tabel 4). Ini mungkin dikaitkan dengan kompensasi
terhadap tinggi meja melalui penyesuaian posisi oleh dokter anestesi, misalnya
fleksi sendi dan membungkuk.
Selama intubasi trakea, derajat fleksi leher dan pinggang lebih tinggi pada
grup U daripada grup N dan X (p<0,01, Tabel 5), sementara itu derajat elevasi
lengan lebih tinggi pada grup X dan N daripada grup U (p<0,01, Tabel 5).
Frekuensi fleksi leher atau pinggang lebih tinggi pada grup U dan R daripada grup
N dan X (p<0,01, Tabel 5), sementara itu frekuensi pengerahan tenaga
pergelangan tangan dan lengan lebih tinggi pada grup N daripada grup U dan R
(p<0,001, Tabel 5).
Tabel 5. Subjektif pengerahan tenaga atau flexi dari sendi dan objektif diukur
sudut dari fleksi sendi selama intubasi trakea. Data disajikan sebagai jumlah
pasien atau mean (SD).*P<0,01 vs Grup U. P<0,01 vs grup R. P<0,01 vs grup X.
LB, pinggang; S, subjek; O, objek
Grup
U (n=40) R (n=40) X (n=40)
N (n=40)
P-value
Sudut (O)
69 (17)
63 (11)
54 (13)*
36 (15)
<0,01
Fleksi pinggang (S) 14
5
0*
0*
<0,0001
Sudut (O)
42 (12)
35 (13)
22 (7)
8 (6)
<0,01
Fleksi lutut (S)
5
4
2
0
0,1
Sudut (O)
18 (13)
15 (13)
5 (8)
1 (3)
<0,01
rendah (Grup U dan R) (P<0,001, Tabel 3). Skor ketidaknyamanan dokter anestesi
selama intubasi trakea lebih tinggi pada posisi yang lebih rendah daripada posisi
yang lebih tinggi (P=0,01, Tabel 5). Pada 11 kasus grup N, dokter anestesi
membuat skor ketidaknyamanan 2, dan lima dari mereka mengalami
ketidaknyamanan selama memasukkan bilah laringoskop ke dalam mulut,
pemanjangan leher pasien, atau keduanya. Satu dari 11 kasu ini membutuhkan
untuk berjinjit.
Jumlah percobaan dan lamanya intubasi trakea sama diantara keempat
grup (P>0,05, Tabel 4). Tidak ada satupun pasien yang membutuhkan jalan napas
oral untuk ventilasi sungkup yang adekuat.
PEMBAHASAN
Dalam penelitian yang ada, kualitas gambaran laring bertambah baik dan dokter
anestesi merasa sedikit ketidaknyamanan selama intubasi trakea dengan tinggi
meja yang lebih tinggi (posisi xipoideus dan puting susu) yang mana mendukung
hipotesis kami.
Hasil penelitian kami memiliki beberapa keterbatasan. Pertama, penelitian
ini tidak mungkin untuk merahasiakan dokter anestesi terhadap tinggi meja.
Kedua, penilaian objektif ketegangan otot, seperti elektromiografi biseps atau
trapezius, dan pengukuran orientasi 3 dimensi tidak dilakukan. Ketiga, pada
dokter ahli anestesi yang lebih gemuk, umbilikus dan batas terbawah tulang iga
mempunyai hubungan vertikal satu dengan yang lain tidak jelas. Rata-rata tinggi
puting susu berbeda tergantung ukuran payudara. Keempat, tampilan laring tidak
didapatkan menggunakan suatu endoskopi sehingga dapat dinilai oleh peniliti
yang lain. Kelima, kepala pasien dan posisi leher selama laringoskopi tidak
dikontrol dan dipantau. Akhirnya, penelitian dapat menjadi alternatif yang telah
dirancang untuk memiliki subjek perbandingan laringoskopi yang mana mungkin
lebih berat daripada pasien yang dilaringoskopi sekarang
Hal ini telah dilaporkan bahwa beban kerja dokter anestesi paling tinggi
ketika mereka melakukan intubasi selama induksi anestesi, dan seorang dokter
anestesi yang lelah berakibat pada menurunnya kinerja, khususnya selama tugas
pengawasan dengan durasi yang lama. Oleh sebab itu, upaya untuk menurunkan
ketidaknyamanan pada saat ini penting untuk mengurangi beban kerja dokter
anestesi dan meningkatkan keamanan pasien.
Menurut prinsip ergonomis (ilmu yang mempelajari faktor-faktor
manusia), desain ruang kerja seharusnya berdasarkan pada ketidaknyamanan
yang minimal dan kinerja maksimal karena cadangan manusia dapat
mengkompensasi rancangan yang buruk tanpa menurunkan kinerja. Hasil dari
penelitian sekarang berhubungan baik dengan hal ini. Dengan 4 tinggi meja yang
berbeda, tampilan laring setelah perubahan postur tidak berbeda dan ini berarti
kompensasi rancangan yang buruk tanpa penurunan kinerja. Sehingga hal ini
penting untuk menempatkan meja operasi untuk meminimalkan ketidaknyamanan
dan memaksimalkan kinerja selama intubasi trakea.
Umumnya, bekerja dengan tinggi rata-rata dari 10 cm di bawah sampai 5
cm di atas siku disarankan untuk pekerja yang melakukan pekerjaan dengan
ketelitian, ringan, atau berat. Tinggi siku dapat berada di antara processus
xiphoideus dan batas terbawah tulang iga, yang mana hampir sama dengan tinggi
yang disarankan penulis sebagai suatu tinggi yang ideal untuk intubasi trakea
dalam penelitian ini. Hasil penelitian ini menyarankan bahwa muka pasien
sebaiknya diletakkan pada mid-abdomen dokter anestesi selama ventilasi sungkup
dan pada processus xiphoideus selama laringoskopi, sehingga kualitas tampilan
laring dapat meningkat dengan meja operasi yang lebih tinggi, dan intubasi trakea
dapat dilakukan dengan sedikit ketidaknyamanan pada tinggi meja operasi yang
lebih tinggi (posisi processus xiphoideus dan puting susu). Alternatifnya, posisi
head-up, yang mana sekarang popular pada kedua subjek obesitas dan kehamilan,
dapat membantu untuk meningkatkan kualitas tampilan laring.