You are on page 1of 141

Judul asli

MYSTERY OF SMUGGLERS COVE


1981

Terbit di Indonesia:
September 1982

Chapter 1
BUKTI PALSU

Telepon berdering. Frank dan Joe Hardy mendongak sejenak.


Mereka sedang asyik bermain catur di ruang duduk, di rumah mereka
di kota Bayport.
"Jangan-jangan untuk kita," kata Frank.
"Kita akan segera tahu," kata Joe. "Bibi Gertrude sudah
mengangkatnya di kamar tengah."
Gertrude Hardy, yang tinggal pada keluarga itu sejak lama,
menjenguk dari balik pintu. "Frank, pak Wester ingin berbicara
dengan engkau."
"Pak Wester?"
"Engkau tentu ingat, pemilik bank yang sudah pensiun itu. Ia
juga dikenal sebagai pengumpul benda-benda seni."
"O ya, betul. terimakasih, bibi." Frank beranjak dari duduknya,
pergi ke kamar besar. Ia mengangkat gagang telepon.
"Pak Wester? Di sini Frank Hardy."
"Aku ingin bertemu dengan engkau dan Joe," kata suara di
dalam telepon. "Dapatkah kalian segera datang kemari?"
"Tentu, pak! Ada apa sebenarnya?"
"Aku sedang mencari beberapa penjahat. Engkau dan adikmu
mungkin akan tertarik. Aku ingin bertemu dengan kalian, sebelum aku
memanggil polisi!"
Pak Wester menutup pembicaraan, dan Frank kembali ke kamar
duduk. Ia mengatakan kepada adiknya, apa yang dikatakan oleh
penggemar barang antik itu.
"Wah!" kata Joe. Rupanya maling-maling itu telah membuat dia
kalap! Ayo kita berangkat!"

Kedua pemuda itu lari keluar. Frank yang berumur


delapanbelas, duduk di belakang kemudi mobil sport kuning mereka.
Pemuda berambut hitam itu setahun lebih tua dari Joe, adiknya yang
pirang. Joe lalu duduk di sampingnya. Kedua pemuda tersebut sangat
dikenal sampai ke luar kota tempat tinggalnya, sebagai detektif amatir
yang sangat cerdik.
Frank mengemudikan mobilnya melalui Jalan Elm ke jalan
raya. Tak lama kemudian mereka tiba di rumah Raymond Wester, di
luaran kota Bayport. Rumah itu hampir seperti istana. Dikelilingi
halaman luas berumput dan pohon-pohon besar.
Frank memarkir mobilnya di jalan masuk halaman. Ia dan
adiknya melihat seorang nyonya, memandangi mereka dari jendela
ruang atas. Nyonya itu mengangkat tangannya, dan mereka melihat
sesuatu yang tajam mengkilat di tangannya.
Joe menahan napas. "Nyonya itu seperti memegang sebilah
belati!"
"Ya, nampaknya," kakaknya mengiakan. "Aku heran, mengapa
ia berbuat demikian."
Nyonya itu bergerak dari jendela, dan menghilang dari
pandangan. Kakak beradik itu turun dari mobil, langsung menuju ke
pintu depan. Joe hendak membunyikan bel. Tetapi belum sempat
tangannya menekan tombol, pintu terbuka sedikit. Benda tajam
mengkilat itu nampak di celah pintu!
Secara naluriah mereka mundur! Ketika pintu terbuka lebar,
mereka berhadapan dengan nyonya yang nampak di jendela tadi.
Tangan kanannya memegang sebilah pisau pembuka surat, dan tangan
kirinya memegang setumpuk surat.
"Aku melihat kalian datang," kata nyonya itu. "Karena itu aku
turun untuk membukakan pintu. Aku nyonya Summers, pengurus
rumah tangga. Tuan Wester telah menunggu kalian."

Ia mengantarkan mereka melintas kamar besar, menuju ke


kamar kerja tuannya.
Raymond Wester, yang bertubuh kecil berambut putih, duduk di
belakang meja tulis besar. Sejumlah lukisan tergantung di dinding.
Hanya di atas perapian nampak suatu tempat yang kosong. Sebagian
dari tembok, berwarna lebih tua dari sekelilingnya, menandakan,
bahwa belum lama di tempat itu masih tergantung sebuah lukisan.
Pak Wester mempersilakan mereka duduk pada kursi di depan
meja tulisnya.
"Kukira kalian ingin tahu, mengapa aku minta kalian datang
kemari," ia memulai pembicaraan.
"Betul, pak," Frank mengaku. "Kecuali, bahwa anda
menyebutkan penjahat-penjahat."
Pak Wester mengangguk. "Mereka telah merampok aku."
"Apa saja yang hilang?"
Pak Wester menunjuk ke tempat kosong di atas perapian.
"Lukisan yang biasanya tergantung di situ telah hilang. Berupa potret
Simon Bolivar, yang sangat tinggi harganya. Kukira kalian tahu siapa
Simon Bolivar itu."
Joe tersenyum. "Kita mempelajarinya dari pelajaran Sejarah di
sekolah. Ia merupakan George Washington-nya Amerika Selatan. Ia
telah menghantam bangsa Sepanyol, seperti Washington memukul
bangsa Inggris."
"Karena itu ia disebut Liberator, Pembebas bangsa," sambung
kakaknya.
"Kalian menguasai pelajaran Sejarah," pak Wester memuji.
"Nah, lukisan Bolivar-ku itu telah hilang. Lenyap begitu saja!"
"Kapan hal itu terjadi, pak? tanya Frank.
"Dua minggu yang lalu. Aku sedang ada di Eropa. Ketika aku
pulang siang tadi, lukisan itu telah hilang."

"Anda tak punya persangkaan, siapa yang telah


mengambilnya?" tanya Frank.
"Engg,kuceritakan saja apa yang telah terjadi. Sebelum aku
berangkat bulan lalu, aku menyuruh sekertarisku, Mark Morphy,
untuk mengambil lukisan itu. Ia juga kusuruh mengirimkannya kepada
adikku Harrison yang tinggal di Key Blanco, Florida. Sejak dulu,
Harrison menginginkan lukisan itu. Karena itu, bulan lalu aku sepakat
untuk memberikannya kepada dia."
"Dengan cara bagaimana lukisan itu dikirimkan?" tanya Frank.
"Lukisan itu terlalu berharga untuk dikirimkan melalui pos atau
perusahaan pengiriman barang. Aku minta kepada Morphy, agar
menyewa dua orang untuk menjaganya dengan mobil ke Florida.
Morphy sendiri harus ikut, untuk ikut mengawasi lukisan itu setiap
waktu."
"Apakah dapat terus bermobil sampai ke Key Blanco?" tanya
joe.
"Tidak. Hanya sampai di Key West. Dari sana harus
menggunakan perahu. Sebelum keberangkatanku ke Eropa, aku
menelepon Harrison. Kukatakan, bahwa lukisan itu akan segera
dikirim kepadanya. Tetapi ketika aku pulang hari ini,ia menelepon dan
mengatakan bahwa lukisan itu tak pernah datang!"
"Apakah anda telah melapor kepada polisi?," tanya Frank.
"Mungkin terjadi kecelakaan. Polisi tentu dapat menemukan mobil itu
antara sini dengan Florida. "
Pak Wester menggeleng. "Seperti yang kukatakan di telepon,
aku lebih senang menghubungi kalian dulu. Bagaimana pun, jika
mobil itu mengalami kecelakaan, Morphy tentu menelepon!"
"Anda tak mendengar berita sama sekali tentang sekertaris
anda?"

"Tak sepatah kata pun! Aku kawatir, jangan-jangan ia telah


diculik oleh dua orang sewaan itu. Harap kalian dapat mengerti, aku
tak pernah mencurigai dia terlibat dalam suatu kejahatan."
"Apakah Morphy mempunyai identitas dua orang sewaan itu?"
tanya Joe. "Misalnya, dengan meninggalkan nama?"
"Ya," kata pak Wester. "Ia meninggalkan potret mereka."
"Itu bagus!" kata Frank. "Dengan demikian, kami dapat pergi
kepada pak Collig di markas kepolisian, untuk mencocokkan potret itu
dengan yang ada di berkas-berkas mereka."
"Kukira tak perlu hal itu," kata pak Wester seperti acuh tak
acuh. "Aku yakin, kalian sendiri tentu dapat mengenalinya!"
"Mengapa, pak?" tanya Joe dengan heran.
Pensiunan pemilik bank itu mengeluarkan sebuah potret dari
laci, dan memberikan kepada Frank dan Joe. "Ini!"
Kedua detektif muda itu terperanjat memandangi potret
tersebut, sebab mereka menghadapi potretnya sendiri!
Ebukulawas.blogspot.com

Chapter 2
TAK PUNYA ALIBI

"Morphy sungguh cerdik, pak Wester!" kata Joe akhirnya.


"Kami belum pernah melihat lukisan itu. Bahkan bertemu dengan
Morphy pun belum pernah!"
"Di samping itu, kami adalah detektif! Bukan orang sewaan!"
sambung kakaknya tegas.
"Yang jelas, bukan penjahat!" Joe menambah.
Rupa-rupanya pak Wester tak tergoyahkan. "Kalian dapat saja
menggunakan nama baik kalian sebagai penumpas kejahatan itu,
justru sebagai kedok! Semua orang di Bayport tahu, bahwa kalian
telah berhasil memecahkan banyak perkara. Mungkin saja kalian
berpendapat, tentu tak akan dicurigai! Itu foto kalian, bukan!"
"Memang," Frank mengaku. "Tetapi itu tak membuktikan apaapa. Saya mengenali foto itu. Dibuat oleh Andy Anderson dari
suratkabar Bayport Timer pada suatu wawancara. Morphy tentu
mendapatkannya dari arsip suratkabar itu!"
Pak Wester hanya mengangkat bahu. "Seandainya itu betul, ia
tetap menyebutkan kalian sebagai orang sewaannya. Di mana kalian
berada dua minggu yang lalu, ketika lukisan itu dicuri orang?"
"Kami sedang berlibur di Maine," jawab Frank. "Olahraga jalan
kaki sepanjang Appalachian Trail. Olahraga kaki yang ..."
"Itu kata kalian!" sela pak Wester tetap curiga. "Ada yang
melihat kalian?"
Memang tidak," Frank mengaku. "Kami memang tak
mempunyai alibi semacam itu. Kami memang tidak terlibat!"
"Kami kira, ia hendak melemparkan kecurigaan kepada kami,"
Joe menjelaskan. "Bagi kami, dialah tersangka pertama!"

"Tetapi kalian dapat saja bersekongkol dengan dia!" pak Wester


mendebat. "Mungkin saja ia menghilang dengan lukisan itu, dan
membiarkan kalian sebagai kambing hitamnya!"
Frank dan Joe saling berpandangan. Baru kali dalam hidup
mereka, dicurigai sebagai penjahat!
"Coba kita periksa, apakah pencuri yang sesungguhnya itu
meninggalkan jejak," usul Joe. "Kami harus tahu sebanyak-banyaknya
dari peristiwa pencurian ini. Apakah ada yang dapat menceritakan,
bagaimana terjadinya?"
"Nyonya Summers," kata pak Wester. "Seperti kalian belum
tahu saja!"
Pak Wester memanggil pengurus rumah tangga. Nyonya itu
masuk ke kamar kerja, dan memandangi kakak beradik itu dengan
curiga. Majikannya minta diceritakan, tentang hilangnya lukisan itu.
"Ketika tuan Wester ada di Eropa," nyonya itu menjelaskan,
"tuan Morphy yang bertanggung jawab di sini. Ia mengatakan kepada
saya, bahwa ia mendapat perintah untuk mengambil lukisan itu, dan
membawanya ke tuan Harrison Wester. Katanya, ia telah menyewa
dua orang suruhan, untuk membawanya dengan mobil ke Key Blanco.
Ia juga meninggalkan petunjuk-petunjuk yang terperinci di dalam
laci."
"Itulah kami," Joe menyambung. "Susahnya, Morphy tak
pernah memberitahu kepada kami mengenai rencana-rencananya!
Apakah ia mengatakan yang lain-lain lagi?"
"Aku tak tahu sama sekali tentang rencana itu!" tukas pengurus
rumah tangga itu.
"Tentu saja tidak," kata Frank menenteramkan. "Kami hanya
mengharap, agar nyonya menceritakan apa yang terjadi setelah itu."
"Hari berikutnya, tuan Morphy memberi libur sehari kepada
semua karyawan di sini. Ketika kami masuk kembali, lukisan itu
sudah tidak ada. "

"Morphy sendiri juga tidak ada?"


"Betul," jawab nyonya itu. "Aku juga tak melihat dia lagi sejak
itu."
Pak Wester memandang kedua pemuda itu dengan tajam. "Aku
tetap berpendirian, bahwa kalian mungkin terlibat. Kalau memang
tidak, kalian harus dapat membuktikannya!"
Joe berpendapat, "Bagaimana kalau Morphy hanya berpurapura saja mengirimkan lukisan itu? Tetapi sebenarnya hanya
menyembunyikannya saja di sini?"
"Apakah kami boleh memeriksa rumah ini?" Frank
menyambung, setelah menangkap maksud adiknya.
"Silakan," kata pensiunan pemilik bank itu. "Nyonya Summers
akan mengantar kalian berkeliling. Lukisan itu kira-kira berukuran
enampuluh kali seratus duapuluh senti. Tentu mudah ditemukan, jika
memang masih ada disini."
Frank dan Joe memutuskan, untuk memulai pemeriksaan dari
atas terus ke bawah. Mereka mengikuti nyonya Summers naik ke
loteng. Tempat itu berdebu, memanjang di bagian lantai atas.
Penerangan yang ada, hanya dari dua buah jendela kecil yang terdapat
di langit-langit atap yang miring. Dari pemeriksaan yang singkat
mereka yakin, bahwa lukisan yang hilang itu tak ada di rumah
tersebut. Nyonya Summers menunjukkan ke bagian lantai dua, tempat
tinggal para pembantu rumah tangga. Tak ada sesuatu pun yang
mereka temukan. Di lantai kamar pak Wester pun tak ada hasilnya.
"Kita sia-sia menemui tempat kosong!" kata Frank kecewa.
"Kesempatan terakhir hanya tinggal ruangan bawah tanah," kata
Joe. "Mari kita."
"Tak ada sesuatu di sana!" nyonya Summers menyela. "Aku
sendiri telah melihatnya."

"Kita harus membuat laporan yang lengkap," kata Frank


membujuk. "Apakah anda berkeberatan, jika kita melihatnya
sebentar?"
Nyonya itu mengangkat bahu, lalu membuka pintu ruangan
bawah. Semuanya turun melalui tangga yang goyah.
Ruangan bawah tanah itu berdinding batu bata yang terbuat dari
abu arang yang dipres, dan lantainya dari semen. Pada suatu sudut
terdapat sebuah tungku dan alat pemanas air. Di dekatnya ada sebuah
bangku kerja, memanjang ke seluruh dinding.
"Tuan Wester menggunakan meja itu untuk memperbaiki
lukisan-lukisannya," nyonya itu menjelaskan.
Pada sudut yang paling gelap, Joe mendapatkan sebuah gelanggelang besi, tergantung pada dinding. "Untuk apakah ini?" ia bertanya.
"Aku tak tahu!" tukas nyonya itu. "Nah, bisakah kita kembali
sekarang ?"
"Tunggu sebentar," kata Frank. Ia sedang memperhatikan
gelang besi itu. "Nampaknya seperti pegangan pembuka pintu.
Mungkin ada sebuah pintu pada dinding ini."
Ia memutar gelang-gelang itu, lalu menariknya kuat-kuat.
Sebagian dari batu bata abu arang itu bergerak ke samping!
"Ruangan rahasia!" seru Frank. "Jangan-jangan lukisan itu ada
di sini!"
Kedua pemuda itu masuk. Mereka berada di dalam sebuah
ruangan kecil, yang dinding belakangnya hanya mendapat cahaya dari
ruang bawah tanah.
"Wow!" seru Joe. "Siapa yang membuat ini? Untuk apa?"
Frank mengangkat bahu. "Yang membuat rumah ini pula,
kukira. Barangkali pak Wester tahu, untuk apa gunanya."
Mereka memeriksa dinding-dindingnya dengan teliti. Mereka
begitu asyik mengamati, sehingga tanpa mereka sadari pintu dinding
di belakang mereka menutup. Ruangan itu menjadi bertambah gelap,

karena satu-satunya penerangan telah tertahan oleh pintu yang


tertutup.
Klik! Mereka mendengar pintu terkunci, dan mereka berada
dalam ruangan yang gelap gulita!
Frank melompat ke pintu dan berusaha membukanya, tetapi
kedua tangannya hanya bertahan oleh dinding yang kokoh!
"Nyonya Summers!" ia berseru. "Tolong keluarkan kami!"
Nyonya itu tak menanggapi.
"Seharusnya ia mendengar suara kita!" kata Joe tegas. "Pintu itu
tak seberapa tebal."
"Stt! Kata Frank, sambil berusaha mendengarkan suara langkah
kaki nyonya Summers. Tetapi yang ada hanya kesunyian!
Dengan kalap, Frank meraba-raba ke sekeliling dalam kegelapan,
mencari-cari, kalau-kalau terdapat pegangan pembuka pintu. Tetapi
jari-jarinya hanya merasakan batu bata abu arang.
"Joe!" serunya. "Kita terperangkap!"
"Barangkali masih ada jalan keluar yang lain," kata adiknya
memberi semangat. Ia berjalan menyusuri sepanjang dinding, merabaraba mencari lubang jalan keluar. Tiba-tiba kakinya menginjak tempat
yang kosong! Sambil memekik ia jatuh ke dalam lobang.
"Joe! Engkau tak apa-apa?" seru kakaknya khawatir.
Tak ada jawaban! Frank berdiri tertegun diam, mencoba
mengusir rasa panik yang menyergap. Frank melompat turun ke sisi
adiknya, lalu menggoyang-goyangkan tubuh yang tak bergerak itu.
Tiba-tiba ia teringat, bahwa ia membawa lampu senter kecil di saku
belakang celananya. Ia menyalakannya, dan mengarahkan sinarnya ke
arah suara adiknya.
Cahaya senter itu menerangi tangga empat tingkat dari kayu,
dan Joe meringkuk di bawah tangga! Joe membuka matanya, merabaraba kepalanya, lalu mencoba bangun.

"Lain kali, kalau aku hendak loncat indah, aku harus melihat
dulu, ada airnya atau tidak," Joe menggerutu. "Untung tidak cedera,
hanya benjol sedikit di kepala."
Frank mengarahkan cahaya senternya ke depan. Mereka
melihat, ternyata mereka berada di dalam sebuah terowongan sempit,
tapi tak seberapa panjang, lantainya miring ke atas.
"Barangkali ada pintu di depan itu," katanya. "Mari kita lihat."
Ia mendahului sambil berjalan membungkuk, karena langit-langit
semakin rendah. Tetapi setelah diselidiki, di depan hanya ada dinding
yang menghalang.
"Jalan terakhir bagi kita," kata Frank. "Kita berada di dalam
terowongan buntu!"
Joe meraba-raba langit-langit yang rendah itu. Tiba-tiba jarijarinya meraba sebuah gerendel, yang masuk ke dalam kaitannya
dengan kuat.
"Nanti dulu," katanya. "Ini mungkin jalan keluar." Dengan
sekuat tenaga ia menarik gerendel dari kaitannya, lalu mendorong
keatas. Sebagian dari langit-langit itu menguak terbuka ke atas,
memasukkan cahaya dari luar. Mereka menjadi silau dan terpaksa
mengedip-ngedipkan mata, setelah sekian lama ada di dalam
kegelapan. Mereka memanjat ke atas, dan tiba di semak-semak sisi
rumah, dekat dengan jalan masuk.
Joe menurunkan pintu, kembali menutup lubang. Kini tempat
itu menjadi samar, tak kentara dalam semak-semak.
"Suatu cara yang bagus untuk menyembunyikan jalan rahasia,"
kata Frank. "He! Apa ini?" Kakinya tersandung sesuatu di semaksemak. Ia membungkuk, dan memungut sebuah pisau lipat yang
tangkainya berwarna kuning. Salah satu sisinya bertuliskan huruf I.N.
"Singkatan nama pemiliknya?" kata Frank dengan gairah,
sambil menunjukkan kepada adiknya. "Mari kita selidiki, apakah
cocok dengan nama salah seorang penghuni rumah."

Mereka memutar menuju ke pintu depan, lalu membunyikan


bel. Nyonya Summers membuka pintu dan nampak terkejut melihat
mereka.
"Pintu ruangan bawah tanah itu menutup sendiri," katanya.
"Aku tak dapat membukanya, lalu pergi mencari bantuan. Aku hendak
minta tolong kepada tuan Wester, tetapi beliau sedang menelepon."
"Kami menemukan jalan keluar yang lain," kata Frank
memberitahu. Kemudian ia memandangi nyonya itu dengan tajam.
"Apakah singkatan nama I.N. mempunyai sesuatu makna tertentu bagi
anda, nyonya Summers?"
Nyonya itu nampak terkejut, tetapi menggelengkan kepala.
"Disini tak ada orang yang mempunyai singkatan nama demikian,"
katanya dengan pasti.
"Bolehkah kami menemui pak Wester?" tanya Joe.
"Tentu saja." Nyonya itu mempersilakan mereka masuk. Kedua
pemuda itu lalu datang kepada pak Wester di kamar kerjanya.
Pak Wester sedang meletakkan gagang telepon ketika mereka
masuk. Ia terkejut mendengar adanya jalan rahasia di ruang bawah
tanah. "Aku tak pernah tahu akan hal itu!" katanya. "Yah, tetapi rumah
ini memang dibangun lebih dari seratus tahun yang lalu."
Frank mendapat suatu pikiran. "Pak Wester, jika sekertaris anda
memang terlibat dalam pencurian, tentunya ada barang-barang lain
yang ikut tercuri. Apakah anda merasa ada barang lain yang hilang?"
Pak Wester menggeleng. Tetapi ia menyuruh nyonya Summers
untuk memeriksanya. Tak lama nyonya itu kembali. Nampaknya
bingung. "Saya tak menyadari sebelumnya, tuan," katanya. "Tetapi
kendi perak yang besar itu ternyata tak ada di tempatnya. Demikian
pula dua buah tempat lilin dari emas."
"Seseorang, mungkin Morphy, telah merampok anda tanpa anda
ketahui," komentar Joe.

"Aku heran," kata pak Wester. "Mengapa ia tak mencuri


lukisan-lukisan lain yang lebih berharga?"
"Mungkin ia berpikir, bahwa itu akan terlalu menyolok," kata
Joe memberi alasan.
Nyonya Summers mengangguk. "Kendi dan tempat lilin itu
tidak dipajangkan," katanya. "Saya saja tak menyadari, tuan, kalau
saya tidak memeriksanya!"
"Apakah kalian menemukan petunjuk-petunjuk dari
pemeriksaan kalian tadi? tanya pak Wester.
"Hanya ini," kata Frank. Ia menunjukkan sebilah pisau lipat.
Pengumpul benda seni itu tak mengenalinya. Ia pun tak
mengenal singkatan nama I.N. Kakak beradik itu lalu memeriksa
dinding di atas perapian, bekas tempat lukisan Bolivar digantungkan.
Suatu tempat pada dinding itu menarik perhatian Frank. Ia
memeriksanya dengan teliti. "Ini ada sidik jari yang cukup jelas,"
katanya. "Joe, tolong ambilkan kotak kita di mobil."
"Oke," kata Joe sambil berangkat. Ia kembali dengan sebuah
kotak kecil, lalu menaburkan semacam serbuk pada tempat yang
dicurigai tersebut. Kemudian ia memotretnya dengan sebuah kamera
mini, sebelum sidik jari itu diangkatnya dengan sejenis tape yang
khusus.
Ia kembali ke dekat pak Wester. "Jika anda tak berkeberatan,
saya akan mencari sidik jari Morphy di kamarnya. Kita lihat nanti,
apakah cocok dengan sidik jari yang tadi."
Pak Wester mengijinkan, dan Joe meninggalkan kamar kerja.
Frank memandang dengan penuh pikiran ke dinding yang kosong di
atas perapian. "Saya heran. Mengapa orang yang mengambil lukisan
itu, tidak memakai sarung tangan?"
Pak Wester memandang tajam kepadanya. "Seharusnya engkau
tahu. Kawat penggantung lukisan itu diikatkan pada sebuah paku.

Jadi, pencuri itu harus menggunakan jari-jarinya untuk


melepaskannya."
Mereka mempercakapkan peristiwa itu sampai Joe kembali.
"Saya berhasil mendapatkan sid ik jari yang bagus pada pisau
cukur yang digunakan oleh Morphy," kata Joe. "Sekarang kami dapat
membawanya kepada pak Collig untuk dicocokkan. Pak Wester, kami
akan kembali lagi kemari jika memang cocok. Kalau tidak, polisi tentu
akan tahu sidik siapa, setelah mencocokkannya dengan berkas-berkas
sidik jari di kantor polisi."
Pak Wester mengangguk. "Sementara kalian ada di sana, tolong
laporkan bahwa rumahku kecurian."
"Dengan senang hati, pak. Kami akan melapor untuk anda,"
kata Frank.
Pak Wester memandangi dia. "Jangan lupa untuk mengatakan,
bahwa kemungkinan tersangka pertama adalah Frank dan Joe Hardy!"

Chapter 3
JERITAN MINTA TOLONG

Frank dan Joe memandangi penggemar benda-benda seni itu.


Rupanya, ia masih saja percaya bahwa merekalah yang bersalah!
"Kami harus menemukan Mark Morphy untuk membersihkan
diri kami, pak," kata Frank perlahan-lahan. "Bagaimana roman
wajahnya, pak?"
Pak Wester mengambil sebuah potret dari laci mejanya, lalu
memberikannya kepada Frank. "Inilah dia."
"Apakah anda dapat memberitahu leb ih lanjut tentang dia?"
tanya Frank selanjutnya. "Apakah dia mempunyai keluarga atau
teman? Di mana tinggalnya sebelum bekerja pada anda? Siapa yang
mengajukan dia kepada anda?"
Pak Wester mengangkat bahu. "Ia telah bekerja padanya selama
setahun. Aku menerima dia setelah majikannya, seorang kenalanku,
meninggal. Aku tak tahu sedikit pun tentang keluarganya. Atau dari
mana asalnya. Ia tak pernah menyebutnya, dan aku juga tak pernah
menanyakannya."
Pak Wester tak dapat memberikan informasi lebih jauh. Karena
itu, kakak-adik itu mempercakapkan peristiwa yang aneh itu.
"Bagaimana perasaanmu? Dikatakan sebagai seorang
penjahat?" tanya Joe menggerutu. "Pak Wester mencurigai kita
dengan penuh keyakinan. Mengapa ia harus bertemu dengan kita,
sebelum melapor kepada polisi?"
Frank mengangguk. "Aku juga tak mempercayai pengurus
rumah tangganya itu. Aku yakin, bahwa ia tahu tentang jalan rahasia
itu, dan dengan sengaja menutup pintu ruang bawah tanah."

Joe mengangkat bahu. "Katanya, ia hendak memanggil pak


Wester, tetapi pak Wester sedang menelepon. Kita melihat sendiri,
bahwa pak Wester memang sedang menelepon."
"Dapat saja ia mendengar telepon berdering, lau dibuat
alasan!" kata Frank dengan tetap pada pendiriannya. Ia memarkir
mobilnya di depan kantor Kepala Polisi Collig. Mereka lalu masuk,
dan menjumpai teman lama mereka, yang telah banyak membantu
mereka dalam memecahkan perkara.
Kepala polisi itu jangkung-tegap dengan pipi merah sehat. Ia
sedang duduk di meja tulisnya ketika mereka masuk. "Halo, anakanak! Ada keperluan apa?" ia bertanya dengan ramah.
Joe meletakkan kedua sidik jari di atas meja. "Kami ingin
melihat, apakah kedua sidik jari ini cocok satu sama lainnya."
Kepala Polisi itu mengerling ke arah mereka. "Kalian sedang
menangani suatu perkara lagi, bukan? Maukah mengatakannya
kepadaku?"
Kakak beradik itu menceritakan tentang kunjungan mereka ke
rumah Raymond Wester. Mereka juga menyebutkan, bahwa mereka
berdua dicurigai terlibat dalam pencurian sebuah lukisan.
Pak Collig bersiul. "Ini menempatkan kalian ke dalam
kesulitan, ya? Nah, lihat saja, apakah aku dapat membebaskan kalian
dari tuduhan itu."
Ia mengantarkan mereka ke laboratorium kriminal. Kedua sidik
jari itu diletakkan di bawah sebuah mikroskop kembar, lalu disetel,
agar kedua tepi sidik itu berdamp ingan. Ia meneliti sejenak dengan
seksama, lalu berkata: "Tidak sama. Coba, lihat sendiri."
Frank dan Joe memang telah trampil dalam hal sidik jari.
Mereka berganti-ganti melihatnya.
"Sidik Morphy hanya melingkar satu kali," kata Joe. "Sidik
yang dari dinding melingkar dua."

"Ya. Kedua sidik ini berasal dari dua orang yang berbeda,"
Frank mengiakan. "Aku heran, sidik siapa yang satu ini?"
"Mari kita lihat, apakah kami mempunyai arsip dari sidik ini,"
kata pak Collig. Ia menuju ke sebuah almari, lalu membalik-balik
berkas-berkas sidik jari. Beberapa saat kemudian ia menggeleng. "Tak
ada di sini. Ia belum dikenal di kalangan kriminal dari daerah ini. Aku
akan mengirimkannya ke FBI di Washington. Barangkali mereka
dapat menyidiknya bagi kalian."
Pak Collig mengatakan, bahwa ia akan melihat sendiri perkara
pencurian itu di rumah Wester. Kakak beradik itu lalu pulang. Hati
mereka lega atas bantuan pak kepala polisi.
Ayah mereka, seorang pensiunan anggota Kepolisian Kota New
York, kini telah menjadi detektif swasta. Ia baru saja pulang beberapa
menit yang lalu.
"Aku tahu Key Blanco," katanya, setelah mendengar cerita
anak-anaknya. "Sebuah pusat penyelundupan di Teluk Meksiko dan
Laut Karibia. Tentang Frank dan Joe Hardy dikatakan sebagai
penjahat, ini hal yang baru di keluarga kita!" Ia tertawa berderai.
Bu Hardy mengernyitkan alis tanda khawatir. "Kukira, perkara
ini sangat berbahaya," katanya dengan resah.
Bibi Gertrude mendengus. "Laura, hal demikian ini selalu saja
terjadi," katanya. "Frank dan Joe memang pandai mencari bahaya di
mana-mana. Bahkan di rumah seorang pemilik bank yang terhormat!"
"Mungkin Wester itu sendiri penjahatnya," kata Joe sambil
tersenyum. "Ia mencuri lukisannya sendiri!"
Bibi Gertrude menggelengkan kepala sambil memberengut.
Kemudian lalu tersenyum. "Sebelum kalian mengambil kesimpulan
yang bukan-bukan lagi, aku punya sepotong kue coklat untuk kalian."
Biarpun sifatnya keras, ia sebenarnya menyayangi kedua
kemenakannya itu. Ia senang memanjakan mereka dengan
kepandaiannya memasak.

