You are on page 1of 49

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN GAGAL GINJAL


KRONIS (GGK) + HEMODIALISIS

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS AIRLANGGA
2016

A. KONSEP TEORI CKD (CHRONIC KIDNEY DISEASE)


1. ANATOMI FISIOLOGI SISTEM GINJAL

Ginjal menerima 20% sampai 25% curah jantung setiap kali jantung
berkontraksi. Ini berarti bahwa sekitar 1,2 L darah melewati ginjal tiap
menitnya dan volume darah seluruh tubuh disaring melalui ginjal 340 kali per
hari. Dengan volume darah yang besar ini, ginjal memiliki peran besar dalam
filtrasi dan peran kecil dalam metabolisme. Oleh karena itu, ginjal mempunyai
kebutuhan tekanan yang besar dan kebutuhan oksigen yang relatif kecil.
Pengaturan dan pemeliharaan konsentrasi zat terlarut di cairan ekstrasel (CES)
tubuh adalah fungsi primer ginjal. Ginjal membuang produksi sisa metabolic
dan konsentrasi zat yang belrebihan dan memelihara jumlah zat tetap normal
dan rendah (Morton dkk 2011).

a. Anatomi Makroskopik Sistem Ginjal

Ginjal adalah organ berbentuk seperti kacang merah yang terletak


pada posisi retroperitoneal di abdomen, masing-masing satu di setiap sisi
kolumna vertebra. Ginjal terlindung sebagian oleh sepasang iga terakhir,
dengan ginjal kanan terletak agak lebih bawah daripada ginjal kiri karena
letak hati. Selubung fibrosa yang kuat, yang disebut sebagai kapsul ginjal,
mengelilingi msaing-masing ginjal. Kelenjar adrenal menutupi kaput
ginjal.
Ginjal orang dewasa kira-kira memiliki panjang 12 cm, lebar 6 cm,
dan tebal 2,5 cm. Berat ginjal berkisar antara 125 dan 170 g pada pria dan
115 g dan 155 g pada wanita. Ukuran dan berat ginjal merupakan indicator
klinis yang bermakna dalam menegakkan diagnosis banding gagal
menggunakan ultrasonografi.
Terdapat dua lapisan ginjal yang berbeda: korteks ginjal dan
medulla ginjal. Korteks ginjal adalah bagian terluar ginjal dan mempunyai
dua bagian: bagian kortikal dan bagian jukstamedular (disebelah
medulla). Korteks terdiri atas glomerulus, tubulus proksimal, ansa
kortikal Henle, tubulus distal, dan duktus penampung kortikal. Lapisan
dalam, medulla, selain struktur kortkeks, terdiri atas piramida ginjal.
Piramida ginjal terdiri atas ansa medular zhenle dan bagian medular duktus
penampung yang bergabung membentuk kaliks minor. Kaliks minor

bergabung membentuk kaliks mayor. Kaliks ginjal kemudian bergabung


menjadi saluran untuk mengarahkan aliran urine menuju ureter.
Ureter keluar dari ginjal dengan sudut miring melalui struktur
fibromuskular, ureter. Peristaltis membantu mempertahankan aliran urine
melewati ureter. Ureter memasuki kandung kemih di regio trigonum. Regio
trigonum kandung kemih disebut demikian karena tiga struktur yang
membentuk sebuah segitiga: dua ureter dan satu uretra. Kerja peristaltis di
ureter dan sudut masuk di kandung kemih membantu mencegah terjadinya
refluks urine. Urine keluar dari kandung kemih melalui orifisium uretra
lewat uretra. Panjang uretra pria adalah sekitar 20 cm dan uretra wanita
sekitar 3 sampai 5 cm.
Dibagian tengah masing-masing ginjal terdapat sebuah lekukan
yang disebut sebagai hilum. Melalui lekukan tersebut, arteri dan saraf
ginjal masuk sementara vena ginjal, limfatik dan ureter keluar.
Ginjal mendapat suplai darahya dari arteri ginjal, sebuah cabang
dari aorta desendens. Arteri ginjal terbagi menjadi beberapa cabang kecil
yang

disebut

sebagi

arteri

interlobaris.

Percabangan

selanjutnya

membentuk berbagai arteriol aferen. Setiap ateriol aferen membentuk


sebauh berkas kapiler, disebut sebagai glomerulus, tempat penyaringan
darah. Arteriol yang keluar dari glomerulus adalah arteriol aferen. Arteriol
aferen bercabang membentuk suatu bantalan kapiler sekunder, disebut
sebagai kapiler peritubular. Kapiler peritubular mengelilingi ansa Henle
guna menyerap kembali lebih banyak air dan zat terlarut yang dibutuhkan
untuk homeostasis. Dengan tersambung kembali, jaringan pembuluh darah
yang banyak ini akhirnya kembali ke sirkulasi pusat melalui vena ginjal.
Ginjal dulunya dianggap berfungsi dalam homoestasis normal
tekanan darah sistemik karena efek tekanan hidrostatiknya pada filtrasi.
Sekarang ini diketahui bahwa laju filtrasi glomerulus (GFR, glomerular
filtration rate) relatif stabil pada kisaran tekanan darah arteri yang lebar.
Alasan kestabilan ini adalah arteriol aferen menyesuaikan diameternya
sebagai respons terhadap tekanan darah yang memasukinya. Jika tekanan
darah menurun, maka otot polos arteriol aferern mengalami relaksasi. Hal

ini menyebabkan dilatasi arteriol, yang meningkatkan perfusi glomerulus


dan mempertahankan GFR pada laju normalnya. Sebaliknya, pada saat
tekanna darah naik, pembuluh darah arteriol mengalami konstriksi. Akan
tetapi, terdapat keterbatasan pada mekanise autoregulasi ini. Dibawah
tekanan artrei rerata 90 mmHg dan diatas rerata 250 mmHg, GFR
berbanding lurus dengan tekanan perfusi. Sebagai contoh, jika tekanan
darah sistemik sangat turun, misalnya pada keadaan syok, maka GFR akan
turun hingga mendekati nol, sehingga menyebabkan anuria (Morton dkk
2011).
b. Anatomi Mikroskopik Sistem Ginjal dan Fisiologi Ginjal Normal

Urine produk akhir fungsi ginjal, dibentuk dari darah oleh unit terkecil
ginjal, nefron. Setiap ginjal manusia terdiri ats sekitar 1 juta nefron,
semuanya berfungsi sama; oleh karena itu, fungsi ginjal dapat dijelaskan
dengan menguraikan satu nefron. Nefron terdiri atas glomerulus, tubulus

proksimal, ansa Henle, dan tubukus distal. Beberapa tubulus distal


mengalir ke dalam duktus pelampung.
Sekitar 80% filtrat kembali ke aliran darah melalui reabsorpsi di
tubulus proksimal. Pada orang yang sehat, semua glukosa dan asam amino
yang disaring; sebagian besar natrium, klorida, hidrogen, dan eletrolit lain;
serta asam urat dan urea direabsopsi. Sel tubulus proksimal juga
mensekresikan zat (mis., sebagian obat-obatan, asam organik, dan basa
organik) ke dalam filtrat tersebut.
Di ansa Henle, filtrat tersebut (urine) menjadi sangat pekat. Bagian
nefron ini tersusun atas bagian desendens berdinding tipis dan bagian
asendens berdinding tebal. Ansa Henle yang berada di nefron
jukstaglomerulus terletak dalam di medulla ginjal, yang berisi cairan
interstitial sangat pekat. (dinding bagian desendens yang tipis sangat
permeabel). Pemeabilitas ini, dipadukan dengan konsentrasi cairan
intersititial yang tinggi di tiitk ini, menyebabkan air berpindah melalui
osmosis filtrat menuju cairan intersititial. Keadan ini menyebabkan filtrate
sangat pekat pada saat mencapai cabang asendens ansa Henle.
Cabang asendens yang berdinding tebal relatif permeabel terhadap
air, namun berisi pembawa ion yang secara aktif membawa ion klorida
keluar dari filtrat. Hal ini menciptakan gradient elektrokimiawi yang juga
menarik ion natrium bermuatan positif keluar dari filtrat. Keluarnya
elektrolit ini tanpa disertai air menyebabkan filtrate makin encer dari
sebelumnya.
Di tubulus distal, natrium sekali lagi direabsorpsi melalui transpor
aktif, dan hidrogen, kalium, serta asam urat dapat ditambahkan ke dalam
urine melalui sekresi tubulus.
Duktus penampung mendapatkan muatan dari berbagai tubulus
distal. Tidak ada lagi reabsorpsi atau sekresi elektrolit lanjutan, dan pada
orang yang mendapat cairan dengan baik, tidak ada reabsorpsi air lagi.
Reabsorpsi air tanpa disertai reabsorpsi eletrolit dapat terjadi di duktus
penampung di bawah stimulus hormone antidiuretik (ADH, antidiuretic
hormone) (Morton dkk 2011).
Aparatus Jukstaglomerulus

Nefron tersusun sedemikian rupa sehingga bagian pangkal tubulus


distal terletak di taut arteriol aferen dan eferen yang sangat dekat dengan
glomerulus. Disini, sel macula densa tubulus distak terletak rapt dengan sel
jukstaglomerulus dinding arteriol aferen. Kedua tipe sel ini (sel
jukstaglomerulus dan macula densa) ditambah beberapa sel jaringan ikat
menyusun

apparatus

jukstaglomerulus.

