Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
Demam berdarah dengue (DBD) adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus
dengue dengan manifestasi klinis demam mendadak disertai gejala perdarahan dengan atau tanpa
syok. Penyakit ini merupakan penyakit infeksi dengan penyebaran terpesat di dunia, dengan
peningkatan insiden 30 kali lipat dalam 50 tahun terakhir. Penyakit infeksi ini mengancam
sekitar 20 juta orang setiap tahunya pada negara tropis dan subtropis seperti Indonesia. Pada
tahun 2007 telah ditemukan 150.000 kasus di Indonesia. Pada awal tahun 2016 Indonesia
mengalami kejadian luar biasa (KLB) dengan ditemukanya 8487 orang penderita DBD dalam
periode Januari-Februari 2016, dengan Provinsi Bali ditemukan sebagai salah satu wilayah KLB
(WHO, 2009; Rajapakse, 2011; Kemenkes, 2016).
Penyakit DBD memungkinkan terjadinya dengue shock syndrome (DSS) dan kegagalan
multi organ hingga menyebabkan kematian. Angka kematian DBD ditemukan berkisar antara 1
hingga 2 persen dalam satu tahun. Infeksi virus dengue memiliki spektrum manifestasi yang luas
mulai dari tak bergejala, timbulnya trombositopeni, kebocoran pembuluh darah (plasma
leakage), hingga sindroma syok yang berat dan kegagalan multiorgan. Kegagalan multi organ
meliputi kerusakan hepar, rhabdomyolysis, depresi otot jantung, serta kegagalan dari sistem
neurologi dan optalmologi. Diperlukan penanganan yang tepat untuk mencegah perburukan dari
penyakit DBD. (WHO, 2009; Soegijanto & Chilvia, 2013)
DBD sesungguhnya dapat ditangani dengan prinsip pengobatan yang sederhana dan
efektif menolong pasien, bila tenaga kesehatan jeli dalam mengenali dan memahami problem
klinis dalam setiap fase perjalanan penyakit ini. Tenaga kesehatan dalam pelayanan kesehatan
primer dan sekunder seperti seorang dokter memiliki peran dalam melakukan hal tersebut. Oleh
karena itu penting dilakukan pembahasan mengenai kasus DBD yang terjadi pada tanggal 22
Juni 2016 di RSUD Sanjiwani Gianyar. Dengan pembahasan mengenai kasus ini, diharapkan
pemahaman dokter muda mengenai epidemiologi, faktor risiko, pathogenesis, dan penanganan
klinis DBD semakin baik.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1.1 Definisi dan Epidemiologi DBD
Demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue dan
mengakibatkan spektrum manifestasi klinis yang bervariasi (gambar 3.1) dari asimtomatik,
demam dengue (DD), DBD dan demam dengue yang disertai renjatan atau dengue shock
syndrome (DSS). Penyakit infeksi ini ditularkan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus
yang terinfeksi. Host alami DBD adalah manusia, agentnya adalah virus dengue yang termasuk
ke dalam famili Flaviridae dan genus Flavivirus, terdiri dari 4 serotipe yaitu Den-1, Den-2, Den3
dan Den-4, dengan Den-2 dan Den-3 sebagai serotype dominan. Penderitanya DBD sebagian
besar ditemukan pada wilayah tropis dan subtropis, seperti Asia Tenggara, Amerika Tengah,
Amerika dan Karibia.
Gambar 3.2. patogenensis dari DF, DHF, dan DSS. Panah hitam menunjukan hubungan
penyebab, kotak dengan warna putih pada bagian tengah menggambarkan kondisi
patologis yang terjadi. Setiap pristiwa yang terjadi secara keseluruhan memengaruhi sel
endotel atau system hemostasis (panah merah) (WHO,2009).