Kemudian telepon berdering. Pak Collig yang menelepon. "Aku


telah mendapat laporan dari FBI mengenai sidik jari yang kedua itu,"
katanya kepada Joe yang menerima telepon. "Ternyata sidik jari
seseorang yang bernama Ignas Nitron. Dulu dikenal sebagai pencuri
yang suka membongkar rumah. Akhir-akhir ini sering terlihat di Key
Blanco."
"Key Blanco!" seru Joe. "Ke sana pula pak Wester
mengirimkan lukisannya! Terimakasih, pak Collig!"
Joe meletakkan gagang telepon, lalu menceritakan
perkembangan baru tersebut kepada yang lain-lain.
"Aku pernah mendengar nama Nitron," kata pak Hardy. "Ia
dicurigai sebagai pimpinan komplotan penyelundup. Tetapi belum
pernah tertangkap basah dengan barang selundupannya. Mencuri
lukisan seperti yang dilakukan di rumah Wester, memang termasuk
kebiasaannya. Karena berupa potret Simon Bolivar, ia dengan mudah
akan menemukan pembeli yang kaya di Amerika Latin."
"Inisial, atau singkatan nama di gagang pisau itu tentu
miliknya!" kata Frank bersemangat. "Mungkin pisau itu terjatuh,
ketika ia membantu membawa lukisan itu melalui jalan rahasia!"
Joe tertegun. "Tetapi mengapa penjahat dari Key Blanco
beroperasi di Bayport?"
"Mungkin Harrison Wester pernah membicarakan lukisan itu,
dan Nitron mendengarnya," Frank berteori. "Maka ia datang ke Key
Bayport, lalu mencurinya.
"Mungkin dengan bantuan Morphy," Joe menyambung.
"Mungkin pula ada orang ketiga. Sebab Morphy disuruh mencari dua
orang sewaan!"
"Nanti dulu!" ayahnya memperingatkan. "Jangan buru-buru
mengambil kesimpulan. Nitron, mungkin dengan bantuan anteknya,
dapat pula menyingkirkan Morphy. Lalu meletakkan potretmu di laci
Wester."

"Aku menyangsikan hal itu," kata Joe. "Mengapa Morphy


memberi cuti sehari kepada para pembantu, jika memang tak mau
menyembunyikan sesuatu?"
Pak Hardy mengangguk perlahan-lahan. "Ya. Engkau
mempunyai titik kuat di sini. Tetapi bagaimana pun, ini merupakan
teka-teki yang rumit. Yang paling baik bagi kalian ialah, pergi ke Key
Blanco dan memulai penyelidikan di sana."
"Kita akan bekerja di bawah tanah. Menyamar sebagai
penyelundup," Frank mengusulkan. "Aku berharap pula, dapat
bertemu dengan Nitron."
"Sambil memasang perangkap untuk Morphy juga!" sambung
Joe.
Pak Fenton setuju akan rencana itu. Tetapi ia memperingatkan
anak-anaknya, agar selalu berhati-hati.
Telepon berdering lagi. Frank menyambutnya. Ternyata
Raymond Wester. Frank menggapai adiknya, untuk mengambil
telepon sambungan.
"Aku ada di Hotel Bayport!" kata pak Wester dengan jengkel.
"Mengapa kalian belum kemari juga?"
"Untuk apa, pak Wester?"
"Lho, engkau yang minta kepadaku untuk bertemu di sini!"
tukas penggemar barang antik itu.
"Tetapi kami tak menelepon anda! Sejak meninggalkan rumah
anda!" Frank mengelak. "Kami tak pernah menyebut nama Hotel
Bayport!"
"Frank Hardy! Engkau menelepon sejamyang lalu!" kata pak
Wester menyalahkan. "Aku mengharap kedatanganmu bersama Joe di
sini. Kukira, kalian telah menemukan lukisanku! Nah, aku ada di
kamar 707!"
Frank tertegun. Dari pada berdebat di telepon, ia malah berkata:
"Oke! Kami segera datang."

"Dari mana ia mendapat pikiran, bahwa engkau meminta dia


untuk pergi ke hotel?" tanya Joe heran.
"Ada orang yang menelepon dia, menirukan suaraku," kata
Frank dengan geram. "Ayo! Kita harus menyelidikinya!"
Kakak beradik itu lari keluar dari pintu. Tetapi ayahnya
menghentikannya. "Kalian harus menyelidiki hal ini. Itu aku setuju,"
katanya. "Tetapi waspadalah. Kalian mungkin diumpan agar masuk
perangkap!"

Chapter 4
UMPAN BUAYA

Frank mengangguk sambil berpikir. "Benar, ayah," katanya.


"Kalau kami tak kembali dalam setengah jam, susullah kami. Maukah
ayah?"
"Tentu," ayahnya berjanji. Kedua pemuda itu berangkat.
Ketika mereka tiba di hotel, penerima tamu mengatakan, bahwa
mereka diminta untuk menelepon pak Wester dulu, jangan langsung
ke kamarnya. Frank segera menyadari, bahwa siapa pun orangnya,
hendak berjaga-jaga lebih dulu kalau mereka berdua datang.
"Tak perlu," katanya sembarangan. "Kami telah berbicara
dengan dia beberapa menit yang lalu!
Dengan segera ia dan Joe pergi ke elevator. Tetapi begitu pintu
elevator menutup, mereka sempat melihat penerima tamu itu memutar
nomor telepon!
"Ia menelepon juga ke kamar!" kata Frank singkat. Mereka naik
ke tingkat tujuh, dan mengetuk pintu kamar 707. Jawabannya berupa
suara mengerang yang menakutkan. Joe mendobrak pintu, dan mata
mereka segera membelalak. Raymond Wester menggeletak di lantai,
kedua tangannya terikat di belakang. Dua orang sedang melarikan diri
melalui jendela!
Mereka berkedok dengan kaus kaki. Frank dan Joe sempat
melihat, salah seorang bertubuh gemuk bercelana kotak-kotak. Yang
seorang lagi jangkung tetapi berotot. Orang yang kedua ini sedang
naik ke jendela, ketika ia melihat kedatangan kedua pemuda itu. Ia
meraih sebuah lampu dari meja di dekat tempat tidur, lalu
melemparkannya kepada mereka. Kemudian ia menyusul temannya,
merosot turun dari tangga kebakaran.

Lampu itu menimpa Joe, hingga ia hilang keseimbangannya,


jatuh ke lantai di samping pak Wester.
"Frank, kejar dia!" ia masih sempat berseru.
Frank memutar, menghindari tubuh pak Wester dan adiknya,
berlari ke jendela. Ia membungkuk melihat ke bawah. Dilihatnya,
buronan itu merosot turun di tangga kebakaran, lalu lari ke tempat
parkir di sebelah gedung.
Beberapa detik kemudian, Frank juga telah mencapai tanah, lalu
berlari mengejar. la mendengar deru mesin, dan sebuah sedan melesat
dari tempat parkir, menuju tepat ke arah dia!
Frank yang memang seorang olahragawan, melompat ke pagar
kawat. Kakinya segera mendapat pijakan, sementara jari-jarinya
berkait erat-erat pada jaringan kawat.
Mobil menghambur lewat, hanya beberapa senti dari tubuhnya!
la melihat kedua wajah yang tertutup kaus kaki. Mata yang buas
memandangi dia, sementara mobil itu menggelinding ke jalan.
Beberapa detik kemudian telah menghilang.
Frank melompat turun. "Wow!" pikirnya. "Sedikit lagi, aku
sudah duduk bersama mereka di mobil!"
Dengan gemetar ia kembali masuk ke hotel. Penerima tamu
melihatnya dengan heran. "Darimana anda datang? Saya kira."
Frank tak menjawab. Ia langsung menuju ke elevator dan naik
ke tingkat tujuh.
Di kamar pak Wester, ia melihat adiknya bersama pak Wester
duduk-duduk di tempat tidur, menunggu dia.
"Bangsat-bangsat itu lari dengan mobil," katanya. "Hampir saja
mereka menabrak aku. Apa yang terjadi dengan anda, pak?"
Pensiunan pemilik bank itu nampak murung dan bingung. "Aku
datang ke hotel ini, setelah menerima teleponmu," ia mulai bercerita.
"Karena kalian tak ada, aku menelepon untuk mencari keterangan

dimana kalian berada. Baru saja aku meletakkan gagang telepon,


kedua orang itu melompat masuk dari jendela."
"Apakah anda mengenali mereka?" tanya Joe.
Pak Wester menggeleng. "Tidak. Karena memakai kedok.
Mereka memerintahkan aku, menyuruh kalian pergi kalau kalian
menelepon dari lobby. Mereka menakut-nakuti, bahwa nyawaku tak
berharga sesen pun kalau aku tak menghentikan kalian dalam perkara
ini."
Dengan gugup ia mengambil saputangan dan menyeka dahinya.
"Kemudian penerima tamu itu menelepon, bahwa kalian datang dan
langsung ke atas. Mereka tak menyangka hal ini terjadi, lalu menjadi
panik. Mereka mengikat tanganku lalu lari melalui jendela."
"Nah, pak. Apakah anda masih mencurigai kami?" tanya Joe
ingin tahu.
"Mengapa tidak?" tukas pak Wester. "Kalian ingin melepaskan
diri dari perkara ini. Lalu menggunakan siasat ini biar nampak bersih!
Memancing aku kemari, lalu menyuruh kedua badut itu untuk
menganiaya aku!"
"Lalu, untuk apa kami datang kemari?" Joe membantah. "Kalau
memang seperti yang anda katakan, kami enak-enak saja tinggal di
rumah dan minta maaf! Daripada berlari-lari ke hotel, dan mendapat
hadiah sebuah lampu di kepala!"
"Atau hampir ditabrak mobil!" Frank menyambung geram.
Pak Wester hanya mengangkat bahu. "Pokoknya, hanya ada
satu jalan untuk menghentikan kecurigaanku."
"Apa Pak?
"Tetap menangani perkara ini, dan memecahkannya!" kata
pensiunan pemilik bank itu dengan tegas.
"Oke!" Frank berjanji. "Kami memang akan segera berangkat
ke Key Blanco untuk memulai penyelidikan."

"Nah! Itu bagus! Harrison mempunyai rumah di sana. Di atas


sebuah batu karang, di sebelah timur sebuah pulau yang mengawasi
Teluk Penyelundup. Aku akan menelepon dia, bahwa kalian akan
datang."
"Terimakasih," kata Frank. "Kami akan memberitahu anda
begitu kami tiba."
Raymond Wester mengangguk, lalu meninggalkan hotel. Joe
bersama kakaknya pulang ke rumah. Di jalan, mereka
memperbincangkan peristiwa tadi.
"Aku tak mengerti," kata Joe, "Mengapa para penjahat itu tidak
ke rumah pak Wester saja, dan memaksa agar kita melepaskan tugas
kita? Mengapa harus mengatur jebakan di hotel segala?"
"Agar pak Wester tetap mencurigai kita," Frank menjelaskan.
"Ingat, ia masih saja ngotot, bahwa akulah yang menelepon dia agar
datang ke hotel. Bangsat-bangsat itu mengharap, bahwa ia tetap
percaya bahwa kitalah yang mengatur jebakan!"
"Kukira engkau benar."
Tiba di rumah, mereka mengambil beberapa buku dari
perpustakaan ayah mereka, dibawanya ke kamar duduk, dan mereka
mulai membaca tentang daerah Florida selatan. Mereka menemukan,
bahwa Key Blanco terletak di dekat Key West di Teluk Meksiko.
"Pada zaman dahulu tempat itu merupakan sarang penyamun,"
Joe membaca dari ensiklopedi.
"Sekarang menjadi pusat penyelundupan, meskipun Pengawal
Pantai telah berusaha keras untuk menghentikan lalu lintas ilegal ini."
Frank mempelajari buku lain. "Menyebutkan, bahwa Key
Blanco mempunyai sejumlah teluk kecil-kecil, yang digunakan oleh
para penyelundup untuk memasukkan barang-barang terlarang.
Karena itu Pengawal Pantai sangat repot untuk menanggulanginya."
Tiba-tiba diluar terdengar suara berdentum keras. Mereka
terkejut, mengira suara tembakan. Mereka menjadi lega, ketika suara

itu disusul oleh suara letusan-letusan yang lain, karena hanya suara
knalpot.
Frank tersenyum. "Itu tentu Chet dengan mobil tuanya!"
Chet Morton adalah teman akrab mereka, seorang pemuda yang
gemuk bulat, tinggal pada suatu pertanian di luar kota Bayport. Ia juga
sering mengikuti kakak beradik itu dalam penyelidikan-penyelidikan
mereka. Meskipun ia menilai makanan di atas segala-galanya, namun
kedua temannya tahu, bahwa ia tak pernah meninggalkan mereka bila
menghadapi bahaya. Joe menuju ke jendela dan melihat keluar.
Sebuah mobil tua memasuki jalan masuk ke halaman. Setiap putaran
rodanya disertai ledakan dari knalpot. Chet mengendarainya seperti
seorang koboi sedang menunggang kuda binal. Wajahnya yang
berjerawat menunjukkan ketegangan ketika ia menghentikan
kendaraannya di depan rumah.
Melihat ada teman yang duduk di samping Chet, Joe berkata
pada kakaknya: "Biff bersama dengan dia!
Biff Hooper merupakan bintang lapangan di SMA Bayport. Ia
juga biasa menggunakan tinjunya jika Frank dan Joe membutuhkan
bantuan bila menghadapi keadaan yang panas. Ia pun sering pula
menyertai mereka dalam beberapa penyelidikan.
Biff melompat turun, dan berjalan dengan kedua tangannya
memegangi pinggangnya, serta berpura-pura pincang. Melihat Joe
keluar dari pintu, ia mengeluh: "Bawalah aku ke dokter! Tempurung
lututku lepas, naik tumpukan besi tua ini!"
"Naik saja lagi!" Joe membanyol. "Nanti Tempurung lututmu
akan melompat sendiri kembali ke asalnya!"
Chet kesulitan untuk melepaskan tubuhnya dari bawah batang
kemudi. "Teruskan mengigau!" katanya kepada kedua temannya.
"Ini mobil yang tercepat di Bayport. Aku dapat menembus
dinding suara dengan mobil ini!"

"Engkau akan mengalami patah as sebelum mencapai separo


jalan!" kata Biff.
Joe dan kedua temannya lalu masuk ke tempat Frank.
Melihat buku-buku tentang Florida Keys yang ada di meja, Chet
melirik kepada kedua temannya. "Apa ini? Hendak berlibur?"
"Berani bertaruh! Kalian tentu sedang menghadapi perkara
lagi!" kata Biff.
"Engkau benar!" kata Frank: "Bahkan dimulainya dari Bayport
sini." Dengan singkat ia menceritakan tentang pencurian di rumah pak
Wester.
"Ha? Bolehkah aku ikut?" tanya Chet bergairah.
"Daftar pula namaku!" sambung Biff. Ia mengacung-acungkan
tinjunya di udara. "Aku ingin beberapa ronde dengan para penjahat
itu!"
"Kita mungkin akan menghadapi komplotan penyelundup," Joe
memperingatkan.
"Penyelundup atau tukang sulap, sama saja!" kata Chet. "Jika
menghadapi komplotan, kalian membutuhkan tenaga bantuan."
Frank dan Joe membenarkan. Empat orang tentu akan lebih baik
dari pada dua orang di Key Blanco nanti. Chet dan Biff akan mereka
terima dengan senang hati, bila orang tua mereka mengijinkan.
"Kami tanyakan dulu. Kami akan kembali dengan segera!" Chet
berjanji. Ia dan Biff segera berlari-lari keluar.
Frank dan Joe masuk ke dalam kamar kerja ayah mereka untuk
berunding.
"Kuharap saja Chet dan Biff dapat ikut," kata pak Hardy. "Dari
apa yang kudengar, Key Blanco adalah tempat yang keras. Kalian
akan membutuhkan tenaga bantuan. Di samping itu, aku akan
memberitahu polisi Key. Blanco, bahwa kalian akan menyamar
sebagai penyelundup."

Chet dan Biff menelepon, bahwa mereka boleh ikut. Keempat


pemuda itu bersepakat, akan bertemu di lapangan terbang esok pagi.
****
Penerbangan ke Miami berangkat tepat pada waktunya. Mereka
mendapat tempat duduk di bagian belakang, dan mereka duduk
dengan santai. Negara-negara bagian di Pantai Timur mereka lalui,
dan pesawat terus menderu menuju ke Florida.
Setengah jam setelah keberangkatan, Frank berdiri untuk
mengambil minuman. Ketika kembali, ia meletakkan minumannya
dengan tegang. "He! Lihat itu dua orang yang duduk di depan! Yang
satu jangkung berotot, yang lain gemuk. Ia pun mengenakan celana
kotak-kotak, persis seperti yang dipakai orang yang kita jumpai di
Hotel Bayport!"
Joe bersiul. "Celana demikian nampak mengerikan pada tubuh
seperti dia! Aku sangsi, apakah selera orang itu sedemikian jeleknya!"
"Apa yang kalian katakan itu?" tanya Chet. "Apakah kedua
orang itu sama dengan orang-orang yang mengikat Raymond
Wester?"
"Mungkin juga!"
"Aku jadi ingin mendengar apa yang mereka percakapkan,"
kata Joe. "Tetapi kalau kami yang mendekati, mereka tentu mengenali
kami."
"Mereka tak akan mengenali Biff dan Chet," kata Frank.
"Bagaimana, teman-teman? Mau melakukan tugas detektif sedikit?"
Biff bangkit dengan tersenyum. "Kebetulan tak ada orang yang
duduk di belakangnya," katanya. "Aku akan mencoba."
"Terimakasih teman!"
Telunjuk dan ibu jari Biff membentuk tanda O, menandakan
semuanya akan beres. Dengan berlagak acuh tak acuh ia ngeloyor di
gang, lalu duduk di kursi yang kosong. Kedua orang di depannya
sedang saling mendekatkan kepala, bercakap-cakap perlahan-lahan.

"Melibatkan kedua anak Hardy itu adalah tolol," kata si gemuk


menggerutu. "Morphy salah besar meninggalkan potret mereka di laci,
dan mengatakan bahwa mereka itu orang sewaannya."
"Ia mengira, akan dapat memperdayakan orang," kata si
jangkung. "Morphy mengira, bahwa Wester akan melapor kepada
polisi agar kedua anak itu ditangkap. Celakanya, ia justru minta
bantuan dari kedua anak tersebut!"
Si gemuk menggertakkan gigi. "Engkau kan tahu juga, Tom,
bahwa akal kita untuk menakut-nakuti mereka, supaya melepaskan
perkara itu pun telah gagal pula."
"Betul. Daripada menyerah, mereka justru semakin gigih
melakukan tugas. Seperti anjing buldog saja! Mereka memang sudah
terkenal, tak lekas menyerah begitu saja. Bagaimana kalau mereka
mengetahui, bahwa aku dan Nitron yang mencuri lukisan itu?"
"Mereka akan mengetahui lebih banyak lagi dari pada itu!
Misalnya saja, mereka juga mengetahui segala operasi penyelundupan
kita? Aku tetap berpendapat, sebaiknya mereka kita habisi saja,
sewaktu di Bayport itu! Siasat menakut-nakuti, seperti yang
diperintahkan oleh boss itu, hanya berlaku untuk burung!"
Tom menghela napas. "Yah. Tetapi kita harus patuh pada
perintah. Kalau anak-anak Hardy itu merintangi kita lagi, kita
lemparkan saja mereka itu sebagai umpan buaya!"

Chapter 5
PENGHADANGAN

Biff mengepalkan tinjunya mendengar kata-kata busuk itu. "Itu


pikiranmu!" ia berpikir. Ia meneruskan mendengarkan dengan
seksama apa yang mereka percakapkan selanjutnya.
"Lebih cepat kita menghantam kedua anak Hardy itu, aku lebih
senang!" kata si gemuk.
"Begini saja, Fatso. Kalau kedua Hardy itu menyulitkan kita,"
kata Tom, "kita culik saja mereka, lalu kita bawa ...."
Biff semakin membungkuk ke depan untuk menangkap katakata mereka lebih jelas. Tom melihat suatu gerakan dari sudut
matanya. Dengan mendadak ia berpaling ke belakang, menatap wajah
Biff!
Tepat pada waktu itu pesawat bergetar, meluncur ke bawah
dengan hidungnya tertuju ke atas. Biff terlempar dari kursinya,
sementara pesawat menjadi miring ke satu sisi. Sedetik kemudian Biff
jatuh di tengah gang.
Tom dan Fatso membentur dinding pemisah, sementara
terdengar teriakan-teriakan yang campur baur dari para penumpang.
Pesawat terus meluncur menurun.
"Kita akan jatuh berantakan!" teriak Fatso ketakutan.
Untunglah pilot segera dapat menguasai pesawat. Pesawat
mulai mendatar, dan sedetik kemudian mulai melesat ke atas untuk
mencapai ketinggian yang aman. Para penumpang menjadi tenang
kembali, dan kedua orang itu bersandar kembali sambil menghela
napas lega.
Biff bangkit dengan goyah untuk berdiri, dilihati oleh Tom
dengan penuh kecurigaan.

"He! Engkau nguping pembicaraan kami, ya!" si jangkung


mendelik dengan geram.
Saya kehilangan keseimbangan, ketika pesawat itu meluncur ke
bawah," jawab Biff minta maaf. "Saya terbentur pada kursi di
belakang anda, lalu jatuh terguling di gang pemisah. Saya tak
mendengar apa-apa yang anda percakapkan."
"Nah, sekarang cepat duduk di tempatmu sana!" Tom
memperingatkan.
"Pakailah sabuk pengamanmu!" sambung Fatso. "Dengan
demikian engkau tetap di tempatmu. Dari pada gentayangan sampai
kemari!"
Biff menyeringai, seolah-olah bingung. Ia kembali ke belakang.
Dengan singkat ia lalu menceritakan apa yang didengarnya.
"Jadi, mereka itu betul orang-orang yang di hotel itu," kata
Frank. "Mereka juga penyelundup! Bagaimana pendapat kalian?"
"Si jangkung itu, si Tom, ikut dalam pencurian lukisan," kata
Chet. "Jadi, ia dan Nitronlah orang sewaan Morphy itu."
"Morphy juga sudah jelas ikut dalam komplotan mereka,"
sambung Joe.
"Aku ingin tahu, siapa boss-nya itu," kata Chet. "Tentunya
pimpinan tertinggi di kalangan kaum penyelundup."
Frank bingung. "Tetapi, mengapa mereka berbicara tentang
buaya? Di Key Blanco tidak ada buaya! Yang ada hanya di
Everglades."
"Kita bayangi saja mereka, nanti di Miami,"usul Joe.
"Barangkali mereka dapat menuntun kita, untuk mengetahui temanteman penyelundupnya!"
Tiba-tiba Chet menengadah, dan melihat kedua orang itu
berjalan di gang pemisah.
"Frank, Joe, awas!" ia mendesis.
Kakak beradik itu segera menangkap isyarat itu.

Joe buru-buru mengambil sehelai surat kabar, dan sehelai lagi


untuk kakaknya. Mereka meletakkan koran itu menutupi wajahnya,
lalu berpura-pura tidur.
Kedua orang itu makin dekat, lalu berhenti sejajar dengan
mereka. Biff telah bersiap-siap mengepalkan tinjunya. Ia akan
memberitahu teman-temannya, untuk memulai perkelahian, tetapi
pada saat itu juga Tom memanggil pramugari.
"Mana itu bantal-bantal untuk tempat duduk di depan?"
"Ya! Bagaimana anda mengharapkan kami dapat tidur?" Fatso
ikut membentak.
Nona yang cantik itu tersenyum menyabarkan. "Saya akan
membawakan bantal-bantal itu sekarang juga!"
Kedua orang itu kembali ke tempat mereka, diperhatikan oleh
pemuda-pemuda kita dengan perasaan lega. "Sudah aman," kata Biff.
Frank dan Joe menyingkirkan koran mereka.
"Mereka tak melihat kalian," kata Chet. "Untung kalian tepat
pada waktunya menutup wajah kalian!"
Joe melihat ke surat kabar yang dipeganginya, lalu tertawa
perlahan. "Bayangkan! Ini halaman olahraga. Aku, Joe Hardy,
diselamatkan oleh angka-angka hasil pertandingan baseball!"
Tiba-tiba mata Chet berbinar. "Kulihat hidangan segera
diedarkan. Harap siap teman-teman!"
Pramugari mendorong gerobak dari belakang. Ia membagikan
nampan berisi sari buah, ayam goreng, sayuran dan sepotong kue tar
apel.
Tiga pemuda makan dengan santai, hanya Chet melahap dengan
penuh semangat. Dalam sekejap isi nampan telah lenyap. Setelah
menelan potongan kue yang terakhir, ia lalu bersandar ke kursinya,
menepuk-nepuk perutnya, menutup mata dan tidur!
Frank tertawa. "Chet dan makanan memang tak terpisahkan!"
"Persis seperti roti dan mentega," Biff menyambung.

Pesawat melintasi perbatasan Florida. Tak lama kemudian,


tampak Miami Trail nampak meliuk-liuk di bawah.
Ketika pesawat mendarat di Miami, Frank dan Joe sekali lagi
menutup wajahnya dengan koran. Kedua penyelundup itu keluar
melalui pintu belakang. Keempat pemuda itu menunggu, hingga Tom
dan Fatso telah lewat, lalu berdiri di antrian paling belakang. Dengan
demikian, mereka dapat tetap mengawasi kedua orang itu tanpa
mereka ketahui.
Dua orang itu berjalan melalui lobby, menuju ke tempat
penyewaan mobil. Sementara mereka memenuhi administrasi sewa
mobil, Frank melakukan hal yang sama pada tempat penyewaan mobil
lain. Kemudian keempat pemuda itu mengendarai mobil mereka pada
jarak yang aman di belakang mobil orang-orang itu. Para penyelundup
itu mengendarai sebuah mobil kecil berwarna biru, dan mulai keluar
dari terminal.
Di mobil yang lain, Biff yang memegang kemudi. Chet duduk
di sampingnya. Frank dan Joe duduk di belakang, agar tak mudah
dilihat orang dari luar.
"Aku punya firasat, bahwa mereka itu menuju ke Key Blanco
pula," kata Frank, ketika mobil biru itu menuju ke arah selatan,
melintasi Miami Springs dan Coral Gables.
"Itu bagus!" kata Joe. "Jadi kita tak perlu membuang waktu.
Apa yang kita lakukan, hanyalah mengikuti mereka!"
"Itu lebih mudah dikatakan dari pada dikerjakan," Biff
menggerutu. "Lalu lintas begini padat!"
Ia mengemudikan mobilnya melalui Coral Gables, membayangi
mobil biru. Ia tetap mempertahankan jarak, agar jangan menimbulkan
kecurigaan.
Pada suatu kesempatan, lampu lalu lintas menyala kuning, dan
mobil biru melaju lewat. Biff berusaha mengikutinya, tetapi lampu

lalu lintas berubah merah. Ia menginjak rem dengan mendadak, dan


mobil para penyelundup menghilang di depan mereka!
"Tikus busuk! Kita kehilangan jejak mereka!" seru Biff kecewa.
"Apa yang kita lakukan sekarang?"
"Lupakan saja mereka itu," usul Chet. "Siapa sih yang
membutuhkan mereka? Aku akan memecahkan perkara ini, begitu
sampai di Key Blanco!"
Teman-temannya, yang sudah terbiasa mendengar Chet
membual, hanya tertawa. Tetapi mereka menyambut baik usul itu,
karena memang tak ada pilihan lain! Mereka meninggalkan Miami
Selatan, Kendall dan Perrine, lalu berhenti untuk makan pada sebuah
warung di Cutler Ridge. Setelah itu mereka menuju ke selatan lagi
melalui jalan raya. Dengan cepat mereka telah hampir sampai di dekat
kota Homestead.
Tiba-tiba mobil biru nampak lagi di depan mereka.
"Itu dia mereka!" seru Biff. "Kita telah dapat mengejarnya."
"Jangan kehilangan jejak mereka lagi," Joe memperingatkan.
Biff menginjak gas, hingga kini mereka lebih dekat jaraknya
dari semula. "Aku harus mengikuti mereka dengan ketat," katanya.
"Untung sebentar lagi akan mulai gelap. Jadi mereka tak akan mudah
mengetahui kita."
Sementara kedua mobil berpacu, Frank berkata: "Aku heran,
mengapa mereka nampaknya tergesa-gesa!"
"Aku merasa, bahwa kita segera mengetahui alasannya," kata
Chet seperti meramal.
Kini tak ada lagi sebuah mobil pun di antara mereka, dan kedua
mobil segera memasuki kota Homestead. Mobil biru langsung menuju
ke pusat kota, dan Biff tetap lengket mengikuti.
Tiba-tiba mobil kecil itu membelok ke kanan, memutar di
sebuah tikungan, lalu hilang dari pandangan. Hal itu terjadi begitu
mendadak, hingga Biff hampir saja melewati tikungan tersebut. Ia

membanting kemudi ke kanan sambil menginjak rem, hingga keempat


roda bersuit-suit di aspal.
Mereka berada di dalam sebuah gang yang gelap. Di kiri kanan
terdapat tembok yang tinggi. Sebuah lampu senter menyala di tengah
jalan, hingga Biff terpaksa menghentikan mobilnya. Sebuah mobil lain
diparkir kira-kira duapuluh meter di depan mereka.
Lampu senter itu bergerak-gerak, dan cahayanya menerangi
wajah Biff, kemudian wajah Chet. Dari kegelapan terdengar suara
Tom mendamprat:
"Hei, engkau telah cukup jauh membuntuti kami! Sekarang
berakhirlah perjalananmu, bersama temanmu si gemuk itu!"

Chapter 6
PETUNJUK MENGEJUTKAN

"Penghadangan!" Joe berbisik kepada kakaknya. "Tetapi


mereka belum melihat kita. Menunduk!"
Mereka turun, meringkuk di lantai mobil. Segera pula cahaya
senter menyapu tempat duduk belakang. Melihat tempat yang kosong,
Tom kembali berpaling kepada Biff dan Chet.
"Kami lihat kalian selalu mengikuti kami di jalan besar,"
tukasnya. "Sekarang kalian terjebak. Nah, kini apa yang hendak kalian
lakukan?"
Sadar, bahwa mereka menghadapi orang-orang yang berbahaya,
Biff berusaha membantah dan mengelak dari jebakan.
"Kami tak mengikuti kalian," jawabnya seperti tak bersalah.
"Sesungguhnya kami sedang menuju ke Florida Keys untuk berlibur.
Bibi saya tinggal di sana, minta agar kami menginap di sana untuk
beberapa minggu."
Chet segera menangkap maksud temannya. "Kami asyik
berbicara tentang Everglades. Jadi saya kira, teman saya ini tak sadar
masuk ke dalam gang. Saya dengar Everglades sungguh indah.
Banyak buaya di sana!"
Tom mendehem kebingungan. "Hmm. Apa yang kau ketahui
tentang buaya?"
"O, banyak orang yang senang bertarung melawan buaya!"
jawab Chet dengan tersenyum tolol. "Itulah yang ingin saya lakukan.
Ingin membentuk regu gulat melawan buaya."
"Tidak lucu!" Tom membentak.