Fungsi

utama

dari

sel

jukstaglomerulus adalah mensekresi renin, yang kemudian mengaktifkan


sistem renin angiotensin (Morton dkk 2011).
Glomerulus
Glomerulus terdiri ats sebuah berkas kapiler yang dipasok oleh
arteriol aferen, yang dialiri oleh arteriol aferen. Glomerulus dikelilingi oleh
kapsul Bowman. Tekanan hidrostatik tinggi di arteriol aferen menyebabkan
filtrasi cepat. Cairan yang disairing dari kapiler ke dalam kapsul ini
kemudian mengalir menuju sistem tubulus, yang terbagi menjadi empat
bagian: tubulus proksimal, ansa Henle, tubulus distal, dan duktus
penampung. Tekanan hidrostatik di sirkulasi eferen yang lebih rendah
memungkinkan terjadinya reabsopsi.
Filtrasi glomerulus ditentukan oleh tekanan filtrasi bersih. Gaya
tekanan hidrostatik dan tekanan osmotik adalah faktor utama. Tekanan
hidrostatik menggerakkan atau mendorong tekanan. Tekanan osmotik
didefinisikan sebagai tekanan yang dikeluarkan oleh air ( atau pelarut lain)
pada membran semipermeabel sebagai upaya melintasi membran menuju
daerah yang berisi molekul yang lebih banyak yang tidak dapat melintasi
membran semipermeabel. Konsentrasi protein adalah faktor utama dalam
menentukan tekanan osmotik oleh karenanya tekanan osmotik seringkali
disebut sebagai tekanan osmotic koloid.
Tekanan hidrostatik glomerulus adalah sekitar 60 mmHg dan
diotoregulasi di bawah sebagian besar kondisi. Tekanan hidrostatik filtrat
di kapsul Bowman sekitar 18 mmHg, dihasilkan dari adanya filtrat dalam
kapsul dan tekanan hidrostatik darah yang berlawanan. Tekanan osmotik
glomerulus yang dihasilkan dari konsentrasi proterin dalam darah adalah
sekitar 32 mmHg.

Laju pembentukan filtrat disebut laju filtrasi glomerulus (GFR).


Ada orang sehat umumnya ini sama dengan pembentukan 125 ml filtrate
per menit. Faktor klinis utama yang memengaruhi GFR adalah tekanan
hidrostatik darah dan tekanan osmotik filtrat. Hipoproteinemia, seperti
pada kelaparan menurunkan tekanan osmotik filtrat dan meningkatkan
GFR. GFR menurun pada hipotensi berat karena penurunan tekanan
hidrostatik darah, saat kendali otoregulasi mungkin tidak ada. Faktor lain
yang menurunkan tekanan hidrostatik (dan selanjutnya GFR) adalah
konstriksi arteriol afereren dan stenosis arteri ginjal (Morton dkk 2011).
Tubulus
Reabsorpsi tubulus dilakukan melalui transport aktif, osmosis, dan difusi.
Ini terjadi di semua bagian nefron saat zat berpindah dari lumen menuju
kapiler peritubular.
Sekresi melibatkan transport aktif dan hanya dilakukan di sel tubulus
distal. Zat berpindah dari kapiler peritubular melalui sel tubulus menuju
filtrat. Banyak zat yang disekresi tidak terjadi secara alamiah dalam tubuh
(mis., penisilin). Zat sekresi dalam tubuh yang secara alamiah terjadi
diantaranya adalah asam urat, ion kalium, dan ion hidrogen(Morton dkk
2011).
2. DEFINISI CKD
Menurut National Kidney Foundation (NKF) Kidney Disease
Outcome Quality Initiative (K/DOQI), 2002, Chronic Kidney Disease
(CKD) atau Penyakit Ginjal Kronik (PGK) adalah kerusakan ginjal
yang terjadi selama lebih dari 3 bulan, berdasarkan kelainan patologis. Jika
tidak ada tanda kerusakan ginjal, diagnosis penyakit ginjal kronik
ditegakkan jika nilai laju filtrasi glomerolus kurang dari 60 ml/menit/1,73
m. Pada keadaan tidak terdapat kerusakan ginjal lebih dari 3 bulan,
dan LFG sama atau lebih dari 60 ml/menit/1,73 m, tidak termasuk
kriteria CKD.
CKD merupakan suatu penurunan fungsi jaringan ginjal secara
progresif sehingga massa ginjal yang masih ada tidak mampu lagi

mempertahankan lingkungan internal tubuh (Black & Hawks 2005).


Adapun batasan penyakit ginjal kronik menurut Suwitra (2006) bahwa
penyakit

ginjal

kronik

adalah

suatu

proses patofisiologi

dengan

etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang


progresif, dan pada umumnya berakhir dengan gagal ginjal.
Selanjutnya gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis

yang

ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang irreversibel, pada suatu


derajat yang memerlukan terapi

pengganti ginjal yang tetap, berupa

dialisis atau transplantasi ginjal. Uremia adalah suatu sindrom klinik


dan laboratorik yang terjadi pada semua organ, akibat penurunan fungsi
ginjal pada penyakit ginjal kronik.
Chronic Kidney Disease( CKD )atau End Stage Renal Disease
(ESRD) adalah kerusakan fungsi ginjal yang progresif dan tidak dapat
pulih kembali, dimana tubuh tidak mampu memelihara metabolisme
dan gagal memelihara keseimbangan cairan dan elektrolit berakibat
peningkatan ureum (azotemia) (Smeltzer, et al. 2008).
3. KLASIFIKASI
Sistem klasifikasi CKD yang sekarang dipakai diperkenalkan oleh
NKFK/DOQI berdasarkan tingkat GFR, bersama berbagai parameter
klinis, laboratorium dan pencitraan. Tujuan adanya sistem klasifikasi
adalah untuk pencegahan, identifikasi awal gangguan ginjal, dan
penatalaksanaan yang dapat mengubah perjalanan penyakit sehingga
terhindar dari end stage renal disease (ESRD).
Namun demikian sistem klasifikasi ini hanya dapat diterapkan pada
pasien dengan usia 2 tahun ke atas, karena adanya proses pematangan
fungsi ginjal pada anak dengan usia di bawah 2 tahun.

Tabel 1. Klasifikasi stadium CKD NKF-K/DOQI


Stadium

GFR

Deskripsi

(ml/mnt/1,73 m2)
90
Kerusakan

2
3
4
5

ginjal

dengan

GFR

60-89

normal/meningkat
Kerusakan ginjal dengan penurunan GFR

30-59

ringan
Kerusakan ginjal dengan penurunan GFR

15-29

sedang
Kerusakan ginjal dengan penurunan GFR

berat
< 15 atau dialisis Gagal ginjal

Tabel 2. GFR normal pada anak dan remaja


Usia

GFR rata-rata SD (ml/mnt/1,73

1 minggu (laki-laki dan perempuan)


2-8
minggu
(laki-laki
dan

m2)
41 15
66 25

perempuan)
> 8 minggu

dan

96 22

dan

133 27

perempuan)
2-12
tahun

(laki-laki
(laki-laki

perempuan)
13-21 tahun (laki-laki)
13-21 tahun (perempuan)

4. ETIOLOGI
Penyebab CKD

diberbagai

140 30
126 22

negara

hampir

sama.

Berdasarkan

penyebabnya, NKF K/DOQI membagi CKG menjadi 3 kelompok besar


(Tjokroprawiro dkk 2007):
a. Penyakit Ginjal Diabetik: Diabetes tipe 1 dan 2
b. Penyakit Non-Diabetik:
1) Penyakit glomerulus (penyakit otoimun, infeksi sistemik, obatobatan, keganasan)
2) Penyakit-penyakit pembuluh darah (penyakit pembuluh darah
besar, hipertensi, mikroangiopati)
3) Penyakit-penyakit tubulointerstisiel

(ISK,

batu,

keracunan obat)
4) Penyakit-penyakit kista (penyakit ginjal polikistik)
c. Penyakit pada Transplantasi

obstruksi,

1)
2)
3)
4)

Rejeksi kronik
Toksisitas obat (siklosporin atau takrolimus)
Penyakit rekuren (penyakit glomerulus)
Glomerulopati transplant
Penyebab CKD yang menjalani hemodialisa di Indonesia

menurut PERNEFRI tahun 2000, adalah


a)
b)
c)
d)
e)

Glomeruloneritis 46,39%
Diabetes Mellitus 18,65%
Obstruksi dan infeksi 12,85%
Hipertensi 8,46%
Sebab lain 13,65%

Penyebab

lain

adalah

vaskuler hipersensitif,

infeksi,

penyakit

peradangan,

penyakit

gangguan jaringan penyambung, gangguan

kongenital dan herediter, gangguan metabolism, nefropati toksik, nefropati


obstruksi, dan intoksikasi obat.
5. PATOFISIOLOGI
Menurut Price (2005) terdapat dua pendekatan teoritis yang
umumnya diajukan untuk menjelaskan gangguan fungsi ginjal pada gagal
ginjal kronik. Sudut pandangan tradisional mengatakan bahwa semua unit
nefron telah terserang penyakit namun dalam stadium yang berbeda, beda,
dan bagian bagian spesifik nefron yang berkaitan dengan fungsi tertentu
dapat saja benar benar rusak atau berubah strukturnya. Misalnya, lesi
organik pada medulla akan merusak susunan anatomik pada lengkung
Henle dan vasa rekta, atau pompa klorida pada pars asendens lengkung
Henle yang akan menggangu proses aliran balik pemekat dan aliran balik
penukar.
Mekanisme

yang

dapat

menyebabkan

CKD

adalah

glomerulosklerosis, parut tubulointerstisial, dan sklerosis vaskular.


a. Glomerulosklerosis
Progresifitas menjadi CKD berhubungan dengan sklerosis
progresif glomeruli yang dipengaruhi oleh sel intraglomerular dan sel
ekstraglomerular. Kerusakan sel intraglomerular dapat terjadi pada sel
glomerulus intrinsik (endotel, sel mesangium, sel epitel) dan ekstrinsik
(trombosit, limfosit, monosit/makrofag). Sel endotel dapat mengalami

kerusakan akibat gangguan hemodinamik, metabolik dan imunologis.


Kerusakan ini berhubungan dengan reduksi fungsi antiinflamasi dan
antikoagulasi sehingga mengakibatkan aktivasi dan agregasi trombosit
serta pembentukan mikrotrombus pada kapiler glomerulus serta
munculnya

mikroinflamasi.