Terdapat dua teori yang mendasari mekanisme terjadinya gejala infeksi dengue yakni teori
Infeksi primer (teori virulensi) dan teori infeksi sekunder. Teori infeksi primer menyebutkan
bahwa munculnya manifestasi klinis disebabkan adanya mutasi virus Dengue menjadi lebih
virulen. Sedangkan teori infeksi sekunder menyatakan bahwa munculnya manifestasi klinis berat
bila terjadi infeksi ulangan oleh virus Dengue yang serotipenya berbeda dengan infeksi
sebelumnya sehingga terjadi reaksi silang (cross-reaction). Reaksi silang terjadi ketika IgM
menyerang sel endotel, platelet, dan plasmin yang diproduksi, sehingga terjadi peningkatan
permeabilitas (menyebabkan kebocoran plasma) dan koagulopati yang menjadi karakteristik dari
DSS.
1.3 Faktor risiko terjadinya DBD
Salah satu faktor risiko penularan DBD adalah pertumbuhan penduduk perkotaan yang cepat,
mobilisasi penduduk karena membaiknya sarana dan prasarana transportasi dan terganggu atau
melemahnya pengendalian populasi sehingga memungkin terjadinya KLB. Faktor risiko lainnya
adalah kemiskinan yang mengakibatkan orang tidak mempunyai kemampuan untuk
menyediakan rumah yang layak dan sehat, pasokan air minum dan pembuangan sampah yang
benar. Tetapi di lain pihak, DBD juga bisa menyerang penduduk yang lebih makmur terutama
yang biasa bepergian. Diketahui faktor yang berpengaruh terhadap kejadian DBD adalah
pendidikan dan pekerjaan masyarakat, jarak antar rumah, keberadaan tempat penampungan air,
keberadaan tanaman hias dan pekarangan serta mobilisai penduduk; sedangkan tata letak rumah
dan keberadaan jentik tidak menjadi faktor risiko.
Faktor risiko yang menyebabkan munculnya antibodi IgM anti dengue yang merupakan
reaksi infesksi primer, berdasarkan hasil penelitian di wilayah Amazon Brasil adalah jenis
kelamin laki-laki, kemiskinan, dan migrasi. Sedangkan faktor risiko terjadinya infeksi sekunder
yang menyebabkan DBD adalah jenis kelamin laki- laki, riwayat pernah terkena DBD pada
periode sebelumnya serta migrasi ke daerah perkotaan (Rajapakse, 2011; Huy et al, 2013).
1.4 Manifestasi Klinis DBD
Manifestasi klinik infeksi virus dengue dapat bersifat asimtomatik atau dapat berupa demam
yang tidak khas, demam dengue, demam berdarah dengue atau sindrom syok dengue. Pada
umumnya pasien mengalami fase demam selama 2-7 hari, yang diikuti oleh fase kritis selama 23 hari. Pada waktu fase ini pasien sudah tidak demam, akan tetapi mempunyai resiko untuk
terjadi renjatan jika tidak mendapat pengobatan yang adekuat.10
Gambaran klinis penderita dengue terdiri atas 3 fase yaitu fase febris, fase kritis dan fase
pemulihan. Pada fase febris, Biasanya demam mendadak tinggi 2 7 hari, disertai muka
kemerahan, eritema kulit, nyeri seluruh tubuh, mialgia, artralgia dan sakit kepala. Pada beberapa
kasus ditemukan nyeri tenggorok, injeksi farings dan konjungtiva, anoreksia, mual dan muntah.
Pada fase ini dapat pula ditemukan tanda perdarahan seperti ptekie, perdarahan mukosa,
walaupun jarang dapat pula terjadi perdarahan pervaginam dan perdarahan gastrointestinal.
Fase kritis, terjadi pada hari 3 7 sakit dan ditandai dengan penurunan suhu tubuh disertai
kenaikan permeabilitas kapiler dan timbulnya kebocoran plasma yang biasanya berlangsung
selama 24 48 jam. Kebocoran plasma sering didahului oleh lekopeni progresif disertai
penurunan hitung trombosit. Pada fase ini dapat terjadi syok.