Biff terus berceloteh. "Eh! Engkau dapat ditangkap para


pemburu gelap," katanya kepada Chet. "Di sana banyak pemburu
gelap, di Everglades!"
"Pemburu gelap?" tanya Tom dengan tajam.
"Betul! Mereka menembaki buaya, lalu menjual kulitnya! Saya
pernah membacanya di dalam majalah Mere.."
"Cukup!" Tom meledak. "Ayo, keluar dari mobil!"
Biff ragu-ragu, tetapi Chet menyikut pinggangnya. "Jangan
mengambil risiko!" ia berbisik mendesak. "Orang itu mungkin
membawa pestol. "
Ia keluar dari mobil, memutar ke samping Biff. Mereka
bertanya-tanya dalam hati, apa yang akan terjadi selanjutnya.
Sementara itu, Frank dan Joe menunggu di bagian belakang dengan
napas tertahan.
"Kami akan membawa kalian ke pantai untuk mandi!" kata
Tom kepada Biff dan Chet. "Untuk selamanya, di dasar laut!"
"Tetapi, kami tak berbuat apa-apa!" kata Chet gemetar.
"Tutup mulut! Masuk ke mobil yang itu, lekas!"
Malam sudah sedemikian gelap untuk dapat melihat. Tetapi
suara berkotreknya logam menunjukkan, bahwa orang itu benar-benar
bersenjata. Kunci pengaman pada pestol telah dibuka. Kedua pemuda
itu tak punya pilihan lain kecuali menurut. Dengan gugup dan takut
mereka menuju ke sedan biru, digiring oleh penangkapnya.
"Kita tak dapat membiarkan Chet dan Biff diculik ," bisik Joe
kepada kakaknya.
"Tentu saja tidak," bisik Frank kembali. "Mari!" Dengan diamdiam ia keluar dari mobil, diikuti oleh Joe. Untung, Biff membiarkan
pintu mobil setengah terbuka.
Dengan mengendap-endap kakak beradik itu mengejar Tom
dari belakang. Dan mendadak mereka menjegal dan menangkap Tom.

Mendengar suara gaduh, Chet dan Biff berbalik, lalu menceburkan


diri dalam pergumulan.
Frank menangkap pergelangan tangan lawannya. Dengan suara
bergelatakan pestol Tom jatuh menimpa batu. Keempat pemuda itu
baru saja mulai ada di atas angin, ketika Fatso sadar, bahwa temannya
mendapat kesulitan.
Dengan cepat ia memasukkan persneling mundur, lalu melaju
dengan mesin menggerung-gerung.
"Awas!" seru Frank. "Ia hendak melindas kita!"
Keempat pemuda itu melompat ke tepi, merapatkan diri pada
dinding. Tom melompat ke arah yang berlawanan, tangannya
menggapai-gapai agar Fatso menolongnya.
Mobil kecil itu berhenti mendadak, hanya beberapa meter dari
para pemuda. Tom membuka pintu. Dalam cahaya lampu dalam yang
menyala sekejap, para pemuda itu melihat Fatso memandangi mereka
dengan mata menyala-nyala.
"Lekas jalan!" kata Tom sambil menggertakkan gigi. "Mereka
berempat, tidak hanya berdua!" Pintu dibanting menutup, dan Fatso
menginjak gas. Sambil menghamburkan debu, mobil biru melesat
maju di gang.
Dengan terbatuk-batuk keempat pemuda itu menuju ke mobil
mereka, sambil memandangi lampu belakang mobil lawannya
menghilang di tikungan.
"Mereka telah menikung," Biff menggerutu. "Tak ada jalan lain
untuk mengejar mereka."
Frank mengangguk, "Sayang sekali" Ia terhenti sejenak.
Kakinya tersandung sesuatu yang berbunyi seperti logam beradu
dengan batu. Ia membungkuk dan meraba-raba di kegelapan.
Akhirnya jari-jarinya menemukan pestol Tom yang terjatuh. Ia
mengambilnya, dan membawanya masuk ke dalam mobil. Dengan
lampu dalam ia memeriksanya, dilihati oleh teman-temannya. Joe

mengambil alat-alat untuk memeriksa sidik jari dari kotaknya, lalu


menaburkan semacam serbuk pada gagang pestol. Tetapi harapan
untuk menemukan sidik jari tak berhasil.
"Tom memakai sarung tangan!" katanya.
Biff menggigil. "Penjahat profesional! Untung kita tak berbuat
yang bukan-bukan ketika ditodong!"
"Nah, ini merupakan barang bukti," kata Joe.
"Kita harus memeriksanya di kantor polisi," kata Frank.
"Barangkali mereka dapat mengenali pemiliknya."
"Aku usul," kata Chet. "Itu kita lakukan besok pagi saja. Kita
harus beristirahat dulu. Aku sudah loyo!"
"Aku heran, mengapa orang itu marah dan gelisah ketika Biff
menyebut-nyebut pemburu gelap!" kata Chet. "Padahal itu kan hanya
omong kosong."
Frank mengangkat bahu. "Siapa tahu? Tetapi bagaimana pun
kini mereka tahu, bahwa kita mengejar-ngejar mereka. Jadi
penyamaran kita telah terbuka."
"Apa tindakan kita selanjutnya?" tanya Chet.
"Kita pikirkan nanti," jawab Frank, "Sekarang lebih baik kita
tidur."
Malam itu, Chet bermimpi dikejar buaya. Ia sedang berada
dirawa-rawa Everglades, berlari sekencang-kencangnya dikejar
beberapa ekor buaya. Rahang yang panjang itu terbuka menakutkan.
Ia tersandung dan jatuh, dan dalam sekejap buaya-buaya itu
menerkam dia.
Sambil berteriak tertahan Chet terbangun. Ternyata hari sudah
terang. Ia menggeleng-gelengkan kepala dengan gemetar. Matanya
berkedip-kedip sebentar, lalu turun dari tempat tidur. Temantemannya ternyata sedang berpakaian.

Setelah sarapan, mereka bermobil menuju ke kantor polisi.


Frank dan Joe yang masuk, sementara Biff dan Chet menunggu di
mobil.
Seorang letnan polisi menerima mereka di meja kerjanya. "Aku
telah mendengar tentang ayah kalian. Juga perkara-perkara yang
pernah kalian pecahkan," kata pak letnan dengan tersenyum. "Apa
yang sekarang kalian tangani?"
Frank mengeluarkan pestol dari sakunya, lalu diberikan kepada
pak letnan. Letnan itu memeriksanya dengan teliti. Setelah mendengar
bagaimana Frank mendapatkan senjata tersebut, ia pergi ke almari
berkas-berkas ijin senjata. Dengan teliti ia membuka-buka halaman
setiap berkas.
"Kalian beruntung," katanya kemudian. Ia mengeluarkan
sehelai kartu, dan mengacungkannya kepada Frank dan Joe.
"Lho! Ini tercatat atas nama Harrison Wester dari Key Blanco!"
seru Frank.
"Ia adalah adik dari orang yang menyuruh kami untuk
menemukan lukisannya yang hilang," Joe menjelaskan. Ia lalu
menceritakan perkara itu kepada pak letnan.
"Kami akan membawa pestol ini kepada pak Wester," katanya
kemudian. "Tentunya telah dicuri orang."
Letnan itu mengangguk. "Tuan Harrison Wester terkenal baik
namanya. Tetapi aku tak dapat mengembalikan pestol ini, kalau ia
tidak melaporkan kehilangan. Tolong katakan kepadanya, agar ia
menelepon kemari kalau kalian sampai di sana."
"Baik, pak," kata Frank berjanji. Kemudian mereka berpamitan
dan menuju ke mobil. Segera pula mereka melaju lagi di Route I. Joe
yang memegang kemudi, sedangkan Frank yang mencari jalan dari
peta.

"Aku ingin tahu, apakah pak Wester memang kehilangan pestol


itu," kata Chet. "Jangan-jangan ia mengenal orang-orang yang terlibat
dalam perkara kita ini."
"Mereka mungkin membelinya dari pasar gelap," kata Frarik.
"Maksudmu, ada orang yang mencurinya dari pak Wester, lalu
menjualnya?"
Frank mengangguk. "Banyak penjahat yang berbuat demikian."
Joe menginjak gas lebih dalam, dan mobil semakin cepat ketika
mendekati ujung selatan daerah Florida.
"Yang jelas, pestol itu memberikan petunjuk ke arah Key
Blanco. Sulitnya, kita tak tahu ke mana tujuan kita dari sana nanti!
Perkara ini benar-benar penuh rahasia!"
"Berbahaya pula, dilihat dari sudut pertemuan dengan Tom dan
Fatso yang terakhir ini," sambung Biff.
"Kalau masih ada bahaya lagi, aku jangan diikutkan ah!" kata
Chet buru-buru.
Joe tertawa. "Jangan begitu! Kami membutuhkan engkau. Kami
tahu, engkaulah yang paling pemberani di Bayport!"
Chet tertawa kecil. "Oke! Aku yang akan menggasak penjahatpenjahat itu," ia berjanji. "Tetapi kalian harus selalu di dekatku. Aku
tak kuat menghadapi lima orang sekaligus!"
Banyolan Chet itu membuat teman-temannya tertawa. Dengan
semangat tinggi mereka melanjutkan perjalanan. Mereka tiba pada
suatu jembatan panjang, yang menjulur dari daratan Florida ke tengah
laut.
"Di mana kita sekarang ini?" tanya Biff.
"Kita sedang menyeberangi Intracoastal Water-way," kata
Frank. "Key Blanco berada tepat di hadapan kita. Ini adalah jembatan
antar pulau yang terpanjang di daerah Florida Keys ini."
Joe membelok ke selatan di Jalan Raya Laut, yang
menghubungkan rangkaian pulau-pulau tersebut. Mereka melaju dari

jembatan yang satu ke jembatan yang lain, sambil menikmati sinar


matahari, udara yang hangat serta air yang biru-hijau di kiri kanan
mereka.
Jalan Raya Laut ini merupakan jalan raya di atas laut yang
terpanjang di dunia," kata Joe. "Setidaknya, itulah yang tertulis di
ensiklopedi."
"Bagus untuk olahraga menyelam," kata Chet, melihat luasnya
perairan.
"Tetapi kita kemari untuk memecahkan suatu perkara," Joe
memperingatkan. "Bukan untuk berlibur!"
"Yaaah!" seru Chet kecewa. "Apakah kita tak dapat menyelam
setelah menangkap penjahat?" Frank tertawa. "Barangkali."
Kapal-kapal Angkatan Laut meluncur di laut, meninggalkan
jejak putih berbuih. Pesawat-pesawat AL mendengung-dengung di
udara. Suatu formasi Phantom mendesing begitu rendah, seperti
hendak terjun ke laut. Desingan mesin jet itu memekakkan telinga
bagi mereka yang ada di dalam mobil. Dengan beruntun, pilot-pilot itu
menerbangkan pesawat mereka membentuk busur melengkung, lalu
melesat di kejauhan. Dalam sekejap saja, mereka telah hilang dari
pandangan di langit yang cerah.
Mereka menyeberangi jembatan ke arah Key West, pulau yang
terakhir. Dengan perlahan mereka memasuki jalan-jalan sempit di
antara deretan rumah-rumah yang rapat. Dekat di ujung selatan,
mereka melihat papan bertuliskan: Pangkalan Angkatan Laut Key
West.
Tepat pada saat itu Chet melihat sebuah mobil biru, meluncur di
jalan samping. "He!" serunya. "itu dia mobil penyelundup itu!"

Chapter 7
BAYANGAN MENGINTIP DI MALAM HARI

"Mana" tanya Joe.


"Di tikungan itu!" kata Chet, sambil menunjuk ke tempat ketika
ia melihat mobil kecil berwarna biru.
Dengan cepat Joe membelok ke jalan samping tersebut. Mereka
melihat mobil biru itu menuju ke tempat parkir. Atas kemauan Chet,
Joe mengikutinya, dan berhenti di dekatnya. Si gemuk segera
membuka pintu.
"Tunggu sebentar!" seru Frank, setelah mengamati mobil
tersebut. Tetapi Chet telah ada di luar, melangkah lebar-lebar ke mobil
biru. Kedua tinjunya dikepalkan, dan diangkat ketika ia berdiri di
samping pintu depannya.
Pintu itu terbuka, dan keluarlah seorang perwira AL !
Mata Chet membelalak bulat dan mulutnya ternganga lebar.
Dengan kebingungan tinjunya diturunkan.
"Ada keperluan apa?" tanya perwira itu. Wajah Chet memerah.
"Ah, ehtidak pak!" ia menggagap. "Saya kira, eh, tuan orang lain."
Perwira itu hanya mengangkat bahu, lalu masuk ke markas AL.
Chet kembali ke tempat teman-temannya, wajahnya merah
bagaikan udang rebus?
"Engkau seharusnya berhenti, ketika kupanggil," kata Frank.
"Aku melihat nomor mobilnya, bukan nomor mobil yang kita cari!"
Chet hanya mengangguk dengan lesu. "Lain kali, kubiarkan
kalian saja yang mengejar penjahat!"
Mereka melanjutkan perjalanan melalui Key West. Di sana
mereka menemukan suatu tempat penyewaan mobil, lalu
menyerahkan mobil mereka.

"Bagaimana kami bisa sampai di Key Blanco?" tanya Joe


kepada penjaganya.
"Dengan ferry. Tiga blok lagi ke timur, lalu belok kiri ke arah
pantai. Kapal ferry itu akan menurunkan kalian di Kota Blanco."
Di dermaga, ferry itu sudah siap untuk berangkat. Dengan
segera mereka membeli tiket lalu naik ke kapal. Kira-kira duapuluh
orang lagi berdiri di pagar, atau duduk-duduk di bangku-bangku
panjang di geladak.
Ferry berangkat, menuju ke perairan bebas. Key West segera
mereka tinggalkan, dan kapal mulai menerjang ombak yang semakin
besar, karena angin yang semakin kencang.
Keempat pemuda itu masuk ke sebuah bilik di geladak utama,
dan berdiri di dekat jendela, jauh dari orang-orang lainnya. Ketika
mereka sedang berbisik-bisik membicarakan perkara lukisan, suatu
badai tropik mulai menyerang. Kapal menjadi oleng, naik turun
dihempas ombak. Ombak-ombak yang besar memecah di haluan,
menyiram air ke jendela-jendela.
Chet menjadi pucat dan gemetar, setiap kapal itu membelah
ombak. Dengan perut mual, ia dengan sebelah tangan memegangi
pinggang, dan yang sebelah lagi berpegangan pada ambang jendela.
"Kukira, sebaiknya aku duduk saja," katanya dengan parau.
Dengan terhuyung-huyung ia berjalan ke sederetan kursi yang
kosong. Ia menghempaskan diri di kursi, lalu bersandar ke belakang.
Tak lama kemudian ia tertidur! Suara mendengkur yang teratur segera
terdengar di ruangan itu.
"Chet mendengkur," kata Frank sambil tertawa. "Jangan lupa
membangunkan dia kalau sudah sampai!"
Tetapi ternyata ia telah bangun sendiri, ketika kapal masuk ke
dermaga di Kota Blanco. Badai telah reda, dan Chet bergegas ke
antrian yang paling depan, diikuti oleh teman-temannya.

Frank bertanya kepada penjaga karcis, bagaimana caranya dapat


sampai di Teluk Penyelundup.
"Satu mil ke utara," jawab orang itu. Betul, di sana ada sebuah
rumah yang besar di atas batu karang, rumah keluarga Wester. Kalian
dapat berjalan kaki sepanjang pantai."
Mereka berjalan kaki berkelompok. Tetapi tak lama kemudian
Chet sudah tertinggal. Ia berusaha keras untuk menempatkan kakinya
di atas pasir. Peluhnya bercucuran dan ia mulai mendengus-dengus
kepayahan.
"Ini sih pembunuhan!" ia mengeluh.
"Tahan, Chet, " kata Frank, "Kita hampir sampai."
Joe menunjuk ke sebuah rumah di atas batu karang. "Itu tentu,
rumah Wester."
Tangga dari balok-balok kayu menanjak terjal ke atas. Setelah
sampai di atas, mereka berada di serambi belakang sebuah rumah
besar, yang lantainya terbuat dari batu alam. Dari sana mereka dapat
memandang luas ke Teluk Penyelundup. Teluk itu dibatasi oleh pantai
yang sempit, melingkar dari bawah batu karang sampai daratan lain di
seberang.
Mereka memutar menuju ke pintu depan. Rumah itu
menghadap pada suatu belukar pohon bakau dan tumbuhan tropis
lainnya.
Frank menekan bel. Seorang pembantu wanita mengantar
mereka ke kamar duduk, pak Harrison sedang memeriksa sederetan
lukisan di dinding. Ia bertubuh sedang, berambut putih dan berjalan
pincang, bertopang pada sebuah tongkat yang kuat.
"Aku terluka sewaktu berolahraga selam," ia menjelaskan.
"Karena itu aku tak dapat melakukan perjalanan dengan baik.
Kakakku Raymond mengatakan, bahwa kedua anak Hardy akan
datang kemari. Tetapi sekarang yang kulihat ada empat orang!"

"Bantuan, pak," kata Frank. "Chet Morton dan Biff Hopper.


Saya harap anda tak berkeberatan."
"Tentu saja tidak. Aku mempunyai cukup banyak kamar,"kata
pak Wester sambil tertawa kecil. "Asal saja kalian dapat menemukan
kembali lukisanku. Ketika Raymond menelepon dari Bayport, ia
mengatakan bahwa potret Simon Bolivar sedang menuju kemari,
dibawa oleh dua orang suruhan. Aku sampai tak sabar menunggu.
Tetapi gambar itu tak pernah sampai. Demikian pula orang-orang
suruhannya, mereka tentu telah mencurinya."
"Apakah anda mengira, bahwa lukisan itu sudah sampai di
sini?" tanya Joe.
Pak Wester mengangkat bahu. "Itu mungkin saja. Pulau ini
sangat terkenal akan penyelundupannya. Tindakan yang paling mudah
untuk para pencuri ialah membawanya dari sini ke suatu tempat di
mana mereka dapat menjualnya. Sekarang mungkin sudah keluar lagi
dari Key Blanco. Kalau memang demikian, tolonglah bawa kembali
kemari. Bagaimana pun, aku mengharap kalian dapat
menemukannya."
"Kami mendapat petunjuk yang tepat," Joe mengungkapkan.
"Salah seorang pencurinya meninggalkan sidik jari ketika menurunkan
lukisan dari dinding. Namanya Ignas Nitron. Apakah anda mengenal
dia, barangkali?"
Pak Wester menggeleng. "Belum pernah mendengar nama itu."
"Ada petunjuk lain lagi," Frank menambahkan. "Kami
menemukan pestol anda di Homestead."
"Pak Wester nampak terkejut. "Apa maksudmu? Pestolku?"
Frank menjelaskan tentang Tom, si jangkung yang menjadi
teman Nitron pada waktu mencuri. Ia menuturkan, bagaimana Tom
dan Fatso telah dikirim ke Bayport, untuk menakut-nakuti mereka,
agar mau melepaskan perkara yang mereka tangani. Demikian pula,
ketika mereka telah menyerang Raymond Wester di Hotel Bayport.

Kemudian, para penjahat itu telah mereka bayangi berempat, sejak


dari Miami sampai di Homestead. Di sanalah Tom menjatuhkan
pestolnya, ketika bergumul dengan mereka berempat di sebuah gang.
"Kami membawa pestol itu ke kantor polisi. Mereka
memberitahu, bahwa pestol itu terdaftar atas nama anda," detektif
muda itu mengakhiri ceritanya.
Pak Wester kelihatan agak ketakutan. Ia membuka lacinya dan
ternyata kosong. "Aku tak tahu sama sekali tentang mereka ini,"
katanya. "Aku juga tak tahu, bagaimana mereka dapat memiliki
pestolku. Aku tak merasa kehilangan, karena beberapa minggu
terakhir ini aku tak lagi berlatih menembak. Hanya untuk itulah
gunanya pestol itu. Selain itu, ia selalu kusimpan di sini," katanya
sambil menunjuk ke laci. "Aku tak dapat membayangkan, siapa yang
dapat mencurinya!"
"Bagaimana tentang Morphy?"
"Sekertaris kakakku itu? Tak mungkin!"
"Ia bersekongkol dengan para pencuri," Biff menjelaskan. "Tom
sendiri mengungkapkan hal itu kepada Fatso di pesawat."
"Morphy juga tak pernah kelihatan lagi semenjak hilangnya
lukisan itu," sambung Joe pula.
Pak Wester bingung. "Semua ini merupakan hal yang baru
bagiku," katanya. Kini ia kelihatan gugup. "Aku tak pernah curiga
terhadap Morphy. Wah, sulit mempercayai orang lain sekarang ini!"
"Ini adalah Teluk Penyelundup," kata Chet. "Apakah anda juga
berpendapat, bahwa para penyelundup beroperasi dari wilayah ini?"
"Yah, sekarang tidak lagi, Chet," jawab pak Wester. "Sebutan
itu diberikan pada zaman bajak laut dulu. Saat ini, tak seorang pun
dapat membawa barang terlarang dengan leluasa. Mereka segera
terlihat dari rumahku ini."
"Tetapi pulau ini masih dikenal sebagai tempat untuk
melakukan hal-hal yang tidak sah," kata pak Wester, melihat

perubahan wajah Chet. "Hanya saja, penyelundupan itu dilakukan di


tempat-tempat terpencil, jauh dari keramaian."
"Kita harus memeriksa tempat-tempat itu!" kata Chet.
Pak Wester mengangguk. "Kuharap saja kalian akan berhasil,"
katanya. "Kalian lihat gambar pemandangan di atas perapian itu?
Besarnya sama dengan potret Simon Bolivar. Sebenarnya aku ingin
memasang lukisan itu di sana, sejajar dengan pemandangan itu. Tentu
saja, kalau kalian berhasil menemukan potret Bolivar itu!
Sesungguhnya, aku sudah seperti melihat potret itu terpampang di
situ, sekarang ini," kata pak Wester, sambil tersenyum kecil tak
kentara.
"Kami akan menemukannya!" kata Chet seperti setengah
bersumpah.
Wester mengantarkan mereka berkeliling rumah, sambil
terpincang-pincang bertopang pada tongkatnya. Ia menunjukkan
kamar-kamar bagi mereka di lantai dua. "Sampai nanti di meja makan.
Setelah itu, kalian kupersilakan memulai memecahkan rahasia
hilangnya lukisan itu."
Dengan terpincang-pincang ia turun, sementara tamu-tamu itu
memeriksa kamar mereka. Kemudian mereka berkumpul di kamar
Frank, untuk membicarakan rencana mereka.
"Kita harus merahasiakan semua tindakan kita," Frank
memperingatkan. "Kita akan menyamar sebagai penyelundup, tanpa
memberitahu kepada Wester. Sebab ia mungkin akan merusak rencana
kita. Semakin kurang ia terlibat, semakin baik."
"Itu bukan masalah," kata Joe. "Apa yang ia inginkan, hanyalah
menemukan gambar itu. Bagaimana cara kita melakukannya, ia tak
akan perduli."
Teman-temannya setuju. Bel tanda untuk makan berbunyi, dan
mereka menuju ke kamar makan. Lapar karena perjalanan yang jauh,

maka dengan bersemangat mereka menyerbu ayam goreng dan kuekue yang tersedia.
"Aku usul," kata pak Wester, "Kalian mulai saja
penyelidikannya di Kota Blanco, mungkin akan mendapatkan
petunjuk petunjuk di sana."
"Itu ide yang baik," kata Frank.
"Kalian tentu lebih tahu tentang pekerjaan detektif daripada
aku," sambung pak Wester. "Nah, anggaplah rumah ini sebagai
markas kalian. Di almari es itu selalu ada makanan kecil. Kalian juga
boleh menggunakan kaset stereo di kamar tengah kalau ingin."
Ia berdiri dari meja, lalu terpincang-pincang masuk ke kamar
kerjanya. Keempat pemuda itu menuju ke kamar tengah,
mendengarkan musik country sampai ngantuk. Kemudian mereka
masuk ke kamar tidur masing-masing.
Di tengah malam, Frank tiba-tiba terbangun, mendengar
langkah-langkah orang di kamar besar.
Sebuah bayangan mengendap-endap menuju ke tangga!
"Akan kulihat, apa yang hendak dilakukan orang itu," pikir
Frank. "Tentunya pencuri!"
Dengan diam-diam ia mengikutinya. Bayangan itu turun dan
masuk ke kamar tengah.
"Barangkali ia hendak mencuri lukisan-lukisan yang ada di
dinding," pikir Frank. Tetapi bayangan itu terus menuju ke dapur,
melalui kamar makan! "Jangan-jangan ia telah berhasil mencuri!"
pikir Frank. "Ia tentu akan melarikan diri melalui pintu belakang. Aku
harus mencegatnya!"
Dalam sekejap, detektif muda itu melesat ke pintu belakang,
lalu menguncinya. Bayangan yang mencurigakan itu kini berdiri di
dekat almari es!
"Chet" seru Frank.

Chet tertawa cekikikan. "Aku mencari makanan, seperti yang


dikatakan oleh pak Wester. Aku yakin, engkau pun mengikuti aku
untuk tujuan yang sama! Engkau ingin makan juga!"
"Makanan!" kata Frank marah. "Kukira engkau seorang
pencuri!"
Chet tertawa. "Apakah aku seperti maling?"
"Mengapa tidak? Maling juga ada yang gemuk! "
"Sudahlah! Jangan katakan aku gemuk. Yang tepat ialah penuh
gizi!"
"Chet," kata Frank dengan jengkel. "Ini sudah lewat jam tiga
malam. Aku tak mau berdebat tentang bentuk tubuhmu. Tetapi aku
mengharap, janganlah aku dibangunkan kalau tak perlu!"
Chet mengambil dua potong kue dari almari es, lalu diletakkan
pada sebuah piring. "Ini, ambillah sepotong. Ini akan membuatmu
merasa lebih segar."
Frank tak dapat menahan tertawanya. "Obat mujarab model
Morton untuk segala jenis penyakit! Terimakasih!"
Setelah selesai makan, mereka membersihkan dapur, lalu
kembali tidur. Beberapa saat kemudian, Frank terbangun lagi. Ia
mendengar langkah-langkah kaki. "Aku heran! Apa saja yang
dilakukan Chet di rumahnya sendiri," pikirnya. "Setiap kali bangun
untuk makan!" Ia enggan untuk meninggalkan tempat tidur. Tetapi
naluri detektifnya tak mengijinkan dirinya kembali tidur. Janganjangan bukan Chet! Ia bangkit, lalu membuka pintu. Bayangan yang
mencuri-curi sudah nampak di tangga!
Frank mengikutinya dengan diam-diam. Ia tak mau
membangunkan yang lain-lain. Baru saja ia hendak mendahului Chet
ke lemari es, dilihatnya bayangan itu menuju ke pintu depan, lalu
membukanya!
Fajar baru mulai merekah, dan keremangan itu memungkinkan
Frank untuk melihat dengan cukup nyata, "He!" serunya. "Berhenti!'

Orang itu berbalik sejenak, lalu lari keluar dari pintu sambil
membantingnya hingga tertutup kembali.
"Mark Morphy!" seru Frank tertahan.

Chapter 8
PENYAMARAN YANG CERDIK

Untuk sesaat, tertutupnya pintu itu menghentikan pengejaran


Frank. Ketika ia sampai di luar, Morphy telah mulai menuruni tangga
menuju ke pantai. Frank mengejar secepat-cepatnya, turun ke Teluk
Penyelundup. Morphy lari menuju ke sebuah perahu bermotor tempel,
yang ditarik ke atas pasir. Karena tak bersepatu, Frank lebih
beruntung. Ia berhasil memperkecil jarak, dan akhirnya menangkap
Morphy di tepi air.
Keduanya jatuh bergulingan dalam pergumulan yang seru.
Morphy berhasil melepaskan diri, lalu melompat bangun hendak lari.
Tetapi kaki Frank berhasil menggaetnya, dan sekali lagi Frank
menubruknya. Berkelahi mati-matian. Akhirnya Morphy meraup
pasir, lalu dihamburkannya ke wajah Frank!
Menjadi buta sesaat, Frank mengusap-usap matanya yang
pedih. Ketika dapat membuka mata kembali, ia melihat Morphy
sedang mendorong perahunya ke dalam air, lalu melompat
menaikinya. Mesin tempel segera dihidupkan. Perahu menjauh dari
tepi, membelok ke kiri mengitari karang, lalu menghilang. Hanya
suaranya yang terdengar makin menjauh!
Frank menjadi kalap! Dengan mata pedih, ia memandang ke
buronannya. Ia marah terhadap diri sendiri, gagal menangkap
musuhnya. Ia kembali ke rumah, lalu membasuh wajahnya yang
penuh pasir di kamar mandi. Tak seorang pun yang sudah bangun,
kecuali pembantu rumah tangga. Frank berganti pakaian, lalu menuju
ke kamar duduk. Ia berusaha menenangkan diri dengan membacabaca majalah.

Ketika pak Wester dan teman-teman turun untuk sarapan, ia


memberitahukan apa yang telah terjadi. Pak Wester terkejut sekali.
"Morphy belum pernah kemari sebelum ini! Aku hanya mengenalnya
di rumah Raymond di Bayport. Apakah engkau merasa pasti
mengenali dia?"
"Kakak anda menunjukkan potretnya kepada kami. Tak ragu
lagi, dialah orang yang saya kejar tadi pagi."
"Tetapi mengapa dia kemari?"
"Ia tahu, bahwa anda mempunyai banyak lukisan yang
berharga," Joe menyela. "Barangkali ia hendak mencuri lagi."
"Tetapi untuk apa ia berada di atas?" tanya Chet.
"Barangkali ia mencari lukisanku karya Degas!" kata pak
Wester dengan tegang. "Ia adalah milikku yang paling berharga! Dulu,
lama sekali gambar itu kugantungkan di kamar makan. Tetapi kini
kugantungkan di kamar tidurku. Sebab aku senang sekali melihatnya
sebelum tidur."
"Apakah Morphy tahu tentang lukisan itu?" tanya Frank.
"Mungkin sekali Raymond pernah mengatakan, ketika
menceritakan kesenangan kami akan lukisan-lukisan," jawab pak
Wester.
"Nah, terserah kalian anak-anak muda, untuk menyelidikinya!
Chet, kudengar engkau mengalami kesulitan berjalan di sepanjang
pantai. Engkau tentu senang mengetahui, ada jalan setapak di
sepanjang puncak batu karang."
"Apakah anda tidak menelepon polisi, tentang peristiwa
Morphy pagi tadi?" tanya Frank.
Pak Wester bimbang sebentar. "Aku kurang jelas apa yang akan
mereka kerjakan tentang barang yang hilang. Aku akan
memikirkannya. Sementara itu, aku menggantungkan seluruhnya
kepada kalian, untuk menyelidiki apa yang sebenarnya terjadi."