Akibat

mikroinflamasi,

monosit

menstimulasi proliferasi sel mesangium sedangkan faktor pertumbuhan


dapat mempengaruhi sel mesangium yang berproliferasi menjadi sel
miofibroblas sehingga mengakibatkan sklerosis mesangium. Karena
podosit tidak mampu bereplikasi terhadap jejas sehingga terjadi
peregangan di sepanjang membrana basalis glomerulus dan menarik sel
inflamasi yang berinteraksi dengan sel epitel parietal menyebabkan
formasi adesi kapsular dan glomerulosklerosis, akibatnya terjadi
akumulasi material amorf di celah paraglomerular dan kerusakan taut
glomerulo-tubular sehingga pada akhirnya terjadi atrofi tubular dan
fibrosis interstisial
b. Parut tubulointerstisial
Proses fibrosis tubulointerstisialis yang terjadi berupa inflamasi,
proliferasi fibroblas interstisial, dan deposisi matriks ekstra selular
berlebihan. Gangguan keseimbangan produksi dan pemecahan matriks
ekstra selular mengakibatkan fibrosis ireversibel
c. Sklerosis vaskular
Perubahan pada arteriol dan kerusakan kapiler peritubular
mengeksaserbasi iskemi interstisial dan fibrosis. Tunika adventisia
pembuluh darah merupakan sumber miofibroblas yang berperan dalam
berkembangnya fibrosis interstisial ginjal
Meskipun penyakit gagal ginjal kronik terus berlanjut, namun
jumlah zat terlarut harus di eksreksi oleh ginjal untuk memperahankan
hemeostatis tidaklah berubah, kendati jumlah nefron yang bertugas
melakukan fungsi tersebut sudah menurun secara progresif. Dua
adaptasi penting dilakukan oleh ginjal sebagai respon ancaman ketidak
seimbangan cairan dan elektrolit. Sisa nefron yang ada mengalami
hipertropi dalam usahanya untuk melaksanakan seluruh beban ginjal.

Terjadi peningkatan kecepatan filtrasi, beban zat terlarut dan


reabsorbsi tubulus dalam setiap nefron mesikun GFR untuk seluruh
massa nefron yang terdapat dalam ginjal turuh dibawah nilai normal.
Namun akhirnya apabila sekitar 75% massa nefron sudah hancur, maka
kecepatan filtrasi dan beban zat terlarut bagi setiap nefron demikian
tinggi sehingga keseimbangan glomerulus dan tubulus tidak dapat lagi
dipertahankan (Price 2005).
Sedangkan menurut Suwitra (2006) patofisiologi

awalnya

tergantung dari penyakit yang mendasari dan pada perkembangan lebih


lanjut proses yang terjadi hampir sama. Adanya pengurangan massa ginjal
mengakibatkan hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang masih
tersisa sebagai upaya kompensasi, yang diperantarai oleh molekul
vasoaktif seperti sitokin dan growth factor sehingga menyebabkan
terjadinya hiperfiltrasi yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan
aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat, yang
diikuti proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa dan
pada akhirnya akan terjadi penurunan fungsi nefron secara progresif.
Adanya peningkatan aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron intrarenal
yang dipengaruhi oleh growth factor Transforming Growth Factor
(TGF-) menyebabkan hiperfiltrasi, sklerosis dan progresifitas. Selain
itu progresifitas penyakit ginjal kronik juga dipengaruhi oleh albuminuria,
hipertensi, hiperglikemia, dislipidemia.
Stadium awal penyakit ginjal kronik mengalami kehilangan daya
cadangan ginjal (renal reverse) dimana basal laju filtrasi glomerulus
(LFG) masih normal atau malah meningkat dan dengan perlahan akan
terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif

ditandai

adanya

peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar
60%, masih belum ada keluhan atau asimptomatik tetapi sudah terjadi
peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Pada LFG sebesar 30% mulai
timbul keluhan seperti nokturia, lemah, mual, nafsu makan kurang dan
penurunan berat badan dan setelah terjadi penurunan LFG dibawah
30% terjadi gejala dan tanda uremia yang nyata seperti anemia,

peningkatan tekanan darah, gangguan metabolisme fosfor dan kalsium,


pruritus, mual, muntah dan juga mudah terjadi infeksi
perkemihan,

pencernaan

dan

pernafasan,

pada

terjadi

saluran
gangguan

keseimbangan cairan dan elektrolit yaitu hipovolemia, hipervolemia,


natrium dan kalium. Pada LFG kurang dari 15% merupakan stadium gagal
ginjal yang sudah terjadi gejala dan komplikasi yang lebih berat dan
memerlukan terapi pengganti ginjal (renal replacement therapy) antara
lain dialisis atau transplantasi ginjal (Suwitra 2006).
Perubahan fisiologis yang dapat terjadi sebagai dampak CKD
adalah :
a. Ketidakseimbangan cairan
Mula-mula ginjal kehilangan fungsinya sehingga tidak mampu
memekatkan urine (hipothenuria)
berlebihan

(poliuria).

dan

kehilangan

Hipothenuria

tidak

cairan

disebabkan

yang
atau

berhubungan dengan penurunan jumlah nefron, tetapi oleh peningkatan


beban zat tiap nefron. Hal ini terjadi karena keutuhan nefron
yang membawa zat tersebut dan kelebihan air untuk nefron-nefron
tersebut tidak dapat berfungsi

lama.

Terjadi

osmotik

diuretik,

menyebabkan seseorang menjadi dehidrasi. Jika jumlah nefron yang


tidak berfungsi meningkat maka ginjal tidak mampu menyaring
urine (isothenuria). Pada tahap ini glomerulus menjadi kaku dan
plasma tidak dapat difilter dengan mudah melalui tubulus. Maka
akan terjadi kelebihan cairan dengan retensi air dan natrium.
b. Ketidakseimbangan Natrium
Ketidakseimbangan natrium merupakan masalah yang serius
dimana ginjal dapat mengeluarkan sedikitnya 20-30 mEq natrium
setiap hari atau dapat meningkat sampai 200 mEq perhari. Variasi
kehilangan natrium berhubungan dengan intact nephron theory.
Dengan kata lain, bila terjadi kerusakan nefron maka tidak terjadi
pertukaran natrium. Nefron menerima kelebihan natrium sehingga
menyebabkan GFR menurun dan dehidrasi. Kehilangan natrium lebih
meningkat pada gangguan gastrointestinal, terutama muntah dan
diare. Keadaan ini memperburuk hiponatremia dan dehidrasi. Pada

CKD

yang

berat

keseimbangan natrium

dapat

dipertahankan

meskipun terjadi kehilangan yang fleksibel nilai natrium. Orang


sehat dapat pula meningkat di atas 500 mEq/hari. Bila GFR
menurun di bawah 25-30 ml/menit, maka ekskresi natrium kurang
lebih 25 mEq/hari, maksimal ekskresinya 150-200 mEq/hari. Pada
keadaan ini natrium dalam diet dibatasi 1-1,5 gram/hari.
c. Ketidakseimbangan Kalium
Jika keseimbangan cairan dan asidosis metabolik terkontrol
maka hiperkalemia jarang terjadi sebelum stadium 4. Keseimbangan
kalium berhubungan dengan sekresi aldosteron. Selama output
urine

dipertahankan

kadar

kalium

biasanya terpelihara.

Hiperkalemia terjadi karena pemasukan kalium yang berlebihan,


dampak pengobatan, hiperkatabolik (infeksi), atau hiponatremia.
Hiperkalemia juga merupakan karakteristik dari tahap uremia.
Hipokalemia terjadi pada keadaan muntah atau diare berat.
Pada penyakit tubuler ginjal, nefron ginjal meresorbsi kalium sehingga
ekskresi kalium meningkat. Jika hipokalemia persisten, kemungkinan
GFR menurun dan produksi NH3 meningkat. HCO3 menurun dan
natrium bertahan.
d. Ketidaseimbangan asam basa
Asidosis metabolik terjadi karena ginjal tidak mampu
mengekskresikan

ion Hidrogen untuk menjaga pH darah normal.

Disfungsi renal tubuler mengakibatkan ketidakmampuan pengeluaran


ioh H. Dan pada umumnya penurunan ekskresi H sebanding dengan
penurunan GFR. Asam yang secara terus-menerus dibentuk oleh
metabolisme dalam tubuh tidak difiltrasi secara efektif melewati
glomerolus, NH3

menurun

Kegagalan

pembentukan

ketidakseimbangan.
mineral

tulang.

Sebagian

Akibatnya

terjadinya osteodistrophy.
e. Ketidakseimbangan Magnesium

dan

sel

tubuler

bikarbonat
kelebihan

asidosis

tidak

berfungsi.

memperberat

hidrogen dibuffer

metabolik

oleh

memungkinkan

Magnesium pada tahap awal CKD adalah normal, tetapi


menurun secara progresif dalam ekskresi urine menyebabkan
akumulasi. Kombinasi penurunan ekskresi dan intake yang berlebihan
mengakibatkan henti napas dan jantung.
f. Ketidakseimbangan Calsium dan Fospor
Secara normal calsium dan pospor dipertahankan oleh
parathyroid hormon
kalsium,

yang menyebabkan

mobilisasi

calsium

ginjal

dari tulang

mereabsorbsi

dan depresi

resorbsi

tubuler dari pospor. Bila fungsi ginjal menurun 20-25 % dari


normal, hiperpospatemia dan hipocalsemia terjadi sehingga timbul
hiperparathyroidisme sekunder. Metabolisme vitamin D terganggu.
Dan bila hiperparathyroidisme berlangsung dalam waktu lama
dapat mengakibatkan osteorenaldystrophy.
g. Gangguan Fungsi Hematologi
Ginjal merupakan tempat produksi hormon eritropoetin yang
mengontrol produksi sel darah merah. Pada gagal ginjal produksi
eritropoetin

mengalami

gangguan

sehingga

merangsang

pembentukan sel darah merah oleh bone marrow. Akumulasi racun


uremia akan menekan produksi sel darah merah dalam bone
marrow dan menyebabkan masa hidup sel darah merah menjadi lebih
pendek. Manifestasi

klinis

anemia

takikardia,

penurunan toleransi

perdarahan

dapat

terjadi

diantaranya

terhadap

adalah

aktivitas,

epistaksis, perdarahan

pucat,

gangguan

gastrointestinal,

kemerahan pada kulit dan jaringan subkutan. Meskipun produksi


trombosit masih normal akan tetapi mengalami penurunan dalam
fungsinya

sehingga

menyebabkan

terjadinya

perdarahan.

Peningkatan kehilangan sel darah merah dapat terjadi akibat


pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan

laboratorium

dan

selama dialisis. Gagal ginjal juga dapat menurunkan hematokrit.


h. Retensi Ureum kreatinin
Urea yang merupakan hasil metabolik protein meningkat
(terakumulasi).

