Professional Documents
Culture Documents
Terbit di Indonesia:
September 1982
Chapter 1
BUKTI PALSU
Chapter 2
TAK PUNYA ALIBI
"Lain kali, kalau aku hendak loncat indah, aku harus melihat
dulu, ada airnya atau tidak," Joe menggerutu. "Untung tidak cedera,
hanya benjol sedikit di kepala."
Frank mengarahkan cahaya senternya ke depan. Mereka
melihat, ternyata mereka berada di dalam sebuah terowongan sempit,
tapi tak seberapa panjang, lantainya miring ke atas.
"Barangkali ada pintu di depan itu," katanya. "Mari kita lihat."
Ia mendahului sambil berjalan membungkuk, karena langit-langit
semakin rendah. Tetapi setelah diselidiki, di depan hanya ada dinding
yang menghalang.
"Jalan terakhir bagi kita," kata Frank. "Kita berada di dalam
terowongan buntu!"
Joe meraba-raba langit-langit yang rendah itu. Tiba-tiba jarijarinya meraba sebuah gerendel, yang masuk ke dalam kaitannya
dengan kuat.
"Nanti dulu," katanya. "Ini mungkin jalan keluar." Dengan
sekuat tenaga ia menarik gerendel dari kaitannya, lalu mendorong
keatas. Sebagian dari langit-langit itu menguak terbuka ke atas,
memasukkan cahaya dari luar. Mereka menjadi silau dan terpaksa
mengedip-ngedipkan mata, setelah sekian lama ada di dalam
kegelapan. Mereka memanjat ke atas, dan tiba di semak-semak sisi
rumah, dekat dengan jalan masuk.
Joe menurunkan pintu, kembali menutup lubang. Kini tempat
itu menjadi samar, tak kentara dalam semak-semak.
"Suatu cara yang bagus untuk menyembunyikan jalan rahasia,"
kata Frank. "He! Apa ini?" Kakinya tersandung sesuatu di semaksemak. Ia membungkuk, dan memungut sebuah pisau lipat yang
tangkainya berwarna kuning. Salah satu sisinya bertuliskan huruf I.N.
"Singkatan nama pemiliknya?" kata Frank dengan gairah,
sambil menunjukkan kepada adiknya. "Mari kita selidiki, apakah
cocok dengan nama salah seorang penghuni rumah."
Chapter 3
JERITAN MINTA TOLONG
"Ya. Kedua sidik ini berasal dari dua orang yang berbeda,"
Frank mengiakan. "Aku heran, sidik siapa yang satu ini?"
"Mari kita lihat, apakah kami mempunyai arsip dari sidik ini,"
kata pak Collig. Ia menuju ke sebuah almari, lalu membalik-balik
berkas-berkas sidik jari. Beberapa saat kemudian ia menggeleng. "Tak
ada di sini. Ia belum dikenal di kalangan kriminal dari daerah ini. Aku
akan mengirimkannya ke FBI di Washington. Barangkali mereka
dapat menyidiknya bagi kalian."
Pak Collig mengatakan, bahwa ia akan melihat sendiri perkara
pencurian itu di rumah Wester. Kakak beradik itu lalu pulang. Hati
mereka lega atas bantuan pak kepala polisi.
Ayah mereka, seorang pensiunan anggota Kepolisian Kota New
York, kini telah menjadi detektif swasta. Ia baru saja pulang beberapa
menit yang lalu.
"Aku tahu Key Blanco," katanya, setelah mendengar cerita
anak-anaknya. "Sebuah pusat penyelundupan di Teluk Meksiko dan
Laut Karibia. Tentang Frank dan Joe Hardy dikatakan sebagai
penjahat, ini hal yang baru di keluarga kita!" Ia tertawa berderai.
Bu Hardy mengernyitkan alis tanda khawatir. "Kukira, perkara
ini sangat berbahaya," katanya dengan resah.
Bibi Gertrude mendengus. "Laura, hal demikian ini selalu saja
terjadi," katanya. "Frank dan Joe memang pandai mencari bahaya di
mana-mana. Bahkan di rumah seorang pemilik bank yang terhormat!"
"Mungkin Wester itu sendiri penjahatnya," kata Joe sambil
tersenyum. "Ia mencuri lukisannya sendiri!"
