You are on page 1of 28

BAGIAN ILMU ANASTESI

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

REFERAT
JULI 2016

RESUSITASI CAIRAN PADA KASUS DHF

OLEH :
RESKIYANI ASHAR, S.KED
10542 0189 10

PEMBIMBING :
DR. HISBULLA, SP.AN

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU ANASTESI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2016

HALAMAN PENGESAHAN
Yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa :
Nama

: Reskiyani ashar, S.Ked

NIM

: 10542 0189 10

Kasus

: Resusitasi cairan pada kasus DHF

Telah menyelesaikan tugas tersebut dalam rangka kepaniteraan klinik pada


bagian Ilmu Anastesi Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Makassar.

Makassar, Juli 2016


Pembimbing

(dr. Hisbulla Sp.An)

ii

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Dengue Fever/DF dan Dengue haemorrhagic fever/DHF adalah penyakit
infeksi yang disebabkan oleh virus dengue atau yang sering dikenal dengan
Demam dengue (DD) dan demam berdarah dengue (DBD). Sampai saat ini,
infeksi virus Dengue tetap menjadi masalah kesehatan di Indonesia. Indonesia
dimasukkan dalam kategori A dalam stratifikasi DHF oleh World Health
Organization (WHO) 2001 yang mengindikasikan tingginya angka perawatan
rumah sakit dan kematian akibat DHF, khususnya pada anak.1
Data Departemen Kesehatan RI menunjukkan pada tahun 2006
(dibandingkan tahun 2005) terdapat peningkatan jumlah penduduk, provinsi dan
kecamatan yang terjangkit penyakit ini, dengan case fatality rate sebesar 1,01%
(2007).4-5 Berbagai faktor kependudukan berpengaruh pada peningkatan dan
penyebaran kasus DHF, antara lain:
1. Pertumbuhan penduduk yang tinggi,
2. Urbanisasi yang tidak terencana dan tidak terkendali,
3. Tidak efektifnya kontrol vektor nyamuk yang efektif di daerah endemis, dan
4. Peningkatan sarana transportasi.2
Upaya pengendalian terhadap faktor kependudukan tersebut (terutama
kontrol vektor nyamuk) harus terus diupayakan, di samping pemberian terapi
yang optimal pada penderita DHF, dengan tujuan menurunkan jumlah kasus dan
3

kematian akibat penyakit ini. Sampai saat ini, belum ada terapi yang spesifik
untuk DHF, prinsip utama dalam terapi DHF adalah terapi suportif, yakni
pemberian cairan pengganti. Dengan memahami patogenesis, perjalanan penyakit,
gambaran klinis dan pemeriksaan laboratorium, diharapkan penatalaksanaan dapat
dilakukan secara efektif dan efisien.3

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Dengue Haemorrhagic Fever (DHF) adalah penyakit demam akut yang
disertai dengan adanya manifestasi perdarahan, yang bertendensi mengakibatkan
renjatan yang dapat menyebabkan kematian.1
Dengue Haemorrhagic Fever (DHF) adalah infeksi akut yang disebabkan
oleh Arbovirus (arthropodborn virus) dan ditularkan melalui gigitan nyamuk
Aedes Aegypti dan Aedes Albopictus.2

2.2 Epidemiologi
Epidemi penyakit yang berhubungan dengan demam dengue pertama kali
dilaporkan dalam literatur atau pustaka kedokteran terjadi pada tahun 1779 di
Batavia (sekarang disebut Jakarta). Dan pada tahun 1780 di Philadelphia. Sejak
saat itu epidemik telah dilaporkan di Calcutta (1824, 1853, 1871, 1905), India