Dengan berkata demikian, ia terpincang-pincang menuju ke kamar


kerjanya.
Pemuda-pemuda tersebut menyelesaikan sarapan mereka,
kemudian berangkat menuju ke Kota Blanco. Di sepanjang jalan
mereka mempercakapkan, bagaimana mereka akan menyamar,
kemudian menemui para penyelundup.
"Kita menyamar saja sebagai pelaut," Frank mengusulkan.
"Ide yang bagus," kata Joe. "Dengan demikian, kita dapat
berkeliaran di pantai, di antara para penyelundup. Tanpa dicurigai!"
"Bagaimana dengan wajah kita?" tanya Chet. "Wajah kita telah
dikenali oleh Tom dan Fatso!"
'"Itu sudah kupikirkan," jawab Frank. "Ketika tadi aku seorang
diri di kamar duduk, aku membaca-baca di buku telepon. Di Market
Street ada sebuah toko yang menjual perlengkapan panggung"
"Chet tertawa cekikikan. "Ide yang hebat!"
"Kita dapat membuat wajahmu sedemikian rupa hingga ibumu
sendiri tak akan mengenalinya lagi!" kata Frank. "Sayang sekali, kami
tak dapat mengubah bentuk tubuhmu!"
Chet melemparkan pandangan matanya kepada Frank. "Pelaut
juga ada yang gemuk! Tahukah engkau?"
Frank tertawa. "Kukira, istilahnya yang tepat penuh gizi!"
****
Di sebuah toko perlengkapan Angkatan Bersenjata, mereka
membeli pakaian pelaut dan ransel-ransel. Ransel itu untuk tempat
menyimpan pakaian mereka sehari-hari. Kemudian mereka menuju ke
Market Street. Mereka membeli cat rambut, janggut dan kumis palsu
untuk Chet. Kemudian mengenakan penyamaran tersebut di sebuah
sudut yang sepi pada suatu taman. Setelah siap, mereka berjalan
menuju ke pantai, mereka yakin tidak diikuti orang.
Di pelabuhan, banyak kapal yang sedang mengangkat muatan
diangkat oleh kuli-kuli pelabuhan.

Sementara para pedagang mencatat barang-barang muatan.


Pelaut-pelaut bersantai-santai di pantai, dan para penonton berjalanjalan berkeliling, melihat-lihat pemandangan yang mengasyikkan.
"Berjalanlah yang wajar," bisik Frank memperingatkan temantemannya. "Ceritanya, kita mempunyai barang-barang yang berharga,
dan sedang mencari pembeli. Akur?"
"Kita akan selalu mempercakapkan hal itu," kata Joe. "Dengan
harapan, ada orang yang mendengarnya, lalu tertarik untuk menawar."
"Jika kita mendapat mangsa," usul Biff, "katakan saja kita
mempunyai mesin hitung elektronik. Kudengar, barang-barang itu
yang paling laku sekarang."
Mereka mengatur siasat, lalu membaurkan diri dalam kegiatan
yang membisingkan di pelabuhan. Mereka berjalan-jalan sambil
bercakap keras-keras, mengenai muatan berharga yang hendak mereka
jual. Sejumlah pelaut, kuli pelabuhan dan pengusaha berpaling dan
mendengarkan. Tetapi tak ada yang ikut berbicara.
Akhirnya mereka berhenti di ujung pelabuhan. Mereka
mendapatkan sebuah bangku panjang, lalu meletakkan ransel-ransel
mereka. Mereka duduk sambil membicarakan tindakan mereka
selanjutnya.
"Mari kita coba di warung kopi dan rumah makan," usul Frank.
"Di sana biasanya para pelaut berkumpul, duduk-duduk selama
mereka mendarat."
Semua setuju. Tetapi ketika mereka hendak berdiri, Joe
mendengar suara bergemerisik di semak-semak di belakang mereka.
Ia berpaling, dan melihat seseorang sedang mengintai mereka di
antara ranting-ranting belukar.
Orang itu sadar bahwa telah ketahuan, lalu melepaskan rantingranting yang disibakkannya. Joe melompat menerobos semak-semak
diikuti oleh yang lain-lain.

Buronan itu lari melalui jalan kecil di luar daerah pelabuhan.


Setelah mencapai gedung yang paling dekat, yaitu sebuah rumah
makan, ia masuk dari pintu belakang. Joe menyusul, berlari-lari di
antara tungku-tungku dan meja masak, membuat takut koki kepala dan
pembantu-pembantunya yang sedang bekerja.
Buronan itu membelok melalui pintu angin, masuk ke dalam
ruang makan. Ia berlari-lari di antara meja-meja, mendorong pelayan
kepala ke samping,lalu keluar melalui pintu putar. Setelah melewati
jendela pajangan, ia menghilang.
Joe berada di urutan kedua. Tetapi sekarang, pelayan kepala
berdiri di depannya, dengan kedua tangannya terangkat ke atas. Frank,
Biff dan Chet berhenti di belakang Joe.
"Kau pikir, rumah makan ini milik nenek moyangmu ya? tanya
pelayan itu.
"Kami sedang mengejar seorang buronan," Joe menerangkan.
Pelayan kepala itu menjadi pucat! "Apakah ia telah mengambil
uang dari kasir?"
"Belum," kata Joe marah. "Tetapi mungkin saja, kalau tidak
kami tangkap. Dia tentu melarikan diri, kalau engkau tak memberi
jalan!"
Orang itu menyisih ke samping. "Teruskan mengejar! Kalau dia
mencuri sendok-garpuku, awas, aku akan mengajukan tuduhan!"
Keempat pemuda itu keluar ke trotoar, menengok ke sana
kemari. Tetapi si penguping itu tak nampak batang hidungnya.
"Dasar sial, Joe menggerutu. "Menurut engkau, siapa dia itu?"
Frank mengangkat bahu. "Mungkin ia mendengar yang kita
bicarakan sebelumnya, lalu menjadi curiga."
"Kalau ia mau berdagang, tak perlu ia lari," kata Biff.
"Betul," Frank mengaku. "Tetapi dari penglihatanku, ia
berwajah sangat jujur. Ia juga membawa alat potret, dikalungkan di
leher. Kukira ia seorang wartawan muda, yang sedang mengejar berita

hangat. Ketika kita bangkit hendak menangkap dia, ia menjadi


ketakutan."
Joe mengangguk. "Aku juga tak percaya, bahwa Tom, Fatso
atau Morphy telah mengenali kita dalam penyamaran begini. Jadi,
mereka tentu tidak menyuruh orang untuk memata-matai kita."
"Kita juga tak dibayangi orang, ketika sedang memakai janggut
dan segala tetek-bengek ini," Chet menyambung.
Mereka kembali ke bangku. Baru saja mereka hendak
mengambil ransel-ransel mereka, terdengar suara gemerisik di semaksemak seperti tadi.
"Stt," bisik Frank. "Itu dia lagi. Kali ini kita memecah menjadi
dua. Kita coba, apakah dapat menjebaknya di tengah-tengah."
Dengan cepat Biff dan Chet memutar mengelilingi semak.
Ketika mereka telah tak nampak, Frank dan Joe berjalan lurus menuju
ke semak-semak, tempat datangnya suara. Sesosok tubuh nampak
dibelakang ranting-ranting. Empat sekawan serentak menyerbu, dan
orang asing itu terbanting ke tanah.
"Oke, pandir!" Chet berkata dengan mengertak gigi. "Kali ini
engkau tertangkap juga!"
"Siapa itu Pandir?" tanya tawanan mereka. Pada saat itu juga
mereka sadar, bahwa ia bukan orang yang tadi mereka kejar.
"Ada orang yang memata-matai kami, beberapa menit yang
lalu. Kami kira, engkaulah orang itu," Frank menjelaskan.
"Bukan aku. Aku ingin membicarakan tentang barang-barang
yang kausebut di pelabuhan tadi. Barangkali saja kita dapat
melakukan hubungan dagang, itu maksudku. Tetapi kalian malahan
menghantam aku!"
Dengan hati-hati mereka melepaskan tawanan mereka, yang
segera merayap bangun. Ternyata ia sebaya dengan mereka,
mengenakan pakaian pelaut.
"Maafkan, atas kesalahan kami," kata Frank. "Siapa engkau?"

"Junior Seetro. Aku tak sempat berbicara dengan kalian tadi,


karena terlalu banyak orang. Tetapi aku tahu, kalau seorang pelaut
bertingkah laku seperti kalian, ia tentu akan menjual barang. Karena
itu aku mengikuti kalian. Bagaimana? Ingin membicarakan hal itu?"
"Tentu," jawab Joe. "Mari duduk di sini."
Ia mengajak ke bangku. Di sekitarnya tak ada orang yang dapat
mendengar mereka.
"Aku juga lihat orang yang mencuri dengar kalian tadi," kata
Junior tanpa ditanya. "Nampaknya seperti seorang pramuka. Aku juga
mengejar dia. Nah, katakan. Apa yang kalian punyai?"
"Kalkulator elektronik," jawab Frank.
Junior manggut-manggut. "Aku tahu seseorang yang mau
membeli barang demikian. Bayarannya bagus. Ingin bertemu dengan
dia?"
"Tentu! Mengapa tidak?" jawab Biff sembarangan.
"Oke. Tunggu saja di sini. Aku akan menelepon." Junior Seetro
pergi ke telepon umum yang terdekat. Ia berbicara beberapa menit,
lalu kembali ke bangku.
"Beres!" katanya. "Kita pergi dengan mobilku."
Ia mengajak ke sebuah Cadillac tua di tempat parkir. Frank dan
Joe saling berpandangan. Keduanya berpikiran yang sama. Apakah
mereka akan masuk perangkap? Frank merasa, ada harganya untuk
mengambil risiko. Sebab mereka berhadapan empat lawan satu
dengan Junior. Ia mengangguk diam-diam. Mereka meletakkan ransel
di tempat bagasi, lalu masuk ke dalam mobil.
Junior yang memegang kemudi. Mereka berjalan kira-kira
sepuluh mil, ke sebuah rumah di dalam hutan. Letaknya di Teluk,
tertutup rapat oleh pohon-pohon dan semak-semak. Sebuah perahu
besar berukuran tujuhbelas meter tertambat pada sebatang pohon.

Junior membuka pintu rumah, dan semuanya masuk kecuali


Biff. Ia merasa, akan lebih aman jika ada seseorang yang menjaga
diluar.
Sebuah meja di sudut ruang depan memamerkan sekumpulan
barang berharga. Antara lain seperangkat tempat lilin dari emas dan
dua buah kendi dari perak.
Joe mengangguk kepada kakaknya. "Barangkali barang-barang
curian dari rumah pak Wester," ia berbisik.
"Tetapi aku tak melihat lukisan yang hilang itu," Frank berbisik
kembali.
Junior pergi ke kaki tangga, lalu berseru: "Pak N.! Kami
datang!" Ia lalu kembali menemui keempat pemuda. "Kalian menemui
orang yang tertinggi. Bapak ini menerima segala barang emas di
daerah ini. "
Pikiran yang serupa menyelinap di benak kakak beradik.
Apakah mereka akan bertemu dengan Ignas Nitron? Biff mendengar
percakapan itu dari luar, lalu masuk. Ia merasa cukup aman untuk
meninggalkan pos penjagaannya. Ia masuk tepat pada waktunya,
untuk melihat seseorang berotot kekar dengan rambut hitam sedang
turun dari tangga. Tanpa memberi salam, orang itu melotot
memandangi keempat pemuda tersebut. "Kalian hendak bertemu
dengan aku?" katanya dengan suara keras.
"Kami mempunyai dagangan," kata Frank. "Junior mengatakan,
bahwa anda akan tertarik."
"Siapa kalian ini?"
"Pelaut. Nama saya Frank. Ini adalah Joe, Biff dan Chet. Kami
bekerja pada kapal yang berbeda-beda. Kebanyakan dari daerah Pantai
Barat. Kami mendapatkan muatan ini "
"Bagaimana aku bisa mempercayai kalian?" orang itu
mengomel.

Frank mencoba mengambil kesempatan. "Memang tak bisa,"


jawabnya tegas. "Tetapi kami mendengar, bahwa anda pantas
ditemui."
"Di mana kalkulator-kalkulator itu? ia bertanya
"Kami sembunyikan di pantai Florida. Di sebelah selatan
Miami," jawab Frank dengan cepat. "Terlalu panas untuk dikerjakan
sekarang. Jika keadaan telah dingin kembali, kami akan membawanya
kemari dengan perahu kami."
Nitron manggut-manggut. "Oke. Rupanya kalian tahu apa yang
kalian lakukan."
"Kami memang telah banyak berdagang," kata Chet.
"Dan kami belum pernah tertangkap !" sambung Biff.
Nitron mengusap-usap dagunya. "Aku dapat menggunakan
tenaga kalian." katanya. "Bagaimana kalau bekerja untukku ?"
"Oke saja, kalau memang menguntungkan," jawab Frank.
"Itu pasti ! Namaku Ignas Nitron. Aku akan membayar kalian,
masing-masing seratus untuk malam ini," kata Nitron selanjutnya.
"Nanti kalian mendapat bagian, kalau aku sudah selesai
mengerjakan usahaku."
"Kapan kami mulai ?" tanya Joe.
"Sekarang juga !"

Chapter 9
TUGAS PENUH BAHAYA

"Orang-orangku segera datang," kata Nitron selanjutnya.


"Kami perlu mengambil muatan, dan memerlukan tenaga tambahan."
Selesai ia berbicara, pintu diketuk. Tiga orang masuk secara
beruntun. Mereka memandangi keempat pemuda. Kemudian ia
memberi isyarat agar berangkat. Komplotan itu menuju ke teluk, lalu
naik ke perahu besar. Junior Seetro melepaskan tali tambatan, lalu
melemparkannya ke geladak. Ia sendiri lalu melompat naik. Nitron
menghidupkan mesin, dan sebentar kemudian mereka telah berlayar
keluar dari teluk.
Perahu itu melaju melewati Key West, BocaChica Key dan
Sugar Loaf Key. Tepat sebelum Big Pine Key, Nitron mematikan
mesin. Ia melihat ke jam tangannya, lalu berkata: "Kita menunggu
isyarat di sini."
Beberapa saat kemudian, setelah isyarat datang dari pantai.
Suatu cahaya yang terang ditujukan pada suatu titik tertentu di
geladak. Cahaya itu berkedip-kedip dengan jarak waktu yang berbedabeda.
Frank dan Joe mengerti, bahwa seseorang di Big Pine Key
sedang berkomunikasi dengan sandi Morse. Mereka memang telah
berlatih menggunakan sandi pada tugas-tugas mereka. Isyarat itu
berbunyi: "TELUK HONDA JAM SEMBILAN." Kemudian cahaya
itu padam.
"Kita tak akan masuk sebelum jam sembilan. Kalau kalian mau,
mendengarkan musik, putar saja kasetku di bawah."

Keempat pemuda itu turun ke kabin. Beberapa menit kemudian


Junior menemani mereka. "Senang juga bisa beristirahat," katanya,
lalu menghempaskan dirinya di kursi.
"Mengapa ?" tanya Frank. "Engkau tak senang bekerja di sini ?"
Junior mengangkat bahu. "Setiap saat harus waspada terhadap
hukum, lama-lama bosan juga ! Aku belum pernah masuk penjara.
Tetapi aku kenal beberapa orang yang telah mengalaminya. Lebih
baik tak usah mengikuti jejak mereka !"
"Itu betul," kata Joe. "Tetapi di mana lagi bisa mendapatkan
uang seperti di sini ?"
"Kadang-kadang aku bertanya-tanya, apakah hal ini cukup
berharga," jawab Junior sambil memasang kaset. "Tetapi aku memang
tak punya pilihan lain."
"Maksudmu ?" tanya Joe ingin tahu.
Junior menghela napas. "Ah, tak apa-apa. Lupakan saja."
Karena ia tak mau lagi berbicara, Frank dan Joe tak mau
mendesak lagi. Setidaknya, untuk sementara. Mereka lalu
membicarakan soal-soal mengenai para gerombolan, yang kini harus
mereka patuhi.
Pada jam delapan tigapuluh, Nitron menghidup kan mesin, dan
mereka menuju ke pulau Big Pine. Kegelapan telah menyelimuti
lautan tropis itu. Mereka tak jelas ke mana mereka pergi. Nitron
memasuki sebuah teluk kecil. Ia sudah hafal daerah itu, seperti
mengenali jari-jari tangannya sendiri. Ia menjalankan perahunya
dengan penuh keahlian ke teluk yang sempit.
Junior melompat ke pasir pantai sambil memegang tali, lalu
ditambatkan pada sebatang pohon. Semuanya turun, dan Nitron
memberi isyarat dengan lampu senternya.
"Ke sini!" terdengar suara seperti orang gagu.

Para penyelundup berjalan menuju ke suatu tempat yang


tersembunyi dan terlindung oleh hutan bakau. Seseorang nampak
berdiri di samping setumpuk peti-peti kayu. Ia maju ke depan, lalu
berjabatan tangan dengan Nitron.
"Semuanya lengkap, Roberto ?" tanya Nitron.
"Tak ada yang ketinggalan," jawab Roberto. "Nah, mari kita
selesaikan urusan kita. Aku harus segera kembali."
Nitron mengeluarkan seikat uang dari sakunya, lalu
diberikannya kepada Roberto. Roberto menghitungnya, lalu
mengangguk, menyatakan pembayaran telah cocok. Kemudian ia
cepat pergi. "Mari, kita masukkan peti-peti ini ke perahu," perintah
Nitron.
Setiap peti memerlukan tenaga dua orang. Frank dan Joe
mengangkat sebuah peti, lalu diangkutnya ke perahu.
"Aku ingin tahu, apa isinya," bisik Frank. "Rasanya berat
seperti batu !"
Joe mengangguk. Karena ingin mengganti tangan pegangannya,
hampir saja peti itu terlepas.
"Awas !" Nitron membentak. "Ini berisi arloji Swis yang mahal!
Aku tak mau sampai ada yang rusak."
Frank dan Joe masukkan peti itu ke perahu, lalu kembali untuk
mengangkut yang lain. Chet dan Biffpun mengerjakan demikian. Hal
ini berlangsung hingga peti terakhir telah dimasukkan.
Selama perjalanan kembali, mereka semua diam tak berbicara.
Nitron mengemudikan perahu besar itu menuju ke Key Blanco.
Setelah sampai, peti-peti itu disimpan di dalam rumahnya.
Frank dan Joe mengangkat peti terakhir. Pada saat itu, mereka
hanya berdua di dalam perahu.
"Lebih baik kita beritahukan kepada polisi," kata Joe. "Ini
adalah barang curian. Kita tak dapat membiarkannya lolos !"

"Kalau kita memberitahu polisi sekarang juga, kita tak akan


mengetahui, apakah Nitron menyimpan lukisan Wester atau tidak,"
kata Frank. "Kita tunggu saja dulu, dan lihat situasi yang baik."
Mereka lalu membawa peti itu ke dalam rumah, lalu
meletakkannya di atas tumpukan.
Nitron meremas-remas tangannya dengan senang. "Kerja yang
bagus!" katanya. "Kita simpan dulu barang-barang ini untuk beberapa
bulan. Kemudian kita jual, kalau suasana sudah tak panas lagi.
Bersama-sama dengan kalkulator-kalkulator yang disimpan di
Miami."
"Nah, itu memberi kita cukup waktu," bisik Frank kepada Joe.
Nitron memberikan imbalan masing-masing, lalu berpaling kepada
Frank dan Joe. "Kalian berdua, keluar sebentar. Aku ingin berbicara
dengan kalian."
Dengan takut-takut Frank dan Joe ikut Nitron ke pantai. Apakah
Nitron telah mengetahui rahasia mereka? Kalau memang demikian,
kesempatan untuk melawan sangat kecil, sebab gerombolan itu besar
jumlahnya!
Nitron tiba-tiba berhenti lalu berbalik. "Aku menghadapi tugas
yang berbahaya," katanya. "Kita akan berlayar ke Egret Island di lepas
Dry Tortugas.
"Anda menghendaki kami tetap bekerja pada anda?" tanya
Frank dengan curiga.
Nitron mengangguk. "Tetapi aku harus memperingatkan kalian.
Tugas ini penuh risiko. Bicarakan dulu dengan teman-temanmu,
putuskan bersama kalau memang hendak ikut."
"Kami tidak takut," kata Joe. Demikian juga Biff dan Chet."
"Apa tugas itu?" tanya Frank
"Katakanlah, ini melibatkan sesuatu yang sangat berharga. Lagi
pula tempatnya penuh dengan petugas hukum. Tetapi kalian akan
mendapat bayaran yang tinggi!"

Nitron tak mau berbicara lebih lanjut. Ia kembali ke rumah.


Frank dan Joe mengikutinya, lalu memberi isyarat kepada Biff dan
Chet untuk keluar. Keempat pemuda itu berjalan santai di sepanjang
pantai, sementara Frank menjelaskan tawaran Nitron. "Muatan yang
dikatakan sangat berharga, jangan-jangan potret Simon Bolivar," ia
menyimpulkan. "Apakah kita ikut?"
"Tentu!" kata Chet. "Kita sudah berhasil menyelundup di antara
mereka, harus tetap ikut serta. Sampai kita temukan apa yang kita
cari!"
"Tetapi ingat! Nitron telah mengatakan, bahwa hal ini sangat
berbahaya!"
Chet nampak sedikit khawatir. "Memang. Nah, kalau begitu,
barangkali lebih baik salah satu dari kita tinggal di sini. Untuk
mengawasi rumah itu. Aku mengajukan diri sebagai sukarelawan!"
"Tidak," kata Biff. "Kita kurang tenaga. Tak mungkin dikurangi
satu lagi!"
"Oke, oke!" kata Chet mengalah. "Jangan dikatakan nanti Chet
Morton meninggalkan teman-temannya dalam kesulitan!"
Mereka kembali ke rumah, dan Frank memberitahu kepada
Nitron bahwa mereka akan ikut serta. "Perkenankan saya menelepon
dulu seorang teman, yang menunggu kedatangan kami," sambungnya.
"Boleh. Telepon ada di sebelah sana."
Frank memutar nomor telepon pak Wester. "Kami terikat oleh
tugas sementara ini," katanya, "tetapi jangan khawatir."
****
Malam itu mereka tidur di rumah kecil, sedangkan yang lainlain tinggal di kapal. Di waktu pagi, mereka berangkat menuju ke
barat. Mereka berhenti di salah satu pulau dari Torturas, dan Nitron
mengizinkan anggota-anggota komplotan itu naik ke darat. Tetapi ia
memerintahkan Frank dan kawan-kawannya tetap tinggal di perahu.

"Mereka perlu beristirahat," kata Nitron. "Karena itu mereka


kubiarkan di darat untuk beberapa jam. Kalian yang menjaga. Aku
sendiri perlu tidur sebentar."
Ia masuk ke kabin. ketika mereka yakin, bahwa Nitron telah
pulas, mereka lalu menggeledah perahu. Mereka mencari-cari, di
mana kira-kira lukisan itu disembunyikan. Tetapi di bagian atas,
mereka tak menemukan apa-apa.
"Kukira ada di bawah,"' kata Joe. "Mungkin Nitron telah
melepaskan lukisan itu dari bingkainya lalu digulungnya. Kemudian
disembunyikan di dalam salah satu laci di kabin."
"Atau di almari besi," sambung Frank. "Kalian bertiga
memeriksa laci-laci. Aku yang menangani almari besi. Tetapi hatihati! Jangan sampai membangunkan Nitron, kalau tak mau dihabisi!"
Dengan mengendap-ngendap mereka turun ke kabin,
menyelinap didekat bangku tempat Nitron tidur. Mereka melihat alatalat menyelam, pelampung-pelampung, peta-peta laut dan alat-alat
pelayaran. Tetapi tak nampak sebuah lukisan pun. Sementara itu,
Frank berlutut di depan almari besi. Ia mengeluarkan kotak
detektifnya. Ia mengambil sebuah alat mini untuk mendengar, dan
ditempelkan di dekat angka-angka kombinasi kunci rahasia. Sambil
meletakkan telinganya pada alat tersebut, ia memutar-mutar angka
kombinasi, mencari kombinasi yang tepat untuk membuka pintu
almari besi.
Tiba-tiba suara Nitron mengguntur di belakangnya "He! Apa
yang kaulakukan?"
Frank tertegun sejenak, mulutnya terasa kering. Dengan
perlahan-lahan ia memutar tubuhnya, berharap mendapat jalan keluar
dari bahaya.
Ia ternganga heran. Nitron tidak berdiri di belakangnya seperti
yang disangkanya! Penyeludup itu tetap terbaring dengan mata
tertutup! Hanya bibirnya yang bergerak-gerak. "Apa yang

kaulakukan," ia mengulang. "Engkau hendak membawa barangbarang ini ke Key Largo? Kalau begitu, aku minta bagianku! Akan
kukatakan ." Sisa kalimat itu hanya terdengar menggumam, tak
dapat ditangkap maksudnya.
Frank menghela napas lega. "Ia hanya mengigau," pikirnya.
"Huhh! Hampir copot jantungku!"
Masih sedikit gemetar, ia kembali menghadapi almari besi,
mencoba-coba berbagai kombinasi. Akhirnya ketemu juga, dengan
sangat hati-hati, sesenti demi sesenti ia membuka pintu, lalu mengintip
ke dalam.
Almari besi itu kosong!

Chapter 10
KAKEK AHLI KIMIA

Dengan diam-diam Frank menutup kembali almari besi, lalu


menyelinap lewat di dekat Nitron yang masih tidur. Ia naik ke atas, ke
geladak. Teman-temannya sudah ada di sana.
"Tak ada apa-apa di almari besi," ia melapor.
"Tak ada apa-apa sama sekali?" tanya Chet tak percaya.
"Tidak. Aku tak dapat me" Ia berhenti, mendengar langkahlangkah kaki. Nitron keluar dari kabin, membawa sebuah peta laut.
Peta itu dibeber di atas sebuah lemari di buritan.
"Inilah Egret Island," katanya kepada mereka, sambil menunjuk
ke sebuah tempat di peta. "Kira-kira setengah perjalanan antara
Florida dan Dry Tortugas. Masalah kita ialah, banyaknya polisi yang
berpatroli di daerah itu."
"Mereka mungkin akan menahan kita," kata Joe.
Nitron mengangguk. "Karena itu aku telah memperingatkan
bahwa ini adalah tugas yang berbahaya! Jika polisi menahan kita, aku
ingin, agar kalian dan Junior segera bertindak. Kalian harus segera
berkelahi untuk menarik perhatian mereka. Dengan demikian, aku
dapat mengamankan muatan bersama ketiga orangku."
"Meninggalkan kami sebagai kambing hitam?" tanya Joe, tak
percaya dengan apa yang didengarnya.
"Aku akan membayar kalian, masing-masing limaratus! Tetapi
kalau kalian tertangkap, itu urusanmu sendiri."
Keempat pemuda itu saling berpandangan. "Kini aku tahu! kata
Frank sambil mengertakkan gigi. "Anda berani membayar kami tinggi,
tetapi anak buah anda tak melibatkan diri dalam bahaya!"

Nitron hanya mengangkat bahu. "Limaratus, terserah pada


kalian tinggal mau atau tidak!"
Pada saat itu anak buah Nitron berdatangan dari istirahat
mereka di darat. Nitron menjelaskan siasatnya kepada mereka, dan tak
lama kemudian ia menghidupkan mesin perahunya. Ia
mengarahkannya ke Egret Island.
Keempat pemuda Bayport itu berunding dengan berbisik-bisik.
"Kita tak mungkin dapat melindungi coro-coro ini melawan polisi!"
bisik Biff.
"Kita memang tak akan melakukan hal itu," bisik Frank
kembali. "Tetapi kita harus bertahan di sini selama mungkin, untuk
menemukan lukisan itu!"
Junior ikut angkat bicara. "Cocok sekali!" ia menggerutu.
"Siapa yang akan menanggung risiko yang berbahaya itu?
Bukan dia dan begundel-begundelnya, bukan! Kita yang harus
melindungi mereka, sehingga mereka dapat menyelamatkan muatan
itu dan melarikan diri!"
"Apakah dia pernah berbuat yang demikian ini sebelumnya?"
tanya Biff.
"Sudah tentu! Dan selalu aku, atau orang lain seperti aku."
"Kalau begitu, mengapa engkau tetap ikut?"
"Kalau tidak ikut, aku sudah tak mungkin bisa berkeliaran
begini. Kaukira aku senang terlibat di sini? Ia memaksa aku, karena ia
telah menguasai aku. Nah, sekarang, kalian sudah seiring sejalan
dengan aku!"
"Aku jadi tak mengerti!" kata Biff. "Dia kan tak mungkin
melaporkan kepada polisi?"
"Lebih kejam daripada polisi, ia mempunyai algojo sendiri,
yang akan melakukan tugas itu. Ia juga tak akan mengirimkan engkau
ke penjara. Yang pasti ke dasar laut!" Junior mengangkat bahu tak
berdaya. "Kalian memang baik-baik. Aku sungguh-sungguh

menyenangi kalian. Maafkan aku, karena telah melibatkan kalian ke


dalam komplotan busuk itu, tetapi aku tak punya pilihan lain."
"Aku senang engkau menceritakan semuanya itu," kata Frank.
"Barangkali saja kita dapat menemukan jalan keluar. Mari, kita
pikirkan hal itu."
****
Nitron menghentikan perahunya. Egret Island nampak di kaki
langit. Ia mengambil sebuah teropong yang kuat, dan dengan seksama
ia meneliti daerah pantai.
"Ada kapal di sana," katanya. "Dari utara ke selatan. Kita akan
masuk kalau ia telah pergi. Semoga tidak ada kapal lain yang muncul
lagi!"
Dengan wajah tegang Nitron menjalankan perahu ke dekat
pulau, lalu membelok ke utara. Keempat pemuda itu melihat rumahrumah peristirahatan yang menghadap ke laut. Lebih jauh lagi, yang
nampak hanya pohoh-pohon dan semak-semak. Kawanan burung
putih berleher panjang terbang di udara. "Itulah burung bangau!" kata
Frank.
Nitron mengarahkan perahu ke pantai, lewat pohon-pohonan
yang rapat, sulur-sulur dan akar-akar bakau. Sebentar kemudian
mereka meluncur di sebuah teluk yang dalam, menjorok seratus meter
ke darat. Sampai di ujung, Junior melompat ke darat sambil
memegang tali, yang lalu diikatkan pada sebatang pohon.
Nitron memanggil semua orang ke geladak. "Anak-anak,"
katanya.
"Kalian tinggal di sini menjaga perahu. Yang lain-lain ikut aku
ke darat."
"Nah, kalau polisi datang, kita yang harus menghadapinya
dengan tangan kosong!" Junior menggerutu, setelah para penyelundup
itu naik ke darat. Kemudian ia berpaling kepada Frank. "Apakah
engkau sudah mendapat jalan keluar yang sip?"

"Aku sedang memikirkan, katakanlah, apa yang kauketahui


tentang Egret Island ini?"
"Tak ada. Aku memang pernah kemari dengan mereka, tetapi ia
selalu meninggalkan aku untuk menjaga perahu. Aku tak pernah
melihat apa yang mereka kerjakan."
"Maukah engkau pergi, melaporkan mereka ini kepada polisi?"
tanya Joe.
"Engkau bercanda? Mana aku punya bukti! Polisi tak akan
percaya kepadaku. Paling-paling aku dilepaskan lagi, disuruh
mengintip-ngintip di sekitar sini. Kalau sudah demikian, Nitron tentu
memergoki, dan membereskan aku!"
"Polisi akan mempercayai kami!" kata Frank.
"O, sudah tentu! Siapa kalian? Hanya sekelompok anak kecil di
luar hukum!"
"Kami ini detektif," kata Frank. "Polisi telah tahu, bahwa kami
sedang menyelundup di antara penjahat. Aku Frank dan ini Joe
Hardy."
"Hardy?" kata Junior terbelalak lebar. "Maksudmu, anak-anak
Hardy yang itu?"
"Betul. Kami datang untuk menemukan sebuah lukisan yang
sangat berharga. Nitron telah mencurinya di Bayport, sebuah potret
Simon Bolivar. Pernah melihatnya?"
Junior menggeleng. "Tidak, Belum pernah. He, bung! Kalian ini
benar-benar anak Hardy?"
"Percayalah," kata Chet. "Mereka sedang menangani suatu
perkara. Aku dan Biff membantunya."
"Dengar! Kita tak dapat membuang-buang waktu," kata Joe.
"Apakah engkau tahu, ke mana perginya Nitron jika sedang kemari?"
"Aku pernah mendengar, ia menyebut-nyebut sebuah bukit di
ujung sana, melalui sebatang pohon palem tinggi, di seberang sebuah
empang."