Bibi Gertrude menggelengkan kepala sambil memberengut.
Kemudian lalu tersenyum. "Sebelum kalian mengambil kesimpulan
yang bukan-bukan lagi, aku punya sepotong kue coklat untuk kalian."
Biarpun sifatnya keras, ia sebenarnya menyayangi kedua
kemenakannya itu. Ia senang memanjakan mereka dengan
kepandaiannya memasak.
Chapter 4
UMPAN BUAYA
itu disusul oleh suara letusan-letusan yang lain, karena hanya suara
knalpot.
Frank tersenyum. "Itu tentu Chet dengan mobil tuanya!"
Chet Morton adalah teman akrab mereka, seorang pemuda yang
gemuk bulat, tinggal pada suatu pertanian di luar kota Bayport. Ia juga
sering mengikuti kakak beradik itu dalam penyelidikan-penyelidikan
mereka. Meskipun ia menilai makanan di atas segala-galanya, namun
kedua temannya tahu, bahwa ia tak pernah meninggalkan mereka bila
menghadapi bahaya. Joe menuju ke jendela dan melihat keluar.
Sebuah mobil tua memasuki jalan masuk ke halaman. Setiap putaran
rodanya disertai ledakan dari knalpot. Chet mengendarainya seperti
seorang koboi sedang menunggang kuda binal. Wajahnya yang
berjerawat menunjukkan ketegangan ketika ia menghentikan
kendaraannya di depan rumah.
Melihat ada teman yang duduk di samping Chet, Joe berkata
pada kakaknya: "Biff bersama dengan dia!
Biff Hooper merupakan bintang lapangan di SMA Bayport. Ia
juga biasa menggunakan tinjunya jika Frank dan Joe membutuhkan
bantuan bila menghadapi keadaan yang panas. Ia pun sering pula
menyertai mereka dalam beberapa penyelidikan.
Biff melompat turun, dan berjalan dengan kedua tangannya
memegangi pinggangnya, serta berpura-pura pincang. Melihat Joe
keluar dari pintu, ia mengeluh: "Bawalah aku ke dokter! Tempurung
lututku lepas, naik tumpukan besi tua ini!"
"Naik saja lagi!" Joe membanyol. "Nanti Tempurung lututmu
akan melompat sendiri kembali ke asalnya!"
Chet kesulitan untuk melepaskan tubuhnya dari bawah batang
kemudi. "Teruskan mengigau!" katanya kepada kedua temannya.
"Ini mobil yang tercepat di Bayport. Aku dapat menembus
dinding suara dengan mobil ini!"
Chapter 5
PENGHADANGAN
Chapter 6
PETUNJUK MENGEJUTKAN
Chapter 7
BAYANGAN MENGINTIP DI MALAM HARI
maka dengan bersemangat mereka menyerbu ayam goreng dan kuekue yang tersedia.
"Aku usul," kata pak Wester, "Kalian mulai saja
penyelidikannya di Kota Blanco, mungkin akan mendapatkan
petunjuk petunjuk di sana."
"Itu ide yang baik," kata Frank.
"Kalian tentu lebih tahu tentang pekerjaan detektif daripada
aku," sambung pak Wester. "Nah, anggaplah rumah ini sebagai
markas kalian. Di almari es itu selalu ada makanan kecil. Kalian juga
boleh menggunakan kaset stereo di kamar tengah kalau ingin."
Ia berdiri dari meja, lalu terpincang-pincang masuk ke kamar
kerjanya. Keempat pemuda itu menuju ke kamar tengah,
mendengarkan musik country sampai ngantuk. Kemudian mereka
masuk ke kamar tidur masing-masing.
Di tengah malam, Frank tiba-tiba terbangun, mendengar
langkah-langkah orang di kamar besar.
Sebuah bayangan mengendap-endap menuju ke tangga!
"Akan kulihat, apa yang hendak dilakukan orang itu," pikir
Frank. "Tentunya pencuri!"
Dengan diam-diam ia mengikutinya. Bayangan itu turun dan
masuk ke kamar tengah.
"Barangkali ia hendak mencuri lukisan-lukisan yang ada di
dinding," pikir Frank. Tetapi bayangan itu terus menuju ke dapur,
melalui kamar makan! "Jangan-jangan ia telah berhasil mencuri!"
pikir Frank. "Ia tentu akan melarikan diri melalui pintu belakang. Aku
harus mencegatnya!"