Fase pemulihan, bila fase kritis terlewati maka terjadi pengembalian
cairan dari
2.
Kriteria Laboratoris:
-
Peningkatan hematokrit > 20% dibandingkan standar sesuai dengan umur dan jenis
kelamin.
Penurunan hemtokrit >20% setelah mendapatkan terapi cairan, dibandingkan dengan
cukup untuk menegakkan diagnosis klinis demam berdarah dengue. Efusi pleura dan atau
hipoalbumin, dapat memperkuat diagnosis terutama pada pasien anemia dan atau terjadi
perdarahan. Pada kasus syok, peningkatan hematokrit dan adanya trombositopenia, mendukung
diagnosa demam berdarah dengue.
WHO (2009) membagi demam berdarah dengue menjadi 4 derajat berdasarkan tingkat
keparahan, yaitu :
Derajat 1: Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasi perdarahan
Kebocoran plasma masif (kehilangan cairan dalam jumlah besar) hanya terjadi
pada pasien dengan peningkatan permeabilitas kapiler, sebaliknya pasien mengalami
kesembuhan bila permeabilitas kapiler tidak meningkat pada fase ini. Keadaan pasien
yang semakin buruk pada kasus menandakan peningkatan permeabilitas kapiler telah
terjadi pada awal fase kritis.
Tanda kebocoran plasma seperti ascites dan efusi pleura dapat dideteksi melalui
pemeriksaan fisik, atau pemeriksaan radiologi. Tanda lain berupa pengkatan
hematokrit dalam pemeriksaan darah lengkap. Tanda kebocoran plasma yang
didapatkan pada kasus adalah peningkatan hematokrit.
Shock terjadi bila kehilangan plasma darah dalam jumlah besar, diawali dengan
warning sign. Dalam keadaan ini suhu tubuh akan mencapai titik subnormal. Bila tak
tertangani, syok berkepanjangan akan menyebabkan hipoperfusi pada organ yang
berdampak pada gagal organ (hepatitis, ensefalitis, myokarditis), asidosis metabolic
dan DIC. Hematokrit dapat menurun pada kasus DIC oleh karena terjadinya
perdarahan yang massif; biasanya diikuti dengan peningkatan WBC. Olehkarenanya
pasien dalam kasus telah berada dalam fase menjelang syok, karena terdapat warning
sign, dan suhu tubuh subnormal.
Beberapa pasien dapat mengalami fase kritis tanpa diawali dengan penurunan
suhu tubuh, sehingga pemeriksaan darah lengkap dapat digunakan dalam menentukan
onset fase ini. Tanda perburukan pada fase ini bermanifestasi pada warning sign,
yangmana dapat membaik dengan rehidrasi intravena. Meski demikian, dalam
beberapa kasus dapat memburuk menjadi severe dengue (syok hipovolemik atau
akumulasi cairan ekstravaskuler karena kebocoran plasma).
1.6.3 Fase Penyembuhan
Bila pasien dapat bertahan 24-48 jam dalam fase kritis, tubuh akan kembali menyerap
cairan yang terakumulasi pada ruang ekstravaskuler dalam 48-72 jam. Pada fase ini
pasien akan merasa sembuh, nafsu makan kembali normal, gejala gastrointestinal
mereda, hemodinamik yang stabil diikuti dengan diuresis. Beberapa pasien akan
mengalami tanda pada kulit berupa isles of white in the sea of red. Pada fase ini,
hematokrit berada pada ambang normal atau menurun karena efek dilusi dari cairan
10
yang diserap. Peningkatan WBC terjadi segera setelah demam mereda, namun
perbaikan platelet terjadi setelah peningkatan WBC.