Barat (1827), Hongkong (1901), Yunani (1927-1928), Australia (1925-1926,


1942), Amerika Serikat (1922) dan Jepang (1942-1945).5,6
Dengue sering terdapat di daerah tropis terutama di Asia Tenggara, Afrika
dan bagian selatan Amerika. Epidemik DHF yang terbesar terjadi di Kuba pada
tahun 1981 dengan 24.000 kasus DHF dan 10.000 kasus DSS. Pada tahun 1986
dan 1987 angka kejadian Dengue dilaporkan di Brasil. Pada tahun 1988 epidemik
dengue dilaporkan terjadi di Meksiko dan pada tahun 1990 kira-kira seperempat
dari 300.000 penduduk yang tinggal di Iquitos Peru menderita Demam Dengue.6
Data yang terkumpul dari tahun 1968-1993 menunjukkan DHF dilaporkan
terbanyak terjadi pada tahun 1973 sebanyak 10.189 pasien dengan usia pada
umumnya di bawah 15 tahun. Penelitian di Pusat Pendidikan Jakarta, Semarang,
Yogya dan Surabaya menunjukkan bahwa DHF dan DSS juga ditemukan pada
usia dewasa, dan terdapat kecenderungan peningkatan jumlah pasiennya.5
Vektor utama dengue di Indonesia adalah nyamuk Aedes aegypti, di samping
pula Aedes albapictus. Vektor ini bersarang di bejana-bejana yang berisi air jernih
dan tawar seperti bak mandi, drum penampung air, kaleng bekas dan lain-lainnya3,5,6
2.3 Etiologi
Demam berdarah dengue disebabkan oleh virus dengue, yang termasuk
dalam kelompok B Arthropod Borne Virus (Arboviroses) yang sekarang di kenal
sebagai genus Flavivirus, family Flaviviridae, dan mempunyai 4 jenis serotype. (3)
Flavivirus merupakan virus dengan diameter 30nm terdiri dari asam ribonukleat
rantai tunggal dengan berat molekul 4x106.(1)

Adapun 4 serotipe virus yaitu DEN-1, DEN-4, DEN-3 dan DEN-4 yang
semuanya dapat menyebabkan demam berdarah dengue. DEN-3 yang terbanyak
ditemukan di Indonesia dan merupakan serotype yang dominan dan diasumsikan
banyak yang menunjukkan manifestasi klinis yang berat.(4,6) Terdapat reaksi silang
antara serotype dengue dengan Flavivirus lain seperti Yellow Fever, Japanese
encephalitis dan West Nile virus. Pada Artropoda menunjukkan virus dengue
dapat bereplikasi pada nyamuk genus Aedes (stegomyia) dan Toxorhynchites.1
Cara penularannya infeksi virus dengue ini ada tiga factor yang
memegang peranan, yaitu manusia, virus, dan vector perantara. Virus dengue
ditularkan kepada manusia melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti. Nyamuk aedes
tersebut dapat mengandung virus dengue pada saat menggigit manusia yang
sedang mengalami viremia. Kemudian virus yang berada di kelenjar liur
berkembang biak dalam waktu 8-10 hari (extrinsic incubation priod) sebelum
dapat menularkan kembali kepada manusia saat gigitan berikutnya. Virus dalam
tubuh

nyamuk

betina

dapat

ditularkan

kepada

telurnya

(transovarian

transmission), namun peranannya dalam penularan virus tidak penting. Sekali


virus dapat masuk dan berkembang biak di dalam tubuh nyamuk, nyamuk
tersebut akan dapat menularkan virus selama hidupnya (infektif). Di tubuh
manusia, virus memerlukan waktu masa tunas 4-6 hari (intrinsic incubation priod)
sebelum menimbulkan penyakit. Penularan dari manusia kepada nyamuk hanya
dapat terjadi bila nyamuk menggigit manusia yang sedang viremia, yaitu 2 hari
sebelum demam sampai 5 hari setelah demam timbul.3