Kadar BUN

bukan

indikator

yang

tepat

dari

penyakit

ginjal

sebab

peningkatan

BUN dapat

terjadi

pada

penurunan GFR dan peningkatan intake protein. Tetapi kreatinin


serum adalah indikator yang lebih baik pada gagal ginjal sebab
kreatinin diekskresikan sama dengan jumlah yang diproduksi tubuh
secara konstan.
6. MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis menurut Suyono (2001) dalam Rendy (2012)
adalah sebagai berikut:
a. Gangguan kardiovaskuler
Hipertensi, nyeri dada, dan sesak nafas akibat perikarditis, efusi
perikardiac dan gagal jantung akibat penimbunan cairan, gangguan
irama jantung dan edema.
b. Gangguan Pulmoner
Nafas dangkal, kusmaul, batuk dengan sputum kental, suara krekels
c. Gangguan gastrointestinal
Anoreksia, nausea, dan vomitus yang berhubungan dengan
metabolisme

protein

dalam

usus,

perdarahan

pada

saluran

gastrointestinal, ulserasi, dan perdarahan mulut, nafas bau amonia


d. Gangguan musculoskeletal
Restles leg syndrom (pegal pada kaki sehingga selalu digerakkan),
burning feet syndrom (rasa kesemutan dan terbakar, terutama di telapak
kaki), tremor, miopati (kelemahan dan hipertropi otot-otot ekstremitas)
e. Gangguan integument
Kulit berwarna pucat akibat anemia dan kekuning-kuningan akibat
penimbunan urokrom, gatal-gatal akibat toksik, kuku tipis dan rapuh
f. Gangguan endokrin
Gangguan seksual: libido fertilitas dan ereksi menurun, gangguan
menstruasi dan amenore. Gangguan metabolik glukosa, lemak, dan
vitamin D.
g. Gangguan cairan elektrolit dan keseimbangan asam dan basa
7. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang pada Chronic Kidney Disease (CKD)
a. Laboratorium
1) Pemeriksaan analisa urin
Menggunakan tes dipstick, mendeteksi adanya hematuria, piuria,
dan proteinuria
Tabel 3. Deskripsi warna urin

(Sumber: Pedoman interpretasi data klinik: Kemenkes RI. 2011)


2) Pemeriksaan mikroskopis urin
a) Pada anak banyak ditemukan hyalin cast
b) Nekrosis tubular akut banyak ditemukan granular cast
c) Pada kasus infeksi ditunjukkan dengan adanya red cell cast
d) White cell cast biasanya terjadi pada acute pyelonephritis atau
interstitial nephritis
Tabel 4. Sedimentasi urin:

(Sumber: Pedoman interpretasi data klinik: Kemenkes RI., 2011)


Berikut hasil pemeriksaan urinalisis yang berkaitan dengan adanya
penyakit pada ginjal:
Tabel 5. Hasil urinalisis penyakit pada ginjal

(Sumber: KDOQI Clinical Practice Guidelines for Chronic Kidney Disease


2012).
3) Pemeriksaan kimiawi serum
Pemeriksaan kadar ureum dan kreatinin serum merupakan
tes yang paling penting, sedangkan pemeriksaan kadar natrium,
kalium, kalsium, fosfat, bikarbonat, alkalin fosfatase, hormon
paratiroid (PTH), kolesterol, fraksi lipid penting untuk terapi dan
pencegahan komplikasi CKD. Nilai normal untuk kadar urea dalam
darah berkisar 8-24 mg/dl pada laki-laki dan pada wanita berkisar
6-21 mg/dl. Nilai normal kreatinin berkisar antara 0,6-1,3 mg/dl
(SI: 62-115 mol/L).
4) Penghitungan laju filtrasi gromerulus
Pengukuran ini dimaksudkan untuk menilai jumlah nefron
yang masih berfungsi untuk melakukan filtrasi. Pemeriksaan eGFR
(Estimated Glomerular Filtratin Rate) adalah perkiraan untuk
menentukan kemampuan fungsi ginjal dalam menyaring atau

membersihkan darah menggunakan perhitungan rumus schwartz


berdasarkan kreatinin darah, umur dan jenis kelamin. Namun
demikian, perhitungan eGFR tidak bisa digunakan pada wanita
hamil, obesitas, sangat kurus, asites, anak-anak dan usia lanjut
(diatas 65 tahun). Untuk keadaan seperti ini harus melakukan CCT
(Creatinin Clerence Test).
Pemeriksaan CCT

(Creatinin

Clerence

Test)

untuk

menentukan kemampuan fungsi ginjal lebih teliti dalam menyaring


atau membersihkan darah, menggunakan perhitungan berdasarkan
pengukuran kadar kreatinin darah, kreatinin urin 24 jam, berat
badan, tinggi badan, dan volume urin yang dikumpulkan selama 24
jam, pengumpulan urin selama 24 jam tidak boleh ada yang
terbuang.
Berikut rumus perhitungan GFR (Gromerulo Filtration
Rate):
a) Formula schwartz:

b) Menurut Traub SL dan Johnson CE

Metode perhitungan ini untuk anak 1 18 tahun.


c) Metode Jelliffe

Metode Jellife dipakai pada pasien dewasa usia 20-80 tahun.


d) Metode Cockroff dan Gault

Metode ini digunakan bagi seluruh pasien dewasa.


Tabel 6. Kisaran nilai normal Klirens kreatinin (CCr)

(Sumber: Pedoman interpretasi data klinik: Kemenkes RI. 2011).


b. Pencitraan
Pemeriksaan ini digunakan untuk mengetahui penyebab dari CKD.
Pemeriksaan pencintraan meliputi:
1) Foto polos: untuk melihat batu yang bersifat radioopak atau
nefrokalsinosis.
2) Ultrasonografi: merupakan pemeriksaan penunjang yang sering
dilakukan karena aman, mudah, dan cukup memberikan informasi.
USG merupakan modalitas terpilih untuk kemungkinan penyakit ginjal
obstruktif. Meskipun USG kurang sensitif dibandingkan CT untuk
mendeteksi massa, tetapi USG dapat digunakan untuk membedakan
kista jinak dengan tumor solid, juga sering digunakan untuk
menentukan jenis penyakit ginjal polikistik.
Gambar 1. Ultrasonografi CKD

(Sumber: University of Virginia 2013).


3) CT Scan: Dapat menentukan massa ginjal atau kista yang tidak
terdeteksi pada pemeriksaan USG dan merupakan pemeriksaan paling
sensitif untuk mengidentifikasi batu ginjal. CT Scan dengan kontras
harus dihindari pada pasien dengan gangguan ginjal untuk menghindari
terjadinya gagal ginjal akut.
Gambar 2. CT Scan gagal ginjal

(Sumber: American College of Radiology, 2015)


4) MRI: Sangat bermanfaat pada pasien yang membutuhkan pemeriksaan
CT tetapi tidak dapat menggunakan kontras. MRI dapat dipercaya
untuk mendeteksi adanya trombosis vena renalis. Magnetic resonance
angiography juga bermanfaat untuk mendiagnosis stenosis arteri
renalis.
5) Radionukleotida: Deteksi awal parut ginjal dapat dilakukan dengan
menggunakan

radioisotope

scanning

99m-technetium

dimercaptosuccinic acid (DMSA). Pemeriksaan ini lebih sensitif


dibandingkan intravenous pyelography (IVP) untuk mendeteksi parut
ginjal dan merupakan diagnosis standar untuk mendeteksi nefropati
refluks.
6) Voiding cystourethrography: Dapat dilakukan bersamaan dengan
pemeriksaan radionukleotida untuk mendeteksi refluks vesikoureter.
7) Retrogade atau anterogade pyelography: Dapat digunakan lebih baik
untuk mendiagnosis dan menghilangkan obstruksi traktus urinarius.
Pemeriksaan ini diindikasikan apabila dari anamnesis didapatkan
kecurigaan gagal ginjal meskipun USG dan CT scan tidak
menunjukkan adanya hidronefrosis.

8) Pemeriksaan

tulang:

Hal

ini

bermanfaat

untuk

mengevaluasi

hiperpartiroid sekunder yang merupakan bagian dari osteodistrofi, dan


juga perkiraan usia tulang untuk memberikan terapi hormon
pertumbuhan.
Gambar 3. CT Scan pada tibia

(Sumber: Justine Bacchetta, 2009)


Tabel 7. Hasil pencitraan pada kelainan ginjal

(Sumber: KDOQI Clinical Practice Guidelines for Chronic Kidney Disease 2012).

8. PENATALAKSANAAN
Tujuan penatalaksanaan adalah menjaga keseimbangan cairan
elektrolit dan mencegah komplikasi, yaitu sebagai berikut.