1.7 Pemeriksaan Laboratorium dan uji diagnostik
Manifestasi gejala infeksi dengue sangat bervariasi mulai dari gejala yang tak spesifik
hingga severe dengue. Pemeriksaan laboratorium diperlukan untuk mengkonfirmasi
diagnosi klinis, karena pendekatan klinis yang hanya berpatokan pada gejala saja.
Dengan bantuan pemeriksana laboratorium, penanganan dapat dilakukan dengan segera,
mengingat perburukan penyakit infeksi dengue dapat terjadi dalam periode yang singkat.
Meskipun demikian, metode diagnostic belum dilakukan dalam kasus. Dalam tabel 3.1
terdapat simpulan dari beberapa metode diagnostik infeksi dengue beserta biayanya.
Table 3.2. Simpulan karakteristik penggunaan dan perbandingan harga dari metode
diagnostik infeksi dengue
Coxiella burnetii, dll), campak, enterovirus, influenza dan influenza seperti penyakit,
demam berdarah (Arenaviridae: Junin, dll .; Filoviridae: Marburg, Ebola;
Bunyaviridae: hantaviruses, Crimean -Congo haemorrhagic fever, dll). Kombinasi
identifikasi RNA virus/antigen dan deteksi responantibodi disarankan untuk
mengkonfirmasi diagnosa infeksi dengue (table 3.2). Teknik diagnostic tes ideal
bersifat cepat, dini, dan terjangkau dalam segala system kesehatan, mudah
dilaksanakan dan hasil yang akurat, hingga saat ini belum ditemukan.
Tabel 3.2 Interpretasi uji diagnostik dengue diadaptasi dari Dengue and Control
(DENCO) study
12
dokter untuk mengatasi masa peralihan dari fase demam ke fase penurunan suhu (fase
kritis, fase syok) dengan baik.
Dengan terapi suportif yang adekuat, angka kematian dapat diturunkan hingga
kurang dari 1%. Pemeliharaan volume cairan sirkulasi merupakan tindakan yang paling
penting dalam penanganan kasus DBD. Asupan cairan pasien harus tetap dijaga, terutama
cairan oral. Jika asupan cairan oral pasien tidak mampu dipertahankan, maka dibutuhkan
suplemen cairan melalui intravena untuk mencegah dehidrasi dan hemokonsentrasi secara
bermakna. Volume cairan kristaloid per hari yang diperlukan sesuai rumus berikut 1500 +
{20x(BB dalam kg 20)}, transfusi trombosit hanya diberikan pada pasien DBD dengan
perdarahan spontan dan masif dengan jumlah trombosit <100.000/mm3.
Penanganan emergensi dan perujukan darurat dilakukan pada dengue dengan fase kritis
dengan: (i) kebocoran plasma yang berat yang mengakibatkan syok dan/atau akumulasi
carian dengan distress pernafasan; (ii) perdarahan berat; dan (iii) kegagalan organ yang
berat (WHO, 2009).
Pada saat periode kebocoran plasma terjadi, resusitasi cairan intravena dianjurkan
dengan pilihan cairan kristaloid isotonic, atau cairan koloid pada keadaan syok
hipotensif. Kadar hematrokrit sebelum dan sesudah resusitasi sebaiknya tetap terpantau.
Penggantian cairan dilakukan untuk menjaga efektifitas sirkulasi selama 24-48 jam. Pada
pasien obesitas, berat badan ideal.
Pemberian cairan dengan volume besar (10-20 ml bolus) dilakukan dalam waktu
yang terbatas dengan pengawasan yang ketat untuk pencegahan terjadinya edem paru.
Dalam periode syok, input cairan harus lebih besar dari output. Tujuan dari resusitasi
cairan adalah memperbaiki sirkulasi sentral dan perifer (menurunkan takikardi,
memperbaiki tekanan darah, volume pulsasi, ekstremitas hangat dan merah, waktu isi
kapiler < 2 detik) dan memperbaiki perfusi organ ditandai dengan kesadaran yang stabil
dan output urin 0.5 ml/kg/jam, dan penurunan asidosis metabolik. Algoritma
penanganan pasien syok terkompensasi adalah sebagai berikut (gambar 4).