2.4 Patogenesis

Patogenesis

terjadinya

demam

berdarah

hingga

saat

ini

masih

diperdebatkan. Dua teori yang banyak dianut pada DHF dan DSS adalah Hipotesis
immune enhancement dan hipotesis infeksi sekunder (teori secondary hetelogous
dengue infection).1,3
Berdasarkan data yang ada, terdapat bukti yang kuat bahwa mekanisme
Imunopatologis berperan dalam terjadinya demam berdarah dengue dan sindrom
renjatan dengue.1
Respon imun yang diketahui berperan dalam pathogenesis DHF adalah:
a) Respon humoral berupa pembentukan antibody yang berperan dalam
proses netralisasi virus, sitolisis yang dimediasi komplemen dan
sitotoksisitas yang dimediasi antibody. Sel target virus ini adalah sel
monosit terutama dan sel makrofag sebagai tempat replikasi.
b) Limfosit T baik T-helper (CD4) dan T sitotoksik (CD8) berperan dalam
respon imun seluler terhadap virus dengue. TH1 akan memproduksi
interferon gamma, IL-2 dan limfokin. Sedangkan TH2 memproduksi IL-4,
IL-5,IL-6,dan IL-10.
c) Monosit dan makrofag berferan dalam fagositosis virus dengan opsonisasi
antibody.
Aktifasi komplemen oleh kompleks imun yang menyebabkan terbentuknya C3a
dan C5a akibat aktivasi C3 dan C5 yang akan menyebabkan peningkatan
permeabilitas dinding pembuluh darah dan merembesnya plasma dari ruang
intravaskuler ke ruang ekstravaskuler.(1,3)

Gambar 1 : imunopatogenesis demam berdarah dengue (sumber: Suhendro,


Nainggolan L, Chien K, Pohan H T, Demam Berdarah Dengue, in Sudoyo A W,
Setiyohadi B, Alwi l, Simadibrata M, Setiati S, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam,
Pusat penerbitan departemen ilmu penyakit dalam FK-UI, Jakarta, 2006, ed.4 (III)
1710 (1)
Hipotesis the secondary heterologous infection yang di rumuskan oleh
Suvatte,1977. Sebagai akibat infeksi sekunder oleh tipe virus dengue yang
berlainan pada seorang pasien, respon antibody anamnestik yang akan terjadi
dalam beberapa hari mengakibatkan proliferasi dan transformasi dengan
menghasilkan titer tinggi antibody IgG anti dengue.(3)

Hipotesis immune enhancement menjelaskan menyatakan secara tidak


langsung bahwa mereka yang terkena infeksi kedua oleh virus heterolog
mempunyai risiko berat yang lebih besar untuk menderita DHF berat. Antibodi
herterolog yang telah ada akan mengenali virus lain kemudian membentuk
kompleks antigen-antibodi yang berikatan dengan Fc reseptor dari membran
leukosit terutama makrofag. Sebagai tanggapan dari proses ini, akan terjadi
sekresi

mediator

vasoaktif

yang

kemudian

menyebabkan

peningkatan

permeabilitas pembuluh darah, sehingga mengakibatkan keadaan hipovolemia dan


syok.9,10
2.5 Manifestasi Klinis.
Manifestasi klinik infeksi virus dengue dapat bersifat asimtomatik atau
dapat berupa demam yang tidak khas. Pada umumnya pasien mengalami demam
10

dengan suhu tubuh 39-40 oC, bersifat bifasik (menyurupai Pelana kuda), fase
demam selama 2-7 hari, yang diikuti oleh fase kritis pada hari ke-3 selama 2-3
hari.Pada waktu fase ini pasien sudah tidak demam, akan tetapi mempunyai risiko
untuk terjadi renjatan jika tidak mendapat pengobatan tidak adekuat.(1,3)

Sesudah masa tunas / inkubasi selama 3-15 hari orang yang tertular dapat
mengalami / menderita penyakit ini dalam salah satu dari 4 bentuk berikut ini,
yaitu :

Bentuk abortif , penderita tidak merasakan suatu gejala apapun.

Dengue klasik, penderita mengalami demam tinggi selama 4-7 hari, nyerinyeri pada tulang, diikuti dengan munculnya bintik-bintik atau bercakbercak perdarahan dibawah kulit.