Dalam sekejap, detektif muda itu melesat ke pintu belakang,
lalu menguncinya. Bayangan yang mencurigakan itu kini berdiri di
dekat almari es!
"Chet" seru Frank.
Orang itu berbalik sejenak, lalu lari keluar dari pintu sambil
membantingnya hingga tertutup kembali.
"Mark Morphy!" seru Frank tertahan.
Chapter 8
PENYAMARAN YANG CERDIK
Chapter 9
TUGAS PENUH BAHAYA
kaulakukan," ia mengulang. "Engkau hendak membawa barangbarang ini ke Key Largo? Kalau begitu, aku minta bagianku! Akan
kukatakan ." Sisa kalimat itu hanya terdengar menggumam, tak
dapat ditangkap maksudnya.
Frank menghela napas lega. "Ia hanya mengigau," pikirnya.
"Huhh! Hampir copot jantungku!"
Masih sedikit gemetar, ia kembali menghadapi almari besi,
mencoba-coba berbagai kombinasi. Akhirnya ketemu juga, dengan
sangat hati-hati, sesenti demi sesenti ia membuka pintu, lalu mengintip
ke dalam.
Almari besi itu kosong!
Chapter 10
KAKEK AHLI KIMIA
"Baik," kata Frank. "Joe dan aku akan pergi. Berusaha untuk
menemukan sesuatu. Jika mereka kembali, katakan saja bahwa kami
sedang ke hutan mencari buah kelapa. Oke?"
"Oke!" kata Junior. "Kalau kalian dapat melepaskan aku dengan
selamat, aku tak mau lagi melakukan hal-hal yang melanggar hukum."
Joe tersenyum. "Kami akan mengusahakan hal itu."
Beberapa saat kemudian, kakak beradik itu menerobos semaksemak. Mereka mengikuti jejak dari ranting-ranting patah dan telapak
kaki, yang rupanya bekas dilewati oleh para penyelundup. Jalanan itu
menanjak, dan tak lama kemudian kedua pemuda itu berada di puncak
sebuah bukit.
"Itu dia, pohon palem itu," kata Joe menunjuk "tetapi aku tak
melihat empang."
"Hanya ada satu yang dapat kita lakukan," kata Frank. Ia
melepaskan jaket dan sepatunya, lalu memanjat pohon palem. Kaki
dan tangannya bekerja keras, sampai ia dapat berpegangan pada
pelepah-pelepah daun. Ia lalu melihat ke sekeliling
"Itu dia, di sana," katanya. "Ada sebuah gudang di sisi lainnya.
Barangkali itulah tempat yang kita cari."
Ia merosot turun, lalu mengenakan sepatu dan jaketnya kembali.
Mereka menuju ke empang, mengitarinya, lalu berhenti di rumpun
semak-semak. Dari celah-celahnya, mereka dapat melihat sebuah
gedung bertingkat. Asap hitam yang tebal mengepul dari
cerobongnya.
"Ada orang di dalamnya," kata Frank perlahan-lahan.
Mereka menyelinap di semak-semak, hingga sampai di samping
sebuah jendela yang terbuka. Dengan hati-hati mereka mengintip ke
dalam.
Yang mereka lihat pertama kali sebuah tungku berapi yang ada
ditengah-tengah ruangan. Uap api mendesis keluar dari katup-
katupnya. Logam cair meleleh ke dalam saluran besi tuang, dan dari
sana mengalir lagi ke dalam periuk besi tuang.
Sebuah tong berisi bongkahan-bongkahan timah hitam berdiri
pada satu sisi dari tungku. Sebuah lagi berisi ampas bijih ada di sisi
lainnya. Gayung, sendok besar dan tang-tang berserakan di lantai. Di
dinding tergantung-sebuah daftar tanda-tanda ilmu perbintangan, dan
di sampingnya sebuah gambar tata-surya, yaitu planet-planet yang
beredar di sekeliling matahari. Di hadapan gambar matahari tertulis
EMAS dalam huruf besar-besar.
"Aku hampir tak percaya!" bisik Joe. "Seperti laboratorium
seorang sarjana yang sinting!"
Seorang tua berdiri di samping meja, memegangi sebuah
percobaan berisi cairan keemasan berasap putih.