a) Koreksi hiperkalemi. Mengendalikan kalium darah sangat penting


karena hiperkalemi dapat menimbulkan kematian mendadak. Hal yang
pertama harus diingat adalah jangan menimbulkan hiperkalemia. Sealin
dengan pemeriksaan darah, hiperkalemia juga dapat didiagnosis dengan
EEG dan EKG. Bila terjadi hiperkalemia, maka pengobatannya adalah
dengan mengurangi intake kalium, pemberian Na Bikarbonat, dan
pemberian infus glukosa (Muttaqin 2011).
Penurunan GFR sampai di bawah 50% nilai normal akan disertai
penurunan reabsorpsi bikarbonat yang menyebabkan asidosis sistemik,
akibatnya terjadi degradasi protein dan efluks kalsium dari tulang.
Terapi ditujukan untuk mempertahankan konsentrasi bikarbonat serum
sebesar 20-22 mEq/L (20-22 mmol/L) dengan cara pemberian
suplemen sodium bikarbonat atau pengikat fosfat. Hiperkalemia dapat
terjadi karena ketika penyakit ginjal memburuk, tubulus distal yang
terisisa terus menerus mensekresikan kalium. Peningkatan aldosteron
juga mendorong sekresi kalium dengan menstimulasi pertukaran
natrium-kalium di ginjal dan kolon. Hipokalemia dapat juga terjadi
pada anak yang menderita CKD, namun cenderung terjadi pada pasien
yang memiliki defek tubular seperti pada sindrom Faconi. (Whyte&
Fine 2008)
b) Koreksi anemia. Usaha pertama harus ditujukan untuk mengatasi
faktor defisiensi, kemudian mencari apakah ada perdarahan yang
mungkin dapat diatasi. Pengendalian gagal ginjal pada keseluruhan
akan dapat meninggikan Hb. Tranfusi darah hanya dapat diberikan bila
ada indikasi yang kuat, misalnhya ada insufisiensi koroner (Muttaqin
2011).
c) Koreksi asidosis. Pemberian asam melalui makanan dan obat-obatan
harus dihindari. Natrium bikarbonat dapat diberikan peroral atau
parenteral. Pada permulaan 100 mEq natrium bikarbonat diberi
intravena perlahan-lahan, jika diperlukan dapat diulang. Hemodialisis
peritoneal dapat juga mengatasi asidosis (Muttaqin 2011).Gangguan
keseimbangan elektrolit utama pada PGK adalah hyperkalemia dan
asidosis. Hyperkalemia dapat tetap asimptomatis walaupun telah

mengancam jiwa. Perubahan gambaran EKG kadang baru terlihat


setelah hyperkalemia membahayakan jiwa. Pencegahan meliputi :
. Diet rendah kalium : menghindari buah (pisang, jeruk, tomat)
serta sayuran berlebih.
Menghindari penggunaan diuretic K-sparring : furosemide,

spironolactone.
Pengobatan hyperkalemia tergantung derajat kegawatannya
Gawat : glukonas calcicus intravena (10-20 ml 10% Ca gluconate);
glukosa intravena (25-50 %); insulin 10-20 unit; natrium bikarbonat
intravena (25-100 ml 8,4 % NaHCO3); dapat digunakan juga insulin
kerja cepat 2 U yang dicampur dextrose 40% 25 cc, diberikan bolus
IV. Meningkatkan : Furosemid Ekskresi kalium : K-exchange resin;
dialysis Asidosis menyebabkan keluhan mual, lemah, air-hunger dan
drowsiness. Pengobatan intravena dengan NaHCO3 hanya diberikan
pada keadaan asidosis berat, sedangkan jika tidak gawat dapat
diberikan secara per-oral (PPDT, 2008)
d) Pengendalian hipertensi. Pemberian obat betabloker, alpa metildopa,
dan

vasodilator

dilakuka.

Mengurangi

intake

garam

dalam

mengendalikan hipertensi harus hati-hati karena tidak semua gagal


ginjal disertai retensi natrium (Muttaqin 2011). Pemantauan faal ginjal
secara serial perlu dilakukan pada awal pengobatan hipertensi jika
digunakan penghambat ACE dan ARB. Apabila dicurigai adanya
stenosis arteria renal, penghambat ACE merupakan kontraindikasi
(Rendy&Margareth 2012).
e) Diit tinggi kalori dan rendah protein. Diit rendah protein (20-40
gram/hari) dan tinggi kalori menghilangkan gejala anoreksia dan
nausea

dari

uremia,

menyebabkan

penurunan

ureania

dan

menyebabkan penurunan ureum dan perbaikan gejala. Kebutuhan


kalori minimal 35 kcal/kgBB/hari. Diet rendah protein tinggi kalori
akan memperbaiki keluhan mual, menurunkan BUN dan akan
memperbaiki gejala. Selain itu diet rendah protein akan menghambat
progresivitas penurunan faal ginjal. Hindari masukan dari kalium dan
garam

(Rendy&Margareth

2012).Sedangkanmenurutkeluargasehat

hospital, diet rendah protein diberikanuntukpasienpenyakitginjalkronik

Sebelum hemodialisis (pre-dialisis) dengan jumlah protein yang


boleh dikonsumsi adalah 0,6-0,75 g/kg berat badan/hari.
Asupan garam yang dianjurkan sebelum dialysis antara 2,5 5
gr garam/hari, pembatasan asupan kalium dianjurkan bila kadar
kalium dalam darah> 5,5 meq dan asupan kalium yang
dianjurkan adalah 40 mg/kgBB/hari. Bahan makanan yang
tinggi kalium berupa umbi, buah-buahan, kacang-kacangan,
tidak dianjurkan mengkonsumsi : kentang, alpokat, pisang,

mangga, tomat, daun singkong, rebung, bayam.


Pada pasien hemodialisis 1 -12 gram/kgBB ideal/hari
Pasien hemodialisis 1 -1,2 gram/kgBB ideal/hari
Pasien peritoneal dialisis 1,3 gram/kgBB/hari
f) Mencegah dan tatalaksana penyakit tulang ginjal
Hiperfosfatemia dikontrol dengan obat yang mengikat fosfat seperti
alumunium hidroksida (300-1800 mg) atau kalsium karbonat (5003000 mg) pada setiap makan (Rendy&Margareth 2012).
g) Deteksi dini dan terapi infeksi
Pasien uremia harus diterapi sebagai pasien imunosupresif dan diterapi
lebih ketat (Rendy&Margareth 2012).
h) Modifikasi terapi obat dengan fungsi ginjal
Banyak obat-obatan yang harus diturunkan dosisnya karena metabolit
toksik dan dikeluarkan oleh ginjal (Rendy&Margareth 2012).
i) Optimilisasi dan pertahankan keseimbangan cairan dan garam.
Biasanya diusahakan hingga tekanan vena jugularis meningkat dan
terdapat edema betis ringan. Pengawasan dilakukan melalui berat
badan, urine dan pencatatan keseimbangan cairan. Pemberian cairan
disesuaikan dengan produksi urin. Yaitu produksi urin 24 jam ditambah
500 ml. Asupan garam tergantung evaluasi elektrolit, umumnya
dibatasi 40-120 mEq (920-2760 mg). Diet normal mengandung ratarata 150 mEq. Furosemide dosis tinggi masih dapat digunakan pada
awal PGK, akan tetapi pada fase lanjut tidak lagi bermanfaat dan pada
obstruksi merupakan kontraindikasi. Penimbangan berat badan,
pemantauan produksi urin serta pencatatan keseimbangan cairan akan
membantu

pengelolaan

(Rendy&Margareth 2012)

keseimbangan

cairan

dan

garam

j) Dialisis. Dialisis dapat dilakukan untuk mencegah komplikasi gagal


ginjal yang serius, seperti hiperkalemia, perikarditis, dan kejang.
Dialisis memperbaiki abnormalitas biokimia, menyebabkan cairan,
protein dan natrium dapat dikonsumnsi secar bebas; menghilangkan
kecenderungan

perdarahan; dan membantu

penyembuhan

luka

(Muttaqin 2011). Segera persiapkan setelah gagal ginjal kronik


dideteksi. Indikasi dilakukan dialisis biasanya adalah gagal ginjal
dengan gejala klinis yang jelas meski telah dilakukan terapi
konservatif, atau terjadi komplikasi. Menurut Pedoman Diagnosis dan
Terapi Bag/ SMF Ilmu Penyakit Dalam (2008) bahwa dialysis dapat
diberikan pada pasien gagal ginjal dengan stadium 5 yaitu GFR < 15
dan jika ada uremia. Dialisis merupakan suatu proses yang digunakan
untuk mengeluarkan cairan dan produk limbah dari dalam tubuh ketika
ginjal tidak mampu melaksanankan proses tersebut (Smeltzer, 2008)
Pemberian dialisis juga diklasifikasikan oleh Smeltzer (2008)
menurut waktu pemberiannya yaitu dialisis akut dan dialisis kronik.
Dialisis akut
Akut diperlukan bila kadar kalium yang tinggi atau yang meningkat
(kalium serum > 6 mEq/L), kelebihan muatan cairan atau edema
pulmoner yang mengancam, asidosis yang meningkat, perikarditis
atau

konfusi

berat.

Tindakan

ini

juga

digunakan

untuk

menghilangkan obat-obat tertentu atau toksin lain (keracunan atau


dosis obat yang berlebihan).

Dialisis Kronik
Sedangkan dialysis kronik dibutuhkan pada GGK (penyakit ginjal
stadium terminal) dalam keadaan sebagai berikut : terjadinya tandatanda dan gejala uremia (ureum darah >200 mg/L) yang mengenai
seluruh sistem tubuh (mual, serta muntah, anoreksia berat,
peningkatan letargi, konfusi mental),

kadar kalium serum

meningkat (> 6 mEq/L), muatan cairan berlebih yang tidak


responsif terhadap terapi diuretic serta pembatasan cairan, dan
penurunan

status

kesehatan

yang

umum.

Disamping

itu

terdengarnya pericardial friction rub melalui auskultasi merupakan


indikasi yang mendesak untuk dilakukan dialisis.
Berdasarkan metode, dialysis dibagi menjadi dua yaitu
(smeltzer, 2008) :
o Hemodialisis (HD)
Hemodialisis adalah sebuah terapi yang menghilangkan
sampah dan cairan berlebih daridarah. Selama hemodialisis, darah
dipompa melalui selang lembut ke mesin dialisis yang akan menuju
fliter khusus yang disebut dialyzer (juga disebut ginjal buatan). Saat
darah difiltrasi, darah akan dikembalikan ke aliran darah. Untuk
dapat

disambungkan

dengan

mesin

dialisis,

pasien

harus

mempunyai akses atau pintu masuk ke aliran darah. Terapi ini


biasanya dilakukan 3 kali seminggu. Tiap terapi berlangsung
selama 3-5 jam. Hemodialisis dapat dilakukan di rumah atau di
pusat HD. Pusat HD berlokasi di dalam rumah sakit atau layanan
kesehatan. Syarat melakukan HD di rumah antara lain pasien harus
memiliki cukup ruangan untuk peralatan dan cukup air dan listrik
untuk mengoperasikan mesin dialisis dan mesin purifikasi. Pasien
juga membutuhkan pendamping saat dialisis.
Menurut Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam
Indonesia (2006) umumnya indikasi dialisa pada GGK adalah bila
laju filtrasi glomerulus (LFG <15 ml/ menit) sehingga dialysis baru
dianggap perlu dimulai bila dijumpai salah satu dari hal di bawah
ini :
o
o
o
o
o
o

Keadaan umum buruk dan gejala klinis nyata


Kalium serum > 6 mEq/L
Ureum darah> 200 mg/L
Ph darah< 7,1
Anuria berkepanjangan (> 5 hari)
Fluid overloaded

Akses Hemodialisis
Jika pasien memilih HD, pasien perlu memiliki akses permanen
atau pintu masuk ke aliran darah. Ini dilakukan dengan

pembedahan minor, biasanya pada lengan. Ada dua jenis akses


vascular permanen:
a) Fistula
Sebuah fistula direkomendasikan sebagai akses. Ini dibuat
dengan menggabungkan artei ke vena di dekatnya di bawah
kulit untuk membuat vaskuler yang lebih besar. Tipe ini dipilih
karena mengakibatkan masalah yang sedikit dan bertahan lama.
Pasienharusdievaluasiolehbedahvaskuler

minimal

bulansebelummemulaidialisis.
Dokterakanmelakukanpemeriksaan
untukmelihatpembuluhdarah

yang

Tindakaninidisebutdenganvessel

ultrasound
ideal

untuk

mapping.

fistula.
Fistula

harusdisiapkanterlebihdahulu
(beberapabulansebelumdimualidialisis),
sehinggaadawaktuuntukpenyembuhandan siap untuk digunakan
HD.
b. Graft
Jikapembuluhdarahtidaksesuaiuntukdilakukan

fistula,

graft

dapatdilakukan.Tindakaninimenggabungkanarteridan

vena

didekatnyadenganselanglembutdarisintetik.