"Baik," kata Frank. "Joe dan aku akan pergi. Berusaha untuk
menemukan sesuatu. Jika mereka kembali, katakan saja bahwa kami
sedang ke hutan mencari buah kelapa. Oke?"
"Oke!" kata Junior. "Kalau kalian dapat melepaskan aku dengan
selamat, aku tak mau lagi melakukan hal-hal yang melanggar hukum."
Joe tersenyum. "Kami akan mengusahakan hal itu."
Beberapa saat kemudian, kakak beradik itu menerobos semaksemak. Mereka mengikuti jejak dari ranting-ranting patah dan telapak
kaki, yang rupanya bekas dilewati oleh para penyelundup. Jalanan itu
menanjak, dan tak lama kemudian kedua pemuda itu berada di puncak
sebuah bukit.
"Itu dia, pohon palem itu," kata Joe menunjuk "tetapi aku tak
melihat empang."
"Hanya ada satu yang dapat kita lakukan," kata Frank. Ia
melepaskan jaket dan sepatunya, lalu memanjat pohon palem. Kaki
dan tangannya bekerja keras, sampai ia dapat berpegangan pada
pelepah-pelepah daun. Ia lalu melihat ke sekeliling
"Itu dia, di sana," katanya. "Ada sebuah gudang di sisi lainnya.
Barangkali itulah tempat yang kita cari."
Ia merosot turun, lalu mengenakan sepatu dan jaketnya kembali.
Mereka menuju ke empang, mengitarinya, lalu berhenti di rumpun
semak-semak. Dari celah-celahnya, mereka dapat melihat sebuah
gedung bertingkat. Asap hitam yang tebal mengepul dari
cerobongnya.
"Ada orang di dalamnya," kata Frank perlahan-lahan.
Mereka menyelinap di semak-semak, hingga sampai di samping
sebuah jendela yang terbuka. Dengan hati-hati mereka mengintip ke
dalam.
Yang mereka lihat pertama kali sebuah tungku berapi yang ada
ditengah-tengah ruangan. Uap api mendesis keluar dari katup-

katupnya. Logam cair meleleh ke dalam saluran besi tuang, dan dari
sana mengalir lagi ke dalam periuk besi tuang.
Sebuah tong berisi bongkahan-bongkahan timah hitam berdiri
pada satu sisi dari tungku. Sebuah lagi berisi ampas bijih ada di sisi
lainnya. Gayung, sendok besar dan tang-tang berserakan di lantai. Di
dinding tergantung-sebuah daftar tanda-tanda ilmu perbintangan, dan
di sampingnya sebuah gambar tata-surya, yaitu planet-planet yang
beredar di sekeliling matahari. Di hadapan gambar matahari tertulis
EMAS dalam huruf besar-besar.
"Aku hampir tak percaya!" bisik Joe. "Seperti laboratorium
seorang sarjana yang sinting!"
Seorang tua berdiri di samping meja, memegangi sebuah
percobaan berisi cairan keemasan berasap putih.
Dengan tangan yang satunya ia menarik-narik janggutnya yang
panjang putih. Ia mengenakan jubah keemasan, bertotol-totol bintang
hitam, dan sebuah topi tinggi yang runcing.
"Emas, keluarlah engkau!" kakek itu bergumam, sambil
memandangi tabung percobaannya. "Seorang ahli kimia!" Frank
mengguman.
Kakek itu meletakkan tabungnya di sebuah rak, berjalan ke
tungku, lalu mengambil sebuah pengaduk. Sambil bergumam ia
memandangi logam cair yang meleleh ke dalam periuk, dan pengaduk
itu lalu di masukkan ke dalam sakunya!
Seorang yang lebih muda dan berpakaian biasa masuk dari
ruang belakang. "Profesor Viga, Nitron dan teman-temannya
menunggu di hutan, di luar sana."
"Katakan, agar mereka masuk ke kamar belakang, Myer! Kita
dapat berbicara di sana," jawab ahli kimia itu. Kedua orang itu
meninggalkan laboratorium dan menutup pintu. Keheningan
menyelubungi ruangan itu, hanya suara gemeritiknya tungku.

"Kalau kita masuk ke dalam," bisik Joe, "kita dapat mencuri


dengar pembicaraan mereka."
Frank mengangguk. "Mari kita masuk melalui jendela." Sambil
memegangi ambang pintu ia menjejakkan kakinya untuk melompat.
Ia mengayunkan kakinya melalui ambang jendela, lalu turun
dengan perlahan. Joe mengikutinya.
Mereka bergerak dengan cepat ke sisi yang lain dari
laboratorium itu, melangkahi perkakas-perkakas yang aneh-aneh.
Bentuk-bentuk geometris, yang terbuat dari kayu, besi atau batu.
"Itu maksudnya untuk memberikan tenaga gaib," bisik Joe,
sambil menunjuk ke arah sejumlah bentuk-bentuk bulatan dan
piramid.
"Sim salabim!" Frank tertawa tertahan.
Di tengah ruangan, mereka merasakan hawa panas yang sangat
dari tungku dan logam cair, yang meleleh pada sebuah bola batu
sebesar kelereng!
Frank kehilangan keseimbangan, dan terlempar ke arah periuk
berisi timah hitam cair!

Chapter 11
SEBUAH PUSAKA

Joe meraih ke arah kakaknya penuh ketakutan. Jari-jarinya


sempat menangkap ujung jaketnya, lalu ditariknya kuat-kuat
kebelakang.
"Engkau tak apa-apa?" ia bertanya khawatir.
"Selamat," jawab kakaknya menenteramkan. "Asal aku tak
disuruh mandi di periuk itu saja! Terimakasih, Joe!"
Gemetar karena hampir terkena musibah, Frank berbalik dari
tungku menuju ke pintu. Mereka mendengar suara-suara yang lirih,
tetapi tak dapat menangkap yang dipercakapkan. Dengan hati-hati
Frank melepaskan gerendel pintu, lalu didorongnya sedikit
membentuk celah. Apa yang dapat dilihatnya hanya sebuah tong berisi
ampas bijih, sisa timah yang terbakar. Tetapi kini mereka dapat
mendengar lebih nyata.
"Professor Viga. Apakah anda telah berhasil mengubah timah
hitam menjadi emas?" tanya Nitron.
"Belum," Viga mengaku. "Tetapi aku yakin, aku telah
menemukan rumusnya! Tinggal beberapa percobaan lagi, dan aku
akan melakukan penemuan yang terbesar untuk abad ini!"
"Orang sinting!" bisik Joe.
Nitron berjalan ke tong berisi ampas bijih, hingga Frank dan Joe
dapat melihat dia. Myer juga nampak di samping dia.
Sambil menunjuk ke tong, penyelundup itu bertanya: "Apakah
ini timah hitam yang telah dibakar?"
"Ya," jawab Viga.
Dengan diam-diam Nitron mengeluarkan sepotong logam
kuning dari sakunya, dan dipegangnya di belakang punggungnya.

Myer menyambutnya, lalu menjatuhkannnya ke dalam tong, sambil


tetap berbicara dengan profesor sinting itu.
"Ia "menggarami" ampas timah hitam itu!" bisik Frank.
Maksudnya melakukan akal bulus dengan meletakkan sesuatu pada
tempat tertentu, kemudian berpura-pura menemukan benda tersebut.
Tiba-tiba Myer berseru: "Emas!" Ia meraih ke dalam tong dan
mengeluarkan gumpalan kuning yang dia jatuhkan sendiri tadi.
Diangkatnya agar dapat dilihat oleh Viga. Gumpalan itu bercahaya
lunak.
Viga bergegas menghampiri lalu menangkapnya "Aku tentu tak
melihatnya!" katanya parau. "Apa masih ada lagi yang lain? Coba
lihat!" Dengan gairah ia mengais-ngais di dalam tong, melemparlemparkan ampas bijih keluar. Kepalanya makin lama makin dalam
terbenam ke dalam tong.
Akhirnya berdiri tegak lagi. "Tak ada lainnya!" katanya kecewa.
Kemudian ia menjadi cerah kembali. "Tetapi ini membuktikan, bahwa
rumus-rumusku memang benar! Tinggal mencobanya kembali, untuk
mengetahui, rumus mana yang berhasil merubah timah hitam menjadi
emas. Nanti kalian dapat menjualnya di pasaran, saudara Nitron! Kita
akan menjadi jutawan!"
Nitron mengangguk. "Tetapi sekarang ini kita menghadapi
masalah kecil," katanya. "Anda mengatakan, akan membuat emas
yang cukup untuk membiayai usaha kita. Tetapi aku sendiri kehabisan
modal sama sekali! Sebaiknya anda memberikan pusaka keluarga
anda itu, untuk menutup kekurangan-kekuranganku. Sampai anda
berhasil membuat emas itu!"
Viga manggut-manggut. "Aku akan tetap pada perjanjian kita.
Tak lama lagi, kita akan mempunyai emas yang kita butuhkan, dan
aku akan membeli kembali pusaka keluargaku itu."

Nitron mengangkat bahu. "Bagus. Aku akan meminjam uang


untuk itu, untuk membayar segala rekening-rekening, sampai anda
mulai berproduksi secara masal."
Viga merogoh ke dalam saku jubahnya. Ia menarik sebuah
kotak permata berwarna hitam. Dibukanya, menunjukkan seuntai
kalung berlian yang sangat indah!
Frank menyikut adiknya! "Ya itulah barang berharga yang
dikatakan oleh Nitron," bisiknya. "Jadi bukan lukisan Wester!"
Nitron menerima kalung itu dan mengangkatnya ke depan
matanya. Berlian-berlian itu berkilau gemerlapan.
"Ini milik ibuku," kata Viga. Karena itulah aku tak ingin
berpisah dengannya."
"Aku akan merawatnya dengan baik," kata Nitron
menentramkan sambil tertawa sinis. Ia memasukkan kalung itu ke
dalam kotaknya, lalu dimasukkannya pula ke dalam sakunya. Ia
menjabat tangan Viga. "Kini kami harus ke Key Blanco."
Terdengar suara langkah-langkah sepatu, menandakan bahwa
para penyeludup itu bangkit.
Frank dan Joe mundur melintasi laboratorium, saat itu tungku
meledak! Lidah api menyambar-nyambar, dan katup-katupnya
menyemprotkan uap berkepul-kepul. Timbal yang meleleh cair
mengalir ke dalam periuk, sementara katup pengaman terlepas dengan
suara mendesis tajam.
Kekuatan ledakan itu menggetarkan lantai rumah. Sesaat
kemudian pintu belakang pecah terbuka, menampakkan kedua pemuda
itu berlatar belakang nyala api yang menyilaukan!
"Frank dan Joe!" seru Nitron. "Untuk apa kalian di sini? Aku
memerintahkan kalian tinggal di perahu!"
Kakak beradik itu memutar tubuh, lalu lari melintas ruangan.
"Mata-mata!" teriak Nitron. "Tangkap mereka!"

Bersama anak buahnya, ia berlari mengejar detektif-detektif


muda itu, yang tak mendapat kesempatan lagi untuk melompat keluar
dari jendela. Mereka mengitari tungku, menuju ke sebuah tangga ke
loteng.
Joe melihat sebuah peti berisi batu-batu bulat sebesar kelereng,
yang masing-masing bergambar tanda bintang mistik ilmu kimia. Ia
meraup segenggam, lalu dihamburkannya ke kaki para pengejarnya.
Mereka tergelincir dan terpeleset, lalu jatuh bertumpang tindih di
lantai!
Kakak beradik Hardy mamanjat tangga ke loteng. Dengan takut
mereka melihat sekelilingnya, mencari sebuah jendela atau tingkap
yang dapat digunakan untuk keluar ke atap. Tetapi mereka tak
menemukan jalan sama sekali. Joe mencoba untuk merubuhkan
tangga, tetapi sudah terlambat! Para penyelundup telah berdesakan
naik ke loteng.
"Kita terperangkap!" seru Joe.
Frank menariknya dalam suatu rongga di dalam dinding, dekat
dengan tangga. Ia memberi isyarat untuk diam tak bersuara.
Seorang demi seorang, Myer dan para penyelundup naik ke
tangga loteng. Mereka tak melihat kedua pemuda itu, dan langsung
lari ke sebelah ujung loteng. Nitron datang yang terakhir. Ketika ia
melangkahkan kakinya di loteng, kotak permata Viga yang menonjol
dari sakunya jatuh. Tetapi ia tak mengetahuinya, dan terus ikut berlari
ke ujung belakang loteng. Suara mereka hiruk-pikuk, berteriak-teriak
sambil mencari-cari kedua pemuda tersebut.
Frank dengan cepat meraih kotak permata, kemudian bersama
Joe ia merosot turun dari tangga. Sampai di bawah, tangga itu
ditariknya jatuh ke lantai!

Mendengar bergedobraknya tangga jatuh, Nitron dan pengikutpengikutnya lari bergerombol ke pinggir loteng. Mereka berteriakteriak sangat marah, sambil mengacung-acungkan tinju ke bawah.
Viga memperhatikan pengejaran itu dengan diam tak bersuara.
Lalu ia bertanya: "Ada apa ini semua?"
"Mereka adalah penyelundup-penyelundup!" Frank mendesis,
sambil berlari keluar dari rumah. "Mereka penjahat-penjahat!" Ini
kalung anda. Jangan diberikan lagi kepada mereka!" Ia mengacungkan
kota permata itu kepada kakek yang hanya kebingungan! Kemudian ia
berlari lagi, diikuti oleh adiknya.
Viga mengikuti dari belakang. "Tunggu!" teriaknya.
"Maksudmu, semua alkhemiku ini tak ada gunanya sama sekali?"
"Betul," kata Frank, sambil menarik lengannya "Mari! Anda
harus melaporkan ini semua kepada polisi! Gumpalan emas itu
diletakkan dengan sengaja oleh Myer. Kami melihatnya sendiri. Ia
hanya berpura-pura menemukannya dari dalam tong!"
Viga tertegun. "Pembantuku? Ia termasuk komplotan itu?"
"Betul," Frank memastikan. Ia menarik profesor itu besertanya,
sementara mereka berlari cepat ke arah perahu. Celakanya, pak Viga
justru menghambat mereka. Pengaduk yang ada di sakunya berat.
Demikian pula ujung jubahnya harus selalu dipeganginya, agar tidak
menyerimpat jalannya. Topinya yang runcing kerap pula merosot
menutup matanya, sehingga sewaktu-waktu harus pula didorong ke
belakang.
Ketika mereka sampai di puncak bukit, pak Viga sudah
tersengal-sengal kepayahan.
"Tahanlah, profesor," Joe memberi semangat. "kita sudah
hampir sampai."
"Penyelundup-penyelundup itu tentu sudah dapat turun
sekarang," kata Frank. "Aku yakin, mereka tentu sudah semakin dekat
mengejar kita."

Suara semak-semak yang berkerosak diterjang membuktikan,


bahwa kata-kata Frank memang benar. Dengan kalut Frank dan Joe
menyeret pak tua menuruni bukit. Akhirnya mereka menampak
perahu, Biff, Chet dan Seetro menunggu di geladak, melambailambaikan tangan kepada mereka.
Sungguh celaka. Pada saat itu juga pak Viga terserimpat
jubahnya sendiri, jatuh tersungkur! Topinya lepas berguling-guling.
Kedua pemuda itu terpaksa berhenti, membantu pak tua bangun
berdiri.
Nitron dan kawan-kawannya berlompatan keluar dari semaksemak, menghambur menyerbu! Melihat itu, Chet, Biff dan Seetro
melompat turun dari perahu, melibatkan diri dalam perkelahian, maka
terjadilah keroyokan yang simpang siur. Biff mendaratkan sebuah
pukulan lurus, dan seorang lawan jatuh tertelentang. Sementara itu
tinju Chef mengenai perut seseorang, hingga terhuyung-huyung
terbungkuk-bungkuk.
Frank bergumul melawan Nitron, sedangkan Joe berhasil
memiting Myer. Pak Viga mula-mula berdiri terpaku. Kemudian,
tanpa disadarinya, pengaduk yang berat itu sudah berada di tangannya.
Ia memukul Nitron sekuat-kuatnya! Penyelundup itu pingsan.
Kemudian giliran Myer. Melihat dua lawan sudah pingsan, pak tua
semakin mengamuk. Pengaduk berat itu diayunkan ke kanan ke kiri,
dan semua anggota komplotan itu bergelimpangan di tanah tak
sadarkan diri!
Keempat pemuda menyeringai melihat lawan-lawannya.
"Hebat, pak Viga!" seru Frank. "Anda berhak mendapat bintang!"
"Lebih baik mereka kita ikat dulu, sebelum mereka siuman
kembali," kata Joe menasihati.
"Gampang!" jawab Junior. Ia berlari ke perahu dan kembali
membawa segulung tali dan sebilah pisau pelaut. Tali itu lalu
dipotong-potongnya, dan dibagi-bagikan kepada teman-temannya.

Tak lama kemudian semua penyelundup itu telah terikat erat tangan
masing-masing di punggungnya.
Nitron yang pertama-tama sadarkan diri. Frank dan Joe
menyuruh naik ke geladak dan duduk di sana. Seorang demi seorang
yang lain menyusul. "Kita bawa mereka langsung ke kantor polisi,"
kata Frank.
Ia menghidupkan mesin, dan mengemudikan perahu itu ke
tengah, ke perairan bebas. Di perjalanan menuju ke pantai, sebuah
kapal patroli polisi melintas di haluan. Seorang perwira memberi
perintah dengan pengeras suara, agar mereka berhenti. Frank
mengangguk mengerti, lalu menghentikan perahunya.
Kapal patroli mendekat ke samping, dan seorang letnan polisi
melompat ke geladak perahu mereka. Melihat orang-orang yang
terikat di geladak, ia bertanya: "lho! Apa yang terjadi di sini?"
"Itulah Ignas Nitron dengan komplotan penyelundupnya,"
jawab Frank. "Kita menangkap mereka, ketika sedang memeras
profesor Viga."
"Apa?" tanya letnan dengan mata terbelalak. Frank lalu
menceriterakan secara terperinci tentang tugas mereka.
"Kalian telah bekerja dengan gemilang!" kata letnan itu pada
akhirnya. "Kami sendiri telah lama berusaha menangkap penjahatpenjahat ini. Sekarang, atas jerih payah kalian, akhirnya mereka jatuh
ke tangan kita juga!"

Chapter 12
PETUALANGAN DI EVERGLADES

Letnan itu berpaling kepada pak Viga. "Apakah anda bersedia


mengatakan, apa urusan anda dalam hal ini semua, profesor?"
"Saya mempercayai ilmu kimia." pak Viga mengaku. "Saya
membutuhkan sebuah laboratorium, Myer membantu mendirikannya
di gudang. Beberapa lama kemudian ia membawa Nitron kepada saya.
Rupanya mereka pura-pura percaya, bahwa saya dapat merubah timah
hitam menjadi emas. Sekarang saya sadar, bahwa saya telah mereka
kelabui."
"Pak letnan, ini adalah permainan yang curang." kata Frank.
"Nitron dan Myer menaruh segumpal emas pada ampas timah, lalu
berpura-pura menemukannya."
Pak Viga menghela napas. "Aku telah bersusah payah membaca
segala buku tentang kimia. Aku juga melakukan berbagai percobaan,
dengan harapan, tungku itu menghasilkan emas. Semuanya itu
ternyata tak berguna sama sekali!" Ia membenamkan kepalanya ke
dalam kedua tangannya, dan mengeluh penuh kecewa.
"O iya! Tungku itu masih menyala di laboratorium!" kata Joe
memperingatkan.
"Aku akan menyuruh memadamkannya," kata pak letnan. Ia
lalu memerintahkan seorang bawahannya untuk pergi ke gudang.
Setelah menyebutkan hak-hak para tawanan tentang hukum, ia mulai
memeriksa mereka. Karena di hadapkan pada kenyataan-kenyataan,
Nitron mengaku, bahwa ia telah menipu pak Viga agar menyerahkan
kalung permatanya.
"Bagaimana mengenai lukisan pak Wester?" tanya Frank.

Nitron terkejut. "Apa yang kauketahui tentang hal itu?" ia


meledak.
"Kami menemukan sidik jarimu di rumah pak Wester di
Bayport. Engkau bersama Morphy yang mencuri lukisan itu!"
"Dengan bantuan Tom," sambung Joe. "Engkau juga mencuri
dua buah tempat lilin dari emas dan kendi perak. Semua itu
kausembunyikan di rumahmu di Key Blanco. Bersama-sama dengan
barang-barang yang kaucuri."
Nitron yang pucat bagaikan kapas, menyala dengan gugup:
"Kami memang mencuri lukisan itu. Aku mengaku. Tetapi di Kota
Blanco Mark Morphy melarikan diri membawa gambar itu. Aku sama
sekali tidak tahu di mana gambar itu!"
Anak buah Nitron yang meyakinkan pak letnan, bahwa mereka
tak tahu menahu tentang lukisan itu. Mereka semua lalu digiring naik
ke kapal patroli, untuk selanjutnya dibawa ke Egret Island. Pemudapemuda itu mengikuti dengan perahu Nitron. Mereka juga telah
memberikan laporan selengkap-lengkapnya tentang peristiwa yang
terjadi.
"Nah, kini kami mempunyai cukup bukti mengajukan mereka
ke pengadilan," kata pak letnan. "Terimakasih atas kerja keras kalian!"
"Lalu bagaimana dengan Junior Seetro?" tanya Frank.
"Yyyah. Ia juga anggota komplotan. Kita lihat saja nanti, apa
pendapat yang berwajib. Sementara itu, kami minta agar dia jangan
pergi meninggalkan daerah tempat tinggalnya. Ia harus tetap siap
kalau dipanggil pengadilan sebagai saksi!"
"Nah, kalau begitu aku senang sekali," kata Junior. "Aku
sungguh-sungguh gembira dapat terlepas dari semua ini! Aku akan
mengatakan semuanya yang kuketahui!"
Pak letnan berpaling kepada kakak beradik Hardy. "Kalau
kalian sampai di Kota Blanco, aku sangat berterima kasih jika kalian
mau menunjukkan jalan ke rumah Nitron."

"Dengan senang hati," jawab Frank.


"Bagus, aku akan memberitahu mereka, bahwa kalian akan
datang."
Untuk perjalanan pulang, mereka menyewa sebuah perahu. Di
sepanjang perjalanan mereka mernpercakapkan perihal
penyelundupan-penyelundup yang baru saja mereka tangkap.
Tiba-tiba Frank mendapat pikiran, "Junior, apakah ada orang
lain yang terlibat dalam kegiatan-kegiatan Nitron?"
"Tidak secara langsung," jawab teman baru itu. "Tetapi karena
sekarang kausebut-sebut, aku ingat, bahwa pernah ia berkata,
menerima perintah-perintah tertulis dari seorang boss. Perintahperintah itu ditinggalkan di suatu tempat di Everglades."
"Di mana itu?" tanya Biff.
"Aku tak dapat mengatakan secara tepat. Apa yang kutahu
hanyalah, bahwa tempat itu ada di dekat Moss Tributary, yaitu anak
sungai Moss."
"Aku ingat dari sebuah peta," kata Frank,"Tempat itu letaknya
di sebelah barat Pa-hay-okee Trail."
Setiba di kota Blanco, mereka mengembalikan perahu sewaan.
Kemudian mereka melaporkan diri di kantor polisi. Bersama dengan
dua orang polisi mereka menuju ke rumah Nitron dengan sebuah truk.
Mereka juga membantu mengangkat peti-peti berisi arloji Swiss itu ke
dalam truk. Setelah selesai, salah seorang dari polisi itu berkata:
"Kami akan mengembalikan barang-barang ini kepada pemiliknya,
setelah kami tahu benar siapa yang memang berhak."
Ia mengucapkan terimakasih kepada empat sekawan tersebut.
Truk polisi itu berangkat kembali ke kantor polisi, sementara keempat
pemuda beserta Junior kembali ke Kota Blanco. Mereka
menggunakan mobil Junior. Di kota, mereka berpisah dengan Junior.
"Sampai bertemu lagi, kata Joe berjabat tangan. Frank mengambil
ransel-ransel mereka dari tempat bagasi. "Jangan lupa akan janjimu!"

Junior tersenyum. "Doakan, besok kalau kita ketemu kembali,


aku sudah bekerja di Armada Niafa!"
Ia pergi, dan keempat sekawan itu berjalan kaki di sepanjang
karang, menuju ke Teluk Penyelundup. Ketika mereka tiba di rumah
pak Wester, pengurus rumah tangga pak Wester tak mengenali siapa
mereka itu. Ia baru mengenali lagi setelah mendengar suara mereka!
"Kukira kalian ini pelaut-pelaut!" ia menyambut dengan ramah.
"Hanya untuk menyamar," kata Joe. "Apakah pak Wester ada di
rumah?"
"Tidak ada. Beliau sedang pergi ke Key West untuk beberapa
hari. Tetapi beliau berpesan, agar kalian tetap tinggal di sini sampai
beliau pulang. Ayo, silakan masukl"
Mereka naik ke kamar masing-masing, lalu berganti pakaian.
Pakaian pelaut beserta alat-alat penyamaran, dimasukkan ke dalam
ransel. Kemudian diberikan kepada pengurus rumah tangga dengan
pesan agar didermakan kepada organisasi sosial.
"He! Bagaimana kalau kita membuat kue serabi?" kata Chet.
"Aku lapar sekali!"
"Aku juga," kata yang lain serentak.
"Mari ke bawah. Bahan-bahannya sudah tersedia di lemari es.
Aku melihatnya kemarin malam, ketika aku mencari makanan."
Di dapur, dengan seizin koki, Chet menggunakan kompor. Ia
menuangkan adonan ke dalam loyang sambil bersenandung gembira.
Kue-kue yang setengah matang, dilambung-lambungkan ke atas
dengan gaya seorang ahli. Di udara kue itu membalik, lalu ditangkap
kembali dengan alat penggorengan oleh Chet. Tak lama kemudian,
piring yang ada di sebelahnya telah penuh berisi setumpuk kue serabi.
Tiga temannya mengatur meja di dapur, dan menuangkan susu
di gelas untuk mereka masing-masing. Chet meletakkan piring serabi
itu di tengah-tengah meja. "Inilah serabi spesial a la Chet," katanya
membual sambil tertawa cekikikan.

Keempat pemuda itu menyerbu hidangan itu dengan selera yang


besar. Selesai makan, mereka membereskan dapur, lalu berkumpul
kembali di kamar Frank, untuk memperbincangkan keadaan.
"Wah! Ini adalah pengalaman yang menarik," kata Biff
memulai. "Tetapi kita belum berhasil menemukan lukisan itu."
"Junior menyebutkan, bahwa ada seorang boss yang
memberikan perintah-perintah kepada Nitron," kata Frank. "Fatso pun
menyebut seorang boss ketika di pesawat. Mungkin orangnya sama."
"Ia menaruh pesan-pesan kepada Nitron itu di Everglades," Joe
menyambung. Itulah tujuan kita selanjutnya. "
Mereka mengambil keputusan, bahwa Frank dan Joe yang akan
mencari boss tersebut. Chet dan Biff tetap tinggal di rumah pak
Wester. Mereka harus menunggu pulangnya pak Wester, dan harus
selalu waspada kalau-kalau Morphy datang.
Karena lelah oleh perjalanan dan penangkapan para
penyelundup, mereka lalu masuk ke kamar masing-masing. Dengan
nyenyak mereka tidur sampai pagi.
Setelah sarapan, kakak beradik itu mempersiapkan diri untuk
berangkat.
"Kami akan mengatakan apa yang telah terjadi kepada pak
Wester, kalau ia pulang lebih dulu dari kalian," Biff berjanji.
"Sampaikan salamku kepada buaya-buaya yang ada di sana!"
kata Chet menyeletuk. "Sayang, aku tak sempat berenang bersama
mereka."
"Mari, lebih baik kita segera berangkat." kata Frank, "Cara yang
paling baik ialah naik ferry ke Flamingo di ujung selatan. Dari sana
dapat dilanjutkan ke Everglades.
Kakak beradik itu berjalan kaki ke Kota Blanco, dan segera
naik ferry di Teluk Meksiko. Setelah sampai, mereka pergi ke Pusat
Wisata Flamingo, melewati sederetan perahu-perahu kecil yang
ditambatkan di dermaga. Frank membeli sebuah peta di meja

penerangan. Sementara itu Joe membaca pengumuman di papan


pengumuman. Disebutkan, bahwa buaya-buaya Everglades dinyatakan
sebagai jenis hewan yang dikhawatirkan akan punah. Karena itu
perburuan terhadap mereka tanpa ijin dinyatakan melanggar hukum.
"Bagaimana kami dapat sampai di Moss Tributary?" tanya
Frank kepada petugas penerangan.
Petugas itu melihat pada buku petunjuk. "Ambillah bis yang
melalui Lorong Bakau ke Pa-Hay-okee Trail. Di sana kalian dapat
menyewa perahu dan mengikuti peta ke arah barat."
"Terimakasih."
Frank dan Joe pergi ke terminal, lalu naik bis. Untunglah,
mereka tak perlu menunggu lama untuk berangkat. Di sepanjang
Lorong Bakau, mereka melihat akar gantung yang besar-besar,
membentuk busur-busur tinggi dan menancap di tanah payau. Mereka
berada di tempat yang berumput tinggi-tinggi serta pohon-pohon yang
rimbun, berlainan sekali dari yang terdapat di daerah utara.
"Ha, Frank. Rupanya tidak terlalu jelek," kata Joe kepada
kakaknya. "Barangkali kita tak perlu tenggelam di rawa-rawa!"
"Nanti dulu," jawab kakaknya. "Moss Tributary terletak di
daerah Everglades yang sebenarnya. Yang pasti, kita akan berbasahbasah kaki di sana!"
Di Lorong Pa-hay-okee Trail, mereka menyewa sebuah perahu
berlunas datar yang menggunakan motor tempel. Mereka juga
menyewa sepatu karet yang tinggi sampai di lutut untuk berjalan kaki
di daerah rawa-rawa.
Joe memegang kemudi, sementara Frank yang menentukan
jalan dengan sebuah peta. Mereka menuju ke arah barat.
Tak lama kemudian mereka berada di tengah belantara, yang
terdiri atas air, lumpur dan hutan bakau. Di sana sini terdapat beberapa
tempat yang agak tinggi dan kering. Pada beberapa tempat, orang
dapat berjalan kaki untuk beberapa ratus meter jauhnya. Tetapi di luar

itu, yang nampak hanya rawa-rawa, di sana sini diseling oleh sungaisungai kecil yang dangkal.
Sungai-sungai itu sering bertemu menjadi satu, tetapi tak berapa
jauh mereka berpisah lagi. Berhektar-hektar rumput liar tumbuh di
lumpur, setinggi dua meter atau lebih.
Burung bangau dan burung-burung lainnya beterbangan ketika
mereka lewat. Di sana sini muncul kepala ikan di permukaan, dan
ular-ular merayap lewat tanpa bersuara. Buaya berseliweran dengan
moncongnya yang runcing hampir tak nampak.
"Waduh! Ini seperti di ujung dunia saja!" Joe mengeluh.
"Bagaimana kita dapat menemukan petunjuk-petunjuk di tempat
begini? Hanya rawa belantara tanpa penghuni!"
Untuk pertama semenjak awal penyelidikan, Frank mulai raguragu. Seperti hilang harapan, ia memandang ke sana kemari, mencaricari yang dia sendiri tidak jelas apa yang dicari. "Aku betul-betul tak
mengerti!" katanya.