Dengan tangan yang satunya ia menarik-narik janggutnya yang
panjang putih. Ia mengenakan jubah keemasan, bertotol-totol bintang
hitam, dan sebuah topi tinggi yang runcing.
"Emas, keluarlah engkau!" kakek itu bergumam, sambil
memandangi tabung percobaannya. "Seorang ahli kimia!" Frank
mengguman.
Kakek itu meletakkan tabungnya di sebuah rak, berjalan ke
tungku, lalu mengambil sebuah pengaduk. Sambil bergumam ia
memandangi logam cair yang meleleh ke dalam periuk, dan pengaduk
itu lalu di masukkan ke dalam sakunya!
Seorang yang lebih muda dan berpakaian biasa masuk dari
ruang belakang. "Profesor Viga, Nitron dan teman-temannya
menunggu di hutan, di luar sana."
"Katakan, agar mereka masuk ke kamar belakang, Myer! Kita
dapat berbicara di sana," jawab ahli kimia itu. Kedua orang itu
meninggalkan laboratorium dan menutup pintu. Keheningan
menyelubungi ruangan itu, hanya suara gemeritiknya tungku.
Chapter 11
SEBUAH PUSAKA
Mendengar bergedobraknya tangga jatuh, Nitron dan pengikutpengikutnya lari bergerombol ke pinggir loteng. Mereka berteriakteriak sangat marah, sambil mengacung-acungkan tinju ke bawah.
Viga memperhatikan pengejaran itu dengan diam tak bersuara.
Lalu ia bertanya: "Ada apa ini semua?"
"Mereka adalah penyelundup-penyelundup!" Frank mendesis,
sambil berlari keluar dari rumah. "Mereka penjahat-penjahat!" Ini
kalung anda. Jangan diberikan lagi kepada mereka!" Ia mengacungkan
kota permata itu kepada kakek yang hanya kebingungan! Kemudian ia
berlari lagi, diikuti oleh adiknya.
Viga mengikuti dari belakang. "Tunggu!" teriaknya.
"Maksudmu, semua alkhemiku ini tak ada gunanya sama sekali?"
"Betul," kata Frank, sambil menarik lengannya "Mari! Anda
harus melaporkan ini semua kepada polisi! Gumpalan emas itu
diletakkan dengan sengaja oleh Myer. Kami melihatnya sendiri. Ia
hanya berpura-pura menemukannya dari dalam tong!"
Viga tertegun. "Pembantuku? Ia termasuk komplotan itu?"
"Betul," Frank memastikan. Ia menarik profesor itu besertanya,
sementara mereka berlari cepat ke arah perahu. Celakanya, pak Viga
justru menghambat mereka. Pengaduk yang ada di sakunya berat.
Demikian pula ujung jubahnya harus selalu dipeganginya, agar tidak
menyerimpat jalannya. Topinya yang runcing kerap pula merosot
menutup matanya, sehingga sewaktu-waktu harus pula didorong ke
belakang.
Ketika mereka sampai di puncak bukit, pak Viga sudah
tersengal-sengal kepayahan.
"Tahanlah, profesor," Joe memberi semangat. "kita sudah
hampir sampai."
"Penyelundup-penyelundup itu tentu sudah dapat turun
sekarang," kata Frank. "Aku yakin, mereka tentu sudah semakin dekat
mengejar kita."
Tak lama kemudian semua penyelundup itu telah terikat erat tangan
masing-masing di punggungnya.
Nitron yang pertama-tama sadarkan diri. Frank dan Joe
menyuruh naik ke geladak dan duduk di sana. Seorang demi seorang
yang lain menyusul. "Kita bawa mereka langsung ke kantor polisi,"
kata Frank.
Ia menghidupkan mesin, dan mengemudikan perahu itu ke
tengah, ke perairan bebas. Di perjalanan menuju ke pantai, sebuah
kapal patroli polisi melintas di haluan. Seorang perwira memberi
perintah dengan pengeras suara, agar mereka berhenti. Frank
mengangguk mengerti, lalu menghentikan perahunya.
Kapal patroli mendekat ke samping, dan seorang letnan polisi
melompat ke geladak perahu mereka. Melihat orang-orang yang
terikat di geladak, ia bertanya: "lho! Apa yang terjadi di sini?"