Dengue Haemorrhagic fever (DHF), gejalanya sama dengan dengue klasik


ditambah dengan perdarahan dari hidung, mulut, dubur, dsb.

11

Dengue Syok Sindrom, gejalanya sama dengan DHF ditambah dengan


syok / presyok pada bentuk ini sering terjadi kematian.

2.6 Diagnosis
Diagnosis DHF ditegakkan berdasarkan Kriteria diagnosis menurut WHO
tahun 1997 terdiri dari kriteria klinis dan laboratoris. 7
Kriteria klinis :
Demam tinggi mendadak,tanpa sebab yang jelas, atau riwayat demam akut,
berlangsung terus-menerus selama 2-7 hari, biasanya bifasik (plana kuda).
Terdapat minimal satu dari manifestasi perdarahan berikut :
-

Uji torniquet positif.

Ptekie, ekimosis, purpura.

Perdarahan mukosa ( epitaksis atatu perdarahan gusi )

Hematemesis atau melena.

Pembesaran hati
Syok, ditandai nadi cepat dan lemah serta penurunan tekanan nadi,
hipotensi,kaki dan tangan dingin,kulit lembab, dan pasien tampak gelisah.
Kriteria Laboratoris :
Trombositopenia ( jumlah trombosit <100.000/ul ).
Terdapat minimal satu tanda-tanda plasma leakage (kebocoran plasma) sebagai
berikut :

12

Peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standar sesuai dengan umur dan


jenis kelamin.
Penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan, dibandingkan
dengan sebelumnya.
Tanda kebocoran plasma seperti : efusi pleura, asites atau hipoproteinemia.
Menurut manifestasi kliniknya DHF sangat bervariasi, WHO (1997) membagi
menjadi 4 derajat : 7,8,9
Derajat I

: Demam disertai uji tourniquet positif.

Derajat II

: Demam + uji tourniquet positif disertai manifestasi perdarahan


(seperti : Epistaksis, perdarahan gusi )

Derajat III

: Didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lemah,


tekanan nadi menyempit (<20 mmhg), hipotensi, sianosis,
disekitar mulut, kulit dingin dan lembab, gelisah.

Derajat IV

: Syok berat (profound syok), nadi tidak teraba, dan tekanan


darah tidak terukur.

13

2.7 Pemeriksaan Penunjang


1. Laboratorium
Pemeriksaan darah rutin dilakukan untuk menapis pasien tersangka
demam dengue adalah melalui pemeriksaan kadar hemoglobin, hematokrit,
jumlah trombosit dan hapusan darah tepi untuk melihat adanya limfositosis
relative disertai gambaran limfosit plasma biru.5
Ada 4 jenis pemeriksaan laboratorium yang digunakan yaitu :
Uji serologi:deteksi antibodi IgG dan IgM, uji HI
Isolasi virus
Deteksi RNA/DNA dengan tehnik Polymerase Chain Reaction (PCR).
Deteksi antigen (pemeriksaan NS-I) Lebih Spesifisitas 100% dan
sensitivitas 92.3%

14

Pemeriksaan Dengue NSl Antigen adalah pemeriksaan baru terhadap


antigen non struktural-I dengue (NSl) yang dapat mendeteksi infeksi virus dengue
dengan lebih awal bahkan pada hari pertama onset demam. 5
-

Pemeriksaan NS-I perlu dilakukan pada pasien yang megalami gejala


Demam/klinis lain < 3 hari,

dikarenakanEarly detection sangatlah

penting untuk menentukan pengobatan (terapisupportif) yang tepat


(cegah Resistensi antibiotik), serta pemantauanpasien dengan segera.
-

Tanpa meninggalkan pemeriksaan Dengue serologi karena pemeriksaaan


NS1 bersifat komplementer (saling menunjang), terkhususapabila
didapatkan hasil Ns1 (-) dan gejala infeksi tetap muncul.