Chapter 13
ULAR BERBISA

Mereka berperahu untuk beberapa mil. Suara mesin tempel


berbaur dengan kicauan burung, jeritan kucing hutan, serta desah
hutan bakau yang diterjang angin.
"Ya ampun! Kita sungguh-sungguh terpencil! Jauh dari manamana," Frank mulai mengeluh pula.
Suatu bentangan air yang luas menarik perhatian Joe. "Rupanya
ada sebuah danau di depan itu," katanya. "Kita tepat menuju ke
arahnya."
Frank mencocokkan tempat itu dengan petanya. "Itu disebut
Telaga Moss. Ada lima batang sungai yang bermuara di sana,
membentuk sebuah danau yang terbesar di daerah ini."
Mereka meluncur masuk ke danad dangkal itu, yang dipagari
oleh dinding rumput air yang lebat.
"Sungai Moss ialah yang nomor empat itu," kata Frank.
Joe memutar haluan dan mengarahkan perahu ke arah yang
ditunjuk oleh kakaknya. "Berapa jauh lagi sampai di Moss Tributary?"
"Masih beberapa mil lagi," jawab Frank. "Hanya ada satusatunya anak sungai dari sungai Moss ini."
Ketika mereka sampai di Moss Tributary, Joe berkata: "Nah
kita sudah sampai! Tetapi apa yang kita cari, sampai kini kita belum
mengerti!"
"Kaukira, tentunya sebuah bangunan. Bukankah begitu? Tetapi
pasanglah mata baik-baik, kalau-kalau melihat sesuatu. Kita memang
tak tahu apa yang akan kita hadapi."
Mereka memasuki daerah terpencil. Pada satu sisi hanya rawarawa, dan pada sisi lainnya tanah kering yang rapat dengan tumbuh-

tumbuhan yang saling lilit-melilit. Di mana-mana terdapat pohon


bakau.
Tiba-tiba Joe melihat kepulan asap hitam, meliuk-liuk ke udara.
Dengan cepat ia memastikan mesin tempelnya, dan membiarkan
perahunya hingga berhenti sendiri.
"Ada apa? tanya Frank
Joe menunjuk ke arah asap. "Ada orang yang telah mendahului
kita."
"Mari kita lihat," kata Frank dengan tenang.
Mereka mengambil dayung, dan dengan diam-diam mendayung
ke arah sekelompok rumput yang tinggi. Mereka menyibakkannya,
dan melihat sisa-sisa api unggun. Kayu yang terbakar masih berasap.
"Tak ada seorang pun," kata Joe. "Mari kita periksa. Barangkali
ada petunjuk."
"Hati-hati!" kakaknya memperingatkan.
Mereka mendayung ke pinggir, lalu naik ke darat untuk
menyelidiki. Di sekitar api unggun nampak jejak-jejak kaki.
"Ada empat pasang kaki yang berlainan," kata Frank, setelah
memeriksa jejak itu dengan teliti. "Aku heran, ke mana mereka itu!"
"Api masih menyala. Jadi mereka baru beberapa menit
meninggalkan tempat ini," kata Joe. "Kalau mereka ke hilir, tentu
bertemu dengan kita. Jadi tentunya mereka pergi ke hulu."
Frank mengangguk, "Kuharap kita dapat mengikuti jejak
mereka. Tetapi waspadalah! Kalau mereka mendengar kita, mungkin
kita akan dijebak!"
"Benar! mari kita kayuh dengan diam-diam," kata adiknya.
Setelah menginjak-injak api unggun hingga tak berapi lagi,
mereka kembali ke perahu. Mereka melanjutkan menyusuri sungai
Moss Tributary. Setengah jam kemudian, mereka mendengar suarasuara di depan.
"Aku sangsi, apakah mereka itu polisi hutan," kata Joe.

Frank menggeleng. "Tidak mungkin!" Polisi tak mungkin


meninggalkan api yang masih berasap. Sangat besar bahayanya bisa
menjadi kebakaran hutan."
Mereka menuju ke muara sebuah anak sungai Moss Tributary,
lalu menambatkan perahu mereka. Dengan berlindung di antara
pohon-pohonan, mereka menuju ke arah datangnya suara. Akhirnya
mereka melihat sebuah perahu.
Ada empat orang di dalamnya. Semuanya memegang sepucuk
senapan yang berat.
"Aku tak mengenali mereka," bisik Frank. "Engkau?"
"Belum pernah melihat," jawab adiknya. "Aku heran, apa yang
mereka lakukan?"
"Kita harus mendekat, agar dapat melihat lebih jelas."
Tanpa bersuara mereka menyelinap di antara pohon-pohon
bakau, hingga menemukan tempat bersembunyi di antara akar-akar
gantung yang rapat. Mereka dapat melihat dengan jelas, dan dapat
pula mendengar dengan lebih nyata.
Salah seorang menepuk-nepuk senapannya sambil membual:
"Kita akan mendapat buaya yang banyak kali ini."
"Asal polisi hutan tidak menganggu saja!" kata yang lain.
"Kita bereskan mereka, kalau berani menganggu!" kata orang
ketiga. "Kita cukup mempunyai peluru untuk berperang!" Jari-jarinya
mengetuk-ngetuk sebuah peti bertuliskan MESIU.
Orang-orang itu tertawa terbahak-bahak. Mereka mulai
membual tentang berburu buaya.
"Tidak peduli melanggar hukum, asal kita mendapat uang yang
banyak!" kata seseorang. "Di luar negeri pasarannya bagus untuk kulit
buaya. Sabuk, tas tangan, dompet. Yah, kalian tahu sendiri."
Joe teringat akan pengumuman yang dibacanya di Pusat Wisata
Flamingo. Pengumuman itu menyebutkan, bahwa buaya Everglades
sudah terancam punah. Karena itu merupakan hewan yang dilindungi.

Ia menyikut kakaknya dan berbisik: "Pemburu gelap! Kita tidak dapat


membiarkan mereka. Tetapi mereka terlalu banyak bagi kita. Apa
yang harus kita lakukan?"
"Bersembunyi," saran kakaknya. "Hanya itu yang dapat kita
lakukan sekarang."
Tiba-tiba terdengar langkah kaki, mendekat dari arah hulu.
Mereka melompat turun dari perahu, lalu bertiarap.
"Jangan-jangan polisi hutan!" kata salah seorang dengan
berbisik parau. "Mari kita sambut dengan hangat!"
Keempat-empatnya mempersiapkan senapan, membidik ke arah
suara langkah kaki. Tak lama kemudian semak-semak tersibak, dan
dua orang nampak, masing-masing membawa senapan. Yang seorang
jangkung kekar, yang lain lebih pendek tetapi bertubuh berat.
"Tom dan Fatso," Joe mendesis.
Dengan heran Frank dan Joe mengawasi kedua orang itu
mendatangi perahu. Keempat orang yang bersembunyi menurunkan
senapan mereka, lalu menyambut kedua pendatang itu dengan ramah.
"Kita akan mendapat banyak buaya; atau namaku bukan Tom
Lami lagi!" kata si jangkung.
"Bagaimana dengan polisi hutan?" salah seorang bertanya.
"Mereka tak akan dapat menangkap kita," kata Fatso. "Kami
melihat mereka berpatroli di kubangan buaya lalu berangkat lagi.
Mereka tak tahu kalau kita awasi."
"Kawanan buaya paling besar yang pernah kulihat", kata Tom
selanjutnya. "kita mulai berburu besok pagi."
Tiba-tiba di udara terdengar suara dahsyat. Suara yang
memekakkan telinga, menggema di seluruh belantara. Para pemburu
menghambur berlarian, mencari perlindungan di antara akar-akar
bakau, agak jauh dari tempat persembunyian Frank dan Joe.
Sebuah helikopter menderu di udara menuju ke arah mereka.

Pada sisi tubuhnya nampak tanda-tanda Polisi Suaka


Margasatwa Everglades.
"Kalau saja kita bisa memberitahu pilotnya!" Joe menggerutu.
"Dia tentu dapat meminta patroli agar datang kemari, dan menangkap
penjahat-penjahat itu."
"Barangkali ia dapat melihat perahu mereka." kata Frank.
"Aku justru sangsi, apakah ia dapat melihat perahu kita. Kita
telah menyembunyikannya dengan baik!"
Dengan tegang, kedua pemuda itu mengawasi heli yang
semakin mendekat, lalu berputar-putar di atas. Pilotnya melihat ke
bawah, dan berkata sesuatu kepada temannya. Pesawat menjauh,
beberapa menit kemudian kembali lagi.
"Apakah ia kembali lagi, jika tak melihat perahu itu?" bisik Joe.
"Barangkali mereka sedang melapor ke markas dengan radio,"
kata Frank menerka-nerka.
Tetapi mereka melihat pilot itu menggelengkan kepala. Sekali
lagi heli itu memutar, lalu pergi. Deru mesinnya semakin menjauh.
"Mereka tak melihat perahu itu." kata Frank kecewa. "Kukira
terlalu dalam di bawah pohon-pohonan."
"Jadi, kita sendirilah yang harus menghadapi pemburu-pemburu
gelap itu!" kata Joe.
"Dua lawan enam bukan imbangan yang baik. Dalam keadaan
begini, kita memerlukan keajaiban yang membantu pihak kita."
"Tetapi aku berpendapat, lebih baik menunda dulu mencari si
Bosa sebelum kita menyelamatkan buaya-buaya itu," Joe mengambil
kesimpulan.
Pemburu-pemburu itu muncul dari persembunyian mereka,
tersenyum-senyum penuh rasa kemenangan.
"Polisi itu tak melihat kita!" seru Fatso. "Kita sudah aman!"
"Betul," Tom Lami mengiakan. "Nah, kita mulai saja berburu!
Tak perlu lagi membuang-buang waktu sampai besok pagi. "

Mereka menuju ke perahu dan Tom Lami melepaskan tali


tambatan.
Frank dan Joe berdiri, memandangi mereka. Tepat pada waktu
itu, Frank merasa ada sesuatu yang bergerak menggeser di sepatunya.
Ia menengok ke bawah, lalu berdiam diri kaku ketakutan!
Seekor ular mendongakkan kepalanya, menatap dia dengan
rahang terbuka lebar-lebar, siap untuk memagut!

Chapter 14
PERKEMAHAN PEMBURU GELAP

Frank berdiri terpaku sejenak. Kemudian ia menendangkan


kakinya sekuat-kuatnya tepat pada waktunya, untuk menghindarkan
pagutan ular. Ular itu terpental tinggal di udara, lalu jatuh berdebum
di dekat perahu pemburu.
Suara itu menyebabkan para pemburu membalikkan tubuh.
"Polisi hutan! Fatso mendesis. "Tembak saja mereka!"
Enam pucuk senapan terarah ke tempat jatuhnya ular. Ular itu
sendiri, takut menghadapi sebegitu banyak orang, lalu menggeleser
pergi, menghilang di bawah semak-semak.
"Hanya seekor ular," kata Lami sambil menurunkan
senapannya. "Mari kita berangkat. Kita akan mendirikan kemah di
tikungan besar di depan sana. Itu sudah dekat dengan kubangan
buaya."
Perahu meninggalkan tepian, meluncur ke arah Moss Tributary.
Kakak beradik yang masih gemetar terlepas dari bahaya ular, keluar
dari tempat persembunyian mereka. Mereka memandangi perahu itu
hingga tak nampak lagi.
"Untung, mereka tak melihat kita!" Joe menggagap.
Frank mengangguk. "Kita harus membayangi mereka. Sayang
sekali kita tak mempunyai bantuan. Kalau Chet dan Biff ada di sini
saja!"
"Kita hubungi saja polisi dengan radio kita," Joe mengusulkan.
"Barangkali mereka dapat datang kemari pada waktunya untuk dapat
membantu kita."

Mereka kembali ke perahu mereka. Joe menghubungi polisi


dengan radionya di Markas Polisi Suaka Margasatwa. Seorang sersan
menyambutnya.
"Ada pemburu gelap di Moss Tributary," Joe melapor. "harap
lekas mengirim bantuan!"
"Kapal patroli segera berangkat," sersan itu berjanji.
Ketika Joe mematikan radionya, Frank menunjuk suatu tempat
di peta. "Di sini Moss Tributary membelok ke barat, kemudian
membelok lagi kembali ke timur. Belokan itulah tentu, yang
dimaksudkan oleh Lami tadi. Kita dapat mencegat mereka di sana!"
"Akur!"
Mereka mendorong perahu ke tengah, dan kembali Joe yang
memegang kemudi. Setelah kira-kira lima mil, Frank memberi isyarat
kepada adiknya agar mesin dimatikan.
"Belokan besar itu mulai di sini," katanya setengah berbisik.
"kita harus menggunakan dayung."
Mereka mendayung ke hulu, hingga melihat perahu pemburupemburu itu ditambatkan di tepian. Dengan diam-diam mereka juga
menambatkan perahu mereka di bawah dahan-dahan bakau, yang
bergantungan rendah di atas air. Kemudian mereka menyelinap ke
semak-semak. Suara percakapan para pemburu mereka gunakan
sebagai penunjuk arah. Setelah dekat, mereka menyuruk di bawah
akar-akar bakau, bersembunyi.
Para pemburu nampak sedang duduk-duduk di sekitar api
unggun, memasak hamburger pada panggangan. Baunya membuat
hidung Joe berkembang-kempis. "Sayang sekali, kita tak dapat
menemani mereka," bisik Joe. "Misalnya sebagai pencinta alam.
Barangkali saja mereka mau menyuguhkan beberapa potong
hamburger!"
"Kalau memang begitu, aku akan minta saus tomat untuk
bagianku!" kakaknya menyambung banyolan Joe. Tetapi segera pula

ia menjadi bersungguh-sungguh lagi. "Kita harus puas dengan buahbuahan hutan," sambungnya lagi. "Mari kita cari."
Dengan diam-diam mereka mundur di antara pohon-pohonan.
Setelah merasa pasti, bahwa para pemburu tak lagi dapat mendengar
mereka, mereka lalu memetik buah-buahan hutan untuk sarapan.
Pada waktu mereka merangkak-rangkak kembali ke
persembunyian, malam mulai turun. Api unggun itu membuat
bayangan-bayangan yang mengerikan di sekitarnya, dan lidah-lidah
api dipantulkan oleh permukaan air sungai Moss Tributary.
Para pemburu juga telah selesai makan, dan kini sedang
membersihkan senapan-senapan mereka.
"Kalau sudah selesai menembak, kulit-kulit buaya itu kita bawa
kemari. Kita tumpuk saja di dalam perahu. Kukira dapat memuat
beberapa lusin," kata Tom.
"Akur," kata Fatso. "Peti mesiu itu menjamin persediaan peluru
yang kita butuhkan."
Frank menyikut adiknya. "Kita dapat merusakkan rencana
mereka, jika dapat mencuri peti itu," bisiknya.
Joe balas membisik: "Jika mereka tidur nanti, barangkali kita
mendapat kesempatan."
Fatso berdiri. "Aku akan mencari kayu api," katanya. Ia berjalan
tepat ke arah persembunyian kedua pemuda! Kakak beradik itu
membenamkan lebih dalam lagi ke bawah semak-semak di bawah
akar-akar bakau. Hati mereka cemas, memikirkan bagaimana tindakan
mereka jika kepergok.
Tetapi, pada saat terakhir, orang itu balik kembali lalu menuju
ke arah lain. Rupanya ia melihat seonggok ranting-ranting kering di
bawah sebatang pohon. Setelah dapat mengumpulkan setumpuk, ia
kembali ke api, dan menjatuhkan tumpukan ranting itu ke dalam api
unggun. Api segera membesar terang di kegelapan malam.

"Aku heran, di mana gerangan kedua anak Hardy itu," kata Tom
Lami tiba-tiba.
Dengan terkejut kedua pemuda itu memasang telinga tajamtajam untuk mendengar jawaban.
Fatso melempar lagi sebatang kayu ke dalam api "Kita tak
melihat mereka sejak di hotel Bayport itu. Mereka tentu sudah takut,
lalu melepaskan diri dari perkara itu."
Lami nampak ragu-ragu. "Kalau begitu, siapa itu dua pemuda
yang menyerang kita di sebuah gang dari kota Homestead itu? Waktu
itu terlalu gelap untuk melihat. Tetapi mereka itu mungkin sekali
Frank dan Joe!"
"Barangkali. Tetapi mengapa kita tak melihat mereka di
pesawat?" Fatso mendebat. "Kedua pemuda yang membuntuti kita itu
tentu anak-anak yang suka mencari gara-gara saja. Kukira, mereka
juga hanya menceloteh sekenanya saja, ketika menyebutkan pemburupemburu gelap."
"Bagaimana pun, aku tetap akan merasa lebih aman, jika kita
dapat menangkap mereka," kata Lami.
"Begitu pula pikiranku," Fatso menyetujui. "Tetapi mereka
dapat melarikan diri dengan sangat cepat!"
"Mana itu, Nitron dan Morphy," tanya seseorang.
"Nitron masih saja berusaha untuk keluar dari Key Blanco,"
jawab Tom. "Mengenai Morphy, aku tak tahu di mana dia. Ia telah
pergi dengan lukisan itu, ketika ia harus menghadap boss."
"Aku sebetulnya ingin tahu, siapa boss kita itu," kata Fatso.
Tom mengangkat bahu. "Tak seorang pun yang tahu. Ia hanya
selalu meninggalkan perintah tertulis di sebuah rumah batu di dekatdekat sini. Begitulah aku dan Nitron menerima perintah. Tetapi kami
belum pernah berjumpa dengan dia."

Frank dan Joe mendengarkan dengan menahan napas. Ruparupanya baik para penyelundup maupun para pemburu mempunyai
boss yang sama. Tetapi para pemburu itu belum tahu, bahwa Nitron
beserta anak buahnya telah ditahan di penjara Egret Island. Kini
sebagai langkah berikut bagi kedua detektif muda itu ialah
menemukan rumah batu yang disebutkan Tom Lami.
"Mari kita tidur!" kata salah seorang. "Kita menghadapi hari
yang berat besok!"
"Betul!" kata seorang lain. "Aku juga sangat lelah."
Gerombolan itu merebahkan diri di tanah, dan bersiap-siap
untuk tidur di sekeliling api unggun. Lami menyuruh tiga orang
berganti-ganti menjaga. Orang yang mendapat giliran pertama, duduk
bersandar pada sebatang pohon, sambil memegangi senapannya
melintang di kedua lututnya. Tak lama kemudian keadaan menjadi
sunyi.
Frank dan Joe berbisik-bisik, merundingkan apa yang akan
mereka lakukan.
"Kita lepaskan saja perahu mereka, biar hanyut ke hilir," usul
Joe.
Frank menggeleng. "Nanti hanya akan terdampar di lumpur.
Mudah mereka temukan kembali. Lebih baik kita buang peti mesiu itu
ke dalam sungai. Tetapi hal itu tidak mungkin, selama penjaga
bersenapan itu masih bangun."
Suara gemerisik di daun-daunan terdengar. Penjaga itu bangkit
hendak memeriksanya. Tiba-tiba lengkingan mengerikan dari cabangcabang, dan penjaga terkejut hingga senapannya terlepas dari
tangannya!
Seekor kucing hutan melompat turun ke tanah, menjerit lagi,
lalu lari entah ke mana. Sambil menggerutu memarahi diri sendiri,
penjaga itu memungut senapannya. Ia kembali ke tempatnya semula.

Ia menguap, dan sejenak kemudian mulai mengangguk-anggukkan


kepalanya. Akhirnya ia tertidur.
Kakak beradik itu mendengar ia mendengkur. Selain itu, suara
lain tak terdengar di perkemahan. "Sekarang kesempatan kita!" bisik
Frank.
Dengan cepat mereka keluar dari persembunyian. Tetesantetesan hujan mulai terasa turun dari sela-sela daun. Di kejauhan suara
guruh memecahkan kesunyian.
"Cepat! Sebelum kita menjadi basah kujup!" desis Frank,
sementara mereka merayap-rayap melalui semak-semak. Mereka
memutar mengitari perkemahan menuju ke perahu.
Mereka lewat hanya beberapa langkah di samping penjaga,
kemudian naik ke perahu. Dengan hati-hati mereka merangkak ke
buritan, di mana peti itu diletakkan. Masing-masing memegang satu
sisi dari peti yang berat itu, lalu mengangkatnya lewat pinggir perahu.
Dengan perlahan-lahan peti itu diturunkan ke dalam air. Mereka
tersenyum lega, ketika peti itu menghilang ke dasar sungai.

Chapter 25
BADAI

Tiba-tiba kilat menyambar di udara,menerangi perkemahan.


Di dalam cahayanya, kakak dan adik itu melihat bahwa lumpur
sungai telah menyelimuti peti mesiu itu seluruhnya.
"Nah! Sudah lenyap untuk selamanya," kata Frank penuh rasa
kemenangan. "Mari kita kembali."
Sambil mengendap-ngendap agar jangan ketahuan sekiranya
ada yang terbangun oleh suara guruh, mereka keluar dari perahu.
"Aku melihat sebuah sarang buaya tadi," bisik Joe. "Hampir
seperti sebuah gua kecil. Kita dapat berlindung di sana."
"Kalau ada buayanya?" bisik Frank kembali.
"Semoga saja tidak ada. Mungkin mereka telah keluar melihat
rombongan itu datang kemari," kata Joe. Ia menunjukkan jalan ke
sebuah tempat di tepi sungai. Di sana kadal-kadal raksasa itu telah
membuat sebuah gua kecil, dengan mengeluarkan tanahnya yang
lunak dari tebing sungai. Frank mengeluarkan senter sakunya,
menunduk, lalu menyinarkan senternya ke dalam gua. Kosong! Tak
ada tanda-tanda telah dihuni buaya.
Dengan hati lega, mereka merangak ke dalamnya, yang hanya
pas cukup bagi berdua. Terlindung dari badai, mereka mengawasi
hujan yang turun dengan lebatnya. Angin yang kencang mulai
menderu-deru menerjang hutan bakau, guntur dan halilintar berkilatkilat di sela-sela daun-daunan.
Tiba-tiba mereka mendengar suara langkah-langkah kaki
disertai maki-makian marah di atas mereka. Para pemburu juga sedang
mencari tempat berlindung!

"Dekat benar, mereka!" bisik Frank. "kuharap saja mereka tak


melihat kita."
"Mudah-mudahan saja," jawab adiknya kawatir.
Badai itu baru mulai mereda, ketika fajar hampir menyingsing.
Mereka mendengar para pemburu itu pergi. Setelah itu, mereka
merangkak keluar dari gua, menyelinap ke arah perkemahan.
Mereka melihat, bahwa perahu itu telah lenyap tak nampak.
Terdengar suara Tom berteriak: "Badai itu telah merenggut tali
perahu lepas dari pohon!"
Fatso melindungi kedua matanya, memandang jauh ke hilir.
"Ia terdampar di lumpur!" ia berseru. "Itu, seratus meter dari
sini, dekat tepian!" Ia memerintahkan dua orang untuk mengambil
perahu itu. Mereka berhasil mengembalikannya, lalu ditambatkan
pada pohon yang semula.
Gerombolan itu berdiri di tepian, melihat dengan marah ke
tempat yang kosong di buritan. "Peti itu jatuh ketika perahu diterjang
badai. Jika kita dapat menemukannya, kita masih dapat
menyelamatkan peluru-pelurunya. Peti itu kedap air!"
Ia memerintahkan untuk mencarinya dengan segera, di
sepanjang sungai antara perkemahan dan tempat diketemukannya
perahu tersebut. Tetapi, pemburu-pemburu itu kembali tanpa hasil.
"Tentu tenggelam di lumpur!" kata Fatso.
"Kita tak mungkin menemukannya kembali. Lalu bagaimana
sekarang? Tak jadi berburu?"
Lami menggelengkan kepalanya. "Senapan kita masih berisi
semuanya. Dengan itu kita masih dapat menembak beberapa ekor.
Mari! Kita berangkat ke kubangan!"
Mereka memanggul senapan, lalu pergi melalui hutan bakau,
beriringan. Tom Lami yang memimpin di depan.
"Aku akan mengikuti mereka," bisik Joe kepada kakaknya.

"Engkau tinggal di sini. Usahakanlah menemukan di mana


polisi hutan itu kini berada."
"Oke! Mereka barangkali juga tahu, di mana kubangan buaya
itu. Kuharap saja, mereka cukup jumlahnya untuk membuyarkan
perburuan ini!"
Joe bergerak di rimbunan bakau ke arah perginya para pemburu.
Sementara itu Frank kembali ke perahu mereka sendiri. Ia mengangkat
mikrofon, lalu memanggil markas Polisi Suaka Margasatwa.
"Sudah ada laporan dari kapal patroli?" ia bertanya.
"Mereka sudah dekat di daerah anda," jawab sersan jaga.
"Mereka baru saja melaporkan diri."
"Apakah mereka tahu di mana kubangan buaya itu?"
"Tentu! Tak jauh dari belokan besar sungai Moss Tributary,
bukan? Setiap polisi hutan tahu tempat itu."
"Bagus! Di sanalah para pemburu gelap itu!" kata Frank. "Saya
mendengar mereka mengatakannya."
"Oke! Saya akan memberitahu patroli itu sekarang juga!"
Sersan itu memutuskan radionya. Frank lalu berpikir, apa yang akan
dikerjakannya sementara itu. Ia mengambil keputusan, agar para
pemburu itu jangan sampai lolos dari tangan polisi. Ia kembali ke
perkemahan, lalu mengambil sebuah cangkir kaleng. Ia menyendok air
dari sungai, lalu dimasukkan ke dalam tangki bensin perahu para
pemburu!
"Nah! Perahu mereka ini tak dapat digunakan lagi!" katanya
pada diri sendiri.
Kemudian ia memandang ke hilir. Barangkali saja kapal patroli
itu kelihatan. Matanya menyapu ke sekeliling, dan pandangannya
jatuh di gua buaya tempat mereka berlindung semalam. Seekor buaya
besar menatap dia dari dalam gua itu!
Frank gemetar. "Untung, tadi malam ia tak jadi teman di kamar
tidur kita!" pikirnya. Pada saat itu pula terdengar suara mesin perahu.

Sebuah perahu kecil berwarna biru bermotor tempel tampak


mendekat.
Nampaknya bukan polisi hutan, karena itu Frank lalu
menyembunyikan diri ke semak-semak. Perahu itu berhenti di
belakang perahu para pemburu. Frank segera mengenali orang yang
memegang kemudi.
Mark Morphy!
"Butch, perahu itu milik Tom Lami," kata Morphy kepada
temannya. "Ia bersama yang lain-lain tentu ada di dekat-dekat sini.
Kita tunggu saja mereka."
Ia turun ke tepi, diikuti oleh seorang yang masih muda
bercambang coklat. Keduanya duduk di bawah sebatang pohon bakau.
Frank berpikir, untuk mengawasi mereka. "Kuharap saja patroli
itu segera datang, dan menangkap mereka ini!"
"Aku merasa khawatir pada anak-anak Hardy itu," kata Morphy
memecah kesunyian. "Aku seharusnya tak meninggalkan foto mereka
di rumah Raymond Wester. Itu suatu siasat yang tolol. Tetapi
bagaimana aku bisa tahu, bahwa Wester malah menyewa mereka!
Bukan minta kepada polisi untuk menangkapnya!"
"Memang," Butch mengiakan. "Tetapi mengapa engkau
khawatir? mereka tidak ada di sini, bukan?"
"Memang tidak. Tetapi aku yakin, bahwa mereka ada di Key
Blanco tentu bukan hanya untuk bersantai-santai!"
"Mereka memang sedang mencari potret Simon Bolivar," kata
Butch. "Sebenarnya, di mana sih gambar itu?"
"Aku tak tahu. Lami dan Nitron membantu aku sewaktu
mencurinya. Tetapi aku telah memberikannya kepada boss."
Frank berharap sungguh-sungguh, bahwa Morphy akan
menyebutkan nama dari boss mereka. Tetapi ternyata, bekas sekertaris
pak Wester itu lalu berdiri dan mulai berjalan mondar-mandir. "O, ya.

Aku belum mengatakan kepadamu," katanya, "bahwa kakak beradik


Hardy itu telah mengobrak-abrik rombongan penyelundup Nitron!"
"Apa?" Butch terkejut sekali.
"Aku baru saja mendengar sebelum berangkat tadi. Nitron
bersama anak buahnya telah tertangkap di Egret Island."
"Bagaimana itu kejadiannya?"
"Anak-anak muda itu menyelundup ke dalam rombongan itu,
berpura-pura menjadi pelaut. Kemudian mereka memberitahu polisi
untuk menangkap mereka."
"Tak heran, bahwa engkau selalu nampak khawatir" kata Butch.
"Aku pun menjadi khawatir. Barangkali mereka bahkan membayangi
kita, sekarang ini!"
"Aku tak yakin, bahwa mereka telah mengetahui tentang
masalah perburuan gelap ini. Tetapi boss sangat ingin mengadakan
pertemuan dengan orang-orang kita di rumah batu. Letaknya tak
begitu jauh agak ke utara dari sini. Ia ingin, sejak sekarang hendak
melakukan kerjasama atas dasar perorangan. Yaitu untuk menghindari
jangan sampai organisasi kita kemasukan orang luar. Juga, ia ingin
sekali membuat perhitungan dengan anak-anak Hardy, sehingga
mereka tak akan dapat mengganggu kita lagi."
"Itu bagus. Aku juga tak sabar lagi untuk menyingkirkan
mereka."
"Apa lagi aku!"
Kedua orang itu terdiam. Akhirnya Morphy melihat pada
arlojinya. "Kita tak tahu, kapan Tom dan rombongannya akan
kembali. Aku tak dapat menunggu lebih lama lagi. Harus segera
menemui boss kita."
Pikiran Frank bekerja keras! Ia ingin mengikuti Morphy sampai
ke markas komplotan itu. Tetapi bagaimana dengan Joe? Ia lalu ambil
keputusan, akan meninggalkan pesan kepada adiknya. Ia bergegas ke
perahunya, mengambil sebuah buku catatan kecil dari laci, lalu

menulis: "Joe, ikuti jalan setapak hingga ujungnya di utara. Boss ada
di sana!"
pesan itu diletakkan di haluan, ditindih dengan pendayung agar
tak terbang terbawa angin. Setelah itu ia kembali ke tempat dua orang
tadi.
Sementara itu Butch masuk ke perahu birunya. Morphy telah
melewati api unggun, dan berjalan ke arah utara.
Frank memutar menjauhi perkemahan agar jangan terlihat oleh
Butch. Ia berusaha meninggalkan petunjuk-petunjuk yang mudah
terlihat oleh Joe. Yaitu dengan ranting-ranting yang dipatahkan,
sambil terus mengikuti Morphy melalui hutan bakau.