13
Gambar 3.5 Algoritma tatalaksana cairan pada syok terkompensasi (WHO, 2009)
1. Mulai resusitasid dengan cairan isotonic kristaloid dengan 5-10 ml/kg/jam dalam
beberapa jam. Periksa ulang kondisi pasien (vital sign, CRT, hematokrit, output urin).
Langkah selanjutnya bergantung situasi
2. Bila keadaan pasien membaik, cairan intravena diturunkan secara perlahan mulai 5-7
ml/kg/jam dalam 1-2 jam, kemudian menjadi 3-5 ml/kg/jam dalam 2-4 jam, dan 2-3
ml/kg/jam dan bergantung pada status hemodinamik selanjutnya, yangmana dapat
dipertahankan dalam 24-48 jam.
3. Bila vital sign masih belum stabil, cek hematokrit dalam bolus pertama. Bila
hematokrit meningkat atau tetap tinggi (>50%), ulangi pemberian bolus kedua dari
cairan kristaloid pada 10-20 ml/kg/jam dalam satu jam. Setelah bolus kedua, bila
membai turunkan laju cairan menjadi 7-10 ml/kg/jam dalam 1-2 jam, dan dilanjutkan
seperti langkah nomor 2. Bila hematokrit menurun dibandingkan nilai sebelumnya
(<40% pada anak perempuan, <45 pada anak laki-laki), mengindikasikan terjadinya
14
15
Gambar 3.6. Algoritma tatalaksana cairan pada syok hipotensif (WHO, 2009)
16
BAB III
LAPORAN KASUS
Nama
: NWSP
No CM
: 569984
Jenis Kelamin
: Perempuan
Umur
: 13 Tahun
Alamat
Agama
: Hindu
Suku/Bangsa
: Bali/Indonesia
Ruang Rawat
: Abimanyu
Tanggal MRS
: 22 Juni 2016
Riwayat Penyakit Keluarga : Tidak ada keluarga yang mengalami keluhan serupa seperti
pasien.
Riwayat Penggunaan Obat : Paracetamol
Riwayat Alergi : Tidak terdapat riwayat alergi
Riwayat Persalinan : Lahir spontan, UK cukup bulan, ditolong oleh dokter, BBL/PB lupa/lupa.
Segera menangis setelah lahir.
Riwayat Imunisasi: Pasien dikatakan telah mendapat imunisasi lengkap di Puskesmas sesuai
dengan umur
Riwayat Penyakit Kronis (-)
Riwayat Pribadi/Lingkungan/Sosial :Pasien merupakan anak kedua. Lingkungan pasien
dikatakan cukup bersih. Sejak 2 bulan terakhir tetangga dilingkungan rumah banyak yang
menderita DBD.