Penggunaan Dengue IgG / IgM juga diperlukan bagi dokter penganut


paham "infeksi sekunder dapat menyebabkan infeksi yang lebih berat
dan memerlukan penanganan yang berbeda dengan infeksi primer"

Dengan adanya Spesifisitas 100% dan sensitivitas 92.3%. Dengan


demikian pomakaian pemeriksaan ini akan dapat meningkatkan
sensitivitas dan spesifisitas untuk diagnosis infeksi dengue.(5)

2. Pemeriksaan radiologis
Pada foto thorak didapati efusi pleura, terutama pada hemitoraks kanan
tetapi apabila terjadi perembesan plasma hebat. Pemeriksaan foto rontgen dada
sebaiknya dalam posisi lateral dekubitus kanan ( pasien tidur pada sisi badan
sebelah kanan ).(1)
2.8 Diagnosis Banding

15

Perlu dipertimbangkan bilamana terdapat kesesuaian klinis dengan demam


tipoid, influenza, idiopathic thrombocytopenic purpura (ITP), chikungunya dan
leptospirosis. 1
1.

Belum / tanpa renjatan :


a. Campak
b. Infeksi bakteri / virus lain (tonsilo faringitis, demam dari kelompok
pnyakit exanthem, hepatitis, chikungunya)

2.

Dengan renjatan
a. Demam tipoid
b. Renjatan septik oleh kuman gram negatif lain

3.

Dengan perdarahan
a. Leukemia
b. ITP
c. Anemia Aplastik

4.

Dengan kejang
a. Ensefalitis
b. meningitis

2.9 Penatalaksanaan
Pada prinsipnya terapi DHF adalah bersifat suportif dan simtomatis.
Penatalaksanaan ditujukan untuk mengganti kehilangan cairan akibat kebocoran
plasma dan memberikan terapi substitusi komponen darah bilamana diperlukan.
Dalam pemberian terapicairan, hal terpenting yang perlu dilakukan adalah

16

pemantauan baik secara klinis maupun laboratoris. Proses kebocoran plasma dan
terjadinya trombositopenia pada umumnya terjadi antara hari ke 4 hingga 6 sejak
demam berlangsung. Pada hari ke-7 proses kebocoran plasma akan berkurang dan
cairan akan kembali dari ruang interstitial ke intravaskular.3
Protokol pemberian cairan sebagai komponen utama penatalaksanaan
DHF dewasa mengikuti 5 protokol, mengacu pada protokol WHO. Protokol ini
terbagi dalam 5 kategori, sebagai berikut: 3,8,11
1. Penanganan tersangka DHF tanpa syok
2. Pemberian cairan pada tersangka DHF dewasa di ruang rawat
3. Penatalaksanaan DHF dengan peningkatan hematokrit >20%
4. Penatalaksanaan perdarahan spontan pada DHF dewasa
5. Tatalaksana sindroma syok dengue pada dewasa
Protokol 1. Penanganan Tersangka DHF dewasa tanpa syok.
Seorang

yang

tersangka

menderita

DHF

dilakukan

pemeriksaan

haemoglobin, hematokrit, dan trombosit, bila :


Hb, Ht, dan trombosit normal atau trombosit antara 100.000-150.000,
pasien dapat dipulangkan dengan anjuran kontrol atau berobat jalan ke
poliklinik dalam waktu 24 jam berikutnya ( dilakukan pemeriksaan Hb,
Ht, lekosit dan trombosit

tiap 24 jam ) atau bila keadaan penderita

memburuk segera kembali ke instalansi gawat darurat.


Hb, Ht normal dengan trombosit <100.000 dianjurkan untuk dirawat.

17

Hb, Ht meningkat dan trombosit normal atau turun juga dianjurkan


dirawat.

Gambar 4. Penanganan tersangka DHF tanpa syok


Protokol 2. Pemberian cairan pada tersangka DHF dewasa di ruang rawat.
Pasien yang tersangka DHF tanpa perdarahan spontan dan masif dan tanpa
syok maka diruang rawat diberikan cairan infus kristaloid dengan jumlah seperti
rumus berikut ini :
Volume cairan kristaloid per hari yang diperlukan, sesuai rumus berikut :
1500 + (20 x( BB-20) ml
Setelah pemberian cairan dilakukan pemeriksaan Hb, HT tiap 24 jam :
Bila Hb, Ht meningkat 10-20% dan trombosit < 100.000 jumlah
pemberian cairan tetap, tetapi pemantauan Hb, Ht, trombo dilakukan tiap
12 jam.