Chapter 16
RAHANG-RAHANG RAKSASA

Sementara itu, Joe membayangi para pemburu gelap. Perjalanan


melalui hutan bakau itu menjadi berat, karena sangat becek akibat
hujan besar semalam. Tanah yang berserakan dengan ranting-ranting
itu sangat licin. Joe berjuang keras agar jangan terpeleset. Ia merasa
sangat beruntung bahwa ia memakai sepatu boot yang berat.
Setelah satu jam perjalanan, gerombolan itu mendengar suara
meraung-raung di depan. Lami memerintahkan orang-orangnya agar
berhenti.
"Siapkan senapan kalian!" ia memerintahkan. Suara tangan
beradu dengan logam mengingatkan Joe, bahwa mereka sedang
mempersiapkan diri untuk beraksi. Kemudian Lami memerintahkan
untuk segera bergerak kembali. Joe mengikuti mereka dari dekat.
Suara meraung itu semakin keras, ketika mereka menuruni
bukit kecil di tepi hutan bakau. Para pemburu itu sedang memusatkan
perhatian mereka dari bawah pohon-pohon, Joe merasa aman untuk
menyelinap semakin dekat. Ia ingin tahu, apa yang sedang mereka
awasi itu.
Tanah di depannya landai menurun ke suatu kubangan, yang
garis tengahnya kira-kira seratus meter. Berlusin-lusin ekor buaya
sedang berjemur diri di tepian. Beberapa ekor lagi meluncur tenangtenang di air sambil menangkap ikan. Buaya-buaya itu menggeramgeram dengan suara keras. Suara itulah yang terdengar meraung-raung
dari kejauhan.
Lami berkata kepada anak buahnya. "Masing-masing
memusatkan diri pada seekor! Bidiklah baik-baik. Jangan membuangbuang peluru!"

Mereka mengangkat senapan mereka dan bersiap-siap untuk


menembak. Joe berpikir dengan cepat. Ia mengambil sebuah batu
yang cukup besar, lalu melemparkannya melalui ranting-ranting
pohon bakau. Batu itu akhirnya jatuh berdebur keras di permukaan
air!
Dalam sekejap, buaya-buaya itu meluncur ke dalam air,
berenang menuju ke tempat jatuhnya batu. Di tempat itu mereka
menyelam semuanya hilang dari pandangan.
Lami terkejut. "Apa itu?" ia bertanya sambil menurunkan
senapannya.
"Buah bakau yang jatuh, kukira," kata Fatso. "Mereka tentu
mengira, ada sesuatu yang dapat di makan jatuh ke air. Kita harus
menunggu lagi, sampai mereka menyembul kembali.
Suara mendesir di semak-semak menarik perhatian Joe untuk
menoleh. Seekor buaya raksasa sedang meluncur hendak menyerang
dia! Rahangnya menganga, memperlihatkan sederetan gigi yang
runcing panjang-panjang!
Secara naluri Joe melompat meraih batang cabang bakau di
atasnya, lalu bergantungan di udara. Buaya itu menyerbu lewat di
bawahnya, kedua rahangnya beradu hendak menangkap kaki Joe.
Kecepatan serbuan buaya itu tak sempat membuatnya berhenti
di bawah Joe. Ia meluncur terus sampai di dekat para pemburu.
Sambil berteriak-teriak ketakutan mereka itu menghambur lari
mencari keselamatan! Senapan-senapan berjatuhan di tanah!
Mendengar hiruk-pikuk itu, rupanya buaya itu juga menjadi takut. Ia
meluncur terus, lalu membelok lebar menuju ke kubangan. Sebentar
kemudian ia telah menyelam seperti yang lain-lain.
Karena para pemburu itu berhamburan terpencar-pencar, Joe
mendapat kesempatan untuk menghancurkan rencana mereka. Ia
melompat turun, lalu berlari ke tempat senapan-senapan yang

berserakan. Satu demi satu dipungutnya lalu dilemparkannya ke dalam


kubangan.
Kemudian ia lari kembali masuk ke dalam hutan bakau. Ia
berharap, dapat mencapai tempat itu sebelum para pemburu sadar
akan apa yang telah diperbuatnya.
Tetapi terlambat! Ia mendengar Lami berteriak: "Itu Joe Hardy!
Tangkap dia!"
Fatso yang ternyata lebih dekat dari sangkaan Joe, melompat
dari balik semak-semak, dan menangkap Joe pada lehernya. Joe
melepaskan diri, lalu memukulnya dengan pukulan karate. Ia melewati
seorang lagi sambil mengirimkan tendangan ke kakinya. Tetapi orang
ketiga berhasil menangkapnya, lalu memitingnya kuat-kuat hingga
keduanya jatuh ke tanah.
Mereka bergulingan. Dua orang lagi datang menyerbu, lalu
mengangkat Joe hingga berdiri kembali. Kedua tangannya dipegangi
dan dilipatkan ke belakang punggungnya.
Joe sudah menjadi tawanan!
"Ha! Joe Hardy yang besar namanya!" seru Lami mengejek.
"Mana kakakmu?"
"Ia segera datang," jawab Joe.
Fatso tertawa jahat. "Bagus! Kita akan menangkapnya pula!"
"Aku sangsi akan hal itu," kata Joe. "Frank membawa
sepasukan polisi suaka!"
Para pemburu terbelalak. "Polisi!" Lami menukas. "Kita harus
segera keluar dari sini! Cepat!"
"Nanti dulu! Kita harus membereskan setan kecil ini!" seru
Fatso. "Kita telah bermupakat tadi, hendak melemparkan anak-anak
Hardy ke mulut buaya! Nah, sekarang lakukanlah!"
Lami manggut-manggut. "Bagus! Ia boleh menggunakan salah
satu senapan kita untuk memerangi binatang-binatang kesayangannya
itu!"

Mereka tertawa terbahak-bahak mendengar lelucon Lami ini.


Kemudian mereka menyeret Joe ke arah pinggir kubangan.
Permukaan kubangan nampak tenang. Tak ada tanda-tanda adanya
buaya.
Joe menggigil. Ia membayangkan, bagaimana berlusin-lusin
buaya yang berbaring di dasar, tiba-tiba bersama-sama menyerbu
ketika ia menyentuh permukaan air. Ia sungguh-sungguh tersudut
seperti yang belum pernah dialaminya.
"Oke!" kata Lami. "Mari kita ayunkan dia dengan holopis
kuntul baris!"
Empat orang memegang kaki dan tangannya, lalu
mengangkatnya. Mereka mengayun-ayunkan tubuh Joe ke depan dan
ke belakang beberapa kali, untuk mendapatkan kecepatan. Baru saja
mereka hendak melepaskan tubuh Joe agar melayang ke kubangan,
tiba-tiba tiga ekor buaya dengan mendadak muncul ke permukaan,
tepat di hadapan mereka! Buaya-buaya itu merayap cepat ke arah
mereka, lalu bersama-sama menyerbu.
Karena ketakutan, keempat orang itu melepaskan tubuh Joe
hingga jatuh ke tanah. Semuanya berlari berhamburan dikejar tiga
ekor buaya!
Seekor buaya berhasil menangkap kaki Lami. Hanya kulit
sepatunya yang tebal yang menyelamatkannya dari cedera gigi-gigi
buaya! Ia menendang-nendangkan kakinya, hingga buaya itu terpaksa
melepaskan gigitannya.
Seekor lagi menyerang Fatso, dan berhasil menggigit kaki
celananya. Celana itu sobek, dan buaya itu menelan sobekan kain
celana itu dalam sekejap! Fatso terlepas, dan lari di belakang Lami.
Buaya yang ketiga mencerai-beraikan rombongan itu. Moncongnya
menganga-nganga memperlihatkan gigi-giginya yang mengerikan,
sementara ekornya memukul-mukul ke kanan ke kiri.

Pada mulanya, ketiga ekor buaya itu tak memperhatikan Joe


yang tergeletak di tanah. Tetapi ketika Joe berhasil berdiri kembali, ia
melihat ketiga ekor buaya itu memandanginya! Rasa dingin
menggigilkan bulu kuduknya, merayap-rayap di punggungnya. Ia
sadar, telah terperangkap di antara tiga binatang di depan, dan
kubangan maut di belakangnya!

Chapter 17
TERPERANGKAP

Dengan pandangan yang menyala-nyala, ketiga ekor buaya itu


mulai merayap maju. Tak ada kesempatan untuk menghindar!
Tiba-tiba di semak-semak terdengar suara berkerosakan. Seekor
kelinci hutan yang ketakutan, berlari-larian melompat-lompat, dikejar
seekor kucing hutan. Ketika melihat ketiga ekor buaya, kelinci itu
membelok lebar, lalu berlari menyusuri tepian.
Sambil merayap ke depan, ketiga buaya itu hendak menyergap
si kucing hutan. Tetapi kucing hutan itu dengan lincahnya melompat
membalikkan tubuhnya, lalu lari ke arah dari mana ia datang. Seperti
melupakan Joe, ketiga ekor buaya itu mengejar kucing masuk ke
dalam hutan!
Joe lari masuk ke dalam hutan bakau. Karena tak ada pilihan
lain, ia mengikuti jejak para pemburu di antara akar-akar bakau. Ia
hanya berharap, moga-moga para pemburu itu sudah jauh di
depannya. Dengan demikian ia mudah menyelamatkan diri. Tetapi dua
orang pemburu melihatnya! Mereka segera berteriak-teriak.
"Cegat dia!" Lami berteriak kembali. "Tangkaplah dia! Jangan
lepas lagi kali ini!"
Joe terus, berlari. Ia sadar, bahwa orang-orang di luar hukum itu
ada beberapa yang mengejarnya dari belakang, sedangkan beberapa
orang lagi mencegatnya di depan! Ia mendengar, bahwa mereka
semakin mendekat. Dengan napas tersengal-sengal, ia menoleh ke
belakang, ke sekeliling, mencari tempat untuk berlindung.
Sebuah bukit kecil dari setumpuk cabang, ranting, daun-daunan
rumput-rumputan nampak terkilas di matanya.

"Sarang buaya!" pikirnya. Dalam sedetik ia meyakinkan


dirinya, bahwa anak-anak buaya, penghuni sarang tersebut telah
keluar meninggalkan sarang tersebut. Ia melompat masuk ke dalam
sarang itu, lalu menutupi dirinya dengan daun-daunan. Ia duduk
meringkuk, dengan dagunya tertumpu pada kedua lututnya. Napasnya
yang tersengal-sengal ditahannya, agar jangan sampai kedengaran
orang.
Para pemburu datang mendekat, lalu berhenti tak jauh dari
padanya. "Di mana dia?" tanya tom dengan suara keras.
"Ia tentu sudah lolos! Entah bagaimana caranya!" kata Fatso.
"Tentu ada yang telah berbuat tolol! Hingga ia dapat menyelinap
lewat!"
Orang-orang itu mulai saling tuduh-menuduh, salahmenyalahkan. Mereka bertengkar sambil berteriak-teriak, hingga Lami
memberi isyarat agar segera menutup mulut. "Sudah! Ia sudah lenyap!
Lebih baik kita kembali ke perkemahan saja."
"Frank Hardy dan polisi barangkali sudah menunggu kita
disana!" kata Fatso.
Lami menggeleng. "Kukira anak itu hanya menggertak saja.
Bagaimana pun, kalau polisi menemukan perkemahan kita, mereka
tentu bergerak ke kubangan. Kita ambil saja jalan samping. Atau
barangkali ada yang mempunyai cara lain untuk keluar dari sini?"
Tak seorangpun berani mengajukan pendapat. Lami lalu
memperingatkan orang-orangnya, agar diam jangan mengeluarkan
suara. Mereka harus waspada terhadap kedua anak Hardy atau polisi.
Ketika mereka berbalik hendak pergi, Tom terpeleset dan jatuh di
dekat sarang buaya. Joe menahan napas. "Sedikit lebih dekat lagi, ia
akan menimpa tubuhku!" pikirnya.
Lami merayap bangun. "Buaya itu telah menyobek kulit
sepatuku," ia mengeluh. "Aku jadi sulit berjalan. Apa lagi di tempat
yang becek ini. Ayo, cepat berangkat!"

Joe menghela napas lega. Ia menyingkirkan ranting-ranting


penutup tubuhnya lalu mengintip keluar. Keadaan sudah aman. Ia
berdiri, kemudian berjalan dengan cepat memutar, berusaha untuk
mendahului para pemburu. Ia ingin sampai lebih dulu, agar dapat
memberitahu kakaknya.
Tetapi ia terhambat oleh lebatnya belantara. Pada beberapa
tempat, ia bahkan harus merayap-rayap di antara tumbuhan merambat
yang tumbuh sangat rapat.
Akibatnya, ia kalah dulu sampai di tempat tujuan dari para
pemburu. Ketika ia sampai, mereka sedang duduk-duduk berunding
untuk tindakan selanjutnya.
Joe menyelidiki daerah di sekitarnya dari tempat
persembunyiannya. Tak ada tanda-tanda satu pun dari Frank atau
polisi.
Lami telah memberi perintah kepada dua orang, agar
menyelidiki daerah di sekitar perkemahan. Dua orang itu telah
kembali, dan melaporkan bahwa mereka tak melihat seorang pun.
"Tetapi ada sebuah perahu kecil berwarna biru dengan motor tempel.
Ditambat di belakang perahu kita," kata salah seorang.
"Itu tentu perahu anak-anak Hardy!" Fatso mengira.
"Periksalah! Cari sesuatu yang dapat mengungkapkan, untuk apa
mereka itu datang kemari."
Mereka menggeledah perahu dengan teliti. "Tak ada apa-apa di
sini," teriak yang seorang.
"Mereka menyembunyikan jejak mereka dengan baik," kata
Fatso. "Tetapi mereka tentu akan kembali ke perahu mereka. Mari kita
jebak mereka!"
"Kita tak punya waktu," Lami menolak. "Polisi tentu sedang
melacak kita. Kita juga harus kembali ke Persimpangan Everglades,
untuk mencari senjata baru dan mesiu."
"Engkau masih akan meneruskan perburuan?" tanya seseorang.

"Beberapa hari lagi, kalau suasana sudah reda," jawab Lami.


"Mengapa tak kita tenggelamkan saja perahu Hardy itu?" tanya
Fatso.
"Itu bagus!" Tom menyetujui. Ia telah ada di dalam perahu,
mencoba menghidupkan mesinnya. Mesin segera menderu, batukbatuk, lalu mati lagi. Sementara dua orang pergi ke perahu biru, Lami
berusaha beberapa kali untuk menghidupkan mesin. Tetapi sia-sia.
"Ada apa dengan mesin ini?" ia berteriak marah.
Fatso mengambil sebatang ranting, dicabuti daun-daunnya, lalu
dicelupkannya ke dalam tangki bensin. Setelah dicabut, ia
memeriksanya bagian yang tercelup bensin.
"Ada yang memasukkan air ke dalam tangki!" ia berteriak
marah pula. "Aku yakin, ini tentu perbuatan anak-anak Hardy itu!
Sebelum ia menyelinap ke kubangan buaya."
"Selalu anak-anak setan itu!" kata Lami sambil menggertakkan
gigi. "Kita harus membereskan mereka!"
Para pemburu turun dari perahu. Lami memanggil kedua orang
yang sedang menuju ke perahu biru. Dengan tegang, mereka lalu
saling berdebat untuk tindakan selanjutnya.
Tom mendapat akal. "Sedot saja bensin dari perahu biru itu.
Dapat kita gunakan. Mungkin cukup untuk mencapai Persimpangan
Everglades."
Fatso meringis. "Akal bagus! Untung kalian belum jadi
menenggelamkannya!" Kemudian ia mengangkat tangannya, minta
agar mereka jangan bersuara. "Stt. Ada orang datang!"
"Barangkali salah seorang anak Hardy!" desis Lami.
"Berpencar! Kita sergap dia."
Dengan segera orang-orang itu masuk ke dalam hutan, mencari
kedudukan di belakang pohon-pohonan. Langkah kaki semakin
mendekat, dan sesosok tubuh nampak dari balik daun-daunan. Tom
bersama teman-temannya melompat menyerbu dalam sekejap.

Sedetik kemudian, Lami berseru terkejut. "He! Ini Butch!


Lepaskan dia! Ia teman Morphy."
Pendatang baru itu meluruskan leher bajunya yang baru saja
ditarik-tarik orang. "Untung! Kalian sadar sebelum memukul!" ia
menggerutu. "Aku baru kembali dari mencari buah bakau. Lapar juga
menanti kalian begitu lama!"
"Bagaimana engkau bisa sampai kemari?"
"Bersama Morphy, dengan perahu biru itu. Ia pergi untuk
menemui boss. Sementara itu aku menunggu, untuk memberitahu
kalian."
"Ada apa sebenarnya?" tanya Lami.
"Kita disuruh datang ke rumah batu. Boss ingin berbicara
dengan kita."
Lami menjadi heran. "Ini suatu penyimpangan! Biasanya boss
selalu meninggalkan pesan tertulis. Ia tak pernah mau bertemu dengan
orang. Bahkan dengan Nitron dan aku pun tidak!"
"Tetapi sekarang ia mau," kata Butch. "Nitron telah jatuh oleh
beberapa orang mata-mata." "Apa?'
"Anak-anak Hardy itu telah merembes ke dalam
gerombolannya," kata Butch. Ia lalu menceritakan apa yang telah
terjadi.
"Biang penyakit!" Tom meledak karena marahnya. Ia lalu
mengatakan kepada Butch, tentang pertemuannya dengan Joe Hardy
di kubangan buaya.
"Aku ingin sekali dapat berangkat sekarang juga," katanya.
"Kita tidak aman sama sekali, jika kedua anak setan itu masih saja
berkeliaran di sekitar kita!"
"Lebih baik kita segera pergi menemui boss," Butch
menyarankan. "Aku tahu jalannya. Ikuti saja aku, dan jangan
menimbulkan suara. Boss tentu akan menentukan, apa yang harus kita
lakukan."

Ia memimpin gerombolan itu masuk ke dalam hutan bakau. Joe


bertanya-tanya di dalam hati, ke mana gerangan kakaknya. "Ia tentu
tak akan meninggalkan aku tanpa meninggalkan pesan," ia berpikir.
"Tetapi di mana?"
Ia mendapat pikiran, lalu bergegas ke perahunya yang
disembunyikan sebelum mereka mengikuti para pemburu. Benar saja!
Ia melihat pesan yang ditinggalkan oleh kakaknya. Ia mengangguk
sambil tersenyum. Kemudian ia memanggil polisi dengan radionya.
"Sudah ada kabar dari kapal patroli?" ia bertanya kepada sersan
jaga.
"Mereka mendapat sedikit hambatan di jalan," jawabnya. "Aku
tak pasti, kapan mereka akan tiba di sana."
"Apakah mereka tahu tempat yang disebut rumah batu?"
"Aku tidak yakin. Tentunya di daerah yang belum pernah
dilalui patroli."
"Kita meninggalkan jejak dengan ranting-ranting yang kita
patahkan. Dimulai dari perkemahan para pemburu gelap ke arah
utara," kata Joe. "Saya kira mereka tak akan sulit menemukan
perkemahan itu. Tempatnya tepat sebelum belokan besar."
"Akan kuberitahukan kepada mereka dengan segera," sersan itu
berjanji.
Joe mengantongi pesan kakaknya, lalu berjalan ke utara. Setelah
menemukan tempat Frank mulai membayangi Morphy, ia lalu masuk
ke hutan. Apakah ia akan menemukan markas besar gerombolan di
ujung jalanan itu?
Ebukulawas.blogspot.com

Chapter 18
PARIT MAUT

Jauh di depan Joe, Frank selalu mematah-matahkan ranting


pada pohon-pohon yang agak menyolok, sebagai petunjuk jalan
kemana arah perginya. Setiap kali ia mematahkan ranting yang
terbawah, lalu dibengkokkan kira-kira tigapuluh senti dari
pangkalnya.
Kakak beradik itu memang sering menggunakan tanda-tanda
demikian untuk saling berkomunikasi. Terutama jika menghadapi
keadaan yang berbahaya. Frank tahu, bahwa adiknya tentu melihat
tanda-tanda tersebut, dan mengikuti jejak itu ke arah yang tepat.
Sambil menjaga agar tetap dapat mengawasi Morphy, ia merasa
pula bahwa lingkungan daerahnya telah berubah. Rawa-rawa, lumpur
dan tumbuhan tropis mulai berkurang. Tanah menjadi lebih keras,
antara pohon cemara dan pohon bakau mulai berimbang.
Akhirnya, sebuah bangunan terpencil nampak di depan.
Bangunan itu tiga lantai tingginya, berdinding batu Florida.
Keadaannya sudah mulai lapuk ditumbuhi lumut. Jendelanya banyak
yang sudah pecah-pecah, tergantung miring pada engselnya. Cat pintu
depan sudah mengelupas, dan tanah di sekitarnya penuh ditumbuhi
semak-semak.
"Rupanya rumah itu sudah ditinggalkan penghuninya sejak
lama," pikir Frank. Menurut perhitungannya, rumah itu dibangun pada
zaman pemerintah hendak mengeringkan rawa-rawa Everglades untuk
dijadikan daerah pemukiman. Tetapi akhirnya daerah itu dijadikan
Suaka Margasatwa.
"Orang yang membangun rumah itu kecewa," pikir Frank
selanjutnya. "Ia mendirikan rumah ini, kemudian sadar bahwa

letaknya terlalu terpencil untuk tempat tinggal. Yang jelas, ia telah


membuatkan tempat yang bagus untuk si boss. Sungguh tempat
pertemuan yang luar biasa bagi para penjahat!"
Semak-semak di halaman itu bekas diinjak-injak orang, hingga
merupakan jalan setapak ke rumah. Rupa-rupanya ada orang yang
telah datang lebih dulu.
Frank bersembunyi di semak-semak yang tinggi, dan
membayangi Morphy sambil merangkak-rangkak gaya harimau
merunduk mangsanya. Kemudian ia tiba pada sebuah parit yang
mengelilingi rumah tersebut. Parit itu dalamnya sekitar tiga meter.
Ia mengintip ke dalam parit, dan napasnya tertahan! Air yang
dangkal di dalam parit itu, penuh dengan buaya!
Ia menoleh, hendak melihat apa yang akan dilakukan oleh
Morphy. Bekas sekertaris itu mencari-cari sesuatu di dalam semaksemak, lalu mengeluarkan sebilah papan berukuran limabelas senti
lebar kali lima senti tebal. Ia meletakkan papan itu melintang di parit,
hingga merupakan jembatan yang aman terhadap buaya.
Pada sisi parit yang lain terdapat sebuah pintu yang dapat
dinaik-turunkan, untuk menjaga agar buaya-buaya itu tetap berada di
dalam parit. Jika pintu itu dinaikkan, maka buaya-buaya itu dapat
keluar dari parit dan berkeliaran di halaman sekeliling rumah.
Morphy meletakkan sebelah kaki pada papan, untuk mencoba
kekuatannya. Setelah yakin, ia mulai berjalan di atasnya. Perlahanlahan, sambil mempertahankan keseimbangannya. Di bawah, buayabuaya itu mengangakan moncongnya, memperlihatkan gigi-giginya,
berharap agar Morphy jatuh ke dalam parit!
Sambil membentangkan kedua lengannya, Morphy berjalan
setapak demi setapak. Akhirnya ia sampai di undakan pintu depan,
lalu mendorongnya terbuka dengan suara berderak.
Ia masuk ke dalam, lalu menutup kembali pintu di belakangnya.
Buaya-buaya di parit menjadi tenang kembali, karena mangsa mereka

telah terlepas. Tetapi mata mereka tetap mengintai ke papan, hendak


melihat siapa lagi yang akan lewat di jembatan papan.
Frank mempertimbangkan untuk mengikuti jejak Morphy.
Tetapi ia sadar, bahwa ia akan mudah dilihat dari jendela. Tak ada
suara yang terdengar dari dalam. Tetapi tiba-tiba ia mendengar suara
orang di belakangnya. Para pemburu muncul dari dalam hutan,
berjalan beriringan menju ke parit.
"Ingin juga aku menembaki buaya-buaya ini!" kata Fatso,
sambil melihat ke dalam parit.
"Sudah! Jangan pikirkan lagi," kata Tom. "Mereka ada di sini
untuk melindungi rumah ini, jika boss sedang pergi. Ia tak ingin ada
orang yang berkeliaran di sini."
Lami mendahului berjalan di atas papan, yang lain mengikuti,
seorang demi seorang. Fatso yang terakhir. Papan yang tebal itu
berderik-derik menahan berat tubuhnya. Ia selamat juga melintas ke
rumah. Mereka masuk ke dalam, dan Frank mendengar strara Morphy
menyambut mereka. Tetapi suara itu terlalu jauh baginya, untuk dapat
menangkap apa yang mereka percakapkan.
Tiba-tiba suara burung hantu memecah kesunyian. Jeritan itu
diulang hingga empat kali, masing-masing berantara kira-kira sepuluh
detik.
Frank tersenyum! Ia tahu, itu tentu isyarat dari Joe. Mereka
biasa memberitahukan tempat mereka masing-masing, dengan
menirukan suara binatang.
Frank merangkak kembali ke dalam hutan, lalu menjawab
dengan suara yang sama, diulang hingga dua kali.
Beberapa menit kemudian, Joe menyelinap di antara pohonpohon bakau, lalu menemani kakaknya. Dengan singkat Frank
menceritakan keadaan di sana.
Akhirnya ia bertanya: "Apakah polisi akan datang?"

"Mereka sedang menuju ke perkemahan," kata Joe. "Mereka


tidak tahu, di mana rumah batu ini. Tetapi aku telah mengatakan, agar
mereka mengikuti jejak kita. Aku harap saja mereka dapat
menemukannya." Ia melihat ke bagian depan rumah itu. "Bagaimana
kita dapat sampai di sana?"
Frank menjelaskan, bahwa parit itu penuh dengan buaya. "Kita
harus mencari cara untuk menyeberang," katanya. "Tak mungkin
menggunakan papan itu. Tentu akan terlihat. Mari, kita ke bagian
belakang. Barangkali ada jalan yang lain."
Sambil merangkak-rangkak di daerah batas pohon-pohonan,
mereka memutar menuju ke bagian belakang. Di mana-mana pun,
parit itu menganga di hadapan mereka, dan papan untuk menyeberang
tak dapat mereka temukan.
"Kita harus menggunakan siasat, lari pendek untuk menembus
pertahanan regu buaya," Joe membanyol.
"Wah, kita mudah akan kena perangkap sebelum mencapai
garis gol," Frank menimpali. "He, Joe! Aku teringat sesuatu. Ayo, kita
keliling lagi."
Di belakang rumah, Frank menunjuk sebatang pohon cemara
yang tinggi di halaman rumah, tumbuh di tengah-tengah jarak antara
parit dan rumah. Ada sebuah cabangnya yang terpotong, mencuat
miring ke atas hampir mengenai atap.
"Kita dapat melemparkan tali ke cabang itu. Lalu berayun ke
seberang," usul Frank.
"Bagus! Engkau mempunyai tali?"
"Kita dapat membuatnya. Dari sulur pohon-pohonan," jawab
Frank.
"Itu akal yang bagus!" kata Joe sambil meringis.
Dengan cepat mereka memotong-motong sulur-sulur yang tebal
dan lentur, lalu diikatnya menjadi satu. Joe mencoba dengan

menggantungkannya pada sebuah cabang, lalu bergantung berayunayun.


"Cukup kuat," katanya. Ujung yang satunya dibuat simpul
terbuka menjadi sebuah jerat. "Hebat!" katanya. "Aku dapat menjerat
anak sapi dengan ini."
"Nah, sekarang cobalah menjerat cabang cemara itu," kata
kakaknya.
Karena tak ada tanda-tanda adanya orang di belakang rumah,
Joe dengan langkah tegak berjalan ke tepi parit. Buaya-buaya di parit
bergerak-gerak gelisah melihat ia mendekat, dan membuka moncong
mengancam. Tetapi Joe tak memperdulikan.
Ia menggulung talinya. Dengan sebelah tangan memegang
gulungan, tangan yang lain melontarkan jeratnya. Jerat itu jatuh tepat
mengenai cabang yang mencuat dan segera terikat erat.
"Tepat juga bidikanmu," kata Frank sambil mendecak-decak.
"Kalau salah, terpaksa harus membuat lagi. Buaya-buaya itu
tentu akan menelannya mentah-mentah jika terjatuh ke parit!"
Joe menyeringai dan membawa ujung tali yang lain ke sebuah
pohon. "Kita ikatkan ujung ini pada ketinggian yang sama dengan
jerat itu, dan kita dapat bergelantungan menyeberang ke sana."
Mereka memanjat pohon yang mereka sebutkan, dan Frank
mengikatkan tali itu. Joe mengajukan diri untuk menyeberang lebih
dulu. Ia memegang tali, dan terasa agak licin. Dengan menggertakkan
gigi, seluruh tenaganya dipusatkan pada kedua lengannya.
Setelah Joe berhasil mencapai atap, Frank segera menyusul. Di
tengah-tengah perjalananannya, pegangan tangan yang satunya
terlepas. Buaya-buaya itu melonjak-lonjak hendak meraih tubuhnya.
Untunglah, ia segera dapat menangkap tali kembali, dan dengan hanya
lecet sedikit di tangan ia berhasil pula menyeberang.
"Wow!" bisiknya. "Mudah-mudahan nanti kembalinya tak perlu
lagi dengan cara ini!"

"Aku mengerti," kata adiknya. Ia mendahului beringsut ke sudut


atap, di mana terdapat pipa talang yang turun ke tanah.
"Memang, cara ini adalah cara transportasi yang paling tidak
enak!"
Dengan hati-hati mereka merosot ke tanah. Sambil menunduk
rapat di tembok, mereka mengitari rumah menuju ke sebuah jendela di
samping. Dari sana, mereka dapat mendengar suara percakapan.
Dengan hati-hati mereka mengintip ke dalam, sebuah kamar
berdebu dengan kertas menempel dindingnya telah sobek-sobek.
Rontokan plester dinding berhamburan di lantai. Sebuah permadani
tergulung bersandar pada dinding, sedangkan semua meja-kursi
ditutup dengan kain. Pada suatu tempat di lantai menunjukkan bahwa
atapnya telah bocor.
"Sungguh mengerikan," bisik Joe.
Para pemburu gelap itu duduk di kursi tanpa membuka kain
penutupnya. Morphy duduk pada kursi besar, menghadap ke jendela.
"Kita ingin menembak buaya," katanya.
"Tak ada masalah," jawab Fatso. "Itu kan kehendak boss pula,
bukan?"
"Tetapi bagaimana sekarang ini?" tanya Lami.
Morphy mengangkat bahu. "Kita harus mulai lagi dari
permulaan!"
Suara langkah kaki terdengar di jembatan papan. Kemudian
pintu terbuka dan pendatang itu masuk.
"Itu boss datang," kata Morphy, lalu berdiri. Pendatang baru itu
segera nampak pula oleh Frank dan Joe. Orangnya pendek, memakai
topi yang menutupi dahi. Kaca mata yang hitam membuat wajahnya
tak mudah dikenali. Tetapi entah bagaimana, orang itu seperti sudah
mereka kenal!
"Halo boss!" seru Morphy menyambutnya.