Status Nutrisi:
ASI
: 0 hari 6 bulan
Susu Formula
: Lupa
Bubur
: Lupa
Nasi tim
: Lupa
Makanan Dewasa
: 1 tahun sekarang
Menegakkan kepala
Membalik badan
Duduk
Merangkak
Berdiri
Berjalan
Bicara
: Lupa
: Lupa
: Lupa
: Lupa
: Lupa
: 13 bulan
: Lupa
Status Antopometri:
18
Berat Badan
: 35 Kg
Tinggi Badan
: 150 cm
: 40,5 Kg
BMI
: 15,5 (normal)
Pengkajian Pasien :
2. Airway: Suara nafas: Normal
3. Breathing: Bunyi nafas: vesikuler, 22 x/menit
4. Circulation: Akral: dingin; CRT: > 2
Level Kesadaran (GCS) : E4, V5, M6
Status Present :
Kesadaran
: Compos mentis
Tekanan Darah
: 110/80 mmHg
Nadi
Respirasi
: 22 x/menit, reguler
Temp. Axilla
: 36oC
Kepala : normocephali
Mata : konjungtiva pucat (-), ikterus (-), RP (+/+ isokor)
THT:
19
o Telinga
o Hidung
: sekret (-)
o Tenggorok
Thoraks:
o Jantung:
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Batas kanan
Batas kiri
Auskultasi
Inspeksi
Perkusi
Palpasi
Auskultasi
o Paru:
Abdomen:
o Inspeksi
: Distensi (-)
o Auskultasi
: BU (+) normal,
o Palpasi
: hepar-lien tidak teraba, NT (+) region umbilical
o Perkusi
: Timpani
Ekstremitas : hangat (+) dikeempat ekstremitas
CRT <2 detik
Rumple Leed : (+)
Normal
22/6/16 (18.15)
23/6/16 (11.01)
24/6/16 (09.09)
WBC
Lym%
Gran%
RBC
HB
4,0 10,0
20,0 40,0
50,0 70,0
4.0 5. 50
10,0 16,0
4,9
50
55,2
5,43
15,5
5,9
45,3
36,6
5,05
13,1
11,5
50,3
33,5
4,67
12,1
20
HCT
MCV
MCH
PLT
37,0 - 54,0
82 - 95
27 31
150 450
38,0
82,3
28,5
71
39,8
78,8
25,9
79
37,0
79,2
25,9
98
Diagnosis : Febris hari ke IV s/d pukul 19.00 e.c susp. DHF grade I dd DF
Terapi/Tindakan :
MRS
IVFD RL Maintenance 1800 ml/hari~25tpm (makro)
Paracetamol flash 10 mg/kgBB/x~350mg/x~35cc/x dapat diulang bila tax 38oC @4jam
Monitoring keluhan, tanda vital, tanda perdarahan, balance cairan
Rr : 24x/mnt
Tax : 35,9 C
Rr : 22x/mnt
Tax : 36,4 C
21
Rr : 22x/mnt
Tax : 36,4 C
Normal
Hasil
WBC
Lym%
Gran%
RBC
HB
HCT
MCV
MCH
4,0 10,0
20,0 40,0
50,0 70,0
4.0 5. 50
10,0 16,0
37,0 - 54,0
82 - 95
27 31
11,8
50,5
33,5
4,7
11,5
37,5
74,6
27,1
22
PLT
150 450
101
BAB IV
PEMBAHASAN
Demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue
dan mengakibatkan spektrum manifestasi klinis yang bervariasi dari asimtomatik, demam
dengue (DD), DBD dan demam dengue yang disertai renjatan atau dengue shock syndrome
(DSS). Indonesia digolongkan sebagai negara dengan epidemi infeksi dengue oleh karena
nyamuk Aedes aegypti tersebar secara luas di daerah kota maupun pedesaan, serta peredaran
serotipe virus di wilayah tersebut menyebabkan kesakitan dan kematian pada anak. Negara
dengan zona iklim kering dan basah yang berganti dengan serotipe virus DEN beredar secara
23
bebas, menyebabkan siklus epidemi meningkat. Fenomena epidemi tersebut telah terjadi di
wilayah Gianyar, Bali hingga pada bulan Mei 2016. Pada pasien ini sesuai dengan teori karena
terdapat kesesuaian antara teori dan kasus.
Salah satu faktor risiko penularan DBD adalah pertumbuhan penduduk perkotaan yang cepat,
mobilisasi penduduk karena membaiknya sarana dan prasarana transportasi dan terganggu atau
melemahnya pengendalian populasi sehingga memungkin terjadinya KLB. Faktor risiko lainnya
adalah kemiskinan yang mengakibatkan orang tidak mempunyai kemampuan untuk
menyediakan rumah yang layak dan sehat, pasokan air minum dan pembuangan sampah yang
benar. Tetapi di lain pihak, DBD juga bisa menyerang penduduk yang lebih makmur terutama
yang biasa bepergian. Diketahui faktor yang berpengaruh terhadap kejadian DBD adalah
pendidikan dan pekerjaan masyarakat, jarak antar rumah, keberadaan tempat penampungan air,
keberadaan tanaman hias dan pekarangan serta mobilisai penduduk; sedangkan tata letak rumah
dan keberadaan jentik tidak menjadi faktor risiko. Pada pasien ini sesuai dengan teori karena
terdapat kesesuaian antara teori dan kasus yaitu di tetangga pasien banyak yang terkena DBD.