18

Bila Hb, Ht meningkat >20% dan trombosit <100.000, maka Pemberian


cairan sesuai dengan protokol penatalaksanaan DHF dengan peningkatan
Ht>20%.

Gambar 5. Pemberian cairan pada tersangka DHF dewasa di ruang rawat

Protokol 3. Penatalaksanaan DHF dengan peningkatan Ht>20%.

19

Gambar 6. Penatalaksanaan DHF dengan peningkatan hematokrit >20%5


Protokol 4. Penatalaksanaan Perdarahan spontan pada DHF dewasa.
Perdarahan spontan dan masif pada penderita DHF dewasa adalah :
perdarahan hidung/epistaksis yang tidak terkendali, perdarahan saluran cerna
(henatemesis dan melena atau hematokesia), perdarahan saluran kencing
(hematuria), perdarahan otak atau perdarahan tersembunyi dengan jumlah
perdarahan sebanyak 4-5 ml/kgBB/jam.1,3

20

Protokol 5. Tatalaksana sindrom syok dengue pada dewasa.


Bila kita berhadapan dengan sindroma syok dengue pada dewasa (SSD)
maka hal pertama yang harus diingat adalah bahwa renjatan harus segera diatasi
dan oleh karena itu penggantian cairan intravaskular yang hilang harus segera
dilakukan. Angka kematian pada sindrom syok dengue sepilih kali lipat
dibandingkan dengan penderita DHF tanpa renjatan, dan renjatan dapat terjadi
karena keterlambatan penderita DHF mendapatkan pertolongan/pengobatan,
penatalaksanaan tidak tepat termasuk kurangnya kewaspadaan terhadap tandatanda renjatan dini, dan penatalaksanaan renjatan yang tidak adekuat. 1,3

21

Gambar 7. Tatalaksana sindroma syok dengue pada dewasa

22

Ada dua hal penting yang perlu diperhatikan dalam terapi cairan
khususnya pada penatalaksanaan demam berdarah dengue: pertama adalah jenis
cairan dan kedua adalah jumlah serta kecepatan cairan yang akan diberikan.
Karena tujuan terapi cairan adalah mengganti kehilangan cairan di ruang
intravascular, pada dasarnya baik kristaloid (ringer laktat, ringer asetat, cairan
salin) maupun koloid dapat diberikan. WHO menganjurkan terapi kristaloid
sebagai cairan standar pada terapi DBD karena dibandingkan dengan koloid,
kristaloid lebih Airway Breathing : O2 1-2 L/menit dengan kateter nasal. Bila
lebih, dipakai sungkup muka Circulation : Cairan kristaloid &/ koloid 10-20
mL/kgBB secepatnya (bila mungkin < 10 mnt) Perhatikan : tanda-tanda
hipovolemia, hipervolemia/overload dan respon pemberian cairan setelah 15 30
menit Perbaikan* Perburukan Tetap syok Perbaikan Kristaloid 7 mL/kg/jam
dalam 1 jam Kristaloid 5 mL/kg/jam dalam 1 jam Perhitungan nutrisi setelah 12
jam (dextrose 5% bila tidak ada kontraindikasi 24-48 jam setelah syok teratasi,
tanda vital/Ht stabil, diuresis cukup Kristaloid 20-30 mL/kgBB loading dalam 2030 menit Tetap syok Ht meningkat Ht menurun Koloid 10-20 mL/kg BW loading
selama 10-15 menit Transfusi darah 10 mL/kg BB dapat diulang sesuai kebutuhan
Perbaikan* Tetap syok Koloid hingga maksimal 30 mL/kgBB Perbaikan * Tetap
syok CVP Stop infus Perbaikan Kristaloid 3 mL/kg/jam dalam 1 jam Perbaikan
Koloid bila dosis maks belum dicapai atau kristaloid/gelatin (bila koloid
sebelumnya telah mencapai dosis maks) 10mL/kg dalam 10 menit, dapat diulang
sampai 30 mL/kg; Sasaran CVP 15-18 cmH2O Hipovolemia Normovolemia
Kristaloid dipantau 10-15 menit Tetap syok Koreksi gangguan asam-basa,