"Halo, teman-teman! Aku gembira kalian dapat hadir," jawab


orang asing itu.
Suara itulah yang mengungkapkan siapa dia!
Frank dan Joe dengan segera menjadi tahu, bahwa yang mereka
sebut boss itu tidak lain adalah Harrison Wester!

Chapter 19
PENJAGA YANG MENYERAMKAN

Wester ternyata tidak pincang, dan berjalan tanpa tongkat


penopang!
"Aku mengubah cara-cara operasi kita," katanya memulai.
"Seperti yang kalian ketahui, Nitron telah tertangkap. Ini berarti
kerugian yang besar bagiku. Untuk menjaga agar perburuan berjalan
lancar, kurasa aku harus menerapkan kontrol yang ketat."
"Apakah untuk itu, engkau memanggil kami?" tanya Tom.
"Betul. Setiap kelompok telah terlalu bebas bekerja sendiri,
selama aku hanya meninggalkan pesan-pesan tertulis. Nitron telah
menggunakan orang tanpa sepengetahuanku. Itu merupakan kesalahan
yang fatal, dan menyebabkan dia masuk penjara."
"Semua itu hanya gara-gara anak-anak Hardy!" Lami
menggerutu.
"Anak-anak berhidung tajam itu bahkan telah mengikuti kita di
Everglades!" kata Fatso. Ia menceritakan, bagaimana Joe dapat
meloloskan diri di kubangan buaya, dan bagaimana perahu mereka
telah dilumpuhkan dengan menuangkan air ke dalam tangki
bensinnya.
"Apakah anak-anak muda itu tahu tentang rumah batu ini?"
tanya Wester khawatir.
"Aku sangsi akan hal itu. Dari mana mereka dapat tahu?" kata
Lami.
"Mereka sungguh cerdik. Jauh lebih cerdik dari apa yang
kuperkirakan. Kalau aku tahu sebelumnya, aku akan mengekangnya
lebih ketat," Wester mengaku. "Tak seorang pun tahu, di mana mereka

itu akan muncul. Mark, seharusnya engkau jangan melibatkan mereka,


dengan cara meninggalkan foto mereka di laci kakakku."
Morphy nampak terkejut dan bingung. "Maafkan aku tentang
hal itu, boss," ia bergumam.
"Aku juga sudah mengatakan kepadamu, agar anak-anak muda
itu diawasi dengan ketat!" kata Wester dengan marah.
"Aku telah berusaha," Morphy membela diri. "Tetapi Frank
melihat aku, pada malam aku menemui engkau di rumahmu. Setelah
itu, aku tak berani lagi berada di dekat Smugglers Cove!"
"Ya, itu memang suatu alasan," kata Wester sambil berpikir,
"Aku telah meninggalkan pesan di rumah, bahwa aku pergi ke Key
West. Aku heran, jika anak-anak muda itu dapat menemukan tempat
di Everglades ini!"
Ia berhenti sebentar sambil menggigit bibirnya. "Kita harus
keluar dari sini dengan segera. Tom, aku akan mengirim Morphy
untuk menemui engkau di Kota Blanco minggu depan, membawa
pesan-pesan selanjutnya. Janganlah berbuat sesuatu sebelum
mendengar pesanku melalui dia. Mengerti?"
"Baik, boss. Aku akan menyampaikan pesan ini kepada temanteman yang lain, setelah aku bertemu dengan Tom."
"Karena polisi telah melacak kalian, mungkin sekali kalian akan
kepergok. Hendaknya kalian berpura-pura sebagai orang yang sedang
berkemah. Kukira tak ada sesuatu yang akan mencurigakan. Apalagi
senapan-senapan kalian telah hilang."
Wester berpaling, lalu melangkah ke jendela. Frank dan Joe
dengan segera menunduk rapat pada dinding, masing-masing sebelahmenyebelah jendela. Mereka hampir-hampir tak berani bernapas!
Morphy mendekati boss, dan berkata dengan suara rendah. "Tak
ada perburuan lagi? Itu suatu usaha yang sangat menguntungkan!"
"Akan kita rencanakan lagi, kelak. Tunggu sampai suasana
sudah menjadi dingin kembali."

"Apakah kakakmu mencurigai sesuatu?"


"Raymond?" tukas Wester. "Ia tak tahu sama sekali bahwa aku
melakukan usaha-usaha ini! Tetapi ia tahu, bahwa anak-anak Hardy
mencurigai engkau dalam pencurian lukisan itu, Mark!"
"Aku tak peduli apa yang dipikirkan anak-anak itu," kata
Morphy sambil mengangkat bahu.
"Aku juga tidak," Wester mengiakan. "Namun, kita harus
menyingkirkan mereka lebih dulu, sebelum kita melakukan sesuatu
usaha lagi. Mereka, beserta kedua temannya, Hooper dan Morton.
Mereka masih ada di rumahku, menurut pengurus rumah tanggaku."
"Bagaimana engkau akan menangani mereka?"
"Begitu aku sampai di rumah, aku akan mendorong Morton dan
Hooper dari batu karang di Smugglers Cove sana. Akan kuatur, agar
nampaknya seperti suatu kecelakaan. Sesuatu yang fatal!" kata Wester
sambil menyeringai seram. "Sesudah itu kita mengatur perangkap buat
anak-anak Hardy."
Joe mendekatkan kepalanya kepada kakaknya, lalu berbisik:
"Kita harus memberitahu Chet dan Biff!"
Gerakan itu tertangkap oleh mata Wester. Ia memergoki kedua
pemuda itu! "Anak-anak Hardy ada di luar!" ia berteriak. "Jangan
lepaskan lagi mereka! Lemparkan ke dalam parit bersama-sama
dengan buaya!"
Pemburu-pemburu itu berlarian di ruangan. Sementara itu kedua
detektif muda itu lari meninggalkan jendela.
"Lari kita memanjat lagi ke atap!" Joe mendesak. Ia berlari ke
arah pipa talang yang terdekat. Ia memanjat, menginjakkan kakikakinya pada dinding.
Tetapi Frank mempunyai pikiran lain. Sebelum mengikuti
adiknya, ia berlari ke pintu parit yang dapat dinaik-turunkan, lalu
mengangkatnya terbuka sampai terkait pada kuncinya. Pintu itu

merupakan jalan keluar bagi buaya-buaya di dalam parit. Dengan


segera seekor buaya merangkak keluar melalui pintu itu.
Frank berlari sekencangnya ke pipa talang, lalu memanjat. Ia
sempat mendengar suara moncong yang runcing itu terkatup marah di
bawah kakinya!
Sementara itu, pemburu-pemburu gelap itu berlarian ke pintu
depan. Tom Lami membukanya, lalu terhenti dengan terkejut.
Halaman di depannya telah penuh dengan buaya!
Beberapa ekor lagi sedang merayap keluar dari pintu parit,
merangkak-rangkak di rumputan. Seekor lagi bahkan telah mulai
merayap di tangga serambi, kedua matanya menyala-nyala menatap
pemburu yang ketakutan itu.
"Kembali!" Lami berteriak. Tetapi orang-orang di belakangnya,
yang tak menyadari bahaya, tetap mendesak ke depan, dengan
semangat yang berkobar-kobar hendak mengejar Frank dan Joe.
Lami bertahan dengan kedua tangannya pada ambang pintu
dengan kuat-kuat. Dengan sekuat tenaganya ia balas mendesak ke
belakang, ngeri kalau sampai terdesak ke moncong buaya!
Akhirnya orang-orang di belakangnya mulai sadar akan bahaya
tersebut. Mereka berbalik mundur ke dalam. Dengan segera Lami
membanting pintu hingga tertutup. Buaya itu meluncur di serambi,
dan menabrak pintu dengan suara bergedobrak. Papan pintu itu retak,
dan cakar buaya itu menggapai-gapai ke dalam!
Wester dan orang-orangnya memandangi dengan ketakutan,
mengawasi cakar buaya itu tersembul di lubang retakan pintu.
"Lebih baik lari ke atas!" teriak Tom.
"Coba dulu pintu belakang," seru Morphy. "Mungkin kita dapat
menyeberangi parit di belakang, kalau buaya-buaya itu hanya
berkumpul di depan semua. Ada papan lain di kamar kecil. Dapat
digunakan untuk menyeberang!"

Ia berlari ke belakang, diikuti oleh semua orang. Ia membuka


pintu dapur, tetapi halaman di depannya juga sudah penuh dengan
buaya!
Dengan marah Morphy membanting pintu. "Tak mungkin lagi!"
ia berseru kepada teman-temannya. "Buaya-buaya itu telah memenuhi
seluruh halaman!"
Wester menggeleng. "Aku telah memberikan seluruh sisa
perbekalanku minggu yang lalu. Tak ada jalan lain untuk mengalihkan
perhatian mereka. Kecuali kalau ada yang mau dengan sukarela"
Kata-kata itu membuat gerombolan itu gemetar.
Sementara itu, di atap, Frank mengawasi buaya-buaya yang
berkeliaran di halaman.
"Jangan sampai jatuh!" Frank memperingatkan adiknya. "Nanti
engkau akan menjadi bistik lengkap bagi mereka!"
"Tidak lucu!" adiknya menggerutu. Mereka merangkak menuju
ke tali yang melintang antara kedua pohon. Itulah jalan satu-satunya
untuk melepaskan diri!
Tiba-tiba terdengar suara gemuruh di udara. Beberapa detik
kemudian nampak sebuah helikopter, berputar-putar di atas mereka.
Pada sisinya terpampang: Polisi Suaka Margasatwa Everglades.
Kedua pemuda itu terpukau melihat helikopter itu. Dengan
bersemangat mereka melambai-lambaikan tangan. Karena khawatir
tak terlihat oleh pilotnya, Frank mengambil saputangannya dan minta
saputangan adiknya. Dengan kedua helai saputangan itu ia membuat
isyarat-isyarat semafor. Huruf-huruf itu berbunyi: Pemburu gelap ada
di sini.
Helikopter itu berputar rendah di atas atap, dan pilotnya
melambaikan tangannya, menandakan bahwa ia telah menangkap
isyarat tersebut. Kemudian ia terbang menjauh untuk memanggil
bantuan.
"Bagaimana kita sekarang?" tanya Joe.

"Kita dapat tetap tinggal di sini, menunggu polisi datang. Atau


kembali menyeberang lewat tali."
"Aku tidak tergila-gila untuk main tambang," jawab Joe.
"Tetapi itu satu-satunya cara terbaik untuk melepaskan diri. Kemudian
kita buang saja papan penyeberangan, agar buaya-buaya itu jangan
berkeliaran keluar."
"Engkau benar," kata kakaknya. "Pegang kuat-kuat, agar jangan
menjadi santapan binatang kesayangan Wester."
Dengan memusatkan segala perhatian dan tenaga, mereka
berhasil mencapai pohon di seberang. Mereka beristirahat beberapa
menit di atas pohon, kemudian baru turun. Papan penyeberangan itu
mereka tarik, dan untuk beberapa saat mereka mengawasi keadaan di
dalam rumah.
Buaya yang ada di pintu depan telah menghentikan usahanya
untuk mendobrak pintu. Tetapi ada tiga ekor lagi yang telah sampai
pula di serambi. Bahkan dua ekor lagi berbaring-baring di tangga!
Binatang-binatang yang lain tetap berkeliaran di halaman.
"Suatu penjara yang istimewa bagi mereka!" kata Joe sambil
tersenyum senang. "Mereka tak mungkin dapat keluar, selama buayabuaya itu yang menjaganya!"
"Aku pun tak bisa!" kata kakaknya. "Sekarang kita tinggal
menunggu bantuan."
"Mudah-mudahan tidak terlalu lama," Joe menghela napas.
"Bagaimana pun, hewan-hewan itu membuat aku gugup."
"Begini saja," kata Frank memberikan saran. "Kita cari buah
hutan. Aku memang sudah lapar."
"Aku juga," kata adiknya setuju. Ia menjadi sadar, bahwa
mereka belum makan sejak pagi.
Setelah cukup mengumpulkan buah-buahan, lalu duduk
bersandar pada sebatang pohon, sambil menjaga jangan sampai

tertidur. Mereka memang telah terlalu lelah menghadapi pengalamanpengalaman pada hari itu.
Akhirnya, kira-kira satu jam kemudian, polisi datang.
Semuanya ada sepuluh orang, dipimpin oleh seorang letnan yang
memperkenalkan diri bernama Dennis Mishkin.
"Kami mendapat petunjuk-petunjuk tentang perkemahan itu
dari markas," katanya. "Tetapi ketika sampai di sana, kami tak tahu
arah mana yang harus kami ambil. Sebab jejak-jejak kaki terlalu
bersimpang siur di sana. Karena itu kami minta bantuan sebuah heli
untuk menyelidikinya."
"Kami gembira, anda berbuat demikian," kata Frank. "Kami
juga berhasil menarik perhatian pilot heli."
Letnan Mishkin mengangguk. "Ia memberitahukan keadaanmu
melalui radio. Bagaimana keadaannya sekarang?"
Kakak beradik itu menjelaskan; bagaimana buaya-buaya itu
telah menjebak mereka di dalam rumah batu di seberang parit.
"Kami selalu siap untuk menghadapi buaya," kata letnan itu. Ia
lalu memerintahkan anak buahnya untuk mengambil sekarung besar
daging. Mereka melemparkan gumpalan-gumpalan daging itu ke
dalam air.
Buaya-buaya itu bereaksi dengan sangat cepat. Mereka
berlarian menuju ke pintu parit, masuk ke dalam air. Semuanya saling
desak-mendesak, sambil meliuk-liukkan tubuhnya. Moncongnya
terkatup-katup, sambil mendesis-desis dan meraung-raung.
Sampai di parit, mereka menyerbu daging itu dengan rakusnya.
Kepalanya berayun-ayun merobek-robek, dan potongan-potongan
daging itu lenyap sekali telan.
Joe memasang papan penyeberang, lalu berlari ke pintu parit
untuk menutupnya kembali. Kembali buaya-buaya itu terkurung di
dalam parit.

Chapter 20
LUKISAN YANG DISEMBUNYIKAN

Lami mengawasi segala yang terjadi itu dari jendela. "Polisi


sudah sampai!" ia berteriak kebingungan.
"Anak-anak Hardy itu bersama mereka!" Fatso melenguh.
"Mereka telah mengandangkan buaya-buaya itu kembali."
Sisa anggota gerombolan itu menjadi panik. Takut dan bingung,
mereka hanya dapat saling berteriak. Suara itu memuncak menjadi
hingar bingar ketika polisi menyerbu ke pintu, masuk ke dalam dan
menguasai para pemburu gelap.
Selama terjadi kekalutan itu, Wester menyelinap ke pintu
belakang. Frank dan Joe melihatnya, lalu berlari mengejar ke dalam
dapur.
Wester berhasil membuka pintu. Ia berlari-lari turun di tangga,
lalu keluar ke halaman, dikejar ketat oleh Frank dan Joe. Frank lalu
berlari ke arah yang berlawanan, untuk mencopot papan
penyeberangan, sebelum Wester dapat mencapainya. Papan
dibuangnya, tepat pada waktu raja penyelundup itu datang dikejar Joe.
Wester berhenti dengan tiba-tiba di tepi parit. Seekor buaya
memandanginya. Buaya itu mencakar-cakar tanah dengan kaki
belakangnya, dan bagian depan tubuhnya merayap ke tebing parit.
Moncongnya terbuka lebar-lebar. Tiga ekor lagi mengikuti di
sampingnya.
"Hendak menyeberang boss?" tanya Frank dengan geram.
"Engkau menang," kata Wester lesu. Ia membalikkan tubuh,
lalu berjalan kembali ke rumah batu. Frank dan Joe mengikutinya di
kedua sisi, menjaga agar tawanannya jangan berusaha melarikan diri.

Kakak beradik itu membawa tawanannya ke kamar depan, para polisi


sedang menggeledah pemburu-pemburu gelap itu.
"Sampai sekian jauh, kami belum menemukan petunjukpetunjuk yang memberatkan," kata letnan Mishkin.
"Tutup mulut!" Wester memperingatkan anak buahnya.
Polisi lalu menggeledah dia, memeriksa buku catatan yang
terdapat di dalam sakunya. Di dalamnya tertulis catatan-catatan
pribadinya. Tetapi tak satu pun yang mengungkapkan sesuatu yang
berhubungan dengan penyelundupan atau perburuan gelap.
"Anda tak menemukan apa-apa pada saya!" Wester menukas.
"Ini semua hanya kata-kata anak Hardy, untuk memburuk-burukkan
saya. Selain itu, anda tak mendapatkan bukti-bukti!"
Polisi tak mempedulikannya. Sementara letnan Mishkin
menjaga para tawanan yang telah dibelenggu, anggota polisi yang lain
menggeledah seluruh isi rumah. Tetapi mereka kembali tak berhasil.
Mereka kembali ke kamar duduk dengan kecewa.
Pada saat itu Frank melihat secarik kertas di lantai, di bawah
kertas penempel dinding yang sobek. Ia memungutnya, lalu membaca:
Kalung berlian - (Egret Island)
"Inilah perintah Wester kepada Ignas Nitron," kata Frank
tegang. "Untuk merampasnya dari tangan profesor Viga!"
Joe menjelaskan pengalaman kakek ahli kimia itu dengan para
penyelundup, sementara Frank mencocokkan kertas itu dengan buku
catatan Wester yang terbuka di meja.
"Kertasnya sama!" ia berseru.
Letnan Mishkin memeriksa barang bukti itu. "Engkau benar!" ia
mengiakan. "Nah, inilah bukti yang kita perlukan! Tetapi mengapa
Wester meninggalkan perintah untuk Egret Island di Everglades sini?"
"Apakah anda mau mengatakannya, boss?" tanya Frank kepada
pemimpin gerombolan itu.
"Tak ada yang perlu kukatakan!" tukas Wester.

Tetapi Mark Morphy ingin mengambil hati polisi. "Jika saya


melaporkan segala sesuatu yang saya ketahui, apakah saya dapat
diperlakukan sebagai saksi saja?"
"Saya tak dapat berjanji," kata letnan itu. "Tetapi kerjasama
selalu menguntungkan. Sebelum anda mulai, akan saya sebutkan dulu
hak-hak anda menurut hukum.
Wester menatap wajah anak buahnya, yang sedang menerima
petunjuk dari letnan, bahwa ia berhak untuk tidak mengatakan sesuatu
sebelum merundingkan dengan pengacaranya. Tetapi Morphy sudah
ketakutan, dan bersedia untuk bercerita.
"Tuan Wester menginginkan lebih banyak mempunyai koleksi
lukisan" ia memulai. "Karena itu ia berkeputusan untuk melakukan
penyelundupan dan perburuan gelap. Kesemuanya itu demi untuk
mendapatkan uang."
"Tutup mulutmu!" bentak Wester.
Morphy tak mempedulikan pemimpinnya. "Karena itu ia
mengajak saya dalam usahanya. Ia mengatur komplotan yang
dipimpin oleh Nitron dan Tom Lami. Tetapi ia sendiri tak ingin
diketahui. Ia hanya meninggalkan pesan-pesan di rumah batu ini."
"Bagaimana ia bisa mendapatkan rumah ini?" tanya Frank.
"Aku tak tahu. Rumah ini sudah ditinggalkan orang sejak
berpuluh-puluh tahun. Kukira, ia hanya secara kebetulan saja
menemukannya, ketika sedang menyelidiki daerah Everglades ini."
"Kakinya yang pincang ketika bertemu dengan kami itu, hanya
pura-pura saja?" tanya Joe.
"Memang. Dengan demikian, tak seorang pun yang akan
mencurigai dia, hingga dapat keluyuran ke mana-mana di hutan."
"Apa yang terjadi, setelah Nitron dan Lami menerima pesanpesan itu?" tanya Frank.
"Seharusnya Ignas dan Tom membakarnya," jawab Morphy.
"Tetapi Ignas meninggalkannya begitu saja karena lupa."

Wester tak dapat menahan kesabaran lagi. "Nitron itu tolol,


sinting!" ia meledak marah. "Mula-mula ia meninggalkan sidik jari
ketika mengambil potret Simon Bolivar di Bayport. Kemudian ia lupa
membakar pesan tentang Egret Island!"
"Mengapa anda menyuruh mencurinya? Padahal kakak anda
memberikannya kepada anda?" tanya Frank.
"Mungkin, anda mengharap mendapatkan santunan dari
asuransi," sambung Joe. "Jadi anda mendapatkan uang sekaligus
lukisannya!"
Mata Wester yang menunjukkan rasa bersalah mengungkapkan,
bahwa terkaan Joe adalah benar. Meskipun ia tak mengakui kenyataan
itu.
"Bagaimana Tom Lami bisa mendapatkan pestol anda?" tanya
Frank.
"Tuan Wester memberikannya kepadaku," kata Morphy dengan
sukarela. "Aku lalu memberikannya kepada Tom."
"Apakah nyonya Summers terlibat dalam rencana anda?" tanya
Joe ingin tahu. Ia teringat, bagaimana tingkah laku nyonya itu
mencurigakan.
"Engkau bercanda?" sahut Morphy. "Ia bahkan sangat
membenci aku. Di samping itu, ia merasa sebagai anjing penjaganya
tuan Raymond Wester. Yang tugasnya menjaga keselamatan harta dan
jiwa tuannya. Karena itu selalu membentak-bentak siapa saja yang
berani memasuki rumah majikannya!"
"Saya ingin bertanya sekali lagi," kata Frank. "Di mana potret
Simon Bolivar berada?"
Morphy mengangkat bahu. "Aku tak tahu sama sekali."
"Aku juga tak akan mengatakannya kepadamu!" Wester
menjerit. "Tak seorang pun yang tahu, kecuali aku. Kalau engkau
memang cerdik, carilah sendiri!"

Percakapan selanjutnya tak menghasilkan apa-apa. Letnan


Mishkin lalu berdiri. "Kami akan membawa tawanan-tawanan ini,"
katanya. "Nah, hari-hari libur mereka untuk berburu sudah berlalu."
Kemudian ia berpaling kepada Frank dan Joe.
"Seharusnya salah satu Lembaga Penyayang Lingkungan Hidup
memberikan sebuah medali kepada kalian. Kalian telah membantu
kelestarian hewan yang menuju kepunahan, yaitu buaya Everglades.
Heli kami ada di perkemahan. Kalian dapat ikut ke Flamingo dengan
heli kalau mau. Kami akan mengembalikan perahu dan perlengkapan
kalian menyusul kemudian."
Kakak beradik itu menerima tawaran tersebut. Semua yang ada
di rumah batu itu lalu keluar. Seorang demi seorang mereka
menyeberang di papan. Sementara buaya-buaya itu selalu siap untuk
menerima siapa saja yang jatuh ke dalam parit. Tetapi semuanya
berhasil menyeberang dengan selamat.
"Aku akan menyuruh memindahkan buaya-buaya ini ke
kubangan buaya," kata letnan. "Kukira, dari sanalah asal mereka."
"Itu memang betul," kata Morphy. "Tom dengan anak buahnya
yang menggali parit itu atas perintah tuan Wester. Lalu memindahkan
buaya-buaya itu kemari."
"Kami mengira, bahwa tak seorang pun dapat
menyeberanginya," kata Fatso. "Tetapi anak-anak Hardy itu
mempunyai cara lain. Bagaimana itu kalian lakukan?" ia bertanya
kepada Frank dan Joe.
"Kami menggunakan tambang yang telah disediakan oleh alam.
Lalu mengikatkannya pada dua batang pohon," jawab Joe sambil
menunjukkannya. "Lihatlah itu!"
Fatso melirik. "Kalian tentu sering nonton film Tarzan!"
Rombongan itu berjalan ke perkemahan pemburu. Di sana
kakak beradik itu meletakkan segala perlengkapan mereka, termasuk
sepatu boot mereka, ke dalam perahu sewaan mereka. Perahu para

pemburu beserta perahu biru juga masih ada di sana. Polisi lalu
menariknya, setelah para tawanan digiring ke kapal patroli. Mereka
segera mengirimkan pesan radio tentang tawanan-tawanan mereka,
lalu berangkat menyusuri sungai Tributary.
Sementara itu Frank dan Joe naik ke helikopter. "Untung sekali
aku melihat kalian di atap," kata pilot.
"Demikian juga kami," kata Frank. "Kalau tidak, kami tak dapat
menangani para pemburu dan sekaligus buaya-buaya itu."
Heli mengudara. Kedua kakak beradik itu melihat, bagaimana
daerah itu membentang bermil-mil luasnya. Berupa sebuah jaringan
dari rawa-rawa, rumput tinggi, hutan bakau dan sungai-sungai kecil
yang berkelok-kelok di sela-sela belantara.
Setelah mendarat di Flamingo, mereka berjabatan tangan
dengan pilot. "Terimakasih boleh menumpang," kata Frank. "Kami
sungguh gembira, karena bisa kembali lebih cepat daripada naik
perahu.
Pilotnya tersenyum. "Aku juga sangat senang. Lain kali, kalau
kalian ke Everglades lagi, jangan lupa mampir ke tempat kami. Kalau
kami mendapat gangguan dari pemburu gelap lagi, kami tentu akan
memanggil kalian!"
****
Setelah makan roti berisi daging panggang dengan lahapnya,
kakak beradik itu naik ferry ke Key Blanco.
"Aku heran dengan pak Wester itu! Tega-teganya mencuri
lukisan dari kakaknya sendiri!" kata Joe.
Frank mengangguk. Hal ini tentu sangat mengejutkan pak
Raymond, jika ia telah mengetahuinya. Lagi pula, kita tak berhasil
membawa pulang lukisannya!"
Setelah ferry ditambatkan di kota Blanco, mereka berjalan kaki
ke rumah pak Wester di Smugglers Cove. Pengurus rumah tangga
membukakan pintu.

"Kami mendengar dari radio, bahwa tuan Wester ditangkap!"


katanya menggagap. "Aduh! Kami tak tahu sama sekali tentang
kegiatan kejahatannya! Percayalah!"
"Harrison West memang sangat cerdik," kata Frank. "Ia dapat
menutupi segala jejaknya dengan rapi sekali."
"Hebat kalian yang dapat mengungkapkannya!" kata nyonya
itu.
"Kebetulan saja kami menemukan markasnya di Everglades,"
jawab Frank merendah. "Tetapi yang paling berjasa mengenai
penangkapan itu ialah Polisi Suaka Margasatwa Everglades. O, ya!
Apakah Chet dan Biff ada di rumah?"
"Ada," kata nyonya itu. "Mereka,ada di belakang."
Frank dan adiknya menjumpai kedua temannya itu sedang
bersantai-santai di kursi malas, memandangi matahari yang sedang
terbenam. Chet melompat bangun ketika melihat mereka datang.
"Selamat datang!" serunya menggeledek; "Kami mendengar,
kalian telah berhasil memecahkan perkara itu!"
Frank dan Joe menceritakan segala yang telah terjadi. Wajah
Chet berseri-seri.
"Aku sungguh bangga terhadap kalian!" katanya. "Sayang
sekali kami tak berkesempatan untuk membantu. Tak menyenangkan
terdampar di tempat ini, tanpa berbuat apa-apa!"
"Tetapi wajahmu tak menunjukkan kesedihan!" kata Joe, sambil
menunjuk ke sebuah gelas tinggi berisi limun, dan piring berisi sisasisa Cherry Pie "Menurut aku, sesungguhnya kalian ini sedang
berlibur!"
"Aku terus terang! Kami memang melakukan olahraga
menyelam sedikit," kata Chet malu-malu. "Aku berpikir, menyelidiki
daerahnya dulu sebelum kalian pulang. Kalian tentu ikut, bukan?"
"Terdengarnya enak sekali," kata Joe. "Tetapi perkara kita
belum selesai!"

Biff memukulkan tinju kanannya ke dalam tangan kirinya.


"Kalian belum menemukan lukisan itu?"
"Itulah," jawab Frank. "Wester mengaku, bahwa ialah yang
mengatur pencurian. Tetapi ia tak memberitahu, diapakan lukisan
tersebut."
"Yaah, tetapi setidak-tidaknya kalian telah membersihkan nama
kalian," kata Chet. "Meski pun kalian tak tahu di mana lukisan itu,
tetapi kalian telah membuktikan, bahwa bukan kalian yang
mengambilnya."
"Tetapi kami belum mau melepaskan perkara ini," kata Joe
dengan pasti.
"Ya! Tetapi kalian tak tahu di mana mencarinya!" kata Chet.
"Menurut penglihatanku, kalian telah kehabisan petunjuk-petunjuk!"
Kakak beradik itu mengangguk lesu. Mereka tidak saja kecewa
karena kegagalan mereka, tetapi juga bertanya-tanya dalam hati,
apakah masih ada perkara-perkara lain yang akan mereka tangani.
Mereka tak menyadari, bahwa segera pula mereka akan terlibat dalam
perkara lain.
Tiba-tiba Joe melompat bangun. "Nanti dulu!" katanya. "Aku
baru saja mendapat akal. Mari ikut semua!" ia memimpin temantemannya menuju ke kamar duduk, lalu mendekati tempat perapian. Ia
menjangkau ke atas, menurunkan lukisan pemandangan, lalu
memeriksanya.
"Lho! Apa maksudmu ini?" tanya Biff.
"Memeriksa bingkainya," jawab Joe. "Seperti yang telah
kusangka, bingkai ini pernah dibuka." Ia menekan sudut-sudutnya,
dan mencoba melepaskannya. Lukisan pemandangan itu tetap melekat
di bingkainya, tetapi selembar kanvas yang lain jatuh melayang ke
lantai!

Joe memungutnya. Teman-temannya melihat lukisan wajah


seorang laki-laki dengan potongan yang tajam, berambut hitam dan
pandangan yang tegas. Ia mengenakan seragam perajurit kuno
berleher tinggi, dan tanda pangkat pada pundaknya.
"Wah! Aku hampir tak percaya!" seru Chet. "Apakah ini potret
Simon Bolivar itu?"
"Aku yakin ini", jawab Frank. "Aku sudah sering melihat
gambar-gambarnya di buku-buku. Wajahnya juga demikian ini!"
Biff menggaruk-garuk kepalanya. "Bagaimana engkau tahu
mencari dengan cara begitu, Joe?"
"Pak Wester adalah penggemar benda seni," jawab Joe. "Aku
yakin, bahwa ia ingin sekali memiliki lukisan itu, dan
menyembunyikan di tempat yang aman, setelah menerima uang
asuransi."
"Tetapi ia memiliki banyak sekali lukisan!" kata Chet. "Apa
sebabnya engkau secara khusus memeriksa lukisan yang satu ini?"
"Engkau ingat? Ketika kita pada malam pertama berada di sini?
Pada waktu itu pak Wester menyebutkan, bahwa lukisan yang hilang
itu sama besarnya dengan lukisan pemandangan ini. Ia juga
mengatakan, bahwa ia ingin menggantungkannya berdampingan.
Malah ia berkata lagi kemudian: Aku seperti sudah melihatnya
sekarang ini. Itu merupakan suatu sindiran khusus terhadap kita!"
"Sudah tentu!" Chet memukulkan telapak tangannya ke
dahinya. "Mengapa aku tak berpikir ke situ?"
Frank tertawa kecil, lalu memandangi lukisan itu. "Simon
Bolivar," katanya. "Pembebas Amerika Selatan!"
"Dibebaskan oleh Joe Hardy!" sambung Biff. END
Ebukulawas.blogspot.com

You might also like