"Itulah Ignas Nitron dengan komplotan penyelundupnya,"
jawab Frank. "Kita menangkap mereka, ketika sedang memeras
profesor Viga."
"Apa?" tanya letnan dengan mata terbelalak. Frank lalu
menceriterakan secara terperinci tentang tugas mereka.
"Kalian telah bekerja dengan gemilang!" kata letnan itu pada
akhirnya. "Kami sendiri telah lama berusaha menangkap penjahatpenjahat ini. Sekarang, atas jerih payah kalian, akhirnya mereka jatuh
ke tangan kita juga!"
Chapter 12
PETUALANGAN DI EVERGLADES
itu, yang nampak hanya rawa-rawa, di sana sini diseling oleh sungaisungai kecil yang dangkal.
Sungai-sungai itu sering bertemu menjadi satu, tetapi tak berapa
jauh mereka berpisah lagi. Berhektar-hektar rumput liar tumbuh di
lumpur, setinggi dua meter atau lebih.
Burung bangau dan burung-burung lainnya beterbangan ketika
mereka lewat. Di sana sini muncul kepala ikan di permukaan, dan
ular-ular merayap lewat tanpa bersuara. Buaya berseliweran dengan
moncongnya yang runcing hampir tak nampak.
"Waduh! Ini seperti di ujung dunia saja!" Joe mengeluh.
"Bagaimana kita dapat menemukan petunjuk-petunjuk di tempat
begini? Hanya rawa belantara tanpa penghuni!"
Untuk pertama semenjak awal penyelidikan, Frank mulai raguragu. Seperti hilang harapan, ia memandang ke sana kemari, mencaricari yang dia sendiri tidak jelas apa yang dicari. "Aku betul-betul tak
mengerti!" katanya.
Chapter 13
ULAR BERBISA
Chapter 14
PERKEMAHAN PEMBURU GELAP
ia menjadi bersungguh-sungguh lagi. "Kita harus puas dengan buahbuahan hutan," sambungnya lagi. "Mari kita cari."
Dengan diam-diam mereka mundur di antara pohon-pohonan.
Setelah merasa pasti, bahwa para pemburu tak lagi dapat mendengar
mereka, mereka lalu memetik buah-buahan hutan untuk sarapan.
Pada waktu mereka merangkak-rangkak kembali ke
persembunyian, malam mulai turun. Api unggun itu membuat
bayangan-bayangan yang mengerikan di sekitarnya, dan lidah-lidah
api dipantulkan oleh permukaan air sungai Moss Tributary.
Para pemburu juga telah selesai makan, dan kini sedang
membersihkan senapan-senapan mereka.
"Kalau sudah selesai menembak, kulit-kulit buaya itu kita bawa
kemari. Kita tumpuk saja di dalam perahu. Kukira dapat memuat
beberapa lusin," kata Tom.
"Akur," kata Fatso. "Peti mesiu itu menjamin persediaan peluru
yang kita butuhkan."
Frank menyikut adiknya. "Kita dapat merusakkan rencana
mereka, jika dapat mencuri peti itu," bisiknya.
Joe balas membisik: "Jika mereka tidur nanti, barangkali kita
mendapat kesempatan."
Fatso berdiri. "Aku akan mencari kayu api," katanya. Ia berjalan
tepat ke arah persembunyian kedua pemuda! Kakak beradik itu
membenamkan lebih dalam lagi ke bawah semak-semak di bawah
akar-akar bakau. Hati mereka cemas, memikirkan bagaimana tindakan
mereka jika kepergok.
Tetapi, pada saat terakhir, orang itu balik kembali lalu menuju
ke arah lain. Rupanya ia melihat seonggok ranting-ranting kering di
bawah sebatang pohon. Setelah dapat mengumpulkan setumpuk, ia
kembali ke api, dan menjatuhkan tumpukan ranting itu ke dalam api
unggun. Api segera membesar terang di kegelapan malam.
"Aku heran, di mana gerangan kedua anak Hardy itu," kata Tom
Lami tiba-tiba.
Dengan terkejut kedua pemuda itu memasang telinga tajamtajam untuk mendengar jawaban.
Fatso melempar lagi sebatang kayu ke dalam api "Kita tak
melihat mereka sejak di hotel Bayport itu. Mereka tentu sudah takut,
lalu melepaskan diri dari perkara itu."