23

elektrolit, hipoglikemia, anemia, KID, inf sekunder Inotropik, Vasopresor,


Vasodilator Perbaikan bertahap vasopresor Perbaikan* Koloid + kristaloid 10
mudah didapat dan lebih murah. Jenis cairan yang ideal yang sebenarnya
dibutuhkan dalam penatalaksanaan antara lain memiliki sifat bertahan lama
intravaskular, aman dan bisa dikeluarkan melalui ginjal, tidak mengganggu sistem
koagulasi tubuh, dan memiliki efek alergi yang minimal. Pemberian cairan i.v.
dapat menggunakan ringer laktat atau ringer asetat dengan kebutuhan cairan
mengikuti perhitungan kebutuhan cairan rumatan. Koloid/ plasma ekspander
dapat diberikan bila diperlukan pada DBD stadium III dan IV (gambar 8).1-3
Secara umum, penggunaan kristaloid dalam tatalaksana DBD adalah aman dan
efektif. Beberapa efek samping yang dilaporkan terkait dengan penggunaan
kristaloid adalah edema, asidosis laktat, instabilitas

hemodinamik dan

hemokonsentrasi.18,19 Kristaloid memiliki waktu bertahan yang singkat di dalam


pembuluh darah. Pemberian larutan RL secara bolus (20 ml/kg BB) akan
menyebabkan efek penambahan volume vaskuler hanya dalam waktu yang singkat
sebelum didistribusikan ke seluruh kompartemen interstisial (ekstravaskuler)
dengan perbandingan 1:3, sehingga dari 20 ml bolus tersebut dalam waktu satu
jam hanya 5 ml yang tetap berada dalam ruang intravaskuler dan 15 ml masuk ke
dalam ruang interstisial.20 Namun demikian, dalam aplikasinya terdapat beberapa
keuntungan penggunaan kristaloid antara lain mudah tersedia dengan harga
terjangkau, komposisi yang menyerupai komposisi plasma, mudah disimpan
dalam temperatur ruang, dan bebas dari kemungkinan reaksi anafilaktik.21,22
Dibandingkan cairan kristaloid, cairan koloid memberikan beberapa keunggulan

24

yaitupada jumlah volume yang sama akan didapatkan ekspansi volume plasma
(intravaskular) yang lebih besar dan bertahan lebih lama. Dengan keunggulan ini,
diharapkan oksigenasi jaringan dapat terjaga lebih baik dan hemodinamik terjaga
lebih stabil. Beberapa kerugian yang mungkin didapatkan dengan penggunaan
koloid yakni risiko anafilaksis, koagulopati, dan biaya perawatan yang lebih besar,
walaupun beberapa jenis koloid terbukti memiliki efek samping koagulopati dan
alergi

yang

rendah

(contoh:

hetasrach).21,22

Penelitian

cairan

koloid

dibandingkan kristaloid pada sindrom renjatan dengue pada pasien anak dengan
parameter stabilisasi hemodinamik pada 1 jam pertama renjatan, memberikan
hasil sebanding pada kedua jenis cairan.23,24 Sebuah penelitian lain yang menilai
efektivitas dan keamanan penggunaan koloid pada penderita dewasa dengan DBD
derajat 1 dan 2 di Indonesia menunjukkan bahwa koloid adalah pilihan cairan
yang aman dan dapat digunakan sebagai cairan rumatan pada penderita dewasa
dengan DBD derajat 1 dan 2.25