Gambaran klinis penderita dengue terdiri atas 3 fase yaitu fase febris, fase kritis dan fase
pemulihan. Pada fase febris, Biasanya demam mendadak tinggi 3 7 hari, disertai muka
kemerahan, eritema kulit, nyeri seluruh tubuh, mialgia, artralgia dan sakit kepala. Pada beberapa
kasus ditemukan nyeri tenggorok, injeksi farings dan konjungtiva, anoreksia, mual dan muntah.
Pada fase ini dapat pula ditemukan tanda perdarahan seperti ptekie, perdarahan mukosa,
walaupun jarang dapat pula terjadi perdarahan pervaginam dan perdarahan gastrointestinal. Pada
kasus ini ditemukan beberapa manifestasi klinis yang sesuai dengan teori yaitu demam
mendadak tinggi 3-7 hari, mual dan muntah, pusing.
Diagnosis demam berdarah dengue ditegakkan berdasarkan kriteria diagnosis menurut
WHO tahun 1997 yang terdiri dari kriteria klinis dan laboratoris. Kriteria klinis demam dengue
adalah demam akut selama 3-7 hari ditandai dengan dua atau lebih manifestasi klinis seperti
nyeri kepala, nyeri retro-orbital, mialgia/artralgia, ruam kulit, manifestasi perdarahan (petekie
atau uji bendung positif), leukopenia, trombositopenia, Hematokrit yang meningkat dan
pemeriksaan serologi dengue positif atau ditemukan pasien demam dengue atau demam berdarah
dengue yang sudah dikonfirmasi pada lokasi dan waktu yang sama. Pada kasus ini ditemukan
kriteria klinis dan laboratoris yang sesuai dengan tinjauan pustaka yaitu demam 3-7 hari ditandai
24
dengan 2 atau lebih manifestasi klinis, trombositopenia (PLT: 71), dan Rumple leed test positif
(+).
Berdasarkan WHO (2009) membagi demam berdarah dengue menjadi 4 derajat
berdasarkan tingkat keparahan, yaitu Derajat 1; Demam disertai gejala tidak khas dan satusatunya manifestasi perdarahan adalah uji torniquet, Derajat 2;
perdarahan spontan di kulit dan perdarahan lain. Derajat 3; Didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu
nadi cepat dan lemah, tekanan nadi menurun (20 mmHg atau kurang) atau hipotensi, sianosis di
sekitar mulut kulit dingin dan lembab, tampak gelisah. Derajat 4; Syok berat, nadi tidak dapat
diraba dan tekanan darah tidak terukur. Pada kasus ini telah sesuai dengan tinjauan pustaka yaitu
pada derajat 1 demam disertai gejala tidak khas dan uji torniquet positif.
Berdasarkan Penatalaksanaan pada dasarnya pengobatan DBD bersifat suportif yaitu
mengatasi kehilangan cairan plasma sebagai peningkatan permeabilitas kapiler dan sebagai
akibat perdarahan. Pasien DD dapat berobat jalan sedangkan pasien DBD dirawat di ruang
perawatan biasa. Dengan terapi suportif yang adekuat, angka kematian dapat diturunkan hingga
kurang dari 1%. Pemberian volume cairan sirkulasi merupakan tindakan yang paling penting
dalam penanganan kasus DBD. Asupan cairan pasien harus tetap dijaga, terutama cairan oral.