Lami nampak ragu-ragu. "Kalau begitu, siapa itu dua pemuda
yang menyerang kita di sebuah gang dari kota Homestead itu? Waktu
itu terlalu gelap untuk melihat. Tetapi mereka itu mungkin sekali
Frank dan Joe!"
"Barangkali. Tetapi mengapa kita tak melihat mereka di
pesawat?" Fatso mendebat. "Kedua pemuda yang membuntuti kita itu
tentu anak-anak yang suka mencari gara-gara saja. Kukira, mereka
juga hanya menceloteh sekenanya saja, ketika menyebutkan pemburupemburu gelap."
"Bagaimana pun, aku tetap akan merasa lebih aman, jika kita
dapat menangkap mereka," kata Lami.
"Begitu pula pikiranku," Fatso menyetujui. "Tetapi mereka
dapat melarikan diri dengan sangat cepat!"
"Mana itu, Nitron dan Morphy," tanya seseorang.
"Nitron masih saja berusaha untuk keluar dari Key Blanco,"
jawab Tom. "Mengenai Morphy, aku tak tahu di mana dia. Ia telah
pergi dengan lukisan itu, ketika ia harus menghadap boss."
"Aku sebetulnya ingin tahu, siapa boss kita itu," kata Fatso.
Tom mengangkat bahu. "Tak seorang pun yang tahu. Ia hanya
selalu meninggalkan perintah tertulis di sebuah rumah batu di dekatdekat sini. Begitulah aku dan Nitron menerima perintah. Tetapi kami
belum pernah berjumpa dengan dia."
Frank dan Joe mendengarkan dengan menahan napas. Ruparupanya baik para penyelundup maupun para pemburu mempunyai
boss yang sama. Tetapi para pemburu itu belum tahu, bahwa Nitron
beserta anak buahnya telah ditahan di penjara Egret Island. Kini
sebagai langkah berikut bagi kedua detektif muda itu ialah
menemukan rumah batu yang disebutkan Tom Lami.
"Mari kita tidur!" kata salah seorang. "Kita menghadapi hari
yang berat besok!"
"Betul!" kata seorang lain. "Aku juga sangat lelah."
Gerombolan itu merebahkan diri di tanah, dan bersiap-siap
untuk tidur di sekeliling api unggun. Lami menyuruh tiga orang
berganti-ganti menjaga. Orang yang mendapat giliran pertama, duduk
bersandar pada sebatang pohon, sambil memegangi senapannya
melintang di kedua lututnya. Tak lama kemudian keadaan menjadi
sunyi.
Frank dan Joe berbisik-bisik, merundingkan apa yang akan
mereka lakukan.
"Kita lepaskan saja perahu mereka, biar hanyut ke hilir," usul
Joe.
Frank menggeleng. "Nanti hanya akan terdampar di lumpur.
Mudah mereka temukan kembali. Lebih baik kita buang peti mesiu itu
ke dalam sungai. Tetapi hal itu tidak mungkin, selama penjaga
bersenapan itu masih bangun."
Suara gemerisik di daun-daunan terdengar. Penjaga itu bangkit
hendak memeriksanya. Tiba-tiba lengkingan mengerikan dari cabangcabang, dan penjaga terkejut hingga senapannya terlepas dari
tangannya!
Seekor kucing hutan melompat turun ke tanah, menjerit lagi,
lalu lari entah ke mana. Sambil menggerutu memarahi diri sendiri,
penjaga itu memungut senapannya. Ia kembali ke tempatnya semula.
Chapter 25
BADAI
menulis: "Joe, ikuti jalan setapak hingga ujungnya di utara. Boss ada
di sana!"
pesan itu diletakkan di haluan, ditindih dengan pendayung agar
tak terbang terbawa angin. Setelah itu ia kembali ke tempat dua orang
tadi.
Sementara itu Butch masuk ke perahu birunya. Morphy telah
melewati api unggun, dan berjalan ke arah utara.
Frank memutar menjauhi perkemahan agar jangan terlihat oleh
Butch. Ia berusaha meninggalkan petunjuk-petunjuk yang mudah
terlihat oleh Joe. Yaitu dengan ranting-ranting yang dipatahkan,
sambil terus mengikuti Morphy melalui hutan bakau.