Kriteria memulangkan pasien, apabila memenuhi semua keadaan dibawah ini : 1


1. Tampak perbaikan secara klinis
2. Tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik
3. Tidak dijumpai distress pernafasan (efusi pleura atau asidosis)
4. Hematokrit stabil
5. Jumlah trombosit cendrung naik > 50.000/nl
6. Tiga hari setelah syok teratasi

25

7. Nafsu makan membaik


2.10 Komplikasi
1. Ensefalopati dengue dapat terjadi pada DHF dengan maupun tanpa syok
2.

Kelainan ginjal berupa gagal ginjal akut akibat syok


berkepanjangan

3.

Edema paru, akibat over loading cairan 3

2.11 Prognosis
Kematian oleh demam dengue hampir tidak ada, sebaliknya pada DHF/DSS
mortalitasnya cukup tinggi. Penelitian pada orang dewasa di Surabaya, Semarang,
dan Jakarta memperlihatkan bahwa prognosis dan perjalanan penyakit umumnya
lebih ringan dari pada anak-anak.2

26

BAB 3
KESIMPULAN

Dengue Fever (DF) dan Dengue Haemorrhagic Fever (DHF) adalah


penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue dengan manifestasi klinis
demam, nyeri otot dan atau nyeri sendi yang disertai leukopenia, ruam,
limfadenopati, trombositopeni dan diatesis hemoragik.
Pada DHF terjadi perembesan plasma yang ditandai oleh hemokonsentrasi
( peningkatan hematokrit ) atau penumpukan cairan dirongga tubuh. Sindrom
renjatan dengue ( dengue shock syndrome ) adalah demam berdarah dengue yang
ditandai oleh renjatan / syok(1)
Penatalaksanaannya adalah dengan mengatasi gejala/keluhan yang
dirasakan pasien hingga pemberian replacement volume untuk mengatasi
gangguan sirkulasi yang terjadi. Usaha pencegahan adalah dengan memutuskan
rantai penularan dan terutama pemberantasan pemberantasan vektor. Prognosis
penyakit buruk pada keadaan-keadaan dengan terjadinya sindoma shock dengue.

27

DAFTAR PUSTAKA
1. Sudoyo A W, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, Buku ajar
Ilmu penyakit dalam, Pusat penerbitan departemen ilmu penyakit dalam
FK-UI, jakarta, 2006, ed.4, (III) 1709-1713
2. Sumarno S, Soedarmo P,Garna H,Rezeki S,Satari H. Buku Ajar Infeksi
dan Pediatri tropis, IDAI, jakarta 2008,ed.2, 155-179
3. Rejeki S, Adinegoro S (DHF) Demam Berdarah Dengue, Tatalaksana
Demam Berdarah Dengue Di Indonesia. Jakarta.2004
4. Mansjoer A,Triyanti K, Savitri R,Wardhani W,Setiowulan W, Kapita
selekta FKUI, Jakarta,(I),428-433
5. Berliandelima, Info terbaru Pemeriksaan Laboratorium terhadap Dengue,
availableat:http://www.mailarchive.com/dokter_umum@yahoogroups.com
/msg06092.html
6. Caribbean Epidemiologi Center (CAREC) Dengue dalam:
http://www.carec.org/publications/DENGUIDE_lab.htm
7. WHO, Clinical Diagnosis of Dengue dalam: http://
www.who.int/entity/csr/resources/publications/dengue/12-23.pdf
8. Hagop Isnar,MD, Dengue dalam : http://www.emedicine.com
9. WHO, Clinical Diagnosis of Dengue dalam: http://
www.who.int/entity/csr/resources/publications/dengue/1-11.pdf
10. WHO, Dengue and Dengue Haemorragic Fever dalam:
http://w3.whosect.org/en/section10/section332/section1631.htm
11. BHJ, Dengue, Dengue Haemorragic Fever, Dengue Shock Syndrome
dalam: http://www.bhj.org/journal/2001_4303_july01/review_380.html

28

You might also like