Graft

inidimasukkan di bawahkulit.

Gambar :AV fistule&Graft


Sumber :Smeltzer (2008)

Selainituterdapatjugaakses vascular yang sifatnyatemporer :


a) Kateter
Akses ketiga, disebut dengan kateter, dimasikkan ke dalam vena
besar di leher atau dada. Ujung dada selang berada diatas kulit
luar tubuh. Tipe ini umum nya digunakan untuk dialysis periode
pendek. Kateter digunakan menetapjika fistula atau graft tidak
dapat dilakukan.

Gambar :Kateter
Sumber :Smeltzer (2008)
Peritoneal Dialisis (PD)
Dalam

Updates

Clinical

Practice

Guidelines

for

Hemodialysis Adequacy (2006) pada peritoneal dialisis (PD),


darahdibersihkan

di

dalamtubuhbukan

di

luartubuhpasien.

Peritoneum bekerjasebagai filter alami. Cairanpembersih yang


disebutdialisat, dialirkankedalam abdomen melaluiselanglembut
yang dinamakankateter PD. Kateterdipasangmelaluipembedahan
minor.Sampahdankelebihancairankeluardaridarahkedalamcairandial
isar.Setelahbeberapa jam, pasienmengalirkancairandialisat yang
sudahdigunakandari

abdomen

danmengisiulangdengancairanpembersih yang baruuntukmemulai


proses

kembali.

Mengeluarkancairan

yang

telahdigunakandanmengisicairanbarumembutuhkanwaktusetengah
jam danhalinidisebut exchange.Peritoneal dialisisdapatdilakukan
di rumah, saatbekerja, di sekolahatauselamaperjalanan.Peritoneal
dialysis

merupakanterapirumahan.Banyakpasien

yang

memilihterapiinimerasadiberifleksibilitas.Indikasidilakukannya
Peritoneal Dialisis (PD) menurutSmeltzer (2008) antaralain :

o Pasien

yang

menjalani

hemodialisis

maintenance

yang

mempunyai masalah seperti :gangguan fungsi atau kegagalan


alat untuk akses vaskuler, rasa haus yang berlebihan, hipertensi
berat, sakit kepala pasca dialisis, dan anemia berat yang
memerlukan transfusi.
o Pasien yang menungguoperasi cangkok ginjal.
o Penyakit ginjal stadium akhir akibat DM
o Lansia
Prosedur
Sepertihalnyatindakan

yang

lain,

keputusanuntukmemulai

PD

diputuskanolehpasiendankeluargasetelahkonsultasidengandokter.
Pasienbisasajamengalamikejadianakut

yang

mengharuskanpengobatanjangkapendekuntukmemperbaikigangguancai
randanelektrolit,

ataumungkinmengalami

ERSD

membutuhkanperawatan

yang

berkelanjutan.Berikutprosedurpelaksanaan PD (Smeltzer, 2008):


a) Persiapan pasien
Persiapan perawat kepada pasien dan keluarga terhadap tindakan
PD adalah tergantung status fisik dan psikologis pasien,
pengalaman sebelumnya terhadap dialysis, dan pemahaman
terhadap prosedur. Perawat menjelaskan prosedur kepada pasien
dan

membantu

untukmengambilkeputusandengandasarberatbadanpasien, dankadar
serum

elektrolit.

Pasiendianjurkanuntukmengosongkankandungkemihdanususuntuk
mengurangirisikotusukan organ internal selamatindakan.

Agen

antibiotic
denganspektrumluasmungkindapatdiberikanuntukmencegahinfeksi.
Tindakanpemasangankateter
dalamruangradiologi,

peritoneal

ruangoperasi,

dapatdilakukan

ataudi

tempattidur.

di
Hal

tersebuttergantungsituasi, danperludiberikanpenjelasanterlebihdulu
ke pasien dan keluarga.
b) Persiapan alat

Selain mempersiapkan perlatan untuk tindakan PD, perawat juga


berkonsultasi dengan dokter untuk menentukan konsentrasi dari
dialisat yang akan digunakan dan obat-obatan yang akan
ditambahkan. Heparin dapat ditambahkan untuk mencegah
pembentukan fibrin dan oklusi resultan dari kateter peritoneal.
kalium klorida dapat diresepkan untuk mencegah hipokalemia.
antibiotik dapat ditambahkan untuk mengobati peritonitis (radang
membran peritoneal) yang disebabkan oleh infeksi. Dan insulin
reguler dapat ditambahkan untuk pasien dengan diabetes.
c) Tindakan
Memasukkan Kateter Idealnya, memasukkan kateter peritoneal
dilakukan di dalam kamar operasi atau ruang radiologi untuk
mempertahankan aseptic dan meminimalkan risiko kontaminasi.
Namun, dalam beberapa situasi, dokter dapat melakukan tindakan
ini di tempat ridur pasien menggunakan teknik aseptic. Kapanpun
kateter digunakan, perawatan secara hati-hati dan observasi
terhadap perforasi usus sangat penting untuk meminimalkan
terjadinya komplikasi
k) Transplantasi ginjal.
Dengan pencangkokan ginjal yang sehat ke pasien GGK, maka seluruh
faal ginjal diganti oleh ginjal yang baru (Muttaqin 2011). Transplantasi
ginjal telah menjadi terapi pilihan bagi mayoritas pasien dengan
penyakit renal tahap akhir. Pasien memilih transplantasi ginjal dengan
berbagai alasan, seperti keinginan untuk menghindari dialisis atau
untuk memperbaiki perasaan sejahtera dan harapan hidup untuk hidup
secara normal. Selain itu,

biaya transplantasi ginjal yang sukses

dibandingkan dialysis adalah sepertiganya. Transplantasi ginjal


melibatkan menanamkan ginjal dari donor hidup yang sesuai dan cocok
bagi pasien (mereka dengan antigen ABO dan HLA yang cocok) akan
lebih baik daripada transplan yang berasal dari donor kadaver.
Nefrektomi terhadap ginjal asli pasien dilakukan untuk transplantasi.

Ginjal transplant diletakkan di fosailiaka anterior sampai Krista iliaka


pasien (Rendy&Margareth 2012).
1. Pre-operatif
(a)Tujuan
Mengembalikan status

metabolikpasienkekadar

sedekatmungkin.
(b) Persiapan
Pemeriksaanfisiklengkap,

normal

sampeljaringan,

sampeldarahdanskriningantibosiuntukmenentukankecocokanjari
ngandari

donor

danresipien.Tesdiagnostikdantraktusurinariusbawahperluditeliti
untukmengkajifungsileherkandungkemihdanmendeteksireflukur
eteeral.Pastikanpasienbebasdariinfeksi, koreksijukaadapenyakit
gingiva

dankariesgigi.

Kajimekanismekoping,

riwayatsosialdansumberfinansial.
Riwayatpsikiatrikjugaperludikaji.
(c) Intervensi
Penyuluhanpreoperatifmeliputiinformasihigienepulmonerpasca
operatif,

penatalksanaannyeri,

pembatasan

diet,

jalurintravenadanarteri, selangdanambulasidini
1. Post operatif
(a) Tujuan
Mepertahankan homeostasis sampai ginjal transplan berfungsi
dengan baik. Ginjal yang dapat berfungsi merupakan tanda
prognosis yang menggembirakan.
(b) Penatalasanaan
Terapi imunosupresif dan antisipasi rejeksi tandur.
(c) Intervensi
Mengkaji rejeksi dan infeksi, memantau fungsi urinarius dan
mencegah komplikasi seperti ulserasi GI dan perdarahan akibat
steroid, kolonissi jamur di traktus GI (mulut) dan kandung
kemih

akibat

kortikosteroid

dan

antibiotik,

penyakit

kardiovaskuler dan kemungkinan timbulnya tumor atau


malignansi
2. KOMPLIKASI
Komplikasi menurut BC Guidelines (2014)
a) Acute Kidney Injury (e.g., dehydration, dye, drugs)

b)
c)
d)
e)
f)
g)
h)
i)
j)
k)
l)
m)

Anemia
BP increases
Calcium absorption decreases
Drug toxicity
Dyslipidemia
Heart failure/volume overload
Hyperkalemia
Hyperparathyroidism
Hyperphosphatemia
Left ventricular hypertrophy
Malnutrition potential (late)
Metabolic acidosis

B. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN


1. Pengkajian
1. Identitas

: Nama,

umur,

perkawinan,
2. Keluhan utama

jenis
agama,

kelamin,
suku

status
bangsa,

pendidikan, perkerjaan, diagnose medis.


: Kencing sedikit, tidak dapat kencing,
gelisah, tidak selera makan (anoreksi),
mual, muntah, mulut terasa kering, rasa
lelah, nafas berbau (ureum), gatal pada
kulit.