Chapter 16
RAHANG-RAHANG RAKSASA
Chapter 17
TERPERANGKAP
Chapter 18
PARIT MAUT
Chapter 19
PENJAGA YANG MENYERAMKAN
tertidur. Mereka memang telah terlalu lelah menghadapi pengalamanpengalaman pada hari itu.
Akhirnya, kira-kira satu jam kemudian, polisi datang.
Semuanya ada sepuluh orang, dipimpin oleh seorang letnan yang
memperkenalkan diri bernama Dennis Mishkin.
"Kami mendapat petunjuk-petunjuk tentang perkemahan itu
dari markas," katanya. "Tetapi ketika sampai di sana, kami tak tahu
arah mana yang harus kami ambil. Sebab jejak-jejak kaki terlalu
bersimpang siur di sana. Karena itu kami minta bantuan sebuah heli
untuk menyelidikinya."
"Kami gembira, anda berbuat demikian," kata Frank. "Kami
juga berhasil menarik perhatian pilot heli."
Letnan Mishkin mengangguk. "Ia memberitahukan keadaanmu
melalui radio. Bagaimana keadaannya sekarang?"
Kakak beradik itu menjelaskan; bagaimana buaya-buaya itu
telah menjebak mereka di dalam rumah batu di seberang parit.
"Kami selalu siap untuk menghadapi buaya," kata letnan itu. Ia
lalu memerintahkan anak buahnya untuk mengambil sekarung besar
daging. Mereka melemparkan gumpalan-gumpalan daging itu ke
dalam air.
Buaya-buaya itu bereaksi dengan sangat cepat. Mereka
berlarian menuju ke pintu parit, masuk ke dalam air. Semuanya saling
desak-mendesak, sambil meliuk-liukkan tubuhnya. Moncongnya
terkatup-katup, sambil mendesis-desis dan meraung-raung.
Sampai di parit, mereka menyerbu daging itu dengan rakusnya.
Kepalanya berayun-ayun merobek-robek, dan potongan-potongan
daging itu lenyap sekali telan.
Joe memasang papan penyeberang, lalu berlari ke pintu parit
untuk menutupnya kembali. Kembali buaya-buaya itu terkurung di
dalam parit.
Chapter 20
LUKISAN YANG DISEMBUNYIKAN
pemburu beserta perahu biru juga masih ada di sana. Polisi lalu
menariknya, setelah para tawanan digiring ke kapal patroli. Mereka
segera mengirimkan pesan radio tentang tawanan-tawanan mereka,
lalu berangkat menyusuri sungai Tributary.
Sementara itu Frank dan Joe naik ke helikopter. "Untung sekali
aku melihat kalian di atap," kata pilot.
"Demikian juga kami," kata Frank. "Kalau tidak, kami tak dapat
menangani para pemburu dan sekaligus buaya-buaya itu."
Heli mengudara. Kedua kakak beradik itu melihat, bagaimana
daerah itu membentang bermil-mil luasnya. Berupa sebuah jaringan
dari rawa-rawa, rumput tinggi, hutan bakau dan sungai-sungai kecil
yang berkelok-kelok di sela-sela belantara.
Setelah mendarat di Flamingo, mereka berjabatan tangan
dengan pilot. "Terimakasih boleh menumpang," kata Frank. "Kami
sungguh gembira, karena bisa kembali lebih cepat daripada naik
perahu.
Pilotnya tersenyum. "Aku juga sangat senang. Lain kali, kalau
kalian ke Everglades lagi, jangan lupa mampir ke tempat kami. Kalau
kami mendapat gangguan dari pemburu gelap lagi, kami tentu akan
memanggil kalian!"
****
Setelah makan roti berisi daging panggang dengan lahapnya,
kakak beradik itu naik ferry ke Key Blanco.
"Aku heran dengan pak Wester itu! Tega-teganya mencuri
lukisan dari kakaknya sendiri!" kata Joe.
Frank mengangguk. Hal ini tentu sangat mengejutkan pak
Raymond, jika ia telah mengetahuinya. Lagi pula, kita tak berhasil
membawa pulang lukisannya!"
Setelah ferry ditambatkan di kota Blanco, mereka berjalan kaki
ke rumah pak Wester di Smugglers Cove. Pengurus rumah tangga
membukakan pintu.