Jika asupan cairan oral pasien tidak mampu dipertahankan, maka dibutuhkan suplemen cairan
melalui intravena untuk mencegah dehidrasi dan hemokonsentrasi secara bermakna. Volume
cairan kristaloid per hari yang diperlukan sesuai rumus berikut 1500 + {20x(BB dalam kg
20)}, transfusi trombosit hanya diberikan pada pasien DBD dengan perdarahan spontan dan
masif dengan jumlah trombosit <100.000/mm3. Pada kasus ini diberikan terapi cairan IVFD RL
Maintenance 1800 ml/hari~25tpm (makro), Paracetamol flash 10 mg/kgBB/x~350mg/x~35cc/x
dapat diulang bila tax 38oC @4jam. Antara pustaka dan kasus telah ditemukan kesesuaian.
25
BAB V
SIMPULAN
1. Penting untuk memahami epidemiologi dan karakteristik identitas pasien infeksi dengue,
terutama untuk dapat menggolongkan secara dini penderita dengan risiko tinggi
mengalami Demam Berdarah Dengue dan Dengue Shock Syndrome (DSS). Dalam kasus,
ditemukan beberapa faktor yang memungkinkan terjadinya DBD Grade I.
2. Diagnosa DBD pada kasus telah tepat ditegakan, dengan ditemukanya Demam 2-7 hari
disertai 2 manifestasi klinis atau lebih, Rumple Leed Test Positif, dan Trombositopenia.
3. Penanganan yang dilakukan pada kasus secara keseluruhan telah sesuai dengan pustaka.
4. Pada DBD fase demam tidak berbeda dengan tatalaksana DF bersifat simptomatik dan
suportif yaitu pemberian cairan oral untuk mencegah dehidrasi. Apabila cairan oral tidak
dapat diberikan oleh karena tidak mau minum, muntah, atau nyeri perut yang berlebihan,
26
Daftar Pustaka
Anders KL, Nguyet NM, Van Vinh Chau N, et al. Epidemiological Factors Associated with
Dengue Shock Syndrome and Mortality in Hospitalized Dengue Patients in Ho Chi Minh
City, Vietnam. The American Journal of Tropical Medicine and Hygiene. 2011;84(1):127134. doi:10.4269/ajtmh.2011.10-0476.
Huy NT, GIang TV, Thuy DHD, et al. 2013. Factors Associated with Dengue Shock Syndrome:
A Systematic Review and Meta-Analysis. PLOS Neglected Tropical Disease. 10(1). 137182
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2016 Wilayah KLB DBD ada di 11 Provinsi. 7 Maret
2016.
[cited
20
Mei
2016]
Available
from
27
http://www.depkes.go.id/article/print/16030700001/wilayah-klb-dbd-ada-di-11provinsi.html
Lam PK, Tam DTH, Diet TV, et al. 2013. Clinical Characteristics of Dengue Shock Syndrome in
Vietnamese Children: A 10-Year Prospective Study in a Single Hospital. Clinical Infectious
Diseases: An Official Publication of the Infectious Diseases Society of America.
2013;57(11):1577-1586. doi:10.1093/cid/cit594.
Pruitt AW. Dalam: Behrman RE, Kleigman RM, penyunting. 2011. Nelson Textbook of
Pediatrics. Edisi ke-19. Philadelphia: WB.Saunders Company. h.1147-9.
Rajapakse S. 2011. Dengue shock. Journal of Emergencies, Trauma and Shock; 4(1):120-127.
doi:10.4103/0974-2700.76835.
Soegijanto S, Chilvia E. 2013. Update Management Dengue Shock Syndrome Pediatric Case.
Indonesian Journal of Tropical and Infection Disease; 4(4). 9-22
World Health Organization. 2009. Dengue and Dengue Haemorrhagic Fever. Fact sheet 117,
2009 [cited 20 Mei 2016] Available from: www.who.int/mediacentre/factsheets/fs117/en/
28