3. Riwayat penyakit
a. Sekarang

: Diare, muntah, perdarahan, luka bakar,

b. Dahulu

rekasi anafilaksis, renjatan kardiogenik.


: Riwayat penyakit gagal ginjal akut,
infeksi saluran kemih, payah jantung,
hipertensi,

penggunaan

obat-obat

nefrotoksik, Benign Prostatic Hyperplasia,


c. Keluarga

prostatektomi.
: Adanya penyakit

keturunan

Diabetes

Mellitus (DM).
4. Pemeriksaan
fisik
Dasar data pengkajian klien menurut Doenges (2000: 626-628)
adalah sebagai berikut.
a. Aktivitas/istirahat

Gejala

Kelelahan ekstrem, kelemahan, malaise.


Gangguan tidur (insomnia/gelisah atau somnolen).

Tanda

Kelemahan otot, kehilangan tonus, penurunan rentang


gerak.

b. Sirkulasi
Gejala

Riwayat hipertensi lama atau berat.


Palpitasi; nyeri dada (angina).

Tanda

Hipertensi; DVJ (Distensi Vena Jugularis), nadi kuat,


edema jaringan umum dan pitting pada kaki, telapak,
tangan.
Disritmia jantung.
Nadi lemah halus, hipotensi ortostatik menunjukkan
hipovolemia, yang jarang pada penyakit tahap akhir.
Friction rub perikardial (respons terhadap akumulasi
sisa).
Pucat; kulit coklat kehijauan, kuning.
Kecenderungan perdarahan.

c. Integritas Ego
Gejala

Faktor

stres,

contoh

finansial,

hubungan,

dan

sebagainya.
Perasaan tak berdaya, tak ada harapan, tak ada
Tanda

kekuatan.
Menolak, ansietas, takut, marah, mudah terangsang,
perubahan kepribadian.

d. Eliminasi
Gejala

Tanda

Penurunan frekuensi urin, oliguria, anuria (gagal tahap


lanjut).
Abdomen kembung, diare, atau konstipasi.
Perubahan warna urin, contoh kuning coklat,berawan.
Oliguria, dapat menjadi anuria.

e. Makanan/cairan
Gejala

: Peningkatan berat badan cepat (edema), penurunan


berat badan (malnutrisi).
Anoreksia, nyeri ulu hati, mual/muntah, rasa metalik

Tanda

tak sedap pada mulut (pernapasan amonia).


: Distensi abdomen/asites, pembesaran hati (tahap akhir).
Perubahan turgor kulit/kelembaban.

Edema (umum, tergantung).


Ulserasi gusi, perdarahan gusi/lidah.
Penurunan

otot,

penurunan

lemak

subkutan,

penampilan tak bertenaga.


f. Neurosensori
Gejala

: Sakit kepala, penglihatan kabur.


Kram otot/kejang; sindrom kaki gelisah; kebas rasa
terbakar pada telapak kaki.
Kebas/kesemutan

Tanda

dan

kelemahan,

khususnya

ekstremitas bawah (neuropati perifer).


: Gangguan status mental, contoh penurunan lapang
perhatian; ketidakmampuan berkonsentrasi, kehilangan
memori, kacau, penurunan tingkat kesadaran, stupor
koma.
Penurunan DTR (Deep Tendon Reflex).
Tanda Chvostek dan Trousseau positif.
Kejang, fasikulasi otot, aktivitas kejang.

Rambut tipis, kuku rapuh dan tipis.


g. Nyeri//kenyamanan
Gejala

: Nyeri panggul, sakit kepala; kram otot/nyeri kaki

Tanda

(memburuk saat malam hari).


: Perilaku berhati-hati/distraksi, gelisah.

h. Pernapasan
Gejala

: Napas pendek; dispnea noktural paroksismal; batuk

Tanda

dengan/tanpa sputum kental dan banyak.


: Takipnea, dispnea, peningkatan frekuensi/kedalaman
(pernapasan Kussmaul).
Batuk produktif dengan sputum merah muda-encer
(edema paru).

i. Keamanan
Gejala

: Kulit gatal.

Tanda

Ada/berulangnya infeksi.
: Pruritus.
Demam (sepsis, dehidrasi); normotermia dapat secara
aktual terjadi peningkatan pada pasien yang mengalami

suhu tubuh lebih rendah dari normal (efek CKD/depresi


imun).
Patekie, area ekimosis pada kulit.
Fraktur tulang; deposit fosfat kalsium (kalsifikasi
metastatik)

pada

kulit,

jaringan

lunak,

sendi;

keterbatasan gerak sendi.


j. Seksualitas
Gejala

: Penurunan libido; amenorea; infertilitas.

k. Interaksi Sosial
Gejala

: Kesulitan menentukan kondisi, contoh tak mampu


bekerja, mempertahankan fungsi peran biasanya dalam

keluarga.
l. Penyuluhan/Pembelajaran
Gejala

: Riwayat DM keluarga (risiko tinggi untuk gagal ginjal),


penyakit polikistik, nefritis, herediter, kalkulus urinaria,
malignansi.
Riwayat terpajan pada toksin, contoh obat, racun
lingkungan.

Pertimbangan

Penggunaan antibiotik nefrotoksik saat ini/berulang.


DRG (Diagnosis Relation Group) menunjukkan rerata

lama dirawat : 6,4 hari.


Rencana Pemulangan :
Memerlukan bantuan dalam obat, pengobatan, suplai, transportasi,
pemeliharaan rumah.
2. Diagnosa Keperawatan
Menurut Smeltzer& Bare (2002: 1452-1456) diagnosa keperawatan
yang mungkin muncul pada klien dengan penyakit ginjal kronik adalah:
a. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan haluaran
urin, diet berlebih serta retensi cairan dan natrium.
b. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
anoreksia, mual, muntah, pembatasan diet, perubahan membran
mukosa.
c. Kurang pengetahuan tentang kondisi dan penanganan.
d. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan keletihan, anemia, retensi
produk sampah dan prosedur dialisis.

e. Gangguan harga diri berhubungan dengan ketergantungan, perubahan


peran, perubahan citra tubuh dan fungsi seksual.
f. Resiko tinggi terjadinya komplikasi.
3. Perencanaan dan Implementasi
Intervensi keperawatan pada penyakit gagal ginjal kronis menurut
Smeltzer& Bare (2002: 1452-1456) adalah:
a. Diagnosa I
Tujuan keperawatan:
Mempertahankan berat tubuh ideal tanpa kelebihan cairan.
Intervensi:
1) Kaji status cairan:
a) Timbang berat badan harian.
b) Keseimbangan masukan dan haluaran.
c) Turgor kulit dan adanya edema.
d) Distensi vena leher.
e) Tekanan darah, denyut dan irama nadi.
2) Batasi masukan cairan.
3) Identifikasi sumber potensial cairan:
a) Medikasi dan cairan yang digunakan untuk pengobatan: oral dan
intravena.
b) Makanan.
4) Jelaskan pada klien dan keluarga rasional pembatasan.
5) Bantu klien dalam menghadapi ketidaknyamanan akibat pembatasan
cairan.
6) Tingkatkan dan dorong higiene oral dengan sering.
b. Diagnosa II
Tujuan keperawatan:
Mempertahankan masukkan nutrisi yang ade kuat.
Intervensi:
1) Kaji status nutrisi yang adekuat:
a) Perubahan berat badan.
b) Pengukuran antropometrik.
c) Nilai laboratorium (elektrolit serum, BUN, kreatinin, protein,
transferin dan kadar besi)
2) Kaji pola diet nutrisi klien:
a) Riwayat diet.
b) Makanan kesukaan.
c) Hitung kalori.
3) Kaji faktor yang berperan dalam merubah masukan nutrisi:
a) Anoreksia, mual, dan muntah.
b) Diet yang tidak menyenangkan bagi klien.
c) Depresi.
d) Kurang memahami pembatasan diet.
e) Stomatitis.
4) Menyediakan makanan kesukaan klien dalam batas-batas diet.

5) Tingkatkan masukan protein yang mengandung nilai biologis tinggi:


telur, produk susu, daging.
6) Anjurkan camilan tinggi kalori, rendah protein, rendah natrium.
7) Ubah jadwal medikasi sehingga medikasi ini tidak segera diberikan
sebelum makan.
8) Jelaskan rasional pembatasan diet dan hubungannya dengan
penyakit ginjal dan peningkatan urea dan kadar kreatinin.
9) Sediakan daftar makanan yang dianjurkan secara tertulis dan anjuran
untuk memperbaiki rasa tanpa menggunakan natrium atau kalium.
10) Ciptakan lingkungan yang menyenangkan selama waktu makan.
11) Timbang berat badan harian.
12) Kaji adanya bukti masukan protein yang tidak adekuat.
a) Pembentukan edema.
b) Penyembuhan yang lambat.
c) Penurunan kadar albumin serum.
c. Diagnosa III
Tujuan keperawatan:
Meningkatkan pengetahuan mengenai kondisi dan penanganan.
Intervensi:
1) Kaji pemahaman mengenai penyebab gagal ginjal, konsekuensinya, dan
penanganannya:
a) Penyebab gagal ginjal klien.
b) Pengertian gagal ginjal.
c) Pemahaman mengenai fungi renal.
d) Hubungan antara cairan, pembatasan diet dengan gagal ginjal.
e) Rasional penanganan (hemodialisis, dialisis peritoneal, transplantasi)
2) Jelaskan fungsi renal dan konsekuensi gagal ginjal sesuai dengan tingkat
pemahaman dan kesiapan klien untuk belajar.
3) Bantu klien untuk mengidentifikasi cara-cara untuk memahami berbagai
perubahan akibat penyakit dan penanganan yang mempengaruhi
hidupnya.
4) Sediakan informasi baik tertulis maupun secara oral dengan tepat
tentang:
a) Fungsi dan kegagalan renal.
b) Pembatasan cairan dan diet.
c) Medikasi
d) Melaporkan masalah, tanda dan gejala.
e) Jadwal tindak lanjut.
f) Sumber di komunitas.
g) Pilihan terapi.
d. Diagnosa IV
Tujuan keperawatan:
Berpartisipasi dalam aktivitas yang dapat ditoleransi.
Intervensi:

1) Kaji faktor yang menimbulkan keletihan:


a) Anemia
b) Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit.
c) Retensi produk sampah.
d) Depresi.
2) Tingkatkan kemandirian dalam aktivitas perawatan diri yang dapat
ditoleransi; bantu jika keletihan terjadi.
a) Anjurkan aktivitas alternatif sambil istirahat.
b) Anjurkan untuk beristirahat setelah dialisis.
e. Diagnosa V
Tujuan:
Memperbaiki konsep diri.
Intervensi:
1) Kaji respons dan reaksi klien dan keluarga terhadap penyakit dan
penanganan.
2) Kaji hubungan antara klien dengan anggota keluarga terdekat.
3) Kaji pola koping klien dan angota keluarga terdekat.
4) Ciptakan diskusi terbuka tentang perubahan yang terjadi akibat penyakit
dan penanganan:
a) Perubahan peran.
b) Perubahan gaya hidup.
c) Perubahan dalam pekerjaan.
d) Perubahan seksual.
e) Ketergantungan pada tim tenaga kesehatan.
5) Gali cara alternatif untuk ekspresi seksual lain selain hubungan seksual.
6) Diskusikan peran memberi dan menerima cinta, kehangatan, dan
kemesraan.
f. Diagnosa VI
Tujuan keperawatan:
Intervensi:
1) Kaji klien akan adanya kelemahan otot, diare, perubahan EKG
(gelombang T memuncak dan QRS melebar).
2) Kaji klien terhadap adanya demam, nyeri dada, dan friction rub
3)
4)
5)
6)

perikardial (tanda-tanda perikarditis) dan jika ada beritahu dokter.


Pantau dan catat tekanan dara sesuai indikasi.
Berikan medikasi antihipertensi sesuai instruksi.
Dorong dalam kepatuhan terapi pembatasan diet dan cairan.
Ajarkan pada klien untuk melaporkan tanda kelebihan cairan, perubahan

penglihatan, sakit kepala, edema atau kejang.


4. Evaluasi
1) Diagnosa I
a) Menunjukkan perubahan-perubahan berat badan yang lambat.
b) Mempertahankan pembatasan diet dan cairan.
c) Menunjukkan turgor kulit normal.
d) Menunjukkan tanda-tanda vital normal.

e) Menunjukkan tidak adanya distensi vena leher.


f) Melaporkan adanya kemudahan dalam bernapas atau tidak terjadi
napas pendek.
g) Melakukan higiene oral dengan sering.
h) Melaporkan penurunan rasa haus.
i) Melaporkan berkurangnya kekeringan pada membran mukosa
mulut.
2) Diagnosa II
a) Mengkonsumsi protein yang mengandung nilai biologis tinggi.
b) Memilih makanan yang menimbulkan napsu makan dalam batasan
diet.
c) Mengkonsumsi makanan tinggi kalori dalam batasan diet.
d) Mematuhi medikasi sesuai jadwal untuk mengatasi anoreksia dan
tidak menimbulkan rasa kenyang.
e) Menjelaskan dengan kata-kata sendiri rasional pembatasan diet dan
hubungannya dengan kadar kreatinin dan urea.
f) Mengkonsulkan daftar makanan yang dapat diterima.
g) Melaporkan peningkatan nafsu makan.
h) Menunjukkan tidak adanya perlambatan atau penurunan berat badan
yang cepat.
i) Menunjukkan turgor kulit yang normal tanpa edema; kadar albumin
plasma dapat diterima.
3) Diagnosa III
a) Menyatakan hubungan antara penyebab penyakit ginjal kronis
dengan konsekuensinya.
b) Menjelaskan pembatasan cairan dan diet sehubungan dengan
kegagalan regulasi ginjal.
c) Menyatakan hubungan antara gagal ginjal dengan kebutuhan
penanganan menggunakan kata-kata sendiri.
d) Menanyakan tentang pilihan terapi, yang merupakan petunjuk
kesiapan belajar.
e) Menyatakan rencana untuk melanjutkan kehidupan normalnya
sedapat mungkin.
f) Menggunakan informasi dan instruksi tertulis untuk mengklarifikasi
pertanyaan dan mencari informasi tambahan.
4) Diagnosa IV
a) Berpartisipasi dalam meningkatkan tingkat aktivitas dan latihan.
b) Melaporkan peningkatan rasa sejahtera.
c) Melakukan istirahat dan aktivitas secara bergantian.
d) Berpatisipasi dalam aktivitas perawatan mandiri yang dipilih.
5) Diagnosa V

a) Mengidentifikasi pola koping terdahulu yang efektif dan pada saat


ini tidak mungkin lagi digunakan akibat penyakit dan penanganan
(pemakaian alkohol dan obat-obatan; penggunaan tenaga yang
berlebihan).
b) Pasien dan keluarga mengidentifikasi dan mengungkapkan perasaan
dan reaksinya terhadap penyakit dan perubahan hidup yang
diperlukan.
c) Mencari konseling profesional, jika perlu, untuk menghadapi
perubahaan akibat gagal ginjal.
d) Melaporkan kepuasan dengan metode ekspresi seksual.
6) Diagnosa VI
a) Tanda-tanda vital dalam batas normal.
b) Bunyi jantung klien normal.
c) Denyut nadi perifer kuat dan teratur.
d) Tidak terdapat edema dan warna kulit normal.

DAFTAR PUSTAKA

Ant (2009). Sebanyak 36 juta warga dunia meninggal karena gagal ginjal.
http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0705/05/Jabar/21565.htm.

diunduh

25 Maret 2015.
BC Guidelines.ca: Chronic Kidney Disease - Identification, Evaluation and
Management of Adult Patients (2014)
Black & Hawks (2009). Medical Surgical Nursing : Clinical Management for
Dharmeizar (2011). Konsensus Nutrisi pada Penyakit Ginjal Kronik. Jakarta:
PERNEFRI.
Doenges, M.E., Moorhouse, M.F. & Geissler, A.C (2000). Nursing Care Plans
Guidelines for Planning and Documentating Patient Care Ed.3, Alih Bahasa, I
Made Kariasa & Ni Made Sumarwati. Jakarta: EGC
Firmansyah, Adi (2010). Usaha Memperlambat Perburukan Penyakit Ginjal Kronik
ke Penyakit Ginjal Stadium Akhir. Jakarta: PPDS Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
Garabed Eknoyan et.al (2013) Clinical Practice Guideline for the Evaluation and
Management of Chronic Kidney Disease. National Kidney Foundation
Ignatavicius, D.D., & Workman, M.L. (2006). Medical surgical nursing: critical
thinking for collaborative care (5thed). St. Louis: Elsevier Saunders
Kumar R (2013). Dasar dasar Patofisiologi Penyakit. Jakarta: Bina Rupa Aksara
Le Mone, P., & Burke, K.M. (2008). Medical surgical nursing: critical thinking in
client care. 6th edition. New Jersey: Prentice Hall Health.
Lolyta Rika (2010). Analisa Faktor yang Mempengaruhi Tekanan Darah
Hemodialisis

Pada

Klien

Gagal

Ginjal

Kronik

http://www.infokedokteran.com/arsip/jurnal-hasil-penelitian-asuhan
keperawatan-pada-pasien-gagal-ginjal-kronik.html. Diakses 28 Maret 2015
Morton, dkk (2011). Keperawatan kritis: pendekatan asuhan holistik. Jakarta: EGC

Muttaqin, Arif & Sari, Kumala(2011). Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem


Perkemihan. Jakarta: Salemba Medika.
National Kidney Foundation (NKF) Kidney Disease Outcome Quality Initiative
(K/DOQI) Advisory Board : K/DOQI clinical practice guidelines for
chronic kidney disease; evaluation, classification, and stratification. Am J
Kidney Dis Suppl 2002; 39; S1-S246
Nursalam (2006) . Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Gangguan Sistem
Perkemihan. Jakarta: salemba Medika.
Ocallaghan Chris (2007). At a Glance Sistem Ginjal. Jakarta: Erlangga
Price, A.Sylvia (2005) . Patofisiologi Konsep Klinis Edisi 6. Jakarta : EGC
Rachmadi, dedi (2011). Chronic kidney disease. Pustaka UNPAD Bandung
Rendy, M. Clevo dan Margareth (2012). Asuhan Keperawatan Medikal Bedah dan
Penyakit Dalam. Yogyakarta: Nuha Medika
Smeltzer, S.C., Bare, B.G., Hinkle, J.L., & Cheever, K.H. (2008) . Textbook of
Medical Surgical Nursing. 12 ed Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins.
Smeltzer, S.C . & Bare,B.G (2002). Brunner and Suddarths Textbook Of MedicalSurgical Nursing, Ed.8, Alih Bahasa, Agung Waluyo. Jakarta: EGC
Sri Indrawaty et.al (2011). Pedoman interpretasi data klinik. Direktur Jenderal Bina
Kefarmasian Dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan RI
Suhardjono (2004). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid 2, Edisi 3. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI
Suwitra, K (2006). Penyakit Ginjal Kronik. Dalam Sudoyo, dkk. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
The National Kidney Foundation Kidney Disease Outcomes Quality Initiative (2012).
National Kidney Foundation, Inc., New York

Tjokroprawiro, Askandar (2007). Ilmu Penyakit Dalam. Surabaya: Airlangga


University Press.
Toigo G, M. Aparicio, P-O. Attman, N. Cano, B. Cianciaruso, B. Engel, et al.
(2000). Expert Working Group report on nutrition in adult patients with renal
insufficiency (part 1 of 2). Clinical Nutrition: 19(3): 197207
Tsimihodimos Vasilis ( 2011). Dyslipidemia Associated with Chronic Kidney Disease.
http://www.benthamscience.com/open/tocmj/articles/V005/

SI0022TO

MJ/41TOCMJ.pdf. Diakses tanggal 28 Maret 2015


Ulya Imroatul, Suryanagalto, 2007. Perbedaan Kadar Hb Pra dan Post Hemodialisa
pada Penderita Gagal Ginjal Kronis di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta.
http://www.univmed.org/wpDiakses 28 Maret 2015

content/uploads/2011/02/Vol.19_no.3_4.pdf.

WOC CKD (CHRONIC KIDNEY DISEASE)

